You are on page 1of 33

1.

DEFINISI
Degloving injury menandakan terlepasnya kulit dan jaringan subkutan dari
fasia dan otot yang terletak di bawahnya. Cedera semacam ini paling banyak
melibatkan ekstermitas bawah, dan penyebab tersering adalah kecelakaan
industri dan lalu lintas. Cedera dapat terjadi pada seluruh bagian ekstremitas
bawah, bahkan dapat meluas hingga ke bagian bawah torso. Cedera
tersebut sering disertai dengan fraktur atau cedera lain yang dapat
menyebabkan berbagai macam komplikasi mulai dari infeksi hingga
kematian. Apalagi jika pasien berusia lanjut, risiko terjadinya komplikasi
semakin meningkat (Wojcicki et al, 2011).
Cedera degloving terjadi akibat gaya tangensial yang mengenai
permukaan kulit dengan permukaan yang ireguler yang mencengkram kulit
sehingga tidak licin. Ketika gaya ini dilawan dengan gerakan yang
berlawanan,

kulit

tertarik

dan

terlepas

dari

jaringan

di

bawahnya

(Krisnamoorthy and Karthikeyan, 2011). Biasanya, luka yang terjadi bersifat


terbuka. Namun, ada pula cedera degloving yang bersifat tertutup, yang
lebih jarang ditemukan (Yorganci et al, 2002). Jika lukanya bersifat terbuka,
setelah terjadi cedera harus segera dilakukan tindakan menutup area yang
mengalami degloving. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko
terjadinya infeksi (Fujiwara and Fukamizu, 2008).
Skin degloving adalah suatu keadaan dimana jaringan kulit dan subkutis
tersobek secara paksa dari dasarnya yang berupa fascia sebagai akibat
trauma keras dan mendadak/shearing force. kelainan ini sering dihubungkan
dengan morbiditas yang tinggi, kasus ini merupakan masalah yang penting
dan perlu mendapat perhatian. Dalam pemeriksaan pertama kasus dengan
multipel trauma, kelainan degloving ini sering terlewatkan terutama yang
jenis closed degloving. Kalaupun kelainan ini terdiagnosis tapi dalam hal

penanganannya tidak cukup memadai, terutama dalam penilaian vitalitas


jaringan sering sulit (Smeltzer & Bare, 2002).

2. ETIOLOGI
Trauma degloving dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain karena
kecelakaan lalu lintas seperti terlindas dari kendaraan atau kecelakaan
akibat dari olah raga seperti roleer blade, sepeda gunung, acrobat dan skate
board. Trauma degloving ini mengakibatkan penurunan suplai darah ke kulit,
yang pada akhirnya dapat terjadi kerusakan kulit. Degloving yang luas dan
berat biasanya diakibatkan oleh ikat pinggang dan ketika tungkai masuk ke
roda kendaraan. Adapun penyebab lainnya bisa berupa kecelakaan pada
eskalator atau biasa juga disebabkan oleh trauma tumpul. Degloving biasa
terjadi pada pasien yang sudah tua, misalnya benturan terhadap meja.
Selain pada ekstremitas, degloving juga biasa terjadi pada mukosa
mandibula, yang diakibatkan oleh high jump pada acrobat biking atau
kecelakaan lalu lintas. Selain itu degloving dapat disebabkan beberapa hal
sebagai berikut:
-

Trauma mekanis yang disebabkan karena tergesek, terpotong,


terbentur dan terjepit

Trauma elektris dan penyebab cidera karena listrik dan petir.

Trauma termis, disebabkan oleh panas dan dinginTruma kimia,


disebabkan oleh zat kimia yang bersifat asam dan basa serta zat
iritatif dan berbagai korosif lainnya.

3. TANDA DAN GEJALA


a. Degloving tertutup
- Mobilitas kulit dan fluktuasi di subcutis, disertai jejas seperti ban
-

mobil, luka abrasi.


Jaringan subkutan terlepas dari jaringan dibawahnya, sedang

permukaan luar tanpa luka.


Permukaan kulit intak (physiological degloving). Terjadi jika ada
kekuatan dengan energi yang besar dalam waktu singkat, bila tidak
diatasi : jaringan bisa necrosis.

b. Degloving terbuka
Tanda: terangkatnya kulit dari jaringan sekitar disertai dengan luka

terbuka
-

Kejadian degloving terbuka 80% disertai dengan Fraktur

Jaringan

kulit

terpisah

dari

dasarnya

disertai

terputusnya

permukaan kulit.

c. Degloving injury :
Trauma lain ; kerusakan jaringan lunak, tulang, persarafan

ataupun vaskuler
Paling sering : daerah lengan maupun tungkai
Etiologi: trauma mekanis

Sumber : Kudsk K, Sheldon G, Walton R. Degloving


Injuries of the Extremities and Torso; The Williams &
Wilkins 1981; 21:836

4. KLASIFIKASI
Trauma degloving di bagi menjadi dua yaitu:
a. Degloving tertutup
Trauma ini jarang terjadi tapi penting diperhatikan karena terjadi
pada pasien dengan multiple trauma, dimana jaringan subkutan
terlepas dari jaringan dibawahnya. Klinis awalnya dari jenis ini
seringkali tampak normal pada permukaan kulit, dapat disertai dengan
echimosis. Dan jika tidak dikoreksi, akan menyebabkan peningkatan
dari morbiditas yaitu jaringan yang terkena akan mengalami nekrosis.
Untuk itu

dilakukan

drainase

dengan membuat insisi kecil yang

bertujuan untuk kompresi, karena terdapat ruangan yang terisi oleh


hematom dan cairan. Luka degloving yang tertutup terjadi jika ada
kekuatan shear dengan energi yang cukup dalam waktu yang singkat
sehingga kulit tidak terkelupas. Tapi didalamnya kadang dapat terjadi
pemisahan

antara

jaringan

dengan

pembuluh

darah,

hal

ini

menyebabkan bagian yang atas dari jaringan yang terpisah menjadi


nekrosis karena tidak mendapat aliran darah. Komplikasi dari traksi
dapat mengakibatkan trauma degloving luka tertutup

pada kulit

sehingga dapat menyebabkan terjadinya lesi pada kulit. Hal ini


mungkin disebabkan oleh usia lanjut dan kulit yang lemah. Jadi pada
trauma degloving tertutup jaringan subkutan terlepas dari jaringan

dibawahnya, sedang bagian luar atau permukaan kulit tanpa luka atau
ada luka dengan ukuran yang kecil
b. Degloving terbuka
Trauma degloving ini terjadi akibat trauma pada tubuh yang
menyebabkan jaringan terpisah. Gambarannya berupa terangkatnya
kulit dari jaringan dibawahnya disertai dengan luka yang terbuka. Ini
merupakan trauma degloving dengan luka terbuka. Terkelupasnya
lapisan kutis dan subkutis dari jaringan dibawahnya, dapat juga masih
terdapat bagian dari kulit yang melekat, ini terjadi pada trauma
degloving terbuka. Gejala klinik yang lain dapat pula ditemukan
gambaran permukaan kulit yang normal atau dapat disertai dengan
echimosis, ini terjadi pada trauma degloving tertutup
- Pembagian degloving terbuka:
1. Avulsi biasa: jaringan terelevasi sekelilingtepi luka
2. Avulsi tidak khas: luka kecil avulsi luas
3. Avulsi Area Khusus: telapak kaki.

5. PATOFISIOLOGI
6.

Factor mekanik (benturan, gaya pluntir, gaya tangensial) mecengkeram kulit


Prosedur Pembedahan

7.
kulit tertarik dan terlepas dari jaringan di bawahnya

8.
9.

Trauma jaringan (kulit dan jaringan subcutis terlepas secara paksa)

10.
Ope degloving

11.
12.
13.

Tekanan yang berlebihan pada tulang

Ope degloving +

Kekurangan
Penanganan
Tindakan
informasi
Infasif
ORIF
mengenai
prosedur
Perdarahan
Proses
pembedahan
rehabilitasi
danTidak
adaptasi
Ancaman
terkontrol
kematian
Keterbatasan
Kehilangan
gerak
Krisis
Cairan
situasional
Gangguan
Mobilitas
Risiko Syok
Fisik
Ansietas

14.

Merusak Jaringan Sekitar

15.
Menembus kulit

16. Fraktur terbuka


17.
18.
19.

Kerusakan
Integritas Jaringan
Keruskan
pertahanan primer
Port de entri
bakteri

Pelepasan mediator
nyeri
( histamine,
prostaglandin,
bradikinin dan
serotonin)
Ditangkap reseptor
nyeri perifer
Impuls ke Otak

20. PEMERIKSAAN PENUNJANG


21.

Resiko Infeksi

Trauma Arteri/
Vena
Perdarahan
Kehilangan
cairan
berlebihan

Deformitas
Gangguan
fungsi
Hambatan
mobilitas fisik

Resiko Syok
hipovolemik

Sebagai penunjang,
Nyeri akut
pemeriksaan yang penting adalah

Pelepasan mediator
inflamasi
Vasodilatasi
Peningkatan aliran
darah
Peningkatan
permeabilitas kapiler
Kebocoran caran ke
interstitial
Odema

pencitraan menggunakan sinar rontgen ( Sinar-X ). Untuk mendapatkan

Menekan pembuluh
darah perifer

gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan jaringan kulit dan sub kutis

Inefektif perfusi
jaringan perifer

yang sulit. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus)


ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya
superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan Sinar-X harus atas dasar
indikasi kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai
dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada Sinar-X mungkin dapat di
perlukan teknik khusus, seperti hal-hal sebagai berikut (Muttakin, 2008)
1

Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur


yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.

Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan


pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.

Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak


karena ruda paksa.

Computed

Tomografi-Scanning:

menggambarkan

potongan

secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur


tulang yang rusak.
a

Pemeriksaan Laboratorium
1

Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap


penyembuhan tulang.

Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan


kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. Enzim otot seperti
Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase

(AST), Aldolase

yang

meningkat

pada

tahap

penyembuhan tulang
3

Hematokrit dan leukosit akan meningkat

22.
23.
b

Pemeriksaan lain-lain
1

Pemeriksaan

mikroorganisme

kultur

dan

test

sensitivitas:

didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.


2

Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.

Elektromyografi:

terdapat

kerusakan

konduksi

saraf

yang

diakibatkan fraktur.
4

Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek


karena trauma yang berlebihan.

Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi


pada tulang.

6
24.

MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

25.
26. TINDAKAN UMUM YANG DILAKUKAN
27.

Penanganan Degloving Tertutup

Survey Primer (ABCDE)


Penilaian vitalitas jaringan (kulit yg degloving)
Jaringan nonvital dieksisi
Bila jaringan vital:
28.

1.

Insisi kecil diatas daerah degloving

29.

2.

Evakuasi hematom dan jar lemak nekrotik

30.

3.

Irigasi luka

31.

4.

Pasang Drain

32.

5.

Balut Tekan

Bila terdapat deformitas kontur, luka dibuka lebar dan jar lemak yang
nekrotik di eksisi.
Penanganan: Insisi untuk dekompresi dan mengeluarkan hematom

33.

Penanganan Degloving Terbuka

Survey Primer (ABCDE)


Debridemant dan irigasi
Penilaian vitalitas kulit degloving
Vitalitas otot : wara, turgor, perdarahan, kontraktilitas, bila tidak vital:
eksisi.
Bila terjadi compartement syndrome: fasciotomi.
Otot yang viabel dirotasi atau transposisi untuk menutup tulang yang
ekspose.

Raw surface ditutup dengan STSG atau FTSG


Penutupan luka tanpa tegangan
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.

58.

Jika terjadi kehilangan jaringan yang luas dapat terjadi

syok dilakukan penanganan dari syok. Penanganan dari trauma


degloving ini berupa kontrol perdarahan dengan membungkusnya
dengan kassa steril pada luka dan sekitar luka, debridement luka dan
dilakukan amputasi bila jaringan tersebut nekrosis. Trauma degloving
seharusnya di lakukan pencucian atau debridemen dari benda asing
dan jaringan nekrotik juga dilakukan penutupan dari luka. Bila lukanya
kotor maka dilakukan perawatan secara terbuka sehingga terjadi
penyembuhan secara sekunder, lukanya bersih dilakukan penutupan
luka primer.
59.

Pada trauma degloving tertutup sering tidak diketahui,

dimana tidak terdapat luka pada kulit, yang mana jaringan subkutan
terlepas dari jaringan dibawahnya, menimbulkan suatu rongga yang
berisi hematoma dan cairan. Pada degloving tertutup ini dapat
dilakukan aspirasi dari hematome

atau insisi kecil selanjutnya

dilakukan perban kompresi. Insisi dan aspirasi untuk mengeluarkan


darah dan lemak nekrosis, volume yang dievakuasi antara 15 -800 ml
(rata-rata 120 ml). Sedang pada trauma degloving dengan luka
terbuka, yang mana terdapat avulsi dari kulit, dilakukan pencucian
dari jaringan tersebut yaitu debridemen dari benda asing dan jaringan
nekrotik. Pada luka yang kotor atau infeksi dilakukan rawat terbuka
sehingga terjadi penyembuhan secara sekunder. Kulit dari degloving
luka yang terbuka dapat dikembalikan pada tempatnya seperti skin
graft dan dinilai tiap hari, keadaan dari kulit tersebut. Jika kulit menjadi
nekrotik, maka dilakukan debridemen dan luka ditutup secara split
thickness skin graft.

60.

Terapi degloving yang sekarang dipakai adalah Dermal

Regeneration Template (DRT), yaitu pembentukan neodermis dengan


cara Graft Epidermal. Adapun tekniknya berupa Full Thickness Skin
Graft (FTSG), Split Thickness Skin Graft (STSG) , Pedical Flap atau
Mikrovascular Free Flap. Penggunaan DRT merupakan terapi terbaik
untuk trauma degloving dan juga dapat dipertimbangkan sebagai
terapi, jika terdapat kehilangan jaringan sekunder yang bisa
menyebabkan avulsi. Sebelum dilakukan FTSG dan STSG, diperlukan
tindakan berupa mempersiapkan daerah luka dengan Vacum Assisted
Closure (VAC). Tiga minggu setelah terapi VAC, maka pada daerah
luka terjadi revascularisasi disertai dengan terbentuknya jaringan
granulasi sehingga siap untuk di graft. Biasanya pada degloving yang
luas, terjadi drainase yang berlebihan, resiko kontaminasi bakteri
yang luas dan cenderung menyebabkan luka yang avaskuler. Ketiga
hal tersebut mengakibatkan sukar sembuh pada luka yang telah
dilakukan skin graft. Oleh karena itu dengan VAC diharapkan drainase
lebih terkontrol, kontaminasi bakteri menurun serta terjadi stimulasi
jaringan granulasi pada dasar luka.
61.
Konseling Pra-Pembedahan
62.

Komunikasikan hal-hal dibawah ini kepada pasien (Krisnamoorthy

and Karthikeyan, 2011):


1

Prosedur yang telah direncanakan

Deksripsi detil mengenai darimana kulit yang akan diambil dan


bagaimana daerah tersebut akan ditutupi. Komplikasi yang mungkin
timbul dan bagaiman mengatasinya juga harus didiskusikan

Bekas luka yang mungkin akan terlihat

Anestesi yang digunakan beserta komplikasinya

Lama perawatan post-operasi di rumah sakit

Perkiraan waktu rekonstruksi total dan kapan bisa kembali ke rumah,


kapan bias kembali bekerja

Pentingnya terapi dan kebutuhan splints, mobilisasi, masase bekas


luka, dan kompresi

Kebutuhan prosedur sekunder multiple untuk melengkapi proses


rekonstruksi

Perawatan Post Operasi


63.

Defek jaringan lunak pada regio kaki biasanya memerlukan

pembedahan local atau free flap surgery jika prosedur skin graft tidak
dapat dilakukan akibat pembentukan jaringan granulasi yang minim.
STSG tidak direkomendasikan pada luka dengan ekspos struktur tulang
maupun neurovaskuler, atau luka yang melibatkan daerah yang menahan
beban. Pada sebuah studi komparatif antara dressing tradisional dengan
negative pressure weight therapy (NPWT), NPWT terbukti menurunkan
angka kebutuhan free flap surgery sebesar 30%. NPWT juga membantu
mengevakuasi hematoma, eksudat, dan pathogen dengan digunakannya
tekanan negatif pada luka (Lee et al, 2009). NPWT juga mempercepat
penyembuhan dengan memperbaiki angiogenesis, proliferasi endotel,
integritas membrane basalis kapiler, aliran darah kapiler, dan mengurangi
edema interstisial (Cipolla et al, 2008).
64.
65. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

66. Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses


keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalahmasalah

klien

sehingga

dapat

memberikan

arah

terhadap

tindakan

keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada


tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

a.

Pengumpulan Data

1)

Anamnesa

a)

Identitas Klien
67.

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,

bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,


asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa
medis.

b)

Keluhan Utama
68.

Pada

umumnya

keluhan

utama

pada

kasus

open

degloving yang biasanya disertai fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri


tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri
klien digunakan (Ignatavicius, Donna D, 1995):

(1)

Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi


yang menjadi faktor presipitasi nyeri.

(2)

Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan


atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk.

(3)

Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,


apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit terjadi.

(4)

Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang


dirasakan klien, bisa berdasarkan

skala nyeri atau klien

menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi


kemampuan fungsinya.

(5)

Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah


bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

c)

Riwayat Penyakit Sekarang


69.

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan

sebab dari open degloving dan fraktur, yang nantinya membantu


dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa
kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang
terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius,
Donna D, 1995).

d)

Riwayat Penyakit Dahulu


70.

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab

open degloving dan fraktur dan memberi petunjuk berapa lama


tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu
seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).

e)

Riwayat Penyakit Keluarga

71.

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit

tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,


seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f)

Riwayat Psikososial
72.

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang

dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta


respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna
D, 1995).

g)

Pola-Pola Fungsi Kesehatan

(1)

Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat


73.Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain
itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan

obat

steroid

yang

dapat

mengganggu

metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa


mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).

(2)

Pola Nutrisi dan Metabolisme


74.Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi

terhadap

pola

nutrisi

klien

bisa

membantu

menentukan

penyebab

masalah

muskuloskeletal

dan

mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat


terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang

kurang

merupakan

faktor

predisposisi

masalah

muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas


juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

(3)

Pola Eliminasi
75.Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan

pada

pola

eliminasi

uri

dikaji

frekuensi,

kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini


juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)

(4)

Pola Tidur dan Istirahat


76.Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).

(5)

Pola Aktivitas
77.Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena
ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya

fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D,


1995).

(6)

Pola Hubungan dan Peran


78.Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
(Ignatavicius, Donna D, 1995).

(7)

Pola Persepsi dan Konsep Diri


79.Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal,

dan

pandangan

terhadap

dirinya

yang

salah

(gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(8)

Pola Sensori dan Kognitif


80.Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(Ignatavicius, Donna D, 1995).

(9)

Pola Reproduksi Seksual


81.Dampak

pada klien

fraktur

yaitu,

klien

tidak bisa

melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat


inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
10)

Pola Penanggulangan Stress

82.Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan


dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11)

Pola Tata Nilai dan Keyakinan


83.Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi.
Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).

2)

Pemeriksaan Fisik
84. Dibagi

menjadi

dua,

yaitu

pemeriksaan

umum

(status

generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan


setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care
karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan
daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

a)

Gambaran Umum
85.

Perlu menyebutkan:

(1)

Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah


tanda-tanda, seperti:
(a)

Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,


komposmentis tergantung pada keadaan klien.

(b)

Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,


sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.

(c)

Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan


baik fungsi maupun bentuk.

(2)

Secara sistemik dari kepala sampai kelamin

(a)

Sistem Integumen
86. Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.

(b)

Kepala
87. Tidak

ada

gangguan

yaitu,

normo

cephalik,

simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.


(c)

Leher
88. Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.

(d)

Muka
89. Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris,
tak oedema.

(e)

Mata
90. Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (karena tidak terjadi perdarahan)

(f)

Telinga
91. Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

(g)

Hidung
92. Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.

(h)

Mulut dan Faring


93. Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

(i)

Thoraks

94. Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada


simetris.
(j)

Paru
(1)

Inspeksi
95.

Pernafasan

meningkat,

reguler

atau

tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien


yang berhubungan dengan paru.
(2)

Palpasi
96.

Pergerakan sama atau simetris, fermitus

raba sama.
(3)

Perkusi
97.

Suara ketok sonor, tak ada erdup atau

suara tambahan lainnya.


(4)

Auskultasi
98.

Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau

suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.


(k)

Jantung
(1)

Inspeksi
99.

(2)

Palpasi
100.

(3)

Nadi meningkat, iktus tidak teraba.

Auskultasi
101.

(l)

Tidak tampak iktus jantung.

Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.

Abdomen
(1)

Inspeksi
102.

(2)

Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

Palpasi

103.

Tugor baik, tidak ada defands muskuler,

hepar tidak teraba.


(3)

Perkusi
104.

Suara thympani, ada pantulan gelombang

cairan.
(4)

Auskultasi
105.

(m)

Peristaltik usus normal 20 kali/menit.

Inguinal-Genetalia-Anus
106. Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak
ada kesulitan BAB.
107.

b)

Keadaan Lokal
108.
bagian

Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta


distal

terutama

mengenai

status

neurovaskuler.

Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:


(1)

Look (inspeksi)
109. Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a)

Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun


buatan seperti bekas operasi).

(b)

Cape au lait spot (birth mark).

(c)

Fistulae.

(d)

Warna

kemerahan

atau

kebiruan

(livide)

atau

hyperpigmentasi.
(e)

Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan


hal-hal yang tidak biasa (abnormal).

(f)

Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

(g)

Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

(2)

Feel (palpasi)
110.

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi

penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi).


Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
111.

Yang perlu dicatat adalah:

(a)

Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan


kelembaban kulit.

(b)

Apabila

ada

pembengkakan,

apakah

terdapat

fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.


(c)

Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak


kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).

112.

Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi,

benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada


tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila
ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan
permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3)

Move (pergeraka terutama lingkup gerak)


113.

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian

diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat


apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan
sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan
ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini

menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau


tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995).
114.

3)

Pemeriksaan Diagnostik

a)

Pemeriksaan Radiologi
115.

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting

adalah pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk


mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray
harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca
pada x-ray:

(1)

Bayangan jaringan lunak.

(2)

Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum


atau biomekanik atau juga rotasi.

(3)

Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.

(4)

Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

116.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik

khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks

dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal
dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.

b)

Pemeriksaan Laboratorium
(1)

Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada


tahap penyembuhan tulang.

(2)

Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan


menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

(3)

Enzim

otot

seperti

Kreatinin

Kinase,

Laktat

Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST),


Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

c)

Pemeriksaan lain-lain

(1)

Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:


didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.

(2)

Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini


sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila
terjadi infeksi.

(3)

Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang


diakibatkan fraktur.

(4)

Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau


sobek karena trauma yang berlebihan.

(5)

Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan


adanya infeksi pada tulang.

(6)

MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.


117.

(Ignatavicius, Donna D, 1995)

118.

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN

MUNCUL
119. 120.

DX KEPERAWATAN

121.

NOC

122.

NIC

N
O
123. 124.

Nyeri

berhubungan
operasi
degloving

akut
dengan

post

debridement

dan

125.

NOC:

1. Manaje
-

Tingkat nyeri

Nyeri terkontrol

Tingkat kenyamanan
126.

Setelah

Kaji

karak

freku
dilakukan

bera

asuhan

keperawatan selama 4 x 24 jam,

Obse

ketid

klien dapat :

dan n
1. Mengontrol nyeri, dengan indikator :

Mengenal faktor-faktor penyebab

Mengenal onset nyeri

Tindakan

pertolongan

Pasti

pera

tepat
non

farmakologi

Guna

yang

Menggunakan analgetik

Melaporkan

gejala-gejala

kepada tim kesehatan.

respo
nyeri

terha

Nyeri terkontrol

peng

127.
2. Menunjukkan

Evalu

tingkat

nyeri,

dengan

baik

indikator:
-

Melaporkan nyeri

Frekuensi nyeri

Lamanya episode nyeri

Ekspresi nyeri; wajah

Perubahan respirasi rate

Perubahan tekanan darah

Kehilangan nafsu makan

Sedia

nyam
-

Kura

dapa

nyeri
-

Ajark

relak

sesu

128.
129. Skala :

Kolab

kese

130. 1 = tidak pernah dilakukan

tinda

merin

131. 2 = jarang dilakukan


132. 3 = kadang-kadang dilakukan

Tingk

adek

133. 4 = sering dilakukan


134. 5 = selalu dilakukan

Moni

nyeri

2. Manaje
-

135.

Tentu

pasie

sesu
-

Moni

peng
-

Moni

efek
-

Moni

Ajark
cara

peng
-

Jelas

yg d

hidup
136.

3. Pengel
-

Perik

obat,

analg
-

Perik

Pilih

bera
-

Pilih

untuk

mung
-

Moni

sesu
-

Kelol

analg
-

Evalu

analg

gejal

depr

munt

kons
-

Kolab

obat,

yg di
-

Tentu

karak

kepa

peng
-

Berik

bena
-

Doku

analg

diing
137.

138.

139.

Kerusakan

140.

Setelah dilakukan tindakan

integritas jaringan b/d

selama

faktor mekanik

meningkat dengan kriteria:


141.

hari

wound

healing

1. Wound
-

tentu

keda

luka mengecil dalam ukuran

peng

dan peningkatan granulasi jaringan.


142. Skala :
143. 1 = tidak pernah dilakukan

Cata

yang
-

Bers

bakte

144. 2 = jarang dilakukan


145. 3 = kadang-kadang dilakukan

Bilas

Laku

146. 4 = sering dilakukan


147. 5 = selalu dilakukan

Laku

Dres

sesu
148.

Laku

Perta

steril

pera
-

Ama

balut
-

Band

adan
149.
3

150.

Risiko

infeksi

b.d. prosedur invasif,


tidak

adekuatnya

151.

NOC Labels:

152.

Tak ada tanda infeksi berulang


(rubor,

kalor,

tumor,

Bata

Instru

dolor,

untuk

fungsiolesa)
-

Status respirasi dalam batas normal

Suhu tubuh dalam batas normal

WBC dan differensial dalam batas

berku

berku

pasie
-

normal

Guna

untuk

153.

Knowledge : Infection Control


154.

Bers

dipak

Kriteria hasil:

pertahanan tubuh
-

tekan
Infection
-

Immune Status

Berik

Kriteria hasil:

Cuci
dan

kepe

Menerangkan cara-cara penyebaran

infeksi dan faktor yang berkontribusi


-

Menjelaskan

tanda

dan

gejala

seba
-

infeksi
-

Menjelaskan aktivitas yang dapat

Gant

meningkatkan resistensi terhadap

centr

infeksi

deng

156.

3. Risk Control

kand

Mengakui adanya risiko

Monitor faktor risiko lingkungan.

Mengembangkan

strategi

eksposur

perubahan

Tingk

kelol

166.
167.

yang 2

mengancam kesehatan.
Mengenali

kontrol

risiko yang efektif.


Menghindari

Guna

untuk

157. Kriteria Hasil :

Perta

selam

155.

Guna

Infection
Infeksi)

status

siste

kesehatan
158.

160. 1 = tidak pernah dilakukan

162. 3 = kadang-kadang dilakukan

Moni

sepe

159. Skala :

161. 2 = jarang dilakukan

Moni

Moni

infek
-

Bata

Sarin

peny
163. 4 = sering dilakukan

Parta

164. 5 = selalu dilakukan

pada

165.

Perta

Berik

area
-

Inspe

muko

pana
-

Disku

bila p
-

Doro

caira
-

Moni
ener

Doro

dan l
-

Instru

minu
-

Ajark

tanda
-

Ajark

infek
-

Lapo

Lapo

168.
3

Monitor V
-

Pant

169.
4

Envirome
-

Bata

seda

infek
170.
5

Health ed
-

Jelas

peng

resik
-

Anjur

kese

melin
-

Ajark

peng

maka
-

Peng

tekhn
-

Ajark

Anjur

pera

munc
171.
6

Medicatio
-

Kelol

Pant

munc

antib
172.
173.
174.

DAFTAR PUSTAKA

175. Fujiwara

M,

Fukamizu

H.

Delayed

wraparound

abdominal

flap

reconstruction for a totally degloved hand. J Hand Surg 2008; 13:115-119


176. Kudsk K, Sheldon G, Walton R. Degloving Injuries of the Extremities and
Torso; The Williams & Wilkins 1981; 21:836
177. Ozgur Pilanc et al. 2013. Management of soft tissue extremity degloving
injuries with full-thickness grafts obtained from the avulsed flap
178.
179. Price, A. S. dan Wilson M. L. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Alih Bahasa: dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta: EGC
180. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004. Buku ajar ilmu bedah, edisi 2.
Jakarta: EGC
181. Wojcicki P, Wojtkiewicz W, Drozdowski P. Severe lower extremities
degloving injuries-medical problems and treatment results. Polski
Przeglad Chirurgiczny 2011;83(5): 276-282
182. Yorganci, K, Atli M, Kayikci, A, Kaynaroglu V. Closed degloving injury
complicated with paraplegia. Turkish J Trauma Em Surg 2002;8:118-119
183. Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach, W.B. Saunder Company, 1995.
184.

You might also like