Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran pencernaan, khususnya
lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut bagian tengah ke atas.
Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh. Dispepsia umumnya diderita oleh
kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya adalah pola atau gaya hidup tidak sehat.
Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri ulu hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu hati,
sebah, sendawa yang berlebihan bahkan bisa menyebabkan diare dengan segala
komplikasinya.1
Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan
dyspepsia non organik atau dispesia fungsional. Dispepsia dapat disebut dispepsia organik
apabila penyebabnya telah diketahui secara jelas. Dispepsia fungsional atau dispepsia nonorganik, merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan
fungsi dari saluran makanan.2 Dispepsia sendiri dapat digolongkan menjadi 4 kelompok: (1)
tipe ulkus, nyeri epigastrik dominan, (2) tipe dismotilitas, keluhan kembung, mual, muntah,
rasa penuh, cepat kenyang dominan, (3) tipe refluks, keluhan nyeri ulu hati dan rasa terbakar
yang dominan, (4) tipe nonspesifik, tidak ad keluhan dominan.1
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum ditemukan.
Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun. Data Depkes tahun 2004
menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap
terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Dispepsia yang oleh orang awam sering
disebut dengan sakit maag merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari.
Sebagai contoh dalam masyarakat di negara negara barat dispepsia dialami oleh sedikitnya
25% populasi. Di negara negara Asia belum banyak data tentang dispepsia tetapi diperkirakan
dialami oleh sedikitnya 20% dalam populasi umum. Angka di Indonesia sendiri, penyebab
dispepsi adalah 86 persen dispepsia fungsional, 13 persen ulkus dan 1 persen disebabkan oleh
kanker lambung.3
Langkah pengobatan dispepsia sangat beragam, sehingga penanganan harus didasari
oleh latar belakang keluhan yang dialaminya. Untuk menangani dospepsia organik, perlu
dilakukan pengobatan terhadap etiologinya. Sedangkan, pada dispepsia fungsional pun, perlu
dijelaskan patogenesis yang menyebabkan dispepsia yang dialaminya. Pasien diminta untuk
menghindari makanan pencetusnya, dan melakukan rujukan.1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan
gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual,
muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut terasa penuh/ begah. Keluhan ini tidak perlu
selalu semua ada pada tiap pasien, dan bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti
atau bervariasi baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya. Terdapat berbagai definisi
tentang dyspepsia. Salah satunya yang dapat dipakai adalah dyspepsia refers to pain or
discomfort centered in the upper abdomen. Definisi ini berdasarkan kriteria Roma II tahun
1999-2000. Jadi dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu sindrom yang
harus dicari penyebabnya.1
2.2. Etiologi 1
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna: tukak gaster/ duodenum,
2.3. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, dispepsia dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:9
1. Dispepsia organik yaitu dispepsia yang disebabkan oleh kelompok penyakit organik
seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu, dll.
2. Dispepsia fungsional yaitu kelompok di mana sarana penunjang diagnostik yang
konvensional
atau
baku
(radiologi,
endoskopi,
laboratorium)
tidak
dapat
makanan bertahap dari corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur
oleh refleks vagal. Pada beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak
berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.5,6
(b) Perubahan sensifitas gaster
Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap distensi gaster
atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang sedikit mengiritasi
seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi gaster intestinum atau
distensi dini bagian Antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.5,6
(c) Stres dan faktor psikososial
Beberapa studi mengatakan stres yang lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal,
berakibat gangguan akomodasi dan motilitas gaster. 5,6
(d) Sekresi asam lambung
Umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi basal maupun
dengan stimulasi pentagastrin, yang rata rata normal. Diduga adanya peningkatan
sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di
perut.5,6
(e) Ambang Rangsang Persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanin, dan nociceptor. Pada dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral
terhadap distensi balon di gaster atau duodenum. Penelitian menggunakan balon
intragastrik mendapatkan hasil pada 50% populasi dengan dispepsia fungsional sudah
timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada pada inflasi balon dengan volume
yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi
kontrol.5,6
(f) Disfungsi Autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal
pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam
kegagalan relaksasi bagian proximal lambung waktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.5,6
(g) Hormonal
Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan
adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan mtilitas
antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin
mempengaruhi
kontraktilitas
otot
polos
dan
memperlambat
waktu
transit
gastrointestinal.5,6
(h) Diet dan Faktor Lingkungan
Kebanyakan pasien dispepsia fungsional mengeluhkan intoleransi terhadap makanan
berlemak dan dapat didemonstrasikan hipersensitivitasnya terhadap distensi lambung
yang diinduksi oleh infus lemak ke dalam duodenum. Gejalanya pada umumnya
adalah mual dan perut kembung.5,6
(i) Helicobacter pylori
Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah diakui,
tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus masih
kontroversi. Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa
lambung. Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada lingkungan
dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease yang sangat kuat.
Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung menjadi ammonia
sehingga bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi awan amoniak yang dapat
melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan flagella Helicobacter
pylori menempel pada dinding lambung dan mengalami multiplikasi. Bagian yang
menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren pedestal. Melalui zat yang
disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid
yang terdapat di dalam epitel. Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain
misalnya katalase, oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase,
protease, dan musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein
dan fosfolipid yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin
yang beperan dalam peradangan dan reaksi imun local.5,6
yang
Perubahan
makan, pengaruh obat-obatan Peningkatan
alkohol, nikotin, rokok,
Erosi dan
ulcerasipola
mukosa
lambung
tumor/kanker saluran pencernaan, stres,
produksi HCL
Nosiceptor
Saraf afferen
Thalamus
Anoreksia, mual
7
Corteks cerebri
Nyeri
Intake kurang
Nutrisi Kurang
Perubahan
muntah
kesimbangan cairan
dan elektrolit
lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut
kembung).7
2.6. Diagnosis
Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak dapat membedakan antara
dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis
yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus
disingkirkan melalui pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak membantu adalah
pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat kelainan di
oesophagus, lambung dan duodenum. Diikuti dengan USG (Ultrasonography) dapat
mengungkapkan kelainan pada saluran bilier, hepar, pankreas, dan penyebab lain yang dapat
memberikan perubahan anatomis. Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat
mengungkapkan penyebab dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran
bilier. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.1
Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria Rome III, harus termasuk:
a. berasa terganggu setelah makan
b. cepat kenyang
c. nyeri epigastrik
d. panas/ rasa terbakar di epigastric
e. Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi proksimal yang dapat
menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut.
Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan onset gejala klinis
sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.8
b. Barium enema
Untuk
memeriksa
esofagus,
lambung
atau
usus
halus
dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan
berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita
makan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran
cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor.1,8
c. Endoskopi
Untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan
untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop
untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan
pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. 2,3,7 Pemeriksaan ini
sangat dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut
alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan
adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama, dan terjadi
pada usia lebih dari 45tahun.1
Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:
a. CLO (rapid urea test)
b.Patologi anatomi (PA)
c.Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian1
d. Pemeriksaan radiologi
Digunakan OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath
test (belum tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan
10
bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak
peristaltik di esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di
antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk
ke intestin.Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di lambung
secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker,
bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan
terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari
intestin terutama di jejunum yang disebut sentina loops.1
Ulkus peptikum.
Cholelithiasis or choledocholithiasis.
Pankreatitis Kronik.
Parasit intestinal.
Antasida
Sebelum kita memahami peran penting dari histamin dalam aktivitas sel parietal merangsang,
netralisasi asam yang disekresikan dengan antasida merupakan bentuk utama terapi untuk
tukak lambung. Mereka sekarang jarang, jika pernah, digunakan sebagai agen terapeutik
utama tetapi sering digunakan oleh pasien untuk mengurangi gejala-gejala dispepsia. Para
agen yang paling umum digunakan adalah campuran aluminium hidroksida dan magnesium
hidroksida. Aluminium hidroksida dapat menghasilkan penipisan sembelit dan fosfat,
magnesium hidroksida dapat menyebabkan mencret10,11
Banyak antasida yang umum digunakan (misalnya, Maalox, Mylanta) memiliki kombinasi
dari kedua aluminium dan magnesium hidroksida untuk menghindari efek samping.
Persiapan yang mengandung magnesium tidak boleh digunakan pada pasien gagal ginjal
kronik
karena
hypermagnesemia
mungkin,
dan
aluminium
dapat
menyebabkan
neurotoksisitas kronis pada pasien ini. Kalsium karbonat dan natrium bikarbonat adalah
antasida kuat dengan berbagai tingkat potensi masalah. Penggunaan jangka panjang dari
kalsium karbonat (mengkonversi ke kalsium klorida dalam lambung) dapat menyebabkan
susu-alkali syndrome (hypercalcemia, hyperphosphatemia dengan calcinosis ginjal mungkin
dan pengembangan menjadi insufisiensi ginjal). Natrium bikarbonat dapat menyebabkan
alkalosis sistemik10,11.
H2 Receptor Antagonis
Empat dari agen-agen yang saat ini tersedia (simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidine),
dan struktur saham mereka homologi dengan histamin. Meskipun masing-masing memiliki
potensi yang berbeda, semua secara signifikan akan menghambat sekresi asam basal dan
dirangsang untuk tingkat yang sebanding bila digunakan pada dosis terapi. Selain itu, mirip
ulkus-penyembuhan tingkat yang dicapai dengan masing-masing obat bila digunakan pada
dosis yang tepat. Saat ini, kelas ini obat sering digunakan untuk pengobatan ulkus aktif (4-6
minggu) dalam kombinasi dengan antibiotik diarahkan pada pemberantasan H. pylori (lihat di
bawah) 10,11.
Simetidin adalah H2 antagonis reseptor pertama digunakan untuk pengobatan gangguan
lambung asam. The dianjurkan dosis awal profil cimetidine adalah 300 mg qid. Penelitian
selanjutnya telah mendokumentasikan efektivitas menggunakan 800 mg pada waktu tidur
untuk pengobatan ulkus aktif, dengan tingkat kesembuhan mendekati 80% pada 4 minggu.
12
tablet salut enterik. Pantoprazole juga tersedia sebagai formulasi parenteral untuk infus. Agen
ini adalah senyawa lipofilik, saat memasuki sel parietal, mereka diprotonasi dan terjebak
dalam lingkungan asam dari sistem tubulovesicular dan canalicular. Agen ini potently
menghambat semua fase sekresi asam lambung. Onset kerja cepat, dengan efek
penghambatan asam maksimum antara 2 dan 6 jam setelah pemberian dan durasi inhibisi
berlangsung hingga 72-96 jam. Dengan dosis harian diulang, efek asam progresif
penghambatan diamati, dengan basal dan secretagogue-merangsang produksi asam yang
dihambat oleh> 95% setelah 1 minggu terapi. Waktu paruh PPI adalah ~ 18 jam, oleh karena
itu bisa memakan waktu antara 2 dan 5 hari untuk sekresi asam lambung kembali ke tingkat
normal setelah obat ini telah dihentikan. Karena pompa harus diaktifkan untuk agen ini
menjadi efektif, keberhasilan mereka dimaksimalkan jika mereka diberikan sebelum makan
(kecuali untuk formulasi segera-release omeprazol) (misalnya, di pagi hari sebelum sarapan).
Ringan sampai moderat hypergastrinemia telah diamati pada pasien yang memakai obat ini.
Tumor karsinoid dikembangkan di beberapa hewan diberi obat preclinically, namun,
pengalaman yang luas telah gagal untuk menunjukkan perkembangan tumor lambung
karsinoid pada manusia. Serum gastrin tingkat kembali ke tingkat normal dalam waktu 1-2
minggu setelah penghentian obat. Faktor intrinsik (IF) produksi juga terhambat, namun
vitamin B12 anemia kekurangan zat-jarang, mungkin karena toko-toko besar vitamin. Seperti
halnya agen yang mengarah ke hypochlorhydria signifikan, PPI dapat mengganggu
penyerapan obat-obatan seperti ketoconazole, ampisilin, besi, dan digoksin. Hati sitokrom
P450 dapat dihambat oleh PPI sebelumnya (omeprazole, lansoprazole). Rabeprazole,
pantoprazole, esomeprazole dan tidak muncul untuk berinteraksi secara signifikan dengan
obat dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450. Signifikansi klinis keseluruhan pengamatan
ini tidak jelas ditetapkan. Perhatian harus diambil ketika menggunakan warfarin, diazepam,
atazanavir, dan fenitoin bersamaan dengan PPI. Jangka panjang asam penindasan, terutama
dengan PPI, telah dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi dari komunitas-pneumonia.
Pengamatan ini memerlukan konfirmasi tetapi harus waspada praktisi untuk berhati-hati
ketika merekomendasikan agen ini untuk penggunaan jangka panjang, terutama pada pasien
usia lanjut berisiko untuk mengembangkan pneumonia10,11.
Dua formulasi baru dari agen penghambatan asam sedang dikembangkan. Tenatoprazole
adalah PPI yang mengandung cincin imidazopyridine bukan cincin benzimidazole, yang
mempromosikan penghambatan pompa proton ireversibel. Agen ini memiliki panjang paruh
daripada PPI lain dan mungkin bermanfaat untuk menghambat sekresi asam nokturnal, yang
14
memiliki relevansi yang signifikan dalam penyakit gastroesophageal reflux (GERD). Sebuah
kelas baru kedua agen adalah kalium-kompetitif antagonis pompa asam (P-kabin). Senyawa
ini menghambat sekresi asam lambung melalui pengikatan kompetitif kalium dari H +, K +ATPase10,11.
Sitoprotektif Agen
Sukralfat
Sukralfat adalah garam sukrosa kompleks di mana kelompok hidroksil telah digantikan oleh
aluminium hidroksida dan sulfat. Senyawa ini tidak larut dalam air dan menjadi pasta kental
dalam lambung dan duodenum, mengikat terutama untuk situs ulserasi aktif. Sukralfat dapat
bertindak dengan beberapa mekanisme: melayani sebagai penghalang fisikokimia,
mempromosikan tindakan trofik oleh faktor pertumbuhan mengikat seperti EGF,
meningkatkan sintesis prostaglandin, merangsang sekresi lendir dan bikarbonat, dan
meningkatkan pertahanan mukosa dan perbaikan. Toksisitas dari obat ini jarang terjadi,
dengan sembelit yang paling umum (2-3%). Ini harus dihindari pada pasien dengan
insufisiensi
ginjal
kronis
untuk
mencegah
aluminium-induced
neurotoksisitas.
Hypophosphatemia dan pembentukan bezoar lambung juga telah dilaporkan jarang. Dosis
standar sucralfate adalah 1 g qid10,11.
Bismuth
Bismuth-mengandung senyawa obat pilihan untuk mengobati PUD. Kebangkitan dalam
penggunaan agen-agen ini karena efeknya terhadap H. pylori. Bismuth subcitrate koloid
(CBS) dan bismuth subsalicylate (BSS, Pepto-Bismol) adalah persiapan yang paling banyak
digunakan. Mekanisme yang mendorong para agen penyembuhan ulkus tidak jelas.
Mekanisme potensial termasuk coating ulkus, pencegahan lebih lanjut pepsin / HCl yang
disebabkan kerusakan; pengikatan pepsin, dan stimulasi prostaglandin, bikarbonat, dan
sekresi lendir. Efek samping jangka pendek penggunaan termasuk tinja berwarna hitam,
sembelit, dan penggelapan dari lidah. Penggunaan jangka panjang dengan dosis tinggi,
terutama dengan CBS gemar diserap, dapat menyebabkan neurotoksisitas. Senyawa ini
biasanya digunakan sebagai salah satu agen dalam anti-H. pylori rejimen10,11.
Prostaglandin Analog
15
Dalam pandangan peran sentral mereka dalam mempertahankan integritas mukosa dan
perbaikan, analog prostaglandin stabil dikembangkan untuk pengobatan PUD. Mekanisme
yang obat ini cepat diserap memberikan efek terapeutik adalah melalui peningkatan
pertahanan mukosa dan perbaikan. Analog prostaglandin meningkatkan sekresi bikarbonat
mukosa, merangsang aliran darah mukosa, dan mengurangi pergantian sel mukosa. Toksisitas
yang paling umum dicatat dengan obat ini adalah diare (10-30% kejadian). Toksisitas utama
lainnya termasuk perdarahan rahim dan kontraksi, misoprostol dikontraindikasikan pada
wanita yang mungkin hamil, dan wanita usia subur harus dibuat jelas menyadari hal ini
toksisitas obat yang potensial. Dosis terapi standar 200 g qid10,11.
Operasi
Pembedahan dirancang untuk mengurangi sekresi asam lambung. Operasi yang paling sering
dilakukan meliputi (1) vagotomy dan drainase (oleh pyloroplasty, gastroduodenostomy, atau
gastrojejunostomy), (2) vagotomy sangat selektif (yang tidak memerlukan prosedur drainase),
dan (3) vagotomy dengan antrectomy. Prosedur tertentu yang dilakukan ditentukan oleh
keadaan yang mendasari: darurat vs elektif, derajat dan luasnya ulkus duodenum, dan
keahlian dari ahli bedah. Selain itu, tren telah menuju operasi minimal invasif dan anatomimelestarikan10.
2.10. Komplikasi
Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan gastrointestinal adalah komplikasi yang paling umum diamati di PUD. Ini terjadi
pada ~ 15% pasien dan lebih sering pada individu> 60 tahun. Insiden yang lebih tinggi pada
orang tua kemungkinan disebabkan oleh peningkatan penggunaan NSAID dalam kelompok
ini. Hingga 20% dari pasien dengan ulkus terkait berdarah perdarahan tanpa tanda-tanda
peringatan sebelumnya atau gejala10.
Perforasi
Ulkus terkait kedua yang paling umum adalah komplikasi perforasi, yang dilaporkan dalam
sebanyak 6-7% dari pasien PUD. Seperti dalam kasus perdarahan, kejadian perforasi pada
orang tua tampaknya meningkat sekunder untuk peningkatan penggunaan NSAID. Penetrasi
adalah bentuk perforasi ulkus di mana terowongan tempat tidur ke organ yang berdekatan.
Dus cenderung untuk menembus ke posterior pankreas, menyebabkan pankreatitis,
16
sedangkan GUS cenderung menembus ke dalam hati lobus kiri. Fistula Gastrocolic terkait
dengan Gus juga telah dijelaskan10.
2.11. Prognosis
Dyspepsia fungsional mempunyai prognosis baik apabila dilakukan pemeriksaan
klinis dan penunjang yang akurat serta tatalaksana yang baik. Walalaupun modalitas
pengobatanya menjadi luas berdasarkan kompleksitas patogenesisnya, serta lebih ke arah
hanya
untuk
menurunkan/menghilangkan
gejala.
Pilihan
pengobatan
berdasarkan
17
BAB 3
KOLEGIUM PENYAKIT DALAM (KPD)
CATATAN MEDIK PASIEN
No. Reg. RS : 150411
Nama lengkap : Fatimah
Tanggal lahir : 11-10-1969
Alamat : Padang Tiji
Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMP
Umur : 26 tahun
Jenis Suku : Aceh
Doker Pemeriksa:
Dokter
: dr. Murtaza
ANAMNESIS
Alloanamnesis
Autoanamnesis
Deskripsi
: Hal ini dialami os sejak 2 hari yang lalu. Rasa nyeri seperti
diperas.Rasa nyeri tidak ada kaitan dengan sebelum makan atau setelah
makan. Nyeri ulu hati membaik dengan makan obat maag. Os suka
makan makanan pedas. Mual (+) muntah (-). BAK (+) Normal BAB
(+) Normal.
RPT
:-
RPO
:-
RIWAYAT PRIBADI
Tahun
-
Riwayat Alergi
Bahan / obat
-
Gejala
-
18
Hobi
Olah Raga
: (-)
Minum Alkohol
: (-)
Ringan
Sedang
Berat
Kesan Sakit
Gizi BB: 55 Kg, TB: 160 cm
RBW= 91.6%
TANDA VITAL
Kesadaran
Compos Mentis
Nadi (HR)
Tekanan darah
70 x/i
Berbaring:
Lengan kanan : 120/70 mmHg
Lengan kiri : 120/70 mmHg
Aksila: 36,6 C
Frekuensi: 20 x/menit
Temperatur
Pernafasan
Deskripsi:
Komunikasi baik, rasa awas
terhadap lingkungan baik
Reguler, t/v: kuat
Duduk:
Lengan kanan : 120/70 mmHg
Lengan kiri : 120/70 mmHg
Rektal : tdp
Deskripsi: reguler, abdominotorakal
KULIT: ikterus (-), petekie (-), purpura (-), hematoma (-), edema (-), turgor kulit baik.
KEPALA DAN LEHER: simetris, TVJ R-2 cm H2O, trakea medial, pembesaran KGB(-),
pembesaran kelenjar tiroid (-), kaku kuduk (-).
MATA: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-), RC +/+, pupil isokor,
ka=ki, 3mm.
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Depan
Simetris fusiformis
Belakang
Simetris fusiformis
SP: vesikuler
ST: -
SP: vesikuler
ST: -
JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas
Kanan : LSD
Kiri
: Simetris
Palpasi
: Soepel
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
: Peristaltik normal
PINGGANG
Tapping pain (-), ballotement (-)
EKSTREMITAS:
Superior : akral hangat, edema (-/-)
20
RENCANA AWAL
Nama : Melosina
Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk
diagnosa, penatalaksanaan dan edukasi)
No
Rencana
Rencana
Masalah
Rencana terapi
Rencana edukasi
.
diagnosa
monitoring
21
1.
Nyeri
hati
ulu -
- Tirah baring
- Diet MB
- IVFD RL
20gtt/i
- Inj Ranitidin
1amp/12 jam
-Antasida syr
3xCI
- Neurobrad tab
1x1
-as. Mefanamat
tab 3x1
Menerangkan
dan
menjelaskan kepada
pasien dan keluarga
tentang
keadaan,
penatalaksanaan dan
komplikasi penyakit
pada
pasien
dan
keluarga.
Kimia Klinik
Metabolisme karbohidrat
Glukosa darah puasa : 93
mg/dl
Cholesterol: 145mg
HDL cholesterol: 43mg%
LDL cholesterol: 89mg%
Triglyseride: 63mg%
Ginjal
Ureum : 15 mg/dL
Kreatinin : 0.6 mg/dL
As.urat: 4.6
SGOT: 97unit
SGPT: 86unit
Hati
Bilirubin total:0.3mg%
Bilirubin Direk: 0.18mg%
RESUME DATA DASAR
2.
Hal ini dialami os sejak 2 hari yang lalu. Rasa nyeri seperti diperas. Rasa nyeri tidak ada
kaitan dengan sebelum makan atau setelah makan. Nyeri ulu hati membaik dengan makan
obat maag. Os suka makan makanan pedas. Mual (+) muntah (-). BAK (+) Normal BAB
(+) Normal.
3.
PEMERIKSAAN FISIK
a. Kepala: konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), Sklera ikterik (-/-)
b. Leher: dalam batas normal
c. Toraks:
Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: stem fremitus paru kiri = kanan
Perkusi: sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi: SP: vesikuler
ST: d. Abdomen:
Inspeksi: simetris
Palpasi: soepel, H/L/R tidak teraba
Perkusi: timpani
Aukultasi: peristaltik normal
e. Pinggang, inguinal, dan genitalia dalam batas normal
f. Ekstremitas superior : edema (-/-)
g. Ekstremitas inferior: edema (-/-),
4.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hb: 13.6 g%
Leukosit:7.7x103/mm3
LED: 9
EritrositHt: 40.6 %
Platelet:383x103/mm3
Metabolisme karbohidrat
Glukosa darah puasa : 93 mg/dl
Cholesterol: 145mg
HDL cholesterol: 43mg%
LDL cholesterol: 89mg%
Triglyseride: 63mg%
Ginjal
Ureum : 15 mg/dL
Kreatinin : 0.6 mg/dL
As.urat: 4.6
SGOT: 97unit
SGPT: 86unit
23
Hati
Bilirubin total:0.3mg%
Bilirubin Direk: 0.18mg%
RENCANA AWAL
Nama Penderita: Eli Munthe
No. RM: 541197
Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk
diagnosis, penatalaksanaan dan edukasi)
Masalah
Rencana
Rencana
Rencana
Diagnosa
Terapi
Edukasi
Nyeri ulu hati
- Tirah baring
Menerangkan dan
- Diet MB
menjelaskan keadaan,
- IVFD RL 20gtt/i
penatalaksanaan dan
- Inj Ranitidin 1amp/12 jam komplikasi penyakit
-Antasida syr 3xCI
pada pasien dan
- Neurobrad tab 1x1
keluarga
-as. Mefanamat tab 3x1
08
Januari
2013
Dispepsia
09
Januari
2013
Dispepsia
P
Terapi
- Tirah baring
- Diet MB
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ranitidin
1amp/12jam
- Neurogard tab 1x1
-Neurodex 2x1
- Tirah baring
- Diet MB
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj.Ranitidin
1amp/12jam
- Neurogad 3x1 (k/p)
Anjuran
-
24
- Neurobio 3x1
-Antasida syr 3xCI
-Curcuma 3x1
Methiosin 3x1
Kesimpulan :
Ibu M, 26 tahun didiagnosis dengan Dispepsia. Berikut ini merupakan prognosis pasien
tersebut:
- Ad Vitam
: dubia ad bonam
- Ad Functionam
: dubia ad bonam
- Ad Sanactionam
: dubia ad bonam
BAB 4
KESIMPULAN
Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada lebih dari seperempat
populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya berkonsultasi ke dokter. Terdapat banyak
penyebab dispepsia, antaranya adalah gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna;
tukak gaster atau duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori. Obat obatan
seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotik, digitalis, teofilin dan
25
sebagainya. Penyakit pada hati, pankreas, sistem bilier, hepatitis, pankreatitis, kolesistetis
kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya
kelainan atau gangguan organik atau struktural biokimia, yaitu dispepsia fungsional atau
dispepsia non ulkus. Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau
gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Sangat penting mencari clue atau penanda akan
gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Disebabkan kanker digestif bagian atas jarang pada umur <50 tahun,
pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada pasien yang berusia > 50 tahun. Juga
direkomendasi pada pasien yang mangalami penurunan berat badan yang signifikan, terjadi
pendarahan, dan muntah yang terlalu teruk. Penatalaksanaan dispepsia adalah meliputi pola
hidup sehat, berpikiran positif dan pemakanan yang sehat dan seimbang, selain daripada
pengobatan. Pengobatan dispepsia adalah antaranya seperti antasid, antikolinergik, antagonis
reseptor histamin2, Proton Pump Inhibitor, sitoprotektif, golongan prokinetik, antibiotik untuk
infeksi Helicobacter pylori dan kadang kadang diperlukan psikoterapi.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke
4. FKUI; 2007.h.285.
2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical Journal
2003;79:25-29.
3. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan Tahun
2007. Edisi 2010. Accessed from: http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?
option=com_journal_review&id.
4. Tarigan, P., 2009. Tukak Gaster. In Sudoyo AW et al, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: InternaPublishing. 516-517.
5. Ringerl Y.,2005. Functional Dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and
Hepatology. 2005;1:1-3.
6. Tack J., 2004. Pathophysiology and Treatment of Functional Dyspepsia. In :
Gastroenterology 2004; 127 : 1239-1255.
7. Jupriansyah, 2012. Laporan Pendahuluan Askep Gawat Darurat dengan Klien
Dispepsia di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Muhammadiyah PLG. Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Husada, Palembang.
8. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P,
et al. Functional
27