Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
pembuatan jalur vena untuk pemberian cairan, darah atau obat, dan suntikan berulang
(Mansjoer, 2000).
Pemberian cairan intravena adalah pemberian cairan atau darah langsung ke
dalam vena yang dapat dikerjakan dengan 2 cara yaitu tanpa membuat luka sayat,
jarum infus (ujung tajam) ditusukkan langsung ke dalam vena, cara kedua adalah
dengan menyayat kulit untuk mencari vena dan melubangi vena setelah itu jarum
infus tumpul dimasukkan. Terapi intravena adalah
akses ke sistem vena guna memberikan cairan dan obat merupakan keterampilan
perawat. Tanggung jawab ini termasuk memilih vena, jenis kanula yang sesuai, dan
mahir dalam teknik penusukan vena. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi
10
pemasangan infus termasuk jenis larutan yang akan diberikan, lamanya terapi
intravena yang diharapkan, keadaan umum pasien, dan vena yang digunakan.
Keterampilan
orang
yang
melakukan
pemasangan
infus
juga
merupakan
vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat
melalui oral. kedua, memperbaiki keseimbangan asam-basa. Ketiga, memperbaiki
volume komponen-komponen darah. Keempat, memberikan jalan masuk untuk
pemberian obat-obatan kedalam tubuh. Kelima, Memonitor tekanan vena sentral
(CVP). Keenam, Memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan diistirahatkan.
2.1.3. Pedoman Pemilihan vena
Banyak tempat yang dapat digunakan untuk terapi intravena, tetapi kemudahan
akses dan potensi bahaya berbeda di setiap vena. Vena di ekstremitas dipilih sebagai
lokasi perifer, karena vena ini relatif aman dan mudah dimasuki kateter infus. Venavena di ekstremitas atas paling sering digunakan. Vena di lengan dan tangan yang
11
sering digunakan yakni vena sefalika, vena basilika, vena fosa antekubital, vena
kubital mediana, vena sefalika asesorius, vena antebrakialis mediana, vena basilika,
vena sevalika, jaring-jaring vena dorsalis, vena metakarpal dan vena digitalis. Vena di
kaki sebaiknya sangat jarang digunakan, karena resiko tinggi terjadinya
tromboemboli, vena ini merupakan cara terakhir dan dapat dilakukan hanya sesuai
dengan program medik dokter. Tempat tambahan untuk dihindari termasuk vena di
bawah
infiltrasi vena sebelumnya atau di bawah area yang flebitis, vena yang
sklerotik atau bertrombus, lengan fistula atau lengan yang mengalami edema, infeksi,
bekuan darah atau kerusakan kulit. Selain itu, lengan pada sisi yang mengalami
mastekstomi dihindari karena aliran balik vena yang terganggu. Vena sentral yang
sering digunakan oleh dokter termasuk vena subclavicula dan vena jugularis interna
adalah memungkinkan untuk mengakses atau mengkanulasi pembuluh darah yang
lebih besar, bahkan pembuluh darah
memungkinkan pemberian
bahanya jauh lebih besar dan mungkin termasuk penusukan yang kurang hati-hati
masuk ke dalam arteri atau rongga pleura. Idealnya, kedua lengan dan tangan harus
diinspeksi dangan cermat sebelum tempat pungsi vena spesifik dipilih. Lokasi harus
dipilih yang tidak mengganggu mobilisasi. Untuk alasan ini, fosa antekubital
dihindari, kecuali sebagai upaya terakhir. Tempat yang paling distal dari lengan atau
umumnya digunakan pertama kali sehingga intravena (IV) yang berikutnya dapat
dilakukan ke arah yang atas. Hal-hal berikut menjadi pertimbangan ketika memilih
tempat penusukan vena adalah kondisi vena, jenis cairan atau obat yang akan
12
diinfuskan, lamanya terapi, usia, dan ukuran kateter infus yang sesuai untuk pasien,
riyawat kesehatan dan status kesehatan pasien sekarang dan keterampilan tenaga
kesehatan. Vena harus dikaji dengan palpasi dan inspeksi, vena harus teraba kuat,
elastis, besar dan bulat, tidak keras, datar dan tidak bergelombang (Smeltzer & Bare,
2002).
2.1.4. Pemilihan Alat dalam Pemasangan Infus
2.1.4.1. Jenis Larutan Intravena
Larutan intravena sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau
hipertonik. Hal ini sesuai dengan osmolaritas total larutan intravena , kurang dari atau
lebih besar dari osmolaritas darah. Larutan elektorlit dianggap isotonik jika
kandungan elektrolit totalnya (anion ditambah kation) kira-kira 310 mEq/L. Larutan
dianggap hipotonik jika kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250mEq/L, dan
larutan hipertonik jika kandungan elektrolit totalnya melebihi 375 mEq/L. Perawat
juga harus mempetimbangkan osmolaritas suatu larutan, tetap mengingat bahwa
osmolaritas plasma adalah kira-kira 300 mosm/L. Jika memberikan cairan parenteral,
penting untuk memantau respons pasien terhadap cairan. Perawat harus
mempertimbangkan volume cairan, kandungan cairan dan status klinis pasien. Jenisjenis cairan intravena menurut Smeltzer & Bare (2002) antara lain :
1. Cairan Isotonik
Cairan yang diklasifikasikan isotonik mempunyai osmolaritas total yang
mendekati cairan eksetraseluler dan tidak menyebabkan sel darah merah mengkerut
atau membengkak. Komposisi dari cairan-cairan ini mungkin atau tidak
13
(0,9 % natrium
14
2. Cairan Hipotonik
Salah satu tujuan dari cairan hipotonik adalah untuk mengganti cairan seluler,
karena larutan ini bersifat hipotonis dibandingkan dengan plasma. Tujuan lainnya
adalah untuk menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pada saat-sat
tertentu, larutan natrium hipotonik digunakan untuk mengatasi hipernatremia dan
kondisi hperosmolar yang lain. Salin berkekuatan menengah (natrium klorida 0,45%)
sering digunakan. Larutan elektrolit multipel juga tersedia. Infus larutan hipotonik
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya deplesi cairan intravaskuler,
penurunan tekanan darah, edema seluler dan kerusakan sel. Larutan ini menghasilkan
tekanan osmotik yang kurang dari cairan ekstraseluler.
3. Cairan Hipertonik
Jika dekstrosa 5% ditambahkan pada salin normal atau larutan ringer, osmolalitas
totalnya melebihi osmolalitas CES. Meskipun demikian, dekstrosa dengan cepat
dimetabolisasi dan hanya tersisa larutan isotonik. Kerena itu efek apapun pada
kompartemen intraseluler sifatnya sementara. Sama halnya, dekstrosa 5% biasanya
ditambahkan pada larutan elektrolit multipel hipotonik. Setelah dekstrosa
dimetabolisasi, larutan ini menyebar sebagai cairan hipotonik. Dekstosa dengan
konsentrasi yang lebih tinggi, seperti dekstrosa 50% dalam air, diberikan untuk
membantu memenuhi kebutuhan kalori. Larutan ini sangat hipertonis dan harus
diberikan pada vena sentral sehingga mereka dapat didilusi dengan aliran darah yang
cepat. Larutan salin juga tersedia dalam konsentrasi osmolar yang lebih tinggi
daripada CES. Larutan-larutan ini menarik air dari kompartemen intraselular ke
15
16
digunakan adalah : Ukuran 16G berwarna abu-abu berguna bagi pasien dewasa,
bedah Mayor, dan trauma. Apabila sejumlah besar cairan perlu diinfuskan
pertimbangan perawat dalam penggunaan ukuran 16G adalah adanya rasa sakit pada
insersi dan membutuhkan vena besar. Ukuran 18G berwarna hijau digunakan pada
pasien anak dan dewasa, biasanya untuk tranfusi darah, komponen darah, dan infus
kental lainnya. Ukuran 20G berwarna merah muda biasanya umum dipakai pada
pasien anak dan dewasa, Sesuai untuk kebanyakan cairan infus, darah, komponen
darah, dan infus kental lainnya. Ukuran 22G warna biru digunakan pada bayi, anak,
dan dewasa (terutama usia lanjut), cocok untuk sebagian besar cairan infus dan
memerlukan pertimbangan perawat karena lebih mudah untuk insersi ke vena yang
kecil, tipis dan rapuh, Kecepatan tetesan harus dipertahankan lambat, dan Sulit insersi
melalui kulit yang keras. Ukuran 24G berwarna kuning, 26 berwarna putih digunakan
pada nenonatus, bayi, anak dewasa (terutama usia lanjut), Sesuai untuk sebagian
besar cairan infus, tetapi kecepatan tetesan lebih lambat.Wing yaitu jarum infus yang
mirip sayap kupu-kupu yang jarumnya padat dan sangat halus (Potter & Perry, 2005)
Menurut Arifin (2014), dalam Training Perawat RSCAM, kecepatan aliran infus
menurut ukuran abocath sebagai berikut:
17
Ukuran
kateter
22
20
Panjang
kateter (mm)
25
32
18
18
16
14
32
45
45
45
Warna
kateter
Biru
Merah
Muda
Hijau
Hijau
Abu-abu
Orange
Flow Rate
ml/min(H2O)
42
67
Flow Rate
I/hr(H2O)
2.5
4.0
Flow rate
ml/min(darah)
24
41
103
103
236
270
6.2
6.2
14.2
16.2
75
63
167
215
18
memegang ujung dengan sayap IV kanula , keluarkan madrain dan buang ke dalam
sharp box, sambungkan set infus dengan IV kanula, jalankan cairan infus sesuai
kebutuhan, pastikan bahwa penyambungan antara IV kanula dan set infus sudah
kuat, lakukan fiksasi dengan transparan IV dressing (tegaderm), rapikan pasien dan
peralatan, pastikan selang infus sudah difiksasi dengan aman, atur tetesan infus sesuai
kebutuhan, dokumentasikan tindakan dan hasil tindakanyang dilakukan pada catatan
keperawatandan formulir terkait.
berbanding
langsung dengan diameter selang, klem pada selang IV mengatur aliran dengan
mengubah diameter selang, selain itu aliran akan lebih cepat melalui kanula dengan
diameter besar dan berlawanan dengan kanul yang kecil, Aliran berbanding terbalik
dengan panjang selang, menambah panjang selang pada jalur IV akan menurunkan
aliran, Aliran berbanding terbalik dengan viskositas cairan, larutan intravena yang
19
kental, seperti darah membutuhkan kanula yang lebih besar dibandingkan dengan air
atau larutan salin (Smeltzer & Bare, 2002).
Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan perawat kepada pasien yang
telah dilakukan pemasangan infus sesuai prodesur yang dilakukan dalam 24-72 jam
setelah pemasangan infus dan bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi. Prinsip
perawatan infus dilakukan dengan prinsip aseptik (steril) seperti mencuci tangan
sebelum dan sesudah melakukan tindakan, memakai sarung tangan tujuannya agar
pasien terhindar dari infeksi nasokomial. Adapun persiapan perawatan infus meliputi
persiapan alat dan bahan serta prosedur kerja yaitu sebagai berikut : 1) Alat dan
bahan : Pinset anatomis steril 2 buah, kasa steril, gunting, tegaderm, set infus, cairan
infus, plester (mikropore), alkohol swab, larutan NaCl 0,9 %, kidney dish, yellow bag,
glove, dan sharp box. 2) Prosedur kerja: Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
kepada keluarga/pasien, menempatkan alat di dekat pasien dengan benar, mengatur
posisi pasien supaya tempat penusukan infus terlihat dengan jelas, mencuci tangan,
memakai sarung tangan, menyiapkan set infus dan cairan infus yang baru, membasahi
plester dengan alkohol swab dan buka balutan dengan menggunakan pinset,
membersihkan bekas plester dan membersihkan daerah tusukan dengan larutan NaCl
0,9%, menyambungkan set infus yang sudah diganti dengan IV kanula, melakukan
fiksasi dengan tegaderm dan diplester dengan rapi, mengatur tetesan infus sesuai
program, merapikan alat-alat, berpamitan dengan pasien/ keluarga, mencuci tangan ,
mendokumentasikan kegiatan yang dilakukan dalam catatan keperawatan (SOP
perawatan infus RSCAM, 2014).
20
Perawatan
termasuk
menghentikan
IV,
memberikan
kompres
hangat,
21
pengontrol infus. Penting artinya untuk membaca petunjuk dari pabrik dengan teliti
sebelum menggunakan pompa infus atau mengontrol infus model mana saja karena
banyaknya variasi dalam berbagai model yang tersedia. Penggunaan peralatan ini
tidak menghilangkan perlunya pemantauan infus yang sering dan pemantauan pasien
(Smeltzer & Bare, 2002).
Pelepasan kateter intravena berkaitan dengan dua kemungkinan bahaya yaitu
perdarahan dan emboli kateter. Untuk mencegah perdarahan berlebihan, sebuah spons
yang kering dan steril harus diletakkan di atas tempat penusukan pada saat kanula
dilepaskan. Tekanan yang kuat seharusnya diberikan sampai semua perdarahan
berhenti. Jika suatu kateter IV plastik putus, dapat berjalan ke ventrikel kanan dan
menyumbat aliran darah. Untuk mendeteksi komplikasi saat ini kateter dilepaskan,
panjangnya dibandingkan dengan panjang kateter aktualnya (saat dipasang). Kateter
plastik harus selalu dilepaskan dengan hati-hati dan panjangnya diukur untuk
memastikan bahwa tidak adafragmen yang terlepas. Harus selalu diterapkan
kewaspadaan ketika menggunakan gunting di sekitar balutan tempat tusukan.jika
terlihat jelas bahwa kateter putus, suatu upaya dapat dilakukan untuk membendung
vena di atas tempat penusukan dengan memasang turniket untuk mencegah kateter
memasukisirkulasi sentral (sampai pelepasan secara bedah memungkinkan).
Meskipun demikian seperti biasanya, lebih baik mencegah masalah yang mungkin
berakibat fatal daripada menanganinya sesudah masalah tersebut terjadi. Untungnya,
emboli kateter dapat dengan mudah dicegah dengan mengikuti peraturan sederhana
berikut ini, seperti tidak menggunakan gunting di dekat kateter dan tidak menarik
22
kateter melalui jarum pengisersi. Pedoman dari pabrik pembuat harus di ikuti dengan
seksama, seperti menutup ujung jarum dengan penutupnya untuk mencegah kateter
rusak. Pendekatan yang cermat akan membantu mencegah kateter memasuki sirkulasi
umum jika secara tidak disengaja kateter tersebut terlepas dari adapternya (Smeltzer
& Bare, 2002).
23
Hal ini sering terjadi ketika ukuran kanula terlalu besar untuk vena yang dipilih
(Martinho & Rodrigues, 2008). Penempatan katup kanula terlalu dekat dengan vena
akan meningkatkan risiko flebitis mekanis akibat iritasi pada dinding pembuluh darah
dengan ujung kanula (Macklin, 2003). Flebitis kimia disebabkan oleh obat atau cairan
yang diberikan melalui kannula. Faktor-faktor seperti pH dan osmolalitas dari zat
memiliki dampak yang signifikan terhadap kejadian flebitis (Kohno et al, 2009).
Flebitis yang disebabkan oleh bakteri berasal dari tehnik aseptik yang kurang dari
keterampilan
perawat
dalam
memasang
infus.
Menurut
Infusion
Nurses
Manifestasi
24
25
26
27
Penggunaan ukuran dan jenis kanula yang sesuai untuk vena menghindarkan
komplikasi ini.
b. Tromboflebitis
Tromboflebitis mengacu pada adanya bekuan ditambah peradangan di dalam
vena. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya nyeri yang terlokalisasi, kemerahan,
rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar tempat penusukan atau sepanjang vena,
imobilisasi ekstremitas karena rasa tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan
aliran yang tersendat, demam, malaise dan leukositosis.
28
c. Hematoma
Hematoma tejadi sebagai akibat dari kebocoran darah ke jaringan di sekitar
tempat penusuka. Hal ini dapat disebabkan oleh pecahnya dingding vena yang
berlawanan selama penusukan vena, jarum bergeser ke luar vena dan tekanan yang
tidak sesuai yang diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter
dilepaskan. Tanda dan gejala hematoma termasuk ekimosis, pembengkakan segara
pada tempat penusukan dan kebocoran darah pada tempat penusukan. Perawatan
termasuk melepaskan jarum atau kateter dan memberikan tekanan dengan kasa steril,
memberikan kantong es selama 24 jam ke tempat penusukan dan kemudian
memberikan kompres hangat untuk meningkatkan absorpsi darah, mengkaji tempat
penusukan dan memulai kembali jalur di ekstremitas lain jika di indikasikan.
Hematoma dapat dicegah dengan memasukkan jarum secara hati-hati dan
menggunakan perawatan yang baik jika pasien mempunyai kelainan perdarahan, jika
pasien menerima antikoagulan atau mempuna penyakit hati yang sudah parah.
d. Bekuan (clotting)
Bekuan pada jarum merupakan komplikasi lokal lainnya. Hal ini disebabkan
karena selang IV yang tertekuk, kecepatan aliran IV yang terlalu lambat, kantong IV
yang kosong atau tidak memberikan aliran setelah pemberian obat atau larutan
intermiten. Tanda dan gejalanya adalah penurunan kecepatan aliran darah kembali ke
selang IV. Jika terjadi bekuan, jalur IV harus dihentikan. Perawatan IV terdiri dari
tidak mengirigasi atau melakukan pemijatan pada selang, tidak mengembalikan aliran
dengan meningkatkan kecepatan atau menggantung larutan lebih tinggi dan tidak
29
melakukan aspirasi bekuan dari kanul. Bekuan pada jarum mungkin dicegah dengan
tidak membiarkan kantong IV menjadi kosong, penempatan selang untuk mencegah
tertekuknya selang, mempertahankan kecepatan aliran yang adekuat dan memberikan
aliran ke selang setelah pemberian medikasi atau larutan intermiten.
Kompetensi
merupakan
landasan
dasar
karakteristik
orang
dan
30
orientasi pada
yang secara
31
32
ciri fisik, kognitif, konsep diri dan pola koping, dan perilaku sosial. Pertumbuhan
fisik dan perkembangan kognitif berbeda pada setiap anak, hal tersebut dipengaruhi
oleh latar belakang anak yang berbeda. Perkembangan konsep diri anak sudah ada
sejak bayi, akan tetapi belum terbentuk secara sempurna dan akan mengalami
perkembangan seiring dengan pertambahan usia anak. Demikian juga dengan pola
koping dan perilaku sosial yang dimiliki anak, hampir sama dengan perkembangan
konsep diri pada anak, sudah terbentuk mulai dari bayi. Pola koping yang dimiliki
anak mulai dari bayi ditunjukkan menangis saat lapar, menangis saat buang air kecil
dan buang besar, menangis jika ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan
keinginannya dan lain sebagainya . Perilaku sosial yang ditunjukan anak dengan
menunujukan keceriaan saat melihat orang yang dekat padanya atau menangis saat
melihat orang yang tidak dikenal (Hidayat, 2005).
2.5.2. Pengaruh dan Respon Anak pada Pemasangan Infus
Penyakit dan perawatan anak di rumah sakit (hospitalisasi) seringkali menjadi
krisis pertama yang harus dihadapi anak karena menimbulkan stress pada anak. Salah
satu stresor utama hospitalisasi pada anak adalah nyeri yang akan berdampak
menimbulkan trauma. Oleh karena itu, anak perlu dipersiapkan dalam menghadapi
pengalaman hospitalisasi dan berbagai prosedur yang menimbulkan nyeri agar anak
mampu mengarahkan energi mereka untuk menghadapi stres akibat hospitalisasi
yang tidak dapat dihindari (Hockenberry & Wilson, 2009).
Prosedur pemasangan infus merupakan prosedur invasif yang sering dilakukan
pada perawatan anak di rumah sakit. Adanya prosedur penusukan vena dalam
33
pemasangan infus dapat menimbulkan rasa cemas, takut, dan nyeri pada anak (Wang,
Sun, & Chen, 2008). Anak prasekolah akan bereaksi terhadap tindakan penusukan
bahkan mungkin bereaksi untuk menarik diri terhadap jarum karena menimbulkan
rasa nyeri yang nyata yang menyebabkan takut terhadap tindakan penusukan.
Karakteristik anak usia prasekolah dalam berespon terhadap nyeri diantaranya dengan
menangis keras atau berteriak, mengungkapkan secara verbal aaow uh, sakit,
memukul tangan atau kaki, mendorong hal yang menyebabkan nyeri, kurang
kooperatif, membutuhkan restrain, meminta untuk mengakhiri tindakan yang
menyebabkan nyeri, menempel atau berpegangan pada orangtua, perawat atau yang
lain, membutuhkan dukungan emosi seperti pelukan, dan antisipasi terhadap nyeri
aktual (Hockenberry & Wilson, 2009). Salah satu yang dapat dilakukan oleh perawat
untuk mencapai perawatan yang tidak menimbulkan trauma adalah mengurangi nyeri,
dalam hal ini nyeri akibat pemasangan infus (Hidayat, 2005).