You are on page 1of 11

LAPORAN KASUS

DERMATITIS KONTAK NON SPESIFIK


PADA JARI-JARI KAKI

David Sethia Perdana


Abdul Gayum

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT TNI-AL DR. MINTOHARDJO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
14 NOVEMBER 2016 17 DESEMBER 2016

DERMATITIS KONTAK NON SPESIFIK PADA JARI-JARI KAKI


(UNSPECIFIED CONTACT DERMATITIS ON THE TOES)
David Sethia Perdana1, Abdul Gayum2
1

Dokter muda bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RS TNI AL dr.
Mintohardjo Jakarta, Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti Jakarta
2
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RS TNI-AL dr. Mintohardjo Jakarta
ABSTRAK
Pendahuluan: Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan
/substansi yang menepel pada kulit. Dikenal 2 jenis dermatitis kontak, yakni
dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergika (DKA). Keduanya
dapat bersifat akut ataupun kronik. Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi
peradangan kulit non-imunologik, yaitu kerusakan kulit terjadi langsung tanpa
didahului proses pengenalan / sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergika
(DKA) terjadi pada seseorang yang telah mengalami sensitisasi terhadap suatu
bahan penyebab / alergen.
Isi : Pada tulisan ini akan disajikan laporan kasus mengenai dermatitis kontak
iritan non-spesifik. Anak perempuan usia 13 tahun, datang ke Poliklinik Kulit
Kelamin dengan jari-jari kaki kemerahan dan bersisik sejak 1 bulan terakhir.
Pasien memperoleh obat minum azithromicin, metil prednisolon dan kalium
diklofenak (Cataflam) serta obat luar Mupirosin Zalf (Bactoderm) dan
Desoksimethason (Dexoxort).
Kesimpulan: Diagnosis dermatitis kontak tetap menjadi masalah yang menarik
dan kompleks, terutama dalam membedakan antara dermatitis kontak iritan dan
dermatitis kontak alergika. Anamnesis teliti dan terarah sangan diperlukan untuk
mengidentifikasi intensitas, frekuensi, dan lama pajanan pada area yang terpajan.
Fenomena kontak alergik pada uji tempel dengan alergen yang relevan dan pola
distribusi yang khas dapat membantu membedakan diagnosis DKI dan DKA
Kata Kunci: dermatitis kontak, dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak
alergika

PENDAHULUAN
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan/atau dermis) sebagai respons
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menyebabkan
kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu terjadi bersamaan,
bahkan mungkin hanya satu jenis misalnya hanya berupa papula (oligomorfik).
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar tubuh (eksogen), misalnya bahan
kimia (Contoh: detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (contoh: sinar, suhu),
mokroorganisme (contoh: bakteri, jamur); dapat pula dari dalam tubuh (endogen),
misalnya dermatitis atopik.
Dermatitis kontak merupakan salah satu dari rumpun penyakit dermatoalergoimunologi yang sering ditemui. Dermatitis kontak adalah dermatitis yang
disebabkan oleh bahan /substansi yang menepel pada kulit. Dikenal 2 jenis
dermatitis kontak, yakni dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak
alergika (DKA). Keduanya dapat bersifat akut ataupun kronik. Dermatitis kontak
iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-imunologik, yaitu kerusakan kulit
terjadi langsung tanpa didahului proses pengenalan / sensitisasi. Sebaliknya,
dermatitis kontak alergika (DKA) terjadi pada seseorang yang telah mengalami
sensitisasi terhadap suatu bahan penyebab / alergen.
Tak jarang dijumpai penyulit dari dermatitis itu sendiri, misalnya dengan
ditemukannya pioderma. Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh
infeksi Staphylococcus aureus dan Streptococcus B hemolyticus. Pioderma yang
terjadi pada kulit yang sudah memiliki penyakit kulit yang mendasarinya dapat
disebut sebagai pioderma sekunder. Gambaran klinis pioderma sekunder tidak
khas dan mengikuti penyakit kulit yang mendasarinya. Jika penyakit kulit yang
telah ada disertai pioderma sekunder maka disebut impetigenisata, misalnya
dermatitis impetigenisata. Tanda impetigenisata antara lain meliputi terdapatnya
pus, pustul, bula purulen, krusta kuning atau kehijauan, dapat pula disertai
demam.

Pada tulisan ini akan disajikan sebuah laporan kasus mengenai dermatitis kontak
iritan kronik nonspesifik disertai pioderma sekunder pada jari-kari di kedua kaki
pada pasien perempuan usia 13 tahun.
LAPORAN KASUS
Pasien anak perempuan usia 13 tahun, datang ke Poliklinik Kulit Kelamin dengan
jari-jari kaki kemerahan dan bersisik sejak 1 bulan terakhir (jari kaki yang
terkena: jari ke-4 kaki kanan dan jari ke 3 & 4 kaki kiri), pasien berobat karena
baru mendapatkan izin berobat dari pemilik pondok. Keluhan disertai rasa panas
dan terkadang gatal (dominan rasa panas dibandingkan rasa gatal). Awalnya
pasien sempat menggaruk tempat yang gatal, kemudian muncul kemerahan dan
lepuh-lepuh berisi nanah, dimulai dari jari ke 4 kaki kanan, kemudian menyebar
ke jari ke 3 dan 4 kaki kiri, sempat disertai demam meriang. Pasien tidak memiliki
riwayat alergi obat, makanan ataupun produk perawatan kulit sebelumnya. Seharihari pasien tinggal di pondok (tidak tinggal bersama kedua orang tua), mandi 2
kali sehari, dan mampu merawat kebersihan diri dengan baik. Pasien pernah
mengalami hal yang serupa 3 tahun yang lalu (saat itu luka terjadi di jempol kaki).
Pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum baik dan kompos mentis. Tanda-tanda
vital dalam batas normal. Status dermatologis diperoleh pada jari ke 4 kaki kanan
dan jari 3-4 kaki kiri ditemukan skuama dan likenifikasi dengan dasar eritema
disertai sedikit erosi, batas tak tegas, terlokalisir, tidak ditemukan bentuk dan
susunan yang khas. Tidak ditemukan adanya papul-papul atau nodul-nodul eritem
ataupun kanalikuli, tidak ditemukan efloresensi di tempat lainnya. Pasien
didiagnosis dermatitis kontak iritan rsubakut/kronik regio akral (phalangs pedis
bilateral) sebab nonspesifik disertai infeksi sekunder (impetiginosa). Pasien
memperoleh obat minum antibiotik azithromicin 500 mg 3 kali sehari dan
antiinflamasi: metil prednisolon 8 mg 2 kali sehari dan kalium diklofenak
(Cataflam) 50 mg 2 kali sehari. Selain itu pasien juga diberikan obat luar
Mupirosin Zalf (Bactoderm) 2 kali sehari dan Desoksimethason (Dexoxort) Zalf
15 gr 2 kali sehari.
TELAAH KEPUSTAKAAN

Dermatitis kontak merupakan salah satu dari rumpun penyakit dermatoalergoimunologi yang sering ditemui. Dermatitis kontak adalah dermatitis yang
disebabkan oleh bahan /substansi yang menepel pada kulit. Dikenal 2 jenis
dermatitis kontak, yakni dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak
alergika (DKA). Keduanya dapat bersifat akut ataupun kronik. Dermatitis kontak
iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-imunologik, yaitu kerusakan kulit
terjadi langsung tanpa didahului proses pengenalan / sensitisasi. Sebaliknya,
dermatitis kontak alergika (DKA) terjadi pada seseorang yang telah mengalami
sensitisasi terhadap suatu bahan penyebab / alergen.
A. Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
Dermatitis kontak iritan (DKI) ialah dermatitis yang terjadi sebagai akibat pajanan
dengan bahan iritan di luar tubuh, baik iritan lemah maupun iritan kuat. Dermatitis
kontak iritan dapat dialami oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras,
dan jenis kelamin. Jumlah orang yang mengalami DKI diperkirakan cukup
banyak, terutama berhubungan dengan pekerjaan.
Penyebab dermatitis jenis ini adalah pajanan dengan bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbu kayu.
Terdapat juga pengaruh faktor lain, yaitu: lama kontak, kekerapan (terus menerus
atau berselang), oklusi yang menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula
gesekan dan trauma fisik. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan.
Faktor individu juga turut berpengaruh pada DKI, misalnya perbedaan ketebalan
kulit di berbagai tempat menyebabkan perbedaan permeabilitas; usia (anak di
bawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi); ras (kulit hitam lebih tahan
dibandingkan kulit putih), jenis kelamin (insidens DKI lebih banyak pada
perempuan); penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami (ambang rangsang
terhadap bahan iritan menurun), misalnya dermatitis atopik.
Dermatitis kontak iritan sangat bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat
memberikan gejala akut, sedangkan iritan lemah memberikan gejala kronis.
Berdasarkan

penyebab

dan

pengaruh

dari

berbagai

faktor, ada

yang

mengklasifikasikan DKI menjadi 10 jenis, yaitu: DKI akut, lambat akut (acute

delayed irritancy), reaksi iritan, kronik kumulatif, reaksi traumatik, exsiccation


eczematid, reaksi pustular dan acneiformis, iritasi non eritematosa, dermatitis
karena friksi dan iritasi subjektif.
Mekanisme terjadinya dermatitis kontak iritan tidak melibatkan proses imun
spesifik. Iritan memainkan peran utama dalam terjadinya dermatitis. Kelainan
kulit oleh bahan iritan terjadi akibat kerusakan sel secara kimiawi atau fisis.
Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak
lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat kulit terhadap air.
Diagnosis DKI didasarkan atas anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran
klinis DKI akut lebih mudah diketahui karena terjadi lebih cepat sehingga pasien
pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabknya. Sebaliknya, DKI
kronis terjadi lebih lambat serta mempunyai gambaran klinis yang luas, sehingga
adakalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergik. Untuk ini diperlukan
uji tempel dengan bahan yang dicurigai.
Upaya pengobatan yang terpenting pada DKI adalahh menghindari pajanan bahan
iritan yang menjadi penyebab, baik yang bersifat mekanik, fisis, maupun kimiawi,
serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan
dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan sembuh
tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan pemberian pelembab untuk
memperbaiki sawar kulit. Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat
diberikan kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang
kronis dapat diawali dengan kortikosteroid dengan potensi kuat. Pemakaian alat
pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi yang bekerja dengan bahan iritan,
sebagai salah satu upaya pencegahan .
B. Dermatitis Kontak Alergika (DKA)
Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah pasien DKA lebih sedikit, karena hanya
mengenai orang dengan keadaan kulit sangat peka (hipersensitif). Diperkirakan
jumlah DKA maupun DKI makin bertambah seriring dengan bertambahnya
jumlah produk yang mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat.

Namun, informasi mengenai prevalensi dan insidens DKA di masyarakan sangat


sedikit, sehingga angka yang mendekati kebenaran belum didapat.
Penyebab DKA adalah bahan kimia sedertaha dengan berat molekul rendah (<
1000 Dalton), disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dan dapat
menembus stratum korneum sehingga mencapai lapisan epidermis bagian dalam
yang hidup. Berbagai faktor berpengaruh terhadap kejadian DKA, misalnya
potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas daerah yang terkena, lama
pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga
dipengaruhi oleh faktor individu, misalnya keadaan kult pada lokasi kontak
(keadaan stratum korneum, ketebalan epidermis), status imun (misalnya sedang
mengalami sakit, atau terpajan sinar matahari secara intens).
Mekanisme terjadinya kelainan kulitpada DKA mengikuti respons imun yang
diperantarai oleh sel (cell-mediated immune response) atau reaksi imunologik tipe
IV, atau reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase,
yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami fase
sensitisasi yang dapat mengalami DKA.
Pada umumnya pasien mengeluh gatal. Kelainan kulit bergantung pada tingkat
keparahan dan lokasi dermatitisnya. Pada stadium akut dimulai dengan bercak
eritematosa berbatas tegas kemudian diikuti oleh edema, papulovesikel, vesikel,
atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menyebabkan erosi dan eksudasi (basah).
DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, lebih
didominasi oleh eritema dan efema. Pada DKA kronis terlihat kuit kering,
berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, berbatas tidak tegas.
Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; dengan
kemungkinan penyebab campuran. DKA dapat meluas ke tempat lain, misalnya
dengan cara autosensitisasi
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis
yang teliti, yakni dengan mengajukan pertanyaan mengenai kontaktan yang
dicurigai berdasarkan pada kelainan kulit yang ditemukan. Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang pernah
digunakan,

obat

sistemik,

kosmetika,

berbagai

bahan

yang

diketahui

menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari
yang bersangkutan maupun keluarganya. Pemeriksaan fisis sangat penting, karena
dengan melihat lokasi dan pola kelainan kulit sering kali dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya. Misalnya di ketiak oleh deodoran; di pergelangan
tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/ sendal. Pemeriksaan
hendaknya dilakukan di tempat cukup terang, pada seluruh permukaan kulit untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena berbagai sebab endogen.
Keelainan kulit DKA sering kali tidak khas. Gambaran klinis dapat menyerupai
dermatitis atopik, dermatitis sebooroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang
terutama adalah DKI. Pada keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu
dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut merupakan
dermatitis kontak alergi atau justru hanya dermatitis kontak iritan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pada pengobatan dermatitis kontak alergik
adalah upaya pencegahan pajanan ulang dengan alergen penyebab. Umumnya
kelainan kulit adakn mereda dalam beberapa hari. Kortikosteroid dapat diberikan
dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada DKA akut yang ditandai
dengan eritema, edema, vesikel atau bulla, serta eksudatif (madidans), misalnya
dengan pemberian prednison 30 mg/hari. Untuk topikal cukup dikompres dengan
larutan garam faal atau larutan asam salisilat 1:1000, atau pemberian
kortikosteroid atau makrolaktam (pimecrolismus atau tacrolismus) secara topikal.
DISKUSI
Pasien anak perempuan 13 tahun berdasarkan laporan kasus didiagnosis sebagai
dermatitis kontak iritan subakut/kronik regio akral (phalangs pedis bilateral) sebab
non spesifik disertai infeksi sekunder (impetiginosa). Diagnosis penyakit ini
ditegakkan melalui hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Berdasarkan anamnesis, hal-hal yang mendukung diagnosis kerja meliputi:
1) kemerahan dan kulit bersisik pada jari-jari di kedua kaki (jari ke-4 kaki kanan
dan jari ke 3-4 kaki kiri)
2) Sudah berlangsung selama 1 bulan terakhir
3) Mengeluh rasa panas lebih dominan dibandingkan rasa gatal

4) Terdapat riwayat lepuh-lepuh berisi nanah sebelumnya


Berdasarkan pemeriksaan fisik, temuan klinis yang mendukung diagnosis kerja
atau pun diagnosis banding yakni ditemukannya skuama dan likenifikasi dengan
dasar eritema disertai sedikit erosi, batas tak tegas, terlokalisir, tidak ditemukan
bentuk dan susunan yang khas. Tidak ditemukan adanya papul-papul atau nodulnodul eritem ataupun kanalikuli, tidak ditemukan efloresensi di tempat lainnya.
Secara umum, dermatitis kontak terbagi menjadi 2, yakni dermatitis kontak iritan
dan dermatitis kontak alergik. Perbedaan mendasar dari keduanya terletak dari ada
tidaknya keterlibatan faktor imunologik yang menimbulkan manifestasi klinis.
Dermatitis kontak iritan tidak melibatkan proses imunologi khusus, sedangkan
dermatitis kontak alergik sudah melibatkan proses imunologik khusus yang
ditimbulkan dari adanya fase sensitisasi dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas
tipe IV. Penentuan diagnosis dermatitis kontak iritan dan alergi memang menjadi
tantangan tersendiri, terutama pada dermatitis kontak iritan kronik. Diagnosis
biasanya tidak jelas diperoleh dari riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisis saja.
Meskipun mendapatkan informasi yang relevan mudah pada sebagian pasien,
faktanya diagnosis secara tepat membutuhkan rangkaian pertanyaan yang panjang
dan teliti untuk mendapatkan petunjuk yang diperlukan. Anamnesis teliti dan
terarah harus dilakukan untuk mengidentifikasi intensitas, frekuensi, dan lama
pajanan pada area yang terpajan. Suatu iritan pada saat yang bersamaan dapat pula
bersifat sebagai alergen. Hal menarik lainnya adalah adanya DKI dapat
meningkatkan kejadian DKA. Hal tersebut terjadi akibat adanya gangguan fungsi
sawar kulit yang terjadi sebelumnya akan meningkatkan penetrasi alergen.
Fenomena ini menyebabkan diagnosis dermatitis kontak menjadi masalah yang
menarik dan kompleks.
Gambaran klinis DKI maupun DKA secara klinis bervariasi, dapat berupa bercak
eritematosa berskuama tanpa disertai vesikel rasa gatal maupun sensasi terbakar.
Sebagian besar dermatitis kontak bermanifestasi klinis subakut dan kronik.
Namun apabila terdapat pajanan dengan iritan kuat (misalnya: asam kuat atau basa
kuat) dapat bermanifestasi akut berupa vesikel dan area eritematosa yang sesuai
pola distribusi pajanan. Gatal merupakan gejala utama dermatitis kontak alergik.

Identifikasi etiologi dermatitis kontak kerap memerlukan usaha keras dan menjadi
tantangan tersendiri.
Petunjuk klinis yang paling dapat dipercaya adalah distribusi geografisnya.
Dermatitis kontak awalnya terdapat pada area kulit yang terpajan. Namun dalam
perkembangannya, dapat menyebar ke tempat lain yang lebih jauh baik dengan
kontak

yang tidak disengaja, atau dalam kondisi tertentu, misalnya

autosensitisasi. Lebih jauh lagi, kulit kepala, telapak tangan, dan telapak kaki yang
relatif resisten terhadap dermatitis kontak, dapat menunjukkan karakteristik
patologis akibat pajanan agen berulang. Pada DKI, kontak pertama dengan iritan
telah dapat menimbulkan kelainan kulit. Diagnosis DKI mudah ditegakkan pada
kontak dengan iritan kuat, yang menimbulkan reaksi DKI akut dalam beberapa
menit. Namun pajanan iritan lemah menampilkan manifestasi klinis subakut
maupun kronik, menjadi lebih sulit didiagnosis. Fenomena kontak alergik pada
uji tempel dengan alergen yang relevan dan pola distribusi yang khas dapat
membantu menegakkan diagnosis DKA.
KESIMPULAN
Diagnosis dermatitis kontak tetap menjadi masalah yang menarik dan kompleks,
terutama dalam membedakan antara dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak
alergika. Anamnesis teliti dan terarah sangan diperlukan untuk mengidentifikasi
intensitas, frekuensi, dan lama pajanan pada area yang terpajan. Fenomena kontak
alergik pada uji tempel dengan alergen yang relevan dan pola distribusi yang khas
dapat membantu membedakan diagnosis DKI dan DKA
DAFTAR PUSTAKA
1. Cohen DE, Jacob SE. Allergic contact dermatitis. Dalam: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatricks Dermatologic in
general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw Hill medical 2008; 3(13):
135-46.
2. Amado A, Taylor JS, Sood A. Irritant contact dermatitis. Dalam: wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatricks
Dermatologic in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw Hill medical
2008; 3(46): 395-401.

10

3. Sularsito SA, Soebaryo RW. Dermatitis Kontak. Dalam: Bramono K, Indriatmi


W., Menaldi SLSW. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2015; p. 157-67.
4. Suriadiredja A, Toruan TL Widaty S, Listyanan MY, Siswati AS, Danarti R, et al.
Panduan pelayanan klinis dokter spesialis dermatologi dan venerologi. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI) 2014.
p. 145-50.
5. Silustyaningrum SK, Widaty S, Triestianawati W, Daili ESS. Dermatitis kontak
iritan dan alergik pada geriatri. MDVI 2011;38(1):29-40

11

You might also like