You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN
Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharaoh meninggal mendadak tidak
lama setelah disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan
fenomena yang sama, mereka menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut,
setelah beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yang sama, anjing itu
mendadak mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti anaphylaxis. Jika
seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi
terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan
suatu reaksi anafilaksis yang dapat berujung pada syok anafilaktik.1
Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas
sebesar 1-3 tiap satu juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali,
angka kematian dilaporkan 2 kasus tiap 10.000 total pasien anafilaksis pada tahun
2005 dan mengalami peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2006.2
Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak
spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak
mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung,
dan kematian mendadak.3
Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsung sangat cepat,
tidak terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai
menyebabkan kematian. Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan suatu
diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat suatu syok anafilaktik
dapat mencegah keadaan yang lebih berbahaya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik
dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang
seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain
kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1
Anafilaksis adalah reaksi akut sistem multiorgan yang bersifat fatal yang
disebabkan oleh pelepasan mediator kimia dari sel mast dan basofil. keadaan ini
membutuhkan sensitisasi pertama oleh alergen kemudian akan terpapar ulang
sehingga menimbulkan gejala melalui mekanisme imunologi.2
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Imunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung
dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu
reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif
masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis
dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi
yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps
pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.1 Sedangkan
berdasarkan World Allergy Organization pada tahun 2003, anafilaksis tidak hanya
terbatas pada reaksi imunologis saja, tetapi bisa juga reaksi non imunologis.
Istilah anafilaksis digunakan pada seluruh episode serangan, sedangkan istilah
anafilaktoid sudah tidak digunakan. Anafilaksis yang dipengaruhi oleh reaksi
imunologis dibagi menjadi dua kategori yaitu, IgE-mediated dan non-IgE
mediated.3
B. EPIDEMIOLOGI
Insidensi anafilaksis tidak diketahui pastinya. Belum ada data yang akurat
dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik di Indonesia. Insiden
syok anafilaktik 40-60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat
zat kontras radiografi, dan 10-20 persen akibat pemberian obat penisilin.

Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat


reaksi

anafilaksis.

Rencana

injeksi

penisilin

dan

obat-obat

berpotensi

menimbulkan syok anafilaksis sehingga tenaga kesehatan harus mempersiapkan


semua kemungkinan terburuk terjadinya syok anafilaksis paska-injeksi serta
melakukan pencatatan pada rekam medis pasien apabila pasien memiliki alergi.
C. FAKTOR RISIKO DAN ETIOLOGI
Berdasarkan beberapa studi prospektif, kofaktor yang dapat memperberat
anafilaksis adalah latihan, demam, infeksi akut seperti ISPA, status premenstrual,
dan stres emosional. Selain itu, kofaktor ini juga dapat memperberat reaksi alergi
akut terhadap makanan.

7,8,9

Pada pasien muda, asma parah atau tidak terkontrol,

sangat berhubungan dengan kejadian anafilaksis, terutama bila anafilaksis


berkaitan dengan alergi makanan. Riwayat gejala gastrointestinal kronis atau
berulang juga menjadi faktor prediktif terjadinya nyeri perut, muntah, hipotensi,
bradikardia, dan henti jantung pada pasien anafilaksis.10 Faktor risiko yang
meningkatkan terjadinya anafilaksis karena gigitan serangga adalah orang tua,
penyakit kardiovaskuler sebelumnya, riwayat reaksi parah sebelumnya, dan
penggunaan obat ACE inhibitor.11,12 Hal yang sebaliknya terjadi pada pasien yang
lebih tua, makanan adalah pencetus anafilaksis yang paling sering pada anak-anak
dan remaja.13
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang,
ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan
yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lainlain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga
bisa menyebabkan anafilaksis.1
Tabel 2.1 Mekanisme dan obat yang dapat menjadi pencetus anafilaktik19

Anafilaksis (melalui IgE)


1. Antibiotik (penisilin, sefalosporin)
2. Ekstrak alergen (tawon, polen)
3. Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
4. Enzim (kemopapain, tripsin)
5. Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)
6. Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung
1. Obat (opiat, vankomisin, kurare)
2. Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
3. Obat lain (dekstran, fluoresens)
Aktivasi komplemen
1. Protein manusia (imunoglobulin dan produk darah lainnya)
2. Bahan dialisis
Modulasi metabolisme asam arakidonat
1. Asam asetilsalisilat
2. NSAIDs

Tabel 2.2 Faktor penyebab anafilaktik19


Alergen Penyebab Anafilaksis
Makanan

Obat

Bisa
serangga
Lain-lain

Krustasea:Lobster, udang dan kepiting


Moluska : kerang
Ikan
Kacang-kacangan dan biji-bijian
Buah beri
Putih telur
Susu
Dan lain-lain
Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase
Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABUA
Ekstrak alergen untuk uji kulit
Dextran
Antibiotika:
Penicillin,Streptomisin,Cephalosporin,Tetrasiklin,Ciprofloxacin,Am
photericin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras
Vitamin B1, Asam folat
Agent anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat,
Diazepam, Phenitoin,
Protamine,
Aminopyrine, Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam salisilat dan
HCT
Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp)
Lateks, Karet, Glikoprotein seminal fluid

D. PATOFISIOLOGI
Coomb

dan

Gell

(1963)

mengelompokkan

anafilaksis

dalam

hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui


2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada
permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu
selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya
gejala.1,3
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen

tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)


yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel mast (mastosit) dan basofil.1,3,4
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik
dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang disebut dengan istilah preformed mediators.1,3,4
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase efektor adalah waktu terjadinya respons yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi,

meningkatkan

permeabilitas

kapiler

yang

nantinya

menyebabkan edema, sekresi mukus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan


permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) menimbulkan efek bronkospasme dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa
faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.1,3,4
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keadaan syok yang membahayakan penderita.4

Gambar 2.1 Reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh Imunoglobulin E

Gambar 2.2 Patofisiologi hipersensitivitas pada anafilaksis


E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala biasanya timbul dalam waktu 5-30 menit setelah terpapar alergen. gejala
akan muncul dalam beberapa detik jika antigen disuntikkan, sedangkan gejala akan
muncul dalam 2 jam bila antigen tertelan. Harus diingat bahwa anafilaksis dapat
dimulai dari gejala kutaneus minor dan berjalan progresif hingga mengancam nyawa.
Secara umum, semakin cepat anafilaksis terjadi, semakin membahayakan reaksi

tersebut. Reaksi anafilaksis ini melibatkan berbagai sistem organ, seperti kutaneus,
okuler, respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal, neurologis, dan lain-lain. Hampir
setiap reaksi anafilaksis melibatkan membran mukosa dan kulit. Sekitar 90% pasien
mengalami kombinasi gejala berupa urtikaria, eritema, pruritus, atau angiodema.
Saluran nafas atas juga dapat terlibat, ditandai dengan kongesti nasal, bersin, koriza.
Batuk, serak, dan sensasi terikat pada tenggorokan menungkan obstruksi saluran nafas
yang signifikan. Mata bisa terasa gatal, berair, dan injeksi konjungtiva bisa terjadi.4
Tabel 2.3 Frekuensi gejala dan tanda anafilaksis3
Tanda dan gejala
Kutaneus

Persentase kasus
>90%

Urtikaria dan angiodema


Rasa terbakar
Pruritus tanpa bercak kemerahan
Respirasi
Sesak nafas, wheezing
Angioedema saluran nafas atas
Rhinitis
Pingsan, hipotensi
Saluran cerna
Mual, muntah, diare, kram perut
Lain-lain

85-90%
45-55%
2-5%
40-60%
45-50%
50-60%
15-20%
30-35%

Nyeri kepala

5-8%

Nyeri substernal

4-6%

Kejang

1-2%

25-30%

F. DIAGNOSIS
Diagnosis anafilaksis bisa dikatakan tegak apabila memenuhi satu dari tiga
kriteria di bawah ini:5,6
1. Onset akut dengan melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya, dan
minimal salah satu dari hal ini:

a. Depresi pernafasan (sesak nafas, wheezing, bronkospasme, stridor,


penurunan APE, hipoksemia)
b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan dengan
disfungsi akhir organ (hipotonia, pingsan, inkontinensia)
2. Dua atau lebih hal di bawah ini, terjadi cepat setelah paparan yang dianggap
sebagai alergen (menit hingga beberapa jam)
a. Keterlibatan jaringan mukosa-kulit (gatal, rasa terbakar, bibir
bengkak, uvula bengkak)
b. Depresi pernafasan
c. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berhubungan dengan
disfungsi akhir organ (hipotonia, pingsan, inkontinensia)
3. Tekanan darah menurun setelah paparan alergen yang diketahui
a. Bayi dan anak kecil : tekanan sistolik rendah atau 30% lebih
rendah dari normal
b. dewasa : tekanan sistolik kurang dari 90mmHg atau 30% lebih
rendah dari normal

Gambar 2.3 Diagnosa awal pada syok anafilaktik


G. TATALAKSANA
Apabila terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah masuknya alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang datar
dan keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah
balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan
darah.6

10

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation


(ABC) dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan
hidup dasar.6
o Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan
napas, yaitu dengan melakukan triple airway manouver yaitu ekstensi
kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif,
melalui intubasi endotrakeal, krikotirotomi, atau trakeotomi.
o Breathing support yaitu dengan segera memberikan bantuan napas buatan
bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut
atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai edema laring,
dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10
liter/menit.
o Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis
atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar. Cairan kristaloid
harus diberikan lebih awal, sebelum pemberian obat anafilaktik. Pada
pasien anak, sebuah bolus cepat 20 ml / kg harus diberikan dan diulang
seperlunya, sedangkan pada dewasa dapat diberikan 500-1000 ml.
Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung
serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan
kristaloid dan koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas
keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas
atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid,
maka diperlukan jumlah 34 kali dari perkiraan kekurangan volume
plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat
kehilangan cairan 2040% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan
larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan

11

kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan


koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin.20
Medikamentosa
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamin dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan
berakhir dalam waktu pendek.17
Guideline anafilaksis menyetujui bahwa epinefrin sebaiknya diberikan
secara intramuskular di lateral paha pasien. Berdasarkan studi farmakokinetik,
didapatkan data bahwa pemberian epinefrin di musculus vastus lateralis lebih
cepat mencapai efek jika dibandingkan dengan pemberian secara subkutan
maupun intramuskuler di regio deltoid. Dosis yang digunakan pada dewasa adalah
epinefrin 1:1000 sebanyak 0,2-0,5ml, sedangkan pada anak-anak dosisnya 0,01
mg/kgBB dengan dosis maksimal 0,3mg. Dosis yang lebih tinggi, seperti 0,5 mg,
direkomendasikan pada kasus yang fatal. Apabila gejala masih belum membaik,
dosis dapat diulang setiap 5-15 menit. Apabila setelah 3-4 kali penyuntikan
intramuskuler belum berhasil, dokter akan memilih akses intravena dan
melakukan monitoring intensif.18
Terapi Cairan.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.

12

Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma.4
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler. 4
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan.
Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita
harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6
jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. 4
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi,
dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest.

13

Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan kardiovaskuler. Urtikaria


dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan
gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin
lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.4

14

Gambar 2.3 Tata laksana awal pada pasien dengan syok anafilaktik6

15

Bagan 2.1 Algoritma syok anafilaktik17

16

Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai risiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Pasien dengan alergi makanan, sebaiknya menghindari akanan yang secara
langsung maupun melalui reaksi silang dapat menyebabkan reaksi anafilaksis.
Begitu pula pasien yang hipersensitivitas terhadap obat-obatan tertentu seperti
antibiotik dan NSAID, dinasihati untuk tidak sembarangan mengonsumsi obatobatan yang tidak diresepkan dokter.14,15 Beberapa penelitian prospektif
menyatakan bahwa obat-obatan premedikasi untuk pasien dengan risiko
anafilaksis, tidak begitu efektif.16
H. PROGNOSIS
Anafilaksis fatal jarang terjadi, bentuk yang lebih ringan lebih sering
terjadi. Angka kejadian di Amerika Serikat menunjukkan setiap tahunnya terjadi
500-1000 kasus fatal. Rata-rata angka mortalitas pada kasus anafilaksis adalah
0,65 -2%.

Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip

kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi


anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang
sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan
anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis
yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe
alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma,
keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti blocker dan ACE inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen
sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.4,6

17

BAB III
SIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh IgE yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun
hebat.

Syok

anafilaktik

memang

jarang

dijumpai,

tetapi

mempunyai

angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun
serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis,
yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri
dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah
yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis
anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal
kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu
seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok
anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan alergen yang menyebabkan
reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian
adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik
penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan
penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah
terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh
obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaidah
kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

18

DAFTAR PUSTAKA
1 Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.
2008; Chapter 88, hal 1948-1963
2 Simons FE. Anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol. 2008 Feb. 121(2
Suppl):S402-7; quiz S420.
3 Castells MC. Anaphylaxis and hipersensitivity reactions. 2011. Boston: Springer
Science
4

Mustafa

SS.

Anaphylaxis. http://emedicine.medscape.com/article/135065-

overview#a3. 2015. Diakses Mei 2016


5 Sampson HA, Munoz-Furlong A, Campbell RL, et al. Second symposium on the
definition and management of anaphylaxis: summary report Second
National Institute of Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and
Anaphylaxis Network Symposium. J Allergy Clin Immunol. 2006;117:391
397.
6 F. Estelle R. Simonsa, Ledit R.F. Ardussob, M. Beatrice Bilo`c, Vesselin
Dimovd, Motohiro Ebisawae, Yehia M. El-Gamalf, Dennis K. Ledfordg,
Richard F. Lockeyg, Johannes Ringh, Mario Sanchez-Borgesi, Gian Enrico
Sennaj, Aziz Sheikhk, Bernard Y. Thongl, Margitta Wormm. 2012 Update:
World Allergy Organization Guidelines for the assessment and management
of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2012, 12:389399.
7 Simons

FER,

Ardusso

LRF,

Bilo

MB,

et

al.

World

Allergy

Organization guidelines for the assessment and management of anaphylaxis. J


Allergy Clin Immunol 2011; 127:593.e22.
8 Hompes S, Kohli A, Nemat K, et al. Provoking allergens and treatment of
anaphylaxis in children and adolescents: data from the anaphylaxis registry of
German-speaking countries. Pediatr Allergy Immunol 2011; 22:568574.
9 Keet CA, Frischmeyer-Guerrerio PA, Thyagarajan A, et al. The safety
and efficacy of sublingual and oral immunotherapy for milk allergy. J Allergy

19

Clin Immunol 2012; 129:448455.e5.


10 Calvani M, Cardinale F, Martelli A, et al. Risk factors for severe pediatric
food anaphylaxis in Italy. Pediatr Allergy Immunol 2011; 22:813819
11 Bilo MB. Anaphylaxis caused by Hymenoptera stings: from epidemiology to
treatment. Allergy 2011; 66:3537.
12 Golden DBK, Moffitt J, Nicklas RA, et al. Stinging insect hypersensitivity: a
practice parameter update 2011. J Allergy Clin Immunol 2011; 127:852
854.e23.
13 Orhan F, Canitez Y, Bakirtas A, et al. Anaphylaxis in Turkish children:
a multicentre, retrospective, case study. Clin Exp Allergy 2011; 41:1767
1776.
14 Savvatianos S, Giavi S, Stefanaki E, et al. Cows milk allergy as a cause of
anaphylaxis to systemic corticosteroids. Allergy 2011; 66:983985.
15 Fukutomi Y, Itagaki Y, Taniguchi M, et al. Rhinoconjunctival sensitization to
hydrolyzed wheat protein in facial soap can induce wheat-dependent exerciseinduced anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol 2011; 127:531533.
16 de Silva HA, Pathmeswaran A, Ranasinha CD, et al. Low-dose adrenaline,
promethazine, and hydrocortisone in the prevention of acute adverse reactions
to

antivenom

following

snakebite:

randomised,

double-blind,

placebocontrolled trial. PLoS Med 2011; 8:e1000435


17 Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of
anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008
18 Phillip Lieberman, Richard A. Nicklas, John Oppenheimer, Christopher
Randolph. Anaphylaxisda practice parameter update Ann Allergy Asthma
Immunol 115 (2015) 341e384

20

19 Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. 2001. Anaphylaxis in the United States, An
Investigation Into Its Epidemiology. Arch Intern Med. Page 161:15-21.
20 Muraro, A., G.Roberts, A.Clark, A.Eigenmann, S.Halken, G.Lack. et al. The
Management of anaphylaxis in childhood : Position paper of the European
academy of allergology and clinical immunology. Allergy. 2007;62:857-71

21

You might also like