Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindroma Koroner Akut
2.1.1 Definisi Sindroma Koroner
Istilah SKA banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian
kegawatan pada pembuluh darah koroner. Sindroma Koroner Akut merupakan
satu sindrom yang terdiri beberapa penyakit koroner yaitu, angina pektoris tidak
stabil (APTS), infark miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI), infark miokard
dengan elevasi ST (STEMI), maupun angina pektoris pasca infark atau pasca
tindakan intervensi koroner perkutan. Sindroma Akut merupakan keadaan darurat
jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai
akibat iskemia miokardium.
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan spektrum manifestasi akut dan
berat yang merupakan keadaan kegawat-daruratan dari koroner akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah
(Kumar, 2007).
Andra (2006) mengatakan Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah kejadian
kegawatan pada pembuluh darah koroner. Wasid (2007) menambahkan bahwa
Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah suatu fase akut dari Angina Pektoris Tidak
Stabil yang disertai Infark Miokard Akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) atau Infark
Miokard dengan elevasi ST (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat
dari ruptur plak aterosklerosis yang tidak stabil.
2.1.2
a) Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan
nyeri pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per
hari.
b) Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan
pada waktu istirahat.
c) Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.
Secara Klinis:
a) Kelas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti
anemia, infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia
karena gagal napas.
b) Kelas B: Primer.
c) Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati
dengan obat anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan
antagonis kalsium) dan nitrogliserin intravena.
2.1.3 Etiologi Sindroma Koroner Akut
Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada
penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini
diakibatkan oleh empat hal, meliputi:
a) Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat
konsumsi kolesterol tinggi.
b) Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
c) Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus
menerus.
d) Infeksi pada pembuluh darah.
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindroma Koroner Akut (SKA)
dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni:
Faktor resiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor resiko
konvensional dan faktor resiko yang diketahui berhubungan dengan proses
aterotrombosis (Braunwald, 2007).
Faktor resiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di
dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental, depresi (Santoso, 2005).
Di antara faktor resiko konvensional, ada empat faktor resiko biologis yang
tidak dapat diubah, yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga.
Hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan
lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor aterogenik. (Braunwald,
2007)
Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai masa
menopause, dan kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini diduga
oleh karena adanya efek perlindungan estrogen.
Faktor-faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar
serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi
lemak jenuh, kolesterol, dan kalori .
Sindroma Koroner Akut umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40
tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita
penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45
tahun untuk mendefinisikan pasien usia muda dengan penyakit jantung koroner
atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang rendah pada
usia muda. (Santoso, 2005)
Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia
miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian
utama angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal
(varian), dan angina pektoris tak stabil. Pada pembahasan ini akan lebih
difokuskan kepada angina pektoris tidak stabil (Kumar, 2007).
Angina pektoris tidak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya
meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan serangan
menjadi lebih intens dan berlangsung lebih lama dari angina pektoris stabil.
Angina tidak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih serius
dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina pra infark. Pada
sebagian besar pasien, angina ini dipicu oleh perubahan akut pada plak di sertai
trombosis parsial dan embolisasi distal. Perubahan morfologik pada jantung
adalah arterosklerosis koroner dan lesi terkaitnya (Kumar, 2007).
1) Ruptur plak
3) Vasospasme
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina
yang bertambah dari biasa.Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih
lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang
minimal.Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas, mual sampai muntah,
kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan fisik sering kali tidak
ada yang khas.
Pemeriksaan penunjang:
Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah di terima sebagai
petanda paling penting.
2.1.5.1.4 Penatalaksanaan Angina Pektoris Tidak Stabil
Tindakan umum:
Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien
perlu di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian morfin
atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun sudah
mendapat nitrogliserin (Trisnohadi, 2006).
Terapi medikamentosa :
Obat anti iskemia
Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.
Obat anti agregasi trombosit
Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa
Obat anti trombin
Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin
Direct trombin inhibitors
daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CK-MB. Pada pasien dengan
infark miokard akut, peningkatan awal troponin pada daerah perifer setelah 3-4
jam dan dapat menetap sampai 2 minggu (Sjaharuddin, 2006).
2.1.5.2.4 Penatalaksanaan NSTEMI
Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG untuk
deviasi segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:
Terapi antiiskemia
Terapi anti platelet/antikoagulan
Terapi invasif (kateterisasi dini/ revaskularisasi)
Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.\
arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau
sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi
ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous
cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran
patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar
sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya
pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan
tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit
memicu perubahan reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi
fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada
protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan
agregasi. Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel
yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri
koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri
agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga
disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan
berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).
2.1.5.3.3 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang STEMI
Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri
dada yang di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri
dada tipikal (angina). Faktor resiko seperti hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit jantung koroner di keluarga (Alwi,
2006). Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi
STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang
menyertai. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, tetapi
variasi sirkadian di laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur.
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat.
Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada
substernal > 30 menit dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda
fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan
murmur mid sistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara (Alwi, 2006).
Selain itu diagnosis STEMI ditegakkan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST
kurang lebih 2 mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan
atau kurang lebih 1 mm pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung,
terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis (Alwi, 2006).
2.5.1.3.4 Penatalaksanaan STEMI
ICCU: Aktivitas, Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama. Diet, karena resiko
muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya
minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30%
kalori total dan kandungan kolesterol <300mg/hari. Menu harus diperkaya serat,
kalium,
magnesium,
dan
rendah
natrium.
Penggunaan
narkotik
sering
Wasid (2007) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien Sindroma
Koroner Akut adalah :
1. Oksigenasi : Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan
oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya STelevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 23
liter/menit secara kanul hidung.
2. Nitrogliserin (NTG) : Digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula
secara sublingual (SL) (0,3 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap
ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena 510
ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang
dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard,
menurunkan kebutuhan oksigen di miokard, menurunkan beban awal (preload)
sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel, dilatasi arteri koroner besar dan
memperbaiki aliran kolateral, serta menghambat agregasi platelet.
3. Morfin : Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan;
mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance;
menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah
juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard
berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 4 mg intravena sambil
memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi pernapasan
4. Aspirin : Harus diberikan kepada semua pasien SKA jika tidak ada
kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat
siklooksigenase 1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2.
Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial. Dosis
yang dianjurkan ialah 160325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable"
dari pada tablet, terutama pada stadium awal. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat
diberikan pada pasien yang mual atau muntah. Aspirin boleh diberikan bersama
atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin). Ternyata
agregasi
platelet,
memperpanjang
waktu
perdarahan,
dan
dengan
risiko
tinggi,
terutama
hubungannya
dengan
(trombositopenia)
meskipun
ditemukan
tidak
serius.
Disebut
Klasifikasi hipertensi
Tekanan
Darah
atau
Diastol (mmHg)
7
Normal
< 120
dan
< 80
Pra-Hipertensi
120-139
atau
80-89
Tahap 1
140-159
atau
90-99
Tahap 2
160
atau
100
Hipertensi:
2.2.3
Etiologi hipertensi
diketahui,
seperti
penggunaan
estrogen,
penyakit
ginjal,
koarktasio
aorta,
hipertensi yang
berhubungan
dengan
2.2.4
Diagnosis hipertensi
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Urinalisa
b. Darah : platelet, fibrinogen
c. Biokimia : potassium, sodium, creatinin, GDS, lipid profil, asam urat
4. Pemeriksaan tambahan
a. Foto rontgen dada
b. EKG 12 lead
c. Mikroalbuminuria
d. Ekokardiografi
2.2.6
Penatalaksanaan hipertensi
Kelas obat utama yang digunakan untuk mengendalikan tekanan darah adalah :
1. Diuretik
Diuretik
menurunkan
tekanan
darah
dengan
menyebabkan
diuresis.
a) Thiazide
Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi, golongan
lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah.
b) Diuretik Hemat Kalium
Diuretik Hemat Kalium adalah anti hipertensi yang lemah jika digunakan
tunggal. Diuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan kalium dan natrium
yang disebabkan oleh diuretik lainnya.
c) Antagonis Aldosteron
2. Beta Blocker
Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif pada
dosis rendah dan mengikat baik reseptor 1 daripada reseptor 2.Hasilnya agen
tersebut kurang merangsang bronkhospasmus dan vasokontruksi serta lebih aman
dari non selektif bloker pada penderita asma, penyakit obstruksi pulmonari
kronis (COPD), diabetes dan penyakit arterial perifer.Acebutolol, carteolol,
penbutolol, dan pindolol memiliki aktivitas intrinsik simpatomimetik atau
sebagian aktivitas agonis reseptor .
3. Inhibitor Enzim Pengubah Angiotensin (ACE-inhibitor)
Pada kenyataannya, inhibitor ACE menurunkan tekanan darah pada penderita
dengan aktivitas renin plasma normal, bradikinin, dan produksi jaringan ACE
yang penting dalam hipertensi.
Hipertensi
merupakan
salah
satu
faktor
utama
yang
menyebabkan
aterosklerosis dan pengembangan plak-plak yang tidak stabil dan rentan ruptur
(yang seterusnya menyebabkan trombosis dan oklusi pembuluh darah) dan
bertanggung jawab untuk pengembangan sindroma koroner akut (SKA).
Pada GUSTO-1 trial, 41,021 pasien STEMI yang hadir dalam waktu 6 jam
onset gejala secara acak menerima rejimen trombolitik yang berbeda. Pada
populasi ini, prevalensi riwayat hipertensi sebelumnya adalah 38,1%. Pada
penelitian terkini yang difokuskan pada pasien dengan STEMI dengan primary
PCI di mana riwayat hipertensi hadir dalam rentang 30-33%. Sebuah lagi
penelitian yaitu, SYMPHONY TRIAL menunjukkan prevalensi hipertensi pada
pasien STEMI lebih dari 50% , dan registri baru di Spanyol (PRIMVAC)
melaporkan prevalensi 46% dari hipertensi pada
pasien STEMI
(Claudio
Picariello et al,2011).
Dari hasil registrar dan data yang tersedia sampai saat ini, pasien hipertensi
dengan STEMI lebih cenderung pada usia lebih tua, wanita, etnis non-putih, dan
memiliki komorbiditas seperti diabetes, hiperkolesterolemia, gagal ginjal kronis,
riwayat gagal jantung, infark miokard sebelumnya, dan pernah menlakukan
revaskularisasi miokard. (Claudio Picariello et al,2011)
Dalam studi epidemiologi yang dilakukan pada pasien infark miokard tanpa
elevasi ST (NSTEMI), hipertensi kronis merupakan faktor risiko yang paling
umum yang terdeteksi dalam hampir dua pertiga dari seluruh populasi. Ini lebih
tinggi danding pasien STEMI (sekitar 70-75% dibandingkan 30-40%) karena
biasanya pasien NSTEMI lebih tua dan memiliki lebih banyak komorbiditas
dibanding pasien STEMI.
Salah satu penyebab terjadinya hipertensi pada pasien Sindroma Koroner Akut
adalah terjadinya aterosklerosis pada pembuluh darah. Sudah diketahui dari
patofisiologi sindroma koroner akut sendiri bahwa aterosklerosis memainkan
peran yang terpenting atas terjadinya angina tidak stabil seterusnya STEMI dan
NSTEMI. Menurut Gran (2005), aterosklerosis merupakan salah satu penyakit
inflamasi pada pembuluh darah. Secara patofisiologinya, hubungan terjadinya
hipertensi pada pasien ateroskeloris adalah seperti berikut :
1. Terjadinya influx kolesterol LDL pada bahagian tunica intima pembuluh darah
yang melebihi kadar normal.
2. Kolesterol LDL akan teroksidasi apabila bereaksi dengan molekul oksigen
bebas yang terbentuk dari pelbagai reaksi enzimatik dan non-enzimatik.
3. Kolesterol LDL yang teroksidasi akan memicu perlengketan dan masuknya
monosit dan limfosit T kedalam tunika intima pembuluh darah melalui permukaan
endothelium.
4. Makrofag terbentuk dari monosit dan akan memfagosit kolesterol LDL yang
teroksidasi, sehingga membentuk foam cell.
5. Foam
cell yang
terbentuk
akan
memicu
perlepasan
sitokin-sitokin
Oleh karena itu, dengan tingginya kadar kolesterol dalam darah, maka ini akan
terjadi peningkatan tekanan darah. Semakin tinggi kadar kolesterol, maka lebih
banyak terjadinya aterosklerosis dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan
semakin tinggi resistensi vascular sistemik dan memicu kepada peningkatan
tekanan darah yang lebih berat.
Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak
stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner
yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Secara klinis infark
miokard tanpa elevasi ST (NSTEMI) sangat mirip dengan angina tidak stabil.
Yang membedakan adalah adanya enzim petanda jantung yang positif. Yang
membedakan NSTEMI dan STEMI adalah tempo gejala berlangsung dan elevasi
gelombang ST pada STEMI.
Ateroskleloris
STEMI
NSTEMI
Hipertensi
Gambar 2.1: Hubungan Aterosklerosis, SKA dan Hipertensi