You are on page 1of 33

BAB 1

PENDAHULUAN
Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi) adalah tekanan yang diakibatkan dari aliran darah
yang dipompa oleh jantung, mengalir cepat sehingga menekan dan merusak dinding arteri pada
pembuluh darah. Seseorang dikatakan memiliki hipertensi jika pada pemeriksaan, tekanan darah
diatas 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg diastolik yang biasa ditulis 140/90 mmHg. Kelebihan
berat badan, sensitifitas garam, konsumsi alkohol, kebiasaan hidup tidak sehat dan faktor
keturunan adalah beberapa faktor penyebab munculnya masalah hipertensi.
Ada banyak kasus dimana wanita hamil dengan hipertensi mampu menjaga kehamilan
sampai dengan kelahiran dengan selamat. Dengan bantuan medis selama kehamilan, komplikasi
selama kehamilan dapat dicegah. Bagaimanapun juga, hipertensi selama kehamilan selalu
dibutuhkan perhatian khusus.
Wanita hamil yang menderita hipertensi dimulai sebelum hamil, memiliki kemungkinan
komplikasi pada kehamilannya lebih besar dibandingkan dengan wanita hamil yang menderita
hipertensi ketika sudah hamil. Karena beberapa wanita hamil memiliki kemungkinan menderita
hipertensi selama kehamilan karena beberapa faktor.
Banyak akibat yang bisa ditimbulkan oleh hipertensi. Resiko terbesar hipertensi pada
wanita hamil adalah kerusakan pada ginjal. Pada kasus yang lebih serius, ibu bisa menderita
preeclampsia atau keracunan pada kehamilan, yang akan sangat membahayakan baik baik ibu
maupun bagi janin. Selain itu hipertensi bisa menyebabkan kerusakan pembuluh darah, stroke,
dan gagal jantung di kemudian hari. Karena ini di makalah ini akan dibahas lebih dalam
mengenai hipertensi dalam kehamilan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

DEFINISI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 140
mmHg atau tekanan darah diastolik 90 mmHg.1

B.

PATOFISIOLOGI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


Banyak teori yang telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan tetapi tidak ada satupun teori tersebut yangdianggap benar-benar mutlak,
beberapa teori yang banyak dianut, yaitu :
1. Invasi Trofoblastik Abnormal
Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling yang
luas ketika diinvasi oleh trofoblas endovaskular. Akan tetapi, pada preeklamsi
terdapat invasi trofoblastik yang tidak lengkap. Pada kasus ini, pembuluh darah
decidua, tetapi bukan pembuluh darah myometrial, menjadi sejajar dengan
trofoblas endovaskular. Madazli dan kawan-kawan (2000) membuktikan bahwa
besarnya defek invasi trofoblastik terhadap arteri spiralis berhubungan dengan
beratnya hipertensi.2
Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf dan kawan-kawan
(1980) meneliti pembuluh darah yang diambil dari tempat implantasi plasenta
pada uterus. Mereka memperhatikan bahwa perubahan pada preeklampsia awal
meliputi kerusakan endotelial, perembesan isi plasma pada dinding arteri,
proliferasi sel miointimal, dan nekrosis tunika media. Mereka menemukan bahwa
lipid mengumpul pertama kali pada sel-sel myointimal dan kemudian pada
makrofag akan membentuk atherosis. Obstruksi lumen arteriol spiral oleh
atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta. Perubahan-perubahan ini
2

dianggap menyebabkan perfusi plasenta menjadi berkurang secara patologis, yang


pada akhirnya menyebabkan hipertensi pada kehamilan. 2

Gambar 1. Implantasi plasenta normal

Gambar 2. Atherosis
3

2. Faktor imunologis
Karena preeklamsi terjadi paling sering pada kehamilan pertama, terdapat
spekulasi bahwa terjadi reaksi imun terhadap antigen paternal sehingga
menyebabkan kelainan ini. 2
Hanya ada sedikit data yang mendukung keberadaan teori bahwa preeklamsi
adalah proses yang dimediasi sistem imun. Perubahan adaptasi pada sistem imun
dalam patofisiologi preeklamsia dimulai pada awal trimester kedua. Wanita yang
cenderung mengalami preeklamsi memiliki jumlah T helper cells (Th1) yang lebih
sedikit dibandingkan dengan wanita yang normotensif. Ketidakseimbangan ini
terjadi karena terdapat dominasi Th2 yang dimediasi oleh adenosin. Limfosit T
helper ini mengeluarkan sitokin spesifik yang memicu implantasi dan kerusakan
pada proses ini dapat menyebabkan hipertensi pada kehamilan. 2
3. Vaskulopati dan Perubahan Inflamasi
Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat dari respon dari
plasenta karena terjadi iskemik sehingga akan menimbulkan urutan proses
tertentu. Desidua juga memiliki sel-sel yang bila diaktivasi maka akan
mengeluarkan

agen

noxious. Agen

ini

dapat

menjadi

mediator

yang

mengakibatkan kerusakan sel endotel. Sitokin tertentu seperti tumor necrosis


factor- (TNF-) dan interleukin memiliki kontribusi terhadap stres oksidatif
yang berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan. Stres oksidatif ditandai
dengan adanya oksigen reaktif dan radikal bebas yang akan menyebabkan
pembentukan lipid peroksida. Hal ini akan menghasilkan toksin radikal yang
merusak sel-sel endotel, memodifikasi produksi Nitric Oxide, dan mengganggu
keseimbangan prostaglandin. Fenomena lain yang ditimbulkan oleh stres oksidatif
meliputi pembentukan sel-sel busa pada atherosis, aktivasi koagulasi intravaskular
(trombositopeni), dan peningkatan permeabilitas (edema dan proteinuria). 2

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi akibat kehamilan.


4. Faktor nutrisi
Tekanan darah pada individu-individu yang tidak hamil dipengaruhi oleh
sejumlah pengaruh makanan, termasuk mineral dan vitamin. Beberapa studi telah
membuktikan hubungan antara kekurangan makanan dan insidensi terjadinya
preeklamsi. Hal ini telah didahului oleh studi-studi tentang suplementasi dengan
berbagai unsur seperti zinc, kalsium, dan magnesium yang dapat mencegah
preeklamsi. Diet tinggi buah dan sayuran yang memiliki efek antioxidant juga
berhubungan dengan tekanan darah yang menurun. 2

5. Faktor genetik
Predisposisi herediter terhadap hipertensi tidak diragukan lagi berhubungan
dengan preeklamsi dan tendensi untuk terjadinya preeklamsi juga diturunkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Kilpatrick dan kawan-kawan menunjukkan adanya
hubungan antara antigen histokompatibilitas HLA-DR4 dengan hipertensi
proteinuria. Menurut Hoff dan kawan-kawan, respon imun humoral maternal yang
melawan antibodi imunoglobulin fetal anti HLA-DR dapat menimbulkan
hipertensi gestasional. 2

C.

FAKTOR RESIKO
Faktor risiko pada hipertensi dalam kehamilan dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1.

2.

Faktor risiko maternal :


-

Kehamilan pertama karena terpapar vili korialis untuk pertama kalinya

Usia < 18 tahun atau > 35 tahun

Riwayat hipertensi pada kehamilan sebelumnya

Riwayat hipertensi pada kehamilan dalam keluarga

Ras kulit hitam

Obesitas (BMI 30)

Interval antar kehamilan < 2 tahun atau > 10 tahun. 3

Faktor risiko medikal maternal :


-

Hipertensi kronis, khusunya sebab sekunder hipertensi kronis seperti


hiperkortisolisme, hiperaldosteronisme, faeokromositoma, dan stenosis arteri
renalis

Diabetes yang sedang diderita (tipe 1 atau 2), khususnya dengan komplikasi
mikrovaskular

Penyakit ginjal

Systemic Lupus Erythematosus

Obesitas

Trombofilia
6

D.

Riwayat migraine

Pengguna anti depresan selective serotonin uptake inhibitor > trimester I. 3

3.

Faktor risiko plasental atau fetal :

Kehamilan multipel karena terpapar vili korialis yang berlimpah

Hidrops fetalis

Penyakit trofoblastik gestasional

Triploidi. 3

KLASIFIKASI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN


1. Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita hamil dengan tekanan darah
mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama kehamilan
tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi gestasional disebut juga transient
hypertension jika preeklampsia tidak berkembang dan tekanan darah telah kembali
normal pada 12 minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi
selama setengah kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin,
walaupun proteinuria tidak pernah ditemukan. Dengan demikian, jelas bahwa
apabila tekanan darah mulai naik, ibu dan janin menghadapi risiko yang meningkat.
Proteinuria adalah suatu tanda dari penyakit hipertensi yang memburuk, terutama
preeklampsia. Proteinuria yang nyata dan terus-menerus meningkatkan risiko ibu
dan janin. 5
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :
-

TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.

Tidak ada proteinuria.

TD kembali normal < 12 minggu postpartum.

Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri


epigastrium atau trombositopenia.

2. Preeklamsi
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia. Proteinuria yaitu protein
dalam urin 24 jam melebihi 300 mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak
menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria dapat
berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada kasus yang
berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak membuktikan adanya
proteinuria yang berarti. 5
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah
hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal
dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian
diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara terus-menerus gejala
eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian
tersebut. 5
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat
nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul Glissoni.
Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang
tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan. 5
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk, dan
hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis
mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya
hemolisis yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau
hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang berat. 5
Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi
jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang
nyata. 5
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
8

TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.

Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi :


-

TD 160/110 mmHg.

Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.

Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.

Trombosit <100.000/mm

Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).

peningkatan ALT atau AST.

Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.

Nyeri epigastrium persisten.


Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang.

Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar kemungkinan


harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan berat
dapat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang
dengan cepat menjadi berat. 5
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis
preeklampsia, tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat
keparahan hipertensi dalam kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda
mungkin terdapat proteinuria +3 dan kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg,
sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan darah mencapai 180/120 mmHg
tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang cepat dan diikuti dengan
kejang biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau gangguan visual. 5
Abnormalitas

< 100 mmHg

110 mmHg

Tekanan darah diastolik

Trace - 1+

Persisten 2+

Proteinuria

Tidak ada

Ada

Sakit kepala

Tidak ada

Ada

Nyeri perut bagian atas

Tidak ada

Ada

Oliguria

Tidak ada

Ada
9

Kejang (eklamsi)

Tidak ada

Ada

Serum Kreatinin

Normal

Meningkat

Trombositopeni

Tidak ada

Ada

Peningkatan enzim hati

Minimal

Nyata

Hambatan pertumbuhan janin

Tidak ada

Nyata

Oedem paru

Tidak ada

Ada

Tabel 1. Gejala Beratnya Hipertensi Selama Kehamilan


3. Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat
dihubungkan dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara general
dan dapat terlihat sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada sekitar 10%
wanita eklamsi, terutama nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah
postpartum. Setelah perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum
dan intrapartum sekarang dapat dicegah. 5
4.

Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
-

Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada
sebelum kehamilan 20 minggu.

Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit


<100.000/mm3 pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu.

5.

Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
-

Hipertensi ( 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.


10

Hipertensi ( 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada


penyakit trofoblastik.

Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.


Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil
tidak mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus,
hipertensi kronis didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada
beberapa wanita hamil, tekanan darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20
minggu mungkin merupakan tanda awal terjadinya preeklamsi. 5
Sedangkan klasifikasi hipertensi kronis berdasarkan JNC VII dapat dilihat
pada tabel 2. 6
Klasifikasi

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

Normal

< 120

< 80

Pre hipertensi

120 139

80 89

Hipertensi stadium I

140 159

90 99

Hipertensi stadium II

160

100

Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi Kronis


Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat
meningkat sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai
oleh proteinuria, maka preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis.
Preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis ini sering berkembang lebih awal pada
kehamilan daripada preeklamsi murni, dan hal ini cenderung akan menjadi lebih
berat dan sering menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan janin. 6
G.

PENATALAKSANAAN
1. Penanganan pra-kehamilan
Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi tekanan
darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder yang
mungkin, kerusakan target organ, dan rencana strategis penatalaksanaannya. Kebanyakan
11

wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan harus menjalani skrining


adanya faeokromositoma karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila
keadaan ini tidak terdiagnosa pada ante partum. 6
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir trimester
untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah yang tinggi
(140/90 mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk menentukan
beratnya hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara
ketat bahkan dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang
ringan dapat menjalani rawat jalan. 6
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting diketahui
mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui aman digunakan
selama kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan
dilanjutkan sebelum terjadinya konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi. 6
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat,
terutama apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau munculnya
proteinuria. Evaluasi secara sistematis meliputi :
-

Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti sakit
kepala, pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat badan secara
cepat.

Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya.

Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.

Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat
pertengahan tengah malam dengan pagi hari.

Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati, frekuensi
pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.

Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan dengan
menggunakan ultrasonografi.
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang

berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian sedatif.
12

Diet harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam
tidak diperlukan asal tidak berlebihan. 6
2. Penatalaksanaan hipertensi kronis selama kehamilan
Kebanyakan pasien dengan hipertensi kronis mempunyai hipertensi esensial.
Peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien ini adalah secara primer
berhubungan dengan terjadinya preeklamsi superimposed dan solusio plasenta.
Hipertensi akibat sekunder terhadap penyakit ginjal, faeokromositoma, penyakit
endokrin, dan koarktasio aorta tidak umum dalam kehamilan. Faktor-faktor yang
menempatkan pasien pada risiko tinggi untuk terjadinya preeklamsi superimposed adalah
umur ibu lebih dari 40 tahun, hipertensi lebih dari 15 tahun, tekanan darah > 160/110
mmHg pada awal kehamilan, diabetes klas B-F, kardiomiopati, dan penyakit ginjal atau
autoimun. 7
Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk
funduskopi. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan meliputi urinalisis dan
kultur urin, penampungan urin 24 jam untuk mengetahui total ekskresi protein dan klirens
kreatinin, dan pemeriksaan elektrolit. Beberapa pasien mungkin memerlukan
pemeriksaan EKG, rontgen thorax, tes antibodi antifosfolipid, antibodi antinuklear, dan
katekolamin urine. 7
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi
kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup
karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal.
Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu
hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan
aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran darah
plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia dan penurunan berat
badan seharusnya tidak dicoba bahkan pada wanita hamil yang obese. Walaupun data
pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam
sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus dihentikan. 7

13

Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28 minggu dan
kemudian setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap kunjungan, tekanan darah
sitolik dan diastolik harus dicatat dan dilakukan tes urin untuk mengetahui adanya
glukosa atau protein. Evalusai tambahan dilakukan tergantung dari beratnya penyakit,
seperti pengukuran hematokrit, serum kreatinin, asam urat, klirens kreatinin, dan ekskresi
protein 24 jam. Hospitalisasi diindikasikan apabila hipertensi memburuk, terjadi
proteinuria yang signifikan, dan peningkatan asam urat. Peningkatan asam urat > 6
mg/dL seringkali merupakan tanda awal preeklamsi superimposed. 7
Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita hipertensi kronis
bervariasi pada beberapa pusat kesehatan. Beberapa klinisi lebih suka menghentikan
medikasi anti hipertensi ketika menjalankan observasi ketat, termasuk penggunaan
monitor tekanan darah di rumah. Pendekatan ini menggambarkan perhatian terhadap
keamanan terapi obat anti hipertensi dalam kehamilan. 7
Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target organ atau yang
lebih dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi untuk mengontrol tekanan
darahnya, medikasi anti hipertensi harus dilanjutkan untuk mengontrol tekanan darahnya.
Pada semua kasus, terapi harus dijalankan ketika tekanan darah mencapai 150-160
mmHg sistolik atau 100-110 mmHg diastolik untuk mencegah peningkatan tekanan darah
pada tingkat yang sangat tinggi pada kehamilan. Akan tetapi ada beberapa pendapat yang
merekomendasikan pemberian obat anti hipertensi saat tekanan darah mencapai
180/110 mmHg. Penatalaksanaan yang agresif pada hipertensi kronis yang berat pada
trimester pertama sangat penting, mengingat kematian janin mencapai 50% dan angka
kematian maternal yang signifikan telah banyak dilaporkan. Kebanyakan prognosis
paling buruk berhubungan dengan superimposed preeklamsi. Lebih jauh lagi, wanita
dengan hipertensi kronis mempunyai faktor risiko lebih tinggi dalam memperburuk
prognosis neonatal jika proteinuria didapatkan pada awal kehamilan. 7
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan
sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan
obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti hipertensi yang
umum digunakan dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan
14

efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi
apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan perdebatan.
Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi
diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau
tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti
hipertensi pada hipertensi kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya
penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini
pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi
(menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat
digunakan. 7
3. Penatalaksanaan preeklamsi
Diagnosis dini, supervisi medikal yang ketat, waktu persalinan merupakan
persyaratan yang mutlak dalam penatalaksanaan preeklamsi. Persalinan merupakan
pengobatan yang utama. Setelah diagnosis ditegakkan, penatalaksanaan selanjutnya harus
berdasarkan evaluasi awal terhadap kesejahteraan ibu dan janin. Berdasarkan hal ini,
keputusan dalam penatalaksanaan dapat ditegakkan, yaitu apakah hospitalisasi,
ekspektatif atau terminasi kehamilan serta harus memperhitungkan beratnya penyakit,
keadaan ibu dan janin, dan usia kehamilan. Tujuan utama pengambilan strategi
penatalaksanaan adalah keselamatan ibu dan kelahiran janin hidup yang tidak
memerlukan perawatan neonatal lebih lanjut dan lama. 8
Penatalaksanaa pada preeklamsi dibagi berdasarkan beratnya preeklamsi, yaitu :
-

Preeklamsi ringan
Pada preeklamsi ringan, observasi ketat harus dilakukan untuk mengawasi
perjalanan penyakit karena penyakit ini dapat memburuk sewaktu-waktu. Adanya
gejala seperti sakit kepala, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan dan proteinuri
meningkatkan risiko terjadinya eklamsi dan solusio plasenta. Pasien-pasien dengan
gejala seperti ini memerlukan observasi ketat yang dilakukan di rumah sakit. Pasien
harus diobservasi tekanan darahnya setiap 4 jam, pemeriksaan klirens kreatinin dan
protein total seminggu 2 kali, tes fungsi hati, asam urat, elektrolit, dan serum albumin
15

setiap minggu. Pada pasien preeklamsi berat, pemeriksaan fungsi pembekuan seperti
protrombin time, partial tromboplastin time, fibrinogen, dan hitung trombosit.
Perkiraan berat badan janin diperoleh melalui USG saat masuk rumah sakit dan setiap
2 minggu. Perawatan jalan dipertimbangkan bila ketaatan pasien baik, hipertensi
ringan, dan keadaan janin baik. Penatalaksanaan terhadap ibu meliputi observasi ketat
tekanan darah, berat badan, ekskresi protein pada urin 24 jam, dan hitung trombosit
begitu pula keadaan janin (pemeriksaan denyut jantung janin 2x seminggu). Sebagai
tambahan, ibu harus diberitahu mengenai gejala pemburukan penyakit, seperti nyeri
kepala, nyeri epigastrium, dan gangguan penglihatan. Bila ada tanda-tanda progresi
penyakit, hospitalisasi diperlukan. Pasien yang dirawat di rumah sakit dibuat
senyaman mungkin. Ada persetujuan umum tentang induksi persalinan pada
preeklamsi ringan dan keadaan servik yang matang (skor Bishop >6) untuk
menghindari komplikasi maternal dan janin. Akan tetapi ada pula yang tidak
menganjurkan penatalaksanaan preeklamsi ringan pada kehamilan muda. Saat ini tidak
ada ketentuan mengenai tirah baring, hospitalisasi yang lama, penggunaan obat anti
hipertensi dan profilaksis anti konvulsan. Tirah baring umumnya direkomendasikan
terhadap preeklamsi ringan. Keuntungan dari tirah baring adalah mengurangi edema,
peningkatan pertumbuhan janin, pencegahan ke arah preeklamsi berat, dan
meningkatkan outcome janin. Medikasi anti hipertensi tidak diperlukan kecuali
tekanan darah melonjak dan usia kehamilan 30 minggu atau kurang. Pemakaian sedatif
dahulu digunakan, tatapi sekarang tidak dipakai lagi karena mempengaruhi denyut
jantung istirahat janin dan karena salah satunya yaitu fenobarbital mengganggu faktor
pembekuan yang tergantung vitamin K dalam janin. Sebanyak 3 penelitian acak
menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan tirah baring baik di rumah maupun di
rumah sakit walaupun tirah baring di rumah menurunkan lamanya waktu di rumah
sakit. Sebuah penelitian menyatakan adanya progresi penyakit ke arah eklamsi dan
persalinan prematur pada pasien yang tirah baring di rumah. Namun, tidak ada
penelitian yang mengevaluasi eklamsi, solusio plasenta, dan kematian janin. Pada 10
penelitian acak yang mengevaluasi pengobatan pada wanita dengan preeklamsi ringan
menunjukkan bahwa efek pengobatan terhadap lamanya kehamilan, pertumbuhan

16

janin, dan insidensi persalinan preterm bervariasi antar penelitian. Oleh karena itu
tidak terdapat keuntungan yang jelas terhadap pengobatan preeklamsi ringan. 8
Pengamatan terhadap keadaan janin dilakukan seminggu 2 kali dengan NST dan
USG terhadap volume cairan amnion. Hasil NST non reaktif memerlukan konfirmasi
lebih lanjut dengan profil biofisik dan oksitosin challenge test. Amniosentesis untuk
mengetahui rasio lesitin:sfingomielin (L:S ratio) tidak umum dilakukan karena
persalinan awal akibat indikasi ibu, tetapi dapat berguna untuk mengetahui tingkat
kematangan janin. Pemberian kortikosteroid dilakukan untuk mematangkan paru janin
jika persalinan diperkirakan berlangsung 2-7 hari lagi. Jika terdapat pemburukan
penyakit preeklamsi, maka monitor terhadap janin dilakukan secara berkelanjutan
karena adanya bahaya solusio plasenta dan insufisiensi uteroplasenter. 8
-

Preeklamsi berat
Tujuan penatalaksanaan pada preeklamsi berat adalah mencegah konvulsi,
mengontrol tekanan darah maternal, dan menentukan persalinan. Persalinan
merupakan terapi definitif jika preeklamsi berat terjadi di atas 36 minggu atau terdapat
tanda paru janin sudah matang atau terjadi bahaya terhadap janin. Jika terjadi
persalinan sebelum usia kehamilan 36 minggu, ibu dikirim ke rumah sakit besar untuk
mendapatkan NICU yang baik. 8
Pada preeklamsi berat, perjalanan penyakit dapat memburuk dengan progresif
sehingga menyebabkan pemburukan pada ibu dan janin. Oleh karena itu persalinan
segera direkomendasikan tanpa memperhatikan usia kehamilan. Persalinan segera
diindikasikan bila terdapat gejala impending eklamsi, disfungsi multiorgan, atau gawat
janin atau ketika preeklamsi terjadi sesudah usia kehamilan 34 minggu. Pada
kehamilan muda, bagaimana pun juga, penundaan terminasi kehamilan dengan
pengawasan ketat dilakukan untuk meningkatkan keselamatan neonatal dan
menurunkan morbiditas neonatal jangka pendek dan jangka panjang. 8
Semua wanita dengan usia kehamilan 40 minggu yang menderita preeklamsi
ringan harus memulai persalinan. Pada usia kehamilan 38 minggu, wanita dengan
preeklamsi ringan dan keadaan serviks yang sesuai harus diinduksi. Setiap wanita
17

dengan usia kehamilan 32-34 minggu dengan preeklamsi berat harus dipertimbangkan
persalinan dan janin sebaiknya diberi kortikosteroid. Pada pasien dengan usia
kehamilan 23-32 minggu yang menderita preeklamsi berat, persalinan dapat ditunda
dalam usaha untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Jika usia
kehamilan < 23 minggu, pasien harus diinduksi persalinan untuk terminasi kehamilan.
8

Tujuan obyektif utama penatalaksanaan wanita dengan preeklamsi berat adalah


mencegah terjadinya komplikasi serebral seperti ensefalopati dan perdarahan. Ibu
hamil harus diberikan magnesium sulfat dalam waktu 24 jam setelah diagnosis dibuat.
Tekanan darah dikontrol dengan medikasi dan pemberian kortikosteroid untuk
pematangan paru janin. Batasan terapi biasanya bertumpu pada tekanan diastolik 110
mmHg atau lebih tinggi. Beberapa ahli menganjurkan mulai terapi pada tekanan
diastolik 105 mmHg , sedangkan yang lainnya menggunakan batasan tekanan arteri
rata-rata > 125 mmHg. Tujuan dari terapi adalah menjaga tekanan arteri rata-rata
dibawah 126 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 105 mmHg) dan tekanan diastolik
< 105 mmHg (tetapi tidak lebih rendah dari 90 mmHg). Terapi inisial pilihan pada
wanita dengan preeklamsi berat selama peripartum adalah hidralazin secara IV dosis 5
mg bolus. Dosis tersebut dapat diulangi bila perlu setiap 20 menit sampai total 20 mg.
Bila dengan dosis tersebut hidralazin tidak menghasilkan perbaikan yang diinginkan,
atau jika ibu mengalami efek samping seperti takikardi, sakit kepala, atau mual,
labetalol (20 mg IV) atau nifedipin (10 mg oral) dapat diberikan. Akan tetapi adanya
efek

fetal

distres

terhadap

terapi

dengan

hidralazin,

beberapa

peneliti

merekomendasikan penggunaan obat lain dalam terapi preeklamsi berat. Pada 9


penelitian acak yang membandingkan hidralazin dengan obat lain, hanya satu
penelitian yang menyebutkan efek samping dan kegagalan terapi lebih sering
didapatkan pada hidralazin. 8
Bila ditemukan masalah setelah persalinan dalam mengontrol hipertensi berat dan
jika hidralazin intra vena telah diberikan berulang kali pada awal puerperium, maka
regimen obat lain dapat digunakan. Setelah pengukuran tekanan darah mendekati
normal, maka pemberian hidralazin dihentikan. Jika hipertensi kembali muncul pada
18

wanita post partum, labetalol oral atau diuretik thiazide dapat diberikan selama masih
diperlukan. 8
Pemberian cairan infus dianjurkan ringer laktat sebanyak 60-125 ml perjam
kecuali terdapat kehilangan cairan lewat muntah, diare, diaforesis, atau kehilangan
darah selama persalinan. Oliguri merupakan hal yang biasa terjadi pada preeklamsi
dan

eklamsi

dikarenakan

pembuluh

darah

maternal

mengalami

konstriksi

(vasospasme) sehingga pemberian cairan dapat lebih banyak. Pengontrolan perlu


dilakukan secara rasional karena pada wanita eklamsi telah ada cairan ekstraselular
yang banyak yang tidak terbagi dengan benar antara cairan intravaskular dan
ekstravaskular. Infus dengan cairan yang banyak dapat menambah hebat maldistribusi
cairan tersebut sehingga meninggikan risiko terjadinya edema pulmonal atau edema
otak. 8
Pada masa lalu, anestesi dengan cara epidural dan spinal dihindarkan pada wanita
dengan preeklamsi dan eklamsi. Pertimbangan utama karena adanya hipotensi yang
ditimbulkan akibat blokade simpatis. Ada juga pertimbangan lain yaitu pada keamanan
janin karena blokade simpatis dapat menimbulkan ipotensi dan menurunkan perfusi
plasenta. Ketika teknik analgesi telah mengalami kemajuan beberapa dekade ini,
analgesi epidural digunakan untuk memperbaiki vasospasme dan menurunkan tekanan
darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Selain itu, klinisi yang lebih
menyenangi anestesi epidural menyatakan bahwa pada anestesi umum dapat terjadi
penigkatan tekanan darah tiba-tiba akibat stimulasi oleh intubasi trakea dan dapat
menyebabkan edema pulmonal, edema serebral dan perdarahan intrakranial. Walaupun
anestesi epidural dapat menurunkan tekanan darah, telah dibuktikan bahwa tidak ada
keuntungan signifikan dalam mencegah hipertensi setelah persalinan. Kesimpulan
yang dapat ditarik adalah anestesi epidural aman digunakan selama persalinan pada
wanita dengan hipertensi dalam kehamilan, tetapi bukan merupakan terapi terhadap
hipertensi. 8

Indikasi persalinan pada preeklamsi dibagi menjadi 2, yaitu :


19

Indikasi ibu

Usia kehamilan 38 minggu

Hitung trombosit < 100.000 sel/mm3

Kerusakan progresif fungsi hepar

Kerusakan progresif fungsi ginjal

Suspek solusio plasenta

Nyeri kepala hebat persisten atau gangguan penglihatan

Nyeri epigastrium hebat persisiten, nausea atau muntah


Indikasi janin
- IUGR berat

- Hasil tes kesejahteraan janin yang non reassuring


- Oligohidramnion.
4. Penatalaksanaan eklamsi
Penatalaksanaan pada eklamsi dibagi menjadi :
-

Penatalaksanaan prenatal (kontrol konvulsi dan hipertensi)


Kebanyakan rumah sakit merekomendasikan pemberian antikonvulsan kepada
semua pasien dengan hipertensi dengan atau tanpa proteinuria/edema. Obat yang
digunakan tersebut harus aman bagi ibu dan janin. Pengalaman selama 50 tahun
dengan menggunakan magnesium sulfat membuktikan bahwa obat ini cukup aman.
Obat ini dipergunakan pada preeklamsi berat dan eklamsi. Penggunaan secara
suntikan baik intramuskular intermiten maupun intra vena. Penggunaan secara
intravena merupakan antikonvulsi tanpa menimbulkan depresi susunan saraf pusat
baik pada ibu maupun pada janin. Obat ini dapat pula diberikan secra intravena
dengan infus kontinu. Mengingat persalinan merupakan waktu yang paling sering
untuk terjadinya konvulsi, maka wanita dengan preeklamsi-eklamsi biasanya
diberikan magnesium sulfat selama persalinan dan 24 jam post partum atau 24 jam
setelah onset konvulsi. Perlu diingat bahwa magnesium sulfat bukan merupakan
agen untuk mengatasi hipertensi. 6

20

Magnesium sulfat yang diberikan secara parentral hampir seluruhnya


diekskresikan lewat ginjal. Intoksikasi magnesium sulfat dapat dihindari dengan
memastikan bahwa keluaran urine adekuat, reflek patella positif, dan tidak adanya
depresi pernafasan. Konvulsi eklamsi dan kejadian ulangannya hampir selalu dapat
dicegah dengan mempertahankan kadar magnesium dalam plasma sebesar 47mEq/L (4.8 8.4 mg/dL atau 2.0 3.5 mmol/L). Pemberian infus intravena awal
sebesar 4-6 gram dipakai untuk membuat pemeliharaan tingkat pengobatan yang
tepat dan dilanjutkan dengan injeksi intra muskular 10 gram, diikuti 5 gram setiap 4
jam atau infus kontinu 2-3 gram per jam. Jadwal dosis pemberian seperti ini
diharapkan dapat mempertahankan tingkat plasma efektif sebesar 4-7 mEq/L. 6
Reflek patella akan menghilang bila kadar plasma magnesium mencapai 10
mEq/L (sekitar 12 mg/L), hal ini dikarenakan adanya kerja kurariformis.
Magnesium bebas atau ionized magnesium merupakan bahan yang dapat
menurunkan eksitabilitas neuronal. Tanda ini merupakan peringatan akan adanya
intoksikasi magnesium karena bila pemberian terus dilakukan maka peningkatan
kadar dalam plasma yang lebih lanjut akan menyebabkan depresi pernafasan. Kadar
plasma lebih besar dari 10 mEq/L akan menyebabkan depresi pernafasan, bila kadar
plasma mencapai 12 mEq/L atau lebih, maka akan menyebabkan paralisis
pernafasan dan henti nafas. Intoksikasi magnesium dapat ditangani dengan
pemberian kalsium glukonas sebanyak 1 gram secara intravena. Namun keefektifan
kerja kalsium glukonas sendiri pendek, maka bila terdapat depresi pernafasan,
pemasangan intubasi trakea dan bantuan ventilasi mekanik merupakan tindakan
penyelamatan hidup. Jika laju filtrasi glomerulus menurun maka akan mengganggu
ekskresi magnesium sulfat. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar
plasma magnesium secara periodik. 6
Setelah pemberian 4 gram magnesium secara intravena selama 15 menit, akan
terjadi penurunan sedikit pada MABP dan peningkatan cardiac index sebesar 13%.
Dengan demikian, magnesium menurunkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan
darah arteri rata-rata dan pada saat yang bersamaan meningkatkan cardiac output

21

tanpa depresi miokardium. Hal ini tampak pada pasien berupa mual sementara dan
flushing, efek kardiovaskular ini hanya menetap selama 15 menit. 6
Ion magnesium dalam konsentrasi yang tinggi dapat mendepresi kontraktibilitas
miometrium. Namun dengan menjalani regimen yang telah ditentukan, maka tidak
ada bukti penurunan kontraktibilitas miometrium. Beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa magnesium sulfat tidak mengganggu induksi oleh oksitosin.
Mekanisme magnesium dalam menginhibisi kontraktibilitas miometrium tidak jelas
benar, tetapi diasumsikan tergantung dari efek pada kalsium intraselular. Jalur
reguler kontraksi uterus adalah peningkatan kalsium bebas intraselular yang akan
mengaktivasi rantai ringan miosin kinase. Konsentrasi tinggi magnesium tidak
hanya menginhibisi influk kalsium ke sel-sel miometrium, tetapi juga menyebabkan
kadar kalsium intraselular yang tinggi. Mekanisme penghambatan kontrasi uterus
tergantung dari dosis, yaitu berkisar 8-10 mEq/L. Hal ini menjelaskan mangapa
tidak pernah terjadi hambatan kontrasi uterus ketika magnesium diberikan untuk
terapi dan profilaksis eklamsi dengan menggunakan regimen yang telah ditentukan.
6

Magnesium sulfat tidak menyebabkan depresi pada janin kecuali terjadi


hipermagnesemia berat saat persalinan. Gangguan neonatus setelah terapi dengan
magnesium juga tidak pernah dilaporkan. 6
Magnesium sulfat lebih superior dibandingkan fenitoin dalam mencegah
konvulsi eklamsi. Risiko solusio plasenta juga lebih rendah pada terapi dengan
menggunakan magnesium sulfat. Magnesium juga lebih baik dibandingkan dengan
nimodipine dalam mencegah eklamsi. Namun magnesium sulfat tidak tampak
menghalangi progresi preeklamsi ringan menjadi preeklamsi berat. Oleh karena itu,
magnesium sulfat sudah tidak diberikan lagi pada preeklamsi ringan sejak tahun
1999. 6
Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara infus intra vena kontinu untuk
preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :

22

Berikan 4-6 gram loading dose magnesium sulfat yang diencerkan dalam 100

mL cairan infus sekitar 15-20 menit.


Mulai dengan dosis 2 gram/ hari dalam 100 ml cairan infus pemeliharaan.
Ukur serum magnesium setiap 4-6 jam dan sesuaikan infus untuk menjaga

level plasma 4-7 mEq/L.


Magnesium sulfat tidak dilanjutkan 24 jam setelah persalinan.

Jadwal pemberian dosis magnesium sulfat secara injeksi intra muskular


intermiten untuk preeklamsi berat dan eklamsi yaitu :

Berikan 4 gram magnesium sulfat 20% secara intra vena dengan kecepatan
tidak lebih dari 1 gram/menit.

Dilanjutkan dengan 10 gram magnesium sulfat 50%, 5 gram diinjeksikan pada


masing-masing kuadran atas bokong kanan-kiri dengan menggunakan jarum 3
inchi (tambahkan 1 ml lidocain 2% untuk mengurangi nyeri). Jika konvulsi
teteap terjadi setelah 15 menit, berikan tambahan 2 gram magnesium sulfat
20% secara intra vena dengan kecepatan tidak melebihi 1 gram/menit.

Setiap 4 jam kemudian, beikan 5 gram magnesium sulfat 50% yang


diinjeksikan pada kuadran kanan atas bokong secara bergantian kanan dan kiri.
Hal yang harus diperhatikan : reflek patella, tidak ada depresi pernafasan,
output urine dalam 4 jam lalu mencapai 100 mL.

Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah persalinan.


Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan

utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi
90-100 mmHg. 6
-

Penatalaksanaan Pasca salin


Beberapa bagian terapi tidak perlu dilanjutkan setelah persalinan. Karena 25%

konvulsi sering terjadi postpartum, pasien dengan preeklamsi tetap melanjutkan


magnesium sulfat sampai 24 jam setelah persalinan. Fenobarbital 120 mg/hari
kadang-kadang digunakan pada pasien dengan hipertensi persisten dimana diuresis
spontan postpartum tidak terjadi atau hiperreflek menetap 24 jam pemberian
magnesium sulfat. Bila tekanan diastol tetap konstan diatas 100 mmHg selama 24
23

jam postpartum, beberapa obat anti hipertensi harus diberikan seperti diuretik, Ca
channel blocker, ACE inhibitor, Central alpha agonist, atau beta bloker. Setelah
follow-up 1 minggu, pemberian terapi anti hipertensi dapat dievaluasi kembali. 6
Prioritas utama penatalaksanaan eklamsi adalah mencegah kerusakan maternal
dan menjaga fungsi respirasi dan kardiovaskular. Selama atau segera setalah episode
konvulsi akut, terapi suportif harus diberikan untuk mencegah kerusakan serius
maternal dan aspirasi. Penjagaan jalan nafas dilakukan dengan penyangga lidah yang
dimasukkan

diantara

gigi

dan

diberikan

oksigenisasi

maternal.

Untuk

meminimalisasikan risiko aspirasi, pasien harus berbaring dengan posisi dekubitus


lateral. Muntah dan sekresi oral harus dihisap bila diperlukan. Selama terjadi
konvulsi, hipoventilasi dan asidosis respiratoar sering terjadi. Walaupun konvulsi
pertama hanya berlangsung selama beberapa menit, penting untuk menjaga
oksigenisasi dengan pemberian oksigen lewat face mask dengan atau tanpa reservoir
sebesar 8-10 L/menit. Setelah konvulsi berhenti, pasien mulai bernafas kembali dan
oksigenisasi menjadi masalah lagi. Hipoksemia maternal dan asidosis dapat terjadi
pada pasien yang mengalami konvulsi berulang, pneumonia aspirasi, edema
pulmonal, atau kombinasi faktor-faktor ini. Ada kebijakan untuk menggunakan
transcutaneus pulse oxymetri untuk monitor oksigenasi pada semua pasien eklamsi.
Bila hasil pulse oksimetri abnormal (saturasi oksigen < 92%), maka perlu dilakukan
analisis gas darah. Hal yang selanjutnya diperlukan untuk mencegah terjadinya
konvulsi berulang adalah pemberian magnesium sulfat sesuai regimen yang telah
tersedia di masing-masing rumah sakit. Sekitar 10% wanita eklamsi akan mengalami
konvulsi ke dua setelah menerima magnesium sulfat. Langkah selanjutnya dalam
penanganan eklamsi adalah menurunkan tekanan darah dalam batas aman, tetapi
pada saat yang sama menghindari terjadinya hipotensi. Tujuan objektif dalam terapi
hipertensi berat adalah menghindari kehilangan autoregulasi serebral dan untuk
mencegah gagal jantung kongestif tanpa mengganggu perfusi serebral atau
membahayakan aliran darah uteroplasenter yang sudah tereduksi pada wanita dengan
eklamsi. Ada kebijakan untuk menjaga tekanan sistolik sebesar 140-160 mmHg dan
tekanan diastolik sebesar 90-110 mmHg. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian

24

hidralazin atau labetalol (2040m g IV) setiap 15 menit. Bila diperlukan, nifedipin
10-20 mg oral setiap 30 menit sampai dosis maksimal 50 mg dalam satu jam. 6
Hipoksemia maternal dan hiperkarbia dapat menyebabkan perubahan denyut
jantung janin dan aktivitas rahim selama dan segara setelah konvulsi. Perubahan
denyut jantung janin meliputi bradikardi, deselerasi lambat transien, penurunan beatto-beat variabilitas, dan takikardi kompensasi. Perubahan aktivitas uterus meliputi
peningkatan frekuensi dan tonus. Hal ini biasanya membaik secara spontan dalam 310

menit

setelah

terminasi

konvulsi

dan

koreksi

hipoksemia

maternal.

Bagaimanapun juga, penting untuk tidak melakukan persalinan pada keadaan ibu
yang tidak stabila, bahkan bila terjadi fetal distres. Setelah konvulsi dapat diatasi,
tekanan darah sudah dikoreksi, dan hipoksia sudah diatasi, persalinan dapat dimulai.
Pasien ini tidak perlu buru-buru dilakukan seksio, terutama bila kondisi maternal
tidak stabil. Lebih baik bagi janin untuk bertahan dalam uterus untuk perbaikan
hipoksia dan hiperkarbia akibat konvulsi maternal. Namun, bila bradikardi dan/atau
deselerasi lambat berulang menetap lebih dari 10-15 menit setelah segala usaha
resusitasi, diagnosis solusio plasenta harus ditegakkan.

Adanya eklamsi bukan

indikasi untuk dilakukan seksio. Keputusan untuk mengadakan seksio harus


berdasarkan usia janin, kondisi janin, dan skor bishop. Direkomendasikan untuk
mengadakan seksio pada wanita yang mengalami eklamsi sebelum usia kehamilan
30 minggu yang tidak dalam fase pembukaan dan skor bishop kurang dari 5. Pasien
yang mengalami ruptur membran atau pembukaan diperbolehkan untuk menjalani
persalinan per vaginam bila tidak terdapat komplikasi obstetrik. Anestesi rasa nyeri
maternal selama pembukaan dan persalinan dapat dilakukan dengan anestesi epidural
yang direkomendasikan pada wanita dengan preeklamsi berat. Untuk persalinan
dengan seksio, regional anestesi seperti epidural, spinal, atau teknik kombinasi dapat
dipergunakan. Anestesi regional dikontraindikasikan bila terdapat koagulopati atau
trombositopeni berat (< 50.000 mm3). Pada wanita dengan eklamsi, anestesi umum
meningkatkan risiko aspirasi dan gagal intubasi karena edema jalan nafas dan
peningkatan tekanan darah sistemik (transient reflex hypertension) dan serebral
selama intubasi. 6

25

Setelah persalinan, pasien eklamsi harus diobservasi ketat terhadap tanda vital,
intake-otput cairan, dan gejala selama 48 jam. Wanita ini biasanya menerima cairan
IV yang banyak selama fase pembukaan, persalinan, dan post partum. Sebagai
tambahan, selama post partum terjadi pergeseran cairan ekstraselular sehingga
terjadi peningkatan volume cairan intravaskular. Hasilnya, wanita dengan eklamsi,
terutama dengan gangguan fungsi ginjal, solusio plasenta, hipertensi kronis,
memiliki risiko terjadinya edema pulmonal. Magnesium perenteral harus dilanjutkan
selama 24 jam setelah persalinan dan/atau selama 24 jam setelah konvulsi terakhir.
Jika pasien mengalami oliguria (< 100 mL/4 jam), pemberian infus dan dosis
magnesium sulfat harus dikurangi. Setelah persalinan terjadi, agen anti hipertensi
oral seperti labetalol atau nifedipine dapat digunakan untuk menjaga tekanan sistolik
di bawah 155 mmHg dan tekanan diastolik di bawah 105 mmHg. Rekomendasi
labetalol oral adalah 200 mg setiap 8 jam (dosis max 2400 mg/hari) dan rekomendasi
dosis nifedipine 10 mg oral setiap 6 jam (dosis max 120 mg/hari). 6
Penatalaksanaan cairan dilakukan karena salah satu sebab mortalitas maternal
adalah gangguan kardiorespiratori. Wanita eklamsi, walaupun mungkin hipovolemia,
mengalami overload cairan bila dihitung total cairan dalam tubuhnya. Hal ini terjadi
karena edema yang sering terjadi pada pasien ini. Untuk menghindari komplikasi
iatrogenik pada pasien eklamsi, seperti edema pulmonal, ARDS, dan gagal jantung
kiri, keseimbangan input dan output harus dijaga dengan ketat. Dalam usaha untuk
meningkatkan tekanan osmotik plasma, cairan koloid sering digunakan. Cairan IV
diberikan dengan jumlah 80 ml/jam (1 ml/kgBB/jam) atau output urine jam
sebelumnya ditambah 30 ml. Output urin dimonitor dengan baik bila menggunakan
kateter. Untuk membantu monitor keseimbangan cairan, dapat digunakan Central
Venous Pressure (CVP) kateter, dan dijaga agar tekanan < 5 cmH2O. 6
5. Pilihan obat anti hipertensi
Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah
menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan
keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan
laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan
26

ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat
dalam kandungan. 4
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti
hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika
persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena
keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium
juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian parenteral adalah
praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan untuk tekanan
darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105
mmHg. 4
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :
-

Hidralazine
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat
menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon
simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac
output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin
dimetabolisme oleh hepar.5
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110
mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis
hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang
memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak
terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan
lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina.
Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan
efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi. 4

Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat 1adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena. 4

27

Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok 1 dan non selektif ,


dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah
penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa
labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi
hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian
adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka
diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg,
pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau
tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20
menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak
mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa
labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian
labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan. 4
-

Obat anti hipertensi lain


NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini
menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian
memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan
vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik
minimal.

Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin

merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama


hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian yang dilakukan
oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan
darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin
tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal.
Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan penelitian
lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan. 4
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam
dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti
nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat
menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini
28

dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan.


Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut
penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh
NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau
nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa
efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja
terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam
mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan
obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek
samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan
pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan
darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping
terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena
sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti
hipertensi potensi sedang. 4
-

Metil dopa
Merupakan agonis -adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi
yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini
menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung
dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi
reseptor sentral -2 lewat -metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil
dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat -2 perifer lewat efek
neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi
cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis
awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3
jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam
setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering
dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan
obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini. 4
29

Klonidin
Merupakan agonis -adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1
mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4
mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama
kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi
cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping
adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis
hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang
belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa. 4

Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor 1-adrenergik. Obat ini dapat
menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga
menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa
menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi
glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90%
ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi
menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian,
kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin dapat
menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini
dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan
tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga
sering dikombinasikan dengan beta bloker. 4

Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan
tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi
sodium interselular pada sel otot polos.4

30

Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena
efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut
sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh
karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena
dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping
terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus
khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene
dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko
defek janin. 4
-

Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi
angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah
jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin
vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat
ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril. 4

6. Efek Samping Obat


Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :
-

ACE inhibitor
Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal
pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor
telah dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner, pertumbuhan terhambat,
kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada tulang tengkorak. 6

Diantara golongan penghambat beta, atenolol


Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan
pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol
dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan penelitian, penyebab asal dari
hubungan tersebut tidak jelas karena beberapa obat telah digunakan bersama-

31

sama atau karena ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek
dari patofisiologi ibu atau efek dari obat. 6
-

Diuretika
Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti
hipokalemia,

hiponatremia,

hiperglikemi,

hiperurikemi,

hiperlipid,

dan

penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu pertumbuhan janin. Efek


terhadap janin adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan IUGR. 6
Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :
-

Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI


dan digunakan untuk mensupresi laktasi.

Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma
yang rendah ditemukan pada janin.

Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam
susu ibu daripada plasma ibu.

Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada
ACE inhibitor.

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Krisnadi S, Mose J, Effendi J, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Pedoman Diagnosis dan
terapi Obstetri dan Ginekologi RS dr.Hasan Sadikin, bagian pertama, edisi ke-2, Bandung :
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr.Hasan
Sadikin, 2005 : 60-70
2. Branch

D,

Porter

T, Hypertensive

Disorders

of

Pregnancy, dalam

Danforths

Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-8, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy W, penyunting,


Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 1999: 309-326
3. Gibson P, Carson M, Hypertension and Pregnancy, 30 Juli 2009, diakses tanggal 24 Oktober
2009, dari http : //emedicine.medscape.com/article/261435
4. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive
Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York: McGraw-Hill,
2005 : 761-808
5. National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure, dalam The Seventh Report of the Joint National Committee, NIH
publication, 2004 : 49-52
6. Reynolds C, Mabie W, Sibai B, Hypertensive States of Pregnancy, dalam Current Obstetrics
and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9, New York : McGraw-Hill, 2003: 338353
7. Sibai B, Treatment of Hypertension in Pregnant Women, 25 Juli 1996, diakses tanggal 24
Oktober 2009, dari http : //www.NEJM.org/cgi/content/full
8. Kaplan N, Lieberman E, Hypertension with Pregnancy and the Pill, dalam Kaplans Clinical
hypertension, edisi ke-8, Neal W, penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins,
2002: 404-433

33

You might also like