Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharaoh meninggal mendadak tidak
lama setelah disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan
fenomena yang sama, mereka menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut,
setelah beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yang sama, anjing itu
mendadak mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti anaphylaxis. Jika
seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi
terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan
suatu reaksi anafilaksis yang dapat berujung pada syok anafilaktik.1
Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas
sebesar 1-3 tiap satu juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali,
angka kematian dilaporkan 2 kasus tiap 10.000 total pasien anafilaksis pada tahun
2005 dan mengalami peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2006.2
Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak
spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak
mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung,
dan kematian mendadak.3
Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsung sangat cepat,
tidak terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai
menyebabkan kematian. Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu
diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat suatu syok anafilaktik
dapat mencegah keadaan yang lebih berbahaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik
dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang
seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain
kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1
Anafilaksis adalah reaksi akut sistem multiorgan yang bersifat fatal yang
disebabkan oleh pelepasan mediator kimia dari sel mast dan basofil. keadaan ini
membutuhkan sensitisasi pertama oleh alergen kemudian akan terpapar ulang
sehingga menimbulkan gejala melalui mekanisme imunologi.2
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Imunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung
dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu
reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif
masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis
dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi
yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps
pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.1 Sedangkan
berdasarkan World Allergy Organization pada tahun 2003, anafilaksis tidak hanya
terbatas pada reaksi imunologis saja, tetapi bisa juga reaksi non imunologis.
Istilah anafilaksis digunakan pada seluruh episode serangan, sedangkan istilah
anafilaktoid sudah tidak digunakan. Anafilaksis yang dipengaruhi oleh reaksi
imunologis dibagi menjadi dua kategori yaitu, IgE-mediated dan non-IgE
mediated.3
B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi anafilaksis tidak diketahui pastinya. Belum ada data yang akurat
dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik di Indonesia. Insiden
syok anafilaktik 40-60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat
zat kontras radiografi, dan 10-20 persen akibat pemberian obat penisilin.
anafilaksis.
Rencana
injeksi
penisilin
dan
obat-obat
berpotensi
7,8,9
Obat
Bisa
serangga
Lain-lain
D. PATOFISIOLOGI
Coomb
dan
Gell
(1963)
mengelompokkan
anafilaksis
dalam
meningkatkan
permeabilitas
kapiler
yang
nantinya
tersebut. Reaksi anafilaksis ini melibatkan berbagai sistem organ, seperti kutaneus,
okuler, respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal, neurologis, dan lain-lain. Hampir
setiap reaksi anafilaksis melibatkan membran mukosa dan kulit. Sekitar 90% pasien
mengalami kombinasi gejala berupa urtikaria, eritema, pruritus, atau angiodema.
Saluran nafas atas juga dapat terlibat, ditandai dengan kongesti nasal, bersin, koriza.
Batuk, serak, dan sensasi terikat pada tenggorokan menungkan obstruksi saluran nafas
yang signifikan. Mata bisa terasa gatal, berair, dan injeksi konjungtiva bisa terjadi.4
Tabel 2.3 Frekuensi gejala dan tanda anafilaksis3
Tanda dan gejala
Kutaneus
Persentase kasus
>90%
85-90%
45-55%
2-5%
40-60%
45-50%
50-60%
15-20%
30-35%
Nyeri kepala
5-8%
Nyeri substernal
4-6%
Kejang
1-2%
25-30%
F. DIAGNOSIS
Diagnosis anafilaksis bisa dikatakan tegak apabila memenuhi satu dari tiga
kriteria di bawah ini:5,6
1. Onset akut dengan melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya, dan
minimal salah satu dari hal ini:
10
11
12
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma.4
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 4
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan.
Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita
harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6
jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. 4
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
13
14
Gambar 2.3 Tata laksana awal pada pasien dengan syok anafilaktik6
15
16
Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Pasien dengan alergi makanan, sebaiknya menghindari akanan yang secara
langsung maupun melalui reaksi silang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis.
Begitu pula pasien yang hipersensitivitas terhadap obat-obatan tertentu seperti
antibiotik dan NSAID, dinasihati untuk tidak sembarangan mengonsumsi obatobatan yang tidak diresepkan dokter.14,15 Beberapa penelitian prospektif
menyatakan bahwa obat-obatan premedikasi untuk pasien dengan risiko
anafilaksis, tidak begitu efektif.16
H. PROGNOSIS
Anafilaksis fatal jarang terjadi, bentuk yang lebih ringan lebih sering
terjadi. Angka kejadian di Amerika Serikat menunjukkan setiap tahunnya terjadi
500-1000 kasus fatal. Rata-rata angka mortalitas pada kasus anafilaksis adalah
0,65 -2%.
17
BAB III
SIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh IgE yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun
hebat.
Syok
anafilaktik
memang
jarang
dijumpai,
tetapi
mempunyai
angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun
serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis,
yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri
dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah
yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis
anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal
kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu
seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok
anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan alergen yang menyebabkan
reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian
adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik
penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan
penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah
terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh
obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaidah
kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.
18
DAFTAR PUSTAKA
1 Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.
2008; Chapter 88, hal 1948-1963
2 Simons FE. Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol. 2008 Feb. 121(2
Suppl):S402-7; quiz S420.
3 Castells MC. Anaphylaxis and hipersensitivity reactions. 2011. Boston: Springer
Science
4
Mustafa
SS.
Anaphylaxis. http://emedicine.medscape.com/article/135065-
FER,
Ardusso
LRF,
Bilo
MB,
et
al.
World
Allergy
19
antivenom
following
snakebite:
randomised,
double-blind,
20
19 Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2001. Anaphylaxis in the United States, An
Investigation Into Its Epidemiology. Arch Intern Med. Page 161:15-21.
20 Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The
Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the European
academy of allergology and clinical immunology. Allergy. 2007;62:857-71
21