You are on page 1of 12

ILSAFAT AL-KINDI

Monday, 1 April 20131komentar

Oleh: Syafieh. M. Fil. I


A.
Pendahuluan
Falsafat atau filsafat adalah merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu
philosophia sebagai gabungan dari philein yang berarti cinta dan shoppos yang berarti
hikmah. Kemudian philosophia masuk kedalam bahasa arab menjadi Falsafat yang
berarti cara berfikir menurut kogika dengan bebas, sedalam dalamnya sampai kepada
dasar persoalan.
Dari segi praktisnya berfilsafat berarti berfikir . filsafat berarti alam fikiran atau
alam berfikir. Namun demikian tidak semua berfikir berarti berfilsafat.Sidi Gazalba
mengartikan berfilsafat berarti mencari kebenaran untuk kebenaran tentang segala
sesuatu yang dimasalahkan,berfikir secara radikal, sistematis,dan universal. Dapatlah
dikatakan bahwa intisari filsafat ialah berfikir secara logika dengan bebas ( tidak terikat
pada tradisi, dogma dan agama ) dan dengan sedalam dalamnya sehingga sampai ke
dasar dasar persoalan.
Agama yang berarti menguasai diri seorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada
tuhan dengan menjalankan ajaran agama. intisari yang terkandung didalamnya adalah
ikatan . Agama mengandung arti ikatan ikatan yanag harus dipegang dan dipatuhi
manusia. Karena mempunyai pengaruh dalam aktivitas manusia. Dan ikatan itu,
mempunyai kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indra.
Filsafat bagi al-kindi ialah pengetahuan tentang yang benar. Disinilah terdapat persamaan
filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar apa yang
baik.demikian halnya filsafat. Agama, disamping wahyu, mempergunakan akal,dan
filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama bagi al-kindi ialah Tuhan dan filsafat
yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Bahkan al-kindi berani mengatakan bagi
orang yang menolak filsafat, telah mengingkari kebenaran, dan menggolongkannya
kepada kafir, karena orang orang tersebut telah jauh dari kebenaran, walaupun

menganggap dirinya paling benar. Karena keselarasan antara filsafat dan agama
didasarkan pada tiga alasan:(1) ilmu agama merupakan bagian dari filsafat, (2) wahyu
yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian dan,(3) menurut
ilmu, secara logika, diperintahkan dalam Agama.
B.
Al-Kindi
1.
Biografi dan Pendidikannya
Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Ya'kub bin Ishaq As-Shabbah bin 'Imran bin
Ismail bin Muhammad Al-Asy'ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah sekitar tahun
185 H (801 M). Ia termasuk keluarga yang kaya dan terhormat. Kakek buyutnya bernama
Al-Asyats ibnu Qays yakni seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang gugur sebagai
Syuhada bersama saad ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum muslimin
dengan Persia di Irak. Sedangkan ayahnya bernama Ishaq ibnu As-Shabbah yakni seorang
Gubernur di Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (tahun 775-785 M) dan Al-Rasyid
(tahun 786-809 M). namun ayahnya meninggal ketika ia masih usia anak-anak.[1]
Al-kindi berasal dari Klan Kindah yakni salah satu Kabilah Arab. Selain dari itu, karena
ia merupakan keturunan Arab, ia dimasukkan dalam kelompok filosof Arab.[2] Nama AlKindi dinisbatkan pada sukunya yakni Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku yang
dikenal memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi orang
dikala itu. Suku ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar dan
tersebar para kesustraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qays yang gagal untuk
memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.[3]
Kalau diperhatikan dari tahun kelahiran al-Kindi, kita dapat membuat sebuah kesimpulan
bahwa ia hidup pada masa kekuasaan Bani Abbas. Pada masa kecil ia telah merasakan
masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Al Kindi sudah menjadi Yatim sejak ia
masih berusia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut
ilmu dengan baik. Al Kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima Khalifah Bani
Abbas, yakni Al-Amin (809-813 M), Al-Mamun (813-833 M), Al- Mutasim (833-842
M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).[4]
Al-Kindi adalah seorang yang aktif dalam segala aktivitas dilakukannya. Salah satu
bentuk dalam kesibukannya ia menyibukkan dirinya untuk menerjemahkan karya-karya
tulisan Yunani ke dalam Bahasa Arab, juga mengkoreksi hasil terjemahan orang lain atas
karya-karya tersebut dan ia pun bekerja di Istana Khalifah Abbasiyah. Tidak hanya itu,
karena ia dipercaya oleh pihak Istana dengan kemampuannya untuk mengajar, maka
iapun diangkat menjadi guru pribadi pendidik anak Khalifah di kala itu yang bernama
Mutashim. Mutashim adalah Khalifah yang menggantikan Al-Makmun, sedangkan anak
yang dididik oleh al-Kindi bernama Ahmad bin Mutashim. Namun di masa terakhir
kehidupannya, ia diusir dari istana.[5] Akhirnya ia meninggal di Baghdad pada Tahun
252 H/866 M.
Al-Kindi mulai belajar sejak ia kecil, dan ia mempelajari ilmu-ilmu sesuai dengan
kurikulum pada masanya. Ia mempelajari al-Quran serta belajar membaca, menulis,
menghitung yang diperolehnya sewaktu ia masih Sekolah Dasar di Bashrah. Kemudian
ia melanjutkan ke Baghdad hingga tamat, sehingga ia mahir dalam berbagai cabang ilmu

yang ada pada waktu itu, seperti ilmu ketabiban (kedokteran), filsafat, ilmu hitung,
mantigh (logika), geometri, astronomi, seni musik, ilmu ukur dan lain sebagainya.
Penguasaanya terhadap filsafat telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang
berkebangsaan Arab dalam jajarannya para filosof terkemuka. Karena itulah ia dinilai
pantas menyandang gelar Failasuf al-Arab (filosof berkebangsaan Arab).[6] Ia juga
mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani, hingga sekurang-kurangnya memahami
salah satu bahasa yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan di kala itu yakni bahasa
Suryani. Dari buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Suryani inilah
Al-Kindi menerjemahkannya kedalam bahasa Arab.
2.
Karya-Karyanya
Sebagai seorang ilmuwan yang kaya dengan pengetahuan, maka al-Kindi membuat
sebuah karya tulis ilmiah, dan membuat terjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus
melakukan koreksi serta perbaikan atas terjemahan orang lain. Sebagai seorang pakar
ilmuan di kala itu, kita dapat melihat beberapa hasil tulisan yang dibuat oleh Al Kindi,
yakni sebagai berikut:
a.

Bidang Filsafat
1. Fi al-falsafat al-Ula,
2. Kitab al-Hassiala Taallum al-Falsafat,
3. Risalat ila al-Mamun fi al-illat wa Malul,
4. Risalat fi Talif al-Adad,
5. Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masail al-Manthiqiyyat wa al-Mutashah wa
ma Fauqa al-Thabiiyyat,
6. Kammiyat Kutub Aristoteles,
7. Fi al-Nafs [7]

b.

Bidang Astronomi
1. Risalah fi Masail Suila anha min Ahwal al-Kawatib (jawaban dari pertanyaan
tentang planet),
2. Risalah fi Jawab Masail Thabiiyah fi Kayfiyyat Nujumiah (pemecahan soal-soal
fisik tentang sifat-sifat perbintangan),
3. Risalah fi anna Ruyat al Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-Qowl
fiha bi at-Taqrib (bahwa pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat ditentukan
dengan ketetapan,

4. Risalah fi Mathrah asy-Syua (tentang projeksi sinar),


5. Risalah fi Fashlayn (tentang dua musim yakni; musim panas dan musim dingin),
6. Risalah fi Idhah illat Ruju al-Kawakib (tentang penjelasan sebab gerak
kebelakang planet-planet),
7. Fi asy-Syuat (tentang sinar bintang).
c. Meteorologi
1. Risalah fi illat Kawnu adh-Dhabasb (tentang sebab asal mula kabut),
2. Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu fi al-laww Yusamma Kawkaban (tentang tanda
yang tampak di langit dan disebut sebuah planet),
3. Risalah fi illat Ikhtilaf Anwaus Sanah (tentang sebab perbedaan dalam tahun-tahun),
4. Risalah fi al-Bard al-Musamma Bard al-Ajuz (tentang dingin),
d. Ramalan
1. Risalah fi Taqdimat al-Khabar (tentang Prediksi),
2. Risalah fi Taqdimat al-Marifat fi al-Ahdats (tentang ramalan dengan mengamati
gejala meteorolgi).
e. Ilmu Pengobatan
1. Risalah fiillat Naftcad-Damm (tentang hemoptesis yakni; batuk darah dari saluran
pernapasan),
2. Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib (tentang rabies).
f. Ilmu Hitung
1. Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah (tentang jumlah relatif),
2. Risalah fi at-Tajhid min Jihat al-Adad (tentang keesaan dari segi angka-angka).
g. Logika
1. Risalatun fi Madhkal al-Mantiq bi Istifa al-Qawl fihi (tentang sebuah pengantar
lengkap logika),
2. Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris (sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry).
Karya-karya yang disebutkan di atas merupakan sebagian terkecil dari sekian banyak
karya Al-Kindi. Karya Al-Kindi di susun oleh Ibnu An-Nadim yang menyebutkan tidak
kurang dari 242 buah karya Al-Kindi, sedangkan sumber lain menyebutkan 265 buah, dan
membaginya menurut pokok persoalannya menjadi filsafat, logika, ilmu hitung, sferika,
ilmu kedokteran, astrologi, polemik, psikologi, politik, meteorologi, dan ramalan.[8]
3.
Pemikiran Al-Kindi
Menurut sejarah dibeberapa buku, seperti; Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh Falasifah Al-Islam,
Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, dan Lainnya menyatakan bahwa al-Kindi adalah seorang filosof
Islam yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha memadukan antara ajaran filsafat
Yunani dengan ajaran Islam. Atas perpaduan antara ajaran filsafat yunani dengan Ajaran

Islam, maka ini terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah memusnahkan keyakinan
agama yang dimiliki umat Islam selama umat Islam tersebut sudah kokoh berpegang pada
dasar-dasar Islam. Selama eksisnya dalam mempelajari filsafat, al-Kindi memberikan
definisi-definisi singkat dari filsafat itu sendiri.
Menurutnya filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan
sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia, pengetahuan dari segala
pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan, hingga kesemuaanya dititik
beratkan pada nilai tingkah laku manusia. Menurutnya lagi filosof adalah orang yang
berupaya memperoleh kebenaran dan hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup
adil. Filosof yang sejati adalah filosof yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan
mengamalkan kebijaksanaan itu.[9]
Sebagai seorang muslim, Al-Kindi berusaha menggegas agar filsafat bisa dipelajari dan
berpadu dalam Islam, namun arah tujuan dari semua itu tidak untuk kebenaran yang
hakiki. Untuk itu Al-Kindi yang terkenal sebagi Filosof Islam pertama kali di dunia
membuat suatu usaha demi sebuah pencerahan. Salah satu usahanya adalah al-Kindi
memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat supaya
menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada
tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang
mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu
sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan martabat orang yang
menerimanya.[10]
Kemudian ia Mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama
melalui perpaduan antara akal dan agama. Kalau di gariskan maka, filsafat berlandaskan
akal sedangkan agama berdasarkan wahyu. Logika (mantiq) merupakan metode filsafat
sedang iman merupakan kepercayaan kepada hakikat yang disebutkan dalam Al-Quran
sebagaimana diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya. Apa yang telah dinyatakan dalam alQuran merupakan satu ilmu yang mesti dipelajari melalui akal dan keimanan, sebagai
contoh firman Allah Swt Q.S. Al-Baqarah ayat 164 :






Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, perbedaan malam dan siang, kapal
yang berlayar dilautan (membawa) barang-barang yang berfaedah bagi manusia, hujan
yang diturunkan Allah Swt dari langit, lalu dihidupkanNya dengan dia bumi yang telah
mati, berkeliaran diatasnya tiap-tiap yang melata, angin yang bertiup dan awan yang
terbentang antara langit dan bumi, sesungguhnya segala yang tersebut itu menjadi ayatayat (bukti-bukti atas kekuasaan Allah Swt) bagi kaum yang berfikir.
Dalil kedua yang dimunculkannya adalah Q.S Al-Hasyr ayat 2;
...

maka ambillah
pemandangan.

ibrah

(pengajaran),

hai

orang-orang

yang

mempunyai

Ia juga menselaraskan antara filsafat dan agama yang didasarkan pada tiga alasan:
pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan
kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, secara
logika diperintahkan dalam agama.[11]
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala suatu, dan ini mengandung
teologi (al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Kebanyakan definisi filsafat al-Kindi dikumpulkan dari karya-karya Aristoteles dan
kesukaannya kepada Aristoteles tidak bisa di abaikan. Bahkan, ketika ia meringkas dari
sumber-sumber lain yang secara keliru, ia menisbahkan pula kepada Aristoteles. Subjek
dan susunanya sesuai benar dengan sumber Neopolitik. Pada definisi pertama, Tuhan
disebut Sebab pertama mirip dengan Agen Pertamanya Plotinus, suatu ungkapan
yang juga digunakan al-Kindi atau dengan istilahnya Yang Esa adalah sebab dari segala
sebab. Definisi-definisi berikutnya dalam Risalah al-Kindi dikemukakan susunanya
yang membedakan antara alam atas dan alam bawah. Yang pertama ditandai dengan
definisi-definisi akal, alam, dan jiwa, diikuti dengan definisi-definisi yang menandai alam
bawah, dimulai dengan definisi badan (jism), penciptaan (ibda), materi (hayula), bentuk
(shurah).[12] Dari dasar pemikiran al-kindi akhirnya timbullah pemikiran Filsafatnya
antara lain:
a. Filsafat Ketuhanan
Filsafat Ketuhanan al-Kindi merupakan awal lahirnya perbincangan Ketuhanan, namun
penafsiran al-Kindi mengenai Tuhan sangat berbeda dengan pendapat Aristoteles, Plato
dan Plotinius. Mengenai hakikat ke-Tuhanan ia mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud
yang Esa, tidak ada sesuatu benda apapun yang menyerupai akan Tuhan, dan Tuhan
tidaklah melahirkan ataupun dilahirkan, akan tetapi Tuhan akan selalu hidup dan tidak
akan pernah mati. Dalam al-Quran Surat al-Ikhlas ayat 1 s/d 4 sebagai bukti keberadaan
Tuhan.
* *
*
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak
ada seorangpun yang setara dengan Dia".
Dalam Islam Sang Khalik atau pencipta dan penguasa segalanya di buat sebuah
penamaan yakni Allah Swt sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas maka, itulah
bukti yang paling kongkrit bahwa Allah swt itu ada dan hidup kekal selamanya,
sedangkan manusia adalah Hamba Allah yang diberikan kehidupan hingga akhirnya mati.
Bagaimana kita bisa percaya akan adanya Allah Swt, maka dari itu sebagai manusia biasa
diberikan akal, hati dan nurani untuk dapat menyakini adanya Allah swt melalui buktibukti kekuasaan Allah Swt.

Agar manusia khususnya umat Islam tidak berselisih paham akan keberadaan Allah Swt,
tentang keberadaan alam, ataupun keberadaan manusia itu sendiri, maka sebagai seorang
filosof, al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua bahagian, yakni: pertama,
pengetahuan Ilahi ( divine science). Pengetahun ini diambil langsung dari yang
tercantum dalam al-Qur-an yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh Nabi dari Tuhan.
Sedangkan dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi
( human science) atau falsafat. Dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason).
Argumen-argumen yang dibawa Quran lebih meyakinkan daripada argumen-argumen
yang ditimbulkan falsafat. Tetapi falsafat dan Quran tidak bertentangan dengan
kebenaran yang di bawa falsafat. Mempelajari filsafat dan berfalsafat tidak dilarang,
karena teologi adalah bahagian dari filsafat, dan umat Islam diwajibkan belajar teologi.
[13]
Kebenaran yang sesungguhnya hanya pada Allah Swt. Apa yang terlintas di akal hingga
terjadi dengan sendirinya di luar akal merupakan sebuah hikmah dalam kehidupan yang
mesti kita sadari bahwa terkadang suatu pelajaran sudah kita anggap benar namun
akhirnya menjadi sebaliknya. Akhirnya semua akan kembali kepada al-Quran sebagai
pedoman dan petunjuk bagi kehidupan manusia. Apa yang dinyatakan dalam al-Quran
semuanya mengandung hikmah dan pelajaran bagi seorang insan yang mau berpikir.
Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakekat dalam arti aniah atau mahiah.
Tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam,
bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, kemudian tuhan
tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak merupakan genus
atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah
tunggal, selain dari Tuhan semuanya mempunyai arti banyak.[14]
Agar dapat memahami penafsiran al-Kindi tentang Tuhan, kita mesti merujuk pada kaum
Tradisionalis dan Mutazilah. Kaum tradisionalis (Ibn Hanbal adalah salah seorang
tokohnya) menafsirkan sifat-sifat Allah dengan nama-nama Allah, mereka menerima
makna harfiyah al-Quran tanpa memberikan penafsiran lebih jauh. Kaum Mutazilah
yang semasa dengan al-Kindi, secara akal menafsirkan sifat-sifat Allah demi
memantapkan sifat Maha Esa-Nya.
Walaupun al-Kindi sepaham dengan Muktazilah dalam menafikan sifat dari Zat Allah.
Akan tetapi, ketika Muktazilah menyatakan bahwa Tuhan itu mengetahui dengan IlmuNya dan Ilmu-Nya adalah Zat-Nya (Alim biilm wa ilmuh zatuh) berkuasa dengan
kekuasaan-Nya dan kekuasaa-Nya adalah Zat-Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh zaituh)
al-Kindi tidak sepaham dengan pandangan ini. [15] Sesuai dengan paham yang ada dalam
Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak Pertama sebagai
pendapat Aristoteles.[16]
b. Filsafat Alam
Mengenai alam, al-Kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti Aristoteles
Plato, dan lainnya yang sebelum dia dengan mengatakan alam ini kekal, sedangkan al-

Kindi mengatakan alam ini tak kekal. Dalam hal ini ia memberikan pemecahan yang
radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik. Dengan
ketentuan ini, setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk yang tak terbatas ruang
dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas, meskipun benda tersebut adalah wujud
dunia. Karena terbatas, ia tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[17]
Al-Kindi juga mengatakan alam bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai
permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus yang
mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala
yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu. Tetapi paham emanasi ini
kelihatannya tidak jelas dalam falsafat al-Kindi. Al-Farabiyah yang dengan jelas menulis
tentang hal itu.[18]
Menurut al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baharu, sebagai bukti dari
baharunya alam ia mengemukakan beberapa argumen, antara lain: pertama, semua benda
yang homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama besar.
Kedua, jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama besarnya
dalam aktualitas dan potensialitas. Ketiga, benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa
tidak mempunyai batas. Keempat, jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan
homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar.
Kelima, jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda
semula. Keenam, jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali
kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula. Ketujuh, tiada dari
dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas. Kedelapan, jika benda-benda
yang homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan ber sama, maka
jumlahnya juga akan terbatas.[19]
Kesimpulan dari ungkapan al-Kindi atas ungkapannya di atas adalah alam semesta ini
pastilah terbatas, oleh sebab itu ia menolak pandangan Aristoteles yang mengatakan
bahwa alam semesta tidak terbatas atau qadim. Mengenai keteraturan alam dan perdaran
alam ini sebagai bukti adanya Tuhan, sedangkan alam adalah buatan Tuhan.
c. Filsafat Jiwa dan Akal
Mengenai jiwa dan akal, al-Kindi juga membantah pendapat Aristoteles. Para filosof
muslim menamakan jiwa (al-nafs) seperti yang diistilahkan dalam al-Quran yaitu, al-ruh.
Kemudian kata ruh ini di indonesiakan menjadi tiga bentuk, pertama nafsu yaitu
dorongan untuk melakukan perbuatan yang diingini, jika keinginan ini berbentuk negatif
maka nafsu ini mendekati dengan hawa, jadi kalau digabungkan menjadi hawa nafsu
(keinginan yang jelek). Kedua nafas yaitu suatu alat pencernaan udara sebagai tanda
kehidupan seseorang. Ketiga roh atau jiwa yaitu suatu zat yang tidak bisa dirangkaikan
bentuknya. Karena al-Quran telah menginformasikan bahwa manusia tidak akan
mengetahui akan hakikat roh, roh adalah urusan Allah bukan urusan manusia. Allah
menyatakan akan hakikat roh dalam Q.S. Al-Isra 17 : 85.

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat untuk berpikir yang hanya
dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang terlahir ia akan membawa potensi masingmasing dari akal yang dimilikinya, semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia
akan mendapatkan pengetahuan, maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang
banyak berpikir dengan akalnya untu menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang
yang hanya menerima hasil dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara
seorang yang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan seperti dikatakan alQuran pada Surat az-Zumar ayat 9:


(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia
sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi adalah
badan dan bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan dengan badan sama dengan hubungan
bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau
badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa berwujud tanpa
bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa
adalah form bagi badan. Form tidak bisa terwujud tanpa materi, keduanya membentuk
satu kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa.
Dalam hal ini al-Kindi sependapat dengan Plato yang mengatakan bahwa kesatuan jiwa
dan badan adalah kesatuan Acciden, binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa.
Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari
alam ide.
Menurut al-Kindi roh tidak tersusun (basiithah, simple, sederhana) tetapi mempunyai arti
penting, sempurna dan mulia. Substansinya (jawahara) berasal dari substansi Tuhan.
Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Hanya roh
yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih
kotor dan beluim bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di
sana, baru pindah ke Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga
akhirnya, setelah benar-benar bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya
Tuhan dan melihat Tuhan.[20]
Mengenai akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles
membedakan akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin
menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen

ini dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan
takkan rusak. Berbeda halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam empat macam;
pertama: akal yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara potensial berada di dalam
roh, ketiga: akal yang telah berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual, keempat;
akal yang kita sebut akal kedua. Yang dimaksudkan dengan akal kedua yaitu tingkat
kedua aktualitas; antara yang hanya memiliki pengetahuan dan yang mempraktekkannya.
[21]
Dinyatakan lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai
sifat aktuil jika tidak ada kekurangan yasng menggerakkannya dari luar. Dan oleh karena
itu bagi al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia,
dan bermakna: akal yang selamanya dalam aktualitas (alaqlu ladzi bil fail abadan). Akal
ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat potensial
dalam roh manusia menjadi aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut menjadi akil (akal)
jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang di luar itu
(idza uktisab hadzal aklul kharaji). Akal yang selalu bertindak (akal pertama) bagi alKindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universals (al-kuliyat mutakatsarah).
Dalam limpahan dari Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang
banyak (awwalu muktatsar).[22]
C. Kesimpulann
Al-Kindi, adalah seorang filosof yang berusaha mempertemukan agama dengan filsafat.
Ia berupaya membuktikan bahwa berfilsafat tidak dilarang. Meski Al-Kindi terpengaruh
pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles dan memperlihatkan corak pitagorasme,
namun dalam beberapa hal Al-Kindi tidak sependapat dengan para filosof Yunani
mengenai hal-hal yang dirasakakn bertentangan dengan ajaran islam yang diyakininya.
Sebagai filosof islam pertama yang menyelaraskan agama dengan filsafat, ia telah
melicinkan jalan bagi filosof sesudahnya, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
DAFTAR PUSKATA
Al-Ahwaniy, Fuad, al-Falsafat al-Islamiyyat, Kairo: Dar al-Qalam, 1962
Asy-Syarafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat, Cet.I, Jakarta: KHALIFA, 2005
Atiyeh, George N. Al Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo suwarno,
Bandung: Salman, 1983
Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya,
1986
Farukh, Umar, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, Beirut: Dar al-Fikr, 1962
Luthfi Jumah, Muhammad, Tarikh Falasifah Al-Islam, Mesir, t.tp,1927
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004

Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan
Bintang, 1973
Ridah, Abu, Rasail al-Kindi Al-Falsafiyah, Kairo: t.t, 1950
Salam, Abdus, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, Bandung: Salman ITP, 1983
Syahrastaniy, Al, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.t
Syarif, M.M. dkk (edt), History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto
Horossowitz, 1963
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004

________________________________________
[1] Fuad Al-Ahwaniy, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962), hlm. 63
[2] Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Cet.I, (Jakarta: KHALIFA, 2005), hlm.160
[3] Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1986), hlm. 15.
[4] Fuad Al-Ahwaniy, al-Falsafat al-Islamiyyat , hlm. 63
[5] Al-Kindi di usir dari istana karena masyarakat menganggap ia telah syirik kepada
agama, sebagai seorang filosof ia pelopor yang mempertemukan agama dengan filsafat
Yunani. Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah semulia-mulia ilmu dan yang
tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk
memiliki filsafat. Atas pernyataan ini, al-Kindi banyak menghadapi tantangan dari ahli
agama di kala itu. Ia dituduh meremehkan dan membodoh-bodohi ulama yang tidak
mengetahui filsafat Yunani. Atas dasar inilah ia diusir dari Istana Abbasiyah. Lihat,
Muhammad Luthfi Jumah, Tarikh Falasifah Al-Islam, (Mesir, t.tp,1927), hlm.1
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 38
[7] M.M. Syarif, dkk (edt), History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto
Horossowitz, 1963), hlm. 423
[8] Umar Farukh, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1962), hlm. 225
[9] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.104
[10] Abdus Salam, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, (Bandung: Salman ITP,
1983), hlm. 11
[11] M. M. Syarif, (edt), History of Muslim Philosophy , hlm. 425
[12] Abu Ridah, Rasail al-Kindi Al-Falsafiyah, (Kairo: t.t, 1950), hlm. 211
[13] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), hlm. 15
[14] Ibid. hlm.16

[15] Al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 49


[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm.15.
[17] M. M. Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy, hlm. 24
[18] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm.15. Sebenarnya filsafat
Plotinus merupakan filsafat yang murni dan orisinil dalam beberapa pemikirannya,
walaupun ia sendiri mengaku bahwa dirinya hanya memaparkan filsafat Plato yang asli.
Filsafatnya adalah rujukan yang sangat berharga, bukan saja dalam membaca karya Plato,
tapi juga karya Aristoteles, karena menampilkan kajian dan kritik yang sangat teliti.
[19] George N. Atiyeh, Al Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo suwarno,
(Bandung: Salman, 1983), hlm. 50-51
[20] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm. 17-18.
[21] M.M. Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy , hlm. 26-27.
[22] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm. 19-20.

You might also like