You are on page 1of 5

Definisi yang lain menurut H.J.

J Leenen tentang hukum kesehatan, adalah


keseluruhan aturan hukum yang mengatur tentang hubungan langsung dengan
pemeliharaan kesehatan, yang berupa penerapan hukum perdata, hukum
pidana, dan hukum administrasi negara dalam kaitan dengan pemeliharaan
kesehatan dan yang bersumber dari hukum otonom yang berlaku untuk kalangan
tertentu saja, hukum kebiasaan, hukum yurisprudensi, aturan-aturan
internasional, ilmu penegatahuan dan literatur yang ada kaitannya dengan
pemeliharaan kesehatan.
Dari pengertian di atas dapat kita lihat bahwa hukum kesehatan banyak
berhubungan dengan etika medis yang pada dasarnya berisi kepedulian dan
tanggung jawab secara moral hidup dan kehidupan manusia serta terhadap
kelainan dan gangguan padanya, dari mulai sebelum lahir sampai akhir hidup itu
serta sampai beberapa waktu sesudahnya. Di samping itu , hukum kesehatan
dan hukum medis adalah rambu-rambu lain yang mengatur pelayanan
kesehatan dalam hal ini etika dan hukum yang sama-sama berakar pada moral
saling mengisi. Dokter punya tanggung jawab etis dan tanggung jawab hukum
dalam menjalankan profesinya.

Hukum Kesehatan Dalam Praktek Kedokteran


Praktek kedokteran mempunyai definisi rangkaian kegiatan yang di lakukan oleh
dokter/dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan (Pasal
1, butir 1). Jika kita lihat dalam Undang-Undang, kita dapatkan aturan yang
mengatur tentang perlindungan dan kepastian hukum dalam pelayanan
kesehatan yaitu Undang-Undang 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran.
Pengaturan Praktek Kedokteran bertujuan untuk memberikan perlindungan
kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis
yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi dan memberikan kepastian hukum
kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Sedangkan untuk melindungi
masyarakat dan pasien penerima jasa layanan kesehatan maka di bentuklah
Konsil kedokteran dan Konsil kedokteran Gigi. KKI ini bertanggung jawab
langsung dengan Presiden yang berkedudukan di Jakarta. KKI bertugas

melaksanakan pengaturan, pengesahan, dan penetapan serta pembinaan


dokter, dokter gigi yang menjalankan praktek kedokteran serta melakukan
pembinaan terhadap praktek kedokteran dengan lembaga-lembaga terkait..
Pemberlakuan UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tentunya
banyak membawa implikasi yang signifikan bagi tenaga medis, UU ini selain
untuk memberikan perlindungan hukum bagi dokter sebagai pemberi jasa
kesehatan dan pasien sebagai penerima layanan kesehatan.
Dalam Undang-undang ini juga mengatur hak dan kewajiban dokter/dokter gigi
untuk melaksanakan praktik kedokterannya seperti dalam pasal 50 di sebutkan
di sana bahwa haknya meliputi: memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional, memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien
atau keluarganya; dan menerima imbalan jasa, Sedangkan seorang
dokter/dokter gigi berkewajiban : memberikan pelayanan mdis, sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien,
merujuk pasien ke dokter/dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, melakukan
pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya, menambah ilmu pengetahuan
dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi.
Di samping hak dan kewajiban dokter/dokter gigi maka di dalam UU no.29 tahun
2004 ada hak dan kewajiban pasien seperti dalam pasal 52, dimana seorang
pasien mempunyai hak; mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis, meminta pendapat dokter/dokter gigi, mendapatkan pelayanan
sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis dan mendapatkan isi
rekam medis. Pada pasal 53 yang memuat kewajiban pasien yang meliputi
diantaranya: memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannnya, mematuhi nasihat dokter/dokter gigi, mematuhi ketentuan yang

berlaku di sarana pelayanan kesehatan dan memberikan imbalan jasa atas


layanan yang di terima.
Pelanggaran terhadap sebagian dari item-item kewajiban dokter merupakan sifat
melawan hukum malpraktik. Kondisi tersebut dapat menjadi malpraktik hukum
kedokteran apabila dari praktik kedokteran yang melanggar item kawajiban itu
menimbulkan kerugian pada pasien penderitaan, berupa rasa sakit, luka-luka,
maupun kematian . Apa yang oleh hukum telah ditentukan secara normatif
tentang hak dan kewajiban dokter dan pasien tersebut mengikat kedua belah
pihak harus ditaati, walaupun dalam kontrak terapeutik tidak di tentukan secara
eksplisit sebagi prestasi masing-masing pihak, namun melaksanakan kewajiban
dokter maupun pasien merupakan prestasi yang telah di tetapkan UU.
Kita bisa melihat UU No.29 tahun 2004 jika di lihat dari pasal ke pasal seperti
contohnya aturan dalam hak dan kewajiban pasien yang telah di berlakukan
memang belum banyak mengatasi masalah krusial yang sering muncul yaitu
masalah antara dokter dan pasien. Tercatat banyak sekali kasus-kasus kelalaian
pelayanan kesehatan, yang di lakukan oleh tenaga medis yaitu dokter/dokter
gigi, maupun rumah sakit secara institusional. Profesi dokter/dokter gigi memang
banyak memiliki delema etika yang selanjutnya jika hubungan dokter dan pasien
tidak baik akan berdampak pada sengketa medik. Seorang dokter tentunya tidak
hanya berpegang dalam aturan undang-undang saja dalam melaksanakan
praktiknya, tetapi seorang dokter harus memiliki kemampuan dalam menjaga
etika dan di tuntut memiliki kompentensi yang dapat di andalkan. Seperti dalam
penjabaran konsep etikolegal bahwa seyogyanya aspek hukum tetap harus di
barengi aspek etika, karena dua aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang
saling melengkapi, karena setelah moral dan etika , hukum adalah rambu-rambu
ketiga bagi dokter dalam menjalankan profesinya.
Hukum menuntut standar moral yang minimum dari seorang warga negara. Pada
umumnya hukum lebih banyak memuat apa yang tidak boleh dilakukan oleh
seorang dalam hubungan dengan orang lain dan dengan negara. Hanya jarang
sekali hukum menuntut kewajiban yang positif dari seorang ke orang lain.
Sebaliknya, etika profesi medis menuntut dari dokter kewajiban berbuat hal-hal

positif terhadap pasien.(asas berbuat baik, asas tidak merugikan, asas berbudi
luhur, asas berlaku adil, asas menghormati hak-hak pasien dsb). Jadi, tuntutan
etika profesi adalah lebih berat daripada tuntutan hukum. Etika profesi memuat
menyelamatkan sebuah kehidupan adalah nilai etik yang harus di junjung tinggi.
Pelanggaran etika sebagai seorang dokter apabila dalam menjalankan tugasnya
telah melakukan tindakan yang kurang profesional dan telah melakukan tindakan
yang melanggar moral. Etika kedokteran juga sangat berhubungan dengan
hukum. Hampir di semua negara ada hukum yang secara khusus mengatur
bagaimana dokter harus bertindak berhubungan dengan masalah etika dalam
perawatan pasien dan penelitian. Badan yang mengatur dan memberikan ijin
praktek medis di setiap negara bisa dan memang memberi hukuman kepada
dokter yang melanggar etika. Namun etika dan hukum tidaklah sama. Sangat
sering bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih tinggi di banding
hukum, dan kadang etika memungkinkan dokter perlu untuk melanggar hukum
yang menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis. Hukum juga berbeda untuk
tiap-tiap negara sedangkan etika dapat di terapkan tanpa melihat batas negara.
Begitu juga suatu kewajiban dokter bahwa apa yang hendak dijalankan dokter
harus dipertimbangkan sebagai hal; yang melanggar standar profesi dan standar
prosedur atau tidak. Karena sebagai seorang profesional tidak dibenarkan
memiliki sikap batin yang ceroboh mengenai standar profesinya sendiri, sikap
batin seperti ini sangat berbahaya. Sementara itu, sikap batin pada akibat yang
merugikan kesehatan atau nyawa pasien pada umumnya malpraktik kedokteran
tidak dituju atau tidak dikehendaki. Walaupun sangat jarang terjadi, namun tidak
tertutup kemungkinan kehendak memang ditujukan pada alkibat buruk bagi
kesehatan dan nyawa pasien. Misalnya, euthanasia pasal 344 KUHP) atau
aborsi di luar indikasi medis (pasal 347, 348 KUHP).
Sebagai penutup sebagai seorang dokter melakukan tindakan yang sesuai asasasas etika medis yang di ajarkan oleh Hippokrates kepada dokter dalam
hubungannya dengan pasien yaitu: Seorang dokter haruslah berbuat baik,
jangan melakukan hal-hal yang menciderai atau merugikan pasien, hormati
hidup manusia artinya jangan melakukan aborsi dan jangan memberikan racun

kepada pasien untuk euthanasia atau bunuh diri, sadari keterbatasan diri, jangan
melakukan hal-hal di luar kemampuan. Serahkan pelaksanaan tindakan medis
tertentu kepada mereka yang memang ahli dalam bidang itu, Berakhlak dan
berbudi luhur. Secara khusus jangan melakukan hubungan seks dengan pasien
atau keluarga dan anggota rumah tanggannya, dan jagalah kerahasiaan pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan /M. Jusuf Hanafiah; Amri Amir.
Jakarta: EGC, 1999
2. Panduan Etika Medis: disertai studi kasus etika pelayanan medis seharihari/John R. Williams; Penerjemah: Sagiran. Yogyakarta: Pusat Studi
Kedokteran Islam, 2006
3. Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etika Medis dan Bioetika/Samsi Jacobalis.
Jakarta: Sagung Seto, 2005.
4. Malpraktik Kedokteran: tinjauan norma dan doktrin hukum/Adami Chazawi.
Jakarta: Bayumedia Publishing.
5. Sumpah/Janji Anggota Konsil Kedokteran Indonesia Di Hadapan Presiden, 29
April 2005, http://www.depkes.go.id/

You might also like