Professional Documents
Culture Documents
DIABETES INSIPIDUS
1. Definisi
Diabetes insipidus adalah penyakit yang diakibatkan oleh berkurangnya sekresi
insulin akibat kerusakan sel -pankreas yang didasari proses autoimun., dimana
terjadi peningkatan rasa haus dan peningkatan kuantitas urin akibat defisiensi pitresin
(ADH) yang diproduksi oleh hipofisis dalam mengatur metabolisme air di tubuh.1,2
2. Etiologi
2.1 Kelainan organis3,4,5,6
- Operasi
- Penyakit Infeksi : meningitis, Tb, sarkoidosis, dll
- Tumor atau kista di daerah kiasma optika, infudibulum, ventrikel III, atau
-
korpus pineal
Leukimia
Penyakit Hodgkin
Pelagra
Ensefalopati iskemik atau hipoksia
Trauma pada kepala terutama fraktur basis crania
Xantomatosis (hand-schuller-christian)
Radiasi
Edema serebri
Perdarahan intakranial
Pengangkutan ADH yang tidak bekerja dengan baik akibat rusaknya akson
Penyebab primer : primary familial: x-linked recessive dimana anak lakilaki lebih banyak dibandingkan anak perempuan
Penyebab sekunder :
1) Penyakit ginjal kronik: Penyakit ginjal polikistik, Medullary cystic
disease, Pieloneferitis, Obstruksi uretral, Gagal ginjal lanjut
2) Gangguan elektrolit: Hipokalemia, Hiperkalsemia
3) Obat-obatan: Antibiotik aminoglikosid, demeklosiklin, litium,
asetoheksamit, tolazamid, glikurid, propoksifen, colchicines, fluoride,
Terjadi hanya saat hamil yaitu saat enzim yang dibuat plasenta merusak ADH
ibu.
4. Gejala Klinis3,6
1. Poliuria dan polidipsia
2. Hiperglikemia ( 200 mg/dl), ketonemia, glukosuria
3. Dehidrasi
4. Hipertermia
5. Nyeri kepala, lemah dan lesu, nyeri otot, hipotermia dan takikardi
6. Berat badan turun cepat
7. Enuresis
8. Tidak berkeringat atau keringat sedikit, sehingga kulit kering dan pucat
9. Anoreksia
5. Patofisiologi2,9,10
1. Mekanisme Osmoreseptor
Terletak di anterolateral hipotalamus. Sel ini berperan dalam menjaga
keseimbangan air dan Na. Perubahan dalam tekanan osmolar plasma akan
merangsang signal untuk rilis atau inhibisi ADH. Tekanan osmolaritas di bawah 280
mOsm/kg tidak akan merangsang sekresi ADH. Rangsang rilis ADH mulai ketika
terjadi perubahan terjadi perubahan tekanan osmolaritas di atas 280 msml/kg.
Tekanan osmolaritas 290 mOsm/kg akan merangsang sekresi ADH sebesar 5pg/ml.
2. Mekanisme Baroreseptor
Terletak di sinus carotis dan arkus aorta yang mengatur tekanan darah. Stimulasi
rilis ADH terjadi jika tekanan darah turun sehingga mensupresi baroreseptor. Serabut
saraf sensoris dari nervus IX dan X membawa signal ini dari sinus dan arcus untuk
merangsang rilis ADH di hipotalamus.
Osmoreceptors
anterolateral hypothalamus
Posm
activation of receptor
1% above 280 mosm/kg
small
no
Baroreceptors
carotid sinus & aortic arch
circulating volume
suppression of receptor
10-15% decrease
Large
Yes
Ginjal menyaring 70-100 liter cairan dalam 24 jam, dan dari jumlah ini 85%
direabsorbsi di tubulus bagian proksimal tanpa pertolongan ADH. Sisanya di
reabsorbsi di tubulus bagian distal di bawah pengaruh ADH. Vasopresin bekerja
dengan memperbesar permeabilitas jaringan terhadap air. Gangguan dari fisiologi
vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal
karena berkurang permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria atau banyak
kencing. Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus, dan
sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang
rangsang osmotik pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi
vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih
dahulu akan mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih
meningkat akan merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut
minum banyak (polidipsia).
6. Pemeriksaan penunjang5,9
1. Laboratorium : darah, urinalisis fisis dan kimia.
Jumlah urin biasanya didapatkan lebih dari 4-10 liter dan berat jenis bervariasi
dari 1,001-1,005 dengan urin yang encer. Pada keadaan normal, osmolalitas plasma
kurang dari 290 mOsml/l dan osmolalitas urin 300-450 mOsmol/l. Pada keadaan
dehidrasi, berat jenis urin bisa mencapai 1,010, osmolalitas plasma lebih dari 295
mOsmoll dan osmolalitas urin 50-150 mOsmol/l. Urin pucat atau jernih. Kadar
natrium urin rendah. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar natrium yang
tinggi dalam darah. Fungsi ginjal lainnya tampak normal.
Test deprivasi air diperlukan untuk pasien dengan diabetes insipidus dengan
defisiensi ADH parsial dan juga untk membedakan diabetes insipidus dengan
polidipsia primer pada anak. Pemeriksaan harus dilakukan pagi hari. Hitung berat
badan anak dan periksa kadar osmolalitas plasma maupun urin tiap 2 jam. Pada
individu normal, osmolalitas akan naik (<300) namun output urin akan berkurang
dengan berat jenisyang naik (800-1200).
7. DIAGNOSIS BANDING6,7
1. Kelainan ginjal seperti penyakit polikistik, pielonefritis kronis, nefronoptisis
familial. Kenaikan kadar ureum dan kreatinin plasma, anemia, dan urin isotonis
merupakan khas penyakit ginjal primer.
2. Defisiensi AVP yang diwariskan atau di dapat. Kegagalan berespon terhadap AVP
atau desmopresin penting untuk membedakan diabetes insipidus dengan defisensi
AVP primer.
3. Hipokalemia dan hiperkalsemia bisa menyebabkan polidipsia, dan poliuria dengan
berat jenis urin yang rendah
4. Insufisiensi adrenal, diantaranya salt losing syndrom
5. Polidipsia psikogenik : compulsive water drinkers. Dalam keadaan ini terdapat
kelainan jiwa seperti neurosis yang dilatarbelakangi oleh keinginan memperoleh
perhatian. Anak yang terkena biasanya mampu dengan mudah menghasilkan urin
yang terkonsentrasi bila cairan dikurangi. Namun kadangkadang diagnosisnya sukar
karena polidipsia yang lama menurunkan kadar urin maksimum yang dapat dicapai
setelah dehidrasi atau bahkan setelah infuse larutan garam hipertonik.
6. Adipsia atau hipodipsia
Merupakan manifestasi klinis dari defek pusat haus murni. Namun sangat jarang
terjadi. Hal ini dikarenakan osmoreseptor untuk haus dan AVP menempati daerah
hipotalamus anterior yang berdekatan, hipernatremia hipodipsik biasanya disertai
dengan defek pada fungsi ADH. Ini paling sering terjadi pada penderita dengan tumor
Diabetes insipidus sentral (DIS) parsial tanpa gejala nokturia dan poliuria
yang mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari tidak diperlukan terapi
khusus. Pada DIS yang komplit, biasanya diperlukan terapi hormon
pengganti (hormonal replacement) yaitu desmopressin atau DDAVP (1desamino-8-d-arginine vasopressin) yang merupakan pilihan utama.
DDAVP adalah 2000-3000 kali lebih besar daripada aktivitas pressornya,
dan 1 mikrogram menghasilkan diuresis yang berakhir dalam waktu 8-10
jam, dibandingkan dengan hanya 2-3 jam untuk AVP alami. DDAVP
diberikan melalui sistem pemasukan pipa hidung yang mengalirkan
sejumlah tepat pada mukosa hidung. Dosis berkisar antara 5-15
mikrogram yang diberikan sebagai dosis tunggal atau terbagi menjadi 2
dosis. Anak umur kurang dari 2 tahun memerlukan dosis yang lebih kecil
menyebabkan hipertensi.
DDAVP juga berpengaruh pada reseptor eksternal seperti V2 yang
mengakibatkan keluarnya faktor VIII dan faktor Von Willebrand.
Penderita dengan hemofilia A ringan atau sedang atau penyakit von
Wilebrand terpilih dapat disembuhkan secara berhasil dengan dosis
DDAVP 15 kali lebih tinggi daripada dosis yang dipergunakan untuk
antidiuresis. Desmopresin semakin banyak dipergunakan pada
penatalaksanaan anak dengan enuresis. Dosis yang diperlukan adalah 2040 gr, diberikan sebagai semprot hidung sebelum tidur.
Selain terapi hormon pengganti, bisa juga digunakan terapi adjuvant yang
mengatur keseimbangan air, seperti:
- Diuretik Tiazid
- Klorpropamid
- Klofibrat
- Karbamazepin
10. PENCEGAHAN
Dehidrasi, penderita harus selalu minum cairan dalam jumlah yang cukup ketika
mereka merasa haus. Penderita bayi dan anak-anak harus sering diberi minum.
Terutama pada bayi yang masih sukar mengekspresikan rasa hausnya . Jika asupan
cairan mencukupi, jarang terjadi dehidrasi.
11. Prognosis9
- Ad vitam : dubia ad bonam
- Ad functionam : dubia
2.
3.
Gambar 1. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis.12
3. Etiologi
Segala bentuk gangguan pada proses penurunan tersebut di atas akan
berpotensi menimbulkan UDT (seperti terlihat pada tabel 1). Beberapa penelitian
terakhir mendapatkan bahwa mutasi pada gen INSL3 (Leydig insulin-like hormone 3)
dan gen GREAT (G protein-coupled receptor affecting testis descent) dapat
menyebabkan UDT. INSL3 dan GREAT merupakan pasangan ligand dan reseptor
yang mempengaruhi perkembangan gubernaculum. Mutasi atau delesi pada gen-gen
tertentu yang lain juga terbukti menyebabkan UDT, antara lain gen reseptor androgen
yang akan menyebabkan AIS (androgen insensitivity syndrome), serta beberapa gen
yang bertanggung jawab pada differensiasi testis semisal: PAX5, SRY, SOX9, DAX1,
dan MIS.12
Tabel 1 Berbagai kemungkinan penyebab UDT12
Androgen deficiency/blockade
Pituitary/placental gonadotropin deficiency
Gonadal dysgenesis
Androgen sythesis defect (rare)
migration)
Neurological anomalies
Myelomeningocele (GNF dysplasia)
GFN/CGRP anomalies
Aquired (?) anomalies
Cerebral palsy (cremaster spasticity)
5. Gejala Klinis
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak
menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh karena
infertilitas. Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah yang
disebabkan testis maldesensus mengalami trauma, mengalami torsio, atau berubah
menjadi tumor testis.11
6. Pemeriksaan dan Diagnosis
1. Anamnesis
Tidak adanya satu atau dua testis dalam skrotum. Pasien dapat mengeluh nyeri testis
karena trauma, misal testis terletak di atas simpisis ossis pubis. Pada dewasa keluhan
UDT sering.11
2. Pemeriksaan fisik meliputi :
a. Penentuan lokasi testis.
b. Penentuan apakah testis palpabel.
Bila palpable, ada beberapa kemungkinan yaitu testis retraktil, UDT, testis
ektopik, serta sindrom ascending testis. Bila impalpable, kemungkinannya ialah
intrakanalikuler, intraabdominal, atrofi testis, dan agenesis.11
7. Pemeriksaan Penunjang
7.1 Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan
disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan
intra-abdomen. Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat
yang digunakan.12
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG
terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai
sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang lebih besar
(belasan tahun). Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka
penggunaan angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi
semakin berkurang.2 Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing
testis ataupun anorchia. Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus
pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada anorchia).2
Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang lebih besar
mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad.12
7.3 Laparoskopi
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin
inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-patent), testis dan
vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya. Tiga hal yang sering dijumpai saat
laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan
anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas
deferens) yang keluar kedalam cincin inguinalis interna.12
10. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke
tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan. Dengan asumsi
bahwa jika dibiarkan, testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun sedangkan
setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang
tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun.11
10.1
Medikamentosa
Obat yang sering dipergunakan adalah hormon hCG yang disemprotkan intranasal.1
10.2
Operasi
Merupakan penyebab terbanyak hipotiroidisme non endemik, kirakira 85-90% kasus hipotiroidisme kongenital. Disgenesis tiroid
sebagai akibat dari tidak adanya jaringan tiroid total (agenesis)
atau [arsial (hipoplasia) yang terjadi akibat gagalnya penuruunan
kelenjar tiroid ke leher (ektopik). Disini dapat terjadi agenesis
unilateral atau hipoplasia tapi biasanya tidak mengganggu fungsi
-
lahir.19
Tersier
Aplasia hipotalamus, defisiensi TRH13
PATOFISIOLOGI
Hipotiroid dapat disebabkan oleh gangguan sintesis hormon tiroid atau
gangguan pada respon jaringan terhadap hormon tiroid.
Sintesis hormon tiroid diatur sebagai berikut :
Hipotiroid Kongenital
Kekurangan hormon tiroid terjadi pada masa perkembangan otak sehingga
terjadi hambatan proses tumbuh kembang dan mengakibatkan retardasi mental .13
Hipotiroid Didapat
Biasanya terjadi kekurangan hormon tiroid sesudah masa kritis perkembangan otak
sehingga terjadi gangguan fungsi mental ringan atau normal dan yang menonjol
gangguan pertumbuhan fisik (peraawakan pendek patologis).13
GEJALA KLINIS13
Gejala dan tanda klinis hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir bergantung
pada etiologi, usi kehamilan, derajat kehamilan, derajat penyakit dan lama kondisi
hipotiroid. Hanya <5% bayi yang menunjukan gejala hipotiroid.1
Gejala Klinis
ikterus lama
letargi
konstipasi
Feeding problem
Tubuh teraba dingin
Tanda Klinis
Skin mottling
Hernia umbilikalis
Wajah khas (pseudohipertelorisme)
Ikterus
Makroglosia
Fontanel dan sutura melebar
Abdomen membuncit
Hipotonia, kulit ering
Marmorata
Refleks lambat
Goiter
Hambatan pertumbuhan
Umur tulang terlambat
Pseudodistrofi otot
KRITERIA DIAGNOSIS
meningkat
Hipotiroid karena kelainan di hipofisis/ hipotalamus: T3, T4 bebas,
Score
Hernia umbilicalis
Feeding problem
Hipoaktif
hipotonia
Makroglosi
Skin mottling
Ikterus kering
1,5
Muka khas
1,5
Konstipasi
Total
13
Bayi baru lahir normal mempunyai nilai <3, sedangkan bila nilai >4 harus
dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium.
Pelaksanaan bisa dilakukan dengan 3 cara:
Nilai cut-off adalah 25U/ml. Bila nilai TSH <25U/ml dianggap normal;
kadar TSH >50 U/ml dianggap abnormal dan perlu pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan TSH dan T4 plasma. Bila kadar TSH tinggi > 40 U/ml dan T4
rendah, < 6 g/ml, bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50 U/ml, dilakukan pemeriksaan
ulang 2-3 minggu kemudian.13,14
DIAGNOSIS BANDING
Mongolisme13
Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan faal
tiroid secara rutin.
epikantus (+)
makroglosi (+)
miksedema (-)
Kariotyping, trisomi 21
PENYULIT
Hipotiroid kongenital harus diobati sedini-dininya, bila tidak segera diobati
atau dosis obat tidak adekuat maka akan menyebabkan retardasi mental, gangguan
kognitif dan motorik, kadang disertai gangguan koordinasi, diplegia spastik,
strabismus, dan ataksia.14
Hipotiroid didapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan fisik
termasuk maturitas seksual.14
PENATALAKSANAAN
Hormon tiroid diberikan diberikan untuk replacement hormon dengan Na Ltiroksin sedini-dininya, dengan target normalisasi T4 dalam 2 minggu dan TSH dalam
1 bulan. Kadar fT4 diusahakan pada nilai pertengahan atas rentang normal dan TSH
dipertahankan <10 g/ml.14
Pada kasus hipotiroid kongenital terapi harus dimulai segera sesudah
diagnosis ditegakan (usia 3 minggu) untuk mencegah retardasi mental.14
Dosis pengggantian Na L-tiroksin pada bayi dan anak
Usia
0-3 bl
3-6 bl
6-12 bl
1-3 th
3-10 th
10-15 th
Dosis/hari (g)
25-50
50-75
50-75
75-100
100-150
100-200
Dosis/kgBB/hari (g)
10-15
8-10
6-8
4-6
3-4
2-3
PEMANTAUAN
Kemungkinan terjadinya hipertiroidisme perlu diwaspadai. Dosis yang
berlebihan dapat mengakibatkan takikardia, kecemasan berlebihan, gangguan tidur,
dan gejala tirotoksikosis yang lain. Pemberian tiroksin berlebihan jangka lama
mengakibatkan terjadinya kraniosinostosis. Pemeriksaan fungsi tiroid. 13,14
2-4 minggu setelah terapi dimulai dan 2 minggu setelah setiap perubahan
dosis.
Secara berkala dianjurkan tiap 1-2 bulan dalam 6 bulan pertama kehidupan,
MIKROPENIS
Batasan
Bentuk penis yang normal tanpa disertai kelainan diferensiasi seksual, tetapi
ukurannya sangat kecil, yaitu kurang dari -2,5 simpang baku (SB) ukuran normal
menurut usia. Merupakan suatu kelainan tunggal (isolated) atau bagian penyakit
kelainan system dan sindrom tertentu
Etiologi
Kelainan SSP
Hipogonadotropik hipogonadisme, hipergonadotropik hipogonadisme, gangguan
hipofise, anensefal, midline defek, sindrom Kalman, sindrom Prader Willi,
defisiensi GH, sindrom Rotnow dan sindrom lain.
Kelainan gonad
Disgenesis gonad, sindrom Klinefelter, sindrom insensitivitas parsial, sindrom
Bjoreson
Idiopatik/Lain-lain
Patofisiologi
Pertubuhan dan perkembangan penis terdiri dari 2 tahap, yaitu
Tahap I (intrauterin)
Formatif phase
Linear growth phase
Pada akhir formatif phase panjang penis hanya 3,5 mm. Oleh pengaruh
testosteron penis bertambah panjang 10 kali lipat sehingga pada saat lahir
panjangnya 3,5 cm.
Tahap II (ekstrauterin)
Rerata SB
Rerata -2,5 SD
2,5 0,4
1,5
Gestasi 34 mgg.
3,0 0,4
2,0
Cukup bulan
3,5 0,4
2,5
0-5 bln
3,9 0,8
1,9
5-6 bln
4,3 0,8
2,3
1-2 th.
4,7 0,8
2,6
2-3 th
5,1 0,9
2,9
3-4 th
5,5 0,9
3,3
4-5 th
5,7 0,9
3,5
5-6 th
6,0 1,0
3,8
6-7 th
6,1 1,0
3,9
7-8 th
6,2 1,0
3,7
8-9 th
6,3 1,0
3,8
9-10 th
6,3 1,0
3,8
10-11 th
6,4 1,0
3,7
Dewasa
13,3 1,6
9,3
Pemeriksaan Penunjang
Hormonal (LH, FSH, testosteron) dicurigai adanya panhipopitutarisme.
Analisis kromosom dilakukan atas indikasi, masalnya pada
kasus mikropenis dengan kongenital anomali lainnya.
Terapi
Testosteron enanthate 25-50 mg i.m. setiap 3 minggu sebanyak 4x dengan
memperhatikan respons yang didapat sampai tercapainya target ukuran penis normal.
Waktu yang tepat untuk terapi ini pada masa bayi dan prapubertas. Pemberian terapi
hormonal ini harus hati-hati karena bila dosisnya berlebih dapat terjadi pubertas
prekok.
Terapi dari penyakit primer, bila merupakan bagian dari kelainan sistemik, penyakit,
atau sindrom tertentu.
( NURSEHA DAFPUSNYA GA ADA)
Kelainan Pubertas
Definisi
Pubertas merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang
berlangsung dalam tahapan-tahapan dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor
neuroendokrin yang kompleks. Faktor tersebut bertanggung jawab terhadap awitan
dan perkembangan menuju maturitas seksual yang sempurna. Walaupun umur awitan
pubertas sangatlah bervariasi, sebagian besar anak akan mengawali pubertas pada
umur 8-13 tahun untuk anak perempuan, dan 9-14 tahun untuk anak laki-laki. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi awitan pubertas antara lain etnis, sosial, psikologis,
nutrisi, fisis dan penyakit kronis. Perkembangan pubertas dianggap abnormal bila
awal pubertas terlampau dini atau terlambat.
Pubertas prekoks ialah perkembangan ciri-ciri seks sekunder yang terjadi
sebelum usia 8 tahun pada seorang anak perempuan atau sebelum umur 9 tahun pada
seorang anak laki-laki.
Dalam praktek sehari-hari selain pubertas prekoks dan pubertas terlambat sering
dijumpai masalah pubertas lainnya seperti telars prematur, pubarke prematur,
ginekomastia dan constitutional delay of growth and puberty
6.1 Telars Prematur
Istilah telars prematur pertama kali digunakan oleh Wilkins untuk menyatakan
payudara tanpa disertai tanda-tanda seks sekunder lainnya (isolated=tersendiri) pada
anak perempuan berusia kurang dari 8 tahun. Pada telars prematur perkembangan
payudara dapat terjadi pada salah satu atau kedua payudara. Prevalensi telars
prematur tertinggi terjadi pada umur dua tahun
Pertama kehidupan
Antara tahun 1945-1975 di Amerika Utara dilaporkan 205 kasus telars
prematur. Setelah tahun 1971 jumlah kasus yang dilaporkan cenderung menurun,
kemungkinan disebabkan oleh timbulnya pengetahuan dan kesadaran bahwa kondisi
ini secara klinis lazim dijumpai dan jinak. Rogdriguez dkk di tahun 1981 melaporkan
482 kasus telars prematur pada suatu epidemi di Puer to Rico akibat mengkonsumsi
makanan dan minuman berupa daging ayam, sapi, babi dan susu yang mengandung
preparat estrogen. Pasquino dkk di tahun 1990 melaporkan 48 kasus telars prematur
di Minnesota dari tahun 1940 sampai 1984 dengan angka kejadian 21,2/100.000
orang per tahun. Dari 48 kasus telars prematur tersebut, 29 orang anak di antaranya
berumur kurang dari 2 tahun. Di Subbagian Endokrinologi Anak dan Remaja
FKUI/RSCM dari tahun 1987-1991 tercatat dari 682 kasus baru endokrin, ditemukan
53 (7,8%) kasus telars prematur.
6.1.1 Klasifikasi
Dalam klasifikasi pubertas prekoks oleh Styne telars prematur digolongkan
sebagai variasi perkembangan pubertas. Sedangkan Sizonenko, menggolongkannya
sebagai pubertas prekoks parsial (inkomplet) yang harus dibedakan dengan pubertas
prekoks sentral dan pubertas prekoks semu (pseudopubertas prekoks).
6.1.2 Etiologi
Studi hormonal belum banyak membantu menentukan etiologi telars prematur.
Beberapa penulis menemukan bukti adanya pengaruh estrogen sedangkan yang lain
tidak menemukannya. Kadar hormon gonadotropin yang normal maupun meningkat
telah dilaporkan. Estrogen eksogen juga telah dilaporkan sebagai penyebab timbulnya
perkembangan seksual baik melalui ingesti, absorpsi melalui kulit atau kontak dengan
lingkungan.
6.1.3 Patogenesis
Patogenesis telars prematur masih kontroversial. Menurut beberapa penulis telars
prematur disebabkan oleh meningkatnya sensitivitas secara abnormal jaringan mamae
(lokal) terhadap peningkatan sekresi estrogen fisiologis. Pada beberapa anak
kasus dalam jangka waktu hampir 3 tahun dan pubertas berlangsung normal sesuai
usia. Hanya sebagian kecil telars prematur yang berkembang menjadi pubertas
prekoks sentral. Pasquino dkk, mengamati 52 pasien telars prematur selama 10 tahun
dan mendapatkan hasil sebagai berikut: 3 orang anak berkembang menjadi pubertas
prekoks sentral, 9 orang hilang dari pengamatan, 40 orang selebihnya diikuti selama
2-8 tahun. Dari 40 anak tersebut, 20 orang di antaranya awitannya terjadi sebelum
usia 2 tahun, 6 anak di antaranya telah ada saat lahir (neonatal gynecomastia),
sedangkan 14 anak, awitannya terjadi setelah usia 2 tahun. Pucarelli dkk. melaporkan
pengamatan 2-6 tahun 100 kasus telars prematur antara tahun 1975-1990. Ternyata 14
anak (14%) di antaranya berkembang menjadi pubertas prekoks sentral. Menurut
Suranto, dari 60 kasus telars prematur yang ditelitinya, sebagian besar pasien (31/60)
mengalami regresi, sebagian kecil (4/60) berkembang menjadi pubertas prekoks dan
sisanya menetap.
6.1.5 Diagnosis
Tujuan diagnostik telars prematur adalah untuk membedakannya dengan
pubertas prekoks sentral sedini mungkin karena tata laksananya yang sangat jauh
berbeda. Sebagaimana telah dijelaskan, efek peningkatan estrogen pada telars
prematur bersifat lokal sehingga pada telars prematur umumnya tidak akan terlihat
efek sistemik estrogen. Secara klinis akan tampak pola pertumbuhan linear masih
normal tanpa adanya akselerasi, usia tulang masih sesuai dengan usia kronologis.
Pada pemeriksaan USG pelvis terlihat uterus berukuran prepubertal (rasio korpus
banding serviks adalah 1:2), sehingga tidak terjadi menstruasi. Pemeriksaan hormonal
pada telars prematur memperlihatkan pola prepubertal. Kadar estradiol berada dalam
tingkat prepubertal sesuai dengan usia pasien, namun kadang-kadang sedikit
meningkat. Kadar FSH (Follicle stimulating hormone) basal dan LH (luteinizing
hormone) biasanya normal, namun FSH mungkin agak meningkat. Demikian pula
terhadap uji stimulasi LHRH menunjukkan pola prepubertal (FSH dominan).
6.1.6 Tata laksana
Telars prematur merupakan suatu keadaan yang self limited dan jarang sekali
menjadi pubertas prekoks sentral. Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa telars
prematur yang terjadi pada usia kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang baik,
karena payudara umumnya akan mengalami regresi spontan, sehingga disarankan
untuk tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang tidak perlu. Penjelasan
terhadap orangtua merupakan kunci, bertujuan memberikan keyakinan bahwa
sebagian besar telars prematur bersifat jinak dan tidak perlu khawatir terhadap
perkembangan dan pertumbuhan anak selanjutnya. Yang lebih penting pada kasus
telars prematur adalah pemantauan sedini mungkin kemungkinan terjadinya pubertas
prekoks senrtal yang dapat dilakukan baik secara klinis, laboratoris, maupun dengan
pemeriksaan penunjang radiologis. Hal ini sangat penting agar terapi sedini mungkin
dapat segera dilakukan pada pasien telars prematur yang berkembang menjadi
pubertas prekoks sentral.
Walaupun angka kejadian telars prematur yang berkembang menjadi pubertas
prekoks sangat kecil, namun dampak yang ditimbulkan oleh pubertas prekoks sentral
sangat besar, meliputi aspek fisis, sosial, psikologis baik pada pasien maupun pada
orangtua. Oleh sebab itu setiap pasien telars prematur perlu diamati secara berkala
dan teratur kemungkinan berkembang menjadi pubertas prekoks sentral, sehingga
deteksi dini dan terapi cepat dan adekuat dapat dilakukan.
disingkirkan seperti tumor atau hiperplasia adrenal. Anak dengan awitan virilisasi
hiperplasia adrenal kongenital dapat menunjukkan gambaran klinis yang serupa.
Mekanisme yang mendasari terjadinya pubarke prematur adalah terjadinya
maturasi dini dari zona retikularis adrenal korteks yang menyebabkan peningkatan
produksi androgen. Pada pubarke prematur, kadar dihidroepiandrosteronesulfas
(DHEAS) meningkat, sedangkan testosteron masih berada dalam kisaran prepubertas.
Umur saat dijumpainya pubarke prematur sangatlah penting. Munculnya
rambut pubis tersendiri atau bersamaan dengan rambut aksila terutama dapat terjadi
pada usia sedini 5 tahun. Jika dijumpai pada masa bayi, selalu merupakan kelainan
endokrin yang harus segera ditindak lanjuti yang sebaiknya langsung dirujuk ke
spesialis anak konsultan endokrin. Kasus yang tanpa disertai tanda-tanda virilisasi
ataupun gambaran cushingoid, hasil DHEAS sesuai kisaran nilai pubertas dan umur
tulang tidak lebih dari 1 tahun dari umur kronologis bisa dianggap sebagai pubarke
prematur idiopatik. Kasus seperti ini tidak memerlukan pengobatan, namun
monitoring pertumbuhan, status pubertas, virilisasi dan gambaran cushingoid setiap
3-4 bulan harus dilakukan.
6.3 Ginekomastia
Ginekomastia (gyneco=wanita; mastia=payudara) merupakan pembesaran
kelenjar mamae yang terjadi pada laki-laki. Hal ini terjadi karena adanya gangguan
fisiologi hormon steroid yang bersifat sementara (reversibel) maupun menetap.
Ginekomastia terjadi karena berbagai macam perubahan dalam payudara termasuk
jaringan penunjang, proliferasi duktus kelenjar mamae, penambahan vaskularisasi,
dan infiltrasi sel-sel radang kronik. Pembesaran seringkali terjadi pada regio tepat di
bawah papila dan areola mamae, dan dapat disertai atau tanpa sekresi menyerupai
kolostrum, teraba lunak, dan pembesaran papila dan areola mamae. Ginekomastia
jangan dikacaukan dengan lipomastia yaitu lemak subkutan, teraba lunak yang
seringkali tampak seolah-olah mempunyai payudara pada laki-laki gemuk.
Perjalanan klinis ginekomastia seperti juga efek obat-obatan dapat dipantau
dengan mengukur diameter lempeng jaringan kelenjar mamae setiap 3 bulan sekali.
Sering terjadi asimetri pada perkembangan ginekomastia, dan perkembangan mamae
unilateral dapat selalu dipertimbangkan sebagai stadium perkembangan genekomastia
bilateral.
6.3.1 Etiologi
Hormon stimulans pertumbuhan mamae yang dominan adalah estrogen,
sedangkan androgen mempunyai efek inhibisi yang lemah. Ginekomastia ini akan
terjadi bila terdapat penurunan ratio androgen terhadap estrogen. Peran prolaktin pada
genesis ginekomastia masih belum jelas. Prolaktin serum pada kebanyakan pasien
ginekomastia dalam batas normal. Prolaktin adakalanya ikut berperan melalui efek
tidak langsung pada gonad dan kemungkinan pada fungsi adrenal yang dapat
menyebabkan perubahan rasio estrogen atau androgen dalam sirkulasi.
6.3.2 Manifestasi klinis
Pembesaran payudara pada neonatus diduga disebabkan oleh faktor estrogen
maternal atau plasenta atau kombinasi keduanya. Pembengkakan ini dapat atau tidak
berkaitan dengan produksi ASI dan biasanya hilang dalam beberapa minggu,
walaupun pada beberapa kasus tertentu dapat menetap lebih lama.
Tabel 6.1 Klasifikasi ginekomastia
A. Ginekomastia fisiologis
Ginekomastia pada neonatus
Ginekomastia pubertas
Ginekomastia usia lanjut
B. Ginekomastia patologis
Defisiensi testosteron
Obat-obatan
C. Gikenomastia idiopatik
6.3.3 Ginekomastia pubertas
Pada usia 10 sampai 17 tahun, kira-kira 40% anak laki-laki menderita
ginekomastia transien dengan puncak insidens ( 65%) pada 14 tahun. Ginekomastia
pubertas ini akan menghilang secara spontan pada kira-kira 75% kasus dalam 2 tahun
dan 90% dalam 3 tahun. Ginekomastia yang cukup besar pada anak laki-laki terdapat
kurang dari 10%.
6.3.3.1 Manifestasi klinis
Ginekomastia pubertas selalu diawali dengan tanda-tanda perkembangan seks
laki-laki. Perkembangan rambut pubis, pigmentasi kulit skrotum, dan pembesaran
testis (volume 8 ml) khas terdapat sedikitnya 6 bulan sebelum onset pembesaran
payudara. Pada ginekomastia pubertas, diameter kelenjar mamae biasanya kurang
dari 4 cm menyerupai breast budding. Apabila ukuran mamae pada ginekomastia
serupa dengan M4 atau M5 stadium pubertas perempuan maka disebut
makroginekomastia. Pada keadaan ini, diameter kelenjar mamae meluas 5 cm atau
lebih dan payudara berbentuk kubah. Pada makroginekomastia regresi spontan tidak
mungkin terjadi, dan terapi tidak boleh terlambat.
6.3.4 Ginekemostia patologis
Ginekomastia patologis adalah ginekomastia yang disebabkan oleh efek
samping obat atau penyakit yang mendasarinya. Diagnosis banding ginekomastia
patologis, dimulai dengan obat-obatan yang dapat menyebabkan pembesaran
payudara. Pembesaran payudara dapat terjadi pada kecanduan alkohol kronik
walaupun tanpa disertai penyakit hati. Hiperplasia mamae sering terjadi pada
pemakaian obat-obat penyakit kronik. Kecurigaan yang tinggi terjadinya
ginekomastia karena obat harus ada untuk anak laki-laki yang memerlukan obat
untuk kelainan psikiatrik, leukemia, limfoma, tuberkulosis, dan penyakit-penyakit
kardiovaskuler.
Ginekomastia pubertas
Usia 10-18 tahun
Tidak ada
Ginekomastia patologis
Sebelum usia 10 tahun
Riwayat positif
Riwayat keluarga
Penyakit kronis
Ginekomastia transien
(-)
Ginekomastia permanen
Hati, ginjal, fibrosis kistik,
hipertiroid, kolitis
ulseratif, trauma dinding
(-)
dada
Orkitis, trauma testis,
Awitan pubertas
kriptorkismus, hipospadia
Prekoks atau setelah terjadi
Pemeriksaan fisis
ginekomastia
Gizi baik, testis membesar,
ginekomastia
Kurang gizi, goiter, testis
under masculinized
Keras, massa asimetris
papila
Penyakit genital
Massa mamae
limfadenopati regional
6.3.6.2 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sesuai dengan gambaran klinis. Uji
faal ginjal, hati, dan tiroid diindikasikan pada penyakit kronik. Pemeriksaan karyotipe
diperlukan bila ukuran testis remaja kurang dari 3 cm (panjang) dan 8 ml (volume).
Anak laki-laki dengan tanda hipogonadisme, pubertas prekoks, atau
makroginekomasti harus ditentukan kadar LH, FSH, estradiol, testosteron,
dehidroepiandrosteron sulfat (DHAS), dan HCG darah. Kadar prolaktin darah harus
diukur bila terdapat galaktorea. Bila kadar DHAS darah tinggi diperlukan
pemeriksaan lanjut dengan sonografi adrenal, dan bila kadar estradiol darah tinggi
diperlukan sonografi hati, ginjal dan testis. Adanya kadar hCG yang tinggi
merupakan indikasi untuk magneting resonance imaging (MRI) otak, dada, abdomen,
dan testis untuk mencari tumor yang mensekresi hCG. Kadangkala diperlukan
pemeriksaan mammografi/USG untuk membedakan ginekomastia dan adipomastia
pada anak laki-laki obese.
6.3.6.3 Terapi
Terapi ginekomastia tergantung pada penyebab dan lamanya menderita
ginekomastia. Pada ginekomastia pubertas biasanya hanya memerlukan penentraman
hati dan dukungan psikososial. Pada 90% kasus ginekomastia pubertas regresi
spontan terjadi dalam 3 tahun dan dalam 6 bulan dengan terapi medis. Hasil terapi
dengan raloksifen, klomifen sitrat, tamoksifen, testolakton, danazol dan testosteron
atau dihidrotestosteron heptanoat dilaporkan dengan hasil yang tidak konsisten.
Tamoksifen dan raloksifen merupkan anti-estrogen. Tamoksifen bekerja dengan
cara berkompetisi dengan estrogen binding site jaringan mamae. Obat ini cukup aman
dan efektif bila diberikan dengan dosis 10-20 mg 2 kali sehari pada remaja. Selama
ini efek samping yang ada hanya nausea atau abdominal discomfort yang terjadi pada
5% laki-laki yang diobati dan tidak memerlukan penghentian pengobatan. Lawrence
dkk.membandingkan efek terapi raloksifen dan tamoksifen untuk pengobatan
ginekomastia pubertas. Terbukti dari penelitian tersebut kedua obat cukup efektif
menekan reseptor estrogen, mengurangi ukuran payudara dan cukup aman untuk
ginekomastia pubertas yang persisten. Dari kedua obat tersebut raloksifen memerikan
respons terapi yang lebih baik disbanding tamoksifen.
Testolakton adalah suatu aromatase inhibitor. Dosis 150 mg 3 kali sehari,
merupakan dosis aman yang tidak menghambat sekresi gonadotropin atau
memperlambat pubertas.
Dihidrotestosteron heptanoat diberikan secara intra muskuler tapi belum
tersedia secara komersial. Tidak seperti testosteron, dihidrotestosteron tidak dapat
diaromatisasi (in vivo) menjadi estrogen, oleh karena itu obat ini tetap mempunyai
kemampuan menghambat pembentukan mamae.
6.3.6.4 Terapi bedah
Diagnosis CDGP kadang sulit ditegakan terutama bila datang sebelum usia
pubertas dan beberapa ahli masih berbeda pendapat dalam pengertian CDGP, namun
ada beberapa keadaan yang dapat dipertimbangkan sebagai CDGP antara lain:
1. Tidak ditemukan kelainan endokrin, metabolik, kongenital atau penyakit
kronik.
2. Status nutrisi baik
3. Tidak ditemukan kelainan fisik, dismorfik maupun proporsi tubuh
4. Perawakan pendek
5. Pubertas terlambat
6. Usia tulang lebih muda 2 tahun atau lebih dibanding usia kronologis.
7. Prediksi tinggi akhir normal.
8. Dalam keluarga ibu atau kedua orangtuanya, atau salah satu saudara kandung
pernah mengalami pubertas terlambat
6.3.7.3 Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada pubertas terlambat yang disertai perawakan pendek
cukup banyak. Selain beberapa penyakit kronis (misal talasemia), sindrom Turner
merupakan diagnosis banding yang perlu dipikirkan bila ditemukan pada seorang
anak perempuan.
6.3.7.4 Terapi
CDGP sebenarnya tidak perlu diterapi karena merupakan keadan yang
fisiologis. Namun karena perawakan pendek dapat mengakibatkan masalah
psikososial, sehingga anak akan merasa rendah diri dan akhirnya orang tua akan
membawa anaknya untuk diobati pada saat masa prepubertas. Perawakan pendek
pada CDGP tidak patologis, sehingga tidak diperlukan pengobatan. Crowne dkk dan
Bramswig dkk mengobservasi anak laki-laki dengan CDGP tanpa pengobatan sampai
anak tersebut mencapai tinggi dewasa akhir (usia 21tahun). Crowne dkk
mendapatkan tinggi akhir rata-rata adalah 164,1 cm, sedangkan Bramswig dkk sekitar
170 cm, yang ternyata lebih rendah dari potensi tinggi gentik mereka.
Masalah yang sering dikeluhkan anak-anak dengan CDGP adalah mereka
merasa kurang percaya diri, mengalami tekanan psikososial, merasakan bahwa
keterlambatan pertumbuhan dan pubertas yang terjadi pada diri mereka akan
berpengaruh terhadap prestasi sekolah, pekerjaan nantinya ataupun kegiatan sosial.
Tekanan psikososial ini dapat mengganggu perkembangan anak, sehingga banyak
orang tua minta agar anak mereka diberikan pengobatan. Peran ahli jiwa anak atau
psikolog penting untuk menangani masalah ini.
Dari semua opsi pengobatan banyak sentra sekarang menggunakan oksandrolon
atau testosterone untuk induksi pubertas pada CDGP. Ada juga sentra yang
mengkonbinasikan testosterone dengan letrozol, suatu inhibitor aromatase generasi
ke-4 yang sangat potensial. Untuk memulai pengobatan sebaiknya pasien
dikonsultasikan ke konsultan endokrin anak Sebelum pengobatan ada beberapa
kriteria yang harus dipenuhi yaitu:
1. Umur minimal 12 tahun untuk oksandrolon dan 14 tahun untuk testosterone
2. Umur tulang minimal 10 tahun
3. Tinggi di bawah persentil-3
4. Status pubertas masih prepubertal atau Tanner G2 dan kadar testosterone di
bawah 100 ng/dL
5. Pasien terbukti ada gangguan self-image (jaga-imej) dan tidak berhasil
dengan konseling.
Oksandrolone adalah hormon anabolik sintetik suatu derivat testosteron yang
dapat diberikan secara oral dengan dosis 1.25 mg/hari atau 2.5 mg/hari selama 3
sampai 4 bulan. Terapi dihentikan bila volume testis telah mencapai 10 ml atau tinggi
badan yang diinginkan asien tercapai. Walaupun oksandrolon ini banyak
dipergunakan di banyak sentra, namun obat ini sulit didapat dan tidak tersedia di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2. Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly
diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA status, and
autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic control 12 months
after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218226
3. National Kidney and Urologic Disease Information Clearinghouse. 2009.Diabetes
insipidus. from http://www.niddk.org. Diakses 20 Oktober 2009.
4. Mahmud. 2009. Diabetes Insipidus Nefrogenik. From
http://www.perisaihusada.net. Diakses 20 Oktober 2009
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Endokrinologi Anak. Dalam
Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak 1985. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI; cetakan kesebelas.
6. Endokrinologi Anak. Dalam : Manual textbook of Nelsons Pediatrics.
7. Sands, Jeff M., Bichet, Daniel G. Nephrogenic Diabetes Insipidus. Ann Intern
Med. 2006; 144:186-194.
8. Askep Diabetes Insipidus.2009. from http: //www.medikastore.com. Diakses 20
Oktober 2009.
9. Abdelazis Elamin. 2009. Diabetes Insipidus. Departement of Child Health and
Pediatric Endocrinologist Sultan Qaboos University.
10. Jamest R West dan James G. Kramer. Nephrogenic Diabetes Insipidus. American
Academy of Pediatrics Journal, 15 ;424-432
11. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pedoman Diagnosis dan Terapi.
(Available on-line with updates at
http://urologimalang.com/data/filesharing/13.pdf): 33-5. 2010 [diunduh 5 Juni
2013].
12. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha. Referat Undescendcus testis.
(Available on-line with updates at http://id.scribd.com/doc/131271353/84357944Referat-UDT#download). 2012 [diunduh 5 Juni 2013].
13. Garna H, Nataprawira H.M (Ed). Pedoman Diagnosis dan Terapi (Ilmu Kesehatan
Anak). Edisi 4. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas PadjajaranDepartemen Ilmu Kesehatan anak; 2012.
14. Faizi M, Netty EP. Hipotiroid. http://old.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110buoi228.html. 2006. [diunduh 5 Juni 2013].
15. Brown RS, Huang S. The thyroid and its disorders. In: Brook CGD, Clayton PE,
Brown RS, eds. Brooks Clinical Pediatric endicronology. 5 ed. Massachusetts,
Oxfort, Victoria: Blackwell Pub 2007: 218-53.
16. Counts D, varma SK. Hypothuroidism in Children. Pediatr Rev. 2009:30:251-8.
17. Felice MD, Lauro RD. Thyroid Development and Its Disorders: Genetics and
molecular mecganisms. Endocrine Review. 2004: 25:722-46.
18. Bursell JDH, Warner JT. Interpretation of thyroid function in children. Pediatrics
and child health. 2007: 17:361-6.
Mamanasiri S, Yesil S, Dumitrescu AM, Liao XH, Demir T, Weiss RE, et al.
Mosaicism of Thyroid Hormone Receptor-beta Gene Mutation in Resistance to
thyroid ormone J Clin Endocrinol Metab. 2006:91:3471-7.