You are on page 1of 10

A.

LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya terutama pada
penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan masalah yang cukup besar bagi
bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi geografis
dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh
proses daur hidup dan cara penularannya.
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat sebagai
spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk
pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung
pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan
yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing
atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit
darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis (Kadarsan, 1983).
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang
infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing
parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya (Gandahusada.dkk, 2000).
Pemeriksaan feces dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif
dilakukan dengan metode natif, metode apung, metode harada mori, dan Metode kato. Metode
ini digunakan untuk mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan
dengan metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada didalam usus.
Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik
diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit
cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang
ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan
gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang
hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan. Misalnya, infeksi yang
disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Infeksi ini lebih bamyak ditemukan pada
anak-anak yang sering bermain di tanah yang telah terkontaminasi, sehingga mereka lebih
mudah terinfeksi oleh cacain-cacing tersebut. Biasanya hal ini terjadi pada daerah di mana
penduduknya sering membuang tinja sembarangan sehingga lebih mudah terjadi penularan.
Pengalaman dalam hal membedakan sifat berbagai spesies parasit , kista, telur, larva, dan juga
pengetahuan tentang bentuk pseudoparasit dan artefak yang dikira parasit, sangat dibutuhkan
dalam pengidentifikasian suatu parasit.
B.TUJUAN
Mendiagnosa adanya infeksi cacing parasit pada orang yang diperiksa fecesnya.
2.
Mengetahui tingkat infeksi cacing yang diderita orang yang diperiksa pecesnya.
3.
Mengetahui teknik pemeriksaan telur pada tinja anak-anak.
4.
Mengetahui bentuk-bentuk dari cacing parasit, bentuk telur maupun larva agar kita
mudah untuk mengenali dan melakukan tindakan efektif baik untuk pencegahan maupun
pengobatan terhadap infeksi caing parasit kepada pasien yang diperiksa.
II. TELAAH PUSTAKA
A.MACAM-MACAM METODA PEMERIKSAAN FESES
Penularan penyakit parasit disebabkan oleh tiga faktor yaitu sumber infeksi, cara penularan dan
adanya hospes yang ditulari. Efek gabungan dari faktor ini menentukan penyebaran dan
1.

menetapnya parasit pada waktu dan tempat tertentu. Penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat
bersifat menahun disertai dengan sedikit atau tanpa gejala. (Noble, 1961).
Pemeriksaan telur-telur cacing dari tinja terdiri dari dua macam cara pemeriksaan, yaitu secara
kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode natif,
metode apung, dan metode harada mori. Sedangkan pemeriksaan kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan metode kato.
1. Pemeriksaan Kualitatif
Metode Natif
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi
untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan
larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih
jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.
Maksud : Menemukan telur cacing parasit pada feces yang diperiksa.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit pada seseorang yang diperiksa fecesnya.
Dasar teori : eosin memberikan latar belakang merah terhadap telur yang berwarna kekuningkuningan dan untuk lebih jelas memisahkan feces dengan kotoran yang ada.
Kekurangan : dilakukan hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit terditeksi.
Kelebihan : mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang di
perlukan sedikit, peralatan yang di gunakan sedikit.
Metode Apung (Flotation method)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang
didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati.
Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya
didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan
dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan
ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang
berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.
Maksud : Mengetahui adanya telur cacing parasit usus untuk infeksi ringan.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit usus pada seseorang yang diperiksa fecesnya.
Dasar teori : Berat jenis NaCl jenuh lebih berat dari berat jenis telur.
Kekurangan : penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu yang lama, perlu ketelitian
tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi
Kelebihan : dapat di gunakan untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas.
Metode Harada Mori
Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacingAncylostoma
Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris danTrichostronngilus yang
didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknin ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang
menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini
akan ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik.
Maksud : Mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus,
Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus spatau mencari larva cacing-cacing parasit usus
yang menetas diluar tubuh hospes
Tujuan : Mengetahuia adanya infeksi cacing tambang
Dasar teori : Hanya cacing-cacing yang menetas di luar tubuh hospes akan menetas 7 hari
menjadi larva dengan kelembaban yang cukup.
1.

Kekurangan : Dilakukan hanya untuk identifikasi infeksi cacing tambang, waktu yang
dibutuhkan lama dan memerlukan peralatan yang banyak.
Kelebihan : lebih mudah dilakukan karena hanya umtuk mengidentifikasi larva infektif
mengingat bentuik larva jauh lebih besar di bandingkan dengan telur.
2. Pemeriksaan Kuantitatif
Metode Kato
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut teknik Kato.
Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong cellahane tape. Teknik ini lebih
banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini dianjurkan
untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi telur cacing
cukup jelas untuk membuat diagnosa.
Maksud : Menemukan adanya telur cacing parasit dan menghitung jumlah telur
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit dan untuk mengetahui berat ringannya
infeksi cacing parasit usus
Dasar teori : Dengan penambahan melachite green untuk memberi latar belakang hijau. Anakanak mengeluarkan tinja kurang lebih 100 gram/hari, dewasa mengeluarkan tinja kurang lebih
150 gram/hari. Jadi, misalnya dalam 1 gram feces mengandung 100 telur maka 150 gram tinja
mengandung 150.000 telur.
Kekurangan : Bahan feses yang di gunakan banyak.
Kelebihan : Dapat mengidentifikasi tingkat cacing pada penderita berdasar jumlah telur dan
cacing, baik di kerjakan di lapangan, dapat digunakan untuk pemeriksaan tinja masal karena
murah dan sederhana, cukup jelas untuk melihat morfologi sehingga dapat di diagnosis.
III. MATERI DAN METODE
A. Materi
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi
untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan
larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih
jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang
didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati.
Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya
didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan
dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan
ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang
berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.
Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacingAncylostoma
Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris danTrichostronngilus yang
didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknin ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang
menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini
akan ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik.
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut teknik Kato.
Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong cellahane tape. Teknik ini lebih
banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini dianjurkan
untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi telur cacing
cukup jelas untuk membuat diagnosa.
1.

B. METODE
1.Metode Natif
1.

Alat
Bahan
1.
Gelas obyek
2.
Pipet tetes
3.
Lidi
4.
Cover glass
5.
Mikroskop
1.
Tinja anak kecil
2.
Eosin 2%
Cara kerja :
1.
Gelas obyek yang bersih di teteskan 1-2 tetes NaCl fisiologi atau eosin 2%
2.
Dengan lidi, di ambil sedikit tinja dan taruh pada larutan tersebut
3.
Dengan lidi tadi, kita ratakan /larutkan, kemudian di tutup dengan gelas beda/cover glass.
2. Metode Apung
Alat
Bahan
1.
Obyek glass
2.
Mikroskop
3.
Cover glass
4.
Penyaring teh
5.
Tabung reaksi
6.
Pengaduk dan beker glass
1.
Tinja
2.
Larutan NaCl jenuh (33%)
3.
Aquades
Cara kerja
1.
10 gram tinja di campur dengan 200 ml NaCl jenuh (33%), kemudian di aduk sehingga
larut. Bila terdapat serat-serat selulosa di saring menggunakan penyaring teh.
2.
Di diamkan selama 5-10 menit, kemudian dengan lidi di ambil larutan permukaan dan di
taruh di atas gelas obyek, kemudian di tutup dengan cover glass. Di periksa di bawah mikroskop.
3.
Di tuangkan ke dalam tabung reaksi sampai penuh, yaitu rata dengan permukaan tabung,
didiamkan selama 5-10 menit dan di tutup/di letakkan gelas obyek dan segera angkat.
Selanjutnya di letakkan di atas gelas preparat dengan cairan berada di antara gelas preparat dan
gelas penutup, kemudian di periksadi bawah mikroskop.
3. Metode Harada Mori


1.
2.
3.
4.
5.

Alat
Kantong plastik ukuran 30x200mm
Kertas saring ukuran 3x15cm
Lidi bambu
Penjepit
Mikroskop
Bahan

Tinja
Aquades steril

Cara kerja
1.
Plastik di isi aquades steril kurang lebih 5ml.
2.
Dengan lidi bambu, tinja di oleskan pada kertas saring sampai mengisi sepertiga
bagiannya tengahnya.
3.
Kertas saring di masukkan ke dalam plastik tersebut diatas. Cara memasukkan kertas
saring dilipat membujur dengan ujung kertas menyentuh permukaan aquades dan tinja jangan
sampai terkena aquades.
4.
Nama penderita, tangggal penamaan, tempat penderita, dan nama mahasiswa. Tabung di
tutup plastik/dijepret.
5.
Simpan selama 3-7 hari.
6.
Disentrifuge dan dimbil dengan pipet tetes kemudian diamati dibawah mikroskop.
4. Metode Kato

Alat
1.
Selophane
2.
Gelas preparat
3.
Karton berlubang
4.
Soket bambu
5.
Kawat saring
6.
Kertas minyak
Bahan
1.
Bahan yang di gunakan adalah larutan untuk memulas selophane terdiri dari 100 bagian
aquades (6%), 100 bagian gliserin, 1 bagian melachite green 3% dan tinja 30mg.
Cara kerja
1.
Sebelum pemakaian, pita selophane di masukkan ke dalam larutan melachite green selam
kurang lebih 24 jam.
2.
Di atas kertas minyak, di taruh tinja sebesar butir kacang, selanjutnya di atas tinja
tersebut di tumpangi dengan kawat saringan dan ditekan-tekan sehingga di dapatkan tinja yang
kasar tertinggal di bawah kawat dan tinja yang halus keluar di atas penyaring.

Dengan lidi, tinja yang sudah halus tersebut di ambil di atas kawat penyaring kurang
lebih 30mg, dengan menggunakan cetakan karton yang berlubang di taruh gelas preparat yang
bersih.
4.
Selanjutnya ditutup dengan pita selophane dengan meratakan tinja di seluruh permukaan
pita sampai sama tebal, dengan bantuan gelas preparat yang lain.
5.
Di biarkan dengan temperatur kamar selama 30-60 menit supaya menjadi transparan.
6.
Seluruh permukaan di periksa dengan menghitung jumlah semua telur yang ditemukan
dengan perbesaran lemah.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Nama
Metode
Cacing
Natif
Apung
H. Mori
Kato
Ascaris lumbricoides
Trichuris trichiura
Cacing tambang
Cacing pita
Ancylostoma duodenale
Necator americanus
Strongyloides stercoralis
Dari percobaan yang kami lakukan, hasil dari semua percobaan negatif.
Pada teknik Kato tidak di lakukan percobaan, tetapi hanya melakukan perhitungan jumlah telur
berdasarkan pengandaian pada penemuan sejumlah telur cacing dalam tinja yang ditulis hasil
pengamatan.
Diketahui : Ascaris lumbricoides
Berat feces adalah 0,5 mg dalam lubang karton, jumlah telur dalam 0,5 mg feces adalah 60 butir.
Digunakan feces anak-anak dan feces dewasa, berat feces yang dikeluarkan anak-anak adalah
100 gram/hari dan berat feces yang dikeluarkan orang dewasa adalah 150 gram/hari.
Ditanyakan :
3.

Jumlah telur keseluruhan pada feses anak-anak dan dewasa


2.
Jumlah cacing pada anak-anak dan dewasa
Jawab:
1.

Jadi, jumlah telur yang ditemukan pada feces anak-anak adalah 12000000 butir dan jumlah
cacingannya 60 ekor. Pada orang dewasa jumlah telur yang ditemukan adalah 18000000 dan
jumlah cacingnya adalah 90 ekor.
B.PEMBAHASAN
Identifikasi parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk memeriksa dengan
mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai sediaan yang telah dipulas. Hal yang
menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira ukuran dari bermacam-macam parasit tetapi
perbedaan individual tidak memungkinkan membedakan spesies hanya dengan melihat besarnya.
Tinja sebagai bahan pemeriksa harus dikumpulkan didalam suatu tempat yang bersih dan kering

bebas dari urine. Identifikasi terhadap kebanyakan telur cacing dapat dilakukan dalam beberapa
hari setelah tinja dikeluarkan. (Kurt, 1999)
Hasil pemeriksaan tinja yang telah dilakukan dengan metode natif, metode apung, metode harada
mori dan metode kato menunjukkan hasil yang negatif yang artinya bahwa tidak ditemukan telur
ataupun larva dalam tinja yang telah diperiksa. Hasil negatif pada semua metode yang
dilaksanakan dapat disebabkan antara lain:
Sampel atau feces diperoleh dari orang yang dehat (tidak terinfeksi cacing parasit usus)
2.
Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum. Misalnya
pada metode natif pada saat menusuk-menusukkan lidi bambu pada feces telur yang terdapat
pada feces tidak menempel pada lidi. Pada metode apung, pada saat larutan feces didiamkan
pada tabung reaksi, tabung reaksi goyang sehingga telur yang sudah terapung mengendap lagi.
3.
Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur cacing parasit maupun
larvanya.
4.
Praktikan kurang paham tentang urutan kerja pada masing-masing metode.
5.
Pada saat diambil fecesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan telur pada
feces.
Pemeriksaan feces pada dasrnya dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan secara kualitatif dan
pemeriksaan secara kuantitatif. Pemeriksaan feces secara kualitatif, yaitu pemeriksaan yang
didasarkan pada ditemukkan telur pada masing-masing metode pemeriksaan tanpa dihitung
jumlahnya. Pemeriksaan feces secara kuantitatif yaitu pemeriksaan feces yang didasarkan pada
penemuan telur pada tiap gram feces.(Gandahusada,2000)
Telur fertile bentuknya yaitu, telur oval lebar, mempunyai tiga lapis dinding yang terluar
bergerigi, terdapat rongga udara. Telur infertile bentuknya yaitu, telur lebih besar daripada yang
fertile, dengan ovum yang atrofi, tidak terdapat rongga udara.
Metode yang digunakan pada pemeriksaan feces masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan masing-masing metode antara lain:
1.

Metode natif : Murah, mudah dan cepat.


2.
Metode apung : Baik untuk semua jenis telur baik untuk infeksi berat dan ringan. Telur
yang ditemukan terpisah dari kotoran.
3.
Metode harada mori : Baik sekali untuk melihat infeksi cacing tambang dimana larvanya
jauh lebih besar dari telurnya.
4.
Metode kato : Bila digunakkan dalam penelitian lapangan tidak membutuhkan cover
glass, cover glass bisa diganti dengan cellophane tape, lebih murah. Dengan teknik lebih banyak
telur cacing dapat diperiksa sebab digunakkan lebih banyak tinja. Teknik ini disa digunakkan
untuk pemeriksaan tinja secara masal karena lebih sederhana dan murah. Morfologi telur cacing
cukup jelas untuk membuat diagnosis.
Kelebihan masing-masing metode yang digunakan antara lain:
1.

Metode natif : Sedikitnya feces yang digunakkan untuk infeksi ringan hanya untuk
pemeriksaan infeksi berat.
2.
Metode apung : membutuhkan waktu lebih lama, pada waktu pengambilan telur, telur
yang mengapung tidak terambil. Pada waktu menunggu baki atau tabung reaksi tersenggol
sehingga tidak mengapung dan hasilnya negatif.
1.

Metode harada mori : Membutuhkan waktu dan alat yang lebih lama.
4.
Metode kato : Pada metode kato kuantitatif, karena banyak telur yang dihitung bisa
menyebabkan jumlah telur pada feces hasilnya tidak akurat.
Pemeriksaan dengan metode natif, slide dengan pewarnaan permanen untuk bentuk tropozoid
harus dipersiapkan sebelum pemekatan. Slide dengan pewarnaan tambahan untuk melihat kista
dan ovum dapat dibuat dari hasil pemekatan tersebut. Dalam banyak keadaan, khususnya dalam
membedakkan Entamoeba histolytica dengan jenis amoeba lainnya, identifikasi sebagai
tindakkan sementara. Sediaan apus dengan pewarnaan permanen memungkinkan penelitian
terhadap detail selular.
Teknik Flotasi pada metode apung untuk konsentrasi kista dan telur berdasarkan perbedaan berat
jenis antara larutan kimia tertentu (1120 sampai 1210) dan telur larva cacing serta kista protozoa
(1050 sampai 1150). Terutama yang dipakai adalah larutan gula, NaCl atau ZnSO 4. Telur dan
Kista mengapumg dipermukkaan larutan yang lebih berat, sedangkan tinja tenggelam perlahanlahan ke dasar. Flotasi lebih baik dari pada sedimentasi pada pembuatan konsentrasi kista dan
telur, kecuali telur beroperkulum, telur Schistoma dan telur Ascaris yang tidak dibuahi. Flotasi
ZnSO4 biasanya sering dipergunakkan dan lebih baik dari flotasi gula, NaCl atau larutan garam
jenuh (Brine).
Cara pengapungan feces dicampur dengan larutan garam denagn berat jenis 1200 gram/cc,
sehingga telur cacing dan kista akan mengapung ke permukaan kemudian diambil sebagai bahan
pemeriksaan. Larutan dengan berat jenis 1200 gram/cc ini telur cacing Necator americanus,
Ancylostoma dupdenale, Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura tidak mengalami kerusakan,
tetapi larva dariSchistosoma sp, Strongyodes sp, Necator americanus, Ancylostoma
duodenaledan kista protozoa menjadi sangat menciut. Sebaliknya, telur Opisthorchis
sp danClonorchis sinensis berat jenisnya lebih besar dari 1200 gram/cc sehingga mengendap.
Cara menghitung telur pada pemeriksaan dengan metode kato kuantitatif. Penyelidikkan
mengenai penduduk yang terkena infeksi, diharapkan dapat menentukkan berat infeksi dengan
mendapatkan jumlah telur yang diperkirakan. Telur yang dikeluarkan setiap harinya berbedabeda, maka diperlukan perhitungan atas beberapa bahan, terdapat siklus dalam pembentukan
telur, pengaruh dari kepadatan tinja, makanan, pencernaan yang salah dan faktor-faktor lain yang
diketahui, dan pengeluaran telur tiap cacing mungkin berbeda untuk hospes yang berbeda.
Jumlah telur yang dikeluarkan tiap harinya lebih dapat dipercaya dari pada jumlah telur dalam
tiap gram tinja. Menghitung jumlah telur sebelum pengobatan dapat menentukan pengobatan
yang diperlukan dan menghitung jumlahnya setelah pengobatan dapatmenentukkan hasilnya.
(Brown, 1969)
Empat kriteria untuk infeksi oleh cacing parasit (Darwin Karyadi):
3.

Infeksi sangat ringan : 1-9 (15-149 butir telur)


Infeksi ringan : 10-24 (150-375 butir telur)
Infeksi sedang : 25-49 (375-749 butir telur)
Infeksi berat : > 50 (750 butir telur lebih)
Pemeriksaan kuantitatif Kato yang dilakukan hanya berdasarkan perkiraan yang ditentukkan
praktikan. Perhitungan yang dilakukan didapatkan hasil yaitu:
Infeksi pada orang dewasa termasuk infeksi ringan dengan 90 telur yang ditemukkan
pada 0,5 gram tinja.

Infeksi pada anak-anak termasuk infeksi ringan dengan 60 butir telur pada 0,5 tinja.
Infeksi oleh parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Diagnosis yang
berdasarkan gejala klinik saja kurang dapat dipastikkan, segingga harus dengan bantuan
pemeriksaan labolatorium. Bahan yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasit, untuk cacing
atau protozoa usus maka bahan yang diperiksa adalah tinja. Identifikasi terhadap kebanyakkan
telur cacing dapat dilakukan dalam bebrapa hari setelah tinja dikeluarkan.
V.KESIMPULAN DAN SARAN
A.KESIMPULAN
Pemeriksaan dengan metode natif, metode apung dan metode kato (kualitatif) adalah
mengatui infeksi cacing parasit pada orang yang diperiksa.
2.
Pemeriksaan kuantitatif dengan metode kato bertujuan untuk menentukan jumlah telur
yang terdapat dalam tinja yang diperiksa.
3.
Pemeriksaan dengan metode harada mori bertujuan untuk menentukkan dan
mengidentifikasi larva infektif dari cacing tambang dan mengetahui adanya infeksi cacing parasit
usus.
4.
Hasil yang didapat dari pemeriksaan adalah negatif yang artinya bahwa tidak ditemukkan
telur dalam tinja yang diperiksa.
B.SARAN
1.

Meningkatkan pengetahuan tentang penyakit parasit agar masyarakat dapat terhindar


dari zoonosis
1.
Membuang faeces pada tempatnya, untuk mencegah terjadinya infeksi cacing parasit
usus.
2.
Menghindari makanan, air, tanah yang terkontaminasi oleh tinja yang mengandung telur
atau larva parasit
3.
Menjaga kebersihan diri dan tempat tinggal agat terhindar dari infeksi parasit.
DAFTAR PUSTAKA
Brown,
H.
W.
1969.
Dasar
Parasitologi
Klinis.
Gramedia,
Jakarta.
1.

Entjang, I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah
Menengah
Tenaga
Kesehatan
yang
Sederajat.
Citra
Aditya
Bakti,
Bandung.
Gandahusada,S.W .Pribadi dan D.I. Heryy.2000. Parasitologi Kedokteran.Fakultas kedokteran
UI,
Jakarta.
Kadarsan,S. Binatang
Kurt.

Parasit.

1999. Prinsip-Prinsip

Ilmu

Kedokteran
Neva,

F.A.

Lembaga
Penyakit

Biologi
Dalam

Nasional-LIPI,
Volume

2.

EGC,
and

H.W.Brown.

1994. Basic

Clinical

Bogor.

Penerbit

Buku
jakarta

Parasitology.

Appleton

and

Lange, New York.


Noble, R.N. 1961. An Illustrated Laboratory Manual of parasitology. Burgess publishing,
Minnesota.
Tierney, L. M., S. J. McPhee, M. A. Papadakis. 2002. Current Medical Diagnosis
and Treatment. Mc Graw Hill Company, New York.

You might also like