You are on page 1of 15

TUGAS KELOMPOK

TENAGA KESEHATAN PADA SARANA KEFARMASIAN DI INDONESIA

Mata Kuliah :
Perundang-undangan Kesehatan

Disusun oleh :
Gisella Vibriossy Hapsari

14.0407

Vania Suriadinata

14.0417

AKADEMI FARMASI THERESIANA


SEMARANG
2016

DAFTAR ISI

Halaman judul
Daftar isi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat Penulisan
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB III. PEMBAHASAN
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia, hal ini tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H yang menyatakan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pada pasal 34 ayat 3
menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah berkewajiban
untuk menyehatkan yang sakit dan berupaya mempertahankan yang
sehat untuk tetap sehat. Berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinan setiap orang
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian
kesehatan selain sebagai hak asasi manusia, kesehatan juga
merupakan suatu investasi.
Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan
pemberi

pelayanan

peranan

penting

kesehatan

karena

kepada

terkait

masyarakat mempunyai

langsung

dengan

pemberian

pelayanan, khususnya pelayanan kefarmasian. Sejalan dengan


perkembangan

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi

di

bidang

kefarmasian, telah terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian


dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang
komprehensif dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat
namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan
pemberian informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar

dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan


akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication
error).
Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan salah
satu sub sistem pelayanan yang berorientasi pada pasien. Pelayanan
kefarmasian ini mengarahkan pasien tentang kebiasaan / pola hidup
yang mendukung tercapainya keberhasilan pengobatan, memberi
informasi tentang program pengobatan yang harus

dijalani pasien,

memonitor hasil pengobatan dan bekerja sama dengan profesi lainnya


untuk mencapai kualitas hidup yang optimal bagi pasien.

Dalam

uraian di atas semua peranan yang telah dipaparkan merupakan tugas


Tenaga Kefarmasian dalam memberikan pelayanan kefarmasian
disarana pelayanan farmasi, salah satu contohnya Apotek dan
Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran tenaga kesehatan pada sarana kefarmasian di
Indonesia ?
2. Apa peran tenaga kefarmasian di rumah sakit ?
C. Manfaat Penulisan
1. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan
peran

tenaga

kefarmasian

di

kefarmasian
sarana

dalam

melaksanan

pelayanan

sehingga

masyarakat

kefarmasian

mendapatkan pelayanan yang memadai.


2. Mengetahui peran tenaga kesehatan

khususnya

kefarmasian pada sarana kefarmasian di rumah sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

tenaga

Sistem praktek kefarmasian dapat diartikan sebagai bagan integral


dari sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan terpadu, terdiri dari struktur
dan fungsi jaringan pelayanan kefarmasian. Praktek kefarmasian adalah
upaya penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dalam rangka pemeliharaan
kesehatan dan pencegahan penyakit bagi perorangan, keluarga, kelompok
dan masyarakat. Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36
Tahun 2009 yaitu meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan / atau keterampilan
melalui pendidikan

di

bidang kesehatan

yang

untuk jenis tertentu

memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (UU No.36


Tahun 2014), sedangkan yang dimaksud dengan tenaga kefarmasian adalah
tenaga kesehatan yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian / TTK (PP RI No. 51 Tahun 2009).
Berdasarkan

PP RI

No.

51 Tahun

2009

tentang

Pekerjaan

Kefarmasian, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai


apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Sedangkan yang
dimaksud sebagai tenaga teknis kefarmasian / TTK adalah tenaga yang
membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah
Farmasi / Asisten Apoteker.

Rumah

sakit

adalah

institusi

pelayanan

kesehatan

yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang


menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah
sakit yang didirikan dan diselenggarakan oleh pemerintah merupakan unit
pelaksana teknis dari instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya di
bidang kesehatan ataupun instansi pemerintah lainnya (PerMenKes No.56,
2014). Empat fungsi dasar rumah sakit adalah pelayanan penderita,
pendidikan,

penelitian

dan

kesehatan

masyarakat

(Siregar,

2004).

Berdasarkan PerMenKes No.58 Tahun 2014, instalasi farmasi adalah unit


pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit. Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan
Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan
farmasi klinik.
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi, mencegah,dan menyelesaikan masalah terkait Obat.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu. Pelayanan
Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang
berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan
Kefarmasian (pharmaceutical care). Pelayanan Kefarmasian sebaiknya
dilaksanakan secara komprehensif dan simultan baik yang bersifat manajerial
maupun farmasi klinik. Strategi optimalisasi harus ditegakkan dengan cara
memanfaatkan Sistem Informasi Rumah Sakit secara maksimal pada fungsi
manajemen kefarmasian, sehingga diharapkan dapat terjadi efisiensi tenaga
dan

waktu.

Efisiensi

yang

diperoleh

kemudian

dimanfaatkan

untuk

melaksanakan fungsi pelayanan farmasi klinik secara intensif. Peraturan

perundang-undangan

tersebut

dan

perkembangan konsep

Pelayanan

Kefarmasian, perlu ditetapkan suatu Standar Pelayanan Kefarmasian dengan


Peraturan Menteri Kesehatan, sekaligus meninjau kembali Keputusan
Menteri

Kesehatan

Nomor

1197/Menkes/SK/X/2004

Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

BAB III

tentang

Standar

PEMBAHASAN
Pemilik warung kelontong di tepi Jalan Raya Siliwangi, Pamulang,
Tangerang Selatan sebut saja A mengeluarkan sejumlah obat bebas dari dus
kecil tanpa mengetahui kapan tanggal kadaluwarsa obat tersebut. Beberapa
obat dibeli potongan sehingga tanggal kadaluwarsanya ikut terpotong.
Sementara sebagian besar obat diselimuti debu tebal karena warung tersebut
berada di tepi jalan raya. Satu obat dengan kandungan parasetamol yang
utuh kemasannya tampak berubah warna karena berdebu, di sebaliknya,
sebagian lapisan aluminium kemasan obat sobek dan terlihat tanggal
kadaluwarsanya pada Juni 2015. Selain itu A juga menjual obat secara
berkeliling yang dijajakan dengan menggunakan mobil yang daun pintunya
tertulis Primer Koperasi Veteran RI. Selama 15 tahun berjualan, A dibantu
rekannya U. Penjualan obat keliling itu berlangsung hampir 15 tahun. Obat
yang dijual adalah obat generik yang dikelola Koperasi. Obat keliling Primer
Koperasi Veteran RI itu buka di kawasan Pasar Jatinegara, area parkir Pasar
Klender (Jakarta Timur), area parkir Gelanggang Remaja Senen (Jakarta
Pusat), dan area parkir Metropolitan Elektronik Bekasi (Bekasi). Obat yang
dijual adalah obat untuk berbagai penyakit yang dibungkus plastik transparan
berisi 2-5 jenis obat. Penjualan obat tersebut dilakukan tanpa adanya
pengawasan dari apoteker. Kasus tersebut mengungkapkan bahwa di
sejumlah toko kelontong yang menjual obat menunjukkan mudahnya
memperoleh obat pada jaman sekarang ini. Kemudahan itu membuka
peluang besar peredaran obat palsu, obat kedaluwarsa, obat tanpa izin edar,
hingga obat-obatan yang mengandung bahan berbahaya. Di sarana farmasi
pun dijumpai pelanggaran aturan penjualan obat. Obat dengan resep dokter,
yang seharusnya hanya bisa dibeli di apotek, nyatanya dapat dibeli bebas di
toko obat, toko kelontong, dan apotek meski tanpa resep dokter. Padahal,
keterangan di kemasan obat menyebut harus dengan resep dokter. Pola

penjualan dan distribusi obat yang serampangan serta perilaku masyarakat


yang mau mudah mendapat obat dan sembuh dengan cepat membuat
maraknya peredaran obat yang menyalahi aturan, itu membuka peluang
masuknya obat palsu, obat dengan zat aktif tak sesuai, dan mengancam
nyawa konsumen. Berbagai masalah yang muncul di lapangan menunjukkan
buruknya manajemen kefarmasian di Indonesia. Deputi Bidang Pengawasan
Produk Terapeutik Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif BPOM Tengku
Bahdar Johan Hamid mengakui, terlalu banyak masalah dalam distribusi
kefarmasian di Indonesia saat ini. Pengawasan BPOM terbatas pada
produknya dan pengawasan di sarana kefarmasian oleh Kementerian
Kesehatan lewat dinas kesehatan di daerah. Dinas kesehatan umumnya tak
punya sumber daya pengawasan. Data BPOM tahun 2014 menyebut, 84,16
% dari 8.510 sarana kefarmasian seperti apotek, toko obat, instalasi farmasi
rumah sakit, klinik atau balai pengobatan, dan puskesmas melanggar
ketentuan distribusi obat. Pada 2015, jumlahnya turun jadi 81,89% dari 7.516
sarana. Pelanggaran yang dilakukan sarana kefarmasian itu antara lain tak
memiliki izin, tak punya tenaga kefarmasian, dan penyimpanan obat tidak
baik. Ada pula yang menjual obat tanpa izin edar, tidak memusnahkan obat
kedaluwarsa, atau menjual obat keras tanpa resep dokter. Obat adalah
produk yang distribusinya diatur ketat oleh regulasi. Namun, fakta di
lapangan menunjukkan betapa mudahnya masyarakat mendapatkan obat
tanpa resep dokter di apotek, obat keras di toko obat, bahkan di warung
pinggir jalan sekalipun. Mudahnya mendapatkan obat di berbagai tempat
umum mencerminkan lemahnya pengawasan distribusi produk farmasi di
Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(Badan POM), di tahun 2014, Badan POM telah menyita obat ilegal dengan
total nilai mencapai Rp24 miliar dan pelanggaran hingga 583 kasus. Sanksi
terhadap penjualan bebas obat-obatan keras yang penjualannya harus
menggunakan resep dokter terdapat dalam Undang-undang No.36 Tahun

2009 tentang Kesehatan. Dalam pasal 198 UU tersebut dikatakan bahwa


pendistribusian atau penjualan obat-obatan yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak punya keahlian dan kewenangan dikenakan sanksi denda
maksimum Rp100 juta. Jika obat yang diedarkan atau dijual tersebut tidak
terdaftar, atau produk obatnya tidak memiliki izin edar, maka sanksinya lebih
berat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 197, yaitu sanksi berupa
kurungan maksimal 15 tahun penjara atau denda maksimum Rp1,5 miliar.
Setiap hubungan hukum pasti mempunyai 2 (dua) sisi hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban harus dibedakan dengan hukum karena
hak dan kewajiban mempunyai sifat individual, melekat pada individu,
sedangkan hukum bersifat umum, berlaku pada setiap orang. Hak
pasien dapat muncul dari hubungan hukum antara tenaga kesehatan dan
pasien dan muncul dari kewajiban profesional tenaga kesehatan berdasarkan
ketentuan-ketentuan profesi. Menurut Fred Ameln hak pasien meliputi hak
atas informasi, hak memilih sarana kesehatan, hak atas rahasia kedokteran,
hak menolak pengobatan, hak menolak suatu tindakan medik tertentu, hak
untukmenghentikan pengobatan, hak melihat rekam medis, hak second
opinion.Tanggung jawab hukum tenaga kesehatan dimaksudkan sebagai
keterkaitan seorang tenaga kesehatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum
dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab hukum tersebut meliputi
Bidang hukum pidana, UU No. 36 Tahun 2009, pasal 190-200 dan pasalpasal dalam KUHP seperti pasal 48-51, 224, 267-268, 322, 344-361, 531 dan
pasal 535, Bidang hukum perdata, khususnya mengenai ketentuan-ketentuan
pada buku II KUH Perdata tentang perikatan dan pasal 58 UU no. 36. Tahun
2009 tentang Kesehatan. Sehubungan dengan tanggung jawab hukum
tenaga kesehatan di bidang hukum perdata ini, ada 2 (dua) bentuk
pertanggungjawaban

tenaga

kesehatan

yang

pokok

yaitu

pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena wanperstasi dan

pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan karena melawan


hukum.
Pada

dasarnya

pertanggunngjawaban

perdata

bertujuan

untuk

memperoleh kompensasi atas kerugian yang diderita selain untuk mencegah


terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Karena itu baik wanprestasi maupun
perbuatan melawan hukum merupakan dasar untuk menuntut tanggung
jawab tenaga kesehatan.Dalam hukum pidana, untuk dapat dipidanakan
suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban haruslah
memenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu Adanya kemampuan bertanggung jawab pada
petindak, artinya keadaan jiwa petindak harus normal. Adanya hubungan
batin antara petindak dan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan
(dolus) atau kealpaan (culpa).Tidak adanya alasan penghapusaan kesalahan
atau pemaaf.Dalam pertanggungjawaban karena kesalahn ini, pihak yang
dirugikan harus membuktikan adanya kesalahan tenaga kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan. Namun karena tindakan yang dilakukan
tenaga kesehatan hanya menyangkut kewajiban untuk berupaya, sulit untuk
membuktikan keslahan atau kelalaian dan sikap kurang hati-hati. Kewajiban
berusaha didasarkan pada suatu standar profesi yang ditentukan oleh
kelompok profesi itu sendiri dan penilaian terhadap penyimpangannya hanya
dapat dilakukan oleh mereka. Jadi, pasien tidak mempunyai cukup informasi
untuk membuktikannya. Oleh sebab itu kelompok profesi harus memiliki
kesadaran hukum dalam menjalankan tugas demi kehormatan profesi itu
sendiri.Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi
dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 197 menyebutkan
bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi ataumengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).Walaupun begitu

masyarakat tetap tidak memperdulikan larangan tersebut demi kepentingan


pribadi. Masih saja mengedarkan obat-obatan yang tidak memiliki izin
dengan cara apapun. Masalah ini merupakan masalah serius di dunia
kesehatan. Kurangnya informasi terhadap obat-obatan ilegal juga membuat
masyarakat konsumen terjerumus, bagi masyarakat pelaku peredaran obat
ilegal, kurangnya informasi tentang akibat-akibat yang ditimbulkan karena
adanya peredaran obat illegal dan sanksi yang mereka terima apabila
mengedarkan obat-obatan illegal tersebut juga mempengaruhi tindakan ini.
Karena pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud
derajat kesehatan masyarakat yang optimal, pembangunan kesehatan
tersebut tidak hanya merupakan kewajiban dari warga masyarakat, tetapi
juga merupakan tugas dan tanggung jawab atau kewajiban dari pemerintah
untuk

merencanakan,

mengatur,

menyelenggarakan,

membina

dan

mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau


oleh masyarakat yang berarti bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan
yang dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan masyarakat
termasuk swasta.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Peran tenaga kesehatan pada sarana kefarmasian di Indonesia
adalah sebagai penanggung jawab di industri farmasi pada
bagan pemastian mutu (Quality Assurance), produksi, dan
pengawasan mutu (Quality Control). Sebagai penanggungjawab
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yaitu di apotek, diInstalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS), puskesmas, klinik, toko obat, atau
praktek bersama.
2. Peran tenaga kefarmasian di Rumah Sakit adalah mewakli
komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi,
sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili spesialis
yang ada di rumah sakit dan apoteker yang mewakili Instalasi
Farmasi RS, serta tenaga kesehatan lainnya dengan tujuan
Menerbitkan kebijakan mengenai pemilihan obat penggunaan
obat serta evaluasinya serta melengkapi staf profesional di
bidang

kesehatan

dengan

pengetahuan

terbaru

yang

berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai


dengan kebutuhan.

B. Saran

1. Perlu adanya pelatihan pelatihan guna membangun etika dan


karakter tenaga kefarmasian dalam praktek kerjanya di sarana
kefarmasian.
2. Perlu diberitahukan sanksi dan dasar hukum bagi tenaga
kesehatan khususnya tenaga kefarmasian di rumah sakit
secara lebih mendalam.

DAFTAR PUSTAKA

Siregar, J.P.C. dan Amalia, L. 2004.Farmasi Rumah Sakit Teori dan


Penerapan. Jakarta : EGC
http://www.kopertis12.or.id/2016/08/08/peredaran-obat-tak-terkendali-lebihdari-80-sarana-kefarmasian-menyalahi-aturan.html
Peraturan :
Undang undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Undang undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Farmasi

Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan


Perizinan Rumah Sakit.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.

You might also like