You are on page 1of 2

Kasus :

Pemilik warung kelontong di tepi Jalan Raya Siliwangi, Pamulang, Tangerang Selatan
sebut saja A mengeluarkan sejumlah obat bebas dari dus kecil tanpa mengetahui kapan
tanggal kadaluwarsa obat tersebut. Beberapa obat dibeli potongan sehingga tanggal
kadaluwarsanya ikut terpotong. Sementara sebagian besar obat diselimuti debu tebal
karena warung tersebut berada di tepi jalan raya. Satu obat dengan kandungan
parasetamol yang utuh kemasannya tampak berubah warna karena berdebu, di
sebaliknya, sebagian lapisan aluminium kemasan obat sobek dan terlihat tanggal
kadaluwarsanya pada Juni 2015. Selain itu A juga menjual obat secara berkeliling yang
dijajakan dengan menggunakan mobil yang daun pintunya tertulis Primer Koperasi
Veteran RI. Selama 15 tahun berjualan, A dibantu rekannya U. Penjualan obat keliling
itu berlangsung hampir 15 tahun. Obat yang dijual adalah obat generik yang dikelola
Koperasi. Obat keliling Primer Koperasi Veteran RI itu buka di kawasan Pasar
Jatinegara, area parkir Pasar Klender (Jakarta Timur), area parkir Gelanggang Remaja
Senen (Jakarta Pusat), dan area parkir Metropolitan Elektronik Bekasi (Bekasi). Obat
yang dijual adalah obat untuk berbagai penyakit yang dibungkus plastik transparan
berisi 2-5 jenis obat. Penjualan obat tersebut dilakukan tanpa adanya pengawasan dari
apoteker. Kasus tersebut mengungkapkan bahwa di sejumlah toko kelontong yang
menjual obat menunjukkan mudahnya memperoleh obat pada jaman sekarang ini.
Kemudahan itu membuka peluang besar peredaran obat palsu, obat kedaluwarsa, obat
tanpa izin edar, hingga obat-obatan yang mengandung bahan berbahaya. Di sarana
farmasi pun dijumpai pelanggaran aturan penjualan obat. Obat dengan resep dokter,
yang seharusnya hanya bisa dibeli di apotek, nyatanya dapat dibeli bebas di toko obat,
toko kelontong, dan apotek meski tanpa resep dokter. Padahal, keterangan di kemasan
obat menyebut harus dengan resep dokter. Pola penjualan dan distribusi obat yang
serampangan serta perilaku masyarakat yang mau mudah mendapat obat dan sembuh
dengan cepat membuat maraknya peredaran obat yang menyalahi aturan, itu membuka
peluang masuknya obat palsu, obat dengan zat aktif tak sesuai, dan mengancam
nyawa konsumen. Berbagai masalah yang muncul di lapangan menunjukkan buruknya
manajemen kefarmasian di Indonesia. Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapeutik

Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif BPOM Tengku Bahdar Johan Hamid mengakui,
terlalu banyak masalah dalam distribusi kefarmasian di Indonesia saat ini. Pengawasan
BPOM terbatas pada produknya dan pengawasan di sarana kefarmasian oleh
Kementerian Kesehatan lewat dinas kesehatan di daerah. Dinas kesehatan umumnya
tak punya sumber daya pengawasan. Data BPOM tahun 2014 menyebut, 84,16 % dari
8.510 sarana kefarmasian seperti apotek, toko obat, instalasi farmasi rumah sakit, klinik
atau balai pengobatan, dan puskesmas melanggar ketentuan distribusi obat. Pada
2015, jumlahnya turun jadi 81,89% dari 7.516 sarana. Pelanggaran yang dilakukan
sarana kefarmasian itu antara lain tak memiliki izin, tak punya tenaga kefarmasian, dan
penyimpanan obat tidak baik. Ada pula yang menjual obat tanpa izin edar, tidak
memusnahkan obat kedaluwarsa, atau menjual obat keras tanpa resep dokter. Obat
adalah produk yang distribusinya diatur ketat oleh regulasi. Namun, fakta di lapangan
menunjukkan betapa mudahnya masyarakat mendapatkan obat tanpa resep dokter di
apotek, obat keras di toko obat, bahkan di warung pinggir jalan sekalipun. Mudahnya
mendapatkan obat di berbagai tempat umum mencerminkan lemahnya pengawasan
distribusi produk farmasi di Indonesia.

You might also like