You are on page 1of 13

KEBUDAYAAN MASYARAKAT MADURA

DENGAN KARAPAN SAPI


Di susun oleh :
1.

Nur Amirah

(1613211018)

2.

Iin Nur Istinasari

(1613211038)

3.

Abdul Aziz Wahab (1613211045)

4.

Aisyah Krisdayani

(1613211004)

1A Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Surabaya


ABSTRAK
Kerapan atau Karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk
menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan.
Versi pertama mengatakan bahwa istilah kerapan berasal dari kata kerap atau kirap
yang artinya berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong.
Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata kerapan berasal dari bahasa Arab
kirabah yang berarti persahabatan. Namun lepas dari kedua versi itu, dalam
pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi
binatang sapi. Sebagai catatan, di daerah Madura. Khususnya di Pulau Kangean terdapat
lomba pacuan serupa yang menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan
bukan kerapan kerbau. Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama
mengatakan bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi
digunakan untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi
yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak
Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday yang lama
mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke Pulau Sapudi,
sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk mempercepat
penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi.
Kata Kunci: Pacuan, Madura, Budaya

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kita mengetahui bahwa Negara Indonesia adalah negara yang memiliki
beraneka ragam budaya. Kebudayaan tersebut kebanyakan telah dilakukan secara
turun temurun dari zaman nenek moyang kita. Hal tersebut mengakibatkan banyak
generasi muda diantara kita yang belum bahkan tidak mengetahui budaya apa saja
yang ada di negara kita.
Budaya-budaya tersebut berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Salah satunya adalah Madura. Kali ini makalah kami akan membahas mengenai
karapan sapi madura yang belum banyak diketahui orang banyak dikarenakan asal
daerahnya yang sedikit terpencil. Padahal pulau madura adalah salah satu pulau di
Indonesia yang berpotensi tinggi nilai budayanya.
Oleh karena itu dalam pembahasan kali ini akan dibahas secara rinci agar kita
dapat mengetahui tentang apa itu karapan sapi.
1.2 Maksud dan Tujuan
Tujuan dari kelompok kami dalam membuat makalah ini adalah agar kita
mengetahui :
1. Sejarah diadakannya karapan sapi
2. Pengertian dari karapan sapi
3. Macam-macam karapan sapi
4. Pihak-pihak yang terlibat dalam karapan sapi
5. Proses pelaksanaan karapan sapi
6. Syarat dan aturan-aturan dalam pertandingan karapan sapi
7. Nilai budaya yang terkandung dalam karapan sapi
1.3 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka timbullah beberapa masalah yaitu sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah sejarah diadakannya karapan sapi?
2. Apakah pengertian dari karapan sapi?
1

3. Apa sajakah macam-macam dari karapan sapi?


4. Siapakah yang terlibat dalam perlombaan karapan sapi?
5. Bagaimanakah proses pelaksanaan karapan sapi?
6. Apakah syarat dan aturan yang diterapkan dalam karapan sapi?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Karapan Sapi
Konon pada era pemerintahan Pangeran Katandur di keraton Sumenep pada
abad ke-15 (1561 M), Raja arif bijaksana ini senantiasa memikirkan cara agar para
petani dapat meningkatkan produksi pertanian. Karena pada masa itu, cara bercocok
tanam masih sangat sederhana, yakni menggunakan peralatan serba batu. Sang
Pangeran, akhirnya menemukan ide cemerlang.
Setelah berembuk dengan para cerdik pandai, maka dititahkan kepada ahli
pertukangan untuk membuat alat yang terbuat dari bambu. Dan alat tersebut ditarik
oleh dua ekor sapi, diharapkan dengan bantuan alat tersebut akan mampu mengurangi
beban kerja petani. Maka terciptalah sebuah peralatan , yaitu bajak yang ditarik oleh
dua ekor sapi.
Pangeran Katandur, adalah seorang pemimpin yang penuh dengan pemikiran
kreatif dan inovatif. Ketika melihat sebagian rakyatnya berkurang kesibukannya
seusai panen, terpikir oleh Sang Pangeran untuk memanfaatkan waktu luang dan
terbuang tersebut. Semacam keramaian sekaligus kegiatan rekreasi, yang nantinya
akan mampu meningkatkan produksi, baik produki peternakan maupun produksi
pertanian.
Ide cemerlang pun terlahir, yaitu sebuah bentuk permainan yang
mengasyikkan terbentang di benak pikiran sang Pangeran. Permainan yang muncul di
pelupuk mata adalah semacam perlombaan. Perlombaan memacu sapi dengan cara
memacu berpasang-pasang sapi dalam sebuah areal tegalan yang luas. Dan dalam
permainan tersebut, pasangan sapi yang diperlombakan dalam pacuan harus
menggunakan peralatan serupa bajak, yang biasa dipakai untuk menggarap sawah
ladang.
Dalam benak Sang Pangeran, permainan dan perlombaan itu tidaklah jauh
kaitannya dengan kegiatan sehari-hari para petani. Dalam arti, bentuk permainan itu
nantinya dapat memberikan motivasi dan kecintaan rakyat serta kewajibannya pada
2

sawah ladang. Disamping itu, agar rakyat mampu meningkatkan produksi ternak sapi.
Dalam arti, mampu meningkatkan hasil ternak sapi yang sehat, sehingga dapat diadu
larinya juga mampu menghasilkan daging sapi bermutu tinggi.
Gagasan Pangeran Katandur terwujud, mula-mula penggandeng pasangan sapi
itu terbuat dari bambu. Bentuknya pun serupa bajak. Tetapi ujung bawahnya dibuat
rata, sehingga tidak mendongkel tanah. Alat tersebut dinamakan Kaleles. Sejak saat
itulah, kerapan sapi menjadi perlombaan dan permainan rakyat yang sangat digemari.
Pada umumnya perlombaan ini diadakan seusai panen.
Dari masa ke masa, pacuan Kerapan Sapi menjadi bentuk pesta hiburan rakyat
dan menjadi tersohor seantero jagat. Pada akhirnya identitas pulau Madura tidak
terlepas dari tradisi budaya rakyat ini. Kisah tentang kejantanan para Joki ketika
menunggangi Sapi Kerapan dalam sebuah arena, memacu pasangan sapi dalam
kecepatan

tinggi.

Kecepatan,

ketangkasan,

kecekatan,

kepiawaian

ketika

mengendalikan sapi-sapi tunggangan, merupakan sebuah prestasi yang cukup


fantastis dan menakjubkan. Tak kalah dengan kepiawaian para matador di gelanggang
adu banteng di Spanyol.
Di samping sebagai sarana hiburan, pacuan Kerapan Sapi mampu
menanamkan kecintaan rakyat terhadap alam dan lingkungannya, memotivasi
sekaligus mengangkat rakyat pada tingkat kemakmuran tinggi. Gagasan Pangeran
Katandur yang spektakuler tersebut, ternyata mampu meningkatkan produksi pangan.
Karena untuk mendapatkan sapi yang bagus dan mutu daging tinggi diperlukan
makanan berkualitas. Dari sektor ini, raja Katandur mampu menggerakkan rakyat
untuk melakukan penghijauan serta meningkatkan semangat dan gairah kerja dalam
mengolah dan mengelola tanah.
Tak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas ternak. Prioritas utama
adalah dalam bidang ilmu beternak sapi. Minat dan perhatian rakyat terpusat pada
cara-cara yang baik, praktis dalam pengembang-biakan sapi. Usaha peternakan sapi
tidak saja dikaitkan pada kepentingan pertanian semata, tapi juga pada bibit-bibit sapi
yang sehat dan mampu berlari kencang. Pada akhirnya, para peternak bukan hanya
mampu menghasilkan sapi yang bagus, berbobot dan mampu berlari kencang, tapi
juga mampu mengembangkan ternak yang menghasilkan daging bermutu tinggi.
Sampai sekarang daging sapi Madura, dikenal karena sangat lembut dan halus seratseratnya.
Keberhasilan Pangeran Katandur dalam memicu serta memacu gairah rakyat
dalam peningkatan kemakmuran, merupakan sesuatu yang sangat prestisius.
Kejeniusannya dalam mengembangkan gagasannya sampai sekarang masih terasa.
Pesta rakyat aduan sapi yang sekarang lebih dikenal dengan Kerapan Sapi telah
3

berkembang sedemikian rupa. Karena dengan adanya kerapan sapi ini, telah
menggugah dan menggali nuansa seni yang ada dalam diri manusia. Seni tari, seni
musik telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian acara perlombaan.
2.2 Pengertian Karapan Sapi
Kerapan atau Karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang
digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai
asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah kerapan berasal
dari kata kerap atau kirap yang artinya berangkat dan dilepas secara bersamasama atau berbondong-bondong. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa
kata kerapan berasal dari bahasa Arab kirabah yang berarti persahabatan.
Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan
adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Sebagai catatan, di
daerah Madura. Khususnya di Pulau Kangean terdapat lomba pacuan serupa yang
menggunakan kerbau. Pacuan kerbau ini dinamakan mamajir dan bukan kerapan
kerbau. Asal usul kerapan sapi juga ada beberapa versi. Versi pertama mengatakan
bahwa kerapan sapi telah ada sejak abad ke-14. Waktu itu kerapan sapi digunakan
untuk menyebarkan agama Islam oleh seorang kyai yang bernama Pratanu. Versi
yang lain lagi mengatakan bahwa kerapan sapi diciptakan oleh Adi Poday, yaitu anak
Panembahan Wlingi yang berkuasa di daerah Sapudi pada abad ke-14. Adi Poday
yang lama mengembara di Madura membawa pengalamannya di bidang pertanian ke
Pulau Sapudi, sehingga pertanian di pulau itu menjadi maju. Salah satu teknik untuk
mempercepat penggarapan lahan pertanian yang diajarkan oleh Adi.
2.3 Macam - Macam Karapan Sapi
Kerapan sapi yang menjadi ciri khas orang Madura ini sebenarnya terdiri dari
beberapa macam, yaitu:
1. Kerap Keni (kerapan kecil)
Kerapan jenis ini pesertanya hanya diikuti oleh orang-orang yang berasal dari
satu kecamatan atau kewedanaan saja. Dalam kategori ini jarak yang harus ditempuh
hanya sepanjang 110 meter dan diikuti oleh sapi-sapi kecil yang belum terlatih.
Sedangkan penentu kemenangannya, selain kecepatan, juga lurus atau tidaknya sapi
ketika berlari. Bagi sapi-sapi yang dapat memenangkan perlombaan, dapat mengikuti
kerapan yang lebih tinggi lagi yaitu kerap raja.
2. Kerap Raja (kerapan besar)
4

Perlombaan yang sering juga disebut kerap negara ini umumnya diadakan di
ibukota kabupaten pada hari Minggu. Panjang lintasan balapnya sekitar 120 meter
dan pesertanya adalah para juara kerap keni.
3. Kerap Onjangan (kerapan undangan)
Kerap onjangan adalah pacuan khusus yang para pesertanya adalah undangan
dari suatu kabupaten yang menyelenggarakannya. Kerapan ini biasanya diadakan
untuk memperingati hari-hari besar tertentu.
4. Kerap Karesidenen (kerapan tingkat keresidenan)
Kerapan ini adalah kerapan besar yang diikuti oleh juara-juara kerap dari
empat kabupaten di Madura. Kerap karesidenan diadakan di Kota Pamekasan pada
hari Minggu, yang merupakan acara puncak untuk mengakhiri musim kerapan.
5. Kerap jar-jaran (kerapan latihan)
Kerapan jar-jaran adalah kerapan yang dilakukan hanya untuk melatih sapisapi pacuan sebelum diturunkan pada perlombaan yang sebenarnya.
2.4 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Permainan Karapan Sapi
Kerapan sapi adalah salah satu jenis permainan rakyat yang banyak
melibatkan berbagai pihak, yang diantaranya adalah:
1. Pemilik sapi pacuan
2. Tukang tongko (orang yang bertugas mengendalikan sapi pacuan di atas
kaleles)
3. Tukang tambeng (orang yang menahan tali kekang sapi sebelum dilepas)
4. Tukang gettak (orang yang menggertak sapi agar pada saat diberi aba-aba
dapat meleset dengan cepat)
5. Tukang tonja (orang yang bertugas menarik dan menuntun sapi)
6. Tukang gubra (anggota rombongan yang bertugas bersorak-sorak untuk
memberi semangat pada sapi pacuan)
2.5 Proses Pelaksanaan Karapan Sapi
Sampai saat ini pesta permainan rakyat, Kerapan Sapi diadakan setiap tahun.
Dari tingkat wilayah terendah sampai tingkat Karesidenan. Seleksi biasanya diadakan
dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten sampai tingkat Madura. Konon ketika
wilayah Madura masih berada dalam cengkeraman kolonial Belanda, Kerapan Sapi
dilombakan dengan pengaturan dan jadwal sedemikian rupa, sehingga puncak

kemeriahan perlombaan jatuh pada tanggal 31 Agustus, tepat hari lahirnya ratu
Wilhelmina.
Dalam pelaksanaan perlombaan sebagai ajang pesta rakyat, Kerapan Sapi
menyedot semua energi dan aktifitas. Jauh-jauh hari sebelum acara diadakan,
perhatian terhadap hewan tersebut sangatlah istimewa. Hewan yang akan dilombakan
berada dalam pengawasan yang sangat ketat. Dari pola makanan, suspensi penambah
stamina berupa jamu dan ramuan sampai pada kesiapan dalam bentuk supranatural,
jampi-jampi, mantera-mantera. Hal itu dalam upaya agar sapi nantinya menjadi yang
tercepat, terdepan dan menang.
Adapun kesibukan yang dilakukan sebelum acara perlombaan dimulai, antara
lain :
Pada malam hari sebelum hari kerapan tiba, pemilik beserta keluarga serta
para supporternya membawa pasangan sapi ke arena perlombaan. Pasangan sapi
tersebut, diiringi seperangkat gamelan dan Saronen. Mereka mengadakan
perkemahan, sehingga pada malam hari sebelum hari H tiba, di arena perlombaan
menjadi tempat yang sangat meriah. Karena peserta dari daerah lain pun berkumpul
disana.
Pada malam tersebut, tak seorangpun dapat tidur. Karena masing-masing
orang telah mempunyai tugas dan kewajiban. Terutama petugas perawat sapi,
disamping memijat-mijat (massage) juga menjaga pembakaran. Dengan tujuan agar
tak seekor nyamuk pun datang mendekat. Bahkan dari sebagian anggota rombongan
melakukan tirakat, agar keesokan harinya sapi yang menjadi andalan keluar sebagai
pemenang.
Pada pagi hari, sepasang sapi digandengkan pada Kaleles, dan didandani
sedemikian rupa sehingga sepasang sapi tersebut ber-penampilan keren, gagah dan
menarik. Setelah itu, sepasang sapi tersebut diarak keliling lapangan diiringi oleh
bunyi taktuk, (semacam seperangkat gamelan) yang bertalu-talu serta Saronen.
Tingkah polah para pengiringpun tak kalah meriah, ada yang membisiki sapi dengan
rayuan kata-kata indah agar berjuang untuk menang, ada pula yang menari-nari
sambil bernyanyi.
Setelah melakukan seremonial mengelilingi lapangan, sepasang sapi tersebut
dibawa ke tempat yang teduh, menunggu giliran nomer perlombaan. Semua aksesoris
di tubuh sapi ditanggalkan, dan sepasang sapi tersebut telah siap tempur untuk
memacu kecepatannya berlari.
Dari masa ke masa dan telah beratus-ratus tahun pesta rakyat Kerapan Sapi ini
dilombakan.

Tentunya

telah

terjadi

perubahan-perubahan

seiring

dengan

perkembangan jaman. Pada era sekarang tidak lagi melakukan perkemahan pada
6

malam hari, namun sapi-sapi yang akan dilombakan langsung datang pada hari H,
saat perlombaan. Selain itu pada awal keberadaan Kerapan Sapi, tidak ada model
penyiksaan seperti pada masa sekarang. Untuk memperkencang laju Sapi ketika
berlaga, maka dipergunakan pelepah daun pisang (pak-kopak), dibentuk semacam
mainan dan menimbulkan suara keras ketika dipukulkan ke punggung sapi. Binatang
tersebut benar-benar diperlakukan secara manusiawi.
Berbeda dengan era sekarang rekeng coccona sapi (alat pemacu yang
digunakan joki) dilengkapi dengan benda-benda tajam. Benda-benda tajam tersebut
kemudian ditusuk-tusukkan oleh Joki ke pantat sapi, begitu aba-aba dimulai. Tentu
saja sapi-sapi akan lebih memperkencang laju larinya, karena kesakitan. Belum lagi
bentuk penyiksaan yang lain, sebelum sapi di lepas berlaga di arena, seluruh bagian
badan terutama bagian kepala sapi disiram air cabe atau dibaluri reumason.
2.6 Syarat-syarat serta aturan-aturan dalam lomba
Dalam setiap event lomba, sapi-sapi yang akan diikutsertakan dalam
perlombaan biasanya melewati seleksi. Adapun yang melakukan seleksi ialah dokter
hewan dari dinas kehewanan. Adapun sapi-sapi yang telah dianggap memenuhi
persyaratan antara lain ; tinggi badan sapi minimal 120 cm, berbadan sehat dan
berkulit bagus, umur sapi ditentukan dan diketahui dari keadaan gigi, kedua tanduk
sapi harus baik dan harus sama, dan yang diperbolehkan dijadikan sapi kerapan
berasal dari dataran Madura. Namun untuk saat ini persyaratan diatas bukan menjadi
patokan lagi dalam sebuah ajang perlombaan. Dalam setiap perlombaan diadakan
suatu bentuk kepanitiaan perlombaan lengkap dengan dewan juri.
Panitia pelaksana biasanya berasal dari pihak Pemerintah Daerah, apabila
dilaksanakan dalam even kabupaten dan pihak kecamatan apabila dilaksanakan dalam
even kecamatan. Adapun komposisi kepanitiaan berasal dari unsur dinas instansi,
Muspika dan dibantu oleh Dinas Kehewanan. Tidak menutup kemungkinan
kepanitiaan dibentuk oleh masyarakat pecinta sapi kerapan (swasta), apabila
ditengarai ada unsur tidak adil apabila panitia pelaksana berasal dari unsur
pemerintah.
Adapun ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam setiap perlombaan, adalah
:
1. Sepasang Sapi Kerapan dinyatakan sebagai pemenang, apabila kaki depan
telah menginjak atau melompati garis finish.

2. Sepasang sapi harus tetap dinaiki oleh seorang joki, mulai dari start sampai
finish. Walaupun sepasang Sapi Kerapan telah sampai ke garis finish, tetapi
tanpa joki (sebab jatuh di tengah arena), akan dinyatakan kalah.
3. Setiap joki diberi selempang dengan warna berbeda
4. Untuk mendapatkan pemenang, diadakan babak penyisihan. Yang menang
dimasukkan dalam satu pool pemenang, demikian pula yang kalah. Untuk
babak berikutnya, pemenang akan diadu dengan pemenang, yang kalah diadu
dengan yang kalah. Sehingga setelah acara perlombaan usai, maka akan di
dapat pemenang sebanyak 6 pasang, yaitu juara I, II dan III dari golongan
pemenang dan juara I, II dan III dari golongan kalah.
5. Perlombaan dimulai apabila petugas pemegang bendera di garis start
melambaikan bendera dari arah bawah keatas.
Adapun tugas dan tanggung-jawab dewan juri, antara lain :
1. Beberapa anggota dewan juri bertugas di garis finish, untuk meneliti kaki sapi

yang pertama kali menginjak atau melompati garis finish.


2. Diatas panggung ada beberapa anggota dewan juri, sebagai dewan hakim yang
berwenang memutuskan sapi pemenang dengan memegang bermacam
bendera dan ber tugas mengacungkan warna bendera yang sama dengan
selempang joki pasangan sapi yang dinyatakan sebagai pemenang.
Atraksi di arena kerapan sungguh sangat menegangkan, mengasyikkan
sekaligus menakjubkan. Bagaimana tidak? Ketika dua atau tiga pasang sapi dilepas di
tengah arena, berpacu dengan kecepatan tinggi, setelah tiba di garis finis harus
ditahan laju kekencangan berlarinya. Agar tidak menabrak kian kemari dan
menimbulkan korban berjatuhan. Dari arena itu, dapat disaksikan kepiawaian para
joki dalam mengendalikan laju sapi tunggangannya juga kemahiran serta ketangkasan
para petugas dalam mengendalikan perlombaan tersebut. Dan dapat dilihat pula,
betapa mahir para pelatih hewan dalam menanamkan disiplin yang tinggi pada sapisapinya.
Di setiap kabupaten dalam wilayah Madura, terdapat lapangan kerapan yang
dipergunakan dalam setiap even lomba. Lapangan Kerapan Sapi dilengkapi dengan
tribune yang dibangun agak tinggi, sehingga penonton dengan leluasa dapat
menyaksikan pertunjukan dari atas, tanpa takut ditabrak oleh sepasang sapi yang
sedang berpacu. Di tepi lapangan juga dibatasi pagar bambu, dimana para supporter
dari masing-masing sapi bergabung dengan para penonton untuk memberikan
semangat kepada sapi yang sedang berlaga, teriakan-teriakan massa membahana, riuh
rendah, bergemuruh, bersamaan dengan kecepatan sapi yang sedang berpacu.

Suasana yang demikian itulah, menjadi salah satu daya tarik luar biasa.
Karena dalam arena ini, yang dipertontonkan adalah ketangkasan, ketangguhan,
keuletan, kegigihan dan kelihaian untuk menjadi yang tercepat dan terdepan. Ekspresi
urakan, kesangaran, hura-hura terekspos begitu nyata. Sebuah kompetisi yang
menguras semua energi, pikiran, tenaga serta emosional massa.
Dibalik kemeriahan dalam arena Kerapan Sapi, ada satu makna filosofi yang
sangat mendalam. Yaitu untuk mencapai sebuah tujuan atau cita-cita perlu adanya
satu kekompakan dan kebersamaan. Satu tujuan cita-cita akan tercapai apabila berada
dalam satu komando. Joki merupakan gambaran sang komando dengan mengendarai
sapi tunggangan sebagai alat dalam mencapai tujuan. Dengan melintasi garis lurus
(sapi berlari lurus), dipandu oleh Joki. Diumpamakan, garis lurus tersebut adalah
pengejawantahan agar manusia senantiasa berada dalam lintasan yang lurus.
Gambaran Joki sebagai komando diperjelas lagi dengan posisi kaki kiri Joki,
diletakkan di Kaleles (nangkring), sedangkan kaki kanan merangkul di Kaleles yang
melengkung. Ini merupakan gambaran (tipikal) seorang komando (pemimpin) yang
harus berdiri tegak diatas yang dipimpinnya, juga merangkul sekaligus memiliki
terhadap komponen yang dipimpinnya.
Dalam arti yang lebih lugas, suatu tujuan akan tercapai dan sukses apabila ada
kerjasama, kebersamaan dan kekompakan yang dipandu oleh seorang komando
(pemimpin),

yang

memiliki,

merangkul

juga melindungi

komponen

yang

dipimpinnya. Sang komando dalam menjalankan kepemimpinannya senantiasa


melintasi jalan yang lurus, selalu berada dalam rel kebenaran dan jujur.
Adapun aksesoris sekaligus sebagai alat batu dalam menjalankan sapi
kerapan, ialah : Kaleles, Pangonong dan ajer. Kaleles berasal dari bahasa Jawa
leles, yang berarti mengambil sisa. Makna dari Kaleles adalah, seorang komando
(pemimpin) harus mendahulukan kepentingan yang dipimpinnya, barulah komando
mengambil jatah (sisa) dari bawahannya. Pangonong merupakan pedoman dan Ajer
adalah bendera yang akan menjadi tanda sekaligus pemacu semangat. Berkibarnya
bendera, adalah gambaran meluapnya semangat dalam meraih suatu tujuan cita-cita.
Dalam even-even tertentu pelengkap kemeriahan pentas rakyat Kerapan sapi,
biasanya diadakan bermacam-macam pertunjukan kesenian dan ketrampilan.
Diantaranya adalah tarian massal Tari Pecut. Tarian ini menggambarkan sebuah
ungkapan kegembiraan serta rasa terima kasih para pemilik sapi yang telah berhasil
menjadi pemenang. Dan dalam acara tersebut, juga didemonstrasikan ketrampilan
sapi betina, yang biasa disebut dengan Sapi Sono. Dalam atraksi ini, sepasang sapi
betina akan mempertontonkan kemampuannya memasuki sebuah arena, dengan

memanis-maniskan diri, berjalan sambil berjoget serta mengangkat kaki bersamaan


ke atas papan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari semua penjelasan tadi dapat disimpulkan bahwa karapan sapi adalah
sebagai berikut :
Kerapan atau karapan sapi adalah satu istilah dalam bahasa Madura yang
digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Ada dua versi mengenai
asal usul nama kerapan. Versi pertama mengatakan bahwa istilah kerapan berasal
dari kata kerap atau kirap yang artinya berangkat dan dilepas secara bersamasama atau berbondong-bondong. Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa
kata kerapan berasal dari bahasa Arab kirabah yang berarti persahabatan.
Namun lepas dari kedua versi itu, dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan
adalah suatu atraksi lomba pacuan khusus bagi binatang sapi. Karapan sapi ini terdiri
dari beberapa macam, yaitu, Kerap Keni (kerapan kecil), Kerap Raja (kerapan besar),
Kerap Onjangan (kerapan undangan), Kerap Karesidenen (kerapan tingkat
keresidenan), dan Kerap jar-jaran (kerapan latihan).
Dalam perlombaan ini ada berbagai pihak yang ikut berperan, diantaranya
adalah pemilik sapi pacuan, tukang tongko, tukang tambeng, tukang gettak, tukang
dan tukang gubra.
Sampai saat ini pesta permainan rakyat, Kerapan Sapi diadakan setiap tahun.
Dari tingkat wilayah terendah sampai tingkat Karesidenan. Seleksi biasanya diadakan
dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten sampai tingkat Madura.
Permainan kerapan sapi jika dicermati secara mendalam mengandung nilainilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan
bermasyarakat. Nilai-nilai itu adalah: kerja keras, kerja sama, persaingan, ketertiban
dan sportivitas.

KRITIK DAN SARAN


Sejumlah uraian di atas menunjukkan bahwa kerapan sapi masa kini berbeda
jauh dengan di masa lampau. Kerapan sapi masa kini telah bergeser jauh dari tradisi
10

aslinya, tercerabut dari akarnya. Bergeser dari yang semula kesenian ke


komersialisasi, dari festival ke bullraces. Pergeseran orientasi tersebut menjadikan
kerapan sapi masa kini sarat dengan sisi negatif, misalnya; pertama, unsur penyiksaan
terhadap binatang sangat kentara, dipertontonkan (oleh joki) dihadapan ribuan
pengunjung sambil diiringi tepuk tangan meriah penonton. Menyiksa binatang jelas
merupakan perbuatan tak manusiawi, anarkis, amoral, bertolak belakang dengan
nilai-nilai budaya Madura yang andep asor, dan bertentangan dengan ajaran agama.
Kedua, biaya pemeliharaan sap kerrap sangat berlebihan dan terkesan boros,
mengalahkan biaya hidup pemilik dan keluarganya. Ketiga, arena kerapan sapi
biasanya menjadi ajang empuk bagi para petaruh. Antara kerapan sapi dan
taruhan/judi bagai gula dan semut. Di mana ada kerapan mesti ada taruhan/judi.
Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa Madura memiliki kebudayaan yang
komplek dan menakjubkan. Tinggal kita, sebagai generasi muda apakah dapat
melestarikan kebudayaan-kebudayaan peninggalan nenek moyang kita atau
kebudayaan itu akan hilang dengan sendirinya dan anak cucu kita nantinya tidak akan
dapat mengetahui dan menikmati kebudayaan peninggalan nenek moyang mereka.

11

DAFTAR PUSAKA

1. http://www.lontarmadura.com/ (Diakses pada tanggal 29 Oktober 2016)


2. http://www.pontianakpost.com/ (Diakses pada tanggal 29 Oktober 2016)
3. http://www.reznatour.biz/ (Diakses pada tanggal 30 Oktober 2016)

12

You might also like