You are on page 1of 52

RANCANGAN DAN PENGEMBANGAN FORMULA

Pensikam Gel

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
Ahmad Senjaya

1106049561

Cynthya Esra W. S.

1106046774

Irma Aprinita

1106047000

Nyssa Adriana

1106047272

Wulan Yuliastuti

1106047474

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK

2011
1

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Rancangan dan
Pengembangan Formula Pensikam Gel ini berhasil diselesaikan. Makalah ini
dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Rancangan dan Pengembangan
Formula, Program Apoteker, Departemen Farmasi, Universitas Indonesia.
Makalah ini menjelaskan alasan dibentuk sediaan gel untuk efek
antiinflamasi, alasan pemilihan piroksikam sebagai agen antiinflamasi, studi
praformulasi yang dilakukan dan alasan pemilihan bahan-bahan tambahan yang
digunakan, formulasi dan cara pembuatannya, serta evaluasi-evaluasi yang
dilakukan terhadap sediaan gel antiinflamasi, baik dari segi fisik, kimia, maupun
mikrobiologinya.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi para calon
apoteker dalam menjalankan tugasnya mengabdi kepada masyarakat di kemudian
hari. Demi menyempurnakan makalah ini, saran dan kritik yang membangun
diharapkan oleh penulis.
Depok, November 2011

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................
i
KATA PENGANTAR..................................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................................
iii
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................
1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................
3
2.1

Kulit
3

2.2

Gel
7

2.3

Obat Antiinflamasi Non Steroid .


10

2.4

Piroksikam
11

BAB 3 PRAFORMULASI..........................................................................................
12
3.1

Permasalahan
12

3.2

Alasan Pemilihan Bahan


12

3.3

Sifat Fisikokimia Bahan


14

BAB 4 FORMULASI..................................................................................................
24

4.1

Perhitungan Bahan
24

4.2

Formulasi Gel Piroksikam


25

4.3

Formulasi Gel Piroksikam per Batch (1000 tube)


25

4.4

Pembuatan Gel Piroksikam


26

BAB 5 EVALUASI......................................................................................................
28
5.1

In Process Control
28

5.2

Post Process Control


34

DAFTAR ACUAN.......................................................................................................
39

BAB 1
PENDAHULUAN
Obat Analgesik-antiinflamasi Non Steroid (AINS) adalah sekelompok obat
yang heterogen secara kimia namun memiliki aktivitas serupa, yaitu aktivitas
analgesik dan antiinflamasi, serta antipiretik. Mekanisme kerja obat golongan ini
adalah dengan menghambat biosintesis prostaglandin dari asam arakidonat karena
penghambatan enzim siklooksigenase.
Prostaglandin berperan dalam rasa nyeri yang diakibatkan karena
kerusakan jaringan dan inflamasi. Reaksi nyeri disebabkan oleh sensitisasi sel
nyeri terhadap stimulasi mekanik dan mediator kimiawi (bradikinin dan histamin)
yang aktivitasnya diperkuat oleh prostaglandin. Pada inflamasi, prostaglandin
menimbulkan reaksi kemerahan, vasodilatasi, dan peningkatan aliran darah.
Inflamasi terjadi melalui 3 fase, yaitu fase akut (terjadi vasodilatasi lokal dan
peningkatan permeabilitas membran), fase lambat/subakut (terjadi infiltrasi
leukosit serta fagositosis) dan tahap proliferatif (terjadi degenerasi dan fibrosis).
Obat AINS dibagi menjadi 3 golongan, yaitu golongan asam karboksilat,
golongan enolat, dan golongan penghambat selektif reseptor COX-2. Obat
golongan asam karboksilat diantaranya asetosal, asam mefenamat, indometasin,
ibuprofen, dan diklofenak. Sedangkan obat golongan enolat diantaranya
fenilbutazon, metampiron, dan piroksikam. Indikasi obat-obatan tersebut
umumnya ditujukan untuk penyakit yang memiliki gejala inflamasi, nyeri, dan
demam, seperti demam rematik, artritis rheumatoid, osteoartritis, nyeri otot, atau
inflamasi yang disebabkan oleh pirai.
Obat AINS umumnya diberikan melalui sediaan oral, namun terdapat
beberapa senyawa yang telah diformulasikan untuk sediaan topikal. Sediaan
topikal umumnya diberikan untuk efek lokal pada bagian yang mengalami nyeri
atau pembengkakan. Sediaan topikal untuk obat AINS, berupa gel, krim yang
mengandung bahan tambahan seperti metil salisilat atau mentol yang memberikan
rasa hangat pada otot yang tegang. Beberapa sediaan topikal yang telah beredar
mengandung diklofenak dan piroksikam.

Piroksikam merupakan salah satu obat golongan AINS yang banyak


digunakan pada penyakit arthritis. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan,
piroksikam diketahui lebih efektif dalam terapi untuk arthritis dibandingkan
dengan obat AINS lainnya (Dolmjan dan Durrigl, 1984; Balogh et al., 1979;
McLaughlin, n.d). Akan tetapi, seperti obat AINS pada umumnya, piroksikam
juga menyebabkan efek samping perdarahan saluran pencernaan, meskipun lebih
ringan dibandingkan obat AINS lainnya (Balogh et al., 1979).
Untuk menghindari atau mengurangi efek samping tersebut, maka
dikembangkan

sediaan

piroksikam

topikal

untuk

melokalisasi

efeknya.

Keuntungan sediaan topikal adalah efek lokal dan cepat menimbulkan efek pada
bagian jaringan yang mengalami nyeri atau pembengkakan, serta dapat
mengurangi efek samping pada saluran cerna dan efek sistemik yang tidak
dibutuhkan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai rancangan pengembangan
formula untuk sediaan gel anti rematik/anti arthritis yang mengandung
piroksikam.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Kulit
Kulit merupakan organ penting yang menutupi seluruh permukaan luar

tubuh, membentuk lapisan protektif untuk menghindari patogen dan cedera yang
berasal dari lingkungan. Kulit adalah organ terbesar, tebalnya kira-kira 2 mm dan
beratnya sekitar 6 pon. Kulit melindungi tubuh dari temperatur udara, cahaya,
cedera, dan infeksi. Kulit juga membantu untuk menjaga temperatur tubuh;
sebagai indera peraba; menyimpan air, lemak, dan vitamin D; dan berperan
sebagai sistem imun terhadap penyakit.
Kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu: epidermis, dermis, dan subkutan.

[Sumber: Singh, Garg(a), Garg(b), Gangwar, Sharma, 2010]

Gambar 2.1. Struktur kulit


2.1.1. Anatomi Kulit
Kulit terbagi atas dua lapisan utama, yaitu epidermis (kulit ari) sebagai
lapisan paling luar dan dermis (korium, kutis, kulit jangat). Di bawah dermis
terdapat subkutan atau jaringan lemak bawah kulit (Tranggono, 2007).
2.1.1.1. Epidermis
7

Epidermis merupakan lapisan kulit paling luar. Epidermis memiliki


ketebalan berbeda pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal berukuran 1 mm,
misalnya pada telapak kaki dan telapak tangan, dan paling tipis berukuran 0,1 mm
terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut. Sel epidermis ini disebut
keratinosit (Tranggono, 2007). Epidermis terbagi menjadi lima lapisan, yaitu:
1. Stratum corneum (lapisan tanduk)
Lapisan ini merupakan lapisan paling atas dan terdiri dari beberapa lapis
sel pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami metabolisme, tidak berwarna,
dan sedikit mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin (protein
yang tidak larut dalam air) dan sangat resisten terhadap bahan kimia. Secara
alami, sel-sel yang mati di permukaan kulit akan melepaskan diri untuk
beregenerasi. Permukaan lapisan ini dilapisi oleh lapisan pelindung yang lembab,
tipis, dan bersifat asam disebut mantel asam kulit (Tranggono, 2007).
Umumnya, pH fisiologis mantel asam kulit berkisar antara 4,5-6,5. Mantel
asam kulit memiliki fungsi yang cukup penting bagi perlindungan kulit sehingga
disebut the first line barrier of the skin (perlindungan kulit yang pertama).
Mantel asam kulit memiliki tiga fungsi pokok, yaitu:
1) Sebagai penyangga (buffer) untuk menetralisir bahan kimia yang terlalu
asam atau terlalu alkalis yang masuk ke kulit.
2) Dengan sifat asamnya, dapat membunuh atau menekan pertumbuhan
mikroorganisme yang berbahaya bagi kulit.
3) Dengan sifat lembabnya, dapat mencegah kekeringan kulit (Tranggono,
2007).
2. Stratum lucidum (lapisan jermih)
Lapisan ini disebut juga lapisan barrier dan terletak tepat di bawah
stratum corneum. Lapisan ini merupakan lapisan tipis, jernih, mengandung
eleidin, dan tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki (Tranggono, 2007).
3. Stratum granulosum (lapisan berbutir-butir)
Lapisan ini merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng tersusun atas sel-sel
keratinosit berbentuk poligonal, berbutir kasar, dan berinti mengkerut. Butir-butir
kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak memiliki lapisan ini.

Lapisan ini juga tampak jelas pada telapak tangan dan kaki (Tranggono, 2007;
Wasitaatmadja, 1997).
4. Stratum spinosum (lapisan malphigi)
Lapisan ini memiliki sel berbentuk kubus dan seperti berduri, berinti besar
dan berbentuk oval. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan kulit semakin
berbentuk gepeng. Setiap sel berisi filamen kecil yang terdiri atas serabut protein.
Di antara sel-sel stratum spinosum terdapat sel Langerhans yang mempunyai
peran penting dalam sistem imun tubuh (Tranggono, 2007; Wasitaatmadja, 1997).
5. Stratum germinativum (lapisan basal atau membran basalis)
Lapisan ini merupakan lapisan terbawah epidermis. Di dalamnya terdapat
sel-sel melanosit, yaitu sel yang tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya
membentuk pigmen melanin dan melalui dendrit diberikan kepada sel-sel
keratinosit. Satu sel melanin untuk sekitar 36 sel keratinosit disebut unit melanin
epidermal (Tranggono, 2007).
2.1.1.2. Dermis
Lapisan ini lebih tebal daripada epidermis, terdiri dari serabut kolagen dan
elastin, berada dalam substansi dasar yang bersifat koloid dan terbuat dari gelatin
mukopolisakarida. Di dalam dermis terdapat adneksa kulit, seperti folikel rambut,
papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak
rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang
terdapat pada lapisan lemak bawah kulit.
Dermis tersusun atas dua lapisan, yaitu lapisan papilari dan lapisan
retikular. Lapisan yang dekat dengan epidermis adalah lapisan papilari yang terdiri
atas jaringan kolagen, serat elastin, dan fibroblas. Lapisan dalam adalah lapisan
retikular, mempunyai lebih sedikit jaringan fibroblas dan lebih banyak kolagen
(Tranggono, 2007; Wasitaatmadja, 1997).
2.1.1.3. Hipodermis
Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak. Sel lemak
merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma
lemak yang bertambah. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus berfungsi
9

sebagai cadangan makanan. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi,
pembuluh darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama
bergantung pada lokasi (Wasitaatmadja, 1997).
2.1.2. Penetrasi Obat Melalui Kulit
Obat dapat menembus melewati kulit melalui tiga cara (Roberts, Cross &
Pellett, 2002; Jager, Ponec & Bouwstra, 2007), yaitu:
2.1.2.1. Transelular atau intraselular
Permeasi obat melalui jalur transelular atau langsung menembus sel hanya
terjadi dalam jumlah sangat kecil. Hal ini dipengaruhi oleh sel tanduk yang sulit
ditembus.
2.1.2.2. Paraselularatau interselular
Jalur ini memegang peranan penting dalam permeasi obat karena sebagian
besar obat menembus stratum korneum melalui jalur ini. Bagian interseluler atau
celah antar sel stratum korneum tersusun atas lipid bilayer. Oleh karena itu,
peningkatan permeasi obat dilakukan dengan memodifikasi atau mempengaruhi
lapisan lipid bilayer ini.
2.1.2.3. Transapendageal
Pada rute transapendageal ini obat berpermeasi melalui kelenjar sebasea,
folikel rambut, ataupun kelenjar keringat. Jalur ini kurang memegang peranan
penting dalam permeasi obat karena luas permukaan yang kecil (hanya 0,1% dari
luas permukaan kulit). Akan tetapi jalur ini dapat menjadi rute alternatif untuk
obat dengan target spesifik.

10

[Sumber: Miljministeriet, 2011]

Gambar 2.2. Rute penetrasi obat


2.2 Gel
2.2.1. Definisi Gel (Departemen Kesehatan RI, 1995)
Gel atau jelli adalah sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat
dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar terpenetrasi
oleh suatu cairan.
2.2.2. Klasifikasi Gel (Ansel, 1989)
Gel dapat digolongkan menjadi beberapa jenis.
2.2.2.1. Berdasarkan Sifat Fasa Koloid
a. Gel organik
Gel organik merupakan sistem satu fase karena matriks padat dilarutkan
dalam cairan membentuk suatu campuran yang homogen. Contoh: gel tragakan
dan karboksimetilselulosa
b. Gel anorganik
Gel anorganik umumnya merupakan sistem dua fase yang sifatnya tidah
stabil. Gel tersebut akan membentuk massa setengah padat pada pendiaman dan
menjadi cairan jika dikocok . Contoh: gel bentonit dan gel magnesium.

11

2.2.2.2. Berdasarkan Sifat Pelarut


a.

Hidrogel (pelarut air)


Hidrogel pada umumnya terbentuk oleh molekul polimer hidrofilik yang

saling sambung silang melalui ikatan kimia atau gaya kohesi seperti interaksi
ionik, ikatan hidrogen atau interaksi hidrofobik. Hidrogel mempunyai
biokompatibilitas yang tinggi sebab hidrogel mempunyai tegangan permukaan
yang rendah dengan cairan biologi dan jaringan sehingga meminimalkan kekuatan
adsorbsi protein dan adhesi sel; hidrogel menstimulasi sifat hidrodinamik dari gel
biologikal, sel dan jaringan dengan berbagai cara; hidrogel bersifat lembut/ lunak,
elastis sehingga meminimalkan iritasi karena friksi atau mekanik pada jaringan
sekitarnya. Kekurangan hidrogel yaitu memiliki kekuatan mekanik dan kekerasan
yang rendah setelah mengembang. Contoh: bentonit magma, gelatin.
b.

Organogel (pelarut bukan air/ pelarut organik)


Contoh: plastibase (suatu polietilen dengan BM rendah yang terlarut

dalam minyak mineral dan didinginkan secara shock cooled), dan dispersi logam
stearat dalam minyak.
c.

Xerogel
Gel yang telah padat dengan konsentrasi pelarut yang rendah diketahui

sebagai xerogel. Xerogel sering dihasilkan oleh evaporasi pelarut, sehingga sisasisa kerangka gel yang tertinggal. Kondisi ini dapat dikembalikan pada keadaan
semula dengan penambahan agen yang mengimbibisi, dan mengembangkan
matriks gel. Contoh : gelatin kering, tragakan ribbons dan acacia tears, serta
selulosa kering dan polistiren.
2.2.2.3. Berdasarkan jenis fase terdispersi
a.

Gel fase tunggal, terdiri dari makromolekul organik yang tersebar serba
sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara
molekul makro yang terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari
makromolekul sintetik (misal karbomer) atau dari gom alam (misal tragakan).
Molekul organik larut dalam fasa kontinu.

b.

Gel sistem dua fasa, terbentuk jika masa gel terdiri dari jaringan partikel
kecil yang terpisah. Dalam sistem ini, jika ukuran partikel dari fase terdispersi
12

relatif besar, masa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma. Partikel


anorganik tidak larut, hampir secara keseluruhan terdispersi pada fasa kontinu.
2.2.3. Formulasi Gel (Ansel, 1989)
Dalam membuat suatu formulasi gel, seharusnya dirancang berdasarkan
pemahaman yang luas mengenai komposisi atau bahan-bahan didalamnya,
misalnya dengan mempertimbangkan stabilitasnya, keamanan, pengawet, dan
kemudahan untuk digunakan. Suatu gel, selain mengandung bahan-bahan
pembentuk gel atau yang disebut gelling agents, dapat juga mengandung
humektan, pengawet, chelating agents (pengikat logam), pewarna, dan pewangi.
Gel dapat mengandung zat aktif atau bahan berkhasiat, dapat juga tidak
mengandung bahan tersebut apabila digunakan sebagai lubrikan (pelicin) pada
kateter ataupun sarung tangan.
2.2.4. Metode Pembuatan Gel Secara Umum (Ansel, 1989)
Gel umumnya memiliki viskositas yang tinggi, jadi penting sekali untuk
memilih peralatan untuk membuat gel dalam bentuk seperti ini. Contohnya, alat
untuk mencampur harus mampu mencampur secara merata, harus dilengkapi
dengan alat untuk menghilangkan gelembung udara dan alat disesuaikan pada
transportasi, penyaringan (filterisasi) dan pendinginan zat dengan viskositas
tinggi. Karena transparansi penting bagi suatu gel, maka perlu diperhatikan
disolusi dan keseragaman bahan pembuatnya.
Pada prinsipnya pembuatan gel adalah pendispersian fase tak larut ke
dalam suatu sistem terdispersi. Umumnya gel dibuat baru atau segar dengan cara
pengendapan fase terdispersi agar mendapatkan suatu derajat kehalusan dari
bagian-bagian partikel dan sifat seperti gelatin dari partikel-partikel tersebut.
Endapan bersifat gelatin yang diinginkan dapat dihasilkan apabila larutan unsur
anorganik bereaksi membentuk senyawa kimia yang tidak larut serta mempunyai
daya tarik menarik yang tinggi dengan air.
Sesuai dengan prinsipnya, metode pembuatan sediaan semisolid dibagi
menjadi 2 metode, yaitu:

13

1. Metode pelelehan (fusion)


Zat pembawa dan zat berkhasiat dilelehkan bersama dan diaduk sampai
membentuk fase yang homogen.
2. Metode triturasi
Zat yang tidak larut dicampur dengan sedikit basis yang akan dipakai atau
dengan salah satu zat pembantu, kemudian dilanjutkan dengan penambahan sisa
basis. Dapat juga digunakan pelarut organik untuk melarutkan terlebih dahulu zat
aktifnya, kemudian baru dicampur dengan basis yang akan digunakan.
2.3 Obat Antiinflamasi Non Steroid (Heyneman, Lawless-Liday, & Wall, 2000
dan Jug, Becirevic-Lacan, Kwokal, & Cetina-Cizmek, 2005)
Obat

Analgesik-antiinflamasi

Non

Steroid

(OAINS)

merupakan

sekelompok obat yang heterogen secara kimia namun memiliki aktivitas yang
serupa yang memiliki aktivitas analgesik dan antiinflamasi serta antipiretik.
Analgesik adalah obat yang dapat mengurangi kemampuan penerimaan
rangsangan sehingga dapat menghilangkan rasa nyeri tanpa hilangnya kesadaran.
Antiinflamasi merupakan obat yang dapat mengurangi gejala peradangan atau
pembengkakan pada jaringan tubuh. Antipiretik adalah obat yang dapat
menurunkan suhu tubuh yang sedang mengalami demam. Mekanisme kerja obat
golongan ini adalah dengan menghambat biosintesis prostaglandin dari asam
arakidonat karena penghambatan enzim siklooksigenase.
Prostaglandin berperan dalam rasa nyeri yang diakibatkan oleh adanya
kerusakan jaringan serta inflamasi. Reaksi nyeri disebabkan oleh sensitisasi sel
nyeri terhadap stimulasi mekanik dan mediator kimiawi (bradikinin dan histamin)
yang aktivitasnya diperkuat oleh prostaglandin. Pada inflamasi, prostaglandin
menimbulkan reaksi kemerahan, vasodilatasi dan pengingkatan aliran darah.
Inflamasi terjadi melalui 3 fase, yaitu fase akut (terjadi vasodilatasi lokal dan
peningkatan permeabilitas membran), fase lambat/subakut (terjadi infiltrasi
leukosit serta fagositosis) dan tahap proliferatif (terjadi degenerasi dan fibrosis).
Obat AINS dibagi menjadi 3 golongan, yaitu golongan asam karboksilat,
golongan enolat, dan golongan penghambat selektif reseptor COX-2. Obat
golongan asam karboksilat diantaranya asetosal, asam mefenamat, indometasin,
14

ibuprofen, dan diklofenak, sedangkan obat golongan enolat diantaranya


fenilbutazon, metampiron, dan piroksikam. Indikasi obat-obatan tersebut
umumnya ditujukan untuk penyakit yang memiliki gejala inflamasi, nyeri, serta
demam, seperti demam rematik, artritis rheumatoid, osteoartritis, nyeri otot, atau
inflamasi yang disebabkan oleh pirai.
Obat AINS umumnya diberikan melalui sediaan oral namun terdapat
beberapa senyawa yang diformulasikan untuk sediaan topikal. Sediaan topikal
umumnya diberikan untuk efek lokal pada bagian yang mengalami nyeri atau
pembengkakan. Keuntungan sediaan topikal adalah efek lokal dan cepat pada
bagian jaringan yang mengalami nyeri atau pembengkakan serta dapat
mengurangi efek samping pada saluran cerna dan efek sistemik yang tidak
dibutuhkan. Sediaan topikal untuk obat AINS dapat berupa gel, krim yang
mengandung bahan tambahan seperti metil salisilat atau mentol yang memberikan
rasa hangat pada otot yang tegang. Beberapa sediaan topikal yang telah beredar
mengandung diklofenak dan piroksikam.
2.4 Piroksikam
Piroksikam adalah salah satu obat AINS yang diformulasi untuk sediaan
topikal. Senyawa ini merupakan senyawa anti inflamasi non steroid yang
potensial dalam terapi arthritis rematoid, osteoathritis, luka memar, dan inflamasi
lainnya seperti nyeri otot. Absorbsi secara oral baik, namun menimbulkan
gangguan gastrointestinal. Oleh karena itu, dikembangkanlah sediaan topikal.
Berdasarkan pertimbangan sifat fisikokimianya, piroksikam sesuai untuk sediaan
topikal. Piroksikam diketahui cenderung berada dalam bentuk molekulnya pada
pH kulit (Jug, Lacan, Kwokal, & Cizmek, 2005). Bioavalabilitasnya pada
pemakaian topikal kurang dari 5% dengan konsentrasi plasma kurang dari 15%
dibandingkan pemberian oral. Konsentrasi pada dermis setelah pemakaian topikal
cukup tinggi dibandingkan dengan pemakaian oral. Piroksikam merupakan obat
AINS yang memiliki aktivitas yang cukup panjang dibandingkan dengan
diklofenak. Untuk pemakaian topikal (gel 0,5%) digunakan 3-4 hari sekali.

15

BAB 3
PRAFORMULASI
3.1 Permasalahan
1.

Permasalahan

: Pegal, nyeri sendi dan rematik dapat disebabkan oleh


adanya inflamasi.

Solusi

: Formulasi sediaan dengan zat aktif antiinflamasi yang


dapat mengatasi inflamasi secara cepat. Oleh karena itu,
diformulasi sediaan topikal dengan zat aktif piroksikam
yang mempunyai aktifitas antiinflamasi yang kuat dan
durasinya lama serta dapat diberikan secara topikal.

2.

Permasalahan

: Piroksikam praktis tidak larut dalam air.

Solusi

: Piroksikam dilarutkan dalam etanol (1 gram dalam 30-100


ml etanol) dan kelarutan ditingkatkan dengan penambahan
propilen glikol

3.

Permasalahan

: Basis gel (karbomer) bersifat asam (pH=2,7-3,5)

Solusi

: Dibasakan

dengan

penambahan

senyawa

amin

(trietanolamin) dan untuk membentuk massa gel dengan


viskositas yang diinginkan.
4.

Permasalahan

: Trietanolamin akan mengalami perubahan warna jika

Solusi

berkontak dengan logam atau ion logam.


: Penambahkan chelating agent (disodium edetat) dan
menggunakan wadah tube plastik.

5.

Permasalahan

: sediaan gel mengandung banyak air yang memungkinkan


pertumbuhan mikroba

Solusi

: menggunakan kombinasi metil paraben dan propil paraben


sebagai pengawet.

3.2 Alasan Pemilihan Bahan


BAHAN
Piroksikam

FUNGSI
Zat aktif AINS

ALASAN PEMILIHAN BAHAN


Piroksikam adalah obat golongan
AINS yang efektif untuk antiinflamasi.
16

Dibandingkan

dengan

obat

AINS

lainnya yang umum digunakan untuk


terapi ini, piroksikam memiliki masa
Zat aktif yang
L-Mentol

memberikan

kerja yang lebih panjang.


Dapat memberikan rasa dingin pada
kulit.

kenyamanan
Carbomer merupakan gelling agent
yang stabil dan kuat. Hanya diperlukan
dalam konsentrasi kecil 0,5-2%.
Carbomer merupakan polimer sintetik
yang baik dalam membuat sediaan gel.
Carbomer dipilih dalam formulasi ini
karena mempertimbangkan
Carbomer 940

Gelling agent

kestabilannya untuk menjadi basis gel


dibandingkan polimer alam ataupun
semisintetis. Carbomer dapat
membentuk gel jernih dengan
konsistensi yang dapat diatur dengan
variasi pH. Carbomer tidak memiliki
interaksi dengan bahan aktif yang

Membentuk massa

digunakan.
Peningkatan pH karbomer (2,5-3,5)

Trietanolamin

gel dan

akan meningkatkan viskositas massa

(TEA)

menetralkan pH

karbomer karena pada pH di antara 6-

sediaan.

11 viskositasnya relatif lebih tinggi.


Piroksikam praktis tidak larut dalam

Etanol

Propilen glikol

Pelarut

air. Oleh karena itu, digunakan etanol


untuk melarutkan piroksikam dengan

Meningkatkan

kelarutan 1 g dalam 30-100 ml.


Propilen glikol digunakan sebagai

kelarutan

humektan yang efektif untuk menjaga

piroksikam dan

agar sediaan tidak kering dan tetap

humektan

lembab. Propilen glikol juga dapat


17

meningkatkan kelarutan piroksikam

Metil paraben dan

Pengawet

propil paraben

(antimikroba)

dalam etanol.
Penggunaan kombinasi keduanya dapat
memberikan efek antimikroba dan
antijamur yang baik dibandingkan
penggunaan tunggal.
Trietanolamin
akan
mengalami
diskolorasi jika terekspos sinar UV dan

Na2EDTA

chelating agent

berkontak dengan logam atau ion


logam, maka diperlukan penambahan
disodium

edta

sebagai

agen

pengkhelat.
3.3 Sifat Fisikokimia Bahan
3.3.1

Piroksikam (British Pharmacopoeia Commission, 2009)

[Sumber: ONeil, 2001]

Gambar 3.1. Struktur kimia piroksikam


Nama kimia

: 4-hydroxy-2-methyl-N-(2-pyridyl)-2H
1,2 benzothiazine-3-carboxamide,1,1 dioxide

BM

: 331,35

Pemerian

: serbuk kristal putih atau agak kekuningan

Kelarutan

: praktis tidak larut dalam air, agak larut dalam etanol

pKa

: 5,3

log P

: 1,8

Persentase unionized pada pH mantel asam kulit: 75,95%; dengan kelarutan pada
stratum korneum tergolong rendah. Oleh karena kelarutannya yang rendah,
molekulnya tidak tertahan pada stratum korneum dan dapat terabsorbsi ke bagian
lebih dalam (Beetge, Plessis, Muller, Goosen, & Rensburg, 2000).
Stabilitas

: stabil terhadap suhu, kondisi penyimpanan.


18

Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya.


3.3.2

L-Mentol (Rowe, Sheskey & Owen, 2006)

[Sumber: Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

Gambar 3.2. Struktur kimia L-mentol


Nama kimia

: (1RS,2RS,5RS)-()-5-Methyl-2-(1-methylethyl)
cyclohexanol

Sinonim

: Hexahydrothymol; 2-isopropyl-5-methyl cyclohexanol; 4iso-propyl-1-methylcyclohexan-3-ol; peppermint camphor;


racemic menthol

BM

: 156,27

Pemerian

: kristal heksagonal biasanya berbentuk jarum, atau berupa


massa padat, atau serbuk kristal. tidak berwarna, berbau
khas seperti peppermint

Kelarutan

: sedikit larut dalam air dan sangat mudah larut dalam etanol
95%

Titik leleh

: 41o - 44oC

Penyimpanan

: disimpan pada tempat yang sejuk, suhu 15o - 30oC, wadah


yang kering dan tertutup rapat.

3.3.3

Carbomer 940 (Rowe, Sheskey & Owen, 2006)


Carbomer adalah polimer asam akrilat sintetik dengan berat molekul yang

relatif besar yang berikatan dengan alil sukrosa atau aril eter dari pentaeritrol.
Dihitung dari bobot keringnya, senyawa ini mengandung 56-58% golongan asam
karboksilat (COOH). Berat molekulnya berkisar antara 7.105 sampai dengan 4.109.

19

Terdapat beberapa tipe carbomer, diantaranya 910, 934, 934P, 940, 941, 971P dan
974P.

[Sumber: Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

Gambar 3.3. Struktur kimia unit monomer asam akrilat dalam carbomer
Sinonim

: Acritamer; Carbopol; Pemulen; Ultrez

Pemerian

: putih, tekstur seperti kapas, bersifat asam, higroskopis serta


memiliki aroma yang khas.

Kelarutan

: larut atau mengembang dalam air, setelah proses netralisasi larut


dalam alkohol 95% dan gliserin.

Viskositas

: setiap tipe akan menghasilkan viskositas yang berbeda-beda.

Tabel 3.1. Viskositas Carbomer Berdasarkan Tipenya


Tipe Karbomer
(campuran dengan air

Viskositas

konsentrasi 0,5% b/v)


934
934P
940
941

30500-39400
29400-39400
40000-60000
4000-11000

Keasaman

: pH 2,7-3,5 untuk dispersi air 0,5% b/v

Stabilitas

: stabil dalam pemanasan dengan suhu dibawah 104C selama 2


jam. Suhu tinggi dapat menyebabkan diskolorasi dan mengurangi
stabilitas (suhu 260C selama 30 menit). Serbuk kering tidak
menyebabkan pertumbuhan jamur dan kapang, namun dengan
adanya air dapat mensuport pertumbuhan bakteri tanpa adanya
antimikroba.

Antimikroba

yang

dapat

digunakan

0,1%
20

klorokresol, 0,18% metilparaben dan 0,02% propilparaben, atau


0,1% timerosal. Stabilitasnya terhadap sinar UV meningkat
dengan menggunakan trietanolamin sebagai agen penetralnya.
Penyimpanan : Higroskopis,
Inkompatibilitas

: resorsinol (diskolorasi), fenol, polimer kationik, asam


kuat, elektrolit (inkompatibel), logam (mendegradasi
ikatan), fungsional amin aktif (kompleks tidak larut).

Carbomer dalam sediaan topikal digunakan sebagai agen pembentuk massa gel
dengan konsentrasi 0,5-2%. Untuk membuat massa gel, Carbomer perlu

didispersikan merata pada pelarut yang sambil diaduk kuat, dipastikan tidak ada
massa yang menggumpal dan tidak terbasahi. Agen penetral carbomer yang biasa
digunakan asam amino, boraks, kalium hidroksida, natrium bikarbonat, natrium
hidroksida, dan amin organik polar seperti trietanolamin. Untuk sistem nonpolar
biasa digunakan stearil dan laurel amin. 1 gram carbomer dinetralkan dengan 0,4
g natrium hidroksida. Dalam proses pengembangannya, massa ini perlu di aduk
secara perlahan dengan pengaduk tertentu untuk menghindari terbentuknya
gelembung udara. Karakteristik carbomer adalah perubahan viskositas pada
perubahan pH, pada pH di antara 6-11 viskositasnya relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan viskositas pada pH di bawah 3 atau di atas 12 atau dengan
adanya elektrolit kuat atau pemaparan sinar ultraviolet.
3.3.4

Trietanolamin (Rowe, Sheskey & Owen, 2006)

[Sumber: Rowe,

Sheskey, & Owen, 2006]

Gambar 3.4. Struktur

kimia trietanolamin

Nama

kimia

:
2,2,2-Nitrilotriethanol

Sinonim

: triethanolamine

(BP);

Trolamine

Sterolamide;

TEA;

Tealan;

(USP);

Daltogen;

triethylolamine;

trihydroxytriethylamine; tris(hydroxyethyl)amine.
BM

: 149,19

21

Pemerian

: cairan kental jernih, tidak berwarna sampai kuning pucat,


berbau sedikit amoniak

Kegunaan

: alkalizing agent; emulsifying agent; bufer; pelarut;


polymer plasticizers; humektan

Kelarutan

: larut dalam air

pH

: 10,5 (dalam larutan 0,1 N)

Inkompatibilitas

: trietanolamin adalah amin tersier yang mengandung gugus


hidroksi. Hal tersebut menyebabkan dia dapat bereaksi
dengan asam mineral membentuk garam kristalin dan
ester. Dengan asam lemak yang lebih tinggi, trietanolamin
membentuk garam yang larut dalam air dan memiliki
karakteristik seperti sabun. Trietanolamin juga bereaksi
dengan tembaga membentuk garam kompleks. Perubahan
warna dan pengendapan trietanolamin dapat terjadi dengan
adanya garam logam. Trietanolamin dapat bereaksi dengan
reagen seperti tionil klorida, gugus hidroksi digantikan
oleh halogen, produk dari reaksi ini sangat toksik.

Stabilitas

: trietanolamin dapat berubah menjadi coklat di bawah


paparan sinar matahari dan udara

Penyimpanan

: simpan trietanolamin pada wadah kedap udara, terlindung


dari cahaya; di tempat yang kering dan sejuk.

22

3.3.5

Propilen glikol (Rowe, Sheskey & Owen, 2006)

[Sumber: Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

Gambar 3.5. Struktur kimia propilen glikol


Nama kimia

: 1,2-Propandiol

Sinonim

: 1,2-Dihidroksipropan; 2-hidroksipropanol; metil etilen


glikol; metil glikol; propan-1,2-diol

BM

: 76,09

Pemerian

: cairan jernih, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau,


rasa agak manis, higroskopis

Kegunaan

: pengawet

antimikroba

(15-30%),

humektan

(15%),

plasticizer, pelarut (5-80%)


Kelarutan

: dapat bercampur dengan alkohol 95%, gliserin, dan air

Viskositas

: 58,1 mPa

Stabilitas

: propilen glikol pada suhu tinggi dan udara terbuka mudah


teroksidasi. Stabil saat dicampurkan dengan air, gliserin
dan etanol 95%.

Penyimpanan

: bersifat higroskopis, sehingga disimpan dalam kemasan


tertutup rapat dan terlindung dari cahaya dan pada tempat
yang dingin dan kering.

Inkompatibilitas
3.3.6

: agen pengoksidasi seperti kalium permanganat

Etanol (Rowe, Sheskey & Owen, 2006)

[Sumber: Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

Gambar 3.6. Struktur kimia etanol

23

Nama kimia

: ethanol

Sinonim

: ethyl alcohol; ethyl hydroxide; grain alcohol; methyl


carbinol

BM

: 46,07

Pemerian

: cairan mudah menguap, tidak berwarna, jernih, sedikit


berbau dan khas

Kegunaan

: pelarut, peningkat penetrasi, pengawet

Kelarutan

: dapat bercampur dengan air

Titik didih

: 78oC

3.3.7

Metil Paraben (Rowe, Sheskey & Owen, 2006)

[Sumber: Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

Gambar 3.7. Struktur kimia metil paraben


Sinonim

: Methyl hydroxybenzoate (BP);

Methylparaben (USP);

E218; 4-hydroxybenzoic acid methyl ester; Methyl


Chemosept; methyl p-hydroxybenzoate; Methyl Parasept;
Nipagin M; Solbrol M; Tegosept M; Uniphen P-23.
BM

: 152,15

Fungsi

: sebagai pengawet (0,02-0,3%).

Pemerian

: serbuk kristal atau kristalin putih, sedikit berbau atau tidak


berbau, sedikit berasa hangus.

Kelarutan

: dalam air 1:400; dalam air 50oC 1:50; dalam air 80oC
1:30; dalam etanol 1:2; dalam propilen glikol 1:5.

OTT

: Aktivitas antimikroba metilparaben berkurang dengan


adanya surfaktan nonionik, seperti polisorbat 80, sebagai
24

akibat dari miselisasi. Interaksi zat lain seperti bentonit,


magnesium trisilikat, talk, tragakan, natrium alginat,
minyak esensial, sorbitol, dan atropin pernah dilaporkan.
Penyerapan

metilparaben

oleh

plastik

juga

pernah

dilaporkan. Metilparaben mengalami perubahan warna


dengan adanya besi dan terhidrolisis oleh alkali lemah dan
asam kuat.
Stabilitas

: Larutan metil paraben pH 3-6 stabil (dekomposisi kurang


dari 10%) selama 4 tahun pada suhu kamar, sementara pada
pH 8 atau di atasnya, larutan metil paraben cepat
terhidrolisis (10% atau lebih, sekitar 60 hari pada suhu
kamar).

3.3.8

Propil Paraben (Rowe, Sheskey & Owen, 2006)

[Sumber: Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

Gambar 3.8. Struktur kimia propil paraben


Sinonim

: Propyl hydroxybenzoate

(BP); Propylparaben (USP);

Chemocide PK; E216; 4-hydroxybenzoic acid propyl ester;


Nipasol M; propagin; Propyl chemosept; propyl phydroxybenzoate; Propyl parasept; Solbrol P; Tegosept P;
Uniphen P-23.
BM

: 180,20

Fungsi

: sebagai pengawet (0,01-0,6%).

Pemerian

: serbuk kristalin warna putih, tidak berbau, dan tidak


berasa.

Kelarutan

: dalam air 15oC 1:4350; dalam air 1:2500; dalam air 80 oC


1:225; dalam etanol 1:1; dalam propilen glikol 1:3,9.

25

OTT

: Propil paraben berkurang dengan adanya surfaktan


nonionik

sebagai

hasil

dari

miselisasi.

Magnesium

alumunium silikat, magnesium trisilikat, besi kuning


oksida, dan ultramarin biru mengabsorbsi etilparaben, hal
ini menyebabkan penurunan efikasi pengawet.
Stabilitas

: Larutan propil paraben pH 3-6 stabil (dekomposisi kurang


dari 10%) selama 4 tahun pada suhu kamar, sementara pada
pH 8 atau di atasnya, larutan propilparaben cepat
terhidrolisis (10% atau lebih, sekitar 60 hari pada suhu
kamar).

3.3.9

Dinatrium edetat (Na2EDTA) (Rowe, Sheskey & Owen, 2006)

[Sumber: Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

Gambar 3.9. Struktur kimia dinatrium edetat


Nama kimia

: Ethylenediaminetetraaceticacid, disodium salt

Sinonim

: disodium

edathamil;

disodium

ethylenediamine

tetraacetate; edathamil disodium; edetate disodium; edetic


acid disodium salt; EDTA disodium
BM

: 336,21

Pemerian

: serbuk kristalin putih tidak berbau dan berasa sedikit asam

Kegunaan

: agen pengkhelat

Kelarutan

: larut dalam air 1:11; agak sukar larut dalam etanol 95%

pH

: 4,3-4,7 (dalam larutan bebas CO2 1% b/v)

Inkompatibilitas

: Dinatrium edta dapat bereaksi dengan logam membentuk


hidrogen. Dinatrium edta dapat menginakivasi beberapa
26

tipe insulin karena pengkhelatan zink, dan dapat juga


mengkhelat logam-logam dalam TPN
Stabilitas

: bentuk garam edta lebih stabil daripada bentuk asam


bebasnya

Penyimpanan

: simpan dinatrium edta dalam wadah tertutup rapat,


terlindung dari cahaya; di tempat kering dan sejuk

3.3.10. Aquadest
Aquadest adalah air murni yang diperoleh dengan penyulingan. Dibuat dari air
yang memenuhi persyaratan air minum. Dibandingkan dengan air minum biasa,
air murni lebih bebas dari kotoran zat-zat padat. Air murni dimaksudkan untuk
penggunaan dalam pembuatan bentuk-bentuk sediaan yang mengandung air,
kecuali dimaksudkan untuk pemberian parenteral.

27

BAB 4
FORMULASI
4.1. Perhitungan Bahan
Total sediaan yang akan dibuat = 60 gram
1. Piroksikam 5 mg/g sediaan
5 mg/g x 60 g = 300 mg

2. L-Menthol 5%

3. Karbomer 940 0,5%

4. Propilen Glikol 15%

5. Trietanolamin 4 ml TEA : 1 g Carbomer 940 (A-sasutjarit, Sirivat, &


Vayumhasuwan, 2011)
300 mg x 4 = 1,2 g
6. Etanol 5%

BJ = 0,8119 0,8139 g/L 0,81 g/L = 0,81 mg/mL

28

7. Metil paraben 0,1%

8. Propil paraben 0,1%

9. Disodium Edetat 0,01%

4.2. Formulasi Gel Piroksikam


Formulasi Gel Piroksikam
Piroksikam
0,5 %
L-Menthol
5 %
Carbomer 940
0,5 %
Propilen glikol
15 %
Trietanolamin
2 %
Etanol
5 %
Metil paraben
0,1 %
Propil paraben
0,1 %
Na2EDTA
0,01 %
Aquadest
71,79 %

Formulasi Gel Piroksikam per tube (60 g)


Piroksikam
0,3 g
L-Menthol
3
g
Carbomer 940
0,3 g
Propilen glikol
9
g
Trietanolamin
1,2 g
Etanol
3
g
Metil paraben
0,06 g
Propil paraben
0,06 g
Na2EDTA
0,006 g
Aquadest
43,074 g

29

4.3. Formulasi Gel Piroksikam per Batch (1000 tube)


Piroksikam
L-Menthol
Carbomer 940
Propilen glikol
Trietanolamin
Etanol
Metil paraben
Propil paraben
Na2EDTA
Aquadest

0,3
3
0,3
9
1,2
3
0,06
0,06
0,006
43,074

g x 1000 = 300
g x 1000 = 3000
g x 1000 = 300
g x 1000 = 9000
g x 1000 = 1200
g x 1000 = 3000
g x 1000 =
60
g x 1000 =
60
g x 1000 =
6
g x 1000 = 43074

g
g
g
g
g
g
g
g
g
g

4.4. Pembuatan Gel Piroksikam


1. Siapkan peralatan dan ruangan produksi, pastikan peralatan dan ruangan
produksi sudah dibersihkan sebelumnya.
2. Siapkan bahan-bahan yang diperlukan dalam formulasi, timbang keseluruhan
bahan sesuai dengan yang dibutuhkan.
3. FASE A :
3.1. Larutkan 300 g piroksikam dalam 2% etanol dan 5% propilen glikol.
3.2. Larutkan 3000 g mentol dalam 3% etanol dan 2% propilen glikol.
3.3. Larutkan 60 g metil paraben dalam 4% propilen glikol.
3.4. Larutkan 60 g propil paraben dalam 4% propilen glikol.
3.5. Larutkan 6 g disodium edetat dalam 11,79% aquadest.
3.6. Setelah masing-masing larutan tercampur homogen, kemudian kelima
larutan dicampur dan diaduk hingga homogen.
4. FASE B :
4.1. Dispersikan 300 g carbomer 940 dalam 50% aquadest sambil dilakukan
pengadukan hingga homogen.
5. Tambahkan secara perlahan TEA ke dalam fase B sambil diaduk hingga
diperoleh gel dengan konsistensi yang lebih kental (FASE C).
6. Masukkan fase A ke dalam fase C sambil diaduk pada kecepatan rendah
hingga keseluruhan campuran homogen.
7. Tambahkan sisa aquadest sambil diaduk hingga homogen.
8. Lakukan In Process Control.
9. Masukkan gel yang telah memenuhi persyaratan IPC ke dalam tube.
10. Tutup tube kemudian segel dan beri label.
30

11. Lakukan Post Process Control.

31

BAB 5
EVALUASI
5.1 In Process Control
5.1.1 Pengamatan Organoleptis (Patel(a), Patel(b), Banwait, Parmar, &
Patel(c), 2011)
Evaluasi penampilan umum suatu sediaan gel, meliputi pengamatan
terhadap homogenitas, perubahan warna, atau timbulnya bau. Pengamatan
organoleptis ini dilakukan secara visual.
5.1.2

Uji Daya Sebar (Kaur, Garg, & Gupta, 2010 dan Barhate, Potdar, &
Nerker, 2010)
Salah satu kriteria untuk memenuhi gel yang ideal, yaitu bahwa gel

tersebut harus memiliki kemampuan menyebar yang baik. Pemeriksaan ini untuk
menunjukkan sejauh mana kemampuan gel dapat dengan mudah untuk menyebar
saat diaplikasikan di kulit. Efektivitas terapetik juga bergantung pada nilai sebar
ini.
Kemampuan gel untuk menyebar dinyatakan dalam waktu (detik) dengan
menempatkan gel di antara dua slide dan diberi tekanan antara kedua slide
tersebut dengan arahan tertentu. Semakin cepat waktu yang dibutuhkan gel untuk
menyebar, menunjukkan semakin baik kemampuan gel tersebut untuk menyebar
saat diaplikasikan di kulit.
Nilai sebar dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini:

Keterangan:
S

= kemampuan menyebar (g.cm/detik)

= massa gel (g)

= panjang slide kaca (cm)

= waktu yang dibutuhkan gel untuk menyebar (detik)

32

5.1.3

Pengukuran Viskositas (Departemen Kesehatan RI, 1995; Martin,


Swarbrick, & Cammarata, 1993; dan Christina, 2006)
Pengujian viskositas prinsipnya adalah mengukur viskositas

pada

beberapa rpm yang berbeda, sifat aliran diketahui dengan membuat kurva antara
rpm dengan usaha yang dibutuhkan untuk memutar spindel. Usaha dihitung
dengan mengalikan angka pada skala dengan faktor pada setiap rpm.
Wadah diisi dengan sediaan, spindel dipasang yang sesuai, spindel
diturunkan sampai batas spindel tercelup ke dalam sediaan, rpm alat diatur, motor
dinyalakan dengan menekan tombol ON dan alat berputar, angka yang
ditunjukkan oleh jarum merah yang bergerak telah stabil (dial reading) dibaca,
dengan mengubah rpm akan didapat viskositas pada berbagai rpm, dimulai
dengan 2 rpm, 4 rpm, 10 rpm, 20 rpm dan sebaliknya. Nilai viskositas () dalam
centipoise (cps) diperoleh dari hasil perkalian dial reading dengan faktor koreksi
khusus untuk masing-masing kecepatan spindel.
Sifat aliran dapat diperoleh dengan membuat kurva antara shearing stress
terhadap rate of shear. Shearing stress (F/A) adalah gaya persatuan luas yang
diperlukan untuk menyebabkan aliran, sedangkan rate of shear (dv/dr) adalah
perbedaan kecepatan (dv) antara dua bidang cairan dipisahkan oleh suatu jarak
yang kecil sekali (dr). Nilai shearing stress diperoleh dari hasil perkalian dial
reading dengan faktor yang dilihat pada tabel yang terdapat pada brosur alat;
sedangkan nilai rate of shear diperoleh dari hasil perkalian shearing stress dengan
satu per viskositas. Kurva yang didapatkan dibandingkan dengan literatur.
5.1.4

Uji Konsistensi (Christina, 2006)


Pemeriksaan konsistensi dilakukan pada minggu ke-0 dan minggu ke-8

dengan penyimpanan pada suhu kamar.


Sediaan yang akan dievaluasi dimasukkan ke dalam wadah khusus dan
diletakkan pada meja penetrometer. Peralatan diatur hingga ujung kerucut
menyentuh

bayang

permukaan

sediaan

yang

dapat

diperjelas

dengan

menghidupkan lampu. Batang pendorong dilepas dengan menekan tombol start.


Angka penetrasi dibaca lima detik setelah kerucut menembus sediaan. Dari

33

pengukuran konsistensi dengan penetrometer akan diperoleh yield value yang


dihitung dengan persamaan:

Keterangan:
So

= Yield value (dyne/cm2)

= Massa kerucut

= Gravitasi (cm/df2)

= Dalamnya penetrasi (cm)

= Konstanta, yaitu 2

k1

= 1/ cos2 cos

= Sudut kerucut terhadap bidang datar, yaitu 37

5.1.5

pH (Departemen Kesehatan RI, 1995)


Cek pH larutan dengan menggunakan pH meter atau kertas indikator

universal. Berikut prosedur pengujian pH dengan pH meter:


Sebelum digunakan, periksa elektroda dan jembatan garam
Kalibrasi pH meter dengan dapar standar pH 4 dan pH 7
Bilas elektroda dan sel beberapa kali dengan larutan uji dan isi sel dengan
sedikit larutan uji. Pengukuran pH dilakukan pada suhu ruang lalu baca nilai
pH yang muncul pada layar pH meter
Gunakan air bebas CO2 untuk pelarutan dengan pengenceran larutan uji
Syarat : sesuai pH kulit (4,5-6,5)
5.1.6

Uji Iritasi Kulit (Prakash, Rao, & Soujanya, 2010)


Dalam uji iritasi terhadap kulit, digunakan sepuluh tikus dengan berat

antara 400 500 g. Kesepuluh tikus tersebut dibagai menjadi dua kelompok,
masing-masing lima tikus. Rambut-rambut dihilangkan dari bagian belakang
tubuh tikus menggunakan bantuan perontok rambut dengan luas sebesar 4 cm 2 dan
ditandai pada kedua sisinya. Satu sisi bertindak sebagai kontrol dan sisi lainnya
sebagai uji, dan tikus dapat digunakan setelah 24

jam. Setelah rambut

dihilangkan, gel diaplikasikan (500 mg/tikus) satu kali sehari selama tujuh hari
34

dan lokasi pengaplikasian ditutup dengan balutan kapas, lalu tikus diamati
terhadap kemungkinan terjadinya eritema dan edema.
Penafsiran hasil yang dilakukan sebagai berikut:
A = tidak terjadi reaksi eritema dan edema
B = sedikit, eritema tidak merata
C = sedikit, tetapi dengan eritema sedang dan tidak merata
D = eritema sedang
E = eritema berat, dengan atau tanpa edema
5.1.7

Uji Penetrasi Piroksikam secara In Vitro (Pnzes, Blazs, Aigner,


Falkay, & Ers, 2005)

5.1.7.1

Prinsip
Menguji difusi bahan aktif dari sediaan menggunakan sel difusi dengan

cara mengukur konsentrasi bahan aktif dalam kompartemen akseptor pada selang
waktu tertentu.
5.1.7.2

Prosedur
Untuk model absorpsi perkutan secara in vitro digunakan sel difusi Franz.

Sampel ditempatkan pada membran selulosa asetat (ukuran pori 3 m), yang
direndam dalam isopropil miristat agar menyerupai barier lipofilik seperti stratum
korneum. Pada kompartemen akseptor diisi dengan buffer fosfat (pH 5,40,1),
pada suhu 321C dan diaduk menggunakan magnetik stirer dengan kecepatan
450 rpm. Pada interval yang telah ditentukan, 0,75 ml sampel diambil dari
kompartemen reseptor dan diganti dengan larutan buffer yang baru.
Kandungan

piroksikam

pada

kompartemen

akseptor

ditentukan

menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Jumlah kumulatif obat yang berpenetrasi


melalui permukaan membran difusi (Q) dihitung dan diplot terhadap waktu. Fluks
steady state piroksikam (Js) diperkirakan dari kemiringan bagian linear dari kurva
penetrasi dan dinyatakan dalam rumus:

35

Dimana, V = volume kompartemen akseptor


A = luas permukaan difusi
c = konsentrasi piroksikam dalam kompartemen akseptor
t = waktu
5.1.8

Uji Efek Antiinflamasi secara In Vivo (Pnzes, Blazs, Aigner, Falkay,


& Ers, 2005)
Tikus betina Sprague-Dawley (180-200 g) dibagi menjadi kelompok

dengan berat badan seimbang (n = 6 pada percobaan pertama; n = 8 pada


percobaan kedua). Semua pengukuran dilakukan pada 241C. Kelompok uji
diberikan gel yang mengandung piroksikam, sedangkan kelompok kontrol hanya
diberikan plasebo.
Pada percobaan yang pertama, 150 mg gel diaplikasikan secara lembut
pada kaki belakang sebelah kanan (pada keseluruhan kulit yang tidak berambut).
Tikus-tikus tersebut dianestesi menggunakan 400 mg/kg kloral hidrat secara
intraperitoneal untuk mencegah adsorpsi gel yang diaplikasikan melalui
kotorannya. Anestesi memberikan waktu yang cukup (sekitar 1 jam) untuk
absorpsi sampel secara sempurna. Pada percobaan yang kedua, 300 mg gel
diaplikasikan pada kulit bagian punggung yang telah dihilangkan rambutnya
(sekitar 15 cm2). Setelah 1 jam, 0,1 ml suspensi karagenan 0,5 % diinjeksikan
pada daerah subplantar kaki belakang bagian kanan. Kaki bagian kiri digunakan
sebagai kontrol, diberi perlakuan dengan larutan saline fisiologis tanpa karagenan.
Pembesaran volume kaki dihitung menggunakan pletismometer, setelah 5 jam
diinjeksikan karagenan. Pembengkakan kaki yang terjadi dihitung dengan rumus
sebagai berikut:

Dimana, Vi = pembesaran volume kaki yang diberikan karagenan dan gel


V = kaki yang tidak diberikan perlakuan
Selanjutnya, dihitung persentase penghambatan edema dengan rumus
sebagai berikut:
36

Dimana, swellingtreated = nilai rata-rata yang diamati pada kelompok yang


diberikan perlakuan
swellingcontrol = nilai rata-rata yang diamati pada kelompok kontrol
5.1.9

Penetapan Kadar Piroksikam (British Pharmacopoeia Commission,


2009)
Dilakukan dengan metode kromatografi cair, menggunakan larutan

berikut: Untuk larutan (1) tambahkan 5 ml asam metanolat hidroklorida 0,01 M


pada sejumlah gel yang mengandung 5 mg piroksikam, kocok secara perlahan
selama 30 menit, tambahkan 50 ml fase gerak dan kocok kuat selama 30 menit.
Encerkan hingga 100 ml menggunakan fase gerak, campurkan dan saring melalui
saringan membran (1 l). Untuk larutan (2) dibuat larutan piroksikam BPCRS
0,10% b/v dalam asam metanolat hidroklorida 0,01 M, dengan bantuan
ultrasonifikasi jika diperlukan, dan encerkan 5 ml larutan ini dengan fase gerak
hingga 100 ml.
Prosedur kromatografi dilakukan dengan menggunakan (a) kolom stainless
steel (25 cm x 4,6 mm) dikemas dengan oktilsilil silica gel ujung tertutup untuk
kromatografi (5 m) (Zorbax stablebond C8) dan prekolom stainless steel (10 cm
x 4,6 mm) dikemas dengan oktilsilil silica gel ujung tertutup untuk kromatografi
(5 m), kedua kolom dipertahankan pada 40C; (b) campuran methanol-aseonitrilnatrium dihidrogen ortofosfat 0,05 M yang sebelumnya disesuaikan menjadi pH
3,5 dengan asam ortofosfat 5 M (15:30:55) sebagai fase gerak dengan kecepatan
aliran 1,0 ml per menit; dan (c) detektor spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 248 nm.
Hitung kandungan C15H13N3O4S dalam gel menggunakan kandungan
C15H13N3O4S yang dinyatakan pada piroksikam BPCRS.

37

5.2 Post Process Control


5.2.1 Uji Stabilitas Dipercepat (Asean Guideline on Stability Study of Drug
Products, 2005)
5.2.1.1

Penyimpanan pada suhu kamar


Sampel gel disimpan dalam suhu kamar (28-29) selama 6 bulan.

Kemudian dilakukan pengamatan organoleptis dan pengukuran pH pada bulan


pertama, ketiga, dan keenam. Pengukuran viskositas dilakukan pada awal dan
akhir penyimpanan.
5.2.1.2

Penyimpanan pada suhu rendah


Sampel gel disimpan pada suhu 4C selama 6 bulan, kemudian dilakukan

pengamatan organoleptis dan pengukuran pH pada bulan pertama, ketiga, dan


keenam.
5.2.1.3

Penyimpanan pada suhu tinggi


Sampel gel disimpan pada suhu 40C selama 6 bulan, kemudian kemudian

dilakukan pengamatan organoleptis dan pengukuran pH pada bulan pertama,


ketiga, dan keenam.
5.2.2

Cycling test (Guideline on Stability Testing of Cosmetic Products, 2004;


Anvisa, 2005)
Sampel gel disimpan pada suhu 4C selama 24 jam lalu dipindahkan ke

dalam oven bersuhu 402C selama 24 jam (satu siklus). Uji dilakukan sebanyak
6 siklus, kemudian perubahan fisik yang terjadi diamati.
5.2.3
5.2.3.1

Evaluasi Kimia
Identifikasi dan Penetapan Kadar Zat Aktif (British Pharmacopoeia
Commission, 2009)
Gel mengandung piroksikam 95,0%, hingga 105,0% dari jumlah yang

dinyatakan.

38

a. Identifikasi
Dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis, menggunakan silika
gel GF254 sebagai fase diam dan campuran asam asetat glasial-metanol-etil asetat
(1:10:80) sebagai fase gerak. Totolkan secara terpisah pada lempeng masingmasing 5 l larutan berikut: Untuk larutan (1) campurkan sejumlah gel yang
mengandung 10 mg piroksikam dengan 0,1 ml larutan larutan jenuh natrium
klorida hingga campuran menjadi keruh. Encerkan hingga 5 ml dengan asam
metanolat hidroklorida 0,01 M, kocok, sentrifugasi, dan gunakan larutan
supernatan yang jernih. Saring larutan supernatan jika diperlukan. Larutan (2)
mengandung 0,2% b/v piroksikam BPCRS dalam asam metanolat hidroklorida
0,01 M. Setelah lempeng dielusi, keringkan lempeng dan periksa di bawah sinar
UV (254 nm). Titik utama kromatogram yang diperoleh dari larutan (1) memiliki
posisi dan ukuran yang sama dengan kromatogram yang diperoleh dari larutan (2)
atau harga Rf bercak utama yang diperoleh dari larutan (1) sesuai dengan yang
diperoleh dari larutan (2).
b. Penetapan kadar
Dilakukan dengan metode kromatografi cair, menggunakan larutan
berikut: Untuk larutan (1) tambahkan 5 ml asam metanolat hidroklorida 0,01 M
pada sejumlah gel yang mengandung 5 mg piroksikam, kocok secara perlahan
selama 30 menit, tambahkan 50 ml fase gerak dan kocok kuat selama 30 menit.
Encerkan hingga 100 ml menggunakan fase gerak, campurkan dan saring melalui
saringan membran (1 l). Untuk larutan (2) dibuat larutan piroksikam BPCRS
0,10% b/v dalam asam metanolat hidroklorida 0,01 M, dengan bantuan
ultrasonifikasi jika diperlukan, dan encerkan 5 ml larutan ini dengan fase gerak
hingga 100 ml.
Prosedur kromatografi dilakukan dengan menggunakan (a) kolom stainless
steel (25 cm x 4,6 mm) dikemas dengan oktilsilil silica gel ujung tertutup untuk
kromatografi (5 m) (Zorbax stablebond C8) dan prekolom stainless steel (10 cm
x 4,6 mm) dikemas dengan oktilsilil silica gel ujung tertutup untuk kromatografi
(5 m), kedua kolom dipertahankan pada 40C; (b) campuran methanol-aseonitrilnatrium dihidrogen ortofosfat 0,05 M yang sebelumnya disesuaikan menjadi pH
3,5 dengan asam ortofosfat 5 M (15:30:55) sebagai fase gerak dengan kecepatan
39

aliran 1,0 ml per menit; dan (c) detektor spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 248 nm.
Hitung kandungan C15H13N3O4S dalam gel menggunakan kandungan
C15H13N3O4S yang dinyatakan pada piroksikam BPCRS.
5.2.4 Evaluasi Fisik
5.2.4.1 Uji kebocoran (Departemen Kesehatan RI, 1995)
Pilih 10 tube, dengan segel khusus jika disebutkan. Bersihkan dan
keringkan baik-baik permukaan luar tube dengan kain penyerap. Letakkan tube
pada posisi horizontal diatas lembaran kertas penyerap dalam oven dengan suhu
yang diatur pada 603C selama 8 jam. Tidak boleh terjadi kebocoran yang
berarti selama atau setelah pengujian selesai (abaikan bekas pasta yang
diperkirakan berasal dari bagian luar dimana terdapat lipatan dari tube atau dari
bagian ulir tutup tube). Jika terdapat kebocoran pada satu tube tetapi tidak lebih
dari satu tube; ulangi pengujian dengan tambahan 20 tube.
Pengujian memenuhi syarat jika tidak ada satupun kebocoran diamati dari
10 tube uji pertama, atau kebocoran yang diamati tidak lebih dari satu dari 30 tube
yang diuji.
5.2.4.2

Uji Isi Minimum (Departemen Kesehatan RI, 1995)


Ambil contoh 10 wadah berisi zat uji, hilangkan semua etiket yang dapat

mempengaruhi bobot pada waktu isi wadah dikeluarkan. Bersihkan dan keringkan
dengan sempurna bagian luar wadah dengan cara yang sesuai dan timbang satu
per satu. Keluarkan isi secara kuantitatif dari masing-masing wadah, potong
ujung wadah, jika perlu cuci dengan pelarut yang sesuai, hati-hati agar tutup dan
bagian lain wadah tidak terpisah. Keringkan dan timbang kembali masing-masing
wadah kosong beserta bagian-bagiannya. Perbedaan antara kedua penimbangan
adalah bobot bersih isi wadah.
Bobot bersih rata-rata isi dari 10 wadah tidak kurang dari bobot yang
tertera pada etiket, dan tidak satu wadahpun yang bobot bersih isinya kurang dari
90% dari bobot yang tertera pada etiket untuk bobot 60 g atau kurang. Jika
persyaratan ini tidak dipenuhi, tetapkan bobot bersih isi 20 wadah tambahan.
Bobot bersih rata-rata isi dari 30 wadah tidak kurang dari bobot yang tertera pada
40

etiket, dan hanya satu wadah yang bobot bersih isinya kurang dari 90% dari bobot
yang tertera pada etiket untuk bobot 60 g atau kurang.
5.2.4.3

Pemeriksaan hasil cetakan pada label wadah dan kemasan

a. Karton pengemas yang digunakan harus benar.


b. Nomor batch dan expired date tercetak harus benar.
c. Cetakan nomor batch dan expire date tidak boleh luntur.
5.2.4.4 Pemeriksaan hasil cetakan pada brosur
a. Brosur yang digunakan harus benar.
b. Pelipatan brosur sesuai dengan standar.
5.2.5 Evaluasi Biologi
5.2.5.1 Uji Efektifitas Pengawet Antimikroba (Departemen Kesehatan RI,
1995)
Pindahkan 20 ml sampel ke dalam masing-masing 5 tabung bakteriologik
bertutup, berukuran sesuai dan steril. Inokulasi masing-masing wadah atau tabung
dengan salah satu suspensi mikroba baku, menggunakan perbandingan 0,10 ml
inokula setara dengan 20 ml sediaan, dan campur. Mikroba uji dengan jumlah
yang sesuai harus ditambahkan sedemikian rupa hingga jumlah mikroba di dalam
sediaan uji segera setelah inokulasi adalah antara 100.000 dan 1.000.000 per ml.
Tetapkan jumlah mikroba viabel di dalam tiap suspensi inokula, dan hitung angka
awal mikroba tiap ml sediaan yang diuji dengan metode lempeng. Inkubasi wadah
atau tabung yang telah diinokulasi pada suhu 20 o sampai 25o. Amati wadah atau
tabung pada hari ke 7, ke 14, ke 21 dan ke 28 sesudah inokulasi. Catat tiap
perubahan yang terlihat dan tetapkan jumlah mikroba viabel pada tiap selang
waktu tersebut dengan metode lempeng. Dengan menggunakan bilangan teoritis
mikroba pada awal pengujian, hitung perubahan kadar dalam persen tiap mikroba
selama pengujian.
Penafsiran hasil :
Suatu pengawet dinyatakan efektif di dalam contoh yang diuji, jika:
a. Jumlah bakteri viabel pada hari ke 14 berkurang hingga tidak lebih dari 0,1%
dari jumlah awal.
b. Jumlah kapang dan khamir viabel selama 14 hari pertama adalah tetap atau
kurang dari jumlah awal.
41

c. Jumlah tiap mikroba uji selama hari tersisa dari 28 hari pengujian adalah tetap
atau kurang dari bilangan yang disebut pada a dan b.

42

DAFTAR ACUAN
A-sasutjarit, R., Sirivat, A., Vayumhasuwan, P. (2005). Viscoelastic Properties of
Carbopol 940 Gels and Their Relationships to Piroxicam Diffusion
Coefficients in Gel Bases. Pharmaceutical Research No.12, Volume 22,
2134-2140.
ACCSQ-PPWG 9th Meeting (2005, February 22). Asean Guideline on Stability
Study of Drug Products. Philippines: 21-24 Feb 2005.
Ansel, Horward C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta:
UI Press.
Anvisa. (2005). Cosmetic Products Stability Guide (1st edition). Brasilia: National
Health Surveillance Agency Press, 1-31.
Balogh, Z. et al. (1979). A Crossover Clinical Trial of Piroxicam, Indomethacin
and Ibuprofen in Rheumatoid Arthritis. Current Medical Research and
Opinion, Vol. 6, No. 2, 148-153.
Barhate, S. D., Potdar, M. B., Nerker, P. (2010). Development of Meloxicam
Sodium Transdermal Gel. International Journal of Pharmaceutical
Research and Development Online, Volume 2, Issue 5, 1-7.
Beetge, E., Plessis, J., Muller, D. G., Goosen, C., Rensburg, F. J. (2000). The
Influence of The Physicochemical Characteristics and Pharmacokinetic
Properties of Selected NSAIDs on Their Transdermal Absorption.
International Journal of Pharmaceutics, 193, 261-264.
British Pharmacopoeia Commission. (2009). British Pharmacopoeia 2009 Volume
I dan II. London: Crown.
Christina. (2006). Pengaruh Asam Oleat, Etanol, dan Urea terhadap Profil
Penetrasi Perkutan Glukosamin secara In Vitro Menggunakan Sel Difusi
Franz. Depok: Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
CTFA-COLIPA. (2004, March). Guideline on Stability Testing of Cosmetic
Products, 1-7.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia. (Edisi
IV). Jakarta: Badan Nasional Pengawasan Obat dan Makanan.
43

Dolmjan, Z. dan Durrigl, T. (1984). Double-blind Crossover Comparison of


Piroxicam

and

Indomethacin

in

Rheumatoid

Arthritis.

Clinical

rheumatology, 3, No 2, 217-222.
Gunawan, S. G. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Heyneman, C. A., Lawless-Liday, C., Wall, G. C. (2000). Oral Versus Topical
NSAIDs in Rheumatic Disease: A Comparison. Drugs, 60 (3), 555-574.
Jager, M.W. de, Ponec, M., & Bouwstra, J. A. (2007). The Lipid Organization in
Stratum Corneum and Model Systems Based on Ceramides. In Elka
Touitou & Brian W. Barry (Ed.). Enhancement in Drug Delivery. CRC
Press, United States of America.
Jug, M., Becirevic-Lacan, M., Kwokal, A., Cetina-Cizmek, B. (2005). Influence
of Cyclodextrin Complexation on Piroxicam Gel Formulations. Acta
Pharm, 55, 223-236.
Kaur, L. P., Garg, R., Gupta, G. D. (2010). Development and Evaluation of
Topical Gel of Minoxidil From Different Polymer Bases In Application of
Alopecia. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences,
Volume 2, 43-47.
Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. (1993). Farmasi Fisik Jilid II. (Edisi
III). (Joshita Djajadisastra, Penerjemah). Jakarta: UI-Press.
McLaughlin, G. (n.d). A Double-Blind Comparative Study of Piroxicam and
Ibuprofen in the Treatment of Rheumatoid Arthritis. Seminars in Arthritis
and Rheumatism, Volume 14, Issue 3.
Miljministeriet.

(2011)

Skin

penetration.

http://www.mst.dk/udgiv/publications/2009/978-87-7052-9808/html/kap06_eng.htm
ONeil, M. J. (2001). The Merck Index An Encyclopedia, Chemicals, Drugs, and
Biologicals 13th Ed. New York: Merck Research Laboratories Division of
Merck & Co.
Patel(a), J., Patel(b), B., Banwait, H., Parmar, K., Patel(c), M. (2011).
Formulation and Evaluation of Topical Aceclofenac Gel Using Different

44

Gelling Agent. International Journal of Drug Development & Research,


Volume 3, Issue 1, Jan-March 2011, 156-164.
Pnzes, T., Blazs, G., Aigner, Z., Falkay, G., Ers, I. (2005). Topical Absorption
of Piroxicam From Organogels-In Vitro and In Vivo Correlations.
International Journals of Pharmaceutics 298, Hlm. 47-54.
Prakash, P. R., Rao, N. G. R., dan Soujanya, C. (2010). Formulation, Evaluation,
and Anti-Inflammatory Activity of Topical Etoricoxib Gel. Asian Journal of
Pharmaceutical and Clinical Research, Volume 3, Issue 2, 126-129.
Roberts, M. S., Cross, S. E., & Pellett, M. A. (2002). Skin Transport. In Kenneth
A. Walters (Ed.). Dermatological and Ttransdermal Formulations. Marcel
Dekker, New York.
Rowe, R. C., Sheskey, P. J., & Owen, S. C. (2006). Handbook of Pharmaceutical
Excipients (5th edition). Washington: Pharmaceutical Press and American
Pharmacists Association.
Silverson. (2011). Cosmetics and Toiletries Dispersion and Hydration of
Carbopol. http://www.silverson.com.
Singh, S., Garg(a), G., Garg(b), V., Gangwar, S., & Sharma P. K. (2010).
Sunscreen: An Introductory Review. Journal of Pharmacy Research 3 (8),
1857-1864.
Tranggono, R. I. S. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Wasitaatmadja, S. M. (1997). Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI Press.

45

Lampiran 1. Brosur

Pensikam Gel 60 g

Komposisi
Tiap gram mengandung Piroksikam 5 mg dan Mentol 50 mg.

Indikasi
Nyeri otot dan sendi, inflamasi misal osteoarthritis, posttrauma atau kelaianan otot rangka akut termasuk
tendinitis, tenosynovitis, periarthritis, sprains (keseleo),
strains (otot tegang), dan sakit punggung bawah.

Kontra Indikasi
Hentikan pengunaan jika nyeri radang sendi lebih dari 10
hari atau jika kulit menjadi merah, jangan digunakan pada
kulit dengan luka terbuka atau teriritasi, hindari kontak
dengan mata atau membran mukosa.

Dosis
Oleskan 1 g pada daerah yang menderita 3-4 kali sehari.

Penyimpanan
Simpan dalam keadaan sejuk pada suhu dibawah 30o C.
DKL7211836948B1
Diproduksi oleh: PT. Mitra Senjaya Farma

MSF
46

Lampiran 2. Design Kemasan Sekunder

47

Lampiran 3. Design Label Kemasan Primer

Lampiran 4. Design Tube

48

Hasil Diskusi
1. Dewi:
a. Apa perbedaan uji penetrasi yang menggunakan sel difusi Franz
dengan uji efek antiinflamasi yang menggunaakan tikus?
Jawab:
Uji penetrasi menggunakan sel difusi Franz merupakan uji secara in vitro
yang bertujuan untuk mengetahui difusi bahan aktif dari suatu sediaan
dengan cara mengukur konsentrasi bahan aktif dalam kompartemen
akseptor pada selang waktu tertentu. Kandungan bahan aktif ditentukan/
diukur dengan spektrofotometer UV-Vis.
Sedangkan, uji efek antiinflamasi dengan tikus merupan uji secara in vivo
yang bertujuan mengetahui apakah suatu sediaan efektif dalam mengatasi
inflamasi jika diaplikasikan.
b. Apakah uji-uji tersebut harus dilakukan pada semua sediaan
semisolid?
Jawab:
Kedua uji di atas tidak harus dilakukan pada semua sediaan semisolid. Uji
efek antiinflamasi secara in vivo hanya dilakukan pada sediaan semisolid
yang bekerja secara transdermal. Sedangkan, uji penetrasi secara in vitro
dengan sel difusi Franz bisa digunakan sebagai uji kemampuan penetrasi
suatu bahan aktif pada sediaan yang bekerja sistemik, maupun pada
sediaan yang bekerja lokal.
Catatan tambahan: uji penetrasi secara in vitro dapat dilakukan dengan
berbagai jenis membran, antara lain membran dari kulit hewan, membran
dari kulit manusia, dan membran buatan atau artifisial.
2. Yuliana:
Pengawet yang biasa digunakan untuk sediaan semisolid adalah
metilparaben dan propilparaben, apakah ada pengawet lain yang bisa
digunakan?

Jawab:
49

Pengawet yang dapat digunakan untuk sediaan semisolid ada bermacammacam, tidak hanya metalparaben dan propilaraben. Masing-masing pengawet
tersebut memiliki efektivitas yang berbeda-beda, serta memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Penggunaan metilparaben dan propilparaben
lebih disukai karena keduanya memiliki spektrum yang luas sebagai
antimikroba dan antijamur. Penggunaan secara kombinasi metilparaben dan
propilparaben sebagai pengawet memiliki efektivitas yang lebih baik
dibandingkan penggunaan tunggal.
Catatan tambahan: senyawa polimer pembentuk basis ada tiga macam,
polimer dari alam, polimer semisintetik, dan polimer sintetik. Polimer alam
paling rentan terhadap pertumbuhan mikroba, sehingga sediaan yang
mengandung polimer alam harus ditambahkan pengawet. Sedangkan, polimer
semisintetik dan sintetik lebih tahan terhadap kontaminasi mikroba.
3. Tambahan dari Bu Silvi:
Bagaimana peraturan di negara lain mengenai uji yang mengunakan
hewan?
Jawab:
Etika

pengujian

terhadap

hewan

merupakan

masalah

yang

diperdebatkan di kalangan organisasi-organisasi nasional dan organisasi di


seluruh dunia. Percobaan pada hewan secara luas digunakan untuk
mengembangkan obat-obatan baru dan untuk menguji keamanan produk
lainnya. Banyak dari percobaan ini menyebabkan rasa sakit pada hewan yang
terlibat atau mengurangi kualitas hidup hewan tersebut. Para peneliti sangat
menyadari masalah etis ini dan mengakui bahwa percobaan harus dibuat
semanusiawi mungkin. Mereka juga menyetujui bahwa tindakan untuk
menggunakan hewan itu salah jika terdapat metode pengujian alternatif yang
akan menghasilkan hasil yang sama.
People for the Ethical Treatment of Animals (PETA) and The Humane
Society of the United States (HSUS) keduanya percaya bahwa pengujian
terhadap hewan adalah tindakan yang kejam dan tidak dapat dibenarkan
karena mengarah pada penderitaan dan kematian ratusan ribu hewan di dunia.
50

PETA merasa bahwa hewan tidak boleh digunakan untuk makanan, pakaian,
hiburan, dan eksperimentasi. Mereka mempercayai bahwa hewan harus
memiliki hak yang sama seperti manusia, dan pengujian yang berpotensi
berbahaya tidak boleh dipaksakan pada hewan-hewan yang digunakan.
Sementara itu, Americans for Medical Progress (AMP) merasa bahwa ada
manfaat dari pengujian terhadap hewan.
Terdapat dua pendapat dalam penggunaan hewan sebagai objek
pengujian: Pertama, yang mendukung penggunaan hewan percobaan. Mereka
berpendapat bahwa percobaan pada hewan dapat diterima jika (dan hanya
jika) penderitaan terhadap hewan dapat diminimalkan dalam semua percobaan
dan manfaat yang diperoleh manusia tidak dapat diperoleh dengan
menggunakan metode lain. Kedua, yang menentang penggunaan hewan
percobaan. Mereka berpendapat bahwa percobaan pada hewan tidak dapat
diterima karena menyebabkan penderitaan hewan, manfaat kepada manusia
tidak terbukti, dan untuk memperoleh manfaat bagi manusia masih dapat
diperoleh dengan metode yang lain.
RDS menganggap bahwa penggunaan hewan dalam penelitian dapat
dibenarkan secara etis dan moral. Manfaat penelitian terhadap hewan sangat
besar dan akan memiliki konsekuensi besar bagi kesehatan masyarakat dan
penelitian medis jika tidak dilakukan. Meskipun demikian, penggunaan 3Rs
(Replacement, Reduction, and Refinement) sangat penting untuk terusmenerus mengurangi jumlah dan penderitaan hewan dalam penelitian. Selain
itu,

peraturan/regulasi-sebagaimana

yang

diterapkan

di

Inggris-dapat

membantu untuk mengurangi jumlah hewan yang digunakan.


Sumber :
BBC Ethics Guide. Experimenting on Animals. BBC Science and Nature.
http://www.bbc.co.uk/ethics/animals/using/experiments_1.shtml
Festing, S dan Wilkinson, R. (2007). The Ethics of Animal Research: Talking
Point on The Use of Animals in Scientific Research. European
Molecular Biology Organization Reports, Volume 8 No.6. Hlm. 526530
51

The

Ethics

of

Animal

Testing.

http://www.exampleessays.com/viewpaper/39647.html

52

You might also like