Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Agorafobia dengan Gangguan Panik
1
2.1 Definisi
Agorafobia berasal dari kata Yunani. Agorafobia adalah rasa takut sendirian di tempat
umum (seperti supermarket), terutama tempat yang sulit untuk keluar dengan cepat saat
terjadi serangan panik.1,2
Agorafobia juga termasuk ketakutan jika berada jauh dari rumah, keluarga dan temanteman. Penderita takut berada pada situasi atau tempat yang menyebabkan sulit melarukan
diri atau tidak ada bantuan jika terjadi serangan panik.2
Agorafobia sering disertai gangguan panik. Gangguan panik ditandai dengan adanya
serangan panik yang tidak diduga dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut intens
yang hati-hati dan bervariasi dari sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit
serangan selama satu tahun.1
2.2 Epidemiologi
Studi epidemiologis melaporkan angka prevalensi seumur hidup 1,5 5 % untuk
gangguan panik dan 3 5,6 % untuk serangan panik. Perempuan lebih mudah terkena dua
hingga tiga kali daripada laki-laki walaupun pengabaian diagnosis gangguan panik pada
laki-laki dapat berperan dalam distribusi yang tidak sebenarnya.1
Gangguan panik paling lazim timbul pada dewasa muda (usia rerata timbulnya
gangguan sekitar 25 tahun) tetapi gangguan panik dan agorafobia dapat timbul pada usia
berapapun. Gangguan panik dilaporkan terjadi pada anak dan remaja, serta diagnosis
gangguan ini mungkin kurang terdiagnosis pada kelompok usia tertentu.1
Prevalensi seumur hidup agorafobia dilaporkan berkisar anatara 0,6 6 %. Faktor utama
yang menyebabkan kisaran perkiraan yang luas ini adalah pengguanaan berbagai kriteria
diagnostik dan metode penilaian. Dibanyak kasus, awitan agorafobia mengikuti peristiwa
traumatik.1
2.3 Etiologi
a. Faktor Biologis
Gejala gangguan panik terkait dengan suatu kisaran abnormalitas biologis dalam
struktur dan fungsi otak. Sebagian besar penelitian dilakukan di area dengan penggunaan
stimulan biologis untuk mencetuskan serangan panik pada pasien dengan gangguan
panik.1
Agorafobia dengan Gangguan Panik
2
Sistem saraf otonom pada sejumlah pasien dengan gangguan panik dilaporkan
menunjukkan peningkatan tonus simpatik, beradaptasi lambat terhadap stimulus berulang,
dan berespons berlebihan terhadap stimulus sedang.1
b. Faktor Genetik
Walaupun studi yang terkontrol baik mengenai dasar genetik gangguan panik dan
agorafobia jumlahnya sedikit, data saat ini mendukung kesimpulan bahwa gangguan ini
memiliki komponen genetik yang khas. Di samping itu, sejumlah data menunjukkan
bahwa gangguan panik dengan agorafobia adalah bentuk parah gangguan panik sehingga
lebih mungkin diturunkan.1
Berbagai studi menemukan peningkatan risiko empat hingga delapan kali untuk
gangguan panik diantara kerabat derajat pertama pasien dengan gangguan panik
dibandingkan kerabat derajat pertama pasien psikiatri lain. Studi kembar yang telah
dilakukan hingga saat ini umumnya melaporkan bahwa kedua kembar monozigot lebih
mudah terkena bersamaan daripada kembar dizigot. Demikian juga riwayat keluarga
dengan gangguan panik dan agorafobia. Saat ini, tidak ada data yang menunjukkan
hubungan antara lokasi kromosom spesifik atau cara transmisi dan gangguan ini.1,2
c. Faktor Psikososial
Teori psikoanalitik dan perilaku kognitif telah dikembangkan untuk menerangkan
patogenesis gangguan panik dan agorafobia. Keberhasilan metode kognitif perilaku untuk
terapi gangguan ini dapat menambah kepercayaan pada teori perilaku kognitif. 1
a. Teori Perilaku Kognitif
Teori perilaku menyatakan bahwa ansietas adalah respons yang dipelajari baik
dari menirukan perilaku orangtua maupun melalui proses pembelajaran klasik. Di
dalam metode pembelajaran klasik pada gangguan panik dan agorafobia, stimulus
berbahaya (seperti serangan panik) yang timbul bersama stimulus netral (seperti naik
bus) dapat mengakibatkan penghindaran stimulus netral. Teoriperilaku lain
menyatakan hubungan antara sensasi gejala somatik ringan (seperti palpitasi) dan
timbulnya serangan panik. Walaupun teori perilaku kognitif dapat membantu
menerangkan timbulnya agorafobia atau peningkatan jumlah maupun keparahan
serangan panik, teori ini tidak menerangkan timbulnya serangan panik pertama yang
tidak dicetuskan dan tidak disangka yang dialami pasien.1
b. Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik mengonseptualisasi serangan panik sebagai serangan yang
timbul dari pertahanan yang tidak berhasil terhadap impuls yang mencetuskan
Agorafobia dengan Gangguan Panik
3
ansietas. Hal yang sebelumnya merupakan sinyal ansietas ringan menjadi perasaan
antisipasi cemas yang berlebihan, lengkap dengan gejala somatik. Untuk menjelaskan
agorafobia, teori psikoanalitik menekankan hilangnya orangtua di masa kanak dan
riwayat ansietas perpisahan. Berada sendirian di tempat umum membangkitkan
kembali ansietas saat diabaikan di masa kanak.1
Mekanisme defens yang digunakan mencakup
represi,
displacement,
perkawinan dan keliru didiagnosis sebagai masalah primer. Pada keadaan parah mereka
menolak meluar rumah dan mungkin ketakutan akan menjadi gila.3
Pasien sering menunjukkan riwayat kekanak-kanakan, yaitu malu-malu, rasa cemas bila
berpisah, takut sekolah dan riwayat keluarga seperti kecemasan, panik dan fobia.
Kebanyakan pasien akan menceritakan bahwa mereka seolah merasa bahwa suatu
kecemasan akan merundungi mereka pada situasi yang tampaknya mengancam, seperti
memikirkan akan pergi ke restoran atau tempat umum. Kemudian kecemasannya meningkat
menjadi serangan panik.4
2.5 Diagnosis
Diagnosis agorafobia berdasarkan gejala ansietas dan fobia yang tampak
jelas. Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa Edisi ke III
(PPDGJ-III), diagnosis pasti agorafobia harus memenuhi semua kriteria dengan adanya
gejala ansietas yang terbatas pada kondisi spesifik yang harus dihindari oleh penderita.6
Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik untuk Agorafobia6
Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan manifestasi primer
dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif.
b. Ansietas yang timbul harus terbatas pada setidaknya dua dari situasi berikut: banyak
orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah dan bepergian sendiri.
c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.
Sedangkan menurut DSM-IV, agorafobia dapat digolongkan atas gangguan panik
dengan agorafobia dan agorafobia tanpa gangguan panik. Dengan kriteria diagnostik sebagai
berikut:
Tabel 2 Kriteria Diagnostik untuk Agorafobia tanpa Riwayat Gangguan Panik1
a. Adanya agorafobia berhubungan dengan rasa takut mengalami gejala mirip panik (misalnya
pusing atau diare).
b. Tidak pernah memenuhi kriteria untuk panik.
c. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
d. Jika di temukan suatu kondisi medis umum yang berhubungan, rasa takut yang dijelaskan
Agorafobia dengan Gangguan Panik
5
dalam kriteria a jelas melebihi dari apa yang biasanya berhubungan dengan kondisi.
Selain itu, DSM-IV juga menetapkan kriteria diagnostik untuk agorafobia, yaitu:
Tabel 3 Kriteria untuk Agorafobia1
Catatan: Agorafobia bukan merupakan gangguan yang dapt dituliskan. Tuliskan diagnosis
spesifik di mana agorafobia panik terjadi (misalnya gangguan panik dengan agorafobia atau
agorafobia tanpa riwayat gangguan panik).
a. Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi dari mana kemungkinan sulit
meloloskan diri (atau merasa malu) atau di mana mungkin tidak terdapat pertolongan jika
mendapatkan serangan panik atau gejala mirip panik yang diharapkan atau disebabkan oleh
situasi. Rasa takut agorafobik biasanya mengenai kumpulan situasi karakteristik seperti di luar
rumah sendirian, berada di tempat ramai atau berdiri di sebuah barisan, berada di atas
jembatan, atau bepergian dengan bus, kreta atau mobil.
Catatan: Pertimbangkan diagnosis fobia spesifik jika penghindaran adalah terbatas pada satu atau
hanya beberapa situasi spesifik, atau fobia sosial jika penghindaran terbatas pada situasi sosial.
b. Situasi dihindari (misalnya jarang bepergian) atau jika dilakukan dengan penderitaan yang
jelas atau dengan kecemasan akan mendapatkan serangan panik atau gejala mirip panik, atau
perlu didampingi teman.
c. Kecemasan atau penghindaran fobik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain,
seperti fobia sosial (misalnya penghindaran terbatas pada situasi sosial karena rasa takut
malu), gangguan obsesif kompulsif (misalnya menghindari kotoran pada seseorang dengan
obsesi tentang kontaminasi), gangguan stres pasca traumatik (misalya menghindari stimuli
yang berhubungan dengan stresor yang berat), atau gangguan cemas perpisahan (misalnya
menghindari meninggalkan rumah atau sanak saudara).
2.6 Gambaran Klinis
Gambaran klinis biasanya meliputi klaustrofobia (takut berada dalam ruang tertutup),
juga berada di tempat ramai, jalan utama dan transportasi umum. Penderita dapat
menyalahgunakan alkohol atau obat-obatan untuk mengatasi fobia mereka. Penderita lain
menjadi depresi akibat pembatasan gaya hidup mereka, yang akhirnya akan semakin
mencetuskan agorafobianya.2
Serangan panik yang pertama sering benar-benar spontan, walaupun serangan panik
kadang-kadang mengikuti kegairahan, kerja fisik, aktivitas seksual, atau trauma emosi
Agorafobia dengan Gangguan Panik
6
sedang. DSM-IV-TR menekankan bahwa setidaknya serangan pertama harus tidak diduga
(tanpa syarat) untuk memenuhi kriteria diagnostik gangguan panik. Klinisi harus berupaya
mendapatkan setiap kebiasaan atau situasi yang biasanya mendahului serangan panik pasien.
Aktivitas tersebut dapat mencakup penggunaan kafein, alkohol, nikotin, atau zat lain, pola
tidur atau makan yang tidak biasa dan situasi lingkungan tertentu seperti pencahayaan yang
berlebihan di tempat kerja.1
Serangan sering dimulai dengan periode meningkatnya gejala dengan cepat selama 10
menit. Gejala mental utama adalah rasa takut yang ekstrim dan rasa kematian serta ajal yang
mengancam. Pasien biasanya tidak mampu menyebutkan sumber rasa takutnya, mereka
menjadi bingung dan memiliki masalah konsentrasi. Tanda fisik sering mencakup takikardi,
palpitasi, dispnea dan berkeringat. Pasien sering mencoba pergi walau sedang dalam situasi
apapun untuk mencari pertolongan. Serangan biasanya bertahan 20-30 menit dan jarang
lebih dari 1 jam.1
2.7 Perjalanan Penyakit
Sebagian besar kasus agorafobia diperkirakan dicetuskan oleh gangguan
panik. Bila gangguan panik diobati, seringkali agorafobianya akan membaik.
Dengan terapi perilaku, penyembuhan cepat dari agorafobia dapat terjadi.
Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik sering menjadi kronis, adanya
gangguan depresi dan ketergantungan alkohol akan memperberat perjalanan
agorafobia.
2.8 Diagnosa Banding
Diagnosis banding untuk agorafobia tanpa suatu riwayat gangguan panik adalah semua
gangguan medis yang dapat menyebabkan kecemasan atau depresi. Diagnosis banding
psikiatrik adalah gangguan depresif berat, skizofrenia, gangguan kepribadian paranoid,
gangguan kepribadian menghindar, dimana pasien tidak ingin keluar rumah dan gangguan
kepribadian dependan karena pasien harus selalu ditemani keluar rumah.5
Perlu diingat bahwa sebagian penderita agorafobia hanya mengalami sedikit ansietas
karena mereka secara konsisten dapat menghindari objek atau situasi fobik. Adanya gejala
lain seperti depresi, depersonalisasi, obsesi, dan fobia sosial, tidak mengubah diagnosis
tersebut. Asalkan gejala ini tidak mendominasi gambaran klinisnya. Namun demikian, bila
mana pasien tersebut jelas sudah mengalami depresi pada saat fobik tersebut pertama kali
Agorafobia dengan Gangguan Panik
7
timbul, maka lebih tepat untuk mendiagnosis sebagai episode depresif; hal ini lebih lazim
terjadi pada kasus dengan onset lambat.6
2.9 Penatalaksanaan
Dengan terapi, sebagian besar pasien mengalami perbaikan dramatik pada g e j a l a
gangguan panik dan agorafobia. Dua terapi yang paling efektif adalah
farmakoterapi
dan
terapi
kognitifperilaku.
Ter a p i
keluarga
dan
untuk
menyesuaikan d e n g a n k e n y a t a a n b a h w a p a s i e n m e n d e r i t a g a n g g u a n d a n
d e n g a n k e s u l i t a n psikososial yang telah dicetuskan oleh gangguan.5
a. Farmakoterapi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengobati gangguan panik karenaagorafobia
pada umumnya disebabkan oleh gangguan panik. Diharapkan dengan perbaikan
gangguan panik maka agorafobia juga akan semakin membaik. Semuaobat golongan
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors ( S S R I ) e f e k t i f u n t u k gangguan
panik. Paroksetin memiliki efek sedatif dan cenderung membuat pasientenang sehingga
menimbulkan kepatuhan yang lebih besar serta putus minum obatyang lebih sedikit. Jika
efek sedasi paroksetin tidak dapat ditoleransi, maka dapat diganti dengan fluoxetin.
Obat lain yang biasa digunakan adalah dari golongan B e n z o d i a z e p i n k a r e n a
m e m i l i k i a w i t a n k e r j a u n t u k p a n i k y a n g p a l i n g c e p a t , sering dalam
minggu pertama, dan dapat digunakan untuk periode waktu yang lama tanpa
timbul toleransi terhadap anti panik.5
b. Terapi Perilaku dan Kognitif
Terapi lain yang dilakukan selain farmakoterapi adalah terapi perilaku dan kognitif.
Fokus dari terapi kognitif adalah instruksi mengenai keyakinan salah pasien
dan informasi mengenai serangan panik.5
Aplikasi Relaksasi. Tujuan aplikasi relaksasi (contohnya
p e l a t i h a n relaksasi Herbert Benson) adalah memberikan pasien rasa
k e n d a l i m e n g e n a i tingkat ansietas dan relaksasi.5
Terapi Keluarga. Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agorafobia juga
mungkin telah dipengaruhi oleh gangguan anggota keluarga. Terapi keluargayang
ditujukan pada edukasi dan dukungan sering bermanfaat.5
Psikoterapi Berorientasi Tilikan. Psikoterapi berorientasi tilikan dapat
memberi keuntungan di dalam terapi gangguan panik dan agorafobia.
Ter a p i b e r f o k u s
membantu
pasien
mengerti
ansietas
yang
tidak
untuk
menterapi
gejala
sekunder.
Intervensi
psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut keluar rumah. Di samping itu,
beberapa pasien akan menolak obat karena mereka yakin bahwa obat akan
menstigmatisasi mereka sebagai orang sakit jiwa sehingga intervensi terapeutik
dibutuhkan untuk m e m b a n t u
mereka
mengerti
dan
menghilangkan
r e s i s t e n s i m e r e k a t e r h a d a p farmakoterapi.5
2.10 Prognosis
Belum banyak diketahui tentang prognosis agorafobia, namun kecenderungannya
adalah menjadi kronis dan dapat terjadi kormobiditas dengan gangguan lain seperti depresi,
penyalahgunaan alcohol dan obat bila tidak mendapat terapi. Menurut National Institute of
Mental Health, 30% hingga 40% akan bebas dari gejala untuk waktu yang lama dan 50%
masih ada gejala ringan yang secara bermakna tidak mengganggu kehidupan sehari-hari.
Hanya 10% hingga 20% yang tidak membaik. Gangguan fobik mungkin disertai dengan
lebih banyak morbiditas dibandingkan yang diketahui sebelumnya. Tergantung pada
derajat mana perilaku fobik mengganggu kemammpuan seseorang untuk berfungsi, pasien
yang terkena mungkin memiliki ketergantungan finansial pada orang lain serta timbulnya
berbagai gangguan dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan akademik.3
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Agorafobia adalah ketakutan terhadap ruangan terbuka, orang banyak serta adanya
kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat aman. Agorafobiadapat terjadi pada setiap usia,
dengan rata-rata usia 25 tahun. Etiologi agorafobia belum diketahui secara pasti tapi
patogenesis fobia berhubungan dengan faktor biologis, genetik, dan psikososial.Penegakan
diagnosa dapat menggunakan kriteria PPDGJ-III maupun DSM-IV-TR. Pasien agorafobia
secara kaku menghindari situasi dimana akan sulit untuk mendapatkan bantuan. Mereka
lebih suka disertai oleh seorang teman atau anggota keluarga ditempat-tempat tertentu
seperti jalanan yang sibuk, toko yang padat, ruangan yang tertutup (seperti terowongan,
jembatan, dan elevator), dan kendaraan tertutup (seperti kereta bawah tanah, bus, dan
pesawat udara).
Diagnosis banding untuk agorafobia tanpa suatu riwayat gangguan panik adalah semua
gangguan medis yang dapat menyebabkan kecemasan atau depresi. Diagnosis banding
psikiatrik adalah gangguan depresif berat, skizofrenia, gangguan kepribadian paranoid,
gangguan kepribadian menghindar, dimana pasien tidak ingin keluar rumah dan gangguan
kepribadian dependan karena pasien harus selalu ditemani keluar rumah. Terapi yang paling
baik bagi penderita agorafobia adalah mengobati gangguan paniknya dengan farmakoterapi
dengan SSRI, MAOI, dan benzodiazepine, serta terapi perilaku dan kognitif.
DAFTAR PUSTAKA
Elvira, Sylvia D and Hadisukanto, Gitayanti (2010). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 242-249.
Kaplan, Harold I and Sadock, Benjamin J (1998). Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta:
Widya Medika, pp: 106-109.
Puri, B.K, Laking, P.J, Treasaden, I.H (2011). Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta: EGC, pp:
202-207.
Sadock, Benjamin J and Sadock, Virginia A (2010). Kaplan dan Sadock Buku Ajar Psikiatrin
Klinis. Edisi 2. Jakarta: EGC, pp: 233-241.
http://www.scribd.com/doc/58300398/Agoraphobia
http://www.artikelkedokteran.com/756/agorafobia.html