You are on page 1of 50

BAB II

DIABETES INSIPIDUS
1. Definisi
Diabetes insipidus adalah penyakit yang diakibatkan oleh berkurangnya sekresi
insulin akibat kerusakan sel -pankreas yang didasari proses autoimun., dimana
terjadi peningkatan rasa haus dan peningkatan kuantitas urin akibat defisiensi pitresin
(ADH) yang diproduksi oleh hipofisis dalam mengatur metabolisme air di tubuh.1,2
2. Etiologi
2.1 Kelainan organis3,4,5,6
- Operasi
- Penyakit Infeksi : meningitis, Tb, sarkoidosis, dll
- Tumor atau kista di daerah kiasma optika, infudibulum, ventrikel III, atau
-

korpus pineal
Leukimia
Penyakit Hodgkin
Pelagra
Ensefalopati iskemik atau hipoksia
Trauma pada kepala terutama fraktur basis crania
Xantomatosis (hand-schuller-christian)
Radiasi
Edema serebri
Perdarahan intakranial

Kelainan tersebut mengakibatkan gangguan sebagai berikut:


-

Pengangkutan ADH yang tidak bekerja dengan baik akibat rusaknya akson

pada traktus supraoptikohipofisealis


- Sintesis ADH terganggu
- Kerusakan pada nucleus supraoptik paraventrikular
- Gagalnya pengeluaran vasopressin
2.2 Kelainan ginjal (nefrogenik)7

Penyebab primer : primary familial: x-linked recessive dimana anak lakilaki lebih banyak dibandingkan anak perempuan
Penyebab sekunder :
1) Penyakit ginjal kronik: Penyakit ginjal polikistik, Medullary cystic
disease, Pieloneferitis, Obstruksi uretral, Gagal ginjal lanjut
2) Gangguan elektrolit: Hipokalemia, Hiperkalsemia
3) Obat-obatan: Antibiotik aminoglikosid, demeklosiklin, litium,
asetoheksamit, tolazamid, glikurid, propoksifen, colchicines, fluoride,

cidofovir, demeclocycline, methoyflurane


4) Penyakit sickle cell
5) Deprivasi protein
6) Amiloidosis
7) Sjogren syndrome
2.3 Idiopatik
3. Klasifikasi3,8
3.1 Diabetes insipidus sentral
Merupakan bentuk tersering dari diabetes insipidus dan biasanya berakibat
fatal. Tipe ini meruapakan manifestasi dari kerusakan hipofisis yang berakibat pada
terganggunya sintesis dan penyimpanan ADH yang disebabkan kerusakan nucleus
supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensintesis ADH.
3.2. Diabetes insipidus nefrogenik
3.3. Diabetes insipidus dipsogenik
Terjadi karena kerusakan dalam mekanisme haus di hipotalamus, akibatnya
terjadi peningkatan mekanisme haus yang abnormal sehingga menyebabkan supresi
seksresi ADH dan peningkatan output urin.
3.4. Diabetes insipidus gestasional

Terjadi hanya saat hamil yaitu saat enzim yang dibuat plasenta merusak ADH
ibu.
4. Gejala Klinis3,6
1. Poliuria dan polidipsia
2. Hiperglikemia ( 200 mg/dl), ketonemia, glukosuria
3. Dehidrasi
4. Hipertermia
5. Nyeri kepala, lemah dan lesu, nyeri otot, hipotermia dan takikardi
6. Berat badan turun cepat
7. Enuresis
8. Tidak berkeringat atau keringat sedikit, sehingga kulit kering dan pucat
9. Anoreksia
5. Patofisiologi2,9,10
1. Mekanisme Osmoreseptor
Terletak di anterolateral hipotalamus. Sel ini berperan dalam menjaga
keseimbangan air dan Na. Perubahan dalam tekanan osmolar plasma akan
merangsang signal untuk rilis atau inhibisi ADH. Tekanan osmolaritas di bawah 280
mOsm/kg tidak akan merangsang sekresi ADH. Rangsang rilis ADH mulai ketika
terjadi perubahan terjadi perubahan tekanan osmolaritas di atas 280 msml/kg.
Tekanan osmolaritas 290 mOsm/kg akan merangsang sekresi ADH sebesar 5pg/ml.
2. Mekanisme Baroreseptor
Terletak di sinus carotis dan arkus aorta yang mengatur tekanan darah. Stimulasi
rilis ADH terjadi jika tekanan darah turun sehingga mensupresi baroreseptor. Serabut
saraf sensoris dari nervus IX dan X membawa signal ini dari sinus dan arcus untuk
merangsang rilis ADH di hipotalamus.

Tabel : Karakteristik Osmoreseptor dan Baroreseptor


Receptors
Location
Value Measured
ADH Release Stimulated By
Change Required for Action
Resulting Amount of ADH
Override Other?

Osmoreceptors
anterolateral hypothalamus
Posm
activation of receptor
1% above 280 mosm/kg
small
no

Baroreceptors
carotid sinus & aortic arch
circulating volume
suppression of receptor
10-15% decrease
Large
Yes

Ginjal menyaring 70-100 liter cairan dalam 24 jam, dan dari jumlah ini 85%
direabsorbsi di tubulus bagian proksimal tanpa pertolongan ADH. Sisanya di
reabsorbsi di tubulus bagian distal di bawah pengaruh ADH. Vasopresin bekerja
dengan memperbesar permeabilitas jaringan terhadap air. Gangguan dari fisiologi
vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal
karena berkurang permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria atau banyak
kencing. Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus, dan
sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang
rangsang osmotik pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi
vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih
dahulu akan mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih

meningkat akan merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut
minum banyak (polidipsia).
6. Pemeriksaan penunjang5,9
1. Laboratorium : darah, urinalisis fisis dan kimia.
Jumlah urin biasanya didapatkan lebih dari 4-10 liter dan berat jenis bervariasi
dari 1,001-1,005 dengan urin yang encer. Pada keadaan normal, osmolalitas plasma
kurang dari 290 mOsml/l dan osmolalitas urin 300-450 mOsmol/l. Pada keadaan
dehidrasi, berat jenis urin bisa mencapai 1,010, osmolalitas plasma lebih dari 295
mOsmoll dan osmolalitas urin 50-150 mOsmol/l. Urin pucat atau jernih. Kadar
natrium urin rendah. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar natrium yang
tinggi dalam darah. Fungsi ginjal lainnya tampak normal.
Test deprivasi air diperlukan untuk pasien dengan diabetes insipidus dengan
defisiensi ADH parsial dan juga untk membedakan diabetes insipidus dengan
polidipsia primer pada anak. Pemeriksaan harus dilakukan pagi hari. Hitung berat
badan anak dan periksa kadar osmolalitas plasma maupun urin tiap 2 jam. Pada
individu normal, osmolalitas akan naik (<300) namun output urin akan berkurang
dengan berat jenisyang naik (800-1200).

2. Radioimunoassay untuk vasopresin


Kadar plasma yang selalu kurang dari 0,5 pg/mL menunukkan diabetes
insipidus neurogenik berat. Kadar AVP yang subnormal pada hiperosmolalitas yang
menyertai menunjukkan diabetes insipidus neurogenik parsial. Pemeriksaan ini
berguna dalam membedakan diabetes insipidus parsial dengan polidipsia primer.
3. Rontgen cranium
Rontgen cranium dapat menunjukkan adanya bukti tumor intrakranium seperti
kalsifikasi, pembesaran sella tursika, erosi prosesus klinoid, atau makin melebarnya
sutura.
4. MRI
MRI diindikasikan pada pasien yang dicurigai menderita diabetes insipidus.
Gambaran MRI dengan T1 dapat membedakan kelenjar pituitaria anterior dan
posterior dengan isyarat hiperintense atau yang disebut titik terang / isyarat terang.
Titik terang muncul pada MRI kebanyakan penderita normal, namun tidak tambap
pada penderita dengan lesi jaras hipotalamik-neurohipofise. Penderita dengan dabetes
insipidus autosom dominan, titik terang biasanya muncul, mungkin disebabkan oleh
akumulasi mutan kompleks AVP-NP II. Menebalnya tangkai kelenjar pituitaria dapat
terlihat dengan MRI pada penderita dengan diabetes insipidus dan histiositosis sel
langerhans (LCH) atau infiltrasi limfosit. Pada beberapa penderita abnormalitas MRI
dapat dideteksi bahkan sebelum bukti klinis LCH lain ada.

7. DIAGNOSIS BANDING6,7
1. Kelainan ginjal seperti penyakit polikistik, pielonefritis kronis, nefronoptisis
familial. Kenaikan kadar ureum dan kreatinin plasma, anemia, dan urin isotonis
merupakan khas penyakit ginjal primer.
2. Defisiensi AVP yang diwariskan atau di dapat. Kegagalan berespon terhadap AVP
atau desmopresin penting untuk membedakan diabetes insipidus dengan defisensi
AVP primer.
3. Hipokalemia dan hiperkalsemia bisa menyebabkan polidipsia, dan poliuria dengan
berat jenis urin yang rendah
4. Insufisiensi adrenal, diantaranya salt losing syndrom
5. Polidipsia psikogenik : compulsive water drinkers. Dalam keadaan ini terdapat
kelainan jiwa seperti neurosis yang dilatarbelakangi oleh keinginan memperoleh
perhatian. Anak yang terkena biasanya mampu dengan mudah menghasilkan urin
yang terkonsentrasi bila cairan dikurangi. Namun kadangkadang diagnosisnya sukar
karena polidipsia yang lama menurunkan kadar urin maksimum yang dapat dicapai
setelah dehidrasi atau bahkan setelah infuse larutan garam hipertonik.
6. Adipsia atau hipodipsia
Merupakan manifestasi klinis dari defek pusat haus murni. Namun sangat jarang
terjadi. Hal ini dikarenakan osmoreseptor untuk haus dan AVP menempati daerah
hipotalamus anterior yang berdekatan, hipernatremia hipodipsik biasanya disertai
dengan defek pada fungsi ADH. Ini paling sering terjadi pada penderita dengan tumor

hipotalamus, terutama germinoma, glioma, histiositosis, malformasi kongenital, dan


mikrosefali.
8. KOMPLIKASI5
1. Dehidrasi hipernatremik serta komplikasi neurologisnya
2. Retardasi mental
3. Hidronefrosis
9. PENATALAKSANAAN3,4,8,9
Pengobatan pada diabetes insipidus harus sesuai dengan gejala yang
ditimbulkannya.
-

Diabetes insipidus sentral (DIS) parsial tanpa gejala nokturia dan poliuria
yang mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari tidak diperlukan terapi
khusus. Pada DIS yang komplit, biasanya diperlukan terapi hormon
pengganti (hormonal replacement) yaitu desmopressin atau DDAVP (1desamino-8-d-arginine vasopressin) yang merupakan pilihan utama.
DDAVP adalah 2000-3000 kali lebih besar daripada aktivitas pressornya,
dan 1 mikrogram menghasilkan diuresis yang berakhir dalam waktu 8-10
jam, dibandingkan dengan hanya 2-3 jam untuk AVP alami. DDAVP
diberikan melalui sistem pemasukan pipa hidung yang mengalirkan
sejumlah tepat pada mukosa hidung. Dosis berkisar antara 5-15
mikrogram yang diberikan sebagai dosis tunggal atau terbagi menjadi 2
dosis. Anak umur kurang dari 2 tahun memerlukan dosis yang lebih kecil

(0,15-0,5 mikrogram/kg/24 jam). Dosisnya harus secara individu dan


penting disesuaikan jadwal dosisnya sehingga memungkinkan penderita
dalam keadaan poliuria ringan sebelum dosis berikutnya diberikan. Untuk
penderita yang memerlukan lebih dari 10 mikrogram dosis preparat
semprot hidung juga tersedia. Preparat parenteral DDAVP (0,03-0,15
mikrogram/kg) tersedia dan bermanfaat paska bedah transfenoidalis, bila
penyumbatan hidung menghalangi peniupan hidung.
-

Desmopressin seperti halnya ADH memfasilitisasi reabsorbsi air di


tubulus kolektivus dengan cAMP-mediated insersion. Hasilnya volume
urin berkurang dan berat jenis urin meningkat. Efek samping dari
desmopressin yaitu hiponatremia dan pada dosis tinggi dapat

menyebabkan hipertensi.
DDAVP juga berpengaruh pada reseptor eksternal seperti V2 yang
mengakibatkan keluarnya faktor VIII dan faktor Von Willebrand.
Penderita dengan hemofilia A ringan atau sedang atau penyakit von
Wilebrand terpilih dapat disembuhkan secara berhasil dengan dosis
DDAVP 15 kali lebih tinggi daripada dosis yang dipergunakan untuk
antidiuresis. Desmopresin semakin banyak dipergunakan pada
penatalaksanaan anak dengan enuresis. Dosis yang diperlukan adalah 2040 gr, diberikan sebagai semprot hidung sebelum tidur.

Selain terapi hormon pengganti, bisa juga digunakan terapi adjuvant yang
mengatur keseimbangan air, seperti:

- Diuretik Tiazid
- Klorpropamid
- Klofibrat
- Karbamazepin
10. PENCEGAHAN
Dehidrasi, penderita harus selalu minum cairan dalam jumlah yang cukup ketika
mereka merasa haus. Penderita bayi dan anak-anak harus sering diberi minum.
Terutama pada bayi yang masih sukar mengekspresikan rasa hausnya . Jika asupan
cairan mencukupi, jarang terjadi dehidrasi.
11. Prognosis9
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad functionam : dubia

UNDESENSUS TESTIS (UDT)


1. Definisi
Merupakan kondisi ketika testis tidak berada di dalam kantong skrotum, tetapi
berada di salah satu tempat sepanjang jalur penurunan testis yang normal.11 Insidensi
UDT pada bayi sangat dipengaruhi oleh umur kehamilan bayi dan tingkat
kematangan atau umur bayi. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada
bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT,
sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan
bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8%, angka ini
hampir sama dengan populasi dewasa.12
2. Klasifikasi
Terdapat 3 tipe UDT:12
1.

UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan parsial melalui


jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan

2.
3.

tidak teraba (impalpable).


Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang normal.
Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa kedasar skrotum tetapi akibat refleks
kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis, bukan
termasuk UDT yang sebenarnya.12
Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,
menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal (gambar 1).12

Gambar 1. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis.12
3. Etiologi
Segala bentuk gangguan pada proses penurunan tersebut di atas akan
berpotensi menimbulkan UDT (seperti terlihat pada tabel 1). Beberapa penelitian
terakhir mendapatkan bahwa mutasi pada gen INSL3 (Leydig insulin-like hormone 3)
dan gen GREAT (G protein-coupled receptor affecting testis descent) dapat
menyebabkan UDT. INSL3 dan GREAT merupakan pasangan ligand dan reseptor
yang mempengaruhi perkembangan gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-gen
tertentu yang lain juga terbukti menyebabkan UDT, antara lain gen reseptor androgen
yang akan menyebabkan AIS (androgen insensitivity syndrome), serta beberapa gen
yang bertanggung jawab pada differensiasi testis semisal: PAX5, SRY, SOX9, DAX1,
dan MIS.12
Tabel 1 Berbagai kemungkinan penyebab UDT12

Androgen deficiency/blockade
Pituitary/placental gonadotropin deficiency
Gonadal dysgenesis
Androgen sythesis defect (rare)

Androgen receptor defect (rare)


Mechanical anomalies
Prune belly syndrome (bladder blocks inguinal canal)
Posterior urethral valves(bladder blocks inguinal canal)
Abdominal wall defects (low abdominal pressure/gubernacular rupture)
Chromosomal/malformation syndrome (? Connective tissue defect block

migration)
Neurological anomalies
Myelomeningocele (GNF dysplasia)

GFN/CGRP anomalies
Aquired (?) anomalies
Cerebral palsy (cremaster spasticity)

Ascending/retractile testes (? Fibrous remnant of processus vaginalis


(Dikutip dari : Hutson JM, Hasthorpe S, Heys CF. Anatomical and Functional of
Testicular Descent and Cryptorchidism. Endocrine Reviews 1997; 18 (2): 259-75)
UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated
anomaly), ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex, dan
kelainan bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti

hipospadia kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar 12


25 %).12
Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang isolated,
di samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT. Sekitar 4,0 % anakanak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,29,8% mempunyai saudara laki-laki
UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali terjadi UDT pada laki-laki yang
mempunyai anggota keluarga UDT dibanding dengan populasi umum.12
4. Faktor Resiko
1. BBLR (kurang 2500 mg)
2. Ibu yang terpapar estrogen selama trimester pertama
3. Kelahiran ganda (kembar 2, kembar 3)
4. Lahir prematur (umur kehamilan kurang 37 minggu)
5. Berat janin yang dibawah umur kehamilan.
6. Mempunyai ayah atau saudara dengan riwayat UDT.1

5. Gejala Klinis
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak
menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh karena
infertilitas. Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah yang
disebabkan testis maldesensus mengalami trauma, mengalami torsio, atau berubah
menjadi tumor testis.11
6. Pemeriksaan dan Diagnosis
1. Anamnesis
Tidak adanya satu atau dua testis dalam skrotum. Pasien dapat mengeluh nyeri testis
karena trauma, misal testis terletak di atas simpisis ossis pubis. Pada dewasa keluhan
UDT sering.11
2. Pemeriksaan fisik meliputi :
a. Penentuan lokasi testis.
b. Penentuan apakah testis palpabel.
Bila palpable, ada beberapa kemungkinan yaitu testis retraktil, UDT, testis
ektopik, serta sindrom ascending testis. Bila impalpable, kemungkinannya ialah
intrakanalikuler, intraabdominal, atrofi testis, dan agenesis.11
7. Pemeriksaan Penunjang
7.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan
disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan

hormonal (yang terpenting adalah 17-hydroxyprogesterone) untuk menyingkirkan


kemungkinan intersex.12
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral
dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan testosteron
akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah
mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus dilakukan dengan
melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human chorionic gonadotropin
hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertai peningkatan LH/FSH
setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia.12
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon
testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi,
respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan
meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG
hanya sekitar 2-3x.12
7.2 Pemeriksaan Pencitraan
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah
inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. Pada
penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya
dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi testis

intra-abdomen. Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat
yang digunakan.12
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG
terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai
sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar
(belasan tahun). Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka
penggunaan angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi
semakin berkurang.2 Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing
testis ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus
pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada anorchia).2
Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang lebih besar
mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad.12
7.3 Laparoskopi
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin
inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-patent), testis dan
vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya. Tiga hal yang sering dijumpai saat
laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan
anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas
deferens) yang keluar kedalam cincin inguinalis interna.12

10. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke
tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan. Dengan asumsi
bahwa jika dibiarkan, testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun sedangkan
setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang
tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun.11
10.1

Medikamentosa

Obat yang sering dipergunakan adalah hormon hCG yang disemprotkan intranasal.1
10.2

Operasi

Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah:11


1. Mempertahankan fertilitas
2. Mencegah timbulnya degenerasi maligna
3. Mengurangi resiko cidera khususnya bila testis terletak di tuberkulum pubik
4. Mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis
5. Melakukan koreksi hernia
6. Psikologis
Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam
skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantong sub dartos.11

HIPOTIROID PADA ANAK


Definisi
Hipotiroid adalah keadaan jumlah hormon tiroid yang tidak adekuat dalam
memenuhi kebutuhan seluruh jaringan tubuh. hal ini disebabkan oleh gangguan pada
salah satu tingkat dari aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid-end organ. Keadaan ini
dapat terjadi sejak dalam kandungan, masa bayi, anak, remaja dewasa, sampai usia
lanjut. 13,14
Klasifikasi1
1. Menurut lokasi abnormalitas:
Primer
: kelainan di kelenjar tiroid
Sekunder
: kelainan di hipofisis
Tersier
: kelainan di hipotalamus
2. Menurut waktu kejadian:
Kongenital
Didapat
3. Menurut lama kejadian:
Transien/sementara
Menetap/seumur hidup
4. Menurut geografis:
Endemis
Sporadis
HIPOTIROID KONGENITAL
Hipotiroid kongenital merupakan penyebab retardasi mental tersering yang
dapat diobati.15,16 Hipotiroid kongenital disebabkan karena tidak adekuatnya produksi
hormon tiroid pada bayi baru lahir.13
1. Hipotiroid kongenital menetap
Primer
- Disgenesis kelenjar tiroid

Merupakan penyebab terbanyak hipotiroidisme non endemik, kirakira 85-90% kasus hipotiroidisme kongenital. Disgenesis tiroid
sebagai akibat dari tidak adanya jaringan tiroid total (agenesis)
atau [arsial (hipoplasia) yang terjadi akibat gagalnya penuruunan
kelenjar tiroid ke leher (ektopik). Disini dapat terjadi agenesis
unilateral atau hipoplasia tapi biasanya tidak mengganggu fungsi
-

tiroid pada periode bayi baru lahir.15,17


Kelainan biosintesis hormon tiroid (dishormongenesis)
Kurangnya sintesis T4 karena Kelainan biosintesis hormon tiroid
(dishormongenesis) merupakan kelainan terbanyak hipotiroidisme
kongenital karena kelainan genetik, didapatkan pada 10-15% kasus
hipotiroidisme kongenital. Defek yang didapatkan adalah 1).
Kegagalan mengkonsentrasikan yodium 2). Defek organifikasi
yodium karena kelainan enzin TPO atau pada H2O2 generating
system 3). Defekpada sintesis atau transport tiroglobulin 4).

Kelainan aktivitas iodotirosin deiodinase.17,18


Iatrogeni
Bayi baru lahir dari ibu yang mendapat pengobatan iodium

radioaktif dapat mengakibatkan ablasio kelenjar tiroid janin.13


Sekunder
- Kelainan bawaan perkembangan otak tengah (displasia
-

sefalooptik, aplasia hopofisis)13


Defisiensi TSH
Hipotiroidisme sentral, disebabkan karena kelainan pada hipofisis
atau hipotalamus pada bayi sangat jarang, dengan prevalensi antara
1:25.000 sampai 1:100.000 kelahiran. Walaupun jarang,
hipotiroidisme sentral sangat penting karena sering berhubungan
dengan defisiensi hormon hipofisis yang lain yang dapat
menyebabkan kematian karena hipoglikemi. Hipotiroidisme
kongenital akibat defisiensi TSH, hanya terdeteksi pada skrining

bayi baru lahir yang program skriningnya menggunakan


-

pemeriksaan awal T4.


Resistensi terhadap hormon tiroid
Merupakan sindrom dari tidak responsifnya jaringan target
terhadap hormon tiroid. Ditandai dengan meningkatnya kadar TF4
dan TF3 dalam sirkulasi dengan kadar TSH sedikit meningkat atau
normal. Tampilan klinis sangat heterogen, biasanya didapatkan
goiter, gangguan belajar dapat diserta atau tidak dengan hiperaktif,
kelambatan pertumbuhan, dan sinus takikardi. Sebagin besar kasus
akibat dari mutasi gen TRb dan mengikuti pola penurunan
autosomal dominan. Insidensi diperkirakan 1:50.000 bayi baru

lahir.19
Tersier
Aplasia hipotalamus, defisiensi TRH13

2. Hipotiroid kongenital transien/sementara


Ibu yang mengonsumsi obat antitiroid sehingga komponen tersebut
akan melalui plasenta dan memengaruhi sintesis hormon tiroid bayi.
Bayi sangat peka terhadap efek obat antitiroid walaupun dosis yang
digunakan ibu sesuai dengan pedoman yang dianjurkan. Bayi dengan
hipotiroidisme yang disebabkan oleh obat dari ibu, ditandai dengan

pembesaran kelenjar tiroid.18


Ibu yang mempunyai antibodi antitiroid sehingga melalui barier
plasenta.
Ibu defisiensi iodium atau iodium yang berlebihan
Defisiensi iodium atau iodium yang berlebihan pada janin maupun
pada bayi baru lahir sangat peka pengaruhya terhadap tiroid, sehingga
harus dihindarkan penggunaan iodium pada ibu selama kehamilan atau
penggunaan langsung pada bayi karena bayi tidakdapat menurunkan
uptake yiodium tiroid dalam merespon kelebihan yodium sebelum usia
kehamilan 36 minggu. Faktor lain yaitu absorbsi yodium melalui kulit,

dan menurunnya clearence ginjal terhadap yodium pada bayi


prematur.17
HIPOTIROID DIDAPAT13,14

Defisiensi iodium endemis


Penyakit tiroid autoimun
Sensitivitas jaringan terhadap hormon tiroid menurun
Obat giatrogen (misalnya propiltiourrasil, metimazol, minosiklin, dll)
Sesudah tiroidektomi atau radiasi
- penyakit sistemik: gangguan ginjal, sistinosis
- defisiensi TSH

PATOFISIOLOGI
Hipotiroid dapat disebabkan oleh gangguan sintesis hormon tiroid atau
gangguan pada respon jaringan terhadap hormon tiroid.
Sintesis hormon tiroid diatur sebagai berikut :

Hipotalamus membuat thyrotropin releasing hormone (TRH) yang

merangsang hipofisis anterior.


Hipofisis anterior mensintesis thyrotropin (thyroid stimulating hormone =

TSH) yang merangsang kelenjar tiroid.


Kelenjar tiroid mensintesis hormone tiroid (triiodothyronin = T3 dan
tetraiodothyronin = T4 = thyroxin) yang merangsang metabolisme jaringan
yang meliputi : konsumsi oksigen, produksi panas tubuh, fungsi syaraf,
metabolisme protrein, karbohidrat, lemak, dan vitamin-vitamin, serta kerja
daripada hormon-hormon lain.14

Hipotiroid Kongenital
Kekurangan hormon tiroid terjadi pada masa perkembangan otak sehingga
terjadi hambatan proses tumbuh kembang dan mengakibatkan retardasi mental .13
Hipotiroid Didapat

Biasanya terjadi kekurangan hormon tiroid sesudah masa kritis perkembangan otak
sehingga terjadi gangguan fungsi mental ringan atau normal dan yang menonjol
gangguan pertumbuhan fisik (peraawakan pendek patologis).13
GEJALA KLINIS13
Gejala dan tanda klinis hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir bergantung
pada etiologi, usi kehamilan, derajat kehamilan, derajat penyakit dan lama kondisi
hipotiroid. Hanya <5% bayi yang menunjukan gejala hipotiroid.1
Gejala Klinis

ikterus lama
letargi
konstipasi
Feeding problem
Tubuh teraba dingin

Tanda Klinis

Skin mottling
Hernia umbilikalis
Wajah khas (pseudohipertelorisme)
Ikterus
Makroglosia
Fontanel dan sutura melebar
Abdomen membuncit
Hipotonia, kulit ering
Marmorata
Refleks lambat
Goiter

Gejala dan tanda klinis hipotiroid didapat


Selain gejala klasik terdapat gejala lani yang menonjol:

Hambatan pertumbuhan
Umur tulang terlambat
Pseudodistrofi otot

Gangguan maturitas kelamin (pubertas terlambat atau pubertas prekoks)

KRITERIA DIAGNOSIS

Gejala dan tanda klisis hipotiroid


Pemeriksaan pertumbuhan dan perkembangan
Radiologi: pemeriksaan umur tulang.
Pada hipotiroid kongenital: pemeriksaan femur bagian distal dan tibia bagian
proksimal.
USG kelenjar tiroid
Sidik tiroid
Laboratorium penunjang
- Hipotiroid hipotiroid primer: T3 dan T4 bebas menurun, TSH
-

meningkat
Hipotiroid karena kelainan di hipofisis/ hipotalamus: T3, T4 bebas,

dan TSH menurun


Hipotiroid karena resisten jaringan terhadap hormon tiroid: T3, T4,

dan TSH normal


Thyroid banding globulin (TBG) menurun
Antibodi antitiroid (bila ada riwayat tiroiditis pada ibu) hasil positif.

Skrining Hipotiroid Kongenital


Mengingat gejala klinis hipotiroid kongenital tidak jelas pada awal kelahiran,
maka seluruh bayi yang lahir harus dislakukan skrining hipotiroid dengan
memeriksa TSH menggunakan kertas saring dengan sediaan darah dari tumit
pada hari ke3-5 kelahiran. Bila pemeriksaan tersebut tida memungkinkan
seperti di daerah dengan fasilitas terbatas, maka skrining hipotiroid kongenital
dapat dilakukan secaraklinis dengan menggunakan skoring Quebec sebagai
berikut:
Tabel : Skor Apgar pada hipotiroid kongenital
Gejala klinis

Score

Hernia umbilicalis

Feeding problem

Hipoaktif

hipotonia

Makroglosi

Skin mottling

Ikterus kering

1,5

Muka khas

Fontanella posterior terbuka (>3cm)

1,5

Konstipasi

Total

13

Bayi baru lahir normal mempunyai nilai <3, sedangkan bila nilai >4 harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium.
Pelaksanaan bisa dilakukan dengan 3 cara:

Pemeriksaan primer TSH.


Pemeriksaan T4 ditambah dengan pemeriksaan TSH dari sampel darah

yang sama, bila hasil T4 rendah.


Pemeriksaan TSH dan T4 sekaligus pada satu sampel darah.

Nilai cut-off adalah 25U/ml. Bila nilai TSH <25U/ml dianggap normal;
kadar TSH >50 U/ml dianggap abnormal dan perlu pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan TSH dan T4 plasma. Bila kadar TSH tinggi > 40 U/ml dan T4
rendah, < 6 g/ml, bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50 U/ml, dilakukan pemeriksaan
ulang 2-3 minggu kemudian.13,14
DIAGNOSIS BANDING
Mongolisme13
Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan faal
tiroid secara rutin.

epikantus (+)

makroglosi (+)

miksedema (-)

retardasi motorik dan mental

Kariotyping, trisomi 21

PENYULIT
Hipotiroid kongenital harus diobati sedini-dininya, bila tidak segera diobati
atau dosis obat tidak adekuat maka akan menyebabkan retardasi mental, gangguan
kognitif dan motorik, kadang disertai gangguan koordinasi, diplegia spastik,
strabismus, dan ataksia.14
Hipotiroid didapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan fisik
termasuk maturitas seksual.14
PENATALAKSANAAN
Hormon tiroid diberikan diberikan untuk replacement hormon dengan Na Ltiroksin sedini-dininya, dengan target normalisasi T4 dalam 2 minggu dan TSH dalam
1 bulan. Kadar fT4 diusahakan pada nilai pertengahan atas rentang normal dan TSH
dipertahankan <10 g/ml.14
Pada kasus hipotiroid kongenital terapi harus dimulai segera sesudah
diagnosis ditegakan (usia 3 minggu) untuk mencegah retardasi mental.14
Dosis pengggantian Na L-tiroksin pada bayi dan anak
Usia
0-3 bl
3-6 bl
6-12 bl
1-3 th
3-10 th
10-15 th

Dosis/hari (g)
25-50
50-75
50-75
75-100
100-150
100-200

Dosis/kgBB/hari (g)
10-15
8-10
6-8
4-6
3-4
2-3

PEMANTAUAN
Kemungkinan terjadinya hipertiroidisme perlu diwaspadai. Dosis yang
berlebihan dapat mengakibatkan takikardia, kecemasan berlebihan, gangguan tidur,
dan gejala tirotoksikosis yang lain. Pemberian tiroksin berlebihan jangka lama
mengakibatkan terjadinya kraniosinostosis. Pemeriksaan fungsi tiroid. 13,14

2-4 minggu setelah terapi dimulai dan 2 minggu setelah setiap perubahan

dosis.
Secara berkala dianjurkan tiap 1-2 bulan dalam 6 bulan pertama kehidupan,

selanjutnya tiap 3 bulan pada 6 bulan sampai tiga tahun.


Setiap 6-12 bulan sekali pada usia 3 tahun sampai dengan selesai masa
pertumbuhan.

Apabila fase perkembangan otak sudah dilalui, pemantauan dapat dilakukan 3


bulan sampai 6 bulan sekali dengan mengevaluasi pertumbuhan linear, berat badan,
perkembangan motorik dan bahasa serta kemampuan akademis untuk yang sudah
bersekolah. 13,14
Umur tulang, pertumbuhan dan perkembangan serta pemantauan pubertas dipantau
tiap tahun.
Pada usia prasekolah dilakuakan tes IQ.
PROGNOSIS1
Bila terapi dilakukan pada usia <1 bulan :IQ >90 pada usia 3 atau 4 tahun
Bila terapi dilakukan pada usia <3 bulan :IQ >85
Bila tidak diterapi/1 bulan keterlambatan: akan kehilangan 1 poin IQ

MIKROPENIS

Batasan
Bentuk penis yang normal tanpa disertai kelainan diferensiasi seksual, tetapi
ukurannya sangat kecil, yaitu kurang dari -2,5 simpang baku (SB) ukuran normal
menurut usia. Merupakan suatu kelainan tunggal (isolated) atau bagian penyakit
kelainan system dan sindrom tertentu
Etiologi
Kelainan SSP
Hipogonadotropik hipogonadisme, hipergonadotropik hipogonadisme, gangguan
hipofise, anensefal, midline defek, sindrom Kalman, sindrom Prader Willi,
defisiensi GH, sindrom Rotnow dan sindrom lain.
Kelainan gonad
Disgenesis gonad, sindrom Klinefelter, sindrom insensitivitas parsial, sindrom
Bjoreson
Idiopatik/Lain-lain
Patofisiologi
Pertubuhan dan perkembangan penis terdiri dari 2 tahap, yaitu
Tahap I (intrauterin)
Formatif phase
Linear growth phase
Pada akhir formatif phase panjang penis hanya 3,5 mm. Oleh pengaruh
testosteron penis bertambah panjang 10 kali lipat sehingga pada saat lahir
panjangnya 3,5 cm.

Tahap II (ekstrauterin)

Sangat dipengaruhi oleh hormon testosteron (gangguan produksi, sekresi, maupun


kerja testosteron dapat mempengaruhi morfogenesis dan atau ukuran penis)
Dengan demikian penyebab mikropenis lebih banyak dipengaruhi oleh kejadian
yang mempengaruhi sekresi atau kerja testosteron pada fase ke-2 perkembangan
penis intrauterin.
Diagnosis
Anamnesis
- Riwayat keluarga :adanya riwayat lahir mati atau hipospadia, kriptorkidismus,
infertilitas, atau kelainan kongenital ke arah kelainan genetik yang diturunkan.
- Riwayat obstetri : berupa penurunan gerakan janin atau otot bayi yang lemas
waktu dilahirkan (sindrom Prader Willi)
Pemeriksaan fisik
Mencari adanya dismorfik yang merupakan tanda sindrom malformasi.
Ukuran penis kurang dari 2,5 SB ukuran normal menurut usia tanpa ditemukan
kelainan diferensiasi seksual.
Tabel ukuran penis berdasarkan usia
Usia
Gestasi 30 mgg.

Rerata SB

Rerata -2,5 SD

2,5 0,4

1,5

Gestasi 34 mgg.

3,0 0,4

2,0

Cukup bulan

3,5 0,4

2,5

0-5 bln

3,9 0,8

1,9

5-6 bln

4,3 0,8

2,3

1-2 th.

4,7 0,8

2,6

2-3 th

5,1 0,9

2,9

3-4 th

5,5 0,9

3,3

4-5 th

5,7 0,9

3,5

5-6 th

6,0 1,0

3,8

6-7 th

6,1 1,0

3,9

7-8 th

6,2 1,0

3,7

8-9 th

6,3 1,0

3,8

9-10 th

6,3 1,0

3,8

10-11 th

6,4 1,0

3,7

Dewasa

13,3 1,6

9,3

Pemeriksaan Penunjang
Hormonal (LH, FSH, testosteron) dicurigai adanya panhipopitutarisme.
Analisis kromosom dilakukan atas indikasi, masalnya pada
kasus mikropenis dengan kongenital anomali lainnya.
Terapi
Testosteron enanthate 25-50 mg i.m. setiap 3 minggu sebanyak 4x dengan
memperhatikan respons yang didapat sampai tercapainya target ukuran penis normal.
Waktu yang tepat untuk terapi ini pada masa bayi dan prapubertas. Pemberian terapi
hormonal ini harus hati-hati karena bila dosisnya berlebih dapat terjadi pubertas
prekok.
Terapi dari penyakit primer, bila merupakan bagian dari kelainan sistemik, penyakit,
atau sindrom tertentu.
( NURSEHA DAFPUSNYA GA ADA)

Kelainan Pubertas
Definisi
Pubertas merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang
berlangsung dalam tahapan-tahapan dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor
neuroendokrin yang kompleks. Faktor tersebut bertanggung jawab terhadap awitan
dan perkembangan menuju maturitas seksual yang sempurna. Walaupun umur awitan
pubertas sangatlah bervariasi, sebagian besar anak akan mengawali pubertas pada
umur 8-13 tahun untuk anak perempuan, dan 9-14 tahun untuk anak laki-laki. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi awitan pubertas antara lain etnis, sosial, psikologis,
nutrisi, fisis dan penyakit kronis. Perkembangan pubertas dianggap abnormal bila
awal pubertas terlampau dini atau terlambat.
Pubertas prekoks ialah perkembangan ciri-ciri seks sekunder yang terjadi
sebelum usia 8 tahun pada seorang anak perempuan atau sebelum umur 9 tahun pada
seorang anak laki-laki.
Dalam praktek sehari-hari selain pubertas prekoks dan pubertas terlambat sering
dijumpai masalah pubertas lainnya seperti telars prematur, pubarke prematur,
ginekomastia dan constitutional delay of growth and puberty
6.1 Telars Prematur
Istilah telars prematur pertama kali digunakan oleh Wilkins untuk menyatakan
payudara tanpa disertai tanda-tanda seks sekunder lainnya (isolated=tersendiri) pada
anak perempuan berusia kurang dari 8 tahun. Pada telars prematur perkembangan
payudara dapat terjadi pada salah satu atau kedua payudara. Prevalensi telars
prematur tertinggi terjadi pada umur dua tahun
Pertama kehidupan
Antara tahun 1945-1975 di Amerika Utara dilaporkan 205 kasus telars
prematur. Setelah tahun 1971 jumlah kasus yang dilaporkan cenderung menurun,
kemungkinan disebabkan oleh timbulnya pengetahuan dan kesadaran bahwa kondisi

ini secara klinis lazim dijumpai dan jinak. Rogdriguez dkk di tahun 1981 melaporkan
482 kasus telars prematur pada suatu epidemi di Puer to Rico akibat mengkonsumsi
makanan dan minuman berupa daging ayam, sapi, babi dan susu yang mengandung
preparat estrogen. Pasquino dkk di tahun 1990 melaporkan 48 kasus telars prematur
di Minnesota dari tahun 1940 sampai 1984 dengan angka kejadian 21,2/100.000
orang per tahun. Dari 48 kasus telars prematur tersebut, 29 orang anak di antaranya
berumur kurang dari 2 tahun. Di Subbagian Endokrinologi Anak dan Remaja
FKUI/RSCM dari tahun 1987-1991 tercatat dari 682 kasus baru endokrin, ditemukan
53 (7,8%) kasus telars prematur.
6.1.1 Klasifikasi
Dalam klasifikasi pubertas prekoks oleh Styne telars prematur digolongkan
sebagai variasi perkembangan pubertas. Sedangkan Sizonenko, menggolongkannya
sebagai pubertas prekoks parsial (inkomplet) yang harus dibedakan dengan pubertas
prekoks sentral dan pubertas prekoks semu (pseudopubertas prekoks).
6.1.2 Etiologi
Studi hormonal belum banyak membantu menentukan etiologi telars prematur.
Beberapa penulis menemukan bukti adanya pengaruh estrogen sedangkan yang lain
tidak menemukannya. Kadar hormon gonadotropin yang normal maupun meningkat
telah dilaporkan. Estrogen eksogen juga telah dilaporkan sebagai penyebab timbulnya
perkembangan seksual baik melalui ingesti, absorpsi melalui kulit atau kontak dengan
lingkungan.
6.1.3 Patogenesis
Patogenesis telars prematur masih kontroversial. Menurut beberapa penulis telars
prematur disebabkan oleh meningkatnya sensitivitas secara abnormal jaringan mamae
(lokal) terhadap peningkatan sekresi estrogen fisiologis. Pada beberapa anak

perempuan hormonal spurt cukup untuk menginduksi perkembangan kelenjar


payudara parsial dan juga maturasi derajat tertentu sel epitel vagina.
Bidlingmaier dkk (dikutip dari Ducharme) melaporkan bahwa telars prematur
mungkin disebabkan oleh sedikit peningkatan estrogen ovarium sebagai respons
terhadap peningkatan kadar gonadotropin transien. Penulis lain menduga telars
prematur disebabkan oleh produksi estrogen yang berlebihan secara autonom dari
folikel ovarium yang mengalami transformasi kistik dan luteinisasi pada tahun
pertama hingga ke-empat kehidupan. Selain itu telars prematur juga diduga dapat
disebabkan oleh peningkatan produksi estrogen dari prekursor adrenal. Berdasarkan
studi fungsi HipotlamausHipofise-Gonad belakangan ini, diduga bahwa pada pasien
telars prematur mungkin terjadi peningkatan sekresi gonadotropin yang pada
akhirnya akan meningkatkan produksi estrogen. Namun temuan ini belum
dikonfirmasi oleh para ahli lain.
6.1.4 Perjalanan alamiah
Perjalanan alamiah telars prematur bervariasi dari regresi, persisten, progresif
tanpa disertai gejala lain hingga pasien memasuki usia pubertas, ataupun berkembang
menjadi pubertas prekoks sentral. Beberapa studi tentang perjalanan alamiah telars
prematur di luar negeri dan tentang konklusinya masih bervariasi.
Mills dkk (dikutip dari Pescovtz), melaporkan perjalanan alamiah selama 7
tahun 46 kasus telars prematur. Dari 46 kasus telars prematur didapatkan 57% di
antaranya menetap selama pengamatan 3-5 tahun, sebanyak 11% bersifat progresif
walaupun tanpa disertai gejala lain, dan 32% mengalami regresi. Suatu studi
retrospektif longitudinal lainnya memperlihatkan sebagian besar telars prematur akan
mengalami regresi dalam jangka waktu 6 bulan hingga 6 tahun setelah diagnosis
ditegakkan. Pada 10% kasus, telars prematur akan menetap hingga memasuki usia
pubertas. Illicki dkk. (dikutip dari Pucarelli) dalam pengamatan jangka panjangnya
terhadap 68 kasus telars prematur mendapatkan regresi payudara terjadi pada 44%

kasus dalam jangka waktu hampir 3 tahun dan pubertas berlangsung normal sesuai
usia. Hanya sebagian kecil telars prematur yang berkembang menjadi pubertas
prekoks sentral. Pasquino dkk, mengamati 52 pasien telars prematur selama 10 tahun
dan mendapatkan hasil sebagai berikut: 3 orang anak berkembang menjadi pubertas
prekoks sentral, 9 orang hilang dari pengamatan, 40 orang selebihnya diikuti selama
2-8 tahun. Dari 40 anak tersebut, 20 orang di antaranya awitannya terjadi sebelum
usia 2 tahun, 6 anak di antaranya telah ada saat lahir (neonatal gynecomastia),
sedangkan 14 anak, awitannya terjadi setelah usia 2 tahun. Pucarelli dkk. melaporkan
pengamatan 2-6 tahun 100 kasus telars prematur antara tahun 1975-1990. Ternyata 14
anak (14%) di antaranya berkembang menjadi pubertas prekoks sentral. Menurut
Suranto, dari 60 kasus telars prematur yang ditelitinya, sebagian besar pasien (31/60)
mengalami regresi, sebagian kecil (4/60) berkembang menjadi pubertas prekoks dan
sisanya menetap.
6.1.5 Diagnosis
Tujuan diagnostik telars prematur adalah untuk membedakannya dengan
pubertas prekoks sentral sedini mungkin karena tata laksananya yang sangat jauh
berbeda. Sebagaimana telah dijelaskan, efek peningkatan estrogen pada telars
prematur bersifat lokal sehingga pada telars prematur umumnya tidak akan terlihat
efek sistemik estrogen. Secara klinis akan tampak pola pertumbuhan linear masih
normal tanpa adanya akselerasi, usia tulang masih sesuai dengan usia kronologis.
Pada pemeriksaan USG pelvis terlihat uterus berukuran prepubertal (rasio korpus
banding serviks adalah 1:2), sehingga tidak terjadi menstruasi. Pemeriksaan hormonal
pada telars prematur memperlihatkan pola prepubertal. Kadar estradiol berada dalam
tingkat prepubertal sesuai dengan usia pasien, namun kadang-kadang sedikit
meningkat. Kadar FSH (Follicle stimulating hormone) basal dan LH (luteinizing
hormone) biasanya normal, namun FSH mungkin agak meningkat. Demikian pula
terhadap uji stimulasi LHRH menunjukkan pola prepubertal (FSH dominan).
6.1.6 Tata laksana

Telars prematur merupakan suatu keadaan yang self limited dan jarang sekali
menjadi pubertas prekoks sentral. Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa telars
prematur yang terjadi pada usia kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang baik,
karena payudara umumnya akan mengalami regresi spontan, sehingga disarankan
untuk tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak perlu. Penjelasan
terhadap orangtua merupakan kunci, bertujuan memberikan keyakinan bahwa
sebagian besar telars prematur bersifat jinak dan tidak perlu khawatir terhadap
perkembangan dan pertumbuhan anak selanjutnya. Yang lebih penting pada kasus
telars prematur adalah pemantauan sedini mungkin kemungkinan terjadinya pubertas
prekoks senrtal yang dapat dilakukan baik secara klinis, laboratoris, maupun dengan
pemeriksaan penunjang radiologis. Hal ini sangat penting agar terapi sedini mungkin
dapat segera dilakukan pada pasien telars prematur yang berkembang menjadi
pubertas prekoks sentral.
Walaupun angka kejadian telars prematur yang berkembang menjadi pubertas
prekoks sangat kecil, namun dampak yang ditimbulkan oleh pubertas prekoks sentral
sangat besar, meliputi aspek fisis, sosial, psikologis baik pada pasien maupun pada
orangtua. Oleh sebab itu setiap pasien telars prematur perlu diamati secara berkala
dan teratur kemungkinan berkembang menjadi pubertas prekoks sentral, sehingga
deteksi dini dan terapi cepat dan adekuat dapat dilakukan.

6.2 Pubarke Premature


Pubarke prematur secara klinis didefinisikan sebagai munculnya rambut pubis
sebelum usia 8 tahun pada anak perempuan dan 9 tahun pada anak laki-laki tanpa
disertai tanda-tanda seks sekunder lainnya. Keadaan ini 3 kali lebih sering dijumpai
pada anak perempuan ketimbang anak laki-laki. Dalam praktek sehari-hari hal ini
bisa dijumpai sebagai hal yang fisiologis, naumun ada beberapa keadaan yang harus

disingkirkan seperti tumor atau hiperplasia adrenal. Anak dengan awitan virilisasi
hiperplasia adrenal kongenital dapat menunjukkan gambaran klinis yang serupa.
Mekanisme yang mendasari terjadinya pubarke prematur adalah terjadinya
maturasi dini dari zona retikularis adrenal korteks yang menyebabkan peningkatan
produksi androgen. Pada pubarke prematur, kadar dihidroepiandrosteronesulfas
(DHEAS) meningkat, sedangkan testosteron masih berada dalam kisaran prepubertas.
Umur saat dijumpainya pubarke prematur sangatlah penting. Munculnya
rambut pubis tersendiri atau bersamaan dengan rambut aksila terutama dapat terjadi
pada usia sedini 5 tahun. Jika dijumpai pada masa bayi, selalu merupakan kelainan
endokrin yang harus segera ditindak lanjuti yang sebaiknya langsung dirujuk ke
spesialis anak konsultan endokrin. Kasus yang tanpa disertai tanda-tanda virilisasi
ataupun gambaran cushingoid, hasil DHEAS sesuai kisaran nilai pubertas dan umur
tulang tidak lebih dari 1 tahun dari umur kronologis bisa dianggap sebagai pubarke
prematur idiopatik. Kasus seperti ini tidak memerlukan pengobatan, namun
monitoring pertumbuhan, status pubertas, virilisasi dan gambaran cushingoid setiap
3-4 bulan harus dilakukan.
6.3 Ginekomastia
Ginekomastia (gyneco=wanita; mastia=payudara) merupakan pembesaran
kelenjar mamae yang terjadi pada laki-laki. Hal ini terjadi karena adanya gangguan
fisiologi hormon steroid yang bersifat sementara (reversibel) maupun menetap.
Ginekomastia terjadi karena berbagai macam perubahan dalam payudara termasuk
jaringan penunjang, proliferasi duktus kelenjar mamae, penambahan vaskularisasi,
dan infiltrasi sel-sel radang kronik. Pembesaran seringkali terjadi pada regio tepat di
bawah papila dan areola mamae, dan dapat disertai atau tanpa sekresi menyerupai
kolostrum, teraba lunak, dan pembesaran papila dan areola mamae. Ginekomastia

jangan dikacaukan dengan lipomastia yaitu lemak subkutan, teraba lunak yang
seringkali tampak seolah-olah mempunyai payudara pada laki-laki gemuk.
Perjalanan klinis ginekomastia seperti juga efek obat-obatan dapat dipantau
dengan mengukur diameter lempeng jaringan kelenjar mamae setiap 3 bulan sekali.
Sering terjadi asimetri pada perkembangan ginekomastia, dan perkembangan mamae
unilateral dapat selalu dipertimbangkan sebagai stadium perkembangan genekomastia
bilateral.

6.3.1 Etiologi
Hormon stimulans pertumbuhan mamae yang dominan adalah estrogen,
sedangkan androgen mempunyai efek inhibisi yang lemah. Ginekomastia ini akan
terjadi bila terdapat penurunan ratio androgen terhadap estrogen. Peran prolaktin pada
genesis ginekomastia masih belum jelas. Prolaktin serum pada kebanyakan pasien
ginekomastia dalam batas normal. Prolaktin adakalanya ikut berperan melalui efek
tidak langsung pada gonad dan kemungkinan pada fungsi adrenal yang dapat
menyebabkan perubahan rasio estrogen atau androgen dalam sirkulasi.
6.3.2 Manifestasi klinis
Pembesaran payudara pada neonatus diduga disebabkan oleh faktor estrogen
maternal atau plasenta atau kombinasi keduanya. Pembengkakan ini dapat atau tidak
berkaitan dengan produksi ASI dan biasanya hilang dalam beberapa minggu,
walaupun pada beberapa kasus tertentu dapat menetap lebih lama.
Tabel 6.1 Klasifikasi ginekomastia
A. Ginekomastia fisiologis
Ginekomastia pada neonatus
Ginekomastia pubertas
Ginekomastia usia lanjut

B. Ginekomastia patologis
Defisiensi testosteron

Kelainan kongenital (anorkhia kongenital, Sindrom Klinefelter,


resistensi androgen (feminisasi testis dan sindrom Reifenstein), kelainan
sintesis testosteron)

Gagal testis sekunder (orkhitis virus, trauma, kastrasi, penyakit


neurologis dan granulomatosa, gagal ginjal)

Peningkatan produksi estrogen

Peningkatan sekresi estrogen testis (tumor testis, karsinoma


bronkogenik dan tumor lain memproduksi hCG, true hermaphroditism)

Peningkatan zat untuk aromatisasi jaringan ekstra-glanduler (penyakit


adrenal, hati, kelaparan, tirotoksikosis)

Peningkatan aromatisasi ekstraglanduler

Obat-obatan

Estrogen atau obat yang beraksi seperti estrogen (dietilstilbestrol, obat


kosmetika yang mengandung estrogen, pil KB, digitalis, makanan yang
terkontaminasi estrogen, fitoestrogen)

Obat yang meningkatkan produksi estrogen endogen


(gonadotropin,klomifen)

Obat penghambat sintesis testosteron (ketokonazol, metronidazol,


simetidin, etomi dat, alkylating agents, cisplatin, flutamid,
spironolakton)

Obat yang mempunyai mekanisme aksi tidak diketahui (busulfan,


isoniazid, metil

dopa, zat penghambat pompa kalsium, kaptopril, antidepresan

trisiklik, penisilamin, diazepam, marijuana, heroin)

C. Gikenomastia idiopatik
6.3.3 Ginekomastia pubertas
Pada usia 10 sampai 17 tahun, kira-kira 40% anak laki-laki menderita
ginekomastia transien dengan puncak insidens ( 65%) pada 14 tahun. Ginekomastia
pubertas ini akan menghilang secara spontan pada kira-kira 75% kasus dalam 2 tahun
dan 90% dalam 3 tahun. Ginekomastia yang cukup besar pada anak laki-laki terdapat
kurang dari 10%.
6.3.3.1 Manifestasi klinis
Ginekomastia pubertas selalu diawali dengan tanda-tanda perkembangan seks
laki-laki. Perkembangan rambut pubis, pigmentasi kulit skrotum, dan pembesaran
testis (volume 8 ml) khas terdapat sedikitnya 6 bulan sebelum onset pembesaran
payudara. Pada ginekomastia pubertas, diameter kelenjar mamae biasanya kurang
dari 4 cm menyerupai breast budding. Apabila ukuran mamae pada ginekomastia
serupa dengan M4 atau M5 stadium pubertas perempuan maka disebut
makroginekomastia. Pada keadaan ini, diameter kelenjar mamae meluas 5 cm atau
lebih dan payudara berbentuk kubah. Pada makroginekomastia regresi spontan tidak
mungkin terjadi, dan terapi tidak boleh terlambat.
6.3.4 Ginekemostia patologis
Ginekomastia patologis adalah ginekomastia yang disebabkan oleh efek
samping obat atau penyakit yang mendasarinya. Diagnosis banding ginekomastia
patologis, dimulai dengan obat-obatan yang dapat menyebabkan pembesaran
payudara. Pembesaran payudara dapat terjadi pada kecanduan alkohol kronik
walaupun tanpa disertai penyakit hati. Hiperplasia mamae sering terjadi pada
pemakaian obat-obat penyakit kronik. Kecurigaan yang tinggi terjadinya
ginekomastia karena obat harus ada untuk anak laki-laki yang memerlukan obat
untuk kelainan psikiatrik, leukemia, limfoma, tuberkulosis, dan penyakit-penyakit
kardiovaskuler.

6.3.5 Kelainan endokrin


Kelainan endokrin pada ginekomastia patologis umumnya kelainan endokrin
yang secara potensial menyebabkan penurunan konsentrasi androgen (hipogonadism)
atau peningkatan sekresi estrogen. Androgen dihasilkan testis dan adrenal sehingga
baik kelainan pada adrenal maupun testes dapat menyebabkan ginekomastia.
Androgen akan mengalamai aromatisasi perifer di jaringan menjadi estrogen. Rasio
androgen dan estrogen ini yang berperan pada ginekomastia.
Pada sindrom Klinefelter terjadi hipergonadotropik hipogonadism seringkali
dijumpai ginekomastia. Pada sindrom Kloinefelter gonad mengalami disgenesis
sehingga ukurannya kecil dan lembut. Pada sindrom Klinefelter resiko terjadinya
kanker payudara meningkat sampai 20 kali. Pada 30% penderita hipertiroid dapat
dijumpai ginekomastia. Pada hipertiroid terjadi peningkatan produksi androstenedion,
sehingga aromatisasi androgen perifer meningkatkan pembentukan.
Ginekomastia yang timbul sebelum usia 10 tahun memerlukan perhatian khusus
karena kemungkinan adanya tumor di hipofisis, adrenal atau testis. Kebanyakan
ginekomastia yang disebabkan tumor hipofisis merupakan tumor yang mensekresi
LH, Tumor adrenal biasanya mensekresi androstenedion dalam jumlah besar, yang
akan diubah oleh aromatase jaringan perifer menjadi estron. Tumor sel stroma testis
(sel leydig atau sertoli) dapat mensekresikan estrogen atau hCG. Tumor germinal
testis (choriocarcinoma Ca embional, teratoma) dapat mensekresikan hCG atau
mengambil prekursor hormon steroid sirkulasi dan mengubahnya menjadi estrogen.
Tumor mamae. kista dermoid, lipoma, limfangioma, dan rabdomiosarkoma
menimbulkan massa pada payudara. Apakah ginekomastia sendiri merupakan
predisposisi terjadinya kanker sampai sekarang belum ada kesepakatan.
Ginekomastia yang tampak pada malnutrisi, biasanya timbul setelah
peningkatan masukan kalori, mungkin berhubungan dengan disfungsi hati. Selama

kelaparan, produksi hormon-hormon seks turun. Ketika masukan makanan menjadi


normal, baik produksi estrogen maupun androgen meningkat. Kerusakan hati
bersama-sama dengan malnutrisi mencegah hati mendegradasi estrogen dan terjadi
rasio estrogen terhadap androgen yang tinggi. Pembesaran payudara biasanya akan
menghilang sesuai dengan perbaikan fungsi hati.
6.3.6 Ginekomastia idiopatik
Pada keadaan ini penyebabnya setelah dicari tetap tidak diketahui, dan
ginekomastia idiopatik tidak menyebabkan gangguan kesehatan yang berarti.
6.3.6.1 Pendekatan diagnosis
Tujuan utama pendekatan diagnosis adalah membedakan ginekomastia
fisiologis (pubertas) atau patologis.
Gambaran khas kedua keadaan ini tertera pada tabel 6.2. Pada anamnesis
riwayat pemakaian obat-obatan sangat penting selain adanya riwayat keluarga dengan
prolonged gynecomastia atau menetap. Pada tahap lanjut harus diidentifikasi ada
tidaknya gagal ginjal, sirosis, hipertiroid, hipogonadisme, malnutrisi, maupun trauma
lokal dinding dada. Ginekomastia pra pubertas atau yang berhubungan dengan
pubertas prekoks memerlukan konsultasi ahli endokrin.
Kegunaan pemeriksaan fisis adalah untuk memeriksa pembesaran payudara
tersebut mempunyai konsistensi khas ginekomastia dan mencari tanda-tanda dari
penyakit yang mendasarinya. Pada anak laki-laki yang kurang gizi dan kakheksia
mungkin dapat ditemukan penyakit kronis atau keganasan. Adanya goiter pada pasien
yang gelisah atau gugup memberi kesan hipertiroid. Kurangnya maskulinisasi pada
anak laki-laki dengan testis kecil atau asimetris kemungkinan menderita
hipogonadisme atau tumor feminisasi.
Tabel 6.2 Perbedaan gambaran ginekomastia pubertas dan patologis
Parameter
Awitan
Obat penyebab

Ginekomastia pubertas
Usia 10-18 tahun
Tidak ada

Ginekomastia patologis
Sebelum usia 10 tahun
Riwayat positif

Riwayat keluarga
Penyakit kronis

Ginekomastia transien
(-)

Ginekomastia permanen
Hati, ginjal, fibrosis kistik,
hipertiroid, kolitis
ulseratif, trauma dinding

(-)

dada
Orkitis, trauma testis,

Awitan pubertas

Normal dan sebelum terjadi

kriptorkismus, hipospadia
Prekoks atau setelah terjadi

Pemeriksaan fisis

ginekomastia
Gizi baik, testis membesar,

ginekomastia
Kurang gizi, goiter, testis

pubertas stadium II-IV

kecil atau asimetris,

Pusat cakram di bawah

under masculinized
Keras, massa asimetris

papila

tidak di bawah papila,

Penyakit genital

Massa mamae

limfadenopati regional
6.3.6.2 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sesuai dengan gambaran klinis. Uji
faal ginjal, hati, dan tiroid diindikasikan pada penyakit kronik. Pemeriksaan karyotipe
diperlukan bila ukuran testis remaja kurang dari 3 cm (panjang) dan 8 ml (volume).
Anak laki-laki dengan tanda hipogonadisme, pubertas prekoks, atau
makroginekomasti harus ditentukan kadar LH, FSH, estradiol, testosteron,
dehidroepiandrosteron sulfat (DHAS), dan HCG darah. Kadar prolaktin darah harus
diukur bila terdapat galaktorea. Bila kadar DHAS darah tinggi diperlukan
pemeriksaan lanjut dengan sonografi adrenal, dan bila kadar estradiol darah tinggi
diperlukan sonografi hati, ginjal dan testis. Adanya kadar hCG yang tinggi
merupakan indikasi untuk magneting resonance imaging (MRI) otak, dada, abdomen,
dan testis untuk mencari tumor yang mensekresi hCG. Kadangkala diperlukan
pemeriksaan mammografi/USG untuk membedakan ginekomastia dan adipomastia
pada anak laki-laki obese.

6.3.6.3 Terapi
Terapi ginekomastia tergantung pada penyebab dan lamanya menderita
ginekomastia. Pada ginekomastia pubertas biasanya hanya memerlukan penentraman
hati dan dukungan psikososial. Pada 90% kasus ginekomastia pubertas regresi
spontan terjadi dalam 3 tahun dan dalam 6 bulan dengan terapi medis. Hasil terapi
dengan raloksifen, klomifen sitrat, tamoksifen, testolakton, danazol dan testosteron
atau dihidrotestosteron heptanoat dilaporkan dengan hasil yang tidak konsisten.
Tamoksifen dan raloksifen merupkan anti-estrogen. Tamoksifen bekerja dengan
cara berkompetisi dengan estrogen binding site jaringan mamae. Obat ini cukup aman
dan efektif bila diberikan dengan dosis 10-20 mg 2 kali sehari pada remaja. Selama
ini efek samping yang ada hanya nausea atau abdominal discomfort yang terjadi pada
5% laki-laki yang diobati dan tidak memerlukan penghentian pengobatan. Lawrence
dkk.membandingkan efek terapi raloksifen dan tamoksifen untuk pengobatan
ginekomastia pubertas. Terbukti dari penelitian tersebut kedua obat cukup efektif
menekan reseptor estrogen, mengurangi ukuran payudara dan cukup aman untuk
ginekomastia pubertas yang persisten. Dari kedua obat tersebut raloksifen memerikan
respons terapi yang lebih baik disbanding tamoksifen.
Testolakton adalah suatu aromatase inhibitor. Dosis 150 mg 3 kali sehari,
merupakan dosis aman yang tidak menghambat sekresi gonadotropin atau
memperlambat pubertas.
Dihidrotestosteron heptanoat diberikan secara intra muskuler tapi belum
tersedia secara komersial. Tidak seperti testosteron, dihidrotestosteron tidak dapat
diaromatisasi (in vivo) menjadi estrogen, oleh karena itu obat ini tetap mempunyai
kemampuan menghambat pembentukan mamae.
6.3.6.4 Terapi bedah

Inidikasi bedah pada ginekomastia adalah apabila ukuran melebihi 6 cm atau


jaringan mamae menetap lebih dari 4 tahun dan sudah terjadi fibrosis luas, dan
adanya stres psikologis berat.
6.3.7 Constitutional Delay of Growth and Puberty
Dalam praktek sehari-hari masalah pubertas terlambat yang paling sering
dijumpai adalah Constitutional Delay of Growth and Puberty (CDGP). Penderita
CDGP lebih sering mengeluhkan perawakan pendek daripada pubertas terlambat.
CDGP lebih sering dijumpai pada anak laki-lak (90%)i. Pediatric Endocrine
Ambulatory Center at North Shore University Hospital melaporkan jumlah anak yang
didiagnosis sebagai CDGP sebanyak 15% dari anak berperawakan pendek.

6.3.7.1 Gambaran klinis


Anak dengan CDGP mempunyai riwayat kelahiran yang normal, dengan berat
lahir yang normal. Sampai kira-kira usia 2-3 tahun pertumbuhan tampak normal.
Selanjutnya setelah umur 2-3 tahun pertumbuhan anak akan berat badan maupun
tinggi badan menurun sehingga menyilang ke bawah garis persentil-3. Setelah itu
kecepatan tumbuh akan normal kembali yaitu sebesar 5 cm/tahun atau lebih sehingga
pertumbuhan liniernya akan paralel dengan kurva pertumbuhan normal. Pada anak
CDGP dengan riwayat pendek dalam keluarga, manifestasi gangguan pertumbuhan
akan lebih berat. Dari riwayat keluarga, salah satu atau kedua orangtua mempunyai
riwayat pertumbuhan yang sama dan mengalami pubertas yang terlambat. Pada
pemeriksaan fisis didapatkan anak dengan pubertas terlambat yang disertai
perawakan pendek proporsional. Kecepatan tumbuh pada periode prapubertas sesuai
dengan umurnya, dan tinggi badan akhir akan mencapai batas-batas normal.
6.3.7.2 Diagnosis

Diagnosis CDGP kadang sulit ditegakan terutama bila datang sebelum usia
pubertas dan beberapa ahli masih berbeda pendapat dalam pengertian CDGP, namun
ada beberapa keadaan yang dapat dipertimbangkan sebagai CDGP antara lain:
1. Tidak ditemukan kelainan endokrin, metabolik, kongenital atau penyakit
kronik.
2. Status nutrisi baik
3. Tidak ditemukan kelainan fisik, dismorfik maupun proporsi tubuh
4. Perawakan pendek
5. Pubertas terlambat
6. Usia tulang lebih muda 2 tahun atau lebih dibanding usia kronologis.
7. Prediksi tinggi akhir normal.
8. Dalam keluarga ibu atau kedua orangtuanya, atau salah satu saudara kandung
pernah mengalami pubertas terlambat
6.3.7.3 Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada pubertas terlambat yang disertai perawakan pendek
cukup banyak. Selain beberapa penyakit kronis (misal talasemia), sindrom Turner
merupakan diagnosis banding yang perlu dipikirkan bila ditemukan pada seorang
anak perempuan.
6.3.7.4 Terapi
CDGP sebenarnya tidak perlu diterapi karena merupakan keadan yang
fisiologis. Namun karena perawakan pendek dapat mengakibatkan masalah
psikososial, sehingga anak akan merasa rendah diri dan akhirnya orang tua akan
membawa anaknya untuk diobati pada saat masa prepubertas. Perawakan pendek
pada CDGP tidak patologis, sehingga tidak diperlukan pengobatan. Crowne dkk dan
Bramswig dkk mengobservasi anak laki-laki dengan CDGP tanpa pengobatan sampai
anak tersebut mencapai tinggi dewasa akhir (usia 21tahun). Crowne dkk
mendapatkan tinggi akhir rata-rata adalah 164,1 cm, sedangkan Bramswig dkk sekitar

170 cm, yang ternyata lebih rendah dari potensi tinggi gentik mereka.
Masalah yang sering dikeluhkan anak-anak dengan CDGP adalah mereka
merasa kurang percaya diri, mengalami tekanan psikososial, merasakan bahwa
keterlambatan pertumbuhan dan pubertas yang terjadi pada diri mereka akan
berpengaruh terhadap prestasi sekolah, pekerjaan nantinya ataupun kegiatan sosial.
Tekanan psikososial ini dapat mengganggu perkembangan anak, sehingga banyak
orang tua minta agar anak mereka diberikan pengobatan. Peran ahli jiwa anak atau
psikolog penting untuk menangani masalah ini.
Dari semua opsi pengobatan banyak sentra sekarang menggunakan oksandrolon
atau testosterone untuk induksi pubertas pada CDGP. Ada juga sentra yang
mengkonbinasikan testosterone dengan letrozol, suatu inhibitor aromatase generasi
ke-4 yang sangat potensial. Untuk memulai pengobatan sebaiknya pasien
dikonsultasikan ke konsultan endokrin anak Sebelum pengobatan ada beberapa
kriteria yang harus dipenuhi yaitu:
1. Umur minimal 12 tahun untuk oksandrolon dan 14 tahun untuk testosterone
2. Umur tulang minimal 10 tahun
3. Tinggi di bawah persentil-3
4. Status pubertas masih prepubertal atau Tanner G2 dan kadar testosterone di
bawah 100 ng/dL
5. Pasien terbukti ada gangguan self-image (jaga-imej) dan tidak berhasil
dengan konseling.
Oksandrolone adalah hormon anabolik sintetik suatu derivat testosteron yang
dapat diberikan secara oral dengan dosis 1.25 mg/hari atau 2.5 mg/hari selama 3
sampai 4 bulan. Terapi dihentikan bila volume testis telah mencapai 10 ml atau tinggi
badan yang diinginkan asien tercapai. Walaupun oksandrolon ini banyak
dipergunakan di banyak sentra, namun obat ini sulit didapat dan tidak tersedia di
Indonesia.

Testosteron diberikan secara parentral dengan dosis enanthate sebesar 50-200


mg setiap 3 sampai 4 minggu. Biasanya di bulan keempat akan mulai terlihat tanda
seks sekunder. Kecepatan pertumbuhan tinggi badan yang terjadi 10-12,6 cm/tahun.
Dengan cara pemberian seperti yang dianjurkan tidak terjadi percepatan maturasi
tulang ataupun gangguan proses pubertas. Crowne dkk membandingkan hasil terapi
oxandrolone dan testosteron depo pada CDGP. Penelitiannya menyimpulkan
keduanya memberikan hasil yang sama terhadap kecepatan pertumbuhan dan
pubertas. Induksi pubertas pada anak perempuan dengan CDGP adalah estradiol.
Dosis estradiol cypionate yang dianjurkan adalah 0,5 mg intra-muscular atau ethinyl
estradiol 5 g/hari per oral dapat merangsang tumbuhnya payudara dan pertumbuhan
fisik.
Walaupun anak dengan CDGP dapat dipercepat pertumbuhannya dengan
berbagai macam hormon, namun pemakaiannya hendaknya harus dipertimbangkan
baik-baik. Pemberian terapi hendaknya baru diberikan bila memang terjadi
kecemasan yang amat berlebihan pada orang tua atau terjadi tekanan psikososial pada
anak. Orang tua harus diberi pengertian bahwa pemberian terapi tidak merubah tinggi
akhir anak, namun hanya mempercepat pertumbuhan. Terapi tidak dibenarkan
diberikan bila usia kronologis anak kurang dari 12 tahun atau usia tulang kurang dari
10 tahun.

( PANDU DAFPUSNYA BELUM ADA)

DAFTAR PUSTAKA
1.

C.B. Pender dan Clarke Fraser. 2009. Dominant Inheritance Of Diabetes


Insipidus: A Family Study. American Academy of Pediatrics ournal, 15 : 246254.

2. Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly
diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA status, and
autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic control 12 months
after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218226
3. National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse. 2009.Diabetes
insipidus. from http://www.niddk.org. Diakses 20 Oktober 2009.
4. Mahmud. 2009. Diabetes Insipidus Nefrogenik. From
http://www.perisaihusada.net. Diakses 20 Oktober 2009
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Endokrinologi Anak. Dalam
Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak 1985. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI; cetakan kesebelas.
6. Endokrinologi Anak. Dalam : Manual textbook of Nelsons Pediatrics.
7. Sands, Jeff M., Bichet, Daniel G. Nephrogenic Diabetes Insipidus. Ann Intern
Med. 2006; 144:186-194.
8. Askep Diabetes Insipidus.2009. from http: //www.medikastore.com. Diakses 20
Oktober 2009.
9. Abdelazis Elamin. 2009. Diabetes Insipidus. Departement of Child Health and
Pediatric Endocrinologist Sultan Qaboos University.
10. Jamest R West dan James G. Kramer. Nephrogenic Diabetes Insipidus. American
Academy of Pediatrics Journal, 15 ;424-432
11. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pedoman Diagnosis dan Terapi.
(Available on-line with updates at
http://urologimalang.com/data/filesharing/13.pdf): 33-5. 2010 [diunduh 5 Juni
2013].
12. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha. Referat Undescendcus testis.
(Available on-line with updates at http://id.scribd.com/doc/131271353/84357944Referat-UDT#download). 2012 [diunduh 5 Juni 2013].
13. Garna H, Nataprawira H.M (Ed). Pedoman Diagnosis dan Terapi (Ilmu Kesehatan
Anak). Edisi 4. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas PadjajaranDepartemen Ilmu Kesehatan anak; 2012.
14. Faizi M, Netty EP. Hipotiroid. http://old.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110buoi228.html. 2006. [diunduh 5 Juni 2013].
15. Brown RS, Huang S. The thyroid and its disorders. In: Brook CGD, Clayton PE,
Brown RS, eds. Brooks Clinical Pediatric endicronology. 5 ed. Massachusetts,
Oxfort, Victoria: Blackwell Pub 2007: 218-53.
16. Counts D, varma SK. Hypothuroidism in Children. Pediatr Rev. 2009:30:251-8.
17. Felice MD, Lauro RD. Thyroid Development and Its Disorders: Genetics and
molecular mecganisms. Endocrine Review. 2004: 25:722-46.
18. Bursell JDH, Warner JT. Interpretation of thyroid function in children. Pediatrics
and child health. 2007: 17:361-6.

Mamanasiri S, Yesil S, Dumitrescu AM, Liao XH, Demir T, Weiss RE, et al.
Mosaicism of Thyroid Hormone Receptor-beta Gene Mutation in Resistance to
thyroid ormone J Clin Endocrinol Metab. 2006:91:3471-7.

You might also like