Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Trauma tumpul abdomen adalah cedera pada abdomen tanpa penetrasi
ke dalam rongga peritoneum. Trauma tumpul abdomen didefinisikan sebagai
kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang
diakibatkan oleh luka tumpul. Trauma tumpul kadang tidak memberikan
kelainan yang jelas pada permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan
kontusio atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Trauma tumpul
abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi
atau pada organ padat berupa perdarahan.1
B. Anatomi Abdomen
Abdomen adalah bagian
bagian atas dan pintu masuk pelvis dibagian bawah. Untuk kepentingan
klinik, biasanya abdomen dibagi dalam sembilan regio oleh dua garis vertikal,
dan dua garis horizontal. Masing-masing garis vertikal melalui pertengahan
antara spina iliaca anterior superior dan symphisis pubis. Garis horizontal
yang atas merupakan bidang subcostalis, yang mana menghubungkan titik
terbawah pinggir costa satu sama lain. Garis horizontal yang bawah
merupakan bidang intertubercularis, yang menghubungkan tuberculum pada
crista iliaca. Bidang ini terletak setinggi corpus vertebrae lumbalis V.2
Pembagian regio pada abdomen yaitu pada abdomen bagian atas: regio
hypochondrium kanan, regio epigastrium dan regio hypocondrium kiri. Pada
abdomen bagian tengah: regio lumbalis kanan, regio umbilicalis dan regio
lumbalis kiri. Pada abdomen bagian bawah: regio iliaca kanan, regio
hypogastrium dan regio iliaca kiri.2
posterior
pada
diaphragma,
pleura
kiri
(recessus
terletak
pada
bagian
atas
abdomen,
dari
regio
yang
berbentuk
seperti
tabung.
Dinding
ototnya
dan
ampula
relaksasi
sehingga
memungkinkan
pada
bursa
omentalis
(2,5
cm
pertama),
arteri
Batas
anterior
pada
permulaan
pangkal
colon
tranversum,
colon
descenden,
dan
colon
dengan
menutup
glotis.
Kompresi
abdominal
1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama
perdarahan
2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala
utama adalah peritonitis
Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu:
1. Organ Intraperitoneal : Ruptur hati, limpa, usus halus
2. Organ Retroperitoneal. Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal,
ureter, pancreas, aorta, dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit
ditegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini
memerlukan CT scan, angiografi, dan intravenous pyelogram. Trauma
pada daerah ini menyebabkan ruptur Ginjal, ruptur Pankreas, ruptur
Ureter
F. Cidera Organ Solid dan Berongga
1. Trauma Lien
Trauma lien merupakan trauma yang paling sering terjadi pada trauma
tumpul abdomen dan penyebab paling sering dari suatu perdarahan
intraabdomen. Secara klinis trauma ini dapat didiagnosis dengan adanya
perubahan hemodinamik akibat perdarahan intraabdomen, adanya keluhan
nyeri perut kiri atas dan nyeri di bahu kiri, serta ditemukannya jejas atau
hematoma di daerah abdomen kiri atas.
Protokol pengobatan non operatif pada kasus cedera lien telah dikenal
sejak tahun 1978. Protokol tersebut diinspirasi dari pengalaman para ahli
bedah anak. Selama 2 tahun berikutnya protokol tersebut digunakan pula pada
kasus injuri liver.
CT scan adalah alat bantu diagnostik yang paling baik dalam
mendiagnosis ruptura lien dengan spesifitas yang tinggi sehingga dapat pula
menilai derajat kerusakan lien. Scanning dengan Tc-99 dan ultrasonografi
Nursing Care :
Dilakukan pemeriksaan denyut nadi, frekuensi pernafasan, suhu
tubuh, dan diuresis tiap jam. Memantau EKG dan tekanan darah. Puasa dan
dipasang NGT.
b.
Pemeriksaan laboratorium :
Hemoglobin dan hematokrit tiap 4 jam, BJ urine tiap 4 jam, Amilase
setiap 3 hari.
c.
Perawatan medis :
Pemeriksaan fisik setiap jam sampai pasien stabil, kemudian tiap 4
jam. Pertahankan hematokrit >30-35%. Evaluasi keadaan koagulasi apabila
terdapat perdarahan yang berlanjut. Bed rest selama 7 hari.
2. Trauma hepar
Hepar merupakan organ kedua sesudah lien yang sering mengalami
trauma pada kasus trauma tumpul abdomen. Secara klinis diagnosis dapat
ditegakkan apabila diperoleh adanya gangguan hemodinamik akibat
perdarahan intraabdominal, adanya nyeri di daerah abdomen kanan atas dan
bahu kanan, jejas di abdomen kanan atas, tanda-tanda ileus adinamik, dan
massa di abdomen kanan atas. Foto rontgen dapat membantu yaitu jika
ditemukan fraktur costae kanan terbawah, peninggian dafragma. CT scan
memberikan diagnosis yang akurat dan sangat spesifik dibandingkan dengan
pemeriksaan lainnya. Pemeriksaan laboratorium yaitu SGOT dan SGPT
memberikan informasi tambahan yang bermakna jika ditemukan kadar SGOT
> 200 IU dan SGPT > 100 IU.
Prinsip pengelolaan pada lien juga dapat dipakai untuk trauma hepar.
Tindakan non operatif sama dengan trauma lien, hanya dilakukan
pemeriksaan follow up secara berkala SGOT dn SGPT sampai hari ke7 atau
10. Secara ringkas pengelolaan trauma hepar dapat dilihat seperti tabel
berikut :
Tabel 2: AAST Liver injury scale
Klasifikasi
Frekuensi
Grade I :
Subcapsular hematoma < 1 cm, 15%
capsular avulsion, laserasi parenkhim
superficial< 1 cm
Tindakan
Selektif non operatif
Grade II :
Laserasi parenkhim 1-3 cm dan 55%
parenkhim/subkapsuler hematoma 1-3
cm.
Trauma tembus perifer
Grade III:
Laserasi parenkhim> 3 cm dan 25%
hematoma subkapsuler/parenkhim > 3
cm
Trauma tembus sentral
Grade IV :
Parenchymal/subcapsular hematoma > 3%
10
cm,
destruksi
lobus
atau
devaskularisasi
Operasi diperlukan,
repair vaskuler,
lobektomi, packing,
drainase
Hematoma massif
Grade V:
Destruksi global atau devaskularisasi 2%
hepar
Trauma vena cava retrohepatik
Ruptur kedua lobus ekstensif
Grade 6 :
Hepatic avulsion
Lien dan hepar merupakan organ solid yang sering mengalami cedera
akibat trauma tumpul abdomen. Terapi non operatif merupakan standar terapi
yang dipilih pada kasus cedera lien dan hepar murni.
Penanganan operatif dilakukan pada cedera lien dan hepar apabila
ditemukan tanda-tanda adanya perdarahan, hipotensi, takikardi, penurunan
urine output, penurunan hematokrit yang tidak berespon terhadap pemberian
kristaloid dan transfusi darah. Pembedahan dilakukan apabila hemodinamik
tidak stabil setelah pemberian cairan intravena dan transfusi darah atau
pemberian transfusi darah sudah melebihi 40 cc/kgBB, peneliti lain
menyebutkan 25-40cc/kg BB.
Richi dan Folkasrad, Trunkey dkk, Stone dan Ansley merupakan
pionir pada pengelolaan non operatif pada kasus cedera hepar. Beberapa
penelitian menyebutkan adanya delay perdarahan pada kasus cedera hepar
kurang lebih 1-3%.
Pada suatu penelitian mengenai cedera hepar dan lien sebanyak 145
pasien didapatkan 95 % berhasil diterapi secara konservatif. Sebanyak 7
pasien yang mengalami cedera lien dilakukan operasi laparotomi dan rapi
lien. Pada penelitian tersebut dilakukan evaluasi dengan ultrasonografi dan xrays. Pada tahun 1980 digunakan sintigrafi untuk mengetahui adanya
kerusakan lien dan hepar, namun sekarang digunakan spiral tomografi.
Dari penelitian tersebut didapatkan rata-rata pasien datang ke rumah
sakit 9 hari setelah trauma, dan pada pasien yang dilakukan operasi emergensi
perdarahan dari hematom adalah minimal dan dapat diatasi dengan
hematostatik agent, artinya operasi tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Ditemukan pada kasus cedera lien pasien akan mengalami perburukan pada
36-72 jam setelah trauma, selanjutnya mengalami perbaikan. Jadi pengelolaan
non operatif pada kasus trauma liver sering berhasil pada anak-anak.
3. Trauma Renal
lambung.
Bila
dalam
minggu
gejala
obstruksi
pembedahan
pada
hematom
yang
gagal
diresorpsi
jarang
Hemodinamik normal
Pemeriksaan lengkap dan penatalaksanaan dapat segera direncanakan
Hemodinamik stabil
Pemeriksaan lebih terbatas dan ditujukan untuk menentukan apakah
pasien dapat ditangani secara non operatif, apakah angioembolisasi dapat
1. Primary survey
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus
dikenalidan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Tindakan primary
survey dilakukan secara berurutan sesuai prioritas tapi dalam praktenya
hal-hal tersebut sering dilakukan bersamaan (simultan).
Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas berupa
obstruksi jalan napas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibula, maksila atau trakea. Membebaskan
jalan napas harus melindungi vertebra servikal dengan melakukan jaw
thrust. Pada pasien yang dapat berbicara dapat dianggap bahwa jalan
napas bersih dan tetap harus dinilai ulang. Pada pasien yang masih sadar
dapat memakai nasopharingeal airway, sedanglkan pada pasien yang
tidak sadar dan tidak ada gag reflex dapat menggunakan oropharingeal
airway. Pasien dengan GCS kurang dari 8 atau adanya keraguan
mengenai kemampuan menjaga airway perlunya airway definitif.
Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan
diafragma. Buka dada pasien untuk melihat ekspansi pernapasan.
Auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi
untuk menilai adanya udara atau cairan dalam rongga pleura. Inspeksi
dan palpasi untuk melihat abnormalitas gerakan atau getaran dinding
dada. Jika ada gangguan ventilasi atau gangguan kesadaran diatasi
dengan face mask, intubasi endotrakeal yaitu nasopharingeal airway atau
oropharingeal airway. Kemudian pasang pulse oximetry untuk menilai
saturasi O2 yang adekuat.
Circulation
Penilaian pada tahap ini meliputi volume darah, tingkat
kesadaran, warna kulit dan nadi.
a. Volume darah
Adanya hipotensi harus
dianggap
disebabkan
oleh
Anamnesis
Pada trauma tumpul abdomen terutama akibat kecelakaan lalu
lintas.
Pemeriksaan fisik
Meskipun pemeriksaan fisik merupakan langkah awal untuk
evaluasi perlu tidaknya dilakukan tindakan pembedahan, tetapi
validitasnya diragukan pada trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan fisik
ini tidak dapat diandalkan terutama bila ditemukan adanya efek dari
alkohol, obat terlarang, analgesik atau narkotik, atau penurunan
kesadaran.3,4,7 Selain itu juga sulitnya akses untuk palpasi organ-organ
pelvis, abdomen atas, dan retroperitoneal menyebabkan pemeriksaan
fisik ini tidak dapat diandalkan.7 Fraktur iga bawah, fraktur pelvis, dan
kontusio dinding abdomen juga dapat menyerupai tanda-tanda peritonitis.
Powell et al melaporkan bahwa pemeriksaan fisik saja hanya memiliki
tingkat akurasi sebesar 65% dalam mendeteksi ada tidaknya perdarahan
intra-abdomen.4 Pemeriksaan fisik abdomen inisial menghasilkan 16%
positif palsu, 20% negatif palsu, 29% nilai perkiraan positif, dan 48%
nilai perkiraan negatif untuk menentukan perlu tidaknya laparotomi
eksplorasi.3
Pemeriksaan fisik pada trauma abdomen ditujukan untuk secara
cepat mengidentifikasi pasien yang membutuhkan laparotomi. Cedera
abdomen sering menyebabkan nyeri dan kejang pada dinding perut dan
membuat diagnosis menjadi sulit. Patah tulang rusuk bawah, patah tulang
panggul, atau kontusio dinding perut dapat menyerupai tanda-tanda
peritonitis. Karena manifestasi utama dari trauma tumpul organ padat
adalah perdarahan, pasien harus dipantau secara ketat selama penilaian
awal, dan adanya syok refrakter dianggap akibat perdarahan masif.
Pasien harus diperiksa dari kepala sampai kaki untuk tanda-tanda trauma
tumpul dan luka tembus. Lecet kecil atau ekimosis menunjukkan cedera
intraabdominal lokal yang signifikan. Dinding dan belakang perut harus
diperiksa secara hati-hati, dan adanya ekimosis posterior meningkatkan
kemungkinan
cedera
retroperitoneal. Tidak
adanya
bising
usus
(voluntary
guarding)
merupakan
tanda
iritasi
iatrogenik
hemodinamik,
umum
ditoleransi
terjadi,
dengan
baik.
dengan
adanya
Hematokrit
stabilitas
serial
yang
pasien
harus
segera
ditransfer,
pemeriksaan
yang
Pada
trauma
tumpul,
foto
anteroposterior
panggul
dapat
merupakan pilihan yang baik. Pada pasien dengan luka dada bagian
bawah, laparoskopi dapat mengidentifikasi baik penetrasi peritoneal dan
cedera diafragma. Cedera diafragma terisolasi atau berhubungan
nonbleeding laserasi hati adalah salah satu daerah di mana perbaikan
diafragma melalui laparoskop telah terbukti layak. Dari catatan, saat
laparoskopi digunakan pada pasien dengan potensi cedera diafragma,
tekanan positif di rongga peritoneal dapat menyebabkan tension
pneumothorax jika dada tidak cukup vented.
X-ray toraks berguna untuk evaluasi trauma tumpul abdomen
karena beberapa alasan. Pertama, dapat mengidentifikasi adanya fraktur
iga bawah. Bila hal tersebut ditemukan, tingkat kecurigaan terjadinya
cedera abdominal terutama cedera hepar dan lien meningkat dan perlu
dilakukan evaluasi lebih lanjut dengan CT scan abdomen-pelvis. Kedua,
dapat membantu diagnosis cedera diafragma. Pada keadaan ini, x-ray
toraks pertama kali adalah abnormal pada 85% kasus dan diagnostik pada
27% kasus.3 Ketiga, dapat menemukan adanya pneumoperitoneum yang
terjadi akibat perforasi hollow viscus. Sama dengan fraktur iga bawah,
fraktur pelvis yang ditemukan pada x-ray pelvis dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya cedera intra-abdominal sehingga evaluasi lebih
lanjut perlu dilakukan dengan CT scan abdomen-pelvis. Pyelografi
intravena dan sistogram retrograd merupakan tes yang berguna dalam
evaluasi penderita dengan hematuria.3,4
Pemeriksaan Focused Assessment with Sonography for Trauma
(FAST) telah diterima secara luas sebagai alat untuk evaluasi trauma
abdomen. Alatnya yang portabel sehingga dapat dilakukan di area
resusitasi
atau
emergensi
tanpa
menunda
tindakan
resusitasi,
didapatkan
beberapa
kekurangan,
terutama
karena
KEUNTUNGAN
Nonivasif
Tidak menghasilkan radiasi
Dapat dilakukan berulang kali
Dapat dilakukan di area resusitasi atau
KERUGIAN
Hasilnya tergantung keahlian pemeriksa
Sulit dilakukan pada penderita obesitas
Terdapat interposisi dengan udara
Sensitifitas rendah untuk koleksi cairan bebas
< 500 ml
Negatif palsu: cedera retroperitoneal dan
hollow viscus
Murah
Ambang minimun jumlah hemoperitoneum yang dapat terdeteksi
masih dipertanyakan. Kawaguchi et al dapat mendeteksi sampai 70 cc,
sedangkan Tilir et al mengemukakan bahwa 30 cc adalah jumlah
minimum yang diperlukan untuk dapat terdeteksi dengan USG. Mereka
juga
menyimpulkan
strip
kecil
anekoik
di
Morison
pouch
dari
30
penelitian
prospektif
dengan
kesimpulan
INDIKASI
KONTRAINDIKASI
Hemodinamik stabil
Laparotomi eksplorasi yang sudah jelas
Pemeriksaan fisik normal atau meragukan
Hemodinamik tidak stabil
Penurunan hematokrit pada penderita yang Agitasi
ditangani secara non operatif
Trauma duodenal atau pancreas
INDIKASI
Pemeriksaan fisik yang meragukan
KONTRAINDIKASI
Mutlak : indikasi untuk laparotomi eksplorasi
sudah jelas
Syok atau hipotensi yang tidak dapat Relatif :
riwayat
laparotomi
eksplorasi
dijelaskan
sebelumnya, kehamilan, morbid obesity,
Penurunan kesadaran( cedera kepala tertutup,
sirrhosis yang lanjut ,dan adanya koagulopati
obat-obatan)
sebelumnya .
Penderita dalam narkose umum untuk
obat obatan
Perubahan sensasi-trauma spinal
Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis ,vertebra lumbalis
Pemeriksaan fisik diagnostik tidak jelas
Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam
waktu
yang
agak
lama-pembiusan
untuk
cedera
yang
masih
dalam
perkembangan
dan
masih
terbatas
membantu
menghentikan
sumber
perdarahan.
Reseksi
hepar
Disease)
dan
bencana
vaskular
(trombosis
dari
mesenterium/emboli).8
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen.
Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam
kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan stafilokokus dan stretokokus
sering masuk dari luar. Pada luka tembak atau luka tusuk tidak perlu lagi
dicari tanda-tanda peritonitis karena ini merupakan indikasi untuk segera
dilakukan laparotomi eksplorasi. Namun pada trauma tumpul seringkali
diperlukan observasi dan pemeriksaan berulang karena tanda rangsangan
peritoneum bisa timbul perlahan-lahan. 8
Menegakkan diagnosis peritonitis secara cepat adalah penting sekali.
Diagnosis peritonitis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara
klinis. Kebanyakan pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen. Nyeri ini
bisa timbul tiba-tiba atau tersembunyi. Pada awalnya, nyeri abdomen yang
timbul sifatnya tumpul dan tidak spesifik (peritoneum viseral) dan kemudian
infeksi berlangsung secara progresif, menetap, nyeri hebat dan semakin
terlokalisasi (peritoneum parietale). Dalam beberapa kasus (misal: perforasi
lambung, pankreatitis akut, iskemia intestinal) nyeri abdomen akan timbul
langsung secara umum/general sejak dari awal. Mual dan muntah biasanya
sering muncul pada pasien dengan peritonitis. Muntah dapat terjadi karena
gesekan organ patologi atau iritasi peritoneal sekunder.9
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya
tidak baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan
sepsis hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang
disebabkan karena mual dan muntah, demam, kehilangan cairan yang banyak
dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara
progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan
produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir
dengan keadaan syok sepsis. 9
Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat
menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen
ini harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan
dilakukan. Pada inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas
operasi menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit
dengan gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan
pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan
tegang atau distended.9
Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling
terasa sakit di abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari
yang ditunjuik pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi
penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus
akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena
peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak
bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat
terdengar normal.9
Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral
yang sangat sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah yang
paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen
yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara
bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan defans
muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai
peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses
refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi
kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan. Pada saat pemeriksaan penderita
peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan
defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan
menghindari gerakan atau tekanan setempat. 9
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum,
adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi
melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan
peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani
karena adanya udara bebas tadi. Pada pasien dengan keluhan nyeri perut
umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal
untuk membantu penegakan diagnosis. Nyeri pada semua arah menunjukkan
general peritonitis. 9
BAB IV
PENUTUP
anamnesis,
pemeriksaan
fisik,
pemeriksaan
laboratorium,
ultrasonografi yang terdiri dari foto polos, FAST, atau CT scan. Selain itu, dapat
pula dilakukan DPL. DPL terutama berguna jika riwayat dan pemeriksaan
abdomen menunjukkan ketidakstabilan dan cedera multisistem atau tidak jelas.1,2
Penatalaksanaan trauma tumpul abdomen dilakukan secara konservatif dan
bedah. Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan
atau syok yang tidak terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi,
ditemukannya hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL.2
Hasil pemeriksaan fisik abdomen pada penderita ini didapatkan jejas di
perut kanan. Peristaltik usus yang positif (+) ditunjukkan dengan pemeriksaan
auskultasi. Didapatkan nyeri tekan pada epigastrium. Hasil palpasi tidak
didapatkan massa serta adanya undulasi. Perkusi memberikan hasil timpani tanpa
pekak alih. Hasil lab menunjukkan adanya penurunan hemoglobin. USG abdomen
menunjukkan adanya lesi cairan bebas pada morrison pounch, splenorenal dan
paravesika. Penatalaksanaan pada pasien ini untuk sementara ialah konservatif
sambil monitoring KU dan VS serta mengawasi apabila ada tanda akut abdomen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro, A.D. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011,
Bab 6; Trauma dan Bencana.
2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk
Dokter Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
3. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.
4. Fabian, Timothy C. Infection in Penetrating Abdominal Trauma: Risk
Factors and Preventive Antibiotics. The American Surgeon 2002; 68: 2935
5. Udeani, J., Geibel, J., 2011. Blunt Abdominal Trauma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#aw2aab6b5b3.
Di akses Mei 2016
6. Eastern Association for the Surgery of Trauma. Practice Management
Guidelines for The Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. EAST
Practice Management Guidelines Work Group: Brandywine Hospital,
2001, p; 2-27
7. American College of Surgeons, 2003. Evaluation of Abdominal Trauma.
Committee on Trauma: Subcommittee on Publications.
8. Demetriades, D., Velmahos, G. Technology-Driven Triage of Abdominal
Trauma: The Emerging Era of Nonoperative Management. Annu Rev Med
2003; 54: 1-15
9. Sivit, C.J. Abdominal
Trauma
Imaging:
Imaging
Choices
and