Professional Documents
Culture Documents
terletak di Aceh, Indonesia. Ibu kotanya ialah Takengon. Daerah yang berada di salah satu
bahagian punggung pegunungan Bukit Barisan yang membentang sepanjang Pulau Sumatera.
Ibu kota Kabupaten ini berhawa yang sejuk. Aceh Tengah terkenal dengan Danau Laut
Tawar. Aceh Tengah merupakan daerah penghasil kopi organik jenis arabika terbaik di dunia.
Selain kopi, Aceh Tengah juga penghasil buah-buahan dan sayuran. Sebagian besar
masyarakat Aceh Tengah berprofesi sebagai petani.
Secara pentadbiran dataran tinggi Gayo meliputi wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan
kabupaten Bener Meriah serta kabupaten Gayo Lues. Tiga kota utamanya ialah Takengon,
Blang Kejeren dan Simpang Tiga Redelong.
Jalan yang menghubungkan ketiga kota ini melewati daerah dengan pemandangan yang
sangat indah. Pada masa lalu daerah Gayo merupakan kawasan yang terpencil sebelum
pembangunan jalan dilaksanakan di daerah ini. Mata pencarian masyarakat Gayo pada
umumnya adalah bertani dan berkebun antara lain padi, sayur-sayuran, kopi dan tembakau.
Kegiatan perkebunan kopi dan tembakau dilakukan dengan membuka wilayah hutan yang
ada di wilayah ini.
Isi kandungan
1 Pelancongan
2 Masyarakat
4 Pendidikan
5 Tokoh terkenal
6 Rujukan
o 6.1 Sumber
o 6.2 Lihat juga
7 Pautan luar
Pelancongan
Tarikan pelancong di Aceh Tengah ialah Danau Laut Tawar, Pantan Terong (tarikan
pemandangan), Taman Buru Linge Isak (berburu), Gua Loyang Koro, Loyang Pukes, Loyang
Datu, Burni Klieten (pendakian), dan Krueng Peusangan (merakit).
Masyarakat
Sebahagian besar penduduknya berasal dari suku Gayo. Selain itu terdapat pula suku-suku
lainnya, seperti Suku Aceh dan Suku Jawa. 99 peratus masyarakat Aceh Tengah beragama
Islam. Masyarakat Aceh Tengah memiliki tradisi tahunan pada saat perayaan proklamasi
Indonesia iaitu lumba kuda tradisional. Hal yang unik dari pacu kuda tradisional ini adalah
jokinya yang muda berumur antara 10-16 tahun. Selain itu, joki juga tidak menggunakan
pelana.
Pendidikan
Kabupaten Aceh Tengah memiliki sebuah universiti yang bernama Universitas Gajah Putih.
Tokoh terkenal
Kopi sumatera
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kopi Sumatera merupakan salah satu varietas kopi yang berasal dari Sumatera yang
bertekstur paling halus dan bercita rasa paling berat dan kompleks di antara beragam kopi di
dunia. Sebagian besar kopi Sumatera diproses secara kering (dry-processed), tetapi sebagian
lagi melalui proses pencucian ringan (semi-washed).
Kopi Sumatera sangat terkenal dengan Mandheling atau Lintong-nya yang tumbuh di pesisir
selatan pulau Sumatera. Kopi Sumatera yang tumbuh lebih ke arah Barat dikenal sebagai kopi
Gunung Gayo. Kopi Gayo Sumatera dideskripsikan sebagai kopi yang bercita rasa manis dan
bersih. Ahli kopi yang ingin membeli kopi Sumatera biasanya melihat ketuaan dari biji kopi
Sumatera. Biji kopi ini mengeluarkan rasa tanah dan rempah. Hal ini merupakan
keunikan tersendiri biji kopi Sumatera sehingga membuatnya menjadi satu dari kopi yang
paling dicari di antara jenis kopi yang ada di dunia.
Daftar isi
1 Jenis
o
2 Pranala luar
Jenis
Kopi Aceh
Kopi Aceh memang telah menjadi andalan Indonesia dalam hal produksi dan keunggulan
mutu. Pasalnya sekitar 40 persen biji kopi Arabica tingkat premium dari total panen kopi di
Indonesia merupakan hasil produksi dari daerah Aceh. Produksi Perkebunan Rakyat di Aceh
pada tahun 2010 mencapai 50.774 ton. Produksi kopi di Indonesia setiap tahunnya rata-rata
mencapai 600 ribu ton dan lebih dari 80 persen produksi biji kopi tersebut berasal dari
seluruh perkebunan rakyat di Indonesia.
Kopi Gayo
Jenis Kopi Arabika merupakan jenis kopi terbanyak dikembangkan oleh para petani Kopi
Gayo di dataran tinggi Gayo Aceh. Hasil produksi Kopi Arabika dari Tanah Gayo ini adalah
yang terbesar di Asia. Kopi Gayo Aceh memang memiliki cita rasa khas dan sudah diakui
oleh seorang pakar uji cita rasa (cupper) kopi dunia, Christopher Davidson. Keberadaan kopi
gayo juga tak lepas dari sejarah panjang penjajahan Belanda di Aceh bagian tengah pada awal
abad ke 10. Pada tahun 1918 pemerintah Belanda menjadikan kopi gayo sebagai produk masa
depan, hal ini seiring dengan tingginya minat pasar mancanegara terhadap keunikan cita rasa
kopi gayo Aceh. Sebagian besar komoditas kopi arabika Gayo tersebut dikembangkan di tiga
kabupaten yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Total perkebunan kopi Gayo
Aceh pada tahun 2010 mencapai sekitar 94.500 hektare, terdiri dari 48.500 hektare di Aceh
Tengah, 39.000 hektare di Kabupaten Bener Meriah, dan 7.000 hektare di Gayo Lues.
Kopi Sidikalang Sumatera Utara
Kopi sidikalang sudah terkenal akan cita rasanya yang mantap, bahkan bukan hanya di dalam
negeri tetapi sampai ke luar negeri. Salah satu pesaing kenikmatan kopi Sidikalang adalah
kopi brazil, yaitu salah satu kopi terbaik di dunia. Sidikalang adalah ibu kota Kabupaten
Dairi, terletak di daerah pegunungan nan sejuk. Menurut para ahli kopi, kekhasan Kopi
Sidikalang didapat dari kombinasi hawa dingin dan jenis tanah di kawasan Bukit Barisan
dengan ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut. Di Sumatera Utara terdapat tiga
daerah penghasil kopi terbaik yaitu Lintongnihuta, Mandailing, dan Sidikalang.
Kopi Besemah - Sumatera Selatan
Kopi Besemah adalah salah satu kopi yang paling digemari oleh penduduk di wilayah
Sumatera Selatan, aroma dan rasanya yang gurih meninggalkan kesan tersendiri bagi
penikmatnya. Mayoritas Kopi Besemah adalah jenis Robusta yang tumbuh di dataran tinggi
di sekitar pegunungan & perbukitan. Yang paling terkenal dan dicari oleh penikmat kopi
adalah Kopi Besemah yang berasal dari daerah Pagaralam yang tumbuh di perkebunan petani
di sekitar lereng Gunung Dempo.
Kopi Robusta yang berasal dari Pagaralam ini sejak dulu dikenal istimewa karena aromanya.
Wanginya sudah tercium, bahkan sebelum kopinya diseduh. Para petani kopi setempat
mengatakan bahwa kopi Pagaralam adalah salah satu kopi favorit Ratu Yuliana pada jaman
Belanda dulu. Ratu Yuliana memang seorang pencinta kopi, dan tak pernah melewatkan satu
hari pun tanpa kopi. Di Pagaralam, ada sebuah kebun kopi yang khusus dibuat untuk
menghasilkan biji kopi terbaik, dan hasil panennya seluruhya dikirim ke dapur istana Sang
Ratu dari Belanda ini. Letak kebun kopi yang menjadi kebanggaan rakyat Pagaralam ini
terletak di sekitar Simpang Padang Karet.
Selain itu ada juga Kopi Besemah dari daerah Kabupaten Muara Enim dan OKU Timur yang
biasa disebut Kopi Semendo, juga dari seputar Kabupaten Lahat dan Empat Lawang
meskipun jenis, aroma dan rasanya sama dengan Kopi Besemah dari daerah Pagaralam.
Tempat penjualan kopi ini tersebar di beberapa tempat di berbagai wilayah di Sumsel. Salah
satunya yang cukup terkenal adalah di daerah pecinan yang berdiri sejak jaman Sriwijaya di
Pasar 16 ilir. Kopi yang dipesan langsung dipanggang pada saat itu juga, dibungkus, dan siap
untuk dinikmati atau untuk oleh-oleh.
Kopi Lampung
Kopi Lampung cukup pantas dikategorikan sebagai salah satu kopi terbaik Indonesia karena
keistimewaan aroma dan rasanya yang khas. Jenis kopi yang dibudidayakan oleh kebanyakan
petani kopi di daerah lampung adalah jenis Kopi Robusta. Sebagian besar perkebunan kopi
Lampung di dataran tinggi Lampung merupakan perkebunan rakyat yang terpusat di daerah
Lampung Tengah, Lampung Barat, dan daerah Tanggamus.
Kopi Aceh berasal dari Belanda yang dibawa oleh seorang pengusaha Belanda pada abad
XVII melalui Batavia (sekarang Jakarta) lalu masuk ke Aceh. Kopi yang pertama sekali
diperkenalkan adalah kopi jenis Arabica yang kemudian berkembang dengan jenis yang
makin beragam.
Di dunia, kopi bisa dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan jenisnya, yaitu kopi Arabica
dan kopi Robusta. Di Aceh kedua jenis kopi ini dibudidayakan oleh masyarakat setempat.
Kopi jenis Arabica umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi Tanah Gayo, termasuk
Takengon, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues. Sedangkan di Kabupaten Pidie (terutama wilayah
Tangse dan Geumpang) dan Aceh Barat, masyarakat lebih menyukai mengembangkan kopi
jenis Robusta.
Kondisi alam Aceh yang subur, dipadu cuaca yang mendukung, menjadikan tanaman kopi
Aceh berkembang menjadi komoditas yang bermutu tinggi dan menguntungkan. Indonesia
merupakan pengekspor biji kopi terbesar keempat di dunia, dan Aceh adalah salah satu
penghasil kopi terbesarnya yang mampu menghasilkan sekitar 40% biji kopi jenis Arabica
tingkat premium dari total panen kopi di Indonesia.
Kopi Ulee Kareng
Ulee Kareeng adalah salah satu kecamatan di Banda Aceh, Ibu Kota Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Ulee Kareng terkenal dengan kopi Ulee Karengnya. Banyak yang mengatakan
jika Anda belum mampir dan mencicipi kopi di salah satu kedai kopi di Ulee Kareng, maka
belum lengkap perjalanan Anda di kota Banda Aceh. Salah satu karakteristik lain dari kopi
Ulee Kareng adalah warnanya yang sangat pekat.
Biji kopi Ulee Kareng dihasilkan dari biji kopi pilihan berkualitas yang berasal dari Lamno,
Kabupaten Aceh Jaya. Biji-biji kopi tersebut diproduksi oleh usaha-usaha kecil menengah.
Oleh penduduk setempat, bubuk kopi yang berkualitas tinggi ini kemudian diproses secara
unik, sejak dari penggilingan hingga disaring menjadi secangkir minuman dengan cara yang
tersendiri. Inilah sebabnya kopi Aceh, terutama kopi Ulee Kareng ini kemudian menjelma
menjadi ikon Aceh itu sendiri. Kedahsyatan aroma kopi Aceh ini sudah sejak lama melegenda
di Indonesia, dan saat ini sudah pula mendunia berkat banyaknya penikmat kopi dari
kalangan pekerja internasional yang datang dan tinggal di Aceh selama bertahun-tahun untuk
merekonstruksi Aceh pasca tsunami.
akan sampai ke lidah orang-orang dari mancanegara. Kenikmatan tiada taranya ketika
menghirup kopi Aceh pun akan semakin bisa dinikmati warga dunia lainnya. Singkat kata,
sekali mencoba kopi Aceh, dijamin pasti jatuh hati. Besok atau lusa nanti mesti kembali
untuk merasakan kenikmatan aromanya lagi.
Catatam Tambahan
Berikut beberapa fakta perbedaan kopi Arabica dan Robusta:
Tabel perbedaan antara kopi Arabica dan Robusta
Tahun ditemukan
Kromosom (2n)
Waktu dari berbunga sampai berbuah
Berbunga
Buah matang
Produksi (kg/ha)
Akar
Temperatur optimal (rata2 /tahun)
Curah hujan optimal
Pertumbuhan maksimum
Kandungan kafein
Bentuk biji
Karakter rebusan
ARABICA
1753
44
9 bulan
setelah hujan
jatuh
1500-3000
dalam
15-24 C
1500-2000 mm
1000-2000 m
0,8-1,4%
datar
asam
Dikutip dari:
http://www.iftfishing.com/city/featured/kuliner2/jajanan/kopi-aceh
Share this on WhatsApp
ROBUSTA
1895
22
10-11 bulan
tidak tetap
di pohon
2300-4000
Dangkal
24-30 C
2000-3000 mm
0-700 m
1,7-4,0%
Oval
Pahit
75
Google+
Takengon diberkahi kesuburan tanah tempat kopi arabika terbaik di dunia tumbuh
subur dan menjadi komoditi yang tak ternilai harganya.
Kopi Gayo adalah sebuah nama yang langsung terlintas di kepala saya saat seseorang
menyebutkan Kota Takengon di Aceh Tengah. Selain Kopi Gayo, saya tak tahu apalagi yang
ada di Kota Takengon. Saya tak berekspektasi apa-apa tentang kota ini selain tentang kopi
arabika dengan rasa dan aroma juara.
Akhir April kemarin saya berkesempatan mengunjungi Takengon. Tentu bertepatan dengan
panen raya yang memang berlangsung dari Maret hingga Mei. Antusiasme saya memuncak
tak terkendali. Bagaimana tidak, untuk pertama kalinya saya melihat langsung proses kopi
dari mulai buah kopi hingga dipetik. Kesempatan ini saya pergunakan baik-baik untuk
memelajari awal mula bagaimana sang biji surga diproses oleh para petani. Bertemu petani-
petani kopi yang mengontribusikan hidupnya pada kopi dan bermain ke ladang kopi yang
tumbuh subur.
Bersama beberapa orang teman saya melewati 12 jam perjalanan darat yang rutenya cukup
membuat pusing. Maklum, Takengon adalah sebuah dataran tinggi yang untuk mencapainya
harus melewati banyak sekali belokan dan liku yang sedikit mengocok perut. Tetapi semua
aral rintangan tersebut rasanya terbayar saat mobil kamu sampai di sebuah puncak. Di sana
mobil kamu berhenti dan dari atas tampaklah seluruh Kota Takengon yang dipeluk mesra
Danau Lut Tawar. Hijau sepanjang mata memandang. Sungguh sebuah pagi yang istimewa.
Mampir ke Kedai Kopi di Takengon
Memasuki Kota Takengon kami melihat banyak sekali di kiri kanan jalan biji-biji dijemur di
atas tikar. Sepanjang jalan kota ini dipenuhi penjemuran kopi yang meluber sampai ke jalan.
Orang-orang sibuk dengan kopi mereka. Ada yang menjemur, ada yang memilah-milih biji
terbaik dan ada pula yang berlalu lalang membawa biji kopi. Sungguh terasa sekali suasana
panen raya di kota ini.
Takengon kotanya tak terlalu besar namun asri dan tenang. Di sepanjang jalan banyak sekali
pabrik dan kilang kopi. Tentu saja karena bisnis terbesar di sini memang bergelut tentang
kopi. Tak hanya kilang dan pabrik, di Takengon juga banyak sekali kedai kopi kecil yang
secara mengejutkan memiliki roaster machine sendiri. Coffee shop di Takengon meskipun
kecil tapi memiliki roaster machine di kedainya. Meskipun dengan interior sederhana, caf di
sini menyajikan kopi yang tak kalah dengan yang ada di kota besar. Tentu saja, karena
mereka menggunakan biji arabika terbaik yang dihasilkan langsung dari buminya. Dan yang
paling penting harga secangkir kopi di sini sangat ekonomis. Secangkir black coffee
dibandrol 8 ribu rupiah. Jangan tanya soal rasa karena sungguh luar biasa.
Saya sendiri sempat mencoba beberapa coffee shop yang menjadi rekomendasi banyak orang.
Horas Caf, ARB Coffee dan Kopi Tiam Fang Weng Sen adalah sedikit dari beberapa kedai
kopi rekomendasi saya. Salah satu pemilik caf berkata kalau di Takengon mulai berkembang
manual brew method. Orang-orang sudah mulai mengerti bahwa minum kopi bisa disajikan
dengan banyak metode. Tak sekedar ditubruk seperti budaya orang-orang di sini.
Perkembangan dunia kopi ternyata telah sampai di Takengon. Masyarakatnya kini tak hanya
menjadi penghasil kopi dan mengeskpornya, tetapi juga mulai mengerti menikmati kopi
dengan beragam cara. Ah, saya ikut bahagia dengan perkembangan kopi di sini.
Masih di Kecamatan Pegasing, tak jauh dari kedai kopi milik Pak Abdullah sampailah kami
di kebun kopi. Sayang ternyata kopinya banyak yang sudah dipanen. Hanya beberapa buah
kopi yang terlihat bergelantungan di dahan pohon kopi. Meski begitu tak sedikitpun
menurunkan semangat saya untuk melihat-lihat dan bercengkrama dengan pohon kopi yang
hijau dan rapat. Saya juga sempat mencicipi buah kopi yang ternyata rasanya sangat manis.
Pantas luwak suka makan buah kopi ya? Rasanya saja manis begini.
Di sini saya baru tahu kalau buah kopi yang boleh dipetik adalah buah kopi yang sudah
merah. Warna merah pada buah kopi menandakan buah kopi itu matang dan bisa dipetik.
Kebun yang saya kunjungi ini ternyata adalah kebun kopi longberry Gayo arabika. Biji kopi
yang dihasilkannya berbeda dengan kopi arabika biasa. Bijinya panjang-panjang dan lonjong.
Sedangkan di kebun sebelah menghasilkan kopi arabika Gayo biasa. Kedua kebun kopi ini
sebenarnya bersebelahan, tapi dengan ajaib menghasilkan dua jenis kopi yang berbeda.
Setelah puas main ke kebun kopi saya juga mampir ke salah satu rumah petani kopi. Di sana
saya melihat proses giling basah (wet process). Tak lupa juga membawa beberapa kilogram
green bean untuk oleh-oleh. Tak hanya ke kebun kopi, saya juga mengunjungi kilang kopi
yang berkat seorang teman berhasil saya masuki.
Di Kilang Kopi Aman Kuba saya melihat para pekerjanya memilih biji-biji terbaik secara
manual. Mereka memilih satu per satu biji terbaik dan membuang biji yang rusak. Wah saya
tak menyangka prosesnya bakalan sedetail ini. Di Kilang Kopi AMan Kuba saya melihat kopi
dijemur di sebuah ruangan luas. Takjub sekali. Namanya juga main ke tempat kopi, pastilah
sempat mencicipi secangkir kopi yang baru saja di-roasting dan menyempatkan diri ngobrolngobrol dengan pemiliknya, Pak Ikrar.
Lima hari saya habiskan untuk mengekplorasi Takengon dengan maksimal. Mulai dari kopi
hingga pemandangan alamnya yang luar biasa indahnya. Bagi kamu yang ingin melakukan
wisata kopi seperti saya, silakan datang pada April-Mei atau Oktober-November. Karena pada
bulan-bulan tersebut di Takengon sedang berlangsung panen raya yang seluruh penjuru
kotanya akan beraroma kopi. Tak percaya? Silakan datang dan nikmati tiap cangkir
kenikmatan salah satu kopi ternikmat di dunia: Kopi Gayo Arabika.
75
Google+
4 Comments
By Mustika Treisna Yuliandri
A girl who lives among words, world and wow-ness. A coffee-shop traveler and social media
entusiast.
Google+
Saya sebelumnya tak menyangka bakalan sebegitu jatuh cintanya dengan Two Hands Full
yang namanya hanya saya dengar sepintas lalu. Saya telah mendengar bahwa di Bandung ada
sebuah coffee shop yang tak hanya menyajikan kopi-kopi nikmat tetapi juga digilai karena
menu sarapan yang mereka sajikan menjadikan coffee shop yang beralamat di Jalan Sukajadi
No. 206 Bandung ini terohor sampai ke telinga saya yang nota bene bukan orang Bandung.
Akhirnya saya pun penasaran dengan tempat yang satu ini. Pukul 10 pagi yang menurut saya
sungguh kepagian untuk akhir pekan saya dan dua orang teman berhasil bertandang ke sana.
Meskipun masih terhitung pagi ternyata Two Hands Full sudah penuh dengan orang-orang
yang sedang menikmati sarapan lezat mereka. Kursi-kursi penuh lebih penuh dari perkiraan
saya sebelumnya. Di tengah-tengah ruangan terdapat coffee bar tempat barista meracik kopi.
Saya memilih sebuah meja yang kosong yang berada di sebelah kanan ruangan. Sebagian
pengunjung memilih duduk di bar sambil menikmati kopi dan bercengkrama dengan barista
yang mungkin mereka sudah kenal.
Di sini menerapkan sistem self service. Jadi kita memesan sendiri menu yang kita inginkan ke
kasir dan membayarnya dan nanti mereka akan mengantar pesanan kita. Secangkir piccolo
latte menjadi pilihan kopi pagi saya. Dan meskipun tak terbiasa sarapan pagi saya cukup
tergiur dengan menu sarapan ala western yang disajikan di sini. Saya pun memesan Big
Brekky yang ternyata benar-benar porsi besar. Sambil menunggu pesanan datang saya
memerhatikan interior Two Hands Full bertema industrial warehouse yang sungguh apik.
Pemilihan furnitur, lighthing serta dinding-dinding bata plus unfinished stuff di beberapa
bagian terasa begitu keren. Sekilas saya merasa berada tidak di Indonesia.
Untuk mereka yang menyukai breakfast nikmat yang tak biasa Two Hands Full adalah surga
yang pastinya membuat bahagia. Saya sendiri saja sampai tidak bisa mampir ke lain hati.
Setiap mampir ke Bandung sebisa mungkin sarapan satu kali di tempat ini sambil menikmati
secangkir kopi yang disajikan tidak main-main. Two Hands Full adalah sebuah tempat yang
nikmat untuk pecinta kopi dan dahsyat untuk mereka penggila sarapan ala western. Dan jika
kamu adalah keduanya maka tak mungkin lagi tempat yang satu ini dilewatkan.
Oh iya, datanglah pagi-pagi biar kamu tak perlu mengantri karena sudah dipastikan tempat ini
selalu full house. Jika memilih datang pada saat weekend jadikanlah ke sini menjadi motivasi
kamu untuk bangun pagi. Kenapa? Karena jika terlalu lama datang kamu mungkin akan
kehabisan beberapa menu lezat pemompa bahagia. Sudahlah, tanpa banyak bicara lagi saya
cuma bisa memberi satu kalimat yang pas: jika ingin kopi nikmat dan sarapan dahsyat Two
Hands Full adalah pilihan yang lebih dari tepat.
Google+
Rasanya takjub ketika melihat perjalanan panjang kopi hingga akhirnya sampai ke
cangkir. Dan semuanya terangkum dengan lengkap dalam film dokumenter yang
disutradarai oleh Brandon Loper ini.
Mungkin sebelum film dokumenter A Film About Coffee ini dibuat telah ada film dokementer
lain yang menuturkan tentang perjalanan biji kopi hingga sampai ke cangkir. Tapi, tak ada
salahnya jika kamu menonton film yang dirilis pada 26 April 2014 ini, kamu akan
menyaksikan gambar-gambar indah, tuturan menarik yang jauh dari membosankan serta
detail-detail menarik yang tak kita ketahui tentang proses kopi sebelum sampai ke tegukan.
Sutradara Brandon Loper mengatakan bahwa film yang dibuatnya ini adalah surat cinta serta
perenungan untuk mendapatkan makna sesunggunya dari dunia coffee specialty. Itu kenapa
film ini dibuat dengan begitu apik dengan wawancara yang terselip dari tokoh-tokoh yang
berpengaruh dalam industri kopi dunia. A Film About Coffee juga melakukan perjalanan
dari Rwanda, Honduras, Amerika Serikat hingga Jepang. Semuanya direkam secara indah dan
tak berlebihan. Sebuah dokumenter yang baik tak melebih-lebihkan, meski tak kehilangan
esensi dari indahnya kenyataan yang ada.
Film ini dibuka dengan diperlihatkannya proses menyeduh dengan syphon secara perlahan.
Seketika menyadarkan kita bahwa menyeduh kopi adalah proses bak ritual. Tak boleh
sembarangan karena tiap langkah adalah makna yang kompleks. Sisi informatif yang diusung
film ini semakin lengkap dengan hadirnya wawancara dan pendapat para ahli kopi. Mulai dari
George Howell, seorang perintis coffee specialty terkemuka yang memaparkan tentang betapa
kayanya proses menyeduh kopi. Ada juga James Freeman, orang di balik nama besar Blue
Bottle yang berbagi tentang perspektif dan fenomena tentang perkembangan brewing process.
Meski begitu, perjalanan asal mula biji kopi tetaplah sebuah perjalanan penuh suka cita.
Banyak interaksi menyenangkan antar manusia di sana. Hebatnya di sini tak melulu tentang
bisnis, tetapi juga hubungan antar manusia satu dengan manusia dari ujung dunia yang entah
darimana datangnya. Kopi menyatukan manusia di seluruh penjuru dunia meski tak pernah
bertatap muka.
Bertemu Sang Legenda
Daibo, seorang legenda kopi di Jepang juga ditampilkan di film dokumenter ini. Bersama
istrinya Keiko, Daibo membuka kedai kopi yang telah beroperasi selama 38 tahun. Tak
seperti kedai kopi biasa, kedai kopinya sangat tradisional. Yang membuat saya takjub adalah
bagaimana cara Daibo menyeduh kopi untuk pelanggannya dengan cara yang lebih mirip
sebuah ritual yang sakral. Kopi diseduh perlahan-lahan dengan kehati-hatiah seorang coffee
master. Ada kesungguhan dan keindahan dalam tiap prosesnya. Membuat mata yang
menyaksikan seketika tak ingin berkedip sekalipun. Daibo memberikan satu hal yang tak
mungkin saya lupa: kopi adalah makna yang tak bisa disajikan dengan tergesa-gesa. Meski
kedai kopi ini tak beroperasi lagi, semua penikmat kopi pastilah akan sangat berterima kasih
karena pernah ada seseorang yang mengapresiasi kopi sehebat Daibo.
Akhirnya saya hanya bisa mengatakan bahwa A Film About Coffee adalah sebuah film
dokumenter yang sengaja diciptakan untuk pecinta, penikmat, pebisnis dan siapa saja yang
hidupnya terlibat akan kopi. Selamat menonton, selamat jatuh cinta lagi.
Google+
1 Comment
By Mustika Treisna Yuliandri
A girl who lives among words, world and wow-ness. A coffee-shop traveler and social media
entusiast.
9.7k
Google+
Kedua istilah ini cukup sering ditemukan dalam dunia kopi. Tapi apa beda keduanya?
ADA perjalanan panjang yang harus dilalui buah/ceri kopi sebelum ia sampai ke cangkir para
penikmat kopi dalam bentuk minuman. Dari mulai dipetik sampai diseduh, masing-masing
tahap ini umumnya punya standar masing-masing yang akan menentukan senikmat apa kopi
itu nantinya. Dengan kata lain, setiap tahap mendukung keberhasilan kopi yang akan
dinikmati. Kesalahan atau ketidak-tepatan di satu fase saja bisa memengaruhi rasa yang
disajikan.
Khusus untuk pengolahan biji kopi, kami sudah pernah membahasnya secara lengkap di sini.
Kali ini kami akan membahas secara khusus perbedaan antara proses unwashed dan washed
yang juga cukup sering ditemui dalam industri kopi.
Proses unwashed
Dalam istilah Indonesia, proses unwashed sering disebut dengan proses kering. Istilah lainnya
adalah proses natural. Proses unwashed ini termasuk metode tertua, bahkan bisa dibilang
tekhnik mula-mula yang dipakai dalam pengolahan biji kopi. Awalnya, buah ceri kopi akan
dipetik lalu dijemur dengan membentangkan seluruh bijinya di bawah sinar matahari. Tahap
penjemuran ini bisa memakan waktu hingga 4 minggu, tergantung dari seberapa cepat ceri
kopi itu sendiri menjadi kering. Selama dijemur buah ceri kopi harus dibolak-balik secara
berkala agar pengeringannya merata. Nah pada saat dijemur secara langsung di bawah sinar
matahari, proses fermentasi akan terjadi secara alami pula dimana proses fermentasi inilah
yang akan memengaruhi atau membentuk profil akhir dari kopi.
Setelah ceri kopi dianggap kering, proses selanjutnya adalah memisahkan antara kulit buah
dengan biji. Proses ini umumnya dilakukan secara mekanik dengan bantuan mesin. Setelah
biji kopi terpisah dari kulitnya maka biji kopi yang kemudian disebut green bean ini akan
disimpan untuk akhirnya dijual.
Proses kering atau unwashed umumnya dilakukan jika sumber air di tempat ia diproses tidak
terlalu maksimal. Karenanya proses ini pun cukup popular dilakukan di Ethiophia, sebagian
Indonesia dan beberapa wilayah di Brazil.
Kopi yang diproses secara natural (unwashed) umumnya memiliki karakteristik
seperti: body penuh, rasa bawaan yang cenderung manis, dan hadirnya notes seperti
blueberry, strawberry atau buah-buahan tropis.
Proses washed
Di artikel berbahasa Inggris lain, proses ini juga disebut dengan wet process. Di bahasa
Indonesia, proses washed sering disebut dengan proses basah.
Proses basah ini melibatkan banyak sekali penggunaan air sehingga beberapa aktifis sering
menganggapnya tidak ramah lingkungan.
Setelah buah ceri kopi yang telah matang dipetik, maka ceri kopi itu akan dipisahkan kulit
daging dan bijinya dengan menggunakan mesin yang disebut depulper. Setelah kulit daging
dibuang, maka biji-biji kopi itu akan dipindahkan dalam sebuah tanki khusus yang bersih
untuk kemudian difermentasi. Fermentasi ini bertujuan untuk menghilangkan kulit daging
ceri yang masih tersisa.
Setelah biji kopi telah benar-benar bersih dari daging kulitnya, maka proses selanjutnya
adalah membersihkan kembali biji kopi dari sisa-sisa kotoran fermentasi. Setelahnya, biji-biji
kopi yang hampir matang sebagai green bean ini kemudian dikeringkan dengan cara dijemur
di bawah sinar matahari, atau diangkat di atas meja pengeringan, atau bisa juga dengan
menggunakan mesin pengering mekanik jika di tempat kopi itu diproses tidak memiliki sinar
matahari dan kelembaban yang cukup.
Meski kelihatannya boros air, tapi faktanya proses ini dipilih oleh para produsen kopi.
Alasannya, proses basah dianggap bisa membantu mengurangi cacat pada kopi. Karena pada
saat proses pembersihan awal, setiap buah ceri kopi yang mengambang akan dibuang karena
dianggap tidak memiliki massa yang cukup layak.
Kopi yang diproses dengan cara washed seperti ini umumnya memiliki karakteristik
seperti: rasa yang cenderung bersih, lembut, tingkat acidity lumayan, namun memiliki
kompleksitas rasa yang cukup beragam dan unik.
Demikianlah proses unwashed dan washed pada pengolahan biji kopi. Kira-kira kalian lebih
tertarik memilih green bean dengan proses apa?
*Semua foto diambil dari situs pencari.
24
Google+
Kopi yang selalu dibicarakan itu pun masih memiliki lagi sekelumit cerita menarik di
baliknya.
SIAPA sangka kalau di balik secangkir kopi yang kamu minum mungkin hampir setiap hari,
ada cerita menarik yang melatar-belakanginya. Mulai dari kisah menarik seperti seorang
komposer besar yang ternyata pernah menulis lagi tentang perempuan yang kecanduan kopi
atau penemuan canggih yang dulunya tercipta justru karena kopi. Nah, sebelum kalian
semakin penasaran, langsung saja simak daftar kisah lengkapnya berikut ini:
1. Kopi akan bekerja sangat baik jika diminum antara jam 9:30 dan 11:30.
Hal ini disebabkan karena level kortisol (yaitu hormon yang mengendalikan inner clock
manusia) sedang drop pada jam-jam itu dan kafein umumnya berinteraksi dengan kortisol.
Jika kita mengonsumsi kafein di pagi hari dimana kortisol sedang tinggi-tingginya, maka kita
akan membuat standar bagi tubuh untuk mengonsumsi kafein agar bisa menghasilkan efek
yang sama dengan di pagi hari itu. Means, ujung-ujungnya, tubuh pun akan membutuhkan
lebih banyak asupan kopi.
Banyak iklan-iklan minuman penambah stamina yang (dengan pedenya) menyatakan bahwa
minuman itu memiliki efek lebih nendang daripada secangkir kopi. Padahal kenyataannya,
dalam 16 oz minuman energi kaleng misalnya, hanya memiliki sekitar 150 miligram kafein
saja masih setengah jumlah kafein dari secangkir kopi Starbucks ukuran grand.
atau tidak. Well, aplikasi seperti Skype atau FaceTime sepertinya harus berterima kasih
kepada sistem webcam ini.
6. Salah satu kopi termahal di dunia disebut-sebut adalah kopi yang berasal dari (maaf)
kotoran gajah.
Yep, sounds weird but true. Jadi bukan hanya luwak yang boleh sombong karena kopi yang
dikeluarkannya menjadi mahal. Di Thailand, gajah-gajah yang memakan buah kopi ini
kemudian akan mengeluarkannya utuh bersama kotoran mereka. Kopi-kopi inilah yang
kemudian dipilah secara manual untuk dibersihkan dan harganya kemudian langsung
menjulang. Alasannya, kopi yang dihasilkan dari sistem semacam ini katanya sih memiliki
rasa yang lebih earthy dan smooth. Gimana? Mau coba? :p
7. Ada alasan tertentu kenapa kadang rasa kopi tidak senikmat aromanya.
Menurut banyak scientists, hal ini disebabkan karena manusia umumnya memiliki dua
penciuman. Yang pertama adalah penciuman yang dihasilkan oleh bau yang dihirup dari
lingkungan sekitar. Yang kedua, ledakan aroma yang dikirim melalui bagian belakang hidung
dari dalam mulut ketika kita menyesap kopi (yang sebenarnya hanyalah aroma 80% dari rasa
sebenarnya). Umumnya, kopi akan tercium lebih baik ketika kita menyesapnya di dalam
mulut.
Btw, kisah menarik apalagi yang kalian tahu tentang kopi? Coba share dulu. :p
Masalah Kopi di Tanoh Gayo, Penghasil Kopi Arabika TERBESAR di Asia
9 Maret 2010 pukul 19:41
Tadi saya membaca sebuah diskusi menarik di Forum Diskusi Prospek Kopi Arabica di Tanoh
Gayo.
Melihat diskusi ini, saya salut melihat kawan-kawan yang berpikir begitu panjang soal masa
depan kopi Gayo.
Ada macam-macam persoalan perkopian yang dibicarakan dalam forum ini dari yang konyol
sampai yang serius.
Misalnya di forum ini ada yang meragukan keterkenalan Kopi Gayo dan membandingkannya
dengan terkenalnya Kopi UK alias Kopi Ulee kareng yang tidak menggunakan Kopi Gayo,
alias Ulee Kareeng, padahal ini jelas seperti membandingkan keterkenalan M. Basir mantan
kiper Persiraja (kiper Persiraja yang sekarang saya tidak tahu namanya) dengan Sebastien
Frey Kiper Fiorentina. Yang satu adalah Kiper terbaik yang sangat terkenal di Aceh,
sementara yang satu lagi adalah kiper kelas menengah yang meskipun nggak dipanggil ke
Timnas Perancis, tapi bermain di klub menengah di salah satu liga terbaik dunia.
Kopi UK hanyalah kopi konsumsi lokal yang kualitas dan penangananannya sama sekali
tidak memenuhi persyaratan ekspor. Kopi ini hanya dikenal oleh para peminum kopi lokal
yang karena beberapa kali diulas di TV kemudian jadi terkenal juga secara nasional. Tapi,
para konsumen kopi Internasional yang memilih Kopi yang diminum dengan panduan ahli
pencicip rasa, yang berlangganan majalah kopi untuk memastikan kopi yang dia minum
adalah kopi terbaik jelas sama sekali tidak mengenal kopi Ulee Kareeng dan kalau pun
mengenalnya tidak akan pernah berpikir untuk mengklasifikasikan kopi Ulee Kareeng
menjadi salah satu jenis kopi unggulan. Sementara Kopi gayo meskipun bukan yang terbaik,
tapi termasuk salah satu jenis kopi yang sangat dikenal dan sering diulas oleh para pecinta
kopi dunia.
Seperti M. Basir yang merupakan Kiper terbaik di Aceh, dia sangat terkenal di Aceh, tapi
tentu saja tidak ada pelatih yang cukup gila untuk menjadikannya kiper di sebuah klub yang
berada di zona degradasi di sebuah liga eropa tidak terkenal, semacam liga Latvia.
Kemudian ada peserta forum yang mengaitkan masa depan Kopi Gayo dengan adanya
CAFTA dan menghubungkannya dengan produksi kopi Vietnam. Beberapa dari teman-teman
ini rupanya khawatir dengan masa depan pasar Kopi Gayo dengan adanya CAFTA ini.
Menanggapi ini ada dua orang yang bernama hadian dan Pak Sahrial Wahab yang sama sekali
tidak khawatir dengan prospek kopi Gayo dengan adanya pasar bebas Cina dan ASEAN ini.
Dalam diskusi ini saya berada dalam kubu yang sama dengan Hadiyan dan Pak Sahrial
Wahab dan bersepakat dengan mereka bahwa CAFTA ini sebenarnya sangat tidak nyambung
kalau dikaitkan dengan kopi Gayo, sebab keberadaan CAFTA memang sama sekali tidak
membawa pengaruh signifikan terhadap pangsa pasar Kopi Gayo, karena negara-negara
CAFTA bukanlah pasar yang secara tradisional merupakan pasar yang menjadi tujuan Kopi
Gayo.
Kemudian ketakutan dengan adanya CAFTA dalam kaitannya dengan produksi kopi robusta
Vietnam yang dikhawatirkan akan menurunkan daya saing kopi Gayo di pasar dalam negeri
juga saya pikir sama sekali tidak ada dasarnya. Sebab Kopi Gayo adalah kopi arabica yang
memang tidak dipasarkan di dalam negeri. Bahkan sepengetahuan saya, Kopi Gayo yang
dijual di Starbuck-pun mereka beli dari Importir Kopi Gayo di Amerika sana, tidak langsung
dari Takengen, jadi apa yang perlu ditakutkan dari Vietnam.
Kekhawatiran ini juga tidak ada dasarnya meskipun sekarang katanya Vietnam sudah mulai
is Arabica. Of this 13% around 60% of all Arabica comes out of Aceh (the PKGO coop, PT
Hollands Gayo Mountain, Gayoland etc) or North Sumatra (Mandehlings, Lintongs,
Sidikalangs etc).
The Acehnese Arabica's are periennial favorites, and a lot make their way to the USA through
companies such as Fairtrade advocate ForesTrade...
Personally I rate Acehnese Arabica in the top 5 of coffee I roast from Indonesian origins.
However I also think there are some really great origins out there that do not get the benefit
and support through NGO funding that Aceh gets. With little more funding shared out
through the rest of Indonesia, it would benefit coffee in general here.
Komentator di kedua diskusi ini adalah orang yang sama.
Di pasar Dunia, Kopi Gayo dikenal sebagai jenis Kopi Premium dengan produksi terbatas
sebagaimana halnya kopi Ijen, Kolombian Supremo, Jamaican Blue Mountain, Kona Hawai,
Harar dan lain-lain. Kopi-kopi jenis ini bisa dikatakan tanpa pesaing karena masing-masing
punya ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh kopi yang berasal dari daerah lain.
Kopi jenis ini berbeda dengan Kopi Brazil atau Kolombia biasa yang dianggap sebagai
barang kodian. Meskipun memang harga Kopi Premium inipun fluktuatif mengikuti harga
kopi produksi massal.
Jadi daripada pusing tidak berguna memikirkan Vietnam dan CAFTA, saya pikir justru jauh
lebih penting kita pikirkan adalah bagaimana cara meningkatkan KUALITAS kopi yang
diproduksi oleh petani Tanoh Gayo.
Karena sebagaimana disampaikan seorang peserta forum ini yang bernama Zulfikar Ahmad,
menurut laporan International Coffee Organization (ICO) Jepang dan USA menunjukan
angka penurunan komsumsi dari tahun ke tahun.
Perlu kita ketahui bersama bahwa penurunan ini bisa terjadi adalah akibat dari penurunan
kualitas kopi yang diproduksi dunia, sehingga peminum fanatik kopi beralih ke minuman
lain.
***
Sepuluh tahun silam, saya diundang oleh FAO untuk mengikuti Konferensi meja Bundar
Kopi se- Asia pasifik di Chiang Mai, Thailand.
Dalam forum yang saya ikuti itu, panitia juga mengundang kalangan roaster yang menjadi
sasaran akhir ekspor biji kopi sebelum mereka ubah menjadi kopi siap konsumsi.
Salah seorang yang hadir dari kalangan roaster itu bernama DR. Ernesto Illy (yang saat itu
Atau kalau kita bandingkan dengan produksi kopi Gayo, Kalau di tanah Gayo kita asumsikan
ada 90 ribu hektar lahan Kopi (pembulatan ke atas) dengan produksi antara 700-1000 Kg per
tahun, kita hitung maksimal ada 1.500.000 Karung kopi per tahun, maka artinya setiap tahun
ada kopi sebanyak tiga kali lipat produksi seluruh kopi Gayo yang tidak terserap pasar.
Jadi begitulah kira-kira peta perkopian di kawasan ini, sehingga kalaupun Vietnam kemudian
mengembangkan Kopi Arabica (sebagaimana yang telah dilakukan Thailand), jelas mutunya
tidak akan dapat menyaingi mutu Kopi Gayo dan pasarnya juga nantinya tidak akan
mengganggu pasar Kopi Gayo. Karena dengan karakter tanah dan ketinggian tempat yang
ada di Vietnam, paling banter mereka hanya akan bisa maksimal menghasilkan Kopi Arabica
dengan mutu paling tinggi seperti Kopi Singahmulo.
Sementara di berbagai belahan dunia, orang mulai menyadari pentingnya kualitas ini.
Contohnya misalnya terjadi pada beberapa perkebunan Kopi di Jawa.
Sadar akan pentingnya kualitas dalam industri perkopian ini, beberapa perkebunan kopi besar
di Jawa (yang memiliki luas lahan di atas 1000 hektar) belakangan juga mulai mengubah
strategi dalam pemilihan jenis tanaman kopi. Contohnya perkebunan Kali Klatak yang karena
menyadari harga Kopi Arabica yang dua kali lipat lebih mahal dibanding Kopi robusta, dulu
menanam kopi Arabica di lahan mereka yang memiliki ketinggian di bawah 800 Mdpl, tapi
karena mutu kopi yang dihasilkan tidak bagus dan memiliki banyak defects (biji kopi rusak),
ujung-ujungnya ternyata lebih menguntungkan menanam Robusta, karena itulah tahun ini
mereka membongkar semua kopi Arabica di kebun mereka dan menggantinya dengan
Robusta.
Contoh lain adalah Burma yang sejak beberapa tahun sebelum konferensi itu telah mem-ban
kopi jenis Catimor dan hanya menanam Bourbon, sehingga mereka berhasil mendapatkan
harga yang baik untuk kopi mereka (bersyukurlah bahwa lahan yang cocok untuk ditanami
Kopi di Burma itu sedikit sekali).
***
Sangat menarik ketika peserta forum yang bernama Hadiyan mengaitkan Kopi Gayo dengan
Kopi Blue Mountain, menurut hadiyan Kopi gayo harus mempertahankan dan meningkatkan
kwalitas dan menjaga brand image produk supaya bisa seperti Blue Mountain yang harganya
jauh lebih mahal dibanding kopi Gayo (kopi gayo sekitar US$ 5/kg sedangankan Jamaica
coffee blue mountain bisa mencapai US$ 160/kg)
Saya sangat sepakat dengan Hadiyan meskipun saya tidak sepakat perbandingan harga antara
kopi gayo dan coffee blue mountain yang dia sebutkan, karena meskipun Blue Mountain jauh
lebih mahal ketimbang kopi Gayo tapi perbedaannya tidak seekstrim yang digambarkan oleh
Hadiyan, karena beda harga antara gayo Mountain Coffee dengan Jamaican Blue Mountain
Coffee 'hanya' sekitar 3 kali lipat saja, contohnya bisa dilihat pada harga yang dipatok oleh
Apa yang membuat perbedaan harga yang mencolok antara Kopi Gayo dengan Kopi Blue
Mountain itu adalah KESERAGAMAN dalam hal kualitas.
Kopi Gayo kualitasnya tidak seragam. Ketidak seragaman itu dimulai dari apa yang disebut
dengan Kopi Gayo ini sendiri sebenarnya adalah berbagai ragam jenis dan kualitas Kopi
dengan berbagai jenis karakter tanah dan ketinggian tumbuh yang terbilang ekstrim. Sekitar
700-an Mdpl di Singah Mulo, sampai 1500-an Meter di Lukup Sabun. Mulai dari yang
tumbuh di lahan Vulkanis (Lukup Sabun, Bandar lampahan, Simpang balik sampai di bener
Meriah) dan bukan vulkanis di Jagong Jeget, Batu Lintang dan sekitarnya. Lalu Kopi Gayo
juga terdiri dari berbagai varietas Kopi yang berbeda-beda.
Kemudian juga ketidak seragaman dalam penanganan pasca panen sehingga kualitasnya tidak
pernah bisa standar.
Atas dasar itulah, kalau kita memang ingin membangun Brand Kopi Gayo yang kuat, saya
pikir yang pertama kali harus kita lakukan bukanlah memacu produktivitas, tapi
meningkatkan kualitas yang bisa kita mulai dengan mengklasifikasikan kopi di tanoh Gayo
berdasarkan daerah tumbuhnya, dan mulai mengembangkan varietas sesuai dengan selera
konsumen, bukan bersikap autis dengan pikiran hanya untuk menggenjot produksi seperti
Vietnam.
Wassalam
Win Wan Nur
www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com
Link terkait;
Forum Diskusi Prospek Kopi Arabica di Tanoh Gayo
(*) http://www.facebook.com/group.php?v=wall&ref=ts&gid=258057120428
(**) http://www.facebook.com/topic.php?uid=258057120428&topic=13002
23 Suka5 Komentar
16
Google+
Jika kalian mengira jika Roma atau Paris adalah kota terbaik untuk minum kopi,
maka kamu benar-benar harus membaca artikel ini.
Bagi pecinta kopi, kota yang baika adalah kota yang menyajikan kopi enak dengan
pengalaman yang mengesankan. Dan di Indonesia geliat industri kopi telah merebak ke
semua kalangan. Kopi tak hanya sekedar dinikmati di warung tetapi telah terangkat ke coffee
shop yang menyajikan kopi dengan beragam metode. Berkembangnya minat orang terhadap
kopi berefek bagi industri kedai kopi independen. Tapi tahukah kamu jika ada kota-kota di
dunia yang telah berpredikat sebagai kota terbaik untuk pecinta kopi? Siapa tahu salah satu
kota di Indonesia bisa menggeser predikat kota-kota di dunia ini suatu hari nanti.
Melbourne, Australia
Tak banyak yang tahu kalau Melbourne kini telah menjadi the coffee capital. Bukan, bukan
karena Melbourne adalah kota penghasil kopi, tetapi Melbourne telah tumbuh menjadi kopi
tempat bertumbuhnya coffee shop lokal yang menyajikan kopi nikmat di seluruh penjuru
kota. Budaya minum kopi di Melbourne berawal dari pertengahan abad ke-20 ketika para
imigran dari Italia membawa budaya minum kopi ke Tanah Aborigin. Kini telah menjamur
coffee shop tempat nongkrongnya para coffee snob yang menikmati kopi mereka dengan
penuh kebahagiaan. Coffee shop dengan interior keren, barista terlatih yang menjuarai
berbagai kompetisi kopi serta rasa kopi yang tak diragukan adalah alasan kenapa pecinta kopi
harus mampir ke Melbourne.
Seattle, USA
Kota yang satu ini tak hanya tersohor karena menjadi tuan rumah Starbucks, tetapi kini
menjelma rumah yang nyaman untuk pecinta kopi karena telah tumbuh berbagai coffee
shop yang membantu geliatnya semangat minum kopi masyarakatnya. Seattle menjanjikan
berkembangnya industri kopi karena masyarakatnya meminum kopi dengan kuantitas yang
banyak. Tak dapat dipungkiri bahwa Starbucks membantu berkembangnya semangat minum
kopi. Tetapi jika kamu mengunjungi kota ini maka kamu akan melihat banyak sekali kedai
kopi lokal yang sangat recommended untuk dikunjungi.
Roma, Italia
Tak menjadi rahasia lagi jika masyarakat Italia darahnya mengandung kopi. Kopi adalah
ritual penting memulai hari bagi mereka. Espresso adalah secangkir energi yang
membahagiakan. Tentu Roma menjadi tuan rumah yang tepat bagi pecinta kopi yang ingin
menikmati kopi dalam pengalaman yang berbeda. Kedai kopi lokal yang menjamuri gedunggedung tua, trotoar bahkan di mana saja. Minum kopi di Roma adalah hal yang tak boleh
dilewatkan jika kamu mengunjungi kota ini. Dan percayalah, masyarakat Roma akan
berteman dengan kamu jika kamu bisa menikmati kopi seperti mereka.
Taipei, Taiwan
Beberapa orang mungkin akan terkejut jika Taipei dinobatkan sebagai best coffee for coffee
drinker. But, thats a fact. Taipei adalah salah satu kota tempat bertumbuhnya independent
coffee shops. Meskipun Taiwan adalah negara yang tidak menghasilkan kopi, tapi negara ini
mengimpor kopi terbanyak yang tahun ini impor kopi mereka naik menjadi 15%.
Masyarakatnya sendiri meminum kopi at least 100 cangkir per tahun. Tingginya minat
masyarakatnya terhadap kopi, berefek besar bagi bisnis coffee shop. Dan Taipei menjadi
tempat terbaik untuk menikmati kopi nikmat dengan kualitas yang hebat pula. Tak hanya soal
rasa kopinya, Taipei juga peduli dengan interior dan eksterior kafe mereka yang memiliki
konsep yang unik.
16
Google+
1 Comment
By Mustika Treisna Yuliandri
A girl who lives among words, world and wow-ness. A coffee-shop traveler and social media
entusiast.