You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu bentuk glomerulonefritis akut (GNA) yang banyak dijumpai pada
anak adalah glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS). GNAPS dapat terjadi
pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6 - 7 tahun dan jarang pada usia
dibawah 2 tahun. Penelitian multi senter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5
- 15 tahun dengan rata-rata usia tertinggi 8,4 tahun dan rasio laki-laki : perempuan =
1,34 : 1.
Angka kejadian GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk asimtomatik lebih
banyak dijumpai dari pada bentuk simtomatik. Dinegara maju, insiden GNAPS
berkurang akibat sanitasi yang lebih baik, pengobatan dini penyakit infeksi, sedangkan
dinegara sedang berkembang insiden GNAPS masih banyak dijumpai di Indonesia dan
Kashmier, GNAPS lebih banyak ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah
masing-masing 68,9% dan 66,9%.
GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting, tetapi dapat juga
menyebabkan gagal ginjal aku. Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5%
diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh kuman Streptokokus beta
hemolitikus disaluran nafas atas dan kulit, sehingga pencegahan dan pengobatan
infeksi saluran nafas atas dan kulit dapat murunkan kejadian penyakit ini. Dengan
perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit ini dapat dikurangi.
GNAPS didahului oleh infeksi group A -hemolytic streptococci (GABHS)
melalui infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi (piodermi) dengan periode
late 1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di
Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus
sedangkan melalui kulit sebesar 31,6%.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Glomerulonefritis adalah suatu terminologi umum yang menggambarkan
adanya inflamasi pada glomerulus, ditandai oleh proliferasi sel-sel glomerulus akibat
proses imunologik. Istilah akut, misal glomerulonefritis akut (GNA), glomerulonefritis
akut pasca streptokokus (GNAPS) secara klinik berarti bersifat temporer atau suatu
onset yang bersifat tiba-tiba, sedangkan secara histopatologik didapatkan lekosit
polimorfonuklear dalam glomerulus.1
Istilah glomerulonefritis akut digunakan untuk menunjukan gambaran klinik
akibat perubahan-perubahan struktur dan faal dari peradangan akut glomerulus pasca
infeksi streptokokus.3
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS) ditandai oleh onset yang
tiba-tiba dari kombinasi gejala-gejala hematuria gros, sembab periorbita, dan hipertensi
dengan torak sel darah merah, serta adanya infeksi Streptokokus sebelumnya, GNAPS
penyebab terbanyak nefritis akut pada anak dinegara berkembang, sedangkan di
Negara maju terjadi dalam laju prevalensi yang rendah dengan sekali-sekali timbul
epidemi.1
Kumpulan semua penyakit glomerulus (parenkhim) baik primer maupun
sekunder dikenal dengan sindrom nefrotik akut (SNA). Etiologi sindrom nefrotik akut
sangat banya dan pasca infeksi streptokokus merupakan salah satu diantaranya yang
sangat penting.3
2.2 Etiologi
GNA dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit yang heterogen, seperti
misalnya Nefropati IgA, Nefritis Henoch-Schonlein, Nefritis lupus, Vakulitis ANCA
(antineutrophil cytoplasmic antibody), Glomerulonefritis karena virus (Hepatitis B,
Hepatitis C, HIV), Nefritis pirau, Glomerulonefritis mesangiokapiler dan GNAPS.
Istilah GNAPS berarti penyebabnya adalah Streptokokus -hemolitikus group A.
Untuk penyebab selain Streptokokus -hemolitikus grup A, biasanya disebut sebagai
glomerulonefritis akut pasca infeksi.1

Penyakit ini didahului infeksi saluran nafas bagian atas (faring atau tonsil) atau
kulit (impetigo) oleh streptokokus hemolitik golongan A tipe 12 (paling sering).
Golongan nefritogenik lainnya seperti tipe 1, 2, 4, 6, 23, 25, 49, 55, 57, dan 60; relatif
jarang penyebabkan glomerulonefritis.3
Periode antara infeksi saluran nafas atau kulit dengan gambaran klinik dari
kerusakan glomerulus dinamakan periode laten. Periode laten ini biasanya antara 1-2
minggu, merupakan ciri khusus dari penyakit ini sehingga dapat dibedakan dengan
sindrom nefritik akut karena sebab lainnya. Periode laten dari infeksi kulit (impetigo)
biasanya antara 8-21 hari.3
2.3 Patogenesis dan Patofisiologi
a) Patogenesis glomerulonefritis akut paska streptokokus
Periode laten atara infeksi streptokokus dengan gambaran klinik dan
kerusakan glomerulus menunjukan bahwa proses imunologi memang peranan
penting dalam patogenesis glomerulonefritis. Glomerulonefritis akut pasca
streptokokus merupakan salah satu contoh penyakit kompleks imun.
Pada penyakit kompleks imun, antibody dari tubuh (host) akan bereaksi
dengan antigen-antigen yang beredar dalam darah (circulating antigen) dan
komplemen

untuk

membentuk

circulating

immunne

complexes.

Untuk

pembentukan circulating immunne complexes ini diperlukan antigen dan antibody


dengan perbandingan 20:1. Jadi antigen harus lebih banyak atau antibody lebih
sedikit. Antigen yang beredar dalam darah (circulating antigen), bukan berasal dari
glomerulus seperti penyakit anti-GBM, tetapi bersifat heterolog baik eksogen
maupun endogen (aetolog). Kompleks imune (circulating immune complexes) yang
beredar

dalam darah dalam jumlah

banyak dan waktu

yang

singkat

menempel/melekat pada kapiler kapiler glomeruli dan terjadi proses kerusakan


mekanis

melalui

aktivasi

sistem

komplemen,

mikrokoagulasi.3

Kompleks imun pada glomerulus

reaksi

peradangan

dan

Aktivasi sistem komplemen

aktivasi kaskade koagulasi

(complement consumption)

Pengikatan monosit polimorf

Kerusakan glomerulus

Agregasi trombosit
Fibrin
Kinin

Sindrom Klinik
1. Mekanisme aktivasi sistem komplemen
Komplemen merupakan mediator untuk menimbulkan kerusakan alergi humoral
melalui cara klasik atau alternatif. Cara klasik dimulai dengan aktivasi 9 macam
komplemen protein yaitu C1, C2, C3, C4... C9. Aktivasi sistem komplemendimulai
dari komplemen antigen-antibodi, biasanya IgA dan IgM. Komplemen C1 akan
mengadakan ikatan dengan 2 komplemen berikutnya yaitu C2 dan C4 untuk
membentuk ikatan C42. Ikatan C42 ini dikenal sebagai C3 konvertase, ialah suatu
enzim proteolitik yang akan memecahkan komplemen C3 menjadi C3a dan C3b.
Komponen C3b akan menempel pada sel-sel dimana terdapat kompleks antigen
antibodi untuk membentuk ikatan C423. Ikatan C423 adalah suatu C3 pepidase.
Komponen C423 ini mempunyai sifat atau efek katalitik untuk mengaktivasi
komponen komplemen berikutnya yaitu C5 menjadi C5a dan C5b. Komponen C5b
Mengikuti C6 dan C7 untuk membentuk ikatan baru C567. Komplemen C567
dengan kompelemen C8 membentuk ikatan baru yaitu C5678 (C5,8) yang
mempunyai sifat atau efek biologik untuk merusak sel-sel membran basalis.
Komponen C567 tadimepunyai efek biologik sebagai faktor khemotaktik. Ikatan
komponen C5678 (C5,8) ini dapat mengikuti komplemen C9 untuk membentuk
ikatan C56789 atau disingkat C5,9 yang mempunyai efek biologik menyebabkan
lisis sel-sel.
Jadi kerusakan dari membran basalis baru menjadi setelah terbentuk ikatan-ikatan
dengan C8 dan C9.
Proses kerusakan alergi humoral melalui cara alternatif sedikit berlainan. Pada cara
alternatif ini dimulai dengan sistem properdin yaitu endotoksin atau IgA. Cara
alternatif ini merupakan rangkaian kerja langsung artinya tanpa melalui aktivasi

komplemen C1, C2, dan C4 seperti pada cara klasik. Rangkayan kerja langsung ini
disebut juga cara rangkaian kerja langsung artinya tanpa melaui aktivasi
komplemen-komplemen seperti pada cara rangkaian klasik tadi.
Aktivasi komplemen-komplemen merupakan dasar kerusakan sel-sel kapiler
glomerulus. Komponen-komponen C3a, C3b dan C567, mempunyai efek biologik
yakni sebagai faktor khemotaktik yang dapat menyebabkan sel-sel lekosit PMN
keluar dari pembuluh darah ke jaringan, kemudian mengeluarkan enzim lisosomal,
terjadi kerusakan atau fragmentasi dari membran basalis. Kerusakan membran
basalis ini akan mempermudah terjadi agregasi trombosit. Komponen C3a dan C3b
selain mempunyai efek biologik sebagai faktor khemotaktik, juga sebagai
anafilatoksin yang dapat melepaskan histamin oleh mast cell. Histamin ini dapat
mempengaruhi permeabilitas kapiler-kapiler glumeruli dan mempermudah
pengendapan kompleks imun.
Komponen C3b juga mempermudah dan membantu perlengkapan imun sehimgga
terjadi fagositosis sel-sel lekosit PMN.
2. Peranan sistem kinin dan mikrokoagulasi
Aktivasi sistem komplemen, sistem kini dan proses mikrokoagulasi
mempunyai hubungan erat satu sama lain untuk menyebabkan kerusakan atau
reaksi inflamsi. Kompleks imun (soluble antigen-antibody compexes) menempel
pada dinding kapiler glomerulus dan menimbulkan reaksi inflamasi walaupun
peranannya tidak begitu besar. Proses koagulasi dapat menyebabkan kerusakan
pada dinding kapiler glomerulus karena terbentuk mikrotrombi dan proses
peradangan. Proses peradangan ini dapat terjadi akibat langsung dari aktivasi
sistem kinin, melalui aktivasi faktor XII (Hageman) akan menyebabkan
pembentukan trombi.
Trombi-trombi ini akan meningkatkan aktivasi sistem komplemen C3 (C3
consumtion) sehingga akan memperberat kerusakan jaringan, aktivasi faktor XII
akan mempengaruhi perubahan kallikreinogen menjadi kallikrein. Kallikrein ini
akan mengubah kininogen menjadi kinin sehingga zat-zat aminevasoaktif seperti
slow reacting substance-A (SRS-A), serotonin dan histamin akan meningkatkan
permeabilitas kapiler-kapiler glomerulus.
B. Patofisiologi (fisiologi abnormal) dari beberapa gejala glomerulonefritis akut
pasca streptokokus.
1. Kelainan urinalisis : proteinuria dan hematuria

Kerusakan dinding kapiler glomerulus lebih permeabel dan porotis terhadap protein
dan sel-sel eritrosit, sehingga terjadi proteinuria dan hematuria.
2. Sembab
Mekanisme retensi natrium Na+ dan sembab pada glomerulonefritis tanpa
penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan mekanisme sembab
pada sindrom nefrotik
Penurunan faal ginjal LFG tidak diketahui sebabnya, mungkin akibat kelainan
histopatologi (pembengkakan sel-sel endotel, proliferasi sel mesangium, oklusi kapilerkapiler) glomeruli. Penurunan faal ginjal LFG ini menyebabkan penurunan ekskresi
natrium Na+ (natriuresis), akhirnya terjadi retensi natrium Na+. Keadaan retensi natrium
Na+ ini diperberat oleh permasukan garam natrium dari diet. Retensi natrium Na+ disertai
air menyebabkan dilusi plasma, kenaikan volume plasma, ekpansi volume cairan
ekstraseluler, dan akhirnya terjadi sembab.
Jadi retensi natrium (Na+) pada glomerulonefritis tidak disertai penurunan tekanan onkotik
plasma.
Teoritis oklusi kapiler-kapiler glomeruli akan merangsang mekanisme sistem renin

angiotensin aldosteron (RAA).


Kenaikan angiotensin II merangsang kortek kelenjar adrenal untuk meningkatkan sekresi
hormon aldosteron, hormon aldosteron ini mengpengaruhi faal tubulus ginjal untuk
reabsorpsi natrium (Na+) sehingga akan terjadi retensi natrium (Na+) sehingga akan
terjadi retensi natrium (Na+) ini akan bersama-sama dengan retensi air (H2O).
Kenaikan volume plasma, volume cairan ekstraselluler, dan dilusi plasma, akan
menyebabkan kenikan tekanan darah, cardiac output, dan mempengaruhi reflek
baroreseptor. Ketika faktor tersebut akan mempengaruhi ginjal : kenaikan aliran darah
keginjal (renal plasma flow), kenaikan tekanan metabolisme natrium (Na+) dan tekanan
darah kembali normal (normotensi).
3. Hipertensi
Patogenesis

hipertensi

ginjal

sangat

kompleks.

LEDINGHAM

(1971)

mengemukakan hipotesis mungkin akibat dari 2 atau 3 faktor berikut :


a. Gangguan keseimbangan natrium ini memegang peranan dalam genesis
hipertensi ringan dan sedang.

b. Peranan sistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya pada hipertensi berat.


Hipertensi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat menurunkan
konsentrasi renin, atau tindakan drastis nefrektomi.
c. Substansi renal medullary hypotensive factor , diduga prostaglandin.
Penurunan konsentrasi dari zat ini menyebabkan hipertensi.
4. Bendungan sirkulasi
Bendungan sirkulasi merupakan salah satu ciri khusus dari sindrom nefrotik akut,
walaupun mekanismenya masih belum jelas.
Beberapa hipotesis telah dikemukakan dalam keputakaan antara lain:
a. Vaskulitis umum
Gangguan pembuluh darah umum (generalized vascular defect) dicurigai
merupakan salah satu tanda kelainan patologi dari glomerulonefritis akut,
kelainan-kelainan pembuluh darah ini menyebabkan transudasi caiaran ke
jaringan intertisial dan terjadi sembab.
b. Penyakit jantung hipertensif
Bendungan sirkulasi paru akut (acute pulmonary edema) diduga
berhubungan dengan hipertensi yang dapat terjadi pada glomerulonefritis
akut. Hipertensi ringan atau sedang yang timbulnya akut sangat diragukan
sebagai penybab dari bendungan peru.
Radiologi bentuk jantung tidak menyerupai bentuk jantung hipertensif.
Hipertensi merupakan salah satu gambaran klinis dari sindrom nefritis akut.
c. Miokarditis
Pada sebagian pasien glomerulonefritis tidak jarang ditemukan perubahanperubahan elektrokardiogram : gelombang T terbalik pada semua lead baik
standar maupun procardial. Perubahan-perubahan gelombang T yang tidsk
spesifik ini mungkin berhubungan dengan miokarditis.
d. Retensi cairan dan hipervolume tanpa gagal jantung
Hipotesis ini dapat menerangkan gejala bendungan paru akut , kenaikan
cardiac output, ekspansi volume cairan tubuh. Semua perubahan
patofisiologis ini akibat retensi matrium dan air.
Menurut HURST (1974) mekanisme bendungan paru akut pada glomerulonefritis
akut sangat kompleks, banyak faktor turut menyebabkan kenaikan venous return, dan kerja
jantung meningkat seperti : Retensi dan natrium dan air, hipervolemi, anemia, delusi,
kenaikan tahanan perifer (rersistensi arteriole), dan kenaikan cardiac output.

2.2 Klasifikasi
2. Kongenital atau Herediter
Sindrom Alport : suatu penyakit herediter yang ditandai dengan oleh adanya
gluronefropati progresif familial yang sering disertai tuli saraf dan kelainan
mata seperti misalnya lentikonus anterior. Lelaki dan perempuan dapat
terserang, tetapi biasanya lelaki lebih berat. Semua pasien lelaki akan
mengalami gagal ginjal kronik dengn progresifitas yang bervarisi dalam
nyencapai tahap akhir diperkirakan sindrom Alport merupakan penyebab dari
kira-kira 3% anak dengan gagal ginjal kronik dan 2,3% dari semua pasien yang
mendapatkan cangkok ginjal. Dalam suatu seri penelitian terhadap anak dengan
hematuria yang dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal, 11% diantaranya ternyata
menderita sindrom Alport.
Pada awall penyakit gambaran histopatologis tidak menunjukkan kelainan yang
berarti gluromelurus tampak normal, atau kadang-kadang menunjukkan
hiperselularitas mesangial fokal yang nonspesifik dan penebalan dinding
kapiler. Dengan berlanjutnya penyakit, akan terjadi perubahan yang semakin
nyata dalam glomerulus berupa proliferasi sel dan matriks mesangial,
penebalan dinding kapiler dan perubahan tubulointertstitial berupa fibrosis
interstitial atrofi dan dilatasi tubulus, penebalan membran basal tubulus dan
terbentuknya sel-sel busa.
Sindrom Alport diperkirakan timbul sebagai akibat terjadinya defek
molekular pada membran basal glomerulus. Pengamatan ultra struktur
menunjukkan adanya atenuasi, disrupsi, dan duplikasi atau laminasi yang hebat
pada lamina densa. Diduga terjadi sebagai akibat defek metabolik herediter
yang menimbulkan gangguan sintesis protein yang abnormal dalam membran
basal glomerulus. Sindrom Alport diturunkan secara X/linked dominant atau
secara autosomal dominan maupun autosomal resesif.
Gejala klinis utama adalah hematuria, umumnya berupa hematuria
mikroskopik dengan eksaserbasi hematuria nyata yang timbul pada saat
menderita infeksi saluran nafas atas. Episode hematuria nyata yang didahului
oleh infeksi saluran nafas atas sering diduga suatu nefropati IgA atau
glomerulonefritis akut pascastreptokokus. Pasien lelaki umunya lebih parah
dari perempuan. Hematuria pada anak-anak dapat diketahui sejak awal tahun
pertama hidupnya dan bahkan pernah dilaporkan telah terlihat sejak lahir.

Meskipun hematuria miskropkopis didapatkan pada sebagian besar pasien


perempuan, tetapi 10-15% diantaranya tidak menunjukkan hematuria.
Diagnosis sindrom Alport ditegakkan melalui anamnesis, terdapatnya ketulian
jenis sensorineural, lentikonus dan kelainan ultrastruktur yang karakteristik
pada membran basal glomerulus. Belum ditemukan pengobatan sindrom
Alport, oleh karenanya penyakit ini umumnya progresif yang mencapai
puncaknya dengan terjadinya gagal ginjal tahap akhir pada anak lelaki yang
akan memerlukan dialisis dan transplantasi ginjal. Beberapa pasien
menunjukkan adanya autoantibody terhadap membran basal glomerulus bila
mereka menjalani transplantasi ginjal dari donor sehat. Untungnya hal ini
jarang terjadi dan tidak merupakan kontraindikasi transplantasi ginjal.
Sindrom Nefrotik Kongenital : sindrom nefrotik yang telah terlihat sejak atau
bahkan sebelum lahir. Gejala proteinuria masif, sembab dan hipoalbumia
kadangkala baru terdeteksi beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian.

Kelaianan glomerular dapat terjadi akibat kelainan Imunologis (glomerulonefritis


pasca streptokokus, GNPS), kelainan bawaaan (sindrom Alport), atau toksin (sindrom
hemo;otik uremik). Anak dengan hematuria glomerular dan memiliki manifestasi klinis
kelainan glomerular (proteinuriaa, hipertensi, edema, oliguria, dan insufisiensi ginjal)
disebut degan mengalami glomerulonefritis. Respon inflamasi yang dimediasi sistem
imun merupakan mekanisme yang terjadi pada glomerulonefritis proliferatif, paling
sering adalah GNPS. GNPS umumnya terjadi selama atau setelah faringitis
streptokokus. Respons imunologis terhadap protein bakteri mengalami deposisi di
dinding kapilar glomurulus yang selanjutnya memicu aktivasi komplemen insitu dan
mengakibatkan proliferasi sel dan cedera glomerulus.
Hanya streptokokus grup A strain nefritogenik yang memicu reaksi seperti itu.
Usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan predisposisi genetik mempengaruhi
kerentanan seseorang untuk terkena GNPS. Anak yang sering terkena umumnya
berusia 2-12 tahun dan lebih banyak mengenai anak lelaki. Lingkungan padat, higiene
buruk, malnutrisi, dan keterlambatan terapi dapat menyebabkan kejadian luar biasa.

You might also like