You are on page 1of 8

Buku Dwifungsi ABRI karya Bilveer Singh yang diterjemahkan kedalam Bahasa

Indonesia oleh Robert Hariono Imam ini berisi ulasan mengenai Dwifungsi ABRI dari awal
hingga akhir, dari asal-usul, aktualisasi dan implikasinya bagi stabilitas dan pembangunan. Unsur
5W 1H terjawab jelas dalam buku ini dari tiap-tiap bab. Dalam pendahuluan, buku ini
menjelaskan tentang keterlibatan militer dalam politik Dunia Ketiga, sebab, cara dan
implikasinya. Pada bab pendahuluan kita dapat memahami rincian pembahasan tentang
keterlibatan militer dalam bidang politik khususnya di Dunia Ketiga. Berbagai pendapat para ahli
yang juga disertakan untuk mendukung isi dari buku ini. Seperti dalam pembahasan berikut.
Peran militer pada dasarnya dalam kebanyakan masyarakat Barat adalah untuk mendukung
aspirasi politik masyarakat di bawah kepemimpinan sipil. Samuel Huntington menyatakan
bahwa sekarang mayoritas profesional militer di Barat menerima kekuasaan sipil sungguhsungguh sebagai hal yang sudah semestinya ada. Walaupun militer mempunyai kompetensi
khusus dalam bidangnya, ia tidak mempunyai kompetensi di luar bidangnya, khususnya dalam
hal-hal yang berhubungan dengan tujuan dari kebijakan negara. Kecenderungan di Dunia
Ketiga persis sebaliknya, di mana pihak militer semakin terlibat dalam politik melalui
bermacam-macam bentuk, dari dominasi yang terang-terangan melalui kudeta, sampai pemilihan
sukarela personil militer ke dalam posisi kunci aparat politik pemerintahan.
Militer di Dunia Ketiga, di mana pun akan memiliki kecenderungan lebih besar untuk
melibatkan diri dalam politik nasional apabila ada faktor-faktor berikut. Pertama, apabila ada
kelompok-kelompok kuat dalan masyarakat yang mengancam eksistensi angkatan bersenjata.
Kedua, militer akan melakukan intervensi politik untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar
yang oleh korps perwira dianggap lebih sesuai dengan struktur-struktur politik yang ada dalam
masyarakat. Ketiga, walaupun kepentingan bersama dari pihak militer merupakan faktor penting,
hal ini tidak mungkin terjadi apabila tidak ada kesempatan. Hubungan sipil-militer telah
berkembang di setiap negara sesuai dengan proses dan kondisi historis khusus mereka. Kaidah
yang biasanya berlaku adalah bahwa intervensi militer dalam politik merupakan akibat dari krisis
politik, ekonomi, dan sosial yang muncul dari perubahan masyarakat, serta dari aspirasi kaum
nasionalis maupun revolusionis. Faktor-faktor yang menjadi dasar adanya intervensi militer
dalam politik yaitu faktor internal, antara lain karena nilai-nilai dan sikap para perwira militer
yang mempengaruhi orientasi mereka terhadap politik dan kepentingan material dari para pejabat
militer. Faktor eksternal atau lingkungan antara lain karena kondisi-kondisi sosial-ekonomis,
situasi-situasi politik dan faktor-faktor internasional. Intervensi militer dalam dunia politik juga
dihubungkan dengan pertumbuhan investasi asing dan integrasi ekonomi Dunia Ketiga dengan
ekonomi internasional. Otokrasi dapat timbul bersama tirani militer dari satu orang. Sebuah
oligarki dapat muncul, yang berarti suatu pemerintahan di tangan beberapa orang, di mana
kekuasaan-kekuasaan eksekutif dipegang oleh beberapa orang saja. Perbedaan satu-satunya
antara tirani dan oligarki adalah dalam jumlah penguasa.
Sudah banyak tulisan tentang hubungan sipil-militer dan sudah ada banyak usaha untuk
menjelaskan keterlibatan militer dalam politik, khususnya di Dunia Ketiga. Secara intelektual,
nampaknya ada garis pembagian yang jelas dalam literatur tentang pokok persoalan militer,
khususnya sejak tahun 1945. Kebanyakan hal ini disebabkan oleh pengaruh Perang Dunia II, di
mana konsep-konsep tentang pemerintahan yang baik di Barat adalah konsep-konsep yang
mendukung adanya sistem kontrol dan perimbangan (checks and balances). Selain itu, peran

militer dalam masyarakat ini melampaui konsep Barat, baik disengaja atau tidak. Militer sering
merupakan kelompok yang terorganisir, sangat nasional, tidak mengherankan bahwa mereka
cenderung memainkan peran politik yang besar dalam masyarakat, baik dalam revolusi-revolusi
politik, nasionalisasi maupun pengambil-alihan kekuasaan. Militer juga merupakan institusi
nasional satu-satunya ditinjau dari sudut pandang wawasan, jangkauan, dan doktrin. Pihak sipil
sering mengalami rintangan dari gerakan-gerakan politik yang tidak terorganisir secara baik atau
sebagian besar digerakkan oleh kepentingan-kepentingan. Tidak mengherankan bahwa dalam
situasi-situasi ini militer sering melangkah ke dalam politik. Jadi tidak selalu benar bahwa
hubungan-hubungan sipil-militer mesti selalu bersifat dikotomis. Dengan demikian, dalam
keadaan ini, hubungan sipil-militer yang suram tidak hanya disebabkan oleh kurangnya
modernitas masyarakat, tetapi juga oleh keadaan ketertiban negara, tradisi-tradisi nasional, dan
doktrin militer suatu negara.
Pada bab satu dalam buku ini akan melacak perkembangan angkatan-angkatan bersenjata
Indonesia sejak tahun 1945. Secara militer pihak Jepang memainkan peran penting dalam
mempengaruhi arah masa depan politik dan masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin dari upayaupaya Jepang dalam menciptakan berbagai organisasi militer dan kuasi-militer di negara ini
selama masa peralihan kekuasaan. Jepang mewariskan kepada Indonesia sejumlah besar
angkatan bersenjata. Pemimpin-pemimpin militer dan angkatan-angkatan bersenjata yang dilatih
oleh Jepang akan menjadi pengawal Revolusi Indonesia yang pecah dalam periode Agustus 1945
sampai Desember 1949. Kepemimpinan politis pada umumnya terdiri atas golongan tua yang
telah menjadi pemimpin-pemimpin nasionalis di bawah pemerintahan Belanda. Penjajah Jepang
membangkitkan generasi politik baru yang disebut Pemuda yang kemudian hari mengkristal
menjadi Angkatan 45. Meskipun kepemimpinan politis mengumumkan kemerdekaan negara ini
pada tanggal 17 Agustus 1945, namun tak ada rencana untuk mendirikan angkatan bersenjata.
Sementara pasukan Jepang masih ada di negara ini dan pasukan Sekutu mengacau negeri ini,
kepemimpinan Sukarno-Hatta melangkah secara berhati-hati agar tidak memancing kekuatan
Sekutu yang besar. Pemerintah dan para politisi sipil percaya bahwa hal ini bisa dicapai melalui
diplomasi. Angkatan bersenjata dan Pemuda percaya bahwa dilihat dari sudut pandang sejarah
Indonesia, kemerdekaan seharusnya dicapai lewat perjuangan bersenjata. Badan Keamanan
Rakyat (BKR) didirikan pada tanggal 20 Agustus 1945, sebagian besar anggotanya berasal dari
PETA dan Heiho. Polisi Negara juga didirikan untuk mempertahankan hukum dan ketertiban
setempat. Pada akhir September 1945, berbagai unit polisi diintegrasikan menjadi lembaga
tunggal dengan penunjukan Kepala Polisi Nasional. Sebagai akibat dari situasi keamanan
internal dan eksternal, pada 5 Oktober 1945, dengan otoritas Dekrit Presiden, BKR diubah
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 23 Feburari 1946, TKR dinamakan
Tentara Republik Indonesia, TRI. Kemudian, pada tanggal 3 Juni 1947, TRI diubah namanya
menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Jadi, secara teoritis, setelah bulan Juni 1947, semua
kekuatan bersenjata regular dan ireguler dileburkan ke dalam angkatan bersenjata yang bersifat
nasional. Setelah kudeta PKI pada bulan September 1965 yang diikuti oleh penghapusan PKI dan
kematian politik Sukarno, pihak militer diintegrasikan kembali dalam satu struktur komando.
Pada tahun 1966, Jendral Soeharto menjadi menteri pertahanan dan pada tanggal 30 Oktober
1969, semua angkatan bersenjata dipersatukan menjadi struktur berkomando tunggal di mana
Soeharto menjadi Panglima Angkatan Bersenjata. Ini mengakibatkan sentralisasi struktur
komando dan integrasi lebih besar dari komando-komando regional dengan komando nasional.

Kemudian semua angkatan ditempatkan di bawah satu menteri untuk urusan pertahanan dan
keamanan.
Pada bab dua mengulas perkembangan dan evolusi dwifungsi ABRI. Empat
perkembangan memperngaruhi persepsi-diri dan norma perilaku angkatan bersenjata Republik
Indonesia. Pertama, fakta bahwa ABRI menciptakan dirinya sendiri dan memandang dirinya
sebagai pihak yang memiliki hak yang sama besarnya dengan kekuatan-kekuatan lain dalam
negara ini, untuk ikut menentukan jalannya masyarakat. Kedua, adalah fakta bahwa para pemuda
dan anggota angkatan bersenjata memandang diri mereka sendiri sebagai pejuang kemerdekaan,
dan muncullah perasaan berhak atas keikutsertaan menentukan arah politik negara. Ketiga,
adalah fakta bahwa para politikus sipil cenderung terpecah-pecah dan hanya mementingkan diri
atau partainya sendiri. Keempat, kenyataan bahwa mereka dapat menantang kepemimpinan
politik ketika pemimpin politik tidak mampu atau tidak efektif dalam melindungi dan
memajukan kepentingan nasional. Dengan demikian mempersiapkan jalan bagi hubungan sipilmiliter di Indonesia dan hal ini terus mempengaruhi berbagai peristiwa dan arah pembangunan di
negara ini hingga sekarang. Konsep dwifungsi ABRI seharusnya dimengerti dalam parameterparameter ini, Konsep dwifungsi sangat berhubungan dengan kelahiran dan peran angkatan
bersenjata Republik Indonesia selama periode revolusioner dari bulan Agustus 1945 sampai
Desember 1949. Jadi, pengalaman ABRI amat berpengaruh pada konseptualitas dan aktualisasi
dwifungsi di kemudian hari. Dalam hal ini persepsi diri mengenai peran ABRI dalam masyarakat
tak berubah dan titik inilah yang harus diperhatikan agar bisa memahami konsep dwifungsi.
Persepsi-diri ini mengarah pada pembangunan budaya politik yang intervensionis di mana militer
melihat dirinya sendiri sebagai pihak yang memilliki hak untuk campur tangan dan melibatkan
diri dalam politik dan militer melihat hal ini sebagai hal yang pas untuk dilakukan. Ini
merupakan perkembangan yang unik di mana pun di dunia, karena hampir semua militer melihat
keterlibatan mereka dalam politik, hanya bersifat transisi. Jadi, pengalaman revolusioner
menghasilkan perkembangan budaya politik partisipatoris sejauh menyangkut keterlibatan
militer dalam politik, dan di kemudian hari hal ini dirumuskan sebagai dwifungsi angkatan
bersenjata Indonesia. Gagasan tentang dwifungsi ini dirumuskan dalam tahun 1966 dan
kebanyakan praktek yang ada di Indonesia dewasa ini dapat dilacak kembali sampai periode
Orde Baru di bawah Soeharto.
Jadi, dapat dilihat bahwa dwifungsi ABRI punya dua dimensi utama, politis dan strategis.
Secara politis, dwifungsi adalah janji kesetiaan ABRI kepada bangsa untuk menjaga
kesejahteraan seluruh bangsa dalam segala aspeknya. Sedangkan dimensi strategis, dwifungsi
ABRI merupakan bagian dari konsep angkatan bersenjata tentang pelipatgandaan kekuatan.
Konsep dwifungis ABRI telah berkembang secara perlahan dan telah mengkristal sejalan dengan
perjuangan bangsa. Dwifungsi ABRI, pada pokoknya, muncul tidak lebih daripada sebagai janji
kesetiaan ABRI kepada negara untuk melindungi prinsip-prinsip pokok dari UUD 1945 dan
Pancasila.
Pada bab tiga mengulas cara dwifungsi diaktualisasikan di negara ini lewat beberapa fase
penting dalam perjalanannya. Dwifungsi angkatan bersenjata Indonesia, pada dasarnya
menunjuk pada peran angkatan bersenjata dalam masyarakat di luar lingkungan militer, paling
baik dapat dipahami dengan melihat fase-fase sejarah modern di mana dwifungsi
diaktualisasikan di Indonesia. Periode Revolusioner, Agustus 1945-Desember 1949:
Penetapan Dwifungsi. Karakteristik militer Indonesia membentuk kecenderungan untuk selalu

melibatkan diri dalam politik. Karena militer Indonesia adalah organisasi yang tidak dibentuk
oleh pihak mana pun dan kemudian menjadi pemain utama, bahkan menjadi perantara, dalam
perpolitikan negara ini. Pihak militer talah kehilangan kepercayaan terhadap sistem partai serta
kepemimpinan politik, dan sejak saat itu faktor ini tetap ada dan bertahan dalam pandangan
kepemimpinan
militer. Periode
Demokrasi
Liberal,
1950-1957:
Pengekangan
Dwifungsi. Peran politik pihak militer sangat dibatasi setelah penyerahan kekuasaan pada bulan
Desember 1949 dan pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia pada bulan Agustus 1950.
Dalam periode demokrasi liberal, ada dua peristiwa yang berpengaruh amat besar atas
kepemimpinan militer-sipil dan kelak mempunyai berbagai implikasi besar bagi peran militer
dalam politik di kemudian hari. Yang pertama adalah Peristiwa 17 Oktober 1952 dan yang
kedua Peristiwa Juni 1955. Berlakunya babakan baru dalam hubungan sipil-militer, yang
sebagian gejalanya sudah dapat dilihat melalui semakin besarnya kegiatan militer dalam
percaturan politik negara ini. Transisi Menuju Demokrasi Terpimpin, 1957-1959:
Mendapatkan Kembali Dwifungsi. Setelah dilantik kembali sebagai Kepala Staf Angkatan
Darat pada tahun 1955, Nasution mulai melaksanakan doktrin untuk merasionalisasikan
keterlibatan militer dalam politik. Dalam situasi inilah untuk mengaktualisasikan doktrinnya
mengenai keterlibatan militer dalam bidang-bidang non-militer, Nasution menengok kembali
pengalamannya sendiri, terutama dalam masa 1945 sampai 1949. Gambaran yang jelas mengenai
pemikiran dan gagasan Nasution baru muncul pada bulan November 1958, ketika ia
menyampaikan pidatonya yang bersejarah mengenai Jalan Tengah di Akademi Militer
Nasional, Magelang. Dengan tegas dan tanpa syarat Nasution menyatakan bahwa militer harus
terlibat baik dalam soal yang menyangkut keamanan maupun yang tidak menyangkut keamanan.
Nasution mengeluarkan seruan untuk membuang sistem demokrasi liberal dengan alasan adanya
kebutuhan akan stabilitas serta persatuan, dan satu-satunya alternatif demi kebutuhan itu adalah
kembali ke UUD 1945 yang revolusioner. Fase Demokrasi Terpimpin, 1959-1965: Dwifungsi
Nasution dalam Praktek. Pada bulan Juli 1959, Sukarno mengembalikan negara ke bawah
naungan Undang-Undang Dasar 1945 yang revolusioner, di mana Presiden berperan sebagai
pemimpin. Ketika Sukarno mendirikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong pada tahun
1960, 35 dari 283 anggotanya adalah ABRI. Peran ABRI, khususnya Angkatan Darat, dibuat
semakin transparan. Pada pertengahan tahun 1960, Sukarno mencopot Nasution dan
menggantikannya dengan Ahmad Yani. Perhatian utama Yani, seperti juga Nasution, adalah
ancaman PKI. Peran kepemimpinan militer Yani terutama penting ketika ia menyelanggarakan
Semina Angkatan Darat Pertama pada bulan April 1965. Seminar ini menghasilkan sebuah
doktrin militer baru dan juga secara resmi menerima konsep dwifungsi yang menegaskan bahwa
angkatan bersenjata mempunyai peran ganda sebagai kekuatan militer sekaligus sebagai
kekuatan sosial politik. Masa Orde Baru Sejak 1965: Dominasi Dwifungsi. Setelah kudeta
PKI dan terbunuhnya enam jendreal, termasuk Yani, kepemimpinan diambil alih oleh Jenderal
Soeharto. Pemberantasan PKI dilakukan dan menghapus partai tersebut sebagai kekuatan politik
di Indonesia. Lewat SUPERSEMAR, 11 Maret 1966, Sukarno menyerahkan semua kekuasaan
eksekutif kepada Soeharto, dan pada bulan Maret 1967 Sukarno dibebastugaskan. Sementara
dwifungsi angkatan bersenjata telah disahkan pada Seminar Pertama Angkatan Darat tahun 1965,
seminar kedua menghasilkan sejumlah terobosan penting menyangkut dwifungsi ini. Angkatan
bersenjata memandang keterlibatan mereka dalam aktivitas-aktivitas non-militer masyarakat
sebagai hak dan kewajiban mereka. Sejak tahun 1966, fungsi sosial-politik angkatan bersenjata

dilaksanakan melalui Karyawan atau fungsionaris yang merupakan anggota angkatan bersenjata
tetapi bertugas di luar kedinasan ABRI, baik legislatif maupun eksekutif. Hal ini menyebabkan
munculnya pandangan umum bahwa dwifungsi pada masa Orde Baru mengacu pada
penggabungan fungsi umum ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan fungsi kekaryaan ABRI.
Sejak tahun 1965, peran ABRI sebagai kekuatan sosial-politik dapat dilihat dalam empat bidang
utama, yaitu sebagai stabilisator, dinamisator, pelopor dan sebagai pelaksana sistem demokrasi.
Pada bab empat mengulas berbagai argumen yang menunjang dan mengkritik konsep
dwifungsi dan implementasinya. Setelah kemunduran Sukarno dan partai-partai politik,
muncullah sistem politik di mana pihak militer dominan. Selain itu, dwifungsi ABRI
sebagaimana dibayangkan oleh Sudirman berbeda dari gambaran Nasution, yang pada gilirannya
juga berbeda dari gambaran Soeharto. Semakin jelas bahwa gagasan untuk meninggalkan
dwifungsi sama sekali tidak pernah muncul dalam diri ABRI dan pada pokoknya, nampak ada
konsensus tentang hal ini. Dalam konteks kehadiran ABRI dalam politik Indonesia yang bertahan
kuat dan begitu kecilnya kemungkinan mereka untuk mundur ke barak-barak, masa depan
dwifungsi ABRI tampak cerah dan relevan. Sementara ABRI sejak tahun 1965 memainkan peran
memimpin dalam urusan-urusan sosial-politik di masa lampau, di masa depan ABRI harus
menerima dan puas dengan memainkan peran motivator. Dwifungsi ditentang oleh berbagai
partai politik. Keraguan dan kegelisahan Nasution berhubungan dengan cara dwifungsi angkatan
bersenjata diinterpretasikan dan diimplementasikan ketika Orde Baru mulai mengkonsolidasi
kekuatannya dan mulai merasionalisasi kekuasaan militer dalam negara. Nasution
mengimplikasikan bahwa cara Orde Baru mengimplementasikan dwifungsi angkatan bersenjata
menempatkan ABRI dalam posisi yang sama seperti tentara kolonial Belanda dan ini
bertentangan dengan posisi Sudirman di mana ABRI seharusnya tidak menjadi alat mati
pemerintah. Nasution juga mengkritik cara peningkatan partisipasi ABRI dalam bidang-bidang
non-militer. Nasution berpendapat bahwa ABRI harus berhenti terlibat dalam politik negara
sehari-hari, tetapi ia mendukung gagasan untuk menempatkan wakil-wakil ABRI di parlemen.
Konsep dwifungsi juga dikritik banyak pihak lain, yaitu oleh sekutu-sekutu angkatan bersenjata
yang dulu telah membantu merobohkan Orde Lama, kelompok-kelompok mahasiswa yang
disatukan dalam angkatan 1966, khususnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sejak
tahun 1969. Tanggapan Soeharto terhadap kritik-kritik ini adalah bahwa angkatan bersenjata
akan terus mempunyai peran sosial-politik dalam negara tetapi tidak diijinkan untuk membangun
militerisme. Akan tetapi, banyak orang sipil terus menyerang konsep dwifungsi ABRI. Mereka
menyatakan bahwa negara tidak dapat maju kecuali kalau dwifungsi ini dihapuskan. Banyak
pengkritik juga menyatakan bahwa ABRI, pada prinsipnya, tidak semestinya menempatkan
personilnya di luar lingkungan Depatemen Pertahanan dan Keamanan, karena tugas-tugas itu
disediakan bagi orang-orang sipil. Kritik-krtitik lain juga muncul, banyak orang percaya bahwa
dwifungsi ABRI tidak mempunyai basis konstitusional dan melawan prinsip-prinsip demokrasi.
Dwifungsi adalah suatu sikap terhadap tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran nasional,
sedangkan kekaryaan ABRI adalah penempatan personil ABRI dalam peran-peran non-militer.
Sementara itu, banyak pengamat luar menyatakan bahwa karena begitu dominannya dan
meluasnya kehadiran personil militer di pusat maupun di daerah Indonesia, Indonesia tak lain
dikuasai oleh sebuah rezim militer. Pendapat ini disebabkan oleh dominasi militer, yang dalam
pratek-praktek pemerintah Barat akan dianggap sebagai suatu penyimpangan. Sementara banyak
kritik telah tersiar secara terbuka, yang lebih relevan justru perdebatan dalam ABRI tentang masa

depan dwifungsi ABRI. Seorang ABRI tidak hanya bertanggung jawab terhadap masalahmasalah pertahanan, tetapi juga memperhatikan kehidupan ekonomi, budaya dan politik negara.
Berbagai makalah-makalah muncul dalam perdebatan terkait dengan masa depan dwifungsi
ABRI. Perdebatan dalam ABRI, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai
hubungan ABRI dengan bermacam-macam kelompok politik dalam negara, mengenai perlunya
pemurnian dwifungsi dan pengurangan kekaryaan ABRI. Presiden tetap berpendapat bahwa
ABRI telah menjalankan kewajibannya dalam mempertahankan keamanan dan integritas bangsa
dan negara. Beliau juga menyimpulkan bahwa dwifungsi ABRI itu adalah stabilisator dan
dinamisator untuk menjamin stabilitas, untuk memperkuat ketahanan nasional. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa ada perspektif yang cukup beragam sehubungan dengan dwifungsi ABRI dan
pelaksanaanya.
Pada bab lima menganalisis ketahanan dan masih bertahtanya konsep dwifungsi ABRI
dan berusaha melakukan rekonseptulasi terhadapnya untuk masa depan. Ada hal istimewa
mengenai peranan militer di Indonesia, dan segi yang khas inilah yang akan menjelaskan
mengapa keterlibatan militer dalam berbagai bidang di Indonesia bersifat permanen-tidak seperti
peranan militer yang sifatnya sementara di negara-negara lain. Cikal bakal dwifungsi angkatan
bersenjata Indonesia dapat dirunut dari karakteristik angkatan darat Indonesia, kelemahan
struktur politik sipil, dan sifat berbagai ancaman yang muncul di negara ini. Ketiga faktor ini
mendorong militer ke latar depan perpolitikan negara ini, dan selama ketiga faktor ini ada,
militer akan tetap memainkan peran utama di negeri ini. Merupakan norma di hampir setiap
negara di dunia bahwa kalangan sipil memerintah dan angkatan bersenjata pada dasarnya
merupakan alat bagi pemerintahan itu, di Indonesia, kalangan sipil dicerca dan tidak dipercaya
oleh rakyat karena ketidakmampuan mereka dalam mewujudkan tujuan-tujuan politis, ekonomis,
maupun sosial. Pecahnya pemberontakan di seluruh pelosok negara ini menegaskan
ketidakmampuan sistem parlemeter dan juga ketidakmampuan kalangan politikus sipil, dalam
menangani aneka ragam persoalan negara ini, baik dari sudut etnis, agama, ideologi, bahkan
regionalisme. Hal ini merupakan faktor ketiga yang ikut memperkuat klaim pihak militer atas
kepemimpinan nasional. Tidaklah berlebihan berpendapat bahwa dominasi militer di negara ini
disambut dan didukung oleh rakyat secara umum dan bahwa rakyat akan sangat tidak setuju bila
ABRI tidak berperan dalam politik. Pada saat yang sama ABRI menyadari bahwa ia beroperasi
di dalam suatu lingkungan sosio-politik yang terus berubah dan, berkaitan dengan itu, ia pun
harus menyesuaikan konsep-konsep sosio-politisnya. Jadi, tantangan bagi ABRI adalah
bagaimana dwifungsinya dapat diterima dalam suatu lingkungan nasional, regional, dan global
yang baru.
Sebagian besar rakyat Indonesia mungkin menginginkan agar dwifungsi berlanjut. Tetapi
agar berlanjut secara efektif, dwifungsi harus disesuaikan dengan era yang baru. Apa pun
pemecahan dan rumusan yang paling baik yang bisa dilaksanakan, dwifungsi harus tetap
dipertahankan pada relnya. Yang penting dilakukan adalah bahwa dwifungsi harus dilestarikan
serta ditegaskan bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa. Yang perlu dikembangkan oleh negara
ini adalah suatu rasa keseimbangan baru, dengan mempertimbangkan berbagai perubahan di
dalam maupun di luar negara ini. Dwifungsi memiliki masa depan yang amat baik jika dwifungsi
dibentuk dalam kerangka doktrin keseimbangan kepentingan-di mana lewat musyawarah dan
mufakat sebuah kompromi baru dapat dicapai dengan tak satu pihak pun memiliki kekuatan yang
mengatasi pihak lain. Dalam kenyataannya, dwifungsi ABRI adalah konsep strategis, politis,

militer, dan sosial yang penting yang telah dikembangkan di negara ini, juga yang telah
menghasilkan hasil-hasil yang diinginkan yaitu stabilitas dan pembangunan. Sementara berbagai
perubahan yang sedang berlangsung di Indonesia maupun diseluruh penjuru dunia harus disadari
dan diperhitungkan sebagai faktor yang menentukan cara dwifungsi ABRI diaktualisasikan.
Dalam keadaan seperti itu dwifungsi ABRI justru semakin relevan, dan ABRI tanpa dwifungsi
hanya akan memperlemah rantai hubungan. Tetapi, di atas segalanya adalah perhatian ABRI
akan berbagai ancaman terhadap negara kesatuan, Pancasila sebagai ideologi bangsa, dan
Undang-Undang Dasar 1945. Di masa mendatang, ABRI juga harus mempertimbangkan untuk
mengambil jarak terhadap partai-partai politik. Akhirnya, jika tercapai konsensus mengenai
semua itu di kalangan ABRI maupun di kalangan masyarakat luas, tentulah akan ada tuntutan
untuk menegaskan secara lebih terperinci bagaimanakah sebenarnya dwifungsi ABRI itu, dan
apa saja yang diperlukan agar dwifungsi itu terlaksana. Dengan demikian, dwifungsi ABRI akan
menjadi transparan dan bermanfaat, sehingga ketidakjelasan serta berbagai tuduhan menyangkut
dwifungsi dapat ditepiskan.
Pada bab terakhir mengulas mengenai masa depan dwifungsi yang terperinci di dalam
kesimpulan. Berbagai pengamat Barat menulis mengenai hubungan sipil-militer, yang
menegaskan bahwa yang harus menjadi norma adalah supremasi sipil atas militer, kalaupun
militer pernah mendominasi maka dipandang sebagai fenomena sementara. Pendapat tersebut
tidak tepat jika dikaitkan dengan kasus di Indonesia, karena pengalaman politik Indonesia
modern telah membuktikan bahwa militer adalah kekuatan politik yang paling dihargai dan
efektif, berkat perannya selama masa revolusi dan keberhasilan dalam mengatasi krisis yang
mengancam negara. Oleh sebab itu, persepsi-persepsi menganai peran ABRI memunculkan
konsep dwifungsi yang menjadi dasar pemikiran serta dasar pembenaran peran militer dalam
kancah perpolitikan Indonesia. Menurut tulisan konvensional, masa depan militer dalam politik
bisa mengikuti tiga pola dasar, yaitu penarikan diri (abdication), pengembalian peran sipil
(recivalianization), dan pemberian peran sipil semu (quasi-civilianization). Kalangan militer
yang berkuasa boleh jadi merasakan adanya tekanan untuk mengundurkan diri oleh tampilnya
kelompok sipil sebagai elite pesaing. Namun sebaliknya, mayoritas kelompok elite serta
masyarakat menghendaki angkatan bersenjata tetap berperan dalam politik. Maka, bagi ABRI,
pandangan bahwa supremasi sipil atas militer sebagai suatu yang alamiah masih dan akan tetap
terasa asing. Dengan kerangka berfikir yang sama, kehendak ABRI untuk memerintah negara ini
tidak akan luntur sebab doktrin dwifungsi menjamin tidak ada yang lebih penting daripada
tuntutan bahwa ABRI berperan penting dalam stabilitas serta pembangunan nasional.
Di atas segala hal, terdapat faktor yang mendukung kemampuan militer untuk
memperoleh kekuatan politis di negara ini. Pertama-tama, sepanjang menyangkut peranan
politik, budaya politik negara ini terbukti berperan amat besar dalam memperkuat klaim-klaim
pihak militer. Kedua, sistem politik Barat tidak tidak memiliki akar atau dukungan di negara ini.
Dalam keadaan seperti itulah negara ini menganut sistem politik yang khas , yaitu Demokrasi
Pancasila. Fakta bahwa doktrin dwifungsi ABRI bukan sekadar doktrin yang menjadi alasan
campur tangan angkatan bersenjata dalam perpolitikan di Indonesia. Intinya, perubahan apa pun
yang bakal terjadi di negara ini dalam tahun-tahun mendatang tidak akan mengubah kenyataan
bahwa ABRI tetap terlibat dalam politik. Hal ini sekaligus memastikan bahwa dwifungsi ABRI
akan tetap relevan sekalipun sejumpah aspek pelaksanaannya bakal mengalami perubahan.

Bagaimanapun masa depannya, harus disadari bahwa dwifungsi ABRI tetap merupakan janji
setia untuk mengutamakan kesejahteraan bangsa dan rakyat. ABRI telah membuktikan bahwa
dirinya tidak hanya memperhatikan kepentingan militer, tetapi juga memperhatikan kepentingan
non-militer yang mempengaruhi hakikat persatuan dan kesatuan negara ini.

You might also like