You are on page 1of 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemasangan Infus


2.1.1. Definisi
Pemberian cairan intravena (infus) adalah memasukan cairan atau obat langsung
ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan
menggunakan infus set (Potter & Perry, 2005). Teknik penusukan vena melalui
transkutan dengan stilet yang kaku, seperti angiokateter atau dengan jarum yang di
sambungkan. Terapi intravena atau yang biasa disebut dengan terapi infus merupakan
metode yang efektif untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi, dan obat melalui
pembuluh darah

atau intravaskular (Mubarak, 2008). Kateterisasi vena adalah

pembuatan jalur vena untuk pemberian cairan, darah atau obat, dan suntikan berulang
(Mansjoer, 2000).
Pemberian cairan intravena adalah pemberian cairan atau darah langsung ke
dalam vena yang dapat dikerjakan dengan 2 cara yaitu tanpa membuat luka sayat,
jarum infus (ujung tajam) ditusukkan langsung ke dalam vena, cara kedua adalah
dengan menyayat kulit untuk mencari vena dan melubangi vena setelah itu jarum
infus tumpul dimasukkan. Terapi intravena adalah

kemampuan untuk mendapat

akses ke sistem vena guna memberikan cairan dan obat merupakan keterampilan
perawat. Tanggung jawab ini termasuk memilih vena, jenis kanula yang sesuai, dan
mahir dalam teknik penusukan vena. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

10

pemasangan infus termasuk jenis larutan yang akan diberikan, lamanya terapi
intravena yang diharapkan, keadaan umum pasien, dan vena yang digunakan.
Keterampilan

orang

yang

melakukan

pemasangan

infus

juga

merupakan

pertimbangan penting (Latief,dkk, 2005).


2.1.2.Tujuan Pemasangan Infus
Pilihan untuk memberikan terapi intravena tergantung pada tujuan spesifik untuk
apa hal itu dilakukan. Menurut Smeltzer & Bare (2002), umumnya cairan intravena
diberikan untuk mencapai satu atau lebih tujuan berikut : menyediakan air, elektrolit,
menyediakan nutrien untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan menjadi medium
untuk pemberian obat secara intravena.
Menurut Setyorini (2006), tujuan pemberian terapi intravena yaitu : pertama,
memberikan atau

menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,

vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat
melalui oral. kedua, memperbaiki keseimbangan asam-basa. Ketiga, memperbaiki
volume komponen-komponen darah. Keempat, memberikan jalan masuk untuk
pemberian obat-obatan kedalam tubuh. Kelima, Memonitor tekanan vena sentral
(CVP). Keenam, Memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan diistirahatkan.
2.1.3. Pedoman Pemilihan vena
Banyak tempat yang dapat digunakan untuk terapi intravena, tetapi kemudahan
akses dan potensi bahaya berbeda di setiap vena. Vena di ekstremitas dipilih sebagai
lokasi perifer, karena vena ini relatif aman dan mudah dimasuki kateter infus. Venavena di ekstremitas atas paling sering digunakan. Vena di lengan dan tangan yang

Universitas Sumatera Utara

11

sering digunakan yakni vena sefalika, vena basilika, vena fosa antekubital, vena
kubital mediana, vena sefalika asesorius, vena antebrakialis mediana, vena basilika,
vena sevalika, jaring-jaring vena dorsalis, vena metakarpal dan vena digitalis. Vena di
kaki sebaiknya sangat jarang digunakan, karena resiko tinggi terjadinya
tromboemboli, vena ini merupakan cara terakhir dan dapat dilakukan hanya sesuai
dengan program medik dokter. Tempat tambahan untuk dihindari termasuk vena di
bawah

infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah area yang flebitis, vena yang

sklerotik atau bertrombus, lengan fistula atau lengan yang mengalami edema, infeksi,
bekuan darah atau kerusakan kulit. Selain itu, lengan pada sisi yang mengalami
mastekstomi dihindari karena aliran balik vena yang terganggu. Vena sentral yang
sering digunakan oleh dokter termasuk vena subclavicula dan vena jugularis interna
adalah memungkinkan untuk mengakses atau mengkanulasi pembuluh darah yang
lebih besar, bahkan pembuluh darah
memungkinkan pemberian

perifer sudah kolaps dan vena ini

larutan dengan osmolar tinggi. Meskipun demikian

bahanya jauh lebih besar dan mungkin termasuk penusukan yang kurang hati-hati
masuk ke dalam arteri atau rongga pleura. Idealnya, kedua lengan dan tangan harus
diinspeksi dangan cermat sebelum tempat pungsi vena spesifik dipilih. Lokasi harus
dipilih yang tidak mengganggu mobilisasi. Untuk alasan ini, fosa antekubital
dihindari, kecuali sebagai upaya terakhir. Tempat yang paling distal dari lengan atau
umumnya digunakan pertama kali sehingga intravena (IV) yang berikutnya dapat
dilakukan ke arah yang atas. Hal-hal berikut menjadi pertimbangan ketika memilih
tempat penusukan vena adalah kondisi vena, jenis cairan atau obat yang akan

Universitas Sumatera Utara

12

diinfuskan, lamanya terapi, usia, dan ukuran kateter infus yang sesuai untuk pasien,
riyawat kesehatan dan status kesehatan pasien sekarang dan keterampilan tenaga
kesehatan. Vena harus dikaji dengan palpasi dan inspeksi, vena harus teraba kuat,
elastis, besar dan bulat, tidak keras, datar dan tidak bergelombang (Smeltzer & Bare,
2002).
2.1.4. Pemilihan Alat dalam Pemasangan Infus
2.1.4.1. Jenis Larutan Intravena
Larutan intravena sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau
hipertonik. Hal ini sesuai dengan osmolaritas total larutan intravena , kurang dari atau
lebih besar dari osmolaritas darah. Larutan elektorlit dianggap isotonik jika
kandungan elektrolit totalnya (anion ditambah kation) kira-kira 310 mEq/L. Larutan
dianggap hipotonik jika kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250mEq/L, dan
larutan hipertonik jika kandungan elektrolit totalnya melebihi 375 mEq/L. Perawat
juga harus mempetimbangkan osmolaritas suatu larutan, tetap mengingat bahwa
osmolaritas plasma adalah kira-kira 300 mosm/L. Jika memberikan cairan parenteral,
penting untuk memantau respons pasien terhadap cairan. Perawat harus
mempertimbangkan volume cairan, kandungan cairan dan status klinis pasien. Jenisjenis cairan intravena menurut Smeltzer & Bare (2002) antara lain :
1. Cairan Isotonik
Cairan yang diklasifikasikan isotonik mempunyai osmolaritas total yang
mendekati cairan eksetraseluler dan tidak menyebabkan sel darah merah mengkerut
atau membengkak. Komposisi dari cairan-cairan ini mungkin atau tidak

Universitas Sumatera Utara

13

memungkinkan mendekati komposisi CES. Cairan isotonik meningkatkan volume


cairan ekstraseluler. Satu liter cairan isotonik meningkatkan cairan ekstraseluler
sebesar 1 liter, meskipun demikian cairan ini meningkatkan plasma hanya sebesar
liter karena cairan isotonik merupakan cairan kristaloid dan berdifusi dengan cepat ke
dalam kompartemen CES. Untuk alasan yang sama, 3 liter cairan isotonik dibutuhkan
untuk menggatikan 1 liter darah yang hilang. Larutan dekstrosa 5% dalam air
mempunyai osmaliritas serum sebesar 252 mosm/L. Sekali diberikan, glukosa dengan
cepat dimetabolisasi dan larutan yang pada awalnya merupakan larutan isotonis
kemudian berubah menjadi cairan hipotonik, sepertiga ekstraseluler dan dua pertiga
intraseluler. Karena itu, dekstrosa 5% dalam air terutama dipergunakan untuk
mensuplai air dan untuk memperbaiki osmaliritas serum yang meningkat. Satu liter
dekstrosa 5% dalam air memberikan kurang dari 200 kkal dan merupakan sumber
kecil kalori untuk kebutuhan sehari-hari tubuh. Saline normal

(0,9 % natrium

klorida) mempunyai osmalalitas total sebesar 308mOsm/L. Karena osmolalitasnya


secara keseluruhan ditunjang oleh elektrolit, larutan ini tetap dalam kompartemen
ekstra seluler. Untuk alasan ini, salin normal sering dugunakan untuk mengatasi
kekurangan volume ekstraseluler, meskipun disebut sebagai normal, salin normal
hanya mengandung natrium dan klorida dan tidak merangsang CES secara nyata.
Beberapa larutan lain mengandung ion-ion selain natrium klorida dan kurang lebih
sama dengan komposisi CES. Larutan ringer mengandung kalium dan kalsium selain
natrium klorida. Laruran ringer lactate juga mengandung prekursor bikarbonat.

Universitas Sumatera Utara

14

2. Cairan Hipotonik
Salah satu tujuan dari cairan hipotonik adalah untuk mengganti cairan seluler,
karena larutan ini bersifat hipotonis dibandingkan dengan plasma. Tujuan lainnya
adalah untuk menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pada saat-sat
tertentu, larutan natrium hipotonik digunakan untuk mengatasi hipernatremia dan
kondisi hperosmolar yang lain. Salin berkekuatan menengah (natrium klorida 0,45%)
sering digunakan. Larutan elektrolit multipel juga tersedia. Infus larutan hipotonik
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya deplesi cairan intravaskuler,
penurunan tekanan darah, edema seluler dan kerusakan sel. Larutan ini menghasilkan
tekanan osmotik yang kurang dari cairan ekstraseluler.
3. Cairan Hipertonik
Jika dekstrosa 5% ditambahkan pada salin normal atau larutan ringer, osmolalitas
totalnya melebihi osmolalitas CES. Meskipun demikian, dekstrosa dengan cepat
dimetabolisasi dan hanya tersisa larutan isotonik. Kerena itu efek apapun pada
kompartemen intraseluler sifatnya sementara. Sama halnya, dekstrosa 5% biasanya
ditambahkan pada larutan elektrolit multipel hipotonik. Setelah dekstrosa
dimetabolisasi, larutan ini menyebar sebagai cairan hipotonik. Dekstosa dengan
konsentrasi yang lebih tinggi, seperti dekstrosa 50% dalam air, diberikan untuk
membantu memenuhi kebutuhan kalori. Larutan ini sangat hipertonis dan harus
diberikan pada vena sentral sehingga mereka dapat didilusi dengan aliran darah yang
cepat. Larutan salin juga tersedia dalam konsentrasi osmolar yang lebih tinggi
daripada CES. Larutan-larutan ini menarik air dari kompartemen intraselular ke

Universitas Sumatera Utara

15

kompartemen ekstraselular dan menyebabkan sel-sel mengkerut. Jika diberikan


dengan cepat atau dalam jumlah besar mereka mungkin menyebabkan kelebihan
volume ekstraselular dan mencetuskan kelebihan cairan sirkulatori dan dehidrasi.
Sebagai akibatnya, larutan ini diberikan dengan hati-hati dan biasanya hanya jika
osmolalitas serum menurun sampai ke batas rendah yang berbahaya. Larutan
hipertonik menghasilkan tekanan osmoltik yang lebih besar dibandingkan dengan
cairan ekstraseluler.
4. Subtansi lain yang diberikan secara intravena
Jika saluran gastrointestinal pasien tidak dapat menerima makanan, kebutuhan
nutrisi sering kali dipenuhi melalui intravena. Pemberian parenteral mungkin
termasuk konsentrasi tinggi dari glukosa, protein atau lemak untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi. Banyak pengobatan juga diberikan secara intravena baik melalui
infus atau langsung ke dalam vena. Karena pengobatan intravena bersirkulasi dengan
cepat, pemberian melalui cara ini berpotensi sangat berbahaya. Kecepatan pemberian
dan dilusi yang dianjurkan untuk tiap obat tersedia dalam teks-teks khusus yang
menyangkut medikasi intravena dan dalam lampiran paket pabrik, hal ini harus
dibaca untuk memastikan pemberian medikasi secara intravena yang aman.
2.1.4.2. Ukuran Kateter Intravena
Jarum infus atau abocath atau kateter intravena, secara umum diberi warna yang
berbeda-beda dengan alasan untuk mempermudah petugas mengenali ukuran
abbocath yang diperlukan. Semakin rendah ukuran abochath maka semakin besar
jarum abocath. Macam-macam abocath menurut ukuran jarum infus yang biasa

Universitas Sumatera Utara

16

digunakan adalah : Ukuran 16G berwarna abu-abu berguna bagi pasien dewasa,
bedah Mayor, dan trauma. Apabila sejumlah besar cairan perlu diinfuskan
pertimbangan perawat dalam penggunaan ukuran 16G adalah adanya rasa sakit pada
insersi dan membutuhkan vena besar. Ukuran 18G berwarna hijau digunakan pada
pasien anak dan dewasa, biasanya untuk tranfusi darah, komponen darah, dan infus
kental lainnya. Ukuran 20G berwarna merah muda biasanya umum dipakai pada
pasien anak dan dewasa, Sesuai untuk kebanyakan cairan infus, darah, komponen
darah, dan infus kental lainnya. Ukuran 22G warna biru digunakan pada bayi, anak,
dan dewasa (terutama usia lanjut), cocok untuk sebagian besar cairan infus dan
memerlukan pertimbangan perawat karena lebih mudah untuk insersi ke vena yang
kecil, tipis dan rapuh, Kecepatan tetesan harus dipertahankan lambat, dan Sulit insersi
melalui kulit yang keras. Ukuran 24G berwarna kuning, 26 berwarna putih digunakan
pada nenonatus, bayi, anak dewasa (terutama usia lanjut), Sesuai untuk sebagian
besar cairan infus, tetapi kecepatan tetesan lebih lambat.Wing yaitu jarum infus yang
mirip sayap kupu-kupu yang jarumnya padat dan sangat halus (Potter & Perry, 2005)
Menurut Arifin (2014), dalam Training Perawat RSCAM, kecepatan aliran infus
menurut ukuran abocath sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

17

Tabel 2.1. Kecepatan aliran cairan infus menurut ukuran abocath


Rata-rata kecepatan aliran cairan infus menurut ukuran abocath

Ukuran
kateter
22
20

Panjang
kateter (mm)
25
32

18
18
16
14

32
45
45
45

Warna
kateter
Biru
Merah
Muda
Hijau
Hijau
Abu-abu
Orange

Flow Rate
ml/min(H2O)
42
67

Flow Rate
I/hr(H2O)
2.5
4.0

Flow rate
ml/min(darah)
24
41

103
103
236
270

6.2
6.2
14.2
16.2

75
63
167
215

2.1.5. Prosedur Pemasangan Infus


Dalam pemasangan infus, persiapan yang harus dilakukan meliputi persiapan alat
dan bahan serta pemahaman mengenai prosedur kerja yang sesuai dengan SOP.
Adapun prosedur pemasangan infus menurut SOP Rumah Sakit Columbia Asia
Medan (2014) yaitu 1) Alat dan bahan : set infus, IV kateter (adsyte) sesuai ukuran,
cairan infus, alkohol swab, tegaderm, torniquet, gunting, mikropore, kidney dish,
yellow bag, glove, dan sharp box. 2) Prosedur kerja : bawa peralatan ke dekat pasien,
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada keluarga/pasien, jaga privasi pasien,
cuci tangan dan pakai glove jika perlu, sediakan cairan yang akan dipasang, pasang
pengalas di bawah tangan yang akan di infus, cari lokasi vena yang tepat, pasang
turniquet sekitar 10 cm dari vena yang akan ditusuk, lakukan desinfeksi dengan
alkohol swab, masukkan Iv kanula dengan sudut 45 derajat, setelah darah keluar
turunkan IV kanula 30 derajat, kemudian masukkan sedikit IV kanula kemudian tarik
madrain, lalu masukkan IV kanula secara perlahan, lepaskan torniquet, sambil

Universitas Sumatera Utara

18

memegang ujung dengan sayap IV kanula , keluarkan madrain dan buang ke dalam
sharp box, sambungkan set infus dengan IV kanula, jalankan cairan infus sesuai
kebutuhan, pastikan bahwa penyambungan antara IV kanula dan set infus sudah
kuat, lakukan fiksasi dengan transparan IV dressing (tegaderm), rapikan pasien dan
peralatan, pastikan selang infus sudah difiksasi dengan aman, atur tetesan infus sesuai
kebutuhan, dokumentasikan tindakan dan hasil tindakanyang dilakukan pada catatan
keperawatandan formulir terkait.

2.2. Perawatan Infus


Mempertahankan suatu infus intravena yang sudah terpasang merupakan
tanggung jawab keperawatan yang menuntut pengetahuan tentang larutan yang
sedang diberikan dan prinsip-prinsip aliran. Selain itu, pasien harus dikaji dengan
teliti baik terhadap komplikasi lokal ataupun sistemik. Aliran dari infus sesuai pada
prinsip-prinsip yang sama yang mengatur perpindahan cairan secara umum yaitu
aliran berbanding langsung dengan ketinggian bejana cairan. Menaikkan ketinggian
wadah infus dapat memperbaiki aliran yang tersendat-sendat, aliran

berbanding

langsung dengan diameter selang, klem pada selang IV mengatur aliran dengan
mengubah diameter selang, selain itu aliran akan lebih cepat melalui kanula dengan
diameter besar dan berlawanan dengan kanul yang kecil, Aliran berbanding terbalik
dengan panjang selang, menambah panjang selang pada jalur IV akan menurunkan
aliran, Aliran berbanding terbalik dengan viskositas cairan, larutan intravena yang

Universitas Sumatera Utara

19

kental, seperti darah membutuhkan kanula yang lebih besar dibandingkan dengan air
atau larutan salin (Smeltzer & Bare, 2002).
Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan perawat kepada pasien yang
telah dilakukan pemasangan infus sesuai prodesur yang dilakukan dalam 24-72 jam
setelah pemasangan infus dan bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi. Prinsip
perawatan infus dilakukan dengan prinsip aseptik (steril) seperti mencuci tangan
sebelum dan sesudah melakukan tindakan, memakai sarung tangan tujuannya agar
pasien terhindar dari infeksi nasokomial. Adapun persiapan perawatan infus meliputi
persiapan alat dan bahan serta prosedur kerja yaitu sebagai berikut : 1) Alat dan
bahan : Pinset anatomis steril 2 buah, kasa steril, gunting, tegaderm, set infus, cairan
infus, plester (mikropore), alkohol swab, larutan NaCl 0,9 %, kidney dish, yellow bag,
glove, dan sharp box. 2) Prosedur kerja: Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
kepada keluarga/pasien, menempatkan alat di dekat pasien dengan benar, mengatur
posisi pasien supaya tempat penusukan infus terlihat dengan jelas, mencuci tangan,
memakai sarung tangan, menyiapkan set infus dan cairan infus yang baru, membasahi
plester dengan alkohol swab dan buka balutan dengan menggunakan pinset,
membersihkan bekas plester dan membersihkan daerah tusukan dengan larutan NaCl
0,9%, menyambungkan set infus yang sudah diganti dengan IV kanula, melakukan
fiksasi dengan tegaderm dan diplester dengan rapi, mengatur tetesan infus sesuai
program, merapikan alat-alat, berpamitan dengan pasien/ keluarga, mencuci tangan ,
mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan dalam catatan keperawatan (SOP
perawatan infus RSCAM, 2014).

Universitas Sumatera Utara

20

Perawatan

termasuk

menghentikan

IV,

memberikan

kompres

hangat,

meninggikan ekstremitas dan memulai jalur IV di ekstremitas yang berlawanan.


Dengan adanya tanda dan gejala tromboflebitis, seseorang tidak seharusnya mencoba
melakukan irigasi jalur IV. Tromboflebitis dapat dicegah dengan menghindarkan
trauma pada vena saat IV dimasukkan, mengobservasi tempat penusukan setiap jam
dan mencek adanya tambahan obat untuk kompabilitas. Banyak faktor yang
mempengaruhi aliran graitasi, suatu aliran tidak perlu mengalir sesuai dengan
kecepatan yang ditentukan pada awal pemasangan. Karena itu, infus intravena harus
sering dipantau untuk memastikan bahwa aliran mengalir pada kecepatan yang
ditentukan. Wadah IV sebaiknya diberi dengan tanda dengan plester untuk dengan
cepat menunjukkan apakah jumlah yang benar sudah di infuskan. Kecepatan aliran
seharusnya diperhitungkan ketika larutan pertama kali digantungkan, kemudian
dipantau sedikitnya setiap jam. Untuk menghitung kecepatan aliran, jumlah tetesan
yang dialirkan per mililiter harus ditentukan. Jumlah tetesan ini berbeda antara satu
peralatan dan baiasanya tercetak pada kemasan set larutan. Rumus yang dapat
digunakan untuk menghitung kecepatan tetesan adalah sebagai berikut: gtt /ml dari
set yang ditentukan/60 (menit dalam jam) x volume total per jam = gtt/mnt. Beragam
pompa infus tersedia untuk membantu pemberian cairan intravena. Peralatan ini
memastikan pemberian cairan dan obat yang lebih akurat dibanding dengan cara
pemberian set aliran gravitasi yang rutin. Beberapa pompa mempunyai kecepatan
aliran yang dikalibrasikan dengan istilah mililiter /jam dan disebut dengan pompa
volumetrik. Yang lain dikalibrasikan dalam tetesan/ menit dan disebut sebagai

Universitas Sumatera Utara

21

pengontrol infus. Penting artinya untuk membaca petunjuk dari pabrik dengan teliti
sebelum menggunakan pompa infus atau mengontrol infus model mana saja karena
banyaknya variasi dalam berbagai model yang tersedia. Penggunaan peralatan ini
tidak menghilangkan perlunya pemantauan infus yang sering dan pemantauan pasien
(Smeltzer & Bare, 2002).
Pelepasan kateter intravena berkaitan dengan dua kemungkinan bahaya yaitu
perdarahan dan emboli kateter. Untuk mencegah perdarahan berlebihan, sebuah spons
yang kering dan steril harus diletakkan di atas tempat penusukan pada saat kanula
dilepaskan. Tekanan yang kuat seharusnya diberikan sampai semua perdarahan
berhenti. Jika suatu kateter IV plastik putus, dapat berjalan ke ventrikel kanan dan
menyumbat aliran darah. Untuk mendeteksi komplikasi saat ini kateter dilepaskan,
panjangnya dibandingkan dengan panjang kateter aktualnya (saat dipasang). Kateter
plastik harus selalu dilepaskan dengan hati-hati dan panjangnya diukur untuk
memastikan bahwa tidak adafragmen yang terlepas. Harus selalu diterapkan
kewaspadaan ketika menggunakan gunting di sekitar balutan tempat tusukan.jika
terlihat jelas bahwa kateter putus, suatu upaya dapat dilakukan untuk membendung
vena di atas tempat penusukan dengan memasang turniket untuk mencegah kateter
memasukisirkulasi sentral (sampai pelepasan secara bedah memungkinkan).
Meskipun demikian seperti biasanya, lebih baik mencegah masalah yang mungkin
berakibat fatal daripada menanganinya sesudah masalah tersebut terjadi. Untungnya,
emboli kateter dapat dengan mudah dicegah dengan mengikuti peraturan sederhana
berikut ini, seperti tidak menggunakan gunting di dekat kateter dan tidak menarik

Universitas Sumatera Utara

22

kateter melalui jarum pengisersi. Pedoman dari pabrik pembuat harus di ikuti dengan
seksama, seperti menutup ujung jarum dengan penutupnya untuk mencegah kateter
rusak. Pendekatan yang cermat akan membantu mencegah kateter memasuki sirkulasi
umum jika secara tidak disengaja kateter tersebut terlepas dari adapternya (Smeltzer
& Bare, 2002).

2.3. Konsep Flebitis


Terapi intravena menimbulkan kecenderungan berbagai bahaya termasuk
komplikasi lokal maupun sistemik. Komplikasi sistemik lebih jarang terjadi tetapi
seringakali lebih serius dibandingkan komplikasi lokal dan termasuk kelebihan
sirkulasi, emboli paru, reaksi demam dan infeksi.
Flebitis didefenisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia
maupun mekanik. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya daerah yang memerah dan
hangat di sekitar daerah penusukan atau sepanjang vena dan pembengkakan. Insiden
flebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komposisi
cairan atau obat yang di infuskan (terutama PH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat
kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai dan masuknya
mikroorganisme pada saat penusukan. Flebitis merupakan peradangan pada intima
tunika dari vena dangkal yang disebabkan oleh iritasi mekanik, kimia atau sumber
bakteri (mikro organisme) yang dapat menyebabkan pembentukan trombus (Royal
College of Nursing, 2010). Flebitis mekanik disebabkan oleh pergerakan benda asing
(canula) yang menyebabkan gesekan dan peradangan vena (Stokowski et al, 2009).

Universitas Sumatera Utara

23

Hal ini sering terjadi ketika ukuran kanula terlalu besar untuk vena yang dipilih
(Martinho & Rodrigues, 2008). Penempatan katup kanula terlalu dekat dengan vena
akan meningkatkan risiko flebitis mekanis akibat iritasi pada dinding pembuluh darah
dengan ujung kanula (Macklin, 2003). Flebitis kimia disebabkan oleh obat atau cairan
yang diberikan melalui kannula. Faktor-faktor seperti pH dan osmolalitas dari zat
memiliki dampak yang signifikan terhadap kejadian flebitis (Kohno et al, 2009).
Flebitis yang disebabkan oleh bakteri berasal dari tehnik aseptik yang kurang dari
keterampilan

perawat

dalam

memasang

infus.

Menurut

Infusion

Nurses

Society(2006), skala flebitis dibedakan berdasarkan tanda dan gejala yang


ditimbulkanya.
Adapun skala flebitis tersebut adalah :
Tabel 2.2. Skala Flebitis berdasarkan Tanda dan Gejala
Grade
0
1
2
3
4

Manifestasi

Tidak ada tanda dan gejala


Kemerahan dan nyeri di sekitar vena yang dipasang infus
Nyeri, kemerahan, dan bengkak pada sekitar vena yang dipasang infus
Nyeri, kemerahan (eritema), bengkak, dan vena teraba mengeras
(palpable venous cord)
Nyeri, kemerahan (eritema), bengkak, vena teraba mengeras (palpable
venous cord), dan tampak bernanah (pus) pada area yang dipasang infus.

Menurut Smeltzer & Bare (2002), komplikasi pemasangan infus adalah


komplikasi sistemik dan komplikasi lokal sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

24

2.3.1. Komplikasi Sistemik


a. Kelebihan beban cairan
Kelebihan cairan intraven akan membebani sistem sirkulasi dan akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan tekanan vena sentral, dispnea berat dan
sianosis. Tanda dan gejala lainya, termasuk batuk dan kelopak mata yang
membengkak. Penyebab yang mungkin adalah tetesan infus yang cepat atau penyakit
hati, jantung atau ginjal. Hal ini terutama mungkin terjadi pada pasien dengan
gangguan jantung dan disebut dengan kelebihan beban sirkulasi. Pengobatan untuk
kelebihan beban sirkulatori adalah menurunkan kecepatan infus, sering memantau
tanda-tanda vital, mengkaji bunyi nafas dan membaringkan pasien dengan posisi semi
fowler tinggi. Komplikasi ini dapat dihindari dengan menggunakan infusepump dan
pemantauan yang cermat terhadap semua infus. Komplikasi dari kelebihan beban
sirkulasi termasuk gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.
b. Emboli udara
Bahaya emboli udara selalu ada meskipun tidak sering terjadi. Emboli udara paling
sering berkaitan dengan kanulasi vena-vena sentral. Adanya emboli udara mungkin
dimanifestasikan dengan dispnea dan sianosis, hipotensi, nadi yang lemah, cepat,
hilangnya kesadaran dan nyeri dada, bahu dan punggung bawah. Pengobatan dengan
komplikasi ini adalah dengan segera mengklem kateter, membaringkan pasien miring
ke kiri dalam posisi trandelenburg, mengkaji tanda-tanda vital dan bunyi nafas dan
memberikan oksigen. Emboli udara dapat dicegah dengan menggunakan adapter
Luer-Lok pada semua jalur infus. Komplikasi emboli udara termasuk syok dan

Universitas Sumatera Utara

25

kematian. Jumlah udarayang dibutuhkan untuk menyebabkan kematian untuk


manusia tidak diketahui, meskipun demikian, kecepatan masuknya udara mungkin
sama pentingnya dengan volume aktual udara yang masuk.
c. Septikemia
Adanya subtansi pirogenik baik dalam larutan infus atau alat pemberian dapat
mencetuskan terjadinya reaksi demam dan septikemia. Dengan reaksi demam
semacam ini, perawat dapat melihat kenaikan suhu tubuh mendadak segera setelah
infus dimulai, sakit punggung, sakit kepala, peningkatan nadi dan frekuensi
perrnafasan, mual dan muntah, diare, demam dan mengigil, malaise umum dan jika
parah dapat terjadi kolaps vaskuler. Penyebab septikemia termasuk kontaminasi pada
produk intravena atau kelalaian pada tehnik aseptik, terrutama pada pasien yang
mengalami penurunan sistem imun. Pengobatan bersifat simptomatik dan termasuk
melakukan kultur kateter IV, selang atau larutan jika dicurigai dan melakukan tempat
penusukan IV yang baru untuk pengobatan dan pemberian cairan.
d. Infeksi
Infeksi beragam dalam keparahanya mulai dari keterlibatan lokal dan tempat
penusukan sampai penyebaran sistemik organisme melalui aliran darah seperti
septikemia. Tindakan untuk mencegah infeksi merupakan hal penting pada saat
melakukan pemasangan jalur intravena(IV) dan sepanjang periode pemberian infus.
Beberapa cara ini termasuk berikut ini : mencuci tangan dengan teliti sebelum kontak
dengan carian apapun dari sistem infus atau dengan pasien, mengevaluasi penampung
IV akan adanya keretakan, kebocoran atau kekeruhan yang mungkin menandakan

Universitas Sumatera Utara

26

suatu larutan terkontaminasi, menggunakan tehnik aseptik yang kuat, menepatkan


kanula IV dengan kuat untuk mencegah pergerakan keluar masuk, memeriksa tempat
penusukan IV setiap hari dan mengganti balutan steril, lepaskan kateter IV pada
adanya tanda pertama peradangan lokal, kontaminasi atau komplikasi, mengganti
kanula IV perifer setiap 48 jam sampai 72 jam sesuai indikasi, mengganti IV canula
yang dipasang saat keadaan gawat (dengan asepsis yang dipertanyakan) sesegera
mungkin, mengganti kantong setiap 24 jam dan seluruh set pemberian sedikitnya
setiap 48 sampai 72 jam dan setiap 24 jam jika produk darah atau lemak yang di
infuskan.
2.3.2. Komplikasi Lokal
Komplikasi lokal dari terapi intravena termasuk infiltrai, flebitis, tromboflebitis,
hematoma dan bekuan pada jarum.
a. Infiltrasi
Pergeseran jarum dan infiltrasi lokal dari larutan ke dalam jaringan sub kutan
bukanlah hal yang jarang terjadi. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya edema di
sekitar tempat penusukan, ketiaknyamanan dan rasa dingin di area infiltrasi dan
penurunan kecepatan aliran yang nyata. Jika larutan yang dipergunakan bersifat
mengiritasi, kerusakan jaringan bisa terjadi. Pemantauan ketat terhadap tempat
penusukan merupakan hal penting untuk mendeteksi infiltrasi sebelum hal ini
menjadi parah. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada
tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Meskipun demikian, infiltrasi
tidak selalu senyata itu. Suatu konsepsi yang salah adalah bahwa aliran balik darah ke

Universitas Sumatera Utara

27

selang membuktikan bahwa kanul berada di dalam pembuluh darah. Meskipun


demikian, jika ujung kateter menembus dingding pembuluh darah, cairan intravena
akan merembes ke jaringan dan juga mengalir ke dalam vena. Suatu cara yang lebih
dapat dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang turniket di atas
atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan mengencangkan turniket
tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran vena. Jika infus terus menetes
meskipun ada obstruksi vena terjadi infiltrasi. Segera setelah infiltrasi terlihat, infus
harus dihentikan dan IV dilepaskan. Balutan yang steril diberikan ke daerah
penusukan setelah inspeksi yang teliti. Infus IV seharusnya dimulai di tempat baru
atau proksimal dari infiltrasi jika ekstremitas yang sama digunakan. Kompres hangat
pada daerah yang terkena dapat diberikan dengan meninggikan lengan untuk
meningkatkan absorpsi cairan. Infiltrasi dapat dideteksi dan dirawat lebih cepat
dengan melakukan inspeksi pada daerah pemasangan setiap jam untuk adanya
kemerahan, edema, aliran balik darah atau

rasa dingin di daerah penusukan.

Penggunaan ukuran dan jenis kanula yang sesuai untuk vena menghindarkan
komplikasi ini.
b. Tromboflebitis
Tromboflebitis mengacu pada adanya bekuan ditambah peradangan di dalam
vena. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya nyeri yang terlokalisasi, kemerahan,
rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar tempat penusukan atau sepanjang vena,
imobilisasi ekstremitas karena rasa tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan
aliran yang tersendat, demam, malaise dan leukositosis.

Universitas Sumatera Utara

28

c. Hematoma
Hematoma tejadi sebagai akibat dari kebocoran darah ke jaringan di sekitar
tempat penusuka. Hal ini dapat disebabkan oleh pecahnya dingding vena yang
berlawanan selama penusukan vena, jarum bergeser ke luar vena dan tekanan yang
tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter
dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma termasuk ekimosis, pembengkakan segara
pada tempat penusukan dan kebocoran darah pada tempat penusukan. Perawatan
termasuk melepaskan jarum atau kateter dan memberikan tekanan dengan kasa steril,
memberikan kantong es selama 24 jam ke tempat penusukan dan kemudian
memberikan kompres hangat untuk meningkatkan absorpsi darah, mengkaji tempat
penusukan dan memulai kembali jalur di ekstremitas lain jika di indikasikan.
Hematoma dapat dicegah dengan memasukkan jarum secara hati-hati dan
menggunakan perawatan yang baik jika pasien mempunyai kelainan perdarahan, jika
pasien menerima antikoagulan atau mempuna penyakit hati yang sudah parah.
d. Bekuan (clotting)
Bekuan pada jarum merupakan komplikasi lokal lainnya. Hal ini disebabkan
karena selang IV yang tertekuk, kecepatan aliran IV yang terlalu lambat, kantong IV
yang kosong atau tidak memberikan aliran setelah pemberian obat atau larutan
intermiten. Tanda dan gejalanya adalah penurunan kecepatan aliran darah kembali ke
selang IV. Jika terjadi bekuan, jalur IV harus dihentikan. Perawatan IV terdiri dari
tidak mengirigasi atau melakukan pemijatan pada selang, tidak mengembalikan aliran
dengan meningkatkan kecepatan atau menggantung larutan lebih tinggi dan tidak

Universitas Sumatera Utara

29

melakukan aspirasi bekuan dari kanul. Bekuan pada jarum mungkin dicegah dengan
tidak membiarkan kantong IV menjadi kosong, penempatan selang untuk mencegah
tertekuknya selang, mempertahankan kecepatan aliran yang adekuat dan memberikan
aliran ke selang setelah pemberian medikasi atau larutan intermiten.

2.4. Konsep Kompetensi


2.4.1. Definisi
Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu
pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta
didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Kompetensi
merupakan karakteristik individu yang mendasari kinerja atau perilaku ditempat
kerja.

Kompetensi

merupakan

landasan

dasar

karakteristik

orang

dan

mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir, menyamakan situasi, dan mendukung


untuk periode waktu yang lama. Kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk
menghasilkan pada tingkat memuaskan di tempat kerja. Secara garis besar,
Kompetensi menjelaskan apa yang dilakukan orang di tempat kerja pada berbagai
tingkatan dan memperinci standard masing-masing tingkatan, mengidentifikasi
karakteristik pengetahuan, dan ketrampilan yang diperlukan individual yang
memungkinkan menjalankan tugas dan tanggung jawab secara efektif sehingga
mencapai standard kualitas profesional dalam bekerja (Spencer & Signe, 2003).
Kompetensi menurut undang-undang keperawatan Bab IV pasal 16 ayat (2),
standart kompetensi perawat meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, sikap,

Universitas Sumatera Utara

30

mental, moral, penguasaan bahasa dan tehnologi.Terdapat 5 tipe karakteristik


kompetensi menurut Spencer dan Signe (2003) yaitu : 1) Motif adalah sesuatu yang
secara konsisten dipikirkan atau diinginkan orang yang menyebabkan tindakan. 2)
Sifat adalah karakteristik fisik dan respons yang konsisten terhadap situasi atau
informasi. 3) Konsep diri adalah sikap, nilai-nilai atau citra diri seseorang. 4)
Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki orang dalam bidang spesifik. 5)
Keterampilan adalah kemampuan mengerjakan tugas fisik atau mental tertentu.
2.4.2. Kategori kompetensi
Zwell (2000) mendefinisikan lima kategori kompetensi yaitu: Task Achievement
merupakan kategori kompetensi yang berhubungan dengan kinerja yang baik.
Kompetensi berkaitan dengan task achievement ditunjukkan oleh

orientasi pada

hasil, mengelola kinerja, mempengaruhi, inisiatif, efisiensi produksi, fleksibilitas,


inovasi, peduli pada kualitas, perbaikan berkelanjutan, dan keahlian teknis.
Relationship merupakan kategori kompetensi yang berhubungan dengan komunikasi,
memiliki hubungan kerja yang baik dengan orang lain. Kompetensi ini meliputi kerja
sama, orientasi pada pelayanan, kepedulian antar pribadi, kecerdasan organisasional,
membangun hubungan, penyelesaian konflik, perhatian pada komunikasi dan
sensivitas lintas budaya. Personal Attribute merupakan kompetensi intrinsik individu
dan menghubungkan bagaimana orang berpikir, merasa, belajar, dan berkembang.
Kompetensi ini meliputi; integritas dan kejujuran, pengembangan diri, ketegasan,
kualitas keputusan, manajemen stress, berpikir analitis, dan berpikir konseptual.
Managerial merupakan kompetensi

yang secara

spesifik berkaitan dengan

Universitas Sumatera Utara

31

pengelolaan, pengawasan, dan mengembangkan orang. Kompetensi manajerial


berupa motivasi, memberdayakan/empowering, dan mengembangkan orang lain.
Leadership merupakan kompetensi yang berhubungan dengan memimpin organisasi
dan orang untuk mencapai maksud, visi, dan tujuan organisasi. Kompetensi ini
meliputi Kepemimpinan visioner, berpikir strategis, orientasi kewirausahaan,
manajemen perubahan, membangun komitmen organisasi, membangun fokus, dan
maksud, nilai-nilai. Kompetensi yang harus dimiliki perawat dalam hal pemasangan
dan perawatan infus ini meliputi kompetensi (keahlian) tehnikal yang merupakan
bagian dari task achievement. Kompetensi tehnikal merupakan Penguasaan bidang
pengetahuan yang terkait dengan pekerjaan (teknik, manajerial maupun profesional),
dan motivasi untuk menggunakan, mengembangkan dan membagikan pengetahuan
yang terkait dengan pekerjaan kepada orang lain.

2.5. Konsep Anak


2.5.1. Definisi Anak
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan
pertumbuhan dan perkembangan dari usia bayi (0-1 tahun), usia bermain/todder
(1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11tahun), dan remaja (11-18
tahun). Rentang inin berbeda antara anak yang satu dengan yang lain, mengingat latar
belakang anak yang berbeda. Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan
perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam perkembangan anak memiliki

Universitas Sumatera Utara

32

ciri fisik, kognitif, konsep diri dan pola koping, dan perilaku sosial. Pertumbuhan
fisik dan perkembangan kognitif berbeda pada setiap anak, hal tersebut dipengaruhi
oleh latar belakang anak yang berbeda. Perkembangan konsep diri anak sudah ada
sejak bayi, akan tetapi belum terbentuk secara sempurna dan akan mengalami
perkembangan seiring dengan pertambahan usia anak. Demikian juga dengan pola
koping dan perilaku sosial yang dimiliki anak, hampir sama dengan perkembangan
konsep diri pada anak, sudah terbentuk mulai dari bayi. Pola koping yang dimiliki
anak mulai dari bayi ditunjukkan menangis saat lapar, menangis saat buang air kecil
dan buang besar, menangis jika ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan
keinginannya dan lain sebagainya . Perilaku sosial yang ditunjukan anak dengan
menunujukan keceriaan saat melihat orang yang dekat padanya atau menangis saat
melihat orang yang tidak dikenal (Hidayat, 2005).
2.5.2. Pengaruh dan Respon Anak pada Pemasangan Infus
Penyakit dan perawatan anak di rumah sakit (hospitalisasi) seringkali menjadi
krisis pertama yang harus dihadapi anak karena menimbulkan stress pada anak. Salah
satu stresor utama hospitalisasi pada anak adalah nyeri yang akan berdampak
menimbulkan trauma. Oleh karena itu, anak perlu dipersiapkan dalam menghadapi
pengalaman hospitalisasi dan berbagai prosedur yang menimbulkan nyeri agar anak
mampu mengarahkan energi mereka untuk menghadapi stres akibat hospitalisasi
yang tidak dapat dihindari (Hockenberry & Wilson, 2009).
Prosedur pemasangan infus merupakan prosedur invasif yang sering dilakukan
pada perawatan anak di rumah sakit. Adanya prosedur penusukan vena dalam

Universitas Sumatera Utara

33

pemasangan infus dapat menimbulkan rasa cemas, takut, dan nyeri pada anak (Wang,
Sun, & Chen, 2008). Anak prasekolah akan bereaksi terhadap tindakan penusukan
bahkan mungkin bereaksi untuk menarik diri terhadap jarum karena menimbulkan
rasa nyeri yang nyata yang menyebabkan takut terhadap tindakan penusukan.
Karakteristik anak usia prasekolah dalam berespon terhadap nyeri diantaranya dengan
menangis keras atau berteriak, mengungkapkan secara verbal aaow uh, sakit,
memukul tangan atau kaki, mendorong hal yang menyebabkan nyeri, kurang
kooperatif, membutuhkan restrain, meminta untuk mengakhiri tindakan yang
menyebabkan nyeri, menempel atau berpegangan pada orangtua, perawat atau yang
lain, membutuhkan dukungan emosi seperti pelukan, dan antisipasi terhadap nyeri
aktual (Hockenberry & Wilson, 2009). Salah satu yang dapat dilakukan oleh perawat
untuk mencapai perawatan yang tidak menimbulkan trauma adalah mengurangi nyeri,
dalam hal ini nyeri akibat pemasangan infus (Hidayat, 2005).

Universitas Sumatera Utara

You might also like