Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
The purpose of this study was to identify problems in the economic area and to
analyze the impact of the establishment of Special Economic Zones (SEZ) on the growth of
investment, trade and labor. This study used a qualitative descriptive analysis of the legal
and institutional aspects, infrastructure and planning, as well as incentives and financing.
This study also used the Incremental Capital Output Ratio analysis (ICOR), Output Ratio
Incremental Labour (ILOR) and the Location Quotient (LQ) to 12 (twelve) areas that suggest
themselves into KEK: Sumatera Utara, Riau, South Sumatera, Banten, West Java, Central
Java, East Java, West Kalimantan, Central Kalimantan, East Kalimantan, South Sulawesi
and Central Sulawesi. The results showed that the common problems faced by the economic
area is the provision of incentives that are not in accordance with the conditions of the
region, and the lack of consistency between the rules that become the foundation and
establishment of economic zones and the supporting regulations. From this study it is known
that West Java and Banten region has the potential economic impact that relatively better
than other regions.
PENDAHULUAN
Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi kondusifitas iklim berinvestasi di
Indonesia. Faktor-faktor tersebut menyangkut stabilitas politik dan sosial, stabilitas ekonomi,
kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan),
berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan),
regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good
governance, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari
kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Berdasarkan laporan Bank
1
Staf Pengkaji, Puslitbang Iklim Usaha Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5
Jakarta 10110, Telp: 021-23528684, Email: tumpal_bppip@hotmail.com
2
Staf Pelaksana, Puslitbang Iklim Usaha Perdagangan, Kementerian Perdagangan, Jl. M.I Ridwan Rais No. 5
Jakarta 10110, Telp: 021-23528684, Email: naufa@yahoo.com.
1
Dunia tahun 2005 Indonesia termasuk salah satu negara yang paling mahal, baik dalam arti
biaya maupun jumlah hari dalam pengurusan ijin bisnis. Untuk mengurus semua perijinan
usaha, seorang pengusaha memerlukan sekitar 151 hari, dan besarnya biaya yang diperlukan
sekitar 125,6 persen dari pendapatan per kapita di Indonesia.
Untuk meningkatkan investasi langsung di Indonesia, diperlukan perubahan iklim
investasi. Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, khususnya yang memiliki struktur
ekonomi yang relatif sama seperti Thailand, Philippina, Vietnam dan Malaysia, iklim
investasi di Indonesia masih tertinggal dalam hal menarik minat para investor. Sekalipun
demikian, peringkat Indonesia mengenai iklim investasi cenderung mengalami perbaikan dari
peringkat 135 dari 175 negara pada tahun 2007 menjadi peringkat 123 dari 178 negara pada
tahun 2008 (Doing Business 2008-World Bank Report).
Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan salah satu strategi
Indonesia dalam mendorong investasi dan meningkatkan daya saing Indonesia. Untuk itu
diperlukan suatu kebijakan yang mencakup penetapan kriteria pokok pemilihan lokasi suatu
daerah yang memenuhi persyaratan pembangunan KEK; menyetujui kebijakan-kebijakan
yang diperlukan oleh kawasan-kawasan itu; dan yang paling penting adalah untuk
menyediakan pelayanan investasi dan kelembagaan yang memiliki standar internasional.
Pemberian insentif antara lain dilakukan dengan cara pembebasan PPN dan PPnBM
untuk produk yang diekspor kembali dengan prosedur yang sederhana, fasilitas visa dan ijin
kerja tenaga asing yang sederhana. Yang terpenting adalah proses pelayanan investasi dimana
investor dapat memperoleh seluruh perijinan dan kebutuhan dokumentasi serta penyelesaian
masalah-masalah yang mereka hadapi melalui pelayanan satu atap dalam waktu singkat.
Selain itu, pembentukan kawasan-kawasan ekonomi khusus dibeberapa wilayah diharapkan
membawa keuntungan bagi Indonesia dalam hal: (1) peningkatan investasi; (2) penyerapan
tenaga kerja; (3) penerimaan devisa; (4) keunggulan kompetitif produk ekspor; (5)
meningkatkan pemanfaatan sumberdaya lokal, pelayanan, dan kapital bagi peningkatan
ekspor; dan (6) mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui transfer of
technology. Tujuan-tujuan tersebut, sejalan dengan visi pemerintah untuk meningkatkan
perekonomian dan pemerataan secara nasional dan menciptakan fundamental ekonomi yang
kuat, baik secara makro maupun secara mikro.
Saat ini, di Indonesia telah beroperasi berbagai kawasan ekonomi antara lain:
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Berikat (KB), Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) dan Kawasan Industri (KI). Sekalipun
demikian, pengembangan kawasan tersebut belum memberikan hasil yang optimal dan masih
2
terdapat
berbagai
kendala
dalam
implementasinya.
Untuk
itu,
pemerintah
akan
Umumnya
hanya
untuk
mendukun
g
perdagang
an
ekspor
<50ha
Dekat
dgn
pelabuh
an dan
bandara
Ekspor
barang dan
jasa
Ekspor
Otoritas
dari
Kawasan
Umumnya
di bawah
pemerinta
h pusat
atau
daerah
setempat
Umumnya Otoritas
sebagai
khusus
impor
untuk
pengecuali kawasan,
an dari BM terpisah
dan PPN
dari
otoritas
daerah
setempat
Skema
Kawasan
Pengemba
ngan
Ekonomi
terpadu
(KAPET)
Kawasan
Industri
(KI)
Kawasan
Ekonomi
Khusus
(KEK)
Tujuan
Luas
Lokasi
Lokasi
Jenis
Kegiatan
Tujuan
Pasar
Pembangu <100 ha
nan pusatpusat
pertumbuh
an sebagai
penggerak
pembangu
nan
wilayah
sekitar
Pembangu <100 ha
nan
industri
Campur
an
Industri dan
pertanian,
perkebunan,
pariwisata,
pertambang
an
Ekspor,
Domestik
Campur
an
Industri
Ekspor,
Domestik
Berbagai
jenis
kegiatan
(misalnya
pertanian,
industri,
jasa,
pariwisata)
Multi
pasar:
ekspor,
domestik,
di dalam
SEZ
Campur
Pembangu Antara
10 ha s.d an
nan
400 ha
Integrasi
untuk
investasi
dan
penciptaan
lapangan
kerja
Perlakuan Otoritas
dari
Pembelian
Kawasan
dari
Dalam
Negeri
Pembelian Umumnya
dalam
di bawah
negeri
pemerinta
h daerah
setempat
Umumnya
di bawah
pemerinta
h pusat
atau
daerah
setempat
Sebagai
Otoritas
impor ke
khusus
SEZuntuk
pengecuali kawasan,
an dari BM terpisah
dan PPN
dari
otoritas
daerah
setempat
Pembelian
dalam
negeri
Beberapa Masalah pada KB yang terkait dengan aspek hukum dan kelembagaan
adalah sebagai berikut.
1. Pelayanan perijinan satu atap di KB tidak berjalan sebagaimana mestinya setelah
otonomi daerah
Pada awalnya, sesuai dengan pasal 9 ayat 1 PP Nomor 22 tahun 1986
tentang Kawasan Berikat dinyatakan bahwa perijinan yang diperlukan di
Kawasan Berikat diselenggarakan dengan sistem one stop service melalui
pelimpahan wewenang dari instansi terkait kepada pengelola Kawasan Berikat
yaitu PT KBN dan untuk Kawasan Industri swasta perijinan ini diselenggarakan
oleh PT Persero Pengelola Kawasan Berikat Indonesia (PT. PKBI). Perijinan
tersebut meliputi: Ijin persetujuan penanaman modal (PMA/PMDN) dari BKPM
sesuai pelimpahan kewenangan dari Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal
di dalam Kawasan Berikat yang meliputi:
-
Ijin
Angka
Pengenal
Importir
Terbatas
(APIT)
dari
Departemen
Perdagangan
-
kawasan
berikat.
Bila
perusahaan
menghentikan
kegiatannya,
Tidak dipungut PPN, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak
penghasilan PPh Pasal 22. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Keuangan No.
291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat dijelaskan lebih lanjut mengenai fasilitas
tersebut, sebagai berikut:
-
Atas impor barang modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang sematamata dipakai oleh PKB termasuk PKB merangkap sebagai PDKB diberikan
penangguhan Bea Mauk (BM), tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal
22 Impor.
Atas impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung
dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB diberikan
penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor.
Atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB diberikan penanguhan
BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor.
Atas pemasukan BKP dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, tidak
dipungut PPN dan PPnBM.
Atas pengiriman barang hasil produksi PDKB dan PDKB lainnya untuk diolah
lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPnBM.
Atas penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha Kena
Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada pengusaha Kena Pajak PDKB asal,
tidak dipungut PPN dan PPnBM.
Atas peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari
PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan
pengembaliannya ke PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPnBM.
Atas pemasukan BKC dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, diberikan
pembebasan Cukai.
diberikan pembebasan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan
PPh Pasal 22 Impor.
Meskipun demikian, dalam prakteknya investor di
Kawasan
Berikat
dikeluarkannya
menetapkan adanya pengenaan PPN atas barang modal dan peralatan pabrik yang
berhubungan langsung dengan kegiatan PDKB yang berasal dari Daerah Pabean
Indonesia Lainnya (DPIL).
2. Pengenaan PPN atas jasa kena pajak makloon (jasa jahit, pencucian
dan
perusahaan-perusahaan
di KB,
dengan pemberian fasilitas tidak dipungut PPN atas barang yang dimasukan
kedalam Kawasan Berikat.
4. Perbedaan Pengertian/Persepsi mengenai Barang Modal Antara Petugas Bea dan
Cukai dengan Investor
Sesuai Keputusan Menteri Keuangan no. 291/KMK.051997 pasal 14 ayat
(b) dinyatakan bahwa atas impor barang modal atau peralatan pabrik yang
berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata
dipakai oleh PDKB diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPnBM dan
PPh pasal 22 impor. Dalam prakteknya, sering terjadi perbedaan persepsi antara
investor (PDKB) dengan petugas Bea dan Cukai mengenai pengertian barang
modal yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan proses produksi. Hal
ini pada akhirnya sangat merugikan investor karena dapat menimbulkan moral
hazard, dan investor harus membayar bea masuk dan pajak-pajak lainnya atas
impor barang modal yang langsung berkaitan dengan proses produksi di dalam
Kawasan Berikat.
c) Infrastruktur dan Tata Ruang
1. Untuk kawasan berikat di Batam, ketidakjelasan wewenang antara Otorita Batam
dan Pemerintah Daerah menyebabkan ketidakjelasan pembagian wewenang dalam
pemeliharaan infrastruktur.
2. Untuk kawasan berikat di daerah lain, masalah infrastruktur juga masih perlu
diperhatikan karena infrastruktur jalan darat di Kawasan Berikat umumnya rusak.
3. Kawasan Berikat, berdasarkan PP No 26/2008, umumnya berada di lokasi Pusat
Kegiatan nasional (PKN), karena sesuai dengan kriteria pertama dari PKN yaitu:
kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan
ekspor-impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional.
2. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB)
Tujuan yang ingin dicapai dengan pembentukan KPBPB adalah memaksimalkan
pelaksanaan pengembangan serta menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomian yang
meliputi perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan
bidang-bidang lainnya dalam kawasan yang pada akhirnya diharapkan dapat
meningkatkan daya saing produk ekspor di pasar global. Identifikasi permasalahan,
terutama yang terkait dengan hukum dan kelembagaan, insentif dan pembiayaan serta
infrastruktur dan tata ruang pada KPBPB dapat dilihat di bawah ini.
11
No.
60/PMK.04/05
belum
mengakomodir
kegiatan
perusahaan
perminyakan.
4. UU No. 22 tahun 2001 tentang migas bertentangan dengan Juklak Kepabeanan.
Perusahaan minyak dan penunjangnya, khususnya barang bersifat impor
sementara/.sewa dan barang yang dikembalikan atau dalam perbaikan.
5. Kurangnya koordinasi antara instansi terkait di Batam dan di luar Batam
sehubungan dengan PMK No. 60/PMK.04/2005 terkait SEZ.
6. Status barang-barang transhipment berkaitan dengan UU No. 10 tahun 1995 yang
menyatakan bahwa barang yang masuk ke kawasan pabean sudah dikategorikan
sebagai barang impor.
7. Perda tentang pungutan genset, penerangan jalan dan lalu lintas menambah biaya
berusaha.
8. Pembagian tugas yang tidak jelas antara Otorita Batam dan Pemerintah Daerah
Kota Batam.
9. Status KPBPB untuk daerah Batam dalam operasionalnya masih mengacu pada
status Batam sebagai Kawasan Berikat.
10. Belum berfungsinya Badan Pengusahaan Kawasan sebagai Pengelola KPBPB di
Batam.
11. Tumpang tindihnya di dalam penerbitan perijinan usaha.
b) Insentif dan Pembiayaan
1. Pencabutan fasilitas bebas PPN dan PPnBM di Batam sejak 2003 dan
ketidakpastian tentang cakupan pengenaan PPN dan pengenaan PPN dan PPnBM
dianggap telah mengurangi daya tarik investasi.
2. Insentif yang sudah ada masih kurang menarik.
c) Infrastruktur dan Tata Ruang
12
150/2000
tidak
menjelaskan
kebijakan
yang mengintegrasikan
13
14
15
16
KESIAPAN
DAERAH
SURVEI
BERDASARKAN
PERSYARATAN
PEMBENTUKAN KEK
Tabel 2. Kawasan Bojonegara, Propinsi Banten
No
1
Kriteria Pokok
Rincian Kriteria
Kondisi Saat ini
Penetapan Lokasi KEK
Adanya komitmen dari - Harmonisasi Perda
- Masih perlu Perda untuk
Pemda
- Dukungan dari pemangku
lebih meningkatkan investasi
kepentingan
(Pemda,
dan harmonisasi Perda-perda
DPRD, Dunia usaha)
- Adanya rencana tata ruang
- Memiliki konsep Rencana
nasional PP No. 47 Thn 2000
Pengembagan
dan
yang
menetapkan
pengelolaan kawasan
Bojonegara-Cilegon sebagai
- Penyediaan dana
pusat pertumbuhan ekonomi
- Pelayanan perizinan satu - Pemerintah daerah telah
atap (OSS)
memiliki
Tim
Teknis
pembentukan KEK
- Sudah tersedia alokasi dana
pengembangan infrastruktur
- Sedang disiapkan Rancangan
perizinan terpadu
Lokasi sesuai dengan Harmonisasi
dan - Usulan lokasinya telah sesuai
pengembangan wilayah sinkronisasi RTRW Propinsi
dengan RTRWN, RTRW dan
dalam RTRW dan layak dengan
RTR
Kab/kota
RTR Kab/Kota
menurut Kajian Amdal
tentang peruntukan kawasan - Pengembangan 17 Kawasan
serta layak berdasarkan
Industri yang berada dilokasi
Studi AMDAL
rencana KEK.
Mempunyai
posisi - Lokasi
Kawasan - Mempunyai 3 pelabuhan laut
(Ciwanda, pelabuhan khusus,
strategis
berdekatan dan memiliki
dan Merak) dan Bandara
akses ke pelabuhan udara
Sukarno Hatta
dan laut
- Berhadapan dengan alur - Dilalui oleh jalur maritim
internasional
pelayaran internasional
Telah tersedia dukungan Memiliki
infrastruktur Telah tersedia infrastruktur dan
infrastruktur awal dan modern meliputi jaringan
ada rencana pengembangan
mempunyai
jalan yang menghubungkan
tahun 2007-2012 (jalan,
kemungkinan
kawasan ke bandara dan
jaringan KA, pelabuhan laut,
pengembangan
pelabuhan laut serta drainase
bandara).
selanjutnya
dalam kawasan industri
Mempunyai ketersediaan - Memiliki lahan awal 500 - Usulan lokasi KEK dengan
lahan
Ha yang peruntukannya
luas 5.357 Ha
sesuai dengan RUTR - Mempunyai cadangan lahan
Kabupaten/Kota setempat
pengembangan 1.327 Ha.
sebagai Kawasan Industri - Lokasinya
telah
sesuai
17
No
.6
Kriteria Pokok
Penetapan Lokasi KEK
Rincian Kriteria
Kriteria Pokok
Rincian Kriteria
Penetapan Lokasi KEK
Adanya komitmen dari - Harmonisasi Perda
Pemda
- Dukungan dari pemangku
kepentingan
(Pemda,
DPRD, Dunia usaha)
- Memiliki konsep Rencana
Pengembagan
dan
pengelolaan kawasan
- Penyediaan alokasi dana
- Pelayanan perizinan satu
atap (OSS)
Lokasi sesuai dengan Harmonisasi dan sinkronisasi
pengembangan wilayah RTRW Propinsi dengan RTR
dalam RTRW dan layak Kabupaten/Kota
tentang
menurut Kajian Amdal
peruntukan kawasan serta
layak berdasarkan Studi
AMDAL
Mempunyai
posisi - Lokasi
Kawasan
strategis
berdekatan dan memiliki
akses ke pelabuhan udara
dan laut
- Berhadapan dengan alur
pelayaran internasional
infrastruktur
Telah tersedia dukungan Memiliki
infrastruktur awal dan modern meliputi jaringan
mempunyai kemungkinan jalan yang menghubungkan
pengembangan
kawasan ke bandara dan
selanjutnya
pelabuhan laut serta drainase
dalam kawasan industri
Mempunyai ketersediaan - Memiliki lahan awal 500
lahan
Ha
yangperuntukannya
sesuai
dengan
RUTR
Kab/Kota setempat sebagai
Kawasan Industri
- Mempunyai ketersediaan
lahan untuk pengembangan
selanjutnya
No
Kriteria Pokok
Penetapan Lokasi KEK
Rincian Kriteria
Kriteria Pokok
Rincian Kriteria
Penetapan Lokasi KEK
Adanya komitmen dari - Harmonisasi Perda
Pemda
- Dukungan dari pemangku
kepentingan
(Pemda,
DPRD, Dunia usaha)
- Memiliki konsep Rencana
Pengembagan
dan
pengelolaan kawasan
- Penyediaan alokasi dana
- Pelayanan perizinan satu
atap (OSS)
Mempunyai
strategis
Mempunyai ketersediaan
lahan
posisi
19
No
6
Kriteria Pokok
Rincian Kriteria
Kondisi Saat ini
Penetapan Lokasi KEK
Memiliki batas Kawasan Memiliki master plan yang Sebagian lahan yang diusulkan
sedang dalam pembebasan
yang jelas
telah
disyahkan
oleh
lahan
Pemerintah Kabuapaten/Kota
Kriteria Pokok
Rincian Kriteria
Penetapan Lokasi KEK
Adanya komitmen dari - Harmonisasi Perda
Pemda
- Dukungan dari pemangku
kepentingan
(Pemda,
DPRD, Dunia usaha)
- Memiliki konsep Rencana
Pengembagan
dan
pengelolaan kawasan
- Penyediaan alokasi dana
- Pelayanan perizinan satu
atap (OSS)
Lokasi sesuai dengan Harmonisasi dan sinkronisasi
RTRW Propinsi dengan
pengembangan wilayah
RTR Kab/kota tentang
dalam RTRW dan layak
peruntukan kawasan serta
menurut Kajian Amdal
layak berdasarkan Studi
AMDAL
Mempunyai
posisi - Lokasi
Kawasan
strategis
berdekatan dan memiliki
akses ke pelabuhan udara
dan laut
- Berhadapan dengan alur
pelayaran internasional
infrastruktur
Telah tersedia dukungan Memiliki
modern meliputi jaringan
infrastruktur awal dan
jalan yang menghubungkan
mempunyai kemungkinan
kawasan ke bandara dan
pengembangan
pelabuhan
laut
serta
selanjutnya
drainase dalam kawasan
industri
20
Propinsi
1
Sumatera Utara
2
Riau
3
Sumatera Selatan
4
Banten
5
Jawa Barat
6
Jawa Tengah
7
Jawa Timur
8
Kalimantan Barat
9
Kal. Tengah
10 Kalimantan Timur
11 Sulawesi Selatan
12 Sulawesi Tengah
Sumber: BPS berbagai daerah
Dari tabel di bawah dapat dilihat bahwa Pulau Jawa merupakan wilayah dengan
pendapatan domestik terbesar. Sementara wilayah timur Indonesia, terutama Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Tengah, memiliki tingkat pendapatan daerah yang rendah.
Tabel 7. PDRB Daerah Pengusul KEK (Juta Rupiah)
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Propinsi
Sumatera Utara
Riau
Sum. Selatan
Banten
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Kalimantan
Barat
2003
75,189,140.89
66,872,503.02
43,643,276.17
49,449,321.34
209,731,189.42
123,038,541.13
218,452,389.09
2004
78,805,608.56
73,077,959.49
45,247,400.63
51,957,457.73
219,525,220.65
129,166,462.45
228,884,458.54
PDRB
2005
83,328,948.58
75,216,719.28
47,344,395.00
54,880,406.50
230,003,495.86
135,789,872.31
242,228,892.17
20,806,353.94
21,455,284.28
22,483,015.37
2006
87,897,791.21
79,287,586.75
49,633,536.00
58,106,948.22
242,935,198.99
143,051,213.88
256,374,726.78
2007
93,330,108.26
83,370,857.24
52,215,287.00
61,317,508.70
257,535,975.13
150,682,654.74
271,238,560.75
23,538,350.41
24,769,575.81
21
No
9
10
11
12
Propinsi
Kalamantan
Tengah
Kalimantan
Timur
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
2003
2004
PDRB
2005
2006
2007
11,967,773.05
12,555,435.70
13,253,081.16
14,034,632.14
14,853,726.14
87,850,397.11
89,483,540.42
91,050,429.07
93,938,002.27
96,585,471.19
33,645,382.74
9,600,363.96
35,410,566.05
10,196,749.88
37,291,394.11
10,925,464.68
38,421,787.37
11,752,235.68
38,867,679.22
12,688,549.72
Data ICOR beberapa daerah pengusul KEK menunjukkan bahwa efektifitas dari
penanaman modal lebih banyak terjadi di wilayah Pulau Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Untuk
pulau Jawa dan Sumatera, hal ini tentu disebabkan oleh ketersediaan infrastruktur yang
sangat memadai dan didukung dengan ketersediaan tenaga kerja yang berlimpah di kedua
pulau tersebut. Namun demikian, perlu dicermati bahwa konsep ICOR lebih didasarkan
kepada nilai produksi, dimana untuk wilayah di Pulau Jawa dan Sumatera telah terlebih
dahulu mengembangkan industri secara menyeluruh, terutama industri pengolahan.
Sementara itu, wilayah Indonesia tengah dan timur lebih banyak tergantung kepada produk
alam, dengan nilai yang lebih rendah daripada produk industri. Selain itu, produktifitasnya
sangat tergantung pada alam.
Tabel 8. ICOR Daerah Pengusul KEK
No
Propinsi
ICOR
2004
2005
1 Sumatera Utara
4.63
4.10
2 Riau
5.68
8.32
3 Sumatera Selatan
5.58
4.71
4 Banten
3.66
3.63
5 Jawa Barat
3.50
3.61
6 Jawa Tengah
3.13
3.28
7 Jawa Timur
4.01
3.25
8 Kalimantan Barat
9.75
6.52
9 Kalimantan Tengah
7.21
6.36
10 Kalimantan Timur
7.70
8.31
11 Sulawesi Selatan
4.31
4.25
12 Sulawesi Tengah
4.04
3.65
Sumber: Hasil pengolahan dari data BPS berbagai daerah
2006
4.21
4.63
4.60
3.57
3.35
3.26
3.32
6.55
6.21
4.78
4.15
3.51
2007
3.85
4.86
4.33
3.48
3.03
3.51
3.38
5.75
6.70
5.65
3.58
3.41
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Sesuai dengan tujuan pembentukan KEK, pemerintah akan memberikan insentif kepada
dunia usaha yang akan menanamkan modalnya di kawasan tersebut. Penawaran insentif yang
utama dari pemerintah adalah insentif fiskal berupa berbagai pembebasan pungutan pajak dan
cukai. Hal ini tentu akan mengurangi potensi pendapatan fiskal pemerintah, dan harus
mendapatkan kompensasi ekonomi makro secara nasional.
Berkaitan dengan hal tersebut, sejalan dengan efektifitas insentif pemerintah terhadap
peningkatan jumlah penanaman modal, pemerintah mengharapkan terjadinya peningkatan
produksi dari dunia usaha, yang akan meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan bagi
masyarakat. Di tingkat regional, hal ini akan meningkatkan pemerataan kesempatan ekonomi
di daerah. Peningkatan penduduk berpendapatan akan mendorong kegiatan ekonomi lainnya
di dalam negeri (secara tidak langsung akan mendorong kegiatan konsumsi ekonomi di sektor
lain). Hal ini menunjukkan bahwa KEK dapat menjadi lokomotif penggerak ekonomi
nasional.
Meskipun demikian, pemerintah tidak pula kehilangan sepenuhnya potensi fiskal yang
dimilikinya, karena pemerintah masih bisa meningkatkan pendapatannya melalui pungutan
atas pajak penghasilan perusahaan, dan pengenaan PPN untuk sebagian barang yang akan
dijual di dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhitungkan dengan seksama,
efektifitas dari insentif dan pembiayaan yang diberikan kepada pengusaha dalam rangka
KEK. Kesempatan kerja yang didapatkan oleh daerah diilustrasikan dengan menggunakan
konsep ILOR (Incremental Labor Output Ratio).
23
2004
4,592.91
6,391.62
2,775.14
4,614.97
24,876.84
15,135.97
16,482.67
1,706.69
781.59
1,110.54
2,524.13
918.43
2007
4,834,76
1,755.81
3,020.65
5.201.11
32,559.73
15.568.14
17.687.96
1,957.65
941.96
1,138.41
499.40
1,076.76
Dari data-data diatas dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kerja yang ada berbanding
lurus dengan kegiatan produksi di daerah yang bersangkutan. Hal ini terlihat bahwa jumlah
tenaga kerja dan pertumbuhannya terbesar terkonsentrasi di wilayah Jawa, terutama di
wilayah Jawa Barat, Tengah dan Timur. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh data PDRB
daerah, didukung dengan kondisi industri yang sudah mapan di daerah tersebut.
Tabel 11. Hasil Perhitungan ILOR di Daerah Penelitian
No
Propinsi
2004
2005
1 Sumatera Utara
1,27
1,08
2 Riau
1.03
0,95
3 Sumatera Selatan
1,73
1,47
4 Banten
1,84
1,74
5 Jawa Barat
2,54
2,40
6 Jawa Tengah
2,47
2,34
7 Jawa Timur
1,58
1,30
8 Kalimantan Barat
2,63
1,74
9 Kalimantan Tengah
1,33
1,17
10 Kalimantan Timur
0,68
0,66
11 Sulawesi Selatan
1,43
1,24
12 Sulawesi Tengah
1,54
1,33
Sumber: Hasil pengolahan dari data BPS berbagai daerah
ILOR
2006
1,06
0,55
1,27
1,68
2,33
2,14
1,25
1,76
1,16
0,37
1.17
1,23
2007
0,89
0,43
1,17
1,62
2,23
2,04
1,19
1,59
1,15
0,43
1,12
1,15
Berdasarkan data tenaga kerja, dengan menghitung ILOR dari masing-masing daerah
penelitian dan tingkat PDRB, maka dampak positif yang dihasilkan oleh pembentukan KEK
akan lebih banyak dirasakan oleh wilayah di Pulau Jawa dikarenakan memiliki struktur
industri yang sudah mapan. Meskipun demikian, terdapat peluang yang besar bagi daerah24
daerah lain untuk dikembangkan menjadi KEK. Berdasarkan penghitungan, daerah lain
seperti Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan memiliki potensi yang tidak kalah besar dengan
daerah-daerah di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mempertimbangkan potensi
pengembangan KEK di daerah tersebut, disamping potensi lain seperti peningkatan
pertumbuhan ekonomi daerah, sesuai dengan hasil penghitungan ICOR.
Berdasarkan hasil perhitungan potensi ekonomi dengan menggunakan ICOR, ILOR dan
LQ bahwa dari 12 (dua belas) daerah pengusul KEK, daerah yang memiliki potensi ekonomi
untuk dikembangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus adalah Banten dan Jawa Barat.
Hasil perhitungan potensi ekonomi menggunakan ICOR, ILOR dan LQ menunjukkan kedua
daerah tersebut relatif lebih baik dibandingkan daerah pengusul lainnya. Namun demikian,
hal ini harus didukung oleh hal-hal sebagai berikut: 1) pembentukan landasan hukum sebagai
kepastian berinvestasi di daerah, 2) pengembangan infrastruktur yang telah ada, agar lebih
terintegrasi, 3) peningkatan dukungan logistik terutama pergudangan bagi pengembangan
kegiatan ekonomi di dalam kawasan, 4) percepatan pembentukan pelayanan terpadu satu
pintu guna memberikan keudahan untuk perizinan usaha, ketenagakerjaan dan imigrasi.
POTENSI DAMPAK PEMBENTUKAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS
Daerah terlihat sangat antusias untuk membentuk kawasan ekonomi khusus. Sampai
saat ini saja terdapat dua belas daerah yang mengajukan diri, dan masing-masing daerah
memiliki justifikasi yang kuat untuk mengusulkan daerah masing-masing. KEK diyakini
mampu memacu laju pertumbuhan ekonomi daerah yang didorong oleh kegiatan liberalisasi
perdagangan dan investasi, terciptanya kesempatan kerja baru sehingga dapat mengurangi
pengangguran, meningkatnya daya beli dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pembentukan KEK tidak hanya memberikan manfaat, akan tetapi daerah juga
perlu mengantisipasi kemungkinan terjadinya dampak negatif dari adanya KEK.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada sub bab sebelumnya, maka secara
keseluruhan dampak dari pembentukan KEK dapat dilihat pada gambar-gambar di bawah ini.
25
Kontribusi
Nasional
Peningkatan ekspor,
ketenagakerjaan
Pembangunan Regional
Kontribusi Penciptaan Lap. Kerja,
Peningkatan Pendapatan
Pembangunan Industri Pendukung
Tingkat Sektoral:
kontribusi signifikan kepada transfer teknologi,
Perkembangan Kewirausahaan/Industri Lokal : Industri
Pendukung KEK
26
Transfer
Teknologi
KEK akan bekerja dengan baik bilamana ditopang oleh kestabilan ekonomi makro,
lokasi geografis yang strategis, terutama terkait dengan pasar ekspor, skema insentif yang
kompetitif, manajemen kawasan yang efektif dan efisien, jaringan infrastruktur yang
berkualitas, keterkaitan yang erat dengan perekonomian domestik dan peningkatan
kemampuan teknologi. Dalam tataran makro ekonomi kegagalan pembentukan KEK dapat
dilihat dari relatif kecilnya sumbangan devisa yang diperoleh dari kegiatan ekspor impor. Hal
yang juga penting yaitu bilamana pembentukan KEK tidak mampu untuk meningkatkan nilai
tambah industri dan membangun keterkaitan kedepan dan kebelakang (backward and
forward linkages) dengan industri domestik khususnya skala menengah dan kecil termasuk
koperasi. Dengan demikian biaya yang telah dikorbankan seperti insentif pajak, bea masuk
dan pembangunan infrastruktur menjadi sia-sia sebagaimana telah terjadi selama ini dengan
pembangunan kawasan ekonomi seperti KAPET dan kawasan industri di berbagai daerah.
Dalam konteks daerah, kegagalan KEK akan berdampak pada terjadinya ketidakstabilan
perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari arus migrasi penduduk yang tinggi ke lokasi KEK
melebihi kapasitas pertumbuhan sektor industri yang akan menambah permasalahan baru
terutama dari sisi bertambahnya angka pengangguran, semakin tingginya kesenjangan
pendapatan dan akan memperbesar permasalahan sosial yang dihadapi oleh suatu daerah. Jika
lebih diperinci dampak negatif atau biaya-biaya yang harus dikeluarkan akibat pembentukan
KEK terdiri dari biaya yang dapat dihitung dan biaya yang tidak dapat dihitung. Biaya
27
pengembangan KEK adalah biaya yang dapat dihitung, sementara biaya-biaya sosial atau
kesejahteraan akibat pengembangan KEK adalah biaya yang tidak dapat dihitung. Contoh
biaya pengembangan KEK adalah:
1) Biaya Pembangunan KEK: Dana Awal membutuhkan dukungan pemerintah,
2) Kemungkinan Kehilangan Pendapatan (Pajak dan insentif lainnya), dan
3) Biaya Operasional KEK.
Sementara contoh biaya kesejahteraan atau biaya sosial akibat pengembangan KEK adalah:
1) Transfer sumber daya dari wilayah di dalam negeri ke KEK tanpa nilai tambah bagi
kegiatan ekonomi (relokasi dan efek substitusi),
2) Akuisisi lahan tanpa penggantian yang sesuai (masalah sosial),
3) Hilangnya lahan pertanian,
4) Penyalahgunaan lahan untuk permukiman, dan
5) Kemungkinan disparitas ekonomi regional (terasa dalam jangka panjang, oleh karena
itu KEK harus menjamin pengembangan industri sekitar).
Implementasi pembentukan KEK pada dasarnya juga sangat ditentukan oleh kesiapan
daerah dari sisi kemampuan untuk menjalankan pemerintahan yaang baik (good governance)
dengan dukungan kelembagaan yang handal. Kriteria ini sangat penting dalam menyeleksi
kesiapan daerah. Prinsip pengelolaan KEK harus dilakukan dengan orientasi bisnis dan
manajemen yang handal.
Di Negara China dan Korea, produksi KEK umumnya industri manufaktur (termasuk
repackaging), namun usulan pengembangan KEK di berbagai daerah justru lebih banyak
mengandalkan sektor pertanian. KEK untuk pengolahan sektor pertanian adalah sesuatu yang
tidak biasa. Jika KEK Indonesia ingin melakukan terobosan dengan sektor pertanian,
beberapa pertanyaan harus dijawab antara lain adalah:
1) Komoditas spesifik seperti apa yang ada pada daerah lokasi KEK?
2) Investor dari mana yang kemungkinan akan berminat untuk berinvestasi di lokasi
KEK tersebut? dan
3) Jika substansi yang penting adalah agar investor bisa mengolah produksi hasil
pertanian dan pemerintah pusat memperoleh devisa dan penyerapan tenaga kerja di
daerah, mengapa harus dengan skema KEK? Apakah tujuan tersebut bisa dicapai
dengan menggunakan model selain KEK?
Perlu dicermati bahwa kunci penting keberlanjutan KEK yang akan ditetapkan adalah
perencanaan yang tersistem dan konsisten. Perencanaan ini juga mencakup adanya blue print
pemerintah daerah, skema pembiayaan, dan penjelasan mengenai upaya-upaya untuk
28
mencapai scale of economies produksi. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah
keinginan berbagai pihak untuk menjadikan pelabuhan tertentu menjadi pelabuhan hub
seringkali tidak memperhatikan economies of scale sehingga lebih merupakan suatu wishful
thinking.
Berdasarkan hasil analisis, konsep pembentukan KEK yang lebih realistik adalah:
-
Upaya pembangunan daerah untuk meningkatkan ekspor tidak selalu harus melalui
mekanisme KEK karena KEK punya ciri khusus yang khas.
KEK pengolahan hasil pertanian adalah sesuatu yang masih diuji keberhasilannya, oleh
karena itu harus dijelaskan secara lebih spesifik. Terutama apakah bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang telah disebutkan diatas.
Waspadai biaya pembangunan KEK melalui dana pemerintah pusat dan daerah yang lebih
besar dari manfaat yang bisa diperoleh (dalam kurun waktu tertentu).
Untuk mendapatkan semua manfaat KEK, pemerintah harus memperhatikan beberapa
hal yang menjadi tantangan/hambatan institusi. Beberapa tantangan atau hambatan tersebut
adalah:
1. Seringkali kebijakan pemerintah pusat dalam kebijakan ekspor tidak selaras dengan
kebijakan pemerintah daerah. Untuk mengatasi hal ini diperlukan sosialisasi yang terusmenerus dan berkesinambungan.
2. Domain pemerintah pusat akan lebih besar karena peranan imigrasi, bea cukai, aspek
pertahanan keamanan, dan lain-lain. Untuk itu perlu lebih diperjelas apa insentif yang
bisa diperoleh daerah sehingga memberi motivasi bagi daerah untuk serius
mengembangkan KEK.
3. Perlu dicermati bahwa berbagai kelemahan terhadap kekurangberhasilan atas kawasan
khusus yang selama ini telah ada.
Berdasarkan pengalaman pengembangan KEK di beberapa negara dan perkembangan
pembahasan KEK di Indonesia,
infrastruktur yang terintegrasi dan pemberian insentif fiskal kepada dunia usaha. Kendala
yang harus ditangani adalah usaha untuk mematangkan Undang-Undang KEK, termasuk
aspek sistem insentif di daerah. Kendala utama yang menyebabkan kurang optimalnya
pengembangan wilayah strategis untuk mendukung terciptanya KEK adalah:
1. Kurang optimalnya pemahaman sumber daya manusia, baik pemerintah daerah maupun
masyarakat pelaku pengembangan kawasan, dalam mengembangkan wilayah-wilayah
strategis dan cepat tumbuh, serta mengembangkan keterkaitan antara kawasan pusat
pertumbuhan dengan kawasan tertinggal;
29
KEK, dapat diketahui bahwa wilayah Banten dan Jawa Barat memiliki potensi dampak
ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Hal ini dapat dilihat dari
ketersediaan infrastruktur, keberadaan industri pendukung, efektifitas pembentukan modal
dan tenaga kerja terhadap output.
Dampak positif yang dapat diharapkan dengan adanya Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) adalah adanya peningkatan ekspor, peningkatan penanaman modal asing,
pertumbuhan industri, diversifikasi produksi, penciptaan lapangan kerja, dan meningkatnya
kualitas SDM melalui peningkatan keahlian dan transfer teknologi. Sementara dampak
30
negatif pembentukan KEK terdiri dari biaya-biaya yang bisa dihitung seperti biaya
pembangunan KEK, kemungkinan kehilangan pendapatan dari pajak dan insentif, dan biaya
operasional dan biaya sosial yang tidak bisa dihitung yaitu transfer sumber daya, akuisisi
lahan, hilangnya lahan pertanian dan kemungkinan terjadinya disparitas ekonomi regional.
Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan
kurang optimalnya pengembangan KEK yaitu:
-
Belum tertatanya sistem kelembagaan dan manajemen yang baik untuk pengelolaan
pengembangan kawasan yang terpadu.
Koordinasi dan kerjasama lintas sektor dan lintas pelaku yang belum optimal.
Kajian ini memberikan rekomendasi untuk menyesusuaikan potensi daerah pengusul
REFERENSI
Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2007. Profil Potensi Investasi Banten,.
Badan Pusat Statistik Propinsi Banten. 2002. ICOR (Incremental Capital Output Ratio)
Propinsi Banten 2002,.
Dinas Perindag Kota Batam. 2007. Kawasan Industri Kota Batam Informasi Perusahaan
Dalam Kawasan Industri Batam.
Direktorat Kawasan Khusus Dan Daerah Tertinggal, Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan
Nasional/Bappenas.
2007.
Analisis
Implementasi
Kebijakan
31
Ekonomi
Terpadu
di
Kawasan
Timur
Indonesia.
http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-2639-
32