Professional Documents
Culture Documents
merupakan dampak dari penangkapan ikan berlebih. Salah satu penangkapan berlebihan
adalah perburuan sirip hiu yang belebihan dan akibatnya akan mengganggu ekosistem
laut secara keseluruhan. Perubahan komposisi spesies di dalam suatu ekosistem akan
terjadi bila pasca penangkapan ikan berlebih terhadap satu spesies maka energi pada
ekosistem akan mengalir ke spesies yang tidak ditangkap/sedikit tertangkap.
Seperti diketahui pada penangkapan jenis ikan tertentu, ikan ditangkap karena
sudah mencapai ukuran tubuh tertentu, dan ikan berukuran kecil tidak ditangkap
kalaupun tertangkap akan dilepaskan kembali. Bila ikanikan yang berdasarkan ukuran
tubuh ditangkap berlebih akan menyebabkan ikan yang tersisa di populasi merupakan
ikan berusia muda yang masih jauh dari tahap kematangan seksual sehingga terganggu
populasinya, tangkapan berikutnya bisa menjadi lebih sedikit/berukuran kecil.
Penangkapan berlebihan di samping terjadi penurunan populasi juga akan
mempengaruhi keseimbangan ekosistem. Menghabisi spesies pada tingkatan trok
tertentu akan mengakibatkan tingkatan trok di atasnya tidak mendapatkan
mangsa/makanan. Dan agar tidak rusak serta populasi habis di masa akan datang maka
perlu adanya pengelolaan perikanan.
Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem
terhadap pengelolaan perikanan menjadi sangat penting. Berdasarkan beberapa keadaan
dan permasalahan tersebut perlu dilakukan penulisan artikel ilmiah mengenai
Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem secara Terpadu dalam rangka turut
memberikan masukan kepada pihak terkait.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan artikel ini yaitu:
1. Untuk mengetahui konsep tentang pengelolaan perikanan berbasis ekosistem
secara terpadu,
2. Untuk mengetahui pentingnya basis ekosistem dalam pengelolaan perikanan, dan
3. Untuk mengetahui implementasi dari pengelolaan perikanan berbasis ekosistem
secara terpadu.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada
perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009.
Dalam konteks adopsi hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai
semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundang-undangan di
bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan
untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang
telah disepakati.
Secara alamiah, pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi
yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan
ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial
ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001).
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, guna menjamn keberlangsungan kegiatan usaha
perikanan tangkap terhadap nelayan dan/atau pelaku usaha di bidang perikanan yang
terkena dampak akibat diterapkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela
(trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia, perlu dilakukan penataan pemanfaatan pengalihan dan/atau penggantian alat
penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets). Dengan sudah adanya
peraturan ini, memudahkan dalam melakukan pengelolaan perikanan dengan pendekatan
ekosistem.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan ekosistem
perairan tropis memiliki karakteristik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di
dalamnya sumberdaya ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika sumber daya ikan ini tidak
terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis yang telah menjadi salah satu ciri dari
ekosistem tropis. Pengelolaan perikanan tujuannya adalah memberikan manfaat tidak
dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya
ikan itu sendiri. Interaksi antara komponen abiotik dan biotik dalam kesatuan fungsi dan
proses ekosistem perairan menjadi salah satu komponen utama mengapa pendekatan
ekosistem menjadi sangat penting. Interaksi bagaimana iklim mempengaruhi dinamika
komponen abiotik, mempengaruhi komponen biotik dan sebagai akibatnya, sumberdaya
ikan akan turut terpengaruh, adalah contoh kompleksitas dari pengelolaan sumberdaya
ikan. Apabila interaksi antarkomponen ini diabaikan, maka keberlanjutan perikanan
dapat dipastikan menjadi terancam. Hal inilah, pendekatan terintegrasi melalui
pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (Ecosystem Approach to
Fisheries Management yang disingkat dengan EAFM) menjadi sangat penting.
PEMBAHASAN
Konsep Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem secara Terpadu
Di dalam dunia perikanan, pengelolaan perikanan berbasis ekosistem (EBFM)
atau sering juga disebut sebagai EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management)
telah diidentifikasi sebagai sebuah pendekatan pengelolaan yang cukup sukses dikala
pendekatan pengelolaan perikanan lain mengalami kegagalan (Adrianto, 2010). Ward. et
al. (2002) menyebutkan bahwa di dalam pengelolaan berbasis ekosistem, keberlanjutan
ekologi adalah menjadi tujuan utama dari sistem pengelolaan ini, begitu pula dengan
pemahaman kritis akan tingkat ketergantungan kesejahteraan manusia dengan tingkat
kesehatan ekologi. Andrianto (2010) menyebutkan lebih lanjut bahwa secara sederhana
EAFM/EBFM dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan
antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan,
keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan
bahwa pengelolaan perikanan yang dilakukan benar- benar menuju pengelolaan berbasis
ekosistem. Untuk itu, EBFM seharunya disertai dengan reformasi kebijakan serta
penyadar tahuan dan pelatihan akan perikanan secara profesional. Lebih lanjut, telah
dicatat bahwa alat EBFM dapat membantu perikanan beradaptasi dan menjadi lebih kuat
untuk menghadapai faktor-faktor lain yang memberi tekanan kepada perikanan seperti
bencana alam dan perubahan iklim (APFIC, 2010). Lebih lanjut, manfaat manajemen
EAFM (SEAFDEC 2015), meliputi:
1. pertimbangan yang lebih luas dari hubungan antara ekosistem dan perikanan;
2. kontribusi bagi perencanaan penggunaan sumber daya yang lebih efektif;
3. fasilitasi trade-off antara prioritas pemangku kepentingan yang
berbeda, menyeimbangkan manusia dan kebutuhan ekologis;
4. partisipasi stakeholder meningkat yang mengarah ke: perencanaan yang lebih
baik dari sumber daya menggunakan; dan penggunaan yang lebih adil dari
sumber daya alam (baik perikanan dan non-perikanan terkait);
5. bantuan dengan menyeimbangkan produksi ikan dengan konservasi
keanekaragaman hayati dan habitat perlindungan;
6. dengan menyelesaikan atau mengurangi konflik antara para pemangku
kepentingan;
7. pengakuan yang lebih besar dari nilai-nilai budaya dan tradisional dalam
pengambilan keputusan; dan
8. memungkinkan untuk skala yang lebih besar, masalah jangka panjang untuk
diakui dan dimasukkan ke dalam perikanan dan pengelolaan sumber daya
pesisir (misalnya implikasi jangka panjang dari perubahan iklim dan
pengasaman laut, degradasi habitat, pertumbuhan penduduk, pembangunan
ekonomi, globalisasi, dll).
Pembangunan secara terpadu dan berkelanjutan diterima secara luas bahwa
"kesejahteraan" adalah sebuah konsep yang mengacu pada keadaan sistem (misalnya
ekosistem atau sistem sosial). Aspek-aspek tertentu dari dua dimensi kesejahteraan dan
apa yang dimaksud dengan tata kelola yang baik adalah sebagai berikut:
1. Kesejahteraan Ekologi, berkaitan dengan ekosistem laut dan pesisir, terdiri dari
sedikitnya lima aspek utama: (a) ekosistem yang sehat memaksimalkan barang dan
jasa ekosistem; (b) keanekaragaman hayati yang mengarah ke ketahanan ekosistem;
(c) struktur yang mendukung ekosistem dan habitat (termasuk DAS terhubung.); (d)
lautan sehat, daerah pesisir dan daerah aliran sungai; dan (e) jaring makanan
berdasarkan berbagai sumber produksi primer. Kesehatan ekosistem sering dinyatakan
dengan menggunakan indikator dalam hal karakteristik terukur yang menggambarkan:
(i) proses kunci yang menjaga ekosistem yang stabil dan berkelanjutan (misalnya ada
tidak adanya ganggang biru-hijau); (ii) zona dampak manusia tidak memperluas atau
memburuk (misalnya pengurangan batas spasial limbah nitrogen); dan (iii) habitat
kritis tetap utuh (misalnya padang lamun).
2. Kesejahteraan Manusia, mengacu pada semua komponen manusia yang tergantung
pada, dan mempengaruhi, ekosistem. Kesejahteraan manusia mencerminkan berbagai
kegiatan atau prestasi yang merupakan kehidupan yang baik. Hal ini juga diterima
bahwa kesejahteraan adalah konsep multidimensional yang mencakup semua aspek
kehidupan manusia. Penghasilan, dengan sendirinya, meskipun komponen penting,
bisa tidak cukup menangkap luas atau kompleksitas kesejahteraan manusia. Delapan
aspek kesejahteraan manusia adalah: (a) Standar bahan hidup (pendapatan, makanan
dan kekayaan); (b) Kesehatan; (c) Pendidikan; (d) Kegiatan Pribadi (rekreasi dan
pekerjaan); (e) Suara politik dan pemerintahan; (f) Hubungan sosial dan hubungan;
Lingkungan Hidup (kondisi sekarang dan masa depan); dan (g) Keamanan Ekonomi
dan keselamatan manusia. Aspek-aspek tersebut didasarkan pada keyakinan bahwa
mengukur kesejahteraan manusia melampaui laporan subjektif diri dan persepsi, dan
harus mencakup ukuran yang objektif dari tingkat rakyat "set kesempatan" dan
kapasitas mereka (atau kebebasan) untuk memilih dari peluang tersebut dalam
kehidupan mereka nilai. Kedua faktor obyektif dan subyektif yang penting dalam
pengukuran delapan aspek yang tercantum di atas.
3. Tata Kelola yang Baik, mengacu pada institusi dan pengaturan yang efektif untuk
menetapkan dan menerapkan aturan dan peraturan. Singkatnya, tata kelola yang baik
terkait dengan kepengurusan di mana individu, organisasi, komunitas dan masyarakat
berusaha untuk mempertahankan kualitas ekosistem yang sehat dan tangguh dan
populasi manusia yang terkait. Stewardship mengambil pandangan jangka panjang dan
mempromosikan kegiatan yang menyediakan untuk kesejahteraan kedua ini dan masa
depan generasi. Manajemen berbasis ekosistem (MBE) sering digunakan bergantian
dengan PE, tetapi dalam beberapa konteks, lebih memfokuskan pada dimensi
ekologi/lingkungan pembangunan terpadu dan berkelanjutan.
Penting Basis Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang dikaruniai dengan ekosistem
perairan tropis memiliki karakteristik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di
dalamnya sumberdaya ikan, yang tinggi. Tingginya dinamika sumberdaya ikan ini tidak
terlepas dari kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities) yang telah
menjadi salah satu ciri dari ekosistem tropis. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan
yang tujuan utamanya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi
masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup
bagi sumberdaya ikan itu sendiri. Gracia and Cochrane (2005) memberikan gambaran
model sederhana dari kompleksitas sumberdaya ikan sehingga membuat pendekatan
terpadu berbasis ekosistem menjadi sangat penting.
Pada gambar di bawah ini disajikan model sederhana dari interaksi
antarkomponen dalam ekosistem yang mendorong pentingya penerapan pendekatan
ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM). Dari gambar tersebut dapat dilihat
bahwa interaksi antarkomponen abiotik dan biotik dalam sebuah kesatuan fungsi dan
proses ekosistem perairan menjadi salah satu komponen utama mengapa pendekatan
ekosistem menjadi sangat penting.
Interaksi dan Proses Antar Komponen dalam Pengelolaan Perikanan (Turner, et.al, 2001)
antara regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM secara
komprehensif.
Sementara itu, perencanaan strategi (strategies planning) lebih menitikberatkan
pada formulasi strategi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada rencana
kebijakan (policy plan). Strategi yang dipilih bisa saja berasal dari kesepakatan strategi
yang berlaku secara umum, baik di level nasional maupun internasional misalnya
pengurangan non-targeted fish dan by-catch practices; penanggulangan pencemaran
perairan; pengurangan resiko terhadap nelayan dan sumberdaya ikan; penetapan kawasan
konservasi, fish refugia site approach, dan lain sebagainya.
Smith and Zang (2008) menyebutkan "seafood berkelanjutan" adalah semua
langkah yang dilakukan agar populasi spesies ikan yang sedang dikelola dengan cara yang
dapat menyediakan kebutuhan hari ini tanpa merusak kemampuan spesies untuk
mereproduksi dan mempertahankan populasi berlimpah untuk generasi masa depan
konsumen. Langkah yang dilakukan untuk menuju Pengelolaan Sumber Daya Air yang
Terpadu dan Berkelanjutan dimulai dengan menentukan sebagian besar masalah utama
perairan dan indikator. Tujuan jangka panjang dari Pengelolaan Sumber Daya Air yang
Terpadau dan Berkelanjutan termasuk pengembangan prinsip-prinsip, kriteria, dan
indikator untuk mendukung pengambilan keputusan dan identifikasi peluang untuk
kolaborasi. Pengelolaan Sumber Daya Air yang Terpadu dan Berkelanjutan menekankan
pada perlunya kolaborasi dan komitmen untuk interdisipliner, antar-yurisdiksi, dan
kolaborasi cross-ownership yang mengidentifikasi dan mendukung, baik di tingkat
nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah pengelolaan sumberdaya perairan.
Langkah dalam pergerakan prinsip-prinsip menuju aksi:
1. Dari prinsip untuk tujuan kebijakan
Terjemahan dimulai dengan mengubah prinsip-prinsip tingkat tinggi membimbing ke
tujuan kebijakan. Banyak dari prinsip-prinsip yang mendasari berharga EAFM begitu
generik yang mereka dapat benar-benar dicapai dalam arti praktis. Selain itu, banyak
dari karakteristik ekosistem, seperti kesehatan ekosistem, integritas, ketahanan sulit
untuk mengukur konsep yang tidak sepenuhnya dipahami dan sulit diterapkan dalam
praktek. Prinsip-prinsip ini sering dimasukkan dalam tujuan kebijakan tingkat yang
lebih tinggi, misalnya melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan habitat
perikanan, melindungi penting fungsi rantai makanan dan sebagainya, yang biasanya
menjadi dasar kebijakan dan rencana nasional.
2. Dari tujuan kebijakan terhadap isu-isu dan tujuan pengelolaan
Tujuan kebijakan tingkat yang lebih tinggi ini maka perlu dipecah menjadi tujuan
pengelolaan yang lebih spesifik. Hal ini dicapai dengan mengidentifikasi dan
memprioritaskan isu-isu, kemudian mengembangkan tujuan manajemen untuk setiap
masalah. Pada tingkat operasional ini, prioritas dapat diatur melalui proses penilaian
risiko dan trade-off dan saldo dicapai melalui konsensus. Tujuan-tujuan ini harus
cukup spesifik bahwa satu atau tindakan manajemen lainnya dapat mengatasi mereka
dan keberhasilan (atau sebaliknya) dari intervensi ini dapat dipantau dan dinilai.
3. Dari tujuan tindakan manajemen
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Menurut Cochrane (2002), rencana strategi tersebut paling tidak juga memuat
instrument aturan main dan perangkat pengelolaan input dan output control yang disusun
berdasarkan analisis resiko terhadap keberlanjutan sistem perikanan itu sendiri. Secara
diagramatik, proses implementasi EAFM dapat dilihat pada gambar di bawah berikut ini:
PENUTUP
Tujuan utama EAFM adalah pemanfaatan secara terpadu dan berkelanjutan dari
seluruh sistem, bukan hanya satu spesies. Namun, penerapan sebuah EAFM tidak berarti
memulai lagi sebagai EAFM dibangun di atas unsur-unsur yang ada pada manajemen
perikanan. Hal ini juga terjadi secara bertahap dan akan memerlukan waktu bertahuntahun untuk menerapkan semua elemen EAFM. Pengelolaan sumberdaya yang terpadu
dan berkelanjutan menekankan pada perlunya kolaborasi dan komitmen untuk