You are on page 1of 28

PRESENTASI KASUS

STRUMA NODOSA NON TOKSIK

Pembimbing :
dr. Tjatur Budi Winarko, Sp.B
Disusun oleh:
Akhmad (030-11-013)

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU BEDAH
RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA
UKRIDA-USAKTI JAKARTA
PERIODE 10 OKTOBER 2016 18 DESEMBER 2016

FAKULTAS KEDOKTERAN USAKTI


(UNIVERSITAS TRISAKTI)
Jl. Kyai Tapa No.1, RT.6/RW.16, Grogol, Grogol petamburan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
11440

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
1

FAKULTAS KEDOKTERAN USAKTI


Hari/tanggal presentasi kasus :
RSAU dr. Esnawan Antariksa

Nama Mahasiswa

: Akhmad

NIM

: 030.11.013

Dr. Pembimbing/penguji

: dr. Tjatur Budi Winarko, Sp.B

Tanda tangan

A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. Santi Purnawati

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal lahir/Umur

: 24 September 1966 / 50 tahun

Suku Bangsa : Sunda

Status perkawinan

: Menikah

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pegawai Negri Sipil

Pendidikan

: S1

Alamat

: Jl. Kalisari, Cijantung

Tanggal masuk RS

: 7 November 2016, jam 11:00 WIB

B. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 7 November 2016 di Poli Bedah
Umum jam 11:00 WIB
Keluhan Utama
Benjolan di leher depan kanan sejak 5 tahun yang lalu

Keluhan Tambahan
Tidak ada keluhan tambahan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik bedah RSAU Esnawan Antariksa dengan keluhan benjolan
pada leher depan kanan sejak 5 tahun yang lalu, menurut pasien awalnya benjolan
tersebut kecil, namun lama kelamaan benjolan semakin membesar hingga sebesar telur
ayam. Saat benjolan masih kecil, pasien tidak memeriksakannya karena tidak ada keluhan
apa apa. Namun ketika benjolan membesar pasien merasa tidak nyaman dengan
penampilannya sehingga datang ke rumah sakit untuk periksa.
Pasien mengeluh timbulnya benjolan di leher depan bagian kanan sebesar telur ayam
kampung. Pasien tidak mengeluhkan adanya perubahan suara, nyeri saat menelan, susah
menelan maupun sesak nafas. Keluhan jantung berdebar-debar, tangan gemetar, tangan
berkeringat disangkal oleh pasien, pasien tidak mengeluhkan adanya intoleransi terhadap
suhu sekitar seperti keluhan tidak tahan dengan suhu panas maupun dingin.
Pasien tidak mempunyai keluhan seperti demam, penurunan berat badan, penurunan
nafsu makan, maupun cepat lelah atau kekurangan energi. Sebelum pasien belum pernah
memeriksakan dirinya maupun mengkonsumsi obat-obatan untuk mengurangi benjolan
tersebut .

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengatakan tidak pernah mengalami benjolan pada leher sebelumnya. Riwayat
trauma disangkal. Riwayat operasi disangkal. Riwayat hipertensi (+) DM (-) Asma (-)
Jantung (+) Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Pasien rutin
mengkonsumsi obat Amlodipin 10 mg setiap hari untuk mengontrol penyakit hipertensinya

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien menyangkal di keluarga ada yang mengalami penyakit serupa. Riwayat
diabetes mellitus, penyakit jantung dan hipertensi pada keluarga juga disangkal oleh pasien.
C. STATUS GENERALIS
i.

Status Umum
Keadaan Umum : Tidak tampak sakit
: Compos mentis

Tekanan darah

: 140/90 mmHg

Nadi

: 80x/menit

Pernafasan

: 18x/menit

Suhu

: 36,8oC

Tinggi Badan

: 172 cm

Berat Badan

: 60 kg

BMI

: 20,3 (gizi normal)

ii.

Kesadaran

Pemeriksaan Fisik
Kepala

: normosefali

Rambut

: Rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor diameter


3 mm, reflex cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+

Telinga: normotia, darah (-/-), pus (-/-)


Hidung

: deviasi septum (-), sekret -/4

Mulut

: sianosis (-), lidah tidak kotor, oral hygiene baik

Tenggorokan : T1/T1 tenang, faring tidak hiperemis.


Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP)

: tidak dilakukan

Kelenjar tiroid

: terdapat pembesaran pada tiroid lobus

dextra
-

Kelenjar getah bening

Thorax
-

: tidak membesar

Paru-paru depan belakang

Inspeksi

: simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis, tidak

ada bagian dada yang tertinggal, tidak tampak retraksi sela iga

Palpasi

: vocal fremitus kanan kiri teraba sama kuat, nyeri tekan

(-), benjolan (-)

Perkusi

: Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi

: suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Inspeksi

: ictus cordis tak tampak

Palpasi

: ictus cordis teraba pada ICS V, linea midclavicularis

Cor

kiri

Perkusi

Batas kanan

: ICS IV linea sternalis dextra

Batas atas

: ICS II linea sternalis sinistra

Batas kiri

ICS

1/3

lateral

dari

linea

midclavicularis sinistra
Batas bawah

Auskultasi

: ICS VI linea midclavicularis sinistra


: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: Bentuk perut datar, tidak membuncit, warna kulit sawo

matang, pelebaran pembuluh darah (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal 3x per menit

Palpasi

: supel, defens muskular (-), nyeri tekan (-) nyeri ketok

CVA dextra (-)

Perkusi

: timpani pada seluruh lapang abdomen, ascites

Lengan
Otot

Kanan

Kiri

Tonus
Massa

Normotonus
Tidak teraba massa

Normotonus
Tidak teraba massa

Sendi

Normal, tidak ada nyeri

Normal, tidak ada nyeri

Gerakan

Aktif

Aktif

Kekuatan

Normal (5555)

Normal (5555)

Oedem

Tidak ada

Tidak ada

Tungkai & Kaki


Luka

Kanan
Tidak ada

Kiri
Tidak ada

Varises

Tidak ada

Tidak ada

Tonus
Massa

Normotonus
Tidak teraba massa

Normotonus
Tidak teraba massa

Sendi

Normal, tidak ada nyeri

Normal, tidak ada nyeri

Gerakan

Aktif

Aktif

Kekuatan

Normal (5555)

Normal (5555)

Edema

Tidak ada

Tidak ada

Otot

Refleks
Refleks tendon

Kanan
+2

Kiri
+2

Biseps

+2

+2

Triseps

+2

+2

Patella
Refleks kulit

+2
Tidak dilakukan

+2
Tidak dilakukan

Refleks patologis

Negatif

Negatif

D. STATUS LOKALIS
Regio colli anterior dextra
Inspeksi

: Tampak benjolan sebesar telur, warna kulit sama dengan sekitar

Palpasi

: Teraba sebuah massa soliter, ukuran 5cm x 4cm x 4cm. Konsistensi kenyal,
permukaan rata, batas tidak
bergerak

tegas, nyeri tekan (-), mobile, massa ikut

saat menelan (+), pembesaran KGB di servikal, jugular,

submandibular atau klavikular (-)


E. RESUME
Pasien datang ke poliklinik bedah RSAU Esnawan Antariksa dengan keluhan benjolan
pada leher depan kanan sejak 5 tahun yang lalu, menurut pasien awalnya benjolan
tersebut kecil, namun lama kelamaan benjolan semakin membesar hingga sebesar telur
ayam. Saat benjolan masih kecil, pasien tidak memeriksakannya karena tidak ada keluhan
apa apa. Namun ketika benjolan membesar pasien merasa tidak nyaman dengan
penampilannya sehingga datang ke rumah sakit untuk periksa
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tidak tampak sakit, kesadaran
compos mentis, tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 80x/menit, pernafasan 18x/menit,
suhu 36,8oC. Pada pemeriksaan status generalis didapatkan dari kepala, mata, hidung dan
7

tenggorokan tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan leher didapatkan pembesaran


kelenjaran tiroid unilateral. Pada pemeriksaan thorax didapatkan pada paru dan jantung
dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis regio colli didapatkan :
Inspeksi

: Tampak benjolan sebesar telur, warna kulit sama dengan sekitar

Palpasi

: Teraba sebuah massa soliter, ukuran 5cm x 4cm x 4cm. Konsistensi kenyal,
permukaan rata, batas tidak tegas, nyeri tekan (-), mobile, massa ikut
bergerak

saat menelan (+), pembesaran KGB di servikal, jugular,

submandibular atau klavikular (-)

F. DIAGNOSIS KERJA
Struma nodosa non-toksik (SNNT)

G. DIAGNOSIS BANDING
Karsinoma tiroid
Tiroiditis

H. PEMERIKSAAN ANJURAN
Lab Darah Rutin
USG Tiroid
Pemeriksaan T3, T4, TSH

I. PENGOBATAN

Non medikamentosa :
Edukasi kepada pasien mengenai kemungkinan tindakan operasi yang harus dilakukan
Rujuk ke spesialis bedah umum agar dilakukan tindakan sesuai kondisi pasien
J. PROGNOSIS

Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad fungsionam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Anatomi
Thyroidea (Yunani thyreos, pelindung) suatu kelenjar endokrin sangat vaskular, merah

kecoklatan yang terdiri dari lobus dextra dan sinistra yang dihubungkan olecartilago
thyroidea, isthmus terletak di atas cincin trachea kedua dan ketiga sedangkan bagian
terbawah lobus biasanya terletak di atas cincin trachea keempat atau kelima.
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin
trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga
pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat
ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan
dengan kelenjar tyroid atau tidak.
9

Gambar 1.
Anatomi
dan

vaskularisasi kelenjar tiroid.


Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari Arteri Tiroidea Superior yang merupakan
cabang dari a.Karotis Eksterna dan a. Tyroidea Inferior yang merupakan cabang a. Subklavia.
Sistem vena terdiri atas vena tiroidea superior yang berjalan bersama arteri, vena tiroidea
media di sebelah lateral dan vena tiroidea inferior. Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh
jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
perifolikular. Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis
yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl.Pretrakhealis dan
nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke
duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan.

II.

Fisiologi
Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar yang terbesar di dalam tubuh manusia.

Fungsi utamanya adalah: (1) mensekresikan hormon tiroid, yang mengendalikan tingkat
metabolisme di dalam jaringan; serta (2) mensekresikan hormon kalsitonin yang
mengendalikan homeostasis kalsium tubuh. Dalam tulisan ini hanya hormon tiroid yang akan
dikaji secara lebih mendalam, terutama dari tinjauan fisiologi pengaturan dan efeknya
terhadap tubuh.

10

Gambar 2. Proses pembentukan hormon tiroid

Regulasi Sekresi Hormon Tiroid


o Peranan TSH dalam Regulasi Sekresi Hormon Tiroid
Sekresi hormon tiroid diregulasi terutama melalui kadar TSH (thyroid stimulating
hormone) yang bersirkulasi sepanjang pembuluh darah. TSH sendiri merupakan hormon
yang dihasilkan oleh hipofisis anterior (adenohipofisis) yang dikendalikan oleh TRH
(thyroid releasing hormone) yang dihasilkan oleh neuron di hipotalamus.

Efek Metabolik dan Fisiologis Hormon Tiroid


o Mekanisme Kerja
Hormon tiroid dapat memasuki sel karena sifatnya yang lipofilik (hidrofobik). T3
terutama berikatan dengan reseptor tiroid di nukleus sel secara kuat. T 4 dapat pula
melakukan hal serupa dengan afinitas yang lebih rendah. Selain itu dari segi potensi T 3 3-5
kali lebih poten, serta memiliki onset kerja yang lebih dini dibandingkan dengan T 4.
Kompleks hormon-reseptor ini akan berikatan dengan DNA sehingga dapat meningkatkan
atau menurunkan ekspresi gen tertentu.

11

Gambar 3. Efek metabolik hormon tiroid


pada```````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````
```````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````
berbagai organ
I.

Definisi Struma
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena

pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.

II.

Epidemiologi
Struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air minumnyakurang sekali

mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak terdapatstruma endemik adalah di


Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes, Himalaya di mana iodinasi profilaksis tidak
menjangkau masyarakat. Di Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa,
Bali dan Sulawesi.

III.

Faktor risiko

12

a. Umur : walaupun insiden terbanyak terjadi pada usia antara 15-20 tahun, akan tetapi
dengan meingkatknya usia yaitu diatas 60 tahun maka semakin beresiko terjadinya
gangguan tiroid
b. Jenis kelamin : perempuan lebih beresiko terjadi hipertiroid
c. Genetik: berperan penting dalam proses otoimun, antara lain orang yang memiliki
antigen HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras kaukasia, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras
cina dan HLA-B17 pada orang kulit hitam lebih berisiko mengalami gangguan tiroid
d. Riwayat penyakit keluarga yag berhubungan dengan autoimun
e. Lingkungan : Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang
ekspresi DR4 pada permukaan sel- sel folikel tiroid, diduga akibat pengaruh sitokin
(terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia entero colitica, yang
menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan
autoantigen kelenjar tiroid. Asupan iodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar
iodinated immunoglobulin yang lebih bersifat imunogeni sehingga meningkatkan
kecenderungan untuk terjadinya autoimun.
f. Obat-obatan: contohnya amiodarone yang banyak mengandung iodide.
IV.

Klasifikasi Struma

1. Menurut gangguan fungsi kelenjar tiroid, maka dibedakan menjadi:


a) Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar hipofisis
menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacm ini biasanya
tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea
b) Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid sehingga sintesis
dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari kelenjar untuk mempertahankan kadar
plasma yang cukup dari hormon.
Hipotiroidisme dapat diklasifikasikan menurut penyebabnya sebagai berikut:
(1) Primer (kegagalan tiroid), seperti
1. Tiroiditis
2. Iatrogenik
13

(2) Sekunder (terhadap kekurangan TSH hipofisis), seperti hipopituitarisme karena adenoma
hipofisis, terapi ablasi hipofisis, atau destruksi hipofisis.
(3) Tersier (berhubungan dengan defisiensi TRH hipotalamus misalnya karena disfungsi
hipotalamus)

c) Hipertiroid
Hipertiroid menunjukkan aktifitas kelenjar tiroid yang berlebihan dalam mensintesis
hormon tiroid, sehingga meningkatkan metabolisme di jaringan perifer. Sedangkan
tirotoksikosis adalah manifestasi klinis akibat kelebihan hormone tiroid yang beredar dalam
sirkulasi.
Menurut penyebabnya hipertiroid dapat dibagi menjadi:
1. Bentuk dengan hipertiroidisme primer:

Graves disease : Graves disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena


sekitar 80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves disease. Penyakit
ini biasanya terjadi pada usia 20 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1. Penyakit ini
dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun.

Adenoma toksik : pada adenoma toksik ditemukan adanya nodul yang dapat
memproduksi hormon tiroid. Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien
berusia lanjut, dan riwayat terpapar radiasi. Sebagian besar nodul yang ditemukan
pada kasus toxic adenoma bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid
sangat jarang ditemukan.

Goiter multinoduler toksik : Secara patologi toxic multinodular goiter mirip dengan
toxic adenoma karena ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid
secara berlebihan, namun pada toxic multinodular goiter nodul lebih dapat dideteksi
baik secara palpasi maupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi ini adalah
faktor genetik dan pemberian iodine yang berlebihan.

2. Bentuk dengan hipertiroidisme sekunder:


a. Resistensi hormone tiroid
b. TSH secreting tumor
2. Menurut gangguan bentuk kelenjar tiroid, dapat dibedakan menjadi:
a) Struma nodosa toksik
14

Struma nodosa toksik adalah benjolan pada kelenjar tiroid yang secara klinik teraba satu
atau lebih benjolan (struma multinoduler toksik), bisa padat atau berisi cairan (kista) dan bisa
berupa tumor jinak atau ganas. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel tiroid yang
memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh kerja TSH. Sedangkan
maksud dari toksik (tiroktosikosis) merupakan keadaan klinis berupa hipermetabolisme
karena jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah, dimana
kadar hormon ini diproduksi oleh nodul tersebut. Struma ini ditemukan pada Plummers
disease
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus yang
disertai dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia dewasa muda
sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi
toksik. Pertama kali dibedakan dari penyakit Graves oleh Plummer, maka disebut juga
Plummers disease.
Pada penyakit ini menampilkan spectrum penyakit mulai dari nodul hiperfungsi yang
tunggal (toxic adenoma) dan nodul hiperfungsi yang multiple/ terdiri dari banyak nodul
(goiter toksik multinodular). Munculnya nodul ini disebabkan kadar iodine yang rendah,
sehingga menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang
akan menyebabkan mutasi pada reseptor TSH. Nodul ini memiliki fungsi otonom sebagai
kelenjar tiroid maka dari itu kadar hormone tiroid akan meningkat dalam darah dan
menimbulkan gejala klinis hipertiroid. Pada keadaan struma nodosa toksik ini tidak diikuti
dengan gejala oftalmologi maupun kulit.

b) Struma nodosa non toksik


Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik teraba
nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme. Istilah struma nodosa
menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan
pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada
tubuh, maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini
sangat sering dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang
mungkin ada.
Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau
hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan
keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada

15

esofagus (disfagia) atau trakea (sesak napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila
timbul perdarahan di dalam nodul.

c) Struma difusa toksik


Struma diffusa toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang merata, bagian
kanan dan kiri kelenjar sama-sama membesar, gangguan pada kelenjar ini mempengaruhi
fungsi pembentukan hormone tiroid sehingga kadarnya meningkat dan menimbulkan keadaan
klinis hipertiroid pada penderita. Struma ini sering ditemukan pada Graves disease Struma
difusa toksik dapat ditemukan pada Graves Disease. Penyakit ini juga biasa disebut
Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus, eksoftalmus, dan
dermatopati . Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya pada
penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam
kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi
terhadap antigen tersebut.
Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel
tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R
antibodi. Sel tiroid ini akan menghasilkan hormone tiroid yang berlebihan. Terjadinya
ophtalmopathy karena melibatkan limfosit sitotoksik dan antibodi sitotoksik tersensititasi
oleh antigen yang umum pada fibroblas orbita, otot orbita, dan jaringan tiroid . Sitokin yang
berasal dari limfosit tersensitasi ini dapat menyebabkan peradangan fibroblas orbita dan
miositis orbita, berakibat pembengkakan otot-otot orbita, protopsi bola mata, dan diplopia.
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda dengan gejala seperti
berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi terhafap panas, penurunan berat
badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi
( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang
terdapat juga manifestasi pada mata berupa exophthalmus. Penyakit ini juga ditandai dengan
peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.
.
d) Struma difusa non toksik
Struma diffusa non toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid yang merata, bagian
kanan dan kiri kelenjar sama-sama membesar, gangguan pada kelenjar ini tidak
mempengaruhi fungsi pembentukan hormone tiroid sehingga tidak menimbulkan keadaan
klinis hipertiroid pada penderita, seperti yang ditemukan pada endemik goiter.

16

Struma endemik adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid yang
terjadi pada suatu populasi, dan diperkirakan berhubungan dengan defisiensi diet dalam
harian. Epidemologi endemik goiter diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada populasi
anak sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari beberapa penelitian.
Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet. Kejadian goiter endemik sering
terjadi di derah pegunungan, seperti di himalaya, alpens, daerah dengan ketersediaan yodium
alam dan cakupan pemberian yodium tambahan belum terlaksana dengan baik.
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang tampak
tanpa membentuk nodul. Bentuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik (fungsi tiroid
normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel . Akibat kekurangan yodium
dapat menghambat pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid Hal tersebut
memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH kemudian
menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke
dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan
yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih
besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat.

e) Tiroiditis
Tiroiditis adalah peradangan pada kelenjar tiroid, yang paling sering adalah tiroiditis
hashimoto, Pada Tiroiditis Hashimoto mungkin merupakan penyebab hipotiroidisme
tersering. Pada pasien-pasien lebih muda, lebih sering dihubungkan dengan goiter; pada
pasien lebih tua, kelenjar mungkin dihancurkan total oleh proses imunologis. Didapatkan
infiltrasi limfosit ke seluruh kelenjar tiroid yang menyebabkan destruksi progresif folikel
kelenjar. Dalam beberapa tahun terjadi atrofi kelenjar dengan fibrosis. Berbagai macam
antibody antitiroid dapat ditemukan dalam kadar tinggi di darah sebagai tanda reaksi
autoimun. Penyakit ini cukup sering dijumpai dan lebih sering terjadi pada wanita, dan usia
dewasa dengan atau tanpa pembesaran tiroid.
V.

Manifestasi Klinis

a) Struma dengan manifestasi klinik non toksik


17

Non toksik dapat diartikan tidak adanya gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar
hormon tiroid, dikenal sebagai keadaan eutiroidisme atau hipotiroidisme.
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang disebabkan
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan

kelenjar hipofisis

menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya
tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea, ataupun esophagus.
Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi
multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat
menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma
nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa
tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan

trakea

bila

pembesarannya

bilateral. Struma nodosa

unilateral

dapat

menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian


mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan
gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar

b. Hipotiroidisme
Dapat dibedakan menjadi 2 kelompok: 1). Yang bersifat umum karena kekurangan
hormon tiroid di jaringan 2). Spesifik, disebabkan karena penyakit dasarnya.
Keluhan utama yaitu kekurangan energi, manifestasinya sebagai lesu, lamban bicara,
mudah lupa, obstipasi. Metabolisme rendah menyebabkan bradikardia, tak tahan dingin, berat
badan naik, dan anoreksia. Psikologis: depresi, meskipun nervositas dan agitasi dapat terjadi.
Reproduksi: oligomenorea, infertil, aterosklerosis meningkat. Semua tanda di atas akan
hilang dengan pengobatan.
Ada tambahan keluhan spesifik, terutama pada tipe sentral. Pada tumor hipofisis mungkin
ada gangguan visus, sakit kepala, muntah. Sedangkan dari gagalnya fungsi hormon tropiknya,
misalnya karena ACTH kurang, dapat terjadi kegagalan faal korteks adrenal dan sebagainya.
18

b) Struma dengan manifestasi klinik toksik


Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis akibat kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi karena keadaan hipertiroid. Kira-kira 70% tirotoksikosis karena penyakit
Graves, sisanya karena gondok multinoduler toksil, dan adenoma toksik.
Gejala dan tanda yang timbul pada struma difusa toksik merupakan manifestasi dari
peningkatan metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis
terlihat jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan
seringkali asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan
berat badan secara drastis. Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat
dalam bentuk peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/
cardiac output sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat.
Irama nadi meningkat dan tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer;
penderita akan mengalami takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan
saraf autonom dapat mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi
atrium, dan fibrilasi ventrikel. Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat
sehingga sering timbul polidefekasi dan diare. Hipermetabolisme susunan saraf biasanya
menyebabkan tremor, penderita sulit tidur, sering terbangun di waktu malam. Penderita
mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak
beralasan yang sangat menggangu. Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan
dispnea dan takipnea yang tidak terlalu mengganggu.
Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya cukup mengganggu
dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit yang dipicu
oleh adanya hipertiroidi tersebut. Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau
metrorhagia. Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan
lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata terjepit.
Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata akibat keratitis.
Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.
VI.

Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada pada posisi
duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan
19

atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk
(diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan palpasi pada
permukaan pembengkakan.
2. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi
fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari
kedua tangan pada tengkuk penderita. Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah
benjolan tersebut benar adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa
pada saat pasien diminta untuk menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan
ikut bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan
kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :
Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus.
-

Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang.

Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa).

Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras.

Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi.

Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoidea.

Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak.


VII.

Pemeriksaan Penunjang

1. Tes Fungsi Hormon


Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi tiroid
untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum
diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam
sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay
radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid.
Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di bawah normal pada
pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian
pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan
untuk mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
2. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat
trakea (jalan nafas).
3. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar TV.
USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul yang
20

mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis
dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
4. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi
jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian
pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat.
Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau positif
palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.

VIII. Penatalaksanaan
Terdapat tiga modalitas terapi penyakit struma yaitu medikamentosa, terapi
radioiodine, dan tindakan pembedahan.
1.

Medikamentosa

Obat anti tiroid

Modalitas utama yang paling banyak digunakan bagi pasien dengan struma toksik
(hipertiroid) adalah obat anti tiroid (OAT). Tujuan pemberian OAT adalah untuk menurunkan
konsentrasi hormone tiroid di perifer. Obat ini berkerja di intratiroidal, ekstratiroidal, dan
mengenali proses imunologi PG. Pada kelenjar tiroid, OAT menghambat proses oksidasi dan
organifikasi iodium, inhibisi coupling iodotirosin, serta mempengaruhi struktur dan
biosintesis tiroglobulin. Pada jaringan ekstratiroidal, OAT menghambat konversi T4 menjadi
T3. OAT terdiri dari 2 golongan:18

Tionamid (Propiltiourasil) : dosis awal pemberian adalah 300-600 mg/hari,


maksimal 2000 mg/hari

Imidazole (metimazol, karbimazol, dan tiamazol): dosis awal metimazol dan


tiomazol adalah 20-40 mg/hari

Pemberian OAT untuk penyakit hipertiroid sampai tercapai secara klinis eutiroid, dan
dipertahankan selama 12-24 bulan sampai tercapai kondisi remisi. Eutiroid adalah kondisi
dimana adanya kelainan pada bentuk kelenjar tiroid tetapi fungsi kelenjar normal. Remisi
yaitu keadaan dimana pasien masih dalam keadaan eutiroid setelah obat antitiroid dihentikan
selama satu tahun. Akan tetapi kejadian relaps biasa terjadi dalam 3-6 bulan setelah obat di
21

hentikan. Apabila terjadi relaps, maka dapat dipertimbangkan untuk diberikan OAT kembali
(terapi bedah, terapi radioiodine).
Efek samping ringan berupa kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash dapat
ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu penghentian pengobatan. Dosis
yang sangat tinggi dapat menyebabkan hilangnya indera pengecap, cholestatic jaundice dan
kadang-kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%), kemungkinan ini lebih besar pada penderita
umur di atas 40 tahun yang menggunakan dosis besar. Efek samping lain yang jarang terjadi
berupa : arthralgia, demam, rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit kepala, limfadenopati,
hipoprotrombinemia, trombositopenia, gangguan gastrointestinal.
Obat tiroid
Modalitas yang digunakan bagi pasien dengan struma non toksik (hipotiroid) adalah obat
tiroid. Tujuan pengobatan hipotiroidisme adalah meringankan keluhan dan gejala,
menormalkan metabolisme, menormalkan TSH, membuat T4 dan T3 normal, dan
menghindarkan risiko dan komplikasi. Prinsipnya adalah substitusi menggantikan
kekurangan produksi hormone tiroid endogen pasien. Obat tiroid ada 2 jenis aitu L-tiroksin
(T4), dan L-triodotironin (T3). Akan tetapi L3 tidak lagi digunakan karena waktu paruhnya
yang pendek hingga perlu diberikan beberapa kali sehari. Obat oral yang terbaik adalah Ltiroksin (T4). Dosis rerata substitusi ialah 112 ug/hari atau 100-125 mg sehari.

Pasien usia lanjut: Pengobatan harus dimulai pada dosis rendah dengan titrasi lambat
berdasarkan penilaian serum thyroid-stimulating hormone (TSH). rentang serum TSH
normal lebih tinggi pada pasien lanjut usia. Menurut American Thyroid Association
(ATA) menyarankan menaikkan target serum TSH untuk 4-6 mIU / L di usia orang 70
sampai 80 tahun.

Pasien hamil: levothyroxine harus diberi dosis titrasi untuk mencapai konsentrasi TSH
dalam kisaran referensi trimester spesifik berikut: 0,1-2,5 mIU / L untuk trimester
pertama, 0,2-3,0 mIU / L untuk trimester kedua, dan 0,3-3,0 mIU / L untuk trimester
ketiga. Serum TSH harus dinilai ulang setiap empat minggu pada trimester pertama
dan kedua dan sekali selama trimester ketiga.

Bayi dan anak-anak: Untuk hypothyroidism, bayi yang baru lahir biasanya
membutuhkan terapi penggantian levothyroxine pada 10 mcg / kg / hari, anak berusia
1 tahun 4 sampai 6 mcg / kg / hari, dan remaja di 2 sampai 4 mcg / kg / hari . Setelah
pematangan endokrin selesai, transisi ke dosis dewasa rata-rata 1,6 mcg / kg / hari
dapat dibuat. Pengobatan untuk hipotiroidisme subklinis juga dianjurkan pada anakanak karena manfaat dari menghindari dampak negatif potensial terhadap
22

pertumbuhan dan pengembangan. Pengobatan tidak dianjurkan untuk anak-anak


dengan TSH dari 5 sampai 10 mIU / L.
2.

Pembedahan

Selain itu tindakan bedah dapat juga dipertimbangkan, tujuan pembedahan untuk
mencapai keadaan eutiroid yang permanen. Indikasi utama untuk melakukan tindakan
pembedahan adalah:
1. Pada pasien yang gagal (sudah menjalani pengobatan dengan OAT namun mengalami
relaps) contoh pada struma dius toksik atau alergi terhadap obat-obat antitiroid.
2. Struma uni nodosa atau multinodosa yang diduga mengalami keganasan
3. Struma multinodosa dengan gangguan tekanan pada organ lain
4.Penderita dengan keadaan yang tidak mungkin diberi pengobatan dengan I131(wanita
hamil atau yang merencanakan kehamilan dalam waktu dekat)
5. Penderita yang sulit dievaluasi pengobatannya, yang keteraturannya minum obat tidak
terjamin
6. Alasan kosmetik.
Kontraindikasi pada operasi struma :
1.
Struma toksik yang belum dipersiapkan sebelumnya
2.
Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang
belum terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit digerakkan yang
biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang demikian biasanya sering dari tipe
anaplastik yang jelek prognosisnya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
sekaligus dilakukanreseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan dengan jaringan
lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang baik.
4. Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya karena metastase
luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun telah dilakukan sternotomi, dan bila
dipaksakan akan memberikan mortalitas yang tinggi.

Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah nodul tiroid


tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut suspek maligna, maka
dibedakan apakah kasus tersebut operable atau inoperable. Bila kasus yang dihadapi adalah
inoperable maka dilakukan tidakan biopsi insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis.
Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi.
Bila nodul tiroid suspek maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan
tindakan isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi
23

tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan terlebih dahulu
jenis karsinoma yang terjadi.
Untuk persiapan pembedahan dengan gejala toksik dapat diberikan kombinasi antara
thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai keadaan eutiroid. Thionamid biasanya
diberikan 6 - 8 minggu sebelum operasi. Propranolol dapat diberikan beberapa minggu
sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan yodium dapat diberikan 10 hari sebelum operasi.
Dalam pembedahan terdapat 6 jenis tiroidektomi, yaitu :
1. Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang mengandung jaringan
patologis. Ini dilakukan pada struma nodul soliter yang tidak terlalu besar.
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi): hemitiroidektomi adalah
pengangkatan satu sisi lobus tiroid, dapat dilakukan pada struma nodul soliter yang
besar. Sedangkan ismolobektomi adalah tindakan pengangkatan satu sisi lobus tiroid
dan ishtmus. Tindakan ini dapat dilakukan struma multinoduler unilateral.
3. Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang mengandung
jaringan patologis (pengangkatan satu lobus, istmus dan sebagian lobus lainnya).
Tindakan ini dilakukan pada Graves disease, struma multinodular bilateral,
Plummers disease, Hasimoto disease.
4. Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang patologis, istmus,
dan sebagian besar lobus kontralateralnya. Dapat dilakukan pada karsinoma tiroid tipe
diferensiasi baik dengan factor prognosis yang baik
5. Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid. Dilakukan pada keganasan
tiroid terbatas tanpa kelainan kelenjar limfe, dan pada karsinoma tiroid tipe
diferensiasi baik dengan factor prognosis yang jelek.
6. Tiroidektomi total radikal, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar dan kelenjar limfatik
servikal. Dilakukan pada keganasan tiroid yang sudah bermetastase ke kelenjar getah
bening, maupun organ lain, dan keganasan tiroid tipe diferensiasi buruk. Operasi yang
sifatnya extended:
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain perdarahan, edema laring, cedera nervus
laringeus rekuren, cedera pada trakea atau pada esophagus. Penyulit lain yang berbahaya
pascabedah adalah adanya hematoma di lapangan operasi yang menimbulkan penekanan
terutama pada trakea dan obstruksi pernapasan.
Pasien operasi pasca dipantau secara ketat untuk komplikasi. Biasanya, operasi
tiroid dilakukan pemantauan dalam 24 jam pasca pembedahan. Yang dievaluasi perdarahan,
infeksi pada luka, cedera syaraf, dan hipoparatiroidisme sekunder (gejala hipokalsemia), dan
24

gejala obstruksi pernapasan. Perdarahan terjadi pada 6 12 jam pertama pasca pembedahan.
Evaluasi perdarahan meliputi volume drainase, konsistensi, warna dan fungsional drainase.
Suction drain umum digunakan untuk menghindari akumulasi darah dan serum (seroma)
setelah pengangkatan tiroid. Luka tiroidektomi harus dipantau secara ketat untuk
kenyamanan pasien.
Tanda-tanda perdarahan seperti hipotensi dan takikardi harus selalu diobservasi.
Tanda-tanda infeksi pada luka tiroidektomi harus diobservasi. Infeksi dapat disebabkan oleh
bakteri Staphylococcus atau Streptococcus. Infeksi pada luka tiroidektomi jarang ditemukan,
hanya sekitar 0,3 0,8%, yang dapat dipantau adalah suhu dan kadar leukosit sebagai
indikator dini adanya infeksi. Pemberian antibiotik dapat diberikan untuk penecegahan
infeksi.
Penyebab hipokalsemia multifaktorial. Penyebab yang paling umum adalah
kerusakan pada kelenjar paratiroid. Gejala hipoparatiroidisme timbul pada 24 72 jam pasca
operasi. Pasien akan menunjukkan dengan merasa kesemutan di ekstrimitas. Tanda
Trousseaus dan Chvosteks signs mengindikasikan terjadi hipokalsemia. Trousseaus sign
merupakan kejang yang disebabkan oklusi pada arterial dengan manset tekanan darah.
Trousseaus

sign

dilakukan

dengan

mengkompresi

lengan

atas

dengan

manset

tensimeter,kembangkan manset tekanan darah sampai sekitar 20 mmHg di atas tekanan


sistolik dan tahan 2 5 menit, dimana mula-mula timbul rasa kesemutan
pada ujung ekstremitas, lalu timbul kejang pada jari-jari dan tangan.
Chvosteks sign dilakukan dengan memukul ringan 2 cm di depan tragus telinga
(bagian telinga yang menonjol kecil di daerah pipi/jambang). Chvosteks sign terdiri atas
kedutan pada otot yang dipersarafi oleh saraf fasial ketika saraf tersebut ditekan sekitar 2 cm.
Pemberian kalsium karbonat dosis tinggi dapat diberikan pada pasien dengan hipokalsemia.
Pasien dengan hipokalsemia yang parah dapat diberikan intervensi kolaborasi terapi intravena
dengan 10 ml 10% glukonat selama lima menit
kemudian infus lanjutan NaCl 0,9% dengan 30 40 ml dari 10% kalsium glukonat per 24
jam sampai total kadar kalsium mencapai nilai normal (8,6 10,3mg/dL).
Untuk penatalaksanaan Tiroiditis Hashimoto: Pada awalnya penderita tiroiditis
Hashimoto akan eutiroid, kemudian berubah secara bertahap menjadi hipotiroid yang pada
saat ini memerlukan terapi substitusi dengan sediaan hormone tiroid. Struma ini sering kali
asimetrik sehingga perlu tindakan biopsy untuk membedakan dengan keganasan.
Pengobatannya terutama untuk tiroiditis ini bersifat tindakan bedah paliatif dan simtomatik.
3. Terapi yodium radioaktif
25

Terapi ini bertujuan untuk menghancurkan sel-sel tiroid secara progresif.


Radioiodinasi dapat dipertimbangkan sebagai lini pertama maupun sebagai terapi lini kedua
pada

pasien

yang

mengalami

relaps

setelah

pengobatan

OAT.

Modalitas

ini

dikontraindikasikan pada ibu hamil dan menyusui. Agen anti-tiroid diberikan selama empat
sampai enam minggu sebelum radio-ablasi dalam upaya untuk membuat pasien eutiroid dan
dengan demikian mencegah perkembangan krisis thyrotoxic selama awal pengobatan.
Ini dihentikan dua sampai tiga hari sebelum perawatan untuk memastikan fungsional
dari jaringan tiroid yang diperlukan untuk mengambil yodium. Sebagian besar pasien (75%)
membutuhkan hanya dosis tunggal radio-iodine, dosis yang biasa digunakan sebesar 200
600MBq). Efek dari RAI tidak langsung dan terus selama berbulan-bulan setelah perawatan.
Perbaikan gejala dapat memakan waktu hingga dua bulan. Komplikasi pada kelenjar tiroid
dapat terjadi perkembangan hipotiroidisme di sekitar 60% dari pasien pada 1 tahun pertama,
oleh karena itu pengawasan jangka panjang dapat diberikan penggantian T4.

26

BAB III
ANALISIS KASUS
1. DASAR DIAGNOSIS
Dasar Diagnosis ditetapkan berdasarkan gejala klinis yang dikeluhkan oleh pasien,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis ini sesuai dengan tanda dan
gejala simptomatik hemoroid, yaitu ;
1

Benjolan pada leher kanan sejak 5 tahun yang lalu

Benjolan semakin membesar yang dari awalnya sebesar kelereng hingga sebesar
telur ayam.

Pasien tidak mengatakan adanya keluhan lain

Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran kelenjar tiroid dextra.

Pada status lokalis region colli anterior dextra didapatkan :


i Inspeksi :Tampak benjolan sebesar telur, warna kulit sama dengan
sekitar
ii Palpasi :Teraba sebuah massa soliter, ukuran 5cm x 4cm x 4cm.
Konsistensi kenyal, permukaan rata, batas tidak tegas, nyeri tekan (-),
mobile, massa ikut bergerak

saat menelan (+), pembesaran KGB di

servikal, jugular, submandibular atau klavikular (-)


Pemeriksaan penunjang belum dilakukan namun untuk pasien ini dapat diajurkan
untuk pemeriksaan T3, T4, TSH, USG tiroid, dan pemeriksaan darah rutin.
2. ALASAN RENCANA PENATALAKSANAAN
. Pada pasien ini tidak diberikan terapi untuk sementara dikarenakan tidak adanya
keluhan yang dikatakan oleh pasien selain adanya benjolan. Sementara untuk terapi definitif
disarankan untuk dirujuk ke dokter spesialis bedah dan memberikan edukasi agar pasien
bersedia untuk dioperasi.
3. KOMPLIKASI PROGNOSA
27

Kemungkinan komplikasi yang bias terjadi pada pasien ini adalah penekanan dari tumor
yang terus membesar sehingga dapat menyebabkan keluhan pada menelan dan bernafas
yang merupakan karena penekanan pada trakea maupun esophagus.
4. KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI
Pada pasien ini sebagai saya sebagai dokter umum hanya melakukan edukasi pasien
tentang penyakit yg dideritanya dan prinsip penatalaksanaan. Edukasi mengenai operasi
berdasarkan atas indikasi. Indikasi operasi pada pasien ini adalah indikasi kosmetik, dimana
tidak terdapat keluhan yang mengganggu pasien namun pasien mengeluhkan dari segi
kosmetik.

28

You might also like