Professional Documents
Culture Documents
Pensikam Gel
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
Ahmad Senjaya
1106049561
Cynthya Esra W. S.
1106046774
Irma Aprinita
1106047000
Nyssa Adriana
1106047272
Wulan Yuliastuti
1106047474
2011
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Rancangan dan
Pengembangan Formula Pensikam Gel ini berhasil diselesaikan. Makalah ini
dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Rancangan dan Pengembangan
Formula, Program Apoteker, Departemen Farmasi, Universitas Indonesia.
Makalah ini menjelaskan alasan dibentuk sediaan gel untuk efek
antiinflamasi, alasan pemilihan piroksikam sebagai agen antiinflamasi, studi
praformulasi yang dilakukan dan alasan pemilihan bahan-bahan tambahan yang
digunakan, formulasi dan cara pembuatannya, serta evaluasi-evaluasi yang
dilakukan terhadap sediaan gel antiinflamasi, baik dari segi fisik, kimia, maupun
mikrobiologinya.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi para calon
apoteker dalam menjalankan tugasnya mengabdi kepada masyarakat di kemudian
hari. Demi menyempurnakan makalah ini, saran dan kritik yang membangun
diharapkan oleh penulis.
Depok, November 2011
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................
i
KATA PENGANTAR..................................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
iii
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................
1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................
3
2.1
Kulit
3
2.2
Gel
7
2.3
2.4
Piroksikam
11
BAB 3 PRAFORMULASI..........................................................................................
12
3.1
Permasalahan
12
3.2
3.3
BAB 4 FORMULASI..................................................................................................
24
4.1
Perhitungan Bahan
24
4.2
4.3
4.4
BAB 5 EVALUASI......................................................................................................
28
5.1
In Process Control
28
5.2
DAFTAR ACUAN.......................................................................................................
39
BAB 1
PENDAHULUAN
Obat Analgesik-antiinflamasi Non Steroid (AINS) adalah sekelompok obat
yang heterogen secara kimia namun memiliki aktivitas serupa, yaitu aktivitas
analgesik dan antiinflamasi, serta antipiretik. Mekanisme kerja obat golongan ini
adalah dengan menghambat biosintesis prostaglandin dari asam arakidonat karena
penghambatan enzim siklooksigenase.
Prostaglandin berperan dalam rasa nyeri yang diakibatkan karena
kerusakan jaringan dan inflamasi. Reaksi nyeri disebabkan oleh sensitisasi sel
nyeri terhadap stimulasi mekanik dan mediator kimiawi (bradikinin dan histamin)
yang aktivitasnya diperkuat oleh prostaglandin. Pada inflamasi, prostaglandin
menimbulkan reaksi kemerahan, vasodilatasi, dan peningkatan aliran darah.
Inflamasi terjadi melalui 3 fase, yaitu fase akut (terjadi vasodilatasi lokal dan
peningkatan permeabilitas membran), fase lambat/subakut (terjadi infiltrasi
leukosit serta fagositosis) dan tahap proliferatif (terjadi degenerasi dan fibrosis).
Obat AINS dibagi menjadi 3 golongan, yaitu golongan asam karboksilat,
golongan enolat, dan golongan penghambat selektif reseptor COX-2. Obat
golongan asam karboksilat diantaranya asetosal, asam mefenamat, indometasin,
ibuprofen, dan diklofenak. Sedangkan obat golongan enolat diantaranya
fenilbutazon, metampiron, dan piroksikam. Indikasi obat-obatan tersebut
umumnya ditujukan untuk penyakit yang memiliki gejala inflamasi, nyeri, dan
demam, seperti demam rematik, artritis rheumatoid, osteoartritis, nyeri otot, atau
inflamasi yang disebabkan oleh pirai.
Obat AINS umumnya diberikan melalui sediaan oral, namun terdapat
beberapa senyawa yang telah diformulasikan untuk sediaan topikal. Sediaan
topikal umumnya diberikan untuk efek lokal pada bagian yang mengalami nyeri
atau pembengkakan. Sediaan topikal untuk obat AINS, berupa gel, krim yang
mengandung bahan tambahan seperti metil salisilat atau mentol yang memberikan
rasa hangat pada otot yang tegang. Beberapa sediaan topikal yang telah beredar
mengandung diklofenak dan piroksikam.
sediaan
piroksikam
topikal
untuk
melokalisasi
efeknya.
Keuntungan sediaan topikal adalah efek lokal dan cepat menimbulkan efek pada
bagian jaringan yang mengalami nyeri atau pembengkakan, serta dapat
mengurangi efek samping pada saluran cerna dan efek sistemik yang tidak
dibutuhkan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai rancangan pengembangan
formula untuk sediaan gel anti rematik/anti arthritis yang mengandung
piroksikam.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kulit
Kulit merupakan organ penting yang menutupi seluruh permukaan luar
tubuh, membentuk lapisan protektif untuk menghindari patogen dan cedera yang
berasal dari lingkungan. Kulit adalah organ terbesar, tebalnya kira-kira 2 mm dan
beratnya sekitar 6 pon. Kulit melindungi tubuh dari temperatur udara, cahaya,
cedera, dan infeksi. Kulit juga membantu untuk menjaga temperatur tubuh;
sebagai indera peraba; menyimpan air, lemak, dan vitamin D; dan berperan
sebagai sistem imun terhadap penyakit.
Kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu: epidermis, dermis, dan subkutan.
Lapisan ini juga tampak jelas pada telapak tangan dan kaki (Tranggono, 2007;
Wasitaatmadja, 1997).
4. Stratum spinosum (lapisan malphigi)
Lapisan ini memiliki sel berbentuk kubus dan seperti berduri, berinti besar
dan berbentuk oval. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan kulit semakin
berbentuk gepeng. Setiap sel berisi filamen kecil yang terdiri atas serabut protein.
Di antara sel-sel stratum spinosum terdapat sel Langerhans yang mempunyai
peran penting dalam sistem imun tubuh (Tranggono, 2007; Wasitaatmadja, 1997).
5. Stratum germinativum (lapisan basal atau membran basalis)
Lapisan ini merupakan lapisan terbawah epidermis. Di dalamnya terdapat
sel-sel melanosit, yaitu sel yang tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya
membentuk pigmen melanin dan melalui dendrit diberikan kepada sel-sel
keratinosit. Satu sel melanin untuk sekitar 36 sel keratinosit disebut unit melanin
epidermal (Tranggono, 2007).
2.1.1.2. Dermis
Lapisan ini lebih tebal daripada epidermis, terdiri dari serabut kolagen dan
elastin, berada dalam substansi dasar yang bersifat koloid dan terbuat dari gelatin
mukopolisakarida. Di dalam dermis terdapat adneksa kulit, seperti folikel rambut,
papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak
rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang
terdapat pada lapisan lemak bawah kulit.
Dermis tersusun atas dua lapisan, yaitu lapisan papilari dan lapisan
retikular. Lapisan yang dekat dengan epidermis adalah lapisan papilari yang terdiri
atas jaringan kolagen, serat elastin, dan fibroblas. Lapisan dalam adalah lapisan
retikular, mempunyai lebih sedikit jaringan fibroblas dan lebih banyak kolagen
(Tranggono, 2007; Wasitaatmadja, 1997).
2.1.1.3. Hipodermis
Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak. Sel lemak
merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma
lemak yang bertambah. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus berfungsi
9
sebagai cadangan makanan. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi,
pembuluh darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama
bergantung pada lokasi (Wasitaatmadja, 1997).
2.1.2. Penetrasi Obat Melalui Kulit
Obat dapat menembus melewati kulit melalui tiga cara (Roberts, Cross &
Pellett, 2002; Jager, Ponec & Bouwstra, 2007), yaitu:
2.1.2.1. Transelular atau intraselular
Permeasi obat melalui jalur transelular atau langsung menembus sel hanya
terjadi dalam jumlah sangat kecil. Hal ini dipengaruhi oleh sel tanduk yang sulit
ditembus.
2.1.2.2. Paraselularatau interselular
Jalur ini memegang peranan penting dalam permeasi obat karena sebagian
besar obat menembus stratum korneum melalui jalur ini. Bagian interseluler atau
celah antar sel stratum korneum tersusun atas lipid bilayer. Oleh karena itu,
peningkatan permeasi obat dilakukan dengan memodifikasi atau mempengaruhi
lapisan lipid bilayer ini.
2.1.2.3. Transapendageal
Pada rute transapendageal ini obat berpermeasi melalui kelenjar sebasea,
folikel rambut, ataupun kelenjar keringat. Jalur ini kurang memegang peranan
penting dalam permeasi obat karena luas permukaan yang kecil (hanya 0,1% dari
luas permukaan kulit). Akan tetapi jalur ini dapat menjadi rute alternatif untuk
obat dengan target spesifik.
10
11
saling sambung silang melalui ikatan kimia atau gaya kohesi seperti interaksi
ionik, ikatan hidrogen atau interaksi hidrofobik. Hidrogel mempunyai
biokompatibilitas yang tinggi sebab hidrogel mempunyai tegangan permukaan
yang rendah dengan cairan biologi dan jaringan sehingga meminimalkan kekuatan
adsorbsi protein dan adhesi sel; hidrogel menstimulasi sifat hidrodinamik dari gel
biologikal, sel dan jaringan dengan berbagai cara; hidrogel bersifat lembut/ lunak,
elastis sehingga meminimalkan iritasi karena friksi atau mekanik pada jaringan
sekitarnya. Kekurangan hidrogel yaitu memiliki kekuatan mekanik dan kekerasan
yang rendah setelah mengembang. Contoh: bentonit magma, gelatin.
b.
dalam minyak mineral dan didinginkan secara shock cooled), dan dispersi logam
stearat dalam minyak.
c.
Xerogel
Gel yang telah padat dengan konsentrasi pelarut yang rendah diketahui
sebagai xerogel. Xerogel sering dihasilkan oleh evaporasi pelarut, sehingga sisasisa kerangka gel yang tertinggal. Kondisi ini dapat dikembalikan pada keadaan
semula dengan penambahan agen yang mengimbibisi, dan mengembangkan
matriks gel. Contoh : gelatin kering, tragakan ribbons dan acacia tears, serta
selulosa kering dan polistiren.
2.2.2.3. Berdasarkan jenis fase terdispersi
a.
Gel fase tunggal, terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba
sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara
molekul makro yang terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari
makromolekul sintetik (misal karbomer) atau dari gom alam (misal tragakan).
Molekul organik larut dalam fasa kontinu.
b.
Gel sistem dua fasa, terbentuk jika masa gel terdiri dari jaringan partikel
kecil yang terpisah. Dalam sistem ini, jika ukuran partikel dari fase terdispersi
12
13
Analgesik-antiinflamasi
Non
Steroid
(OAINS)
merupakan
sekelompok obat yang heterogen secara kimia namun memiliki aktivitas yang
serupa yang memiliki aktivitas analgesik dan antiinflamasi serta antipiretik.
Analgesik adalah obat yang dapat mengurangi kemampuan penerimaan
rangsangan sehingga dapat menghilangkan rasa nyeri tanpa hilangnya kesadaran.
Antiinflamasi merupakan obat yang dapat mengurangi gejala peradangan atau
pembengkakan pada jaringan tubuh. Antipiretik adalah obat yang dapat
menurunkan suhu tubuh yang sedang mengalami demam. Mekanisme kerja obat
golongan ini adalah dengan menghambat biosintesis prostaglandin dari asam
arakidonat karena penghambatan enzim siklooksigenase.
Prostaglandin berperan dalam rasa nyeri yang diakibatkan oleh adanya
kerusakan jaringan serta inflamasi. Reaksi nyeri disebabkan oleh sensitisasi sel
nyeri terhadap stimulasi mekanik dan mediator kimiawi (bradikinin dan histamin)
yang aktivitasnya diperkuat oleh prostaglandin. Pada inflamasi, prostaglandin
menimbulkan reaksi kemerahan, vasodilatasi dan pengingkatan aliran darah.
Inflamasi terjadi melalui 3 fase, yaitu fase akut (terjadi vasodilatasi lokal dan
peningkatan permeabilitas membran), fase lambat/subakut (terjadi infiltrasi
leukosit serta fagositosis) dan tahap proliferatif (terjadi degenerasi dan fibrosis).
Obat AINS dibagi menjadi 3 golongan, yaitu golongan asam karboksilat,
golongan enolat, dan golongan penghambat selektif reseptor COX-2. Obat
golongan asam karboksilat diantaranya asetosal, asam mefenamat, indometasin,
14
15
BAB 3
PRAFORMULASI
3.1 Permasalahan
1.
Permasalahan
Solusi
2.
Permasalahan
Solusi
3.
Permasalahan
Solusi
: Dibasakan
dengan
penambahan
senyawa
amin
Permasalahan
Solusi
5.
Permasalahan
Solusi
FUNGSI
Zat aktif AINS
Dibandingkan
dengan
obat
AINS
memberikan
kenyamanan
Carbomer merupakan gelling agent
yang stabil dan kuat. Hanya diperlukan
dalam konsentrasi kecil 0,5-2%.
Carbomer merupakan polimer sintetik
yang baik dalam membuat sediaan gel.
Carbomer dipilih dalam formulasi ini
karena mempertimbangkan
Carbomer 940
Gelling agent
Membentuk massa
digunakan.
Peningkatan pH karbomer (2,5-3,5)
Trietanolamin
gel dan
(TEA)
menetralkan pH
sediaan.
Etanol
Propilen glikol
Pelarut
Meningkatkan
kelarutan
piroksikam dan
humektan
Pengawet
propil paraben
(antimikroba)
dalam etanol.
Penggunaan kombinasi keduanya dapat
memberikan efek antimikroba dan
antijamur yang baik dibandingkan
penggunaan tunggal.
Trietanolamin
akan
mengalami
diskolorasi jika terekspos sinar UV dan
Na2EDTA
chelating agent
edta
sebagai
agen
pengkhelat.
3.3 Sifat Fisikokimia Bahan
3.3.1
: 4-hydroxy-2-methyl-N-(2-pyridyl)-2H
1,2 benzothiazine-3-carboxamide,1,1 dioxide
BM
: 331,35
Pemerian
Kelarutan
pKa
: 5,3
log P
: 1,8
Persentase unionized pada pH mantel asam kulit: 75,95%; dengan kelarutan pada
stratum korneum tergolong rendah. Oleh karena kelarutannya yang rendah,
molekulnya tidak tertahan pada stratum korneum dan dapat terabsorbsi ke bagian
lebih dalam (Beetge, Plessis, Muller, Goosen, & Rensburg, 2000).
Stabilitas
: (1RS,2RS,5RS)-()-5-Methyl-2-(1-methylethyl)
cyclohexanol
Sinonim
BM
: 156,27
Pemerian
Kelarutan
: sedikit larut dalam air dan sangat mudah larut dalam etanol
95%
Titik leleh
: 41o - 44oC
Penyimpanan
3.3.3
relatif besar yang berikatan dengan alil sukrosa atau aril eter dari pentaeritrol.
Dihitung dari bobot keringnya, senyawa ini mengandung 56-58% golongan asam
karboksilat (COOH). Berat molekulnya berkisar antara 7.105 sampai dengan 4.109.
19
Terdapat beberapa tipe carbomer, diantaranya 910, 934, 934P, 940, 941, 971P dan
974P.
Gambar 3.3. Struktur kimia unit monomer asam akrilat dalam carbomer
Sinonim
Pemerian
Kelarutan
Viskositas
Viskositas
30500-39400
29400-39400
40000-60000
4000-11000
Keasaman
Stabilitas
Antimikroba
yang
dapat
digunakan
0,1%
20
Carbomer dalam sediaan topikal digunakan sebagai agen pembentuk massa gel
dengan konsentrasi 0,5-2%. Untuk membuat massa gel, Carbomer perlu
didispersikan merata pada pelarut yang sambil diaduk kuat, dipastikan tidak ada
massa yang menggumpal dan tidak terbasahi. Agen penetral carbomer yang biasa
digunakan asam amino, boraks, kalium hidroksida, natrium bikarbonat, natrium
hidroksida, dan amin organik polar seperti trietanolamin. Untuk sistem nonpolar
biasa digunakan stearil dan laurel amin. 1 gram carbomer dinetralkan dengan 0,4
g natrium hidroksida. Dalam proses pengembangannya, massa ini perlu di aduk
secara perlahan dengan pengaduk tertentu untuk menghindari terbentuknya
gelembung udara. Karakteristik carbomer adalah perubahan viskositas pada
perubahan pH, pada pH di antara 6-11 viskositasnya relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan viskositas pada pH di bawah 3 atau di atas 12 atau dengan
adanya elektrolit kuat atau pemaparan sinar ultraviolet.
3.3.4
[Sumber: Rowe,
kimia trietanolamin
Nama
kimia
:
2,2,2-Nitrilotriethanol
Sinonim
: triethanolamine
(BP);
Trolamine
Sterolamide;
TEA;
Tealan;
(USP);
Daltogen;
triethylolamine;
trihydroxytriethylamine; tris(hydroxyethyl)amine.
BM
: 149,19
21
Pemerian
Kegunaan
Kelarutan
pH
Inkompatibilitas
Stabilitas
Penyimpanan
22
3.3.5
: 1,2-Propandiol
Sinonim
BM
: 76,09
Pemerian
Kegunaan
: pengawet
antimikroba
(15-30%),
humektan
(15%),
Viskositas
: 58,1 mPa
Stabilitas
Penyimpanan
Inkompatibilitas
3.3.6
23
Nama kimia
: ethanol
Sinonim
BM
: 46,07
Pemerian
Kegunaan
Kelarutan
Titik didih
: 78oC
3.3.7
Methylparaben (USP);
: 152,15
Fungsi
Pemerian
Kelarutan
: dalam air 1:400; dalam air 50oC 1:50; dalam air 80oC
1:30; dalam etanol 1:2; dalam propilen glikol 1:5.
OTT
metilparaben
oleh
plastik
juga
pernah
3.3.8
: Propyl hydroxybenzoate
: 180,20
Fungsi
Pemerian
Kelarutan
25
OTT
sebagai
hasil
dari
miselisasi.
Magnesium
3.3.9
Sinonim
: disodium
edathamil;
disodium
ethylenediamine
: 336,21
Pemerian
Kegunaan
: agen pengkhelat
Kelarutan
: larut dalam air 1:11; agak sukar larut dalam etanol 95%
pH
Inkompatibilitas
Penyimpanan
3.3.10. Aquadest
Aquadest adalah air murni yang diperoleh dengan penyulingan. Dibuat dari air
yang memenuhi persyaratan air minum. Dibandingkan dengan air minum biasa,
air murni lebih bebas dari kotoran zat-zat padat. Air murni dimaksudkan untuk
penggunaan dalam pembuatan bentuk-bentuk sediaan yang mengandung air,
kecuali dimaksudkan untuk pemberian parenteral.
27
BAB 4
FORMULASI
4.1. Perhitungan Bahan
Total sediaan yang akan dibuat = 60 gram
1. Piroksikam 5 mg/g sediaan
5 mg/g x 60 g = 300 mg
2. L-Menthol 5%
28
29
0,3
3
0,3
9
1,2
3
0,06
0,06
0,006
43,074
g x 1000 = 300
g x 1000 = 3000
g x 1000 = 300
g x 1000 = 9000
g x 1000 = 1200
g x 1000 = 3000
g x 1000 =
60
g x 1000 =
60
g x 1000 =
6
g x 1000 = 43074
g
g
g
g
g
g
g
g
g
g
31
BAB 5
EVALUASI
5.1 In Process Control
5.1.1 Pengamatan Organoleptis (Patel(a), Patel(b), Banwait, Parmar, &
Patel(c), 2011)
Evaluasi penampilan umum suatu sediaan gel, meliputi pengamatan
terhadap homogenitas, perubahan warna, atau timbulnya bau. Pengamatan
organoleptis ini dilakukan secara visual.
5.1.2
Uji Daya Sebar (Kaur, Garg, & Gupta, 2010 dan Barhate, Potdar, &
Nerker, 2010)
Salah satu kriteria untuk memenuhi gel yang ideal, yaitu bahwa gel
tersebut harus memiliki kemampuan menyebar yang baik. Pemeriksaan ini untuk
menunjukkan sejauh mana kemampuan gel dapat dengan mudah untuk menyebar
saat diaplikasikan di kulit. Efektivitas terapetik juga bergantung pada nilai sebar
ini.
Kemampuan gel untuk menyebar dinyatakan dalam waktu (detik) dengan
menempatkan gel di antara dua slide dan diberi tekanan antara kedua slide
tersebut dengan arahan tertentu. Semakin cepat waktu yang dibutuhkan gel untuk
menyebar, menunjukkan semakin baik kemampuan gel tersebut untuk menyebar
saat diaplikasikan di kulit.
Nilai sebar dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini:
Keterangan:
S
32
5.1.3
pada
beberapa rpm yang berbeda, sifat aliran diketahui dengan membuat kurva antara
rpm dengan usaha yang dibutuhkan untuk memutar spindel. Usaha dihitung
dengan mengalikan angka pada skala dengan faktor pada setiap rpm.
Wadah diisi dengan sediaan, spindel dipasang yang sesuai, spindel
diturunkan sampai batas spindel tercelup ke dalam sediaan, rpm alat diatur, motor
dinyalakan dengan menekan tombol ON dan alat berputar, angka yang
ditunjukkan oleh jarum merah yang bergerak telah stabil (dial reading) dibaca,
dengan mengubah rpm akan didapat viskositas pada berbagai rpm, dimulai
dengan 2 rpm, 4 rpm, 10 rpm, 20 rpm dan sebaliknya. Nilai viskositas () dalam
centipoise (cps) diperoleh dari hasil perkalian dial reading dengan faktor koreksi
khusus untuk masing-masing kecepatan spindel.
Sifat aliran dapat diperoleh dengan membuat kurva antara shearing stress
terhadap rate of shear. Shearing stress (F/A) adalah gaya persatuan luas yang
diperlukan untuk menyebabkan aliran, sedangkan rate of shear (dv/dr) adalah
perbedaan kecepatan (dv) antara dua bidang cairan dipisahkan oleh suatu jarak
yang kecil sekali (dr). Nilai shearing stress diperoleh dari hasil perkalian dial
reading dengan faktor yang dilihat pada tabel yang terdapat pada brosur alat;
sedangkan nilai rate of shear diperoleh dari hasil perkalian shearing stress dengan
satu per viskositas. Kurva yang didapatkan dibandingkan dengan literatur.
5.1.4
bayang
permukaan
sediaan
yang
dapat
diperjelas
dengan
33
Keterangan:
So
= Massa kerucut
= Gravitasi (cm/df2)
= Konstanta, yaitu 2
k1
= 1/ cos2 cos
5.1.5
antara 400 500 g. Kesepuluh tikus tersebut dibagai menjadi dua kelompok,
masing-masing lima tikus. Rambut-rambut dihilangkan dari bagian belakang
tubuh tikus menggunakan bantuan perontok rambut dengan luas sebesar 4 cm 2 dan
ditandai pada kedua sisinya. Satu sisi bertindak sebagai kontrol dan sisi lainnya
sebagai uji, dan tikus dapat digunakan setelah 24
dihilangkan, gel diaplikasikan (500 mg/tikus) satu kali sehari selama tujuh hari
34
dan lokasi pengaplikasian ditutup dengan balutan kapas, lalu tikus diamati
terhadap kemungkinan terjadinya eritema dan edema.
Penafsiran hasil yang dilakukan sebagai berikut:
A = tidak terjadi reaksi eritema dan edema
B = sedikit, eritema tidak merata
C = sedikit, tetapi dengan eritema sedang dan tidak merata
D = eritema sedang
E = eritema berat, dengan atau tanpa edema
5.1.7
5.1.7.1
Prinsip
Menguji difusi bahan aktif dari sediaan menggunakan sel difusi dengan
cara mengukur konsentrasi bahan aktif dalam kompartemen akseptor pada selang
waktu tertentu.
5.1.7.2
Prosedur
Untuk model absorpsi perkutan secara in vitro digunakan sel difusi Franz.
Sampel ditempatkan pada membran selulosa asetat (ukuran pori 3 m), yang
direndam dalam isopropil miristat agar menyerupai barier lipofilik seperti stratum
korneum. Pada kompartemen akseptor diisi dengan buffer fosfat (pH 5,40,1),
pada suhu 321C dan diaduk menggunakan magnetik stirer dengan kecepatan
450 rpm. Pada interval yang telah ditentukan, 0,75 ml sampel diambil dari
kompartemen reseptor dan diganti dengan larutan buffer yang baru.
Kandungan
piroksikam
pada
kompartemen
akseptor
ditentukan
35
37
dalam oven bersuhu 402C selama 24 jam (satu siklus). Uji dilakukan sebanyak
6 siklus, kemudian perubahan fisik yang terjadi diamati.
5.2.3
5.2.3.1
Evaluasi Kimia
Identifikasi dan Penetapan Kadar Zat Aktif (British Pharmacopoeia
Commission, 2009)
Gel mengandung piroksikam 95,0%, hingga 105,0% dari jumlah yang
dinyatakan.
38
a. Identifikasi
Dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis, menggunakan silika
gel GF254 sebagai fase diam dan campuran asam asetat glasial-metanol-etil asetat
(1:10:80) sebagai fase gerak. Totolkan secara terpisah pada lempeng masingmasing 5 l larutan berikut: Untuk larutan (1) campurkan sejumlah gel yang
mengandung 10 mg piroksikam dengan 0,1 ml larutan larutan jenuh natrium
klorida hingga campuran menjadi keruh. Encerkan hingga 5 ml dengan asam
metanolat hidroklorida 0,01 M, kocok, sentrifugasi, dan gunakan larutan
supernatan yang jernih. Saring larutan supernatan jika diperlukan. Larutan (2)
mengandung 0,2% b/v piroksikam BPCRS dalam asam metanolat hidroklorida
0,01 M. Setelah lempeng dielusi, keringkan lempeng dan periksa di bawah sinar
UV (254 nm). Titik utama kromatogram yang diperoleh dari larutan (1) memiliki
posisi dan ukuran yang sama dengan kromatogram yang diperoleh dari larutan (2)
atau harga Rf bercak utama yang diperoleh dari larutan (1) sesuai dengan yang
diperoleh dari larutan (2).
b. Penetapan kadar
Dilakukan dengan metode kromatografi cair, menggunakan larutan
berikut: Untuk larutan (1) tambahkan 5 ml asam metanolat hidroklorida 0,01 M
pada sejumlah gel yang mengandung 5 mg piroksikam, kocok secara perlahan
selama 30 menit, tambahkan 50 ml fase gerak dan kocok kuat selama 30 menit.
Encerkan hingga 100 ml menggunakan fase gerak, campurkan dan saring melalui
saringan membran (1 l). Untuk larutan (2) dibuat larutan piroksikam BPCRS
0,10% b/v dalam asam metanolat hidroklorida 0,01 M, dengan bantuan
ultrasonifikasi jika diperlukan, dan encerkan 5 ml larutan ini dengan fase gerak
hingga 100 ml.
Prosedur kromatografi dilakukan dengan menggunakan (a) kolom stainless
steel (25 cm x 4,6 mm) dikemas dengan oktilsilil silica gel ujung tertutup untuk
kromatografi (5 m) (Zorbax stablebond C8) dan prekolom stainless steel (10 cm
x 4,6 mm) dikemas dengan oktilsilil silica gel ujung tertutup untuk kromatografi
(5 m), kedua kolom dipertahankan pada 40C; (b) campuran methanol-aseonitrilnatrium dihidrogen ortofosfat 0,05 M yang sebelumnya disesuaikan menjadi pH
3,5 dengan asam ortofosfat 5 M (15:30:55) sebagai fase gerak dengan kecepatan
39
aliran 1,0 ml per menit; dan (c) detektor spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 248 nm.
Hitung kandungan C15H13N3O4S dalam gel menggunakan kandungan
C15H13N3O4S yang dinyatakan pada piroksikam BPCRS.
5.2.4 Evaluasi Fisik
5.2.4.1 Uji kebocoran (Departemen Kesehatan RI, 1995)
Pilih 10 tube, dengan segel khusus jika disebutkan. Bersihkan dan
keringkan baik-baik permukaan luar tube dengan kain penyerap. Letakkan tube
pada posisi horizontal diatas lembaran kertas penyerap dalam oven dengan suhu
yang diatur pada 603C selama 8 jam. Tidak boleh terjadi kebocoran yang
berarti selama atau setelah pengujian selesai (abaikan bekas pasta yang
diperkirakan berasal dari bagian luar dimana terdapat lipatan dari tube atau dari
bagian ulir tutup tube). Jika terdapat kebocoran pada satu tube tetapi tidak lebih
dari satu tube; ulangi pengujian dengan tambahan 20 tube.
Pengujian memenuhi syarat jika tidak ada satupun kebocoran diamati dari
10 tube uji pertama, atau kebocoran yang diamati tidak lebih dari satu dari 30 tube
yang diuji.
5.2.4.2
mempengaruhi bobot pada waktu isi wadah dikeluarkan. Bersihkan dan keringkan
dengan sempurna bagian luar wadah dengan cara yang sesuai dan timbang satu
per satu. Keluarkan isi secara kuantitatif dari masing-masing wadah, potong
ujung wadah, jika perlu cuci dengan pelarut yang sesuai, hati-hati agar tutup dan
bagian lain wadah tidak terpisah. Keringkan dan timbang kembali masing-masing
wadah kosong beserta bagian-bagiannya. Perbedaan antara kedua penimbangan
adalah bobot bersih isi wadah.
Bobot bersih rata-rata isi dari 10 wadah tidak kurang dari bobot yang
tertera pada etiket, dan tidak satu wadahpun yang bobot bersih isinya kurang dari
90% dari bobot yang tertera pada etiket untuk bobot 60 g atau kurang. Jika
persyaratan ini tidak dipenuhi, tetapkan bobot bersih isi 20 wadah tambahan.
Bobot bersih rata-rata isi dari 30 wadah tidak kurang dari bobot yang tertera pada
40
etiket, dan hanya satu wadah yang bobot bersih isinya kurang dari 90% dari bobot
yang tertera pada etiket untuk bobot 60 g atau kurang.
5.2.4.3
c. Jumlah tiap mikroba uji selama hari tersisa dari 28 hari pengujian adalah tetap
atau kurang dari bilangan yang disebut pada a dan b.
42
DAFTAR ACUAN
A-sasutjarit, R., Sirivat, A., Vayumhasuwan, P. (2005). Viscoelastic Properties of
Carbopol 940 Gels and Their Relationships to Piroxicam Diffusion
Coefficients in Gel Bases. Pharmaceutical Research No.12, Volume 22,
2134-2140.
ACCSQ-PPWG 9th Meeting (2005, February 22). Asean Guideline on Stability
Study of Drug Products. Philippines: 21-24 Feb 2005.
Ansel, Horward C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta:
UI Press.
Anvisa. (2005). Cosmetic Products Stability Guide (1st edition). Brasilia: National
Health Surveillance Agency Press, 1-31.
Balogh, Z. et al. (1979). A Crossover Clinical Trial of Piroxicam, Indomethacin
and Ibuprofen in Rheumatoid Arthritis. Current Medical Research and
Opinion, Vol. 6, No. 2, 148-153.
Barhate, S. D., Potdar, M. B., Nerker, P. (2010). Development of Meloxicam
Sodium Transdermal Gel. International Journal of Pharmaceutical
Research and Development Online, Volume 2, Issue 5, 1-7.
Beetge, E., Plessis, J., Muller, D. G., Goosen, C., Rensburg, F. J. (2000). The
Influence of The Physicochemical Characteristics and Pharmacokinetic
Properties of Selected NSAIDs on Their Transdermal Absorption.
International Journal of Pharmaceutics, 193, 261-264.
British Pharmacopoeia Commission. (2009). British Pharmacopoeia 2009 Volume
I dan II. London: Crown.
Christina. (2006). Pengaruh Asam Oleat, Etanol, dan Urea terhadap Profil
Penetrasi Perkutan Glukosamin secara In Vitro Menggunakan Sel Difusi
Franz. Depok: Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
CTFA-COLIPA. (2004, March). Guideline on Stability Testing of Cosmetic
Products, 1-7.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia. (Edisi
IV). Jakarta: Badan Nasional Pengawasan Obat dan Makanan.
43
and
Indomethacin
in
Rheumatoid
Arthritis.
Clinical
rheumatology, 3, No 2, 217-222.
Gunawan, S. G. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Heyneman, C. A., Lawless-Liday, C., Wall, G. C. (2000). Oral Versus Topical
NSAIDs in Rheumatic Disease: A Comparison. Drugs, 60 (3), 555-574.
Jager, M.W. de, Ponec, M., & Bouwstra, J. A. (2007). The Lipid Organization in
Stratum Corneum and Model Systems Based on Ceramides. In Elka
Touitou & Brian W. Barry (Ed.). Enhancement in Drug Delivery. CRC
Press, United States of America.
Jug, M., Becirevic-Lacan, M., Kwokal, A., Cetina-Cizmek, B. (2005). Influence
of Cyclodextrin Complexation on Piroxicam Gel Formulations. Acta
Pharm, 55, 223-236.
Kaur, L. P., Garg, R., Gupta, G. D. (2010). Development and Evaluation of
Topical Gel of Minoxidil From Different Polymer Bases In Application of
Alopecia. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences,
Volume 2, 43-47.
Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. (1993). Farmasi Fisik Jilid II. (Edisi
III). (Joshita Djajadisastra, Penerjemah). Jakarta: UI-Press.
McLaughlin, G. (n.d). A Double-Blind Comparative Study of Piroxicam and
Ibuprofen in the Treatment of Rheumatoid Arthritis. Seminars in Arthritis
and Rheumatism, Volume 14, Issue 3.
Miljministeriet.
(2011)
Skin
penetration.
http://www.mst.dk/udgiv/publications/2009/978-87-7052-9808/html/kap06_eng.htm
ONeil, M. J. (2001). The Merck Index An Encyclopedia, Chemicals, Drugs, and
Biologicals 13th Ed. New York: Merck Research Laboratories Division of
Merck & Co.
Patel(a), J., Patel(b), B., Banwait, H., Parmar, K., Patel(c), M. (2011).
Formulation and Evaluation of Topical Aceclofenac Gel Using Different
44
45
Lampiran 1. Brosur
Pensikam Gel 60 g
Komposisi
Tiap gram mengandung Piroksikam 5 mg dan Mentol 50 mg.
Indikasi
Nyeri otot dan sendi, inflamasi misal osteoarthritis, posttrauma atau kelaianan otot rangka akut termasuk
tendinitis, tenosynovitis, periarthritis, sprains (keseleo),
strains (otot tegang), dan sakit punggung bawah.
Kontra Indikasi
Hentikan pengunaan jika nyeri radang sendi lebih dari 10
hari atau jika kulit menjadi merah, jangan digunakan pada
kulit dengan luka terbuka atau teriritasi, hindari kontak
dengan mata atau membran mukosa.
Dosis
Oleskan 1 g pada daerah yang menderita 3-4 kali sehari.
Penyimpanan
Simpan dalam keadaan sejuk pada suhu dibawah 30o C.
DKL7211836948B1
Diproduksi oleh: PT. Mitra Senjaya Farma
MSF
46
47
48
Hasil Diskusi
1. Dewi:
a. Apa perbedaan uji penetrasi yang menggunakan sel difusi Franz
dengan uji efek antiinflamasi yang menggunaakan tikus?
Jawab:
Uji penetrasi menggunakan sel difusi Franz merupakan uji secara in vitro
yang bertujuan untuk mengetahui difusi bahan aktif dari suatu sediaan
dengan cara mengukur konsentrasi bahan aktif dalam kompartemen
akseptor pada selang waktu tertentu. Kandungan bahan aktif ditentukan/
diukur dengan spektrofotometer UV-Vis.
Sedangkan, uji efek antiinflamasi dengan tikus merupan uji secara in vivo
yang bertujuan mengetahui apakah suatu sediaan efektif dalam mengatasi
inflamasi jika diaplikasikan.
b. Apakah uji-uji tersebut harus dilakukan pada semua sediaan
semisolid?
Jawab:
Kedua uji di atas tidak harus dilakukan pada semua sediaan semisolid. Uji
efek antiinflamasi secara in vivo hanya dilakukan pada sediaan semisolid
yang bekerja secara transdermal. Sedangkan, uji penetrasi secara in vitro
dengan sel difusi Franz bisa digunakan sebagai uji kemampuan penetrasi
suatu bahan aktif pada sediaan yang bekerja sistemik, maupun pada
sediaan yang bekerja lokal.
Catatan tambahan: uji penetrasi secara in vitro dapat dilakukan dengan
berbagai jenis membran, antara lain membran dari kulit hewan, membran
dari kulit manusia, dan membran buatan atau artifisial.
2. Yuliana:
Pengawet yang biasa digunakan untuk sediaan semisolid adalah
metilparaben dan propilparaben, apakah ada pengawet lain yang bisa
digunakan?
Jawab:
49
Pengawet yang dapat digunakan untuk sediaan semisolid ada bermacammacam, tidak hanya metalparaben dan propilaraben. Masing-masing pengawet
tersebut memiliki efektivitas yang berbeda-beda, serta memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Penggunaan metilparaben dan propilparaben
lebih disukai karena keduanya memiliki spektrum yang luas sebagai
antimikroba dan antijamur. Penggunaan secara kombinasi metilparaben dan
propilparaben sebagai pengawet memiliki efektivitas yang lebih baik
dibandingkan penggunaan tunggal.
Catatan tambahan: senyawa polimer pembentuk basis ada tiga macam,
polimer dari alam, polimer semisintetik, dan polimer sintetik. Polimer alam
paling rentan terhadap pertumbuhan mikroba, sehingga sediaan yang
mengandung polimer alam harus ditambahkan pengawet. Sedangkan, polimer
semisintetik dan sintetik lebih tahan terhadap kontaminasi mikroba.
3. Tambahan dari Bu Silvi:
Bagaimana peraturan di negara lain mengenai uji yang mengunakan
hewan?
Jawab:
Etika
pengujian
terhadap
hewan
merupakan
masalah
yang
PETA merasa bahwa hewan tidak boleh digunakan untuk makanan, pakaian,
hiburan, dan eksperimentasi. Mereka mempercayai bahwa hewan harus
memiliki hak yang sama seperti manusia, dan pengujian yang berpotensi
berbahaya tidak boleh dipaksakan pada hewan-hewan yang digunakan.
Sementara itu, Americans for Medical Progress (AMP) merasa bahwa ada
manfaat dari pengujian terhadap hewan.
Terdapat dua pendapat dalam penggunaan hewan sebagai objek
pengujian: Pertama, yang mendukung penggunaan hewan percobaan. Mereka
berpendapat bahwa percobaan pada hewan dapat diterima jika (dan hanya
jika) penderitaan terhadap hewan dapat diminimalkan dalam semua percobaan
dan manfaat yang diperoleh manusia tidak dapat diperoleh dengan
menggunakan metode lain. Kedua, yang menentang penggunaan hewan
percobaan. Mereka berpendapat bahwa percobaan pada hewan tidak dapat
diterima karena menyebabkan penderitaan hewan, manfaat kepada manusia
tidak terbukti, dan untuk memperoleh manfaat bagi manusia masih dapat
diperoleh dengan metode yang lain.
RDS menganggap bahwa penggunaan hewan dalam penelitian dapat
dibenarkan secara etis dan moral. Manfaat penelitian terhadap hewan sangat
besar dan akan memiliki konsekuensi besar bagi kesehatan masyarakat dan
penelitian medis jika tidak dilakukan. Meskipun demikian, penggunaan 3Rs
(Replacement, Reduction, and Refinement) sangat penting untuk terusmenerus mengurangi jumlah dan penderitaan hewan dalam penelitian. Selain
itu,
peraturan/regulasi-sebagaimana
yang
diterapkan
di
Inggris-dapat
The
Ethics
of
Animal
Testing.
http://www.exampleessays.com/viewpaper/39647.html
52