You are on page 1of 83

ISSN 2527-8878

VOLUME 1

NOMOR 1

JULI 2016

JURNAL
EKONOMI
KESEHATAN
INDONESIA
THE INDONESIAN JOURNAL OF
HEALTH ECONOMICS ( I J H E )
TEMBAKAU ANCAMAN
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Peoples Support on Sin Tax to Finance UHC in Indonesia, 2016 h. 1
Application of Decision Analytic Model in Health Economic
Evaluation: Smoking Cessation Cases h. 23

JURNAL
EKONOMI
KESEHATAN

INDONESIA

Volume 1
Nomor 1
Juli 2016
ISSN 2527-8878

PREFACE
Dear colleagues: health economists, economists, health professionals, and all others who are
interested in knowing the Indonesian health system and contributing to improve access to quality of
care to all Indonesians.
The field of health economics is progressing rapidly in the last 50 years due to increasing
World commitment to provide universal access to essential health services. The uniqueness of health
care is often ignored in developing countries resulting in poor performance of health care and deep
inequity across income groups in particular. The three main characteristic of health care: uncertainty
of needs, wide information asymmetric, and externality make health care the most complex system.
The unique characteristics of health care make the market mechanism generally fails to produce
efficient health care system. However, there are rooms within the health care sub systems where
market mechanisms still contribute significantly.
Limited resources available for health and increasing demand for health care are the most
chal-lenging for economists and policy makers to ensure essential health care for everyone.
Increasing re-sources dedicated for health care created increasing innovations of new technologies in
health care. The advances of communication and information technologies created new human
behavior that promote and demote healthy lives. Unfortunately the ability of people, especially in
developing world, in distin-guishing good and bad information creates new public health challenges.
Poor health behaviors pro-duce higher costs of health care in the future, especially of noncommunicable diseases. On the other hand, there is increasing trend to cover essential health care.
Health economists and policy makers are challenged to maintain dynamic balance between limited
resources and the appetite to provide access of essential health care to everyone in the World.
In Indonesia, we just entered a new era of the implementation of the National Health
Insurance called Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) in Indonesian language. The JKN promotes
massive reforms in hospital managements, drugs and medical device managements, human resource
managements, and many other aspects of the Indonesian health system. The execution of prospective
payment (capitation and case mix based groups) nation wide has ignited massive reform in health
care managements. A unit of health technology assessment has been established under the Ministry of
Health to objectively assess new health care technologies to be covered under the JKN. The war on
tobacco in which the country is divided into two factions: one promotes tobacco consumption while
the other fights for tobacco con-trol, will affect the JKN. Thorough economic analyses are required to
ensure the equitable health care in the historically low spending health care.
The ensure that all of us could communicate effectively in conducting economic analyses and
developing new policies that improve our health system, this Indonesian Journal of Health Economic
(IJHE) is introduced. Other health economists and health professionals out side Indonesia may also
use this Journal to learn from or to provide lessons to Indonesia.
We hope, everyone could benefit from and contribute to this IJHE.
Hasbullah Thabrany

JURNAL
EKONOMI

Volume 1
Nomor 1
Juli 2016

KESEHATAN

INDONESIA

ISSN 2527-8878

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia merupakan jurnal yang menyajikan artikel ilmiah
tentang pengetahuan dan informasi penelitian atau riset mengenai perkembangan terkini
di bidang ekonomi kesehatan.
Penanggung Jawab Umum
Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH., DrPH
Ketua Dewan Redaksi
Kurnia Sari, SKM, MSE
Wakil Ketua Dewan Redaksi
Eka Pujiyanti, SKM, SE, MKM
Anggota Dewan Redaksi
Prof. Dr. dr. M. Alimin Maidin, MPH. (UNHAS)
Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., PhD. (UGM)
Dr. Djazuli Chalidyanto, SKM, MARS (UNAIR)
Dr. dr. Henni Djuhaeni, MARS (UNPAD)
Dra. Chriswardani Suryawati, M.Kes (UNDIP)
Redaktur Pelaksana
Ary Dwiaji, SKM
Unun Khamida Qodarina, SKM
Sekretaris Redaksi
Rosyuliani
Penerbit
Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS)
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Gedung G Lantai 3 Ruang 311, Depok 16424
Telepon/Faks: (021) 12345678
E-mail: info.cheps@or.id
Website: www.cheps.or.id/jurnal-eki
Desain sampul: Amita Paramal Dini

JURNAL
EKONOMI

Volume 1
Nomor 1
Juli 2016

KESEHATAN

INDONESIA

ISSN 2527-8878

PEDOMAN PENULISAN
Dalam mengajukan naskah ke Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia
(Jurnal EKI) penulis sebaiknya mengetahui bahwa naskah harus
ses-uai dengan syarat desain penulisan Jurnal EKI. Naskah yang
tidak me-menuhi persyaratan dari desain penulisa Jurnal Ekonomi
Kesehatan Indonesia akan dikembalikan ke penulis untuk direvisi.
Judul
Halaman Judul sebaiknya menyantumkan:

Judul Naskah tertulis sebaiknya tidak lebih dari 20 kata, tidak


ada singkatan atau nilai-nilai numerik.

Tulis nama pengarang dengan lengkap tanpa menyantumkan


gelar pendidikan atau profesi.

Tulis affiliations dari semua pengarang termasuk: nama


departe-men, institusi, kota, profinsi, dan Negara.

Judul singkat untuk pada sudut halaman, tidak lebih dari 50


karakter dan spasi,
Abstrak
Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan
dengan batasan maksimal 200 kata mencakup masalah, tujuan,
metode, hasil, dan pembahasan bersama dengan 3-5 kata kunci.
Bagian Utama
Naskah ditulis menggunakan double spaced dengan pengaturan
semua margin 1 inch atau 2,54 cm dan dibatasi maksimal 20
halaman. Setiap halaman naskah diberikan nomor halaman secara
berurutan, dimulai dari halaman judul.

Pendahuluan berisi latar belakang, ulasan singkat dari literatur


yang relevan dan tujuan penelitian

Metode berisi desain penelitian, populasi, sampel, sumber data,


teknik / instrumen pengumpulan data, dan prosedur analisis data.

Hasil adalah penemuan dari penelitian yang jelas dan ringkas


tan-pa opini dari penulis.
Pembahasan berisi argumentasi akan hasil penelitian
berdasarkan teori dan penemuan sebelumnya yang relevan.

Kesimpulan dan Saran menjawab masalah penelitian tetapi tidak


melebihi kapasitas dari hasil temuan. Saran seharusnya sesuai

dengan tujuan dan kesimpulan yang logis dan tepat.


Referensi, Tabel, dan Gambar
Setelah bagian utama pengarang harus menyantumkan: Referensi/
Daftar Pustaka, Tabel, Gambar. Gambar yang dicantumkan harus
juga disertakan file asli secara terpisah dari naskah.

Tabel diketik 1 spasi dan diberi nomor urut sesuai dengan


urutan penampilan dalam teks. Jumlah maksimal 6 tabel dan
atau gam-bar dengan judul singkat.

Daftar Pustaka ditulis menggunakan Harvard styles. Citasi


han-ya publikasi ilmiah yang anda baca dan referensi jurnal
saat ini. Cantumkan enam nama belakang dan inisial nama
depan dari penulis, jika ada penulis lainnya dapat dicantumkan
dengan "et al (et al)".

Huruf pertama dari judul daftar pustaka ditulis dengan huruf


ka-pital lainnya dengan lowercase, kecuali nama seseorang,
tempat, dan waktu. Judul tidak digaris bawah dan cetak tebal.

Sistem Harvard menggunakan urutan pemunculan berdasarkan


nama penulis secara alfabetis. Publikasi dari penulis yang
sama dan dalam tahun yang sama ditulis dengan cara
menambahkan huruf a, b, atau c dan seterusnya tepat di
belakang tahun publikasi (baik penulisan dalam daftar pustaka
maupun sitasi dalam naskah tulisan).

Contoh Daftar Pustaka:


Jurnal Artikel Penulis Individual:
Zainuddin AA. 2010. Policy management of transport-related air
qual-ity in Jakarta Province. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional. 4 (6): 281-8.
Jurnal Artikel Penulis Organisasi:
Diabetes Prevention Program Research Group. 2002. Hypertension,
in-sulin, and proinsulin in of participants with impaired glucose
tolerance. Hypertension 40 (5): 679-86.
Buku yang ditulis Individual:
Murray PR, Rosenthal KS, Kobayashi GS, Pfaller MA. 2002.
Medical microbiology. 4th ed. St. Louis: Mosby.
Buku yang ditulis Organisasi dan Publisher:
Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Department of Clinical Nursing. Compendium of nursing research and practice development, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001.

Bab dalam Buku:


Meltzer PS, Kallioniemi A, Trent JM. 2002. Chromosome Alterations in
Solid Tumors Human. Vogelstein B, Kinzler KW, editors, in The Genetic Basis of Human Cancer. New York: McGraw-Hill, p. 93-113.

Hal dari Hukum atau Peraturan:


Republik Indonesia, 2004. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaram Negara Republik Indonesia No. 4437) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Perda)(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No. 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4844). Jakarta.

CD-ROM:
LeBlanc, Susan, and Cameron MacKeen. 1992. Racism and the
Landfill. The Chronicle-Herald.B1. CD-ROM. SIRS 1993 Ethnic
Groups. Vol. 4. Art. 42.
Jurnal Artikel di Internet:
Nielsen, Laura Beth. 2002. Subtle Pervasive, Harmful: Racist and
Sexiat Remarks in Public as Hate Speech. Journal of Social Issues
58. 2 (2002): 265
Buku di Internet:
Foley KM, Gelband H, editors. 2001 . Improving Palliative Care
For Cancer [Monograph on the Internet]. Washington: National
Acad-emy Press [cited 2002 Jul 9]. Available from: http: // www.
nap.edu/ books/0309074029/html/.
Ensiklopedia Internet:
Duiker, W.J. Ho Chi Minh. 2005. Encarta Online Encyclopedia. Microsoft. 10 Oct 2005.<http://encarta.msn.com/encyclopedia_761558397/
Ho_Chi_Minh.html>.

Website:
Gearan, Anne. 2002. Justice Dept: Gun Rights Protected.
Washington Post [8 May 2002]. SIRS. Iona Catholic Secondary
School, Mississauga, ON. 23 Apr. 2004 <http://www.sirs.com>
Naskah dapat dikirimkan ke: Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan
Kesehatan, Gedung G Lantai 3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424. Tel & Fax: (021)
7875576 or e-mail: info@cheps.or.id atau arydwiaji@cheps.or.id

JURNAL
EKONOMI

Volume 1
Nomor 1
Juli 2016

KESEHATAN

INDONESIA

ISSN 2527-8878

DAFTAR ISI
1

12

Peoples Support on Sin Tax to Finance UHC


in Indonesia, 2016
Hasbullah Thabrany, Zahrina Laborahima
A Comparative Budget Requirements for TB
program based on Minimum standard of
Services (SPM) and Budget Realization: an
Exit Strategy Before Termination of GF ATM
Ery Setiawan, Purwa K Sucahya,
Hasbullah Thabrany, Kalsum Komaryani

23

Application of Decision Analytic Model


in Health Economic Evaluation: Smoking
Cessation Cases
Septiara Putri

39

Evaluasi Pengadaan Obat Publik Pada


JKN Berdasarkan Data E-Catalogue
Tahun 2014 - 2015
Ary Dwiaji, Prih Sarnianto, Hasbullah
Thabrany, Muhammad Syarifudin

54

Biaya dan Outcome Hemodialisis di


Rumah Sakit Kelas B dan C
Firda Tania , Hasbullah Thabrany

65

Terapi Sistemik Defisit JKN: Bahan Refleksi

Bagi Semua Pihak


Budi Hidayat

Peoples Support on Sin Tax to Finance UHC in


Indonesia, 2016
Hasbullah Thabrany1, Zahrina Laborahima2
Contact: hasbullah.thabrany@cheps.or.id
Submitted on July 10, 2016. Reviewed July 22, 2016, and accepted on July 25, 2016

Abstract
Indonesia has the highest prevalence of smokers with 67% of adult males were smokers. Smoking
prevalence among all adults increased sharply from 27% in 1995 to 36.3% in 2013. High consumption of
cigarettes has been correlated with low price and excise of cigarettes. Experiences from other countries showed
that one of the most effective way to reduce cigarette consumption is by increasing cigarette price and excise.
Burden of tobacco related diseases has increased. The health burden will increase claims of JKN or Universal
Health Coverage which currently has claim ratio of 115% and the quality of care remain low.
The difficulties in collecting contribution from non salaried workers are blamed to contribute the deficit.
Many countries have earmarked cigarette excise to supplement financing of (UHC) both in tax-funded
system or in social health insurance system. The question is do people support? This study explored the
possibility the peoples support to increase cigarette prices and excise to meet financial shortage of the JKN.

Objectives
This polling conducted to explore cigarette consumption and supports of price increase to finance
JKN or UHC.

Methods
This study used telephone polling conducted form December 2015 to January 2016. The sample
(n=1,000) was randomly selected using systematic random by the interval of 20,000 of mobile phones
numbers. Analysis is focused on how various groups support incrasing cigarette prices and excise. The
final analysis is logistic regression to assess any difference in supporting the excise increase.

Results and Discussion


The polling (65.9% males and 3.3% females) showed 41.3% respondents consume 1-2 pack cigarette per day with spending of IDR 450 600 thousands per month. In total, 80.3% respondents support
increasing cigarette price and exice to supplement health financing of JKN. The proportion of non
smokers who supported the earmarking was higher (83.4% ) compared to smokers (75.9%), but the
difference is not significance in the final model. The proportion of smokers who know that cigarette is
harmful reached 96.8% but the large majority of them had difficulties to quit smoking. There are plenty of
room to mobilize money through increasing price and excise of cigrettes since more than 72.3% of
smokers said that they would stop smoking if the price of cigarette is above IDR 50,000 per pack; far
above current prices. If the prices of cigarettes are double and the excise level reaching maximum
allowable levels, there is potential to increase revenue up to IDR 70 Trillion that is almost equivalent to
estimate all claim of JKN in 2016. In the logistic model, all groups of respondents unanimously support
increasing prices and excise of cigarettes to finance JKN.

Conclusion
The prevalence of cigarette smoking is high because of prices of cigarette is relatively cheap and the
excise levels have not reduced consumption. This study found that large majority (80%) of non smokers and
76% smokers supported increasing cigarette prices and excise to supplement financing for the JKN.
The potential money to supplement JKN is double of the current revenue of JKN.

Key Words :
Cigarette Excise. National Health Insurance. JKN. UHC. Tobacco Control. Health Financing. Sin Tax,
Earmarked.

1.
Chair, Center for Health Economics and Policy Studies, Universitas Indonesia (CHEPS
UI) and Chair of the Indonesian Health Economists Association (InaHEA) 2013-2016.
2.
Research assistant at the CHEPS UI

Support Sin Tax

Thabrany & Laborahima

Background
Smoking cigarette is the highest risk factor for non-communicable diseases (NCDs) in Indonesia resulting in 217,400 deaths annually in Indonesia. The Ministry of Health (MoH) reporet-ed
that the prevalence of smoking conutinued to rise in Indonesia from 27% in 1995 to 36.5% in 2013. It
is estimated that as many as 70 million males are currently active smokers. The prevalence of
smoking among females increased faster from 1.7% in 1995 to an estimate of 6.7% in 2015.
More alarmingly, the prevalence of smoking among youths (15-19 years) increased from 7.1% in
1995 to 20.5% in 2013 (MoHa, 2014). The prevalence of youth smoking in Indonesia is the highest in the World reaching 18.3% in 2014 (MoHb, 2014). The World Health Organization (WHO)
forcasted that the prevalence of smoking in Indonesia will increase to 45% in 2025 (WHO, 2015)
unless significant tobacco control actions are implemented. One of the most signifant factors
con-tributing to high smoking rates is the price of cigarettes is relatively cheap.
The increase prevalence of smoking has been confirmed with the increase of cigarette
production. The Fiscal Agency of the Ministry of Finance reported production of cigarettes has
increased from 222.7 billion sticks in 2005 to 348 billion sticks in 2015. Accordingly, the excise
revenues increased from IDR 32.6 Trillion in 2005 to IDR 139.6 Trillion (US$ 1 = IDR 13,500 in
2016) (FA MoF. 2016). On average, every Indonesians, including newly born baby, consumed
1,365 sticks of cigarettes in 2015. The total money spent for cigarettes in 2015 was about IDR
330 Trillions or USD 24.5 Billions. While the total government expenditure on health was only
IDR 71.1 Trillions or USD 5.3 Billions in 2015 (MoF, 2015). It means that the excise and prices
of cigarettes had not effectively controlled cigarette consumption in Indonesia. The fight to control consumption of cigarette becomes piercer when the Minister of Industry launch a roadmap of
tobacco industry to increase cigarette production from 348 billions sticks in 2015 to 524 billions
sticks by 2020 (MoI, 2015).
While to risks of tobacco related diseases are increasing and the consumption of cigarettes
increased significantly, the country launched the first implementation of the National Health Insurance (Jaminan Kesehatan Nasional or JKN) in January 2014. The insurance mechanism, instead of
tax funded system, to establish Universal Health Coverage (UHC) in Indonesia is based on the
philosophy that everyone should be responsible for financing health care using solidarity principle.
The Government has not been viewed as the sole responsible for financing health care in Indone-sia.
The JKN is financed from 5% payroll tax and the Government subsidies for the low income.
The informal sector who do not have monthly salary pay a nominal amount that they can choose one
of three premiums depending on the class of hospitalization they choose (Thabrany, 2016). The JKN
aims at covering 100% of the population by 2019 (DJSN, 2012). By April 2016, the JKN already
covered 166 million people (65% of the population) under a single database (Idris, 2016).
It is the largest single payer health care in the World, in term of population coverage.
In the last two years, the JKN experienced increasing claims from Non Communicable
Diseases, especially from tobacco related diseases. The JKN paid 22% of the total claim for four
chronic diseases (cardiovascular, renal failure, cancer, and stroke) related to cigarette consumption
(Moeloek, 2016). In the first two years, the JKN suffered from deficit due to shortage of revenues
from contributions. Hidayat (2016) reported that the revised claim ratios of JKN of 111.5% in 2014
and 115.1% in 2015, signaling significant deficits of JKN. The shortfall of the JKN funds were
mainly due to unmet adequacy requirement of contributions, as the ideal contribution calculated by
the Ministry of Health for low income in 2016 is IDR 36,000 per capita while the Government

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

Volume 1, Nomor 1

allocated only IDR 23,000 per capita per month (Moeloek, 2016). With the shortfall is predicted
to continue, the sustainability of JKN is being questioned. One of the viable solution, as it has
been practiced in many other countries, is to mobilize fund from cigarette excises and
earmarking the revenue to finance universal health coverage (UHC) or JKN.
However, controversies about raising cigarette excises as a dual purpose, to control
tobacco uses and to raise fund for the JKN continue in Indonesia. Some politicians, Government
officials, and academics strongly recommend the governmant to fill the financial gap of the JKN
with rising cigarette taxes while some other Goverment officials and the industries against such
notion. Since, the smokers who actually pay excises this study was conducted to explore how far
the people and the smokers support raising cigarette prices and excise to finance JKN.

Objectives
The main objective of this study is to obtain information on how far the public, both
smok-ers and non smokers, support raising cigarette excise to fill the financial shortage of the
JKN. Other objetives include collection information of the profiles of current smokers by various
social and economic variables and the levels of prices of cigarettes that smokers consider to stop
smoking to expand fiscal space.

Method
This study uses survey method of telephone polling to adult Indonesians. The data collec-tion
was conducted in December 2015 through January 2016. The initial sample was drawn from a
random mobile telephone number and then the subsquent number was called with the interval of
20,000 (systematic random sampling). If the respondent was not eligible and refuse to
participate, then the interviewer dialed the subsquent numbers until 1,000 respondents were
interviewed. The interviewers were trained to conduct telephone interviews using a set of
questionnaires special-ly developed to meet the stated objectives. Respondents were asked to
choose an answer of 2-5 choices for each variable, depending on variable of interests. A pre-test
of the questionnares was conducted to ensure that the interview would not last more than 10
minuers and the respondents understood the questiones clearly. The inclusion criteria were age
above 12 years (to ensure under-standing of the questions) and agreed to participate. Data
collected then entered into a statistical database and analyzed to examine the effect of JKN
membership, smoking status, age, gender, eduation, and monthly income on the preference or
support the raising cigarette excises to supple-ment financing of the JKN. A logistic regression
was finally conducted to examine various correla-tion on the support of raising cigarette excises.

Results and Discussions


Characteristics of smokers and JKN members
We polled 1,000 respondents via telephone systematically consisting of 610 males and 390
females age 14-78 years. The average age was 32.9 years (SD 11.75 years). The respondents came
from 34 provinces. The majority of respondents (50.7%) graduated high school and 24.3% had at
least one year university education. The majority of respondents (38.8%) reported earning IDR 1-3
millions per month followed by earning of IDR 3-10 millions (35.5%). Only 2% respondents
reported earning above IDR 20 millions per month. The majority of respondents were privately

Support Sin Tax

Thabrany & Laborahima

employed (26.2%), 21% self-employed, and 6.8% government employees. Although in total 59% of
respondents were members of the National Health Insurance (JKN); only 13.2% were recipients of
the Government subsidies (low income or Penerima Bantuan Iuran (PBI). So, the PBI members are
underrepresented in this poll. The majority of the JKN members responded of this poll was of the
self-employed group (PBPU members) which is blamed as the main contributors of the current
deficit. About two-third of self employed register to JKN when they were suffering from diseases
and higher proportion of them are active smokers (CHEPS, 2016). In addition, this PBPU group who
has problems in paying contribution routinely. Therefore, this finding has more signifant finding to
mobile fund through sin tax (cigarette excise) to finance the JKN. Instead of paying ad-ditional
contribution for their higher risks to coventional channels, directly pay to BPJS Kesehatan or via
ATM, the smokers pay additional contribution through a sin tax.
Overall, 41.3% of respondent were smokers with 20.3% of respondents smoked 1-2 packs
per day. Relatively lower frequency of JKN members smoked every day, but the difference was not
significant. The prevalence of smokers among PBI members of JKN was a slightly lower (36.4%)
compared to the other two groups with more than 41% are smokers. The prevalence of smokers were
relative higher among respondents age 31-50 years with 24.8% of respondents smoked 1-2 packs
daily. The highest prevalence of smoking 1-2 packs daily (29.4%) was among elder people age 61
years and above, doubling their health risks. Middle education (6-12 years) seemed to cor-relate
higher prevalence (21.9%) of smoking 1-2 packs per day compared to low and high educated
respondents. The low income respondents (with monthly income of less than IDR 1 million per
month) seemed less likely to smoke 1-2 packs daily, but they smoked less than one pack daily.
Among JKN members, only 38.6% of them perceived that current cigarette prices is expensive signaling that the current JKN members are relatively having high income. But, the proportion of PBI members who perceived prices of cigarettes were expensive was the high (61.2%)
confirming they were low income individuals. The majority of employees perceived cigarette pric-es
were not expensive, rather there were moderate expensive. Ages were correlate negatively with
perception of cigarette prices. The higher the age, the lower the proportion of respondents who
perceived cigarette prices were expensive. Similar correlations were also found with education and
income. The higher the education and the higher the income the lower the proportion of smokers who
perceived cigarette prices were expensive. Thus, the increasing smoking rates could be at-tributed to
higher income and therefore this study confirm many other studies signaling that the price cigarette
in Indonesia decreasing as the income increase (WHO, 2016).
The most smoked cigarettes were of Sampoerna brand with almost half (45.5%) smokers
mentioned the brand. The second most smoked cigarettes were of Gudang Garam brand (20.2%)
followed by Djarum (11.8%). Marlboro, the most common compared prices were smoked by
8.4%, while other international brand (Dunhill) were smoked by 3.8% of smokers. Only 1.9% of
smokers reported smoked various brands interchangeably. The distribution of the most smoked
brands is in accordance with the market report such as Sampoerna (owned by Philip Morris
International) received highest sales of IDR 80.1 Trillion in 2014 (Sampoerna, 2015), offsetting
cigarette lowere sales in Asia (PMI, 2015). Compared to the MoH budget, the sales of only
Sampoerna in 2014 was almost double of the MoH budget.
We explored the characteristics of smokers to be able to understand their behavior in consuming cigarettes and we found overall 49.1% of smokers, smoked 1-2 packs a day with the mode of
spending between IDR 450,000 IDR 600,000 per month. This amount of money spent for

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

Volume 1, Nomor 1

cigarette could cover contribution for 5-7 persons of JKN of non salaried workers. It is highly
potential to mobilize this money to finance JKN by increasing prices and excise and earmarking
for JKN (sin tax). When coupled with their perception of cigarette is harmful and difficulties
to quit, the increasing prices could help both the smokers to quit and the JKN to improve
financial gaps and the quality of services. As high as 96.8% smokers know that cigarette is
harmful and 62% confessed that they had difficulties to quit smoking, indicating that they are
addicted. What we need is to convince legal and policy makers to provide strong regulation,
revising current excise law to increase excise rates on cigarettes and to include earmarking excise
for JKN. However, fur-ther studies are needed to know the level of supports by legal and policy
makers. If the legal and policy makers support the notion, then the deficit of JKN can be solved.
When we dig deeper, there were slightly higher proportion of JKN members who smoked
1-2 packs daily and spent up to IDR 600,000 per month. More interestingly, more than half of
PBPU (peserta bukan penerima upah) members (50.4%) who are not employed and having difficulties to pay contribution spent up to IDR 600,000 per month for cigarettes. On the other hand,
a study of PBPU reported that members of JKN who are smokers had higher probability to lapse
membership by more than 6 months (CHEPSUI, 2016). The proportion of elderly (60 years and
older) who smoked 1-2 packs a day was the highest (71.4%) and 100% of them were aware that
smoking is harmful. The elderlies have much higher risks of NCD and higher consumption of
health care. Instead of blaming the PBPU members and the elderlies of consuming more health
care, because they are relatively sickers, it is legitimate to indirectly push them to pay more.

Earmarking Revenues for JKN


Paying more contribution indirectly, by raising cigarette prices and exice, and earmarking
or dedicating the excise revenues for health care under JKN is plausible. Charging higher
contribu-tion directly for smokers, such as has been practiced in commercial insurance, is almost
impossible since in the social health insurance (JKN), such underwriting is not appropriate. But,
the idea to partially punish smokers (poor health behavior) with higher contribution is valid.
Many groups of people already voiced such notion. Even, the cigarette industries have been
using special in-surance for smokers, asuransi perokok by charging higher prices and then
established special insurance for the smokers to influence policy makers. But, their move is
motivated foolish the public by camouglaging their good behavior of insuring smokers. In the
end, they will use this insuring smokers to convince people to smoke more. Certaintly,
establishing special insurance for smokers by charging higher prices contradicts with the current
BPJS law. It is not good idea and may not be implemented.
Earmarking excise and tax revenues from harmful consumption is well-known as sin taxes. Sin tax has been practiced in many countries for long time. The World Health Organization
(2016) just recently published a report providing various model of earmarked sin tax of tobacco in
nine countries. In the WHO report, the highest ecxise as percent of retail prices is charged by Egypt
with 73.3% of cigarette price goes to tax, followed by Thailand (66.59%) and the Philippine
(63.55%). The World Bank (2016) also encourages Indonesia to raise and to simplify cigarette excise.
In Indonesia, exices vary in 12 tier prices with an average only 35.1% and the highest was
46.3% in 2015. In addition to excise, since 2014, Indonesia has earmarked sin tax taken 10% of
excise revenue for local government, known as cigarette tax with the requirement to allocate at least
50% of the tax must is allocated for health (MoFRI). Jeremias Paul (2016) reported that since 2012,
the Philippine has implemented sin tax with 80% of incremental revenue goes to the NaSupport Sin Tax

Thabrany & Laborahima

tional Health Insurance Program (PhilHealth), MDGs, and Health Awareness program, while the
remaining 20% goes for medical assistance and health facility enhancement program. This good
and latest example of the Philippine sin tax reform may be good lessons for Indonesia as
Indonesia also followed the Philippine in the single payer NHI system.

Raising Cigarette Prices and Excise to Finance JKN


The ideas of mobilizing and using excise revenues to finance fully or partially from
excise has been on the public table for quite some times. However, debates continues whether
rasing excise (and therefore prices) of cigarette is the viable option? Even a member of the
House of Representative (DPR), Misbakhun, against increasing excise arguing that high excise
will increase unemployment (Medansatu, 2016). Such argument is naive, since the demand for
cigarette is in-elastic (Hidayat, 2011; USAID, 2013).
In this study, we explore how far the smokers will stop smoking if the price increase. Although our current Excise law of 2007 limit excise rates to 57% and we not reached such level,
the price of cigarettes can be increased so that the revenues from excise can be double. Overall,
72.3% of all smokers said they woud stop buying cigarettes if the prices of cigarettes are above
IDR 50,000. Only 14.5% smokers would stop smoking if the prices of cigarettes are greater than
IDR 25,000 while 13.3% of smokers said they would stop smoking if the prices of cigarettes are
more than IDR 35,000.
Table 1. Willingness to STOP Smoking by Prices of Cigarettes, 2016
> IDR 25,000
per pack
All Smokers
JKN Membership
Non members

> IDR 35,000 >IDR 50,000


per pack
per pack

14.5

13.3

72.3

16.6

15.5

67.9

12.7

11.4

75.9

16.3

14.3

69.4

PPU

11.8

14.1

74.1

PBPU

14.9

12.8

72.2

Age
<30 years

18.1

13.8

68.1

30 40 years

9.6

13.0

77.4

41 50 years

16.7

12.5

70.8

51 60 years

10.0

13.3

76.7

> 60 years

28.6

14.3

57.1

15.4

7.7

76.9

6 -12 years

16.6

14.5

68.9

> 12 years

7.5

10.8

81.7

21.3

8.2

70.5

1 3 millions

17.1

15.3

67.6

3 10 millions

11.8

13.2

75.0

12.5

87.5

Members
Types of JKN members
PBI

Education
< 6 years

Monthly Income (IDR)


<1 millions

> 10 millions

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

Volume 1, Nomor 1

Considering current (2016) cigarettes prices range from IDR 12,000 20,000; we have
plenty of rooms to increase prices and excise. The willingness to stop smoking due to prices is in
line with economic theory of price and income elasticities. Unanimously, findings from
economic studies everywhere in the world show that demand for cigarette is price inelastic
(Hidayat, 2011; USAID, 2013; World Bank, 2016)). Most economists, policy makers, and health
professionals agree that the inelastic demand for cigarettes, with respect to the prices and
incomes, was due to additictive natures of nicotine. Hidayat and Thabrany (2010) proved the
addictive behavior using econometric modelling that the demand for cigarettes.
We explore more on this correlation of would stop smoking due to higher prices of cigarettes by analyzing various independent variables. Boths smokers and non smokers agreed that
certain level of high prices will eventually pushed to smokers to reduce or stop smoking. Therefore, the prices of cigarettes in Singapore, Malaysia, and Timor Leste are set high by the government to increase the government revenues, to reduce smoking prevalences especially among low
income and teenagers, and the cigarette industries continue to enjoy profits. We found all groups,
JKN members and non members, across the types of JKN members, across age groups, across
education groups, and across income groups, unanimously (more than 70%) agreed that the price
of a pack of cigarette above IDR 50,000 could stop smoking (Table 1). That level of price is
about three time more than the current average price.
The economic theory suggests that if consumers are willing to pay a certain prices, setting
price below that level will cause welfare loss. The industries and the government can set double the
current prices, say to be IDR 30,000 on average100% increase, using the known price elas-ticities
of -.39 (WHO, 2011), the cigarettes sales will reduce 39%. If current volume of cigarette
consumptions (it was 341 billion sticks in 2015) than the total consumption will reduce to 208
billions sticks. But, the total volume of business of cigarette will increase. For a simple aritmatic
modeling, if the current price of cigarette per stick is IDR 1,000; the total volume of bussines is
IDR 341 Trillion (341 billion sticks x IDR 1,000). If the price is increased double to IDR 2,000
per stick, consumption will reduce to 208 billion sticks. But, the total business will increase to
208 B x IDR 2,000 = IDR 416 Trillion. If the excise rates are increased to an average of 50%
(from current 43%), then the government revenue from excise increase from IDR 139.8 in 2015
to IDR 208 Tril-lion. The industries will enjoy higher gross revenues (total volume minus excise)
of IDR 208 Tril-lion. This is a win-win solution in tobacco control that the FCTC urges member
countries to adopt raising cigarette excise. The only loosers are the smokers. But, that is the idea
of tobacco control and the principle of responsibilities. The smokers increase their health risks
then they should pay more to handle their risks, as JKN members. As mentioned earlier, almost
all smoker (more than 96%) knows that smoking is harmful for health. If they know that their
behavior is harmful, and they are willing to pay more by rasing cigarette prices, then the
government policy should simply use it to finance the deficits of JKN. Please note that the
current deficit of JKN is actually for low quality of JKN (Thabrany, 2016).
To continue exploring public support to pay higher prices of cigarettes to suplement the
JKN fund, as has been practiced in many countries, we asked the respondents (smokers and non
smokers) of their agreement on rasing cigarette prices and earmarking.

Support Sin Tax

Thabrany & Laborahima

Table 2 Proportion (%) of Respondent Who Aggreed and Disgreed on Raising Prices
and Excise of Cigarettes to Financing of the National Health Insurance, 2016
Disagreed (%) Agreed (%) p
Smoking
Non smokers

16.5

83.5

Smokers
JKN membership
Non member

24.0

76.0

20.7

79.3

Member
Types of JKN Membership
PBI
Employed (PPU)
Self-employed (PBPU)
Age
<30 years
30 40 years
41 50 years
51 60 years
> 60 years
Education
< 6 years
6 -12 years
> 12 years
Reported monthly inome (IDR)
<1 millions
1 3 millions
3 10 millions
> 10 millions

18.9

81.1

18.3
17.9
20.5

81.7
82.1
79.5

0.797
0.793

15.1
22.9
24.8
23.4
23.5

84.9
77.1
75.2
76.6
76.5

0.012
0.013
0.120
0.423

15.2
19.4
21.3

84.8
80.6
78.7

0.193
0.167

20.8
18.2
19.1
25.9

79.2
81.8
80.9
74.1

0.272
0.345
0.579

0.005

0.989

As shown in Table 2, the vast majority (above 80%) of respondents in various groups
agreed to raise cigarette prices and exice to meet financial gap of JKN. Higher proportion
(83.5%) of non smokers significantly agreed to raise cigarette prices compared to smokers
(76%), p=0.005. Even that, 76% of smokers agreed to raise cigarette prices. This finding is a
diamond for public policy in improving our health care while reducing poor health behavior. The
people support the government to improve their health and to assist them to reduce their poor
health behavior. This a win-win policy of health promotion and health prevention while
increasing fund for health care of the people. In addition, there is the third win, which is the
government will get high reputation from the public to improve the access and quality of health
care from the money mobilized through higher excise on tobacco.
In the bivariate analysis, we found differences in the level of supports in raising cigarette
exices to finance JKN between smokers and non smokers and between the middle ages (30-50
years) with other ages. However, across income and education levels, we found no significant
difference. This is a very good news for the government, for the legal makers (DPR), and for the
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

Volume 1, Nomor 1

tobacco control activists. This finding is line with studies everywhere in the world and suggest
that the Government should not worry and should not concern with the voice of industries in
signing or accessing FCTC.
In the final model, the logistic regression, we applied the probability of supporting higher
cigarette prices and exice across various groups. As shown in Table 3, we found no diferrent at
all among all groups. This finding, again, gives strong evidence that the President pledge of
raising 200% excise revenues by 2019 (Nawa Cita, 2014) is fully supported by the public.
Table 3 Logistic Regression Model on the Agreement to Raise Cigarette Prices and
Excise to Finance JKN, 2016
S.E.

Sig.

Exp(B)

95% C.I.for EXP(B)


Lower Upper

-.451 .166

.006

.637

.460

.881

.003

.207

.989

1.003

.668

1.506

.077 .300
-.075 .285

.797
.793

1.080
.928

.600
.531

1.946
1.621

-.490
-.578
-.519
-.476

.195
.234
.333
.595

.012
.013
.120
.423

.612
.561
.595
.621

.418
.355
.310
.194

.897
.887
1.144
1.993

-.565 .434
-.640 .463

.193
.167

.568
.527

.243
.213

1.330
1.307

.263
.236
-.182
2.345

.272
.345
.579
.000

1.301
1.266
.833
10.432

.813
.775
.438

2.083
2.068
1.587

B
Smoking
Smokers
(ref: non smokers)
JKN Members
(ref: non members)
Types of membership (ref: PBI)
PPU
PBPU
Age (ref: <30 years)
30 40 years
41 50 years
51 60 years
> 60 years
Education (ref: < 6 years)
6-12 years
> 12 years
Income (ref: IDR < 1 millions)
1 3 Million
3 10 Million
> 10 Million
Constant

.240
.250
.329
.537

Conclusions and Recommendations


A poll of Indonesian was taken early in 2016 comprising of 1,000 adults 59% members of
JKN. The polling showed 41.3% respondents consume 1-2 pack of cigarettes per day wasting up to
IDR 600 thousands per month per smokers. Almost all smokers (96.8%) know that ciagarette is
harmful for their health. More than 72.3% of smokers said that they would stop smoking if the price
of cigarette is above IDR 50,000 per pack; far above current prices. If the prices of cigarettes are
doubled and the excise level reacing maximum allowable levels, there is potential to increase
additional revenue up to IDR 70 Trillion that is almost equivalent to the estimated claim of JKN in
2016. In the logistic model, all groups of respondents unanimously support increasing price and
excise of cigarettes to finance JKN. All findings are consistent with the major studies elsewhere in

Support Sin Tax

Thabrany & Laborahima

the world and provide evidences for earmaking (developing sin tax) to finance UHC in Indonesia.
This sin tax has quadruple win for the Government to increse revenue, for the current ruling
parties to obtain good reputations, to improve the JKN quality, and for the industries (including
labors, tabacco farmers, and clove farmers) to sustain their income.
The authors recommend that further study to know how the legal and policy makers support developing and implementing sin tax to finance JKN. Concurently, the Ministry of Finance
should start revising current Excise Law that is 10 years old to accommodate earmarking for the
JKN. In addition to finance the JKN, portions of the excise revenues should also be earmarked or
dedicated to improve income of tobacco and clove farmers, low skill workers in cigarette industries to switch to higher salaried jobs, to finance sports and art activities of youths, and to
promote healthy behaviors.

Acknowledgement
This study is funded by the program of Campign for Tobacco Free Kids (CTFK) of the
Bloomberg Philantrophy in Indonesia.

References
CHEPS UI (Center for Health Economics and Policy Studies, Universitas Indonesia). Laporan
Akhir Kajian Model Pengum-pulan Iuran Program JKN Pada Kelompok Peserta Bukan
Penerima Upah. Depok, 2016
DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional). Peta Jalan Jaminan Kesehatan Nasional. DJSN, Jakarta
2012.
FAMoF (Fiscal Agency. Ministry of Finance. Indonesia); 2016. Presentation of the Minister of
Fi-nance of Indonesian Excise Policy on Workshop of Cigarette Excise: Win-win
Solution for Fiscal Space and Health. Jakarta, March 2016.
Hidayat, B and Thabrany H. Cigarette Smoking in Indonesia: Examination of a Myopic Model
of Addictive Behaviour. Int. J. Environ. Res. Public Health 2010, 7, 2473-2485
Hidayat, Budi. Applied Econometrics to Estimate the Demand for Cigarette in Indonesia. Faculty
of Public Health, Universitas Indonesia. Depok, 2011
Hidayat, Budi. Sustainabilitas Pendanaan JKN: Intervensi Sistemik. Dialog Konstruktif Pemangku Kepentingan untuk Peningkatan JKN. Jakarta, May 30, 2016.
Idris, Fahmi. Presentation of BPJS Kesehatan on Dialog Konstruktif Pemangku Kepentingan
untuk Peningkatan JKN. Jakarta, May 30, 2016.
Medansatu. http://medansatu.com/berita/11608/cukai-rokok-2016-kelewat-tinggi-dewan-meradang/. Accessed on 24 of July 16
Moeloek, N (Minster of Health). Introduction (Pengantar) to Dialog Dialog Konstruktif Pemangku Kepentingan untuk Peningkatan JKN. Jakarta, May 30, 2016.
MoF RI. Indonesia Tobacco Excise Policy. 2016. Presentation of the Minster of Finance Republic of
Indonesia on the Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution for Fiscal Space and
Health. Jakarta, March 2016

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

10

Volume 1, Nomor 1

MoF, Ministry of Finance (2015).


http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/athumbs/apbn/ KESEHATAN1.pdf. accessed July 11. 2016

MoH.a, Pusdatin. Prilaku Merokok Masyarakat Indonesia, Bersasarakan Riskesdas


2007-2013. Jakarta, 2014
MoH.b. Global Youth Tobacco Survey. Indonesia Report, Jakarta,
MoH, 2014 MoI, Ministry of Industry, Decree number 63/2015
Nawa Cita (Visi Misi Jokowi-JK). KPU, 2014. http://kpu.go.id/koleksigambar/
VISI_MISI_Joko-wi-JK.pdf. Accessed on July 24, 2016
Paul, Jeremias. Securing the Wins of the Philippine Sin Tax Reform. Presentation on the
Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution for Fiscal Space and Health.
Jakarta, March 2016

PMI, Philip Morris International. 2014 Annual Report: A Successful Investment Year.
2015 Sampoerna (PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk). Laporan Tahunan 2014
(2014 Annual Report).

2015
Thabrany, H. Defisit JKN. Kompas Newspaper. Jakarta, 2016/03/02 or
http://print.kompas.com/ baca/2016/03/02/Defisit-JKN, accessed July 24,
2016
Thabrany, Hasbullah. Jaminan Kesehatan Nasional. 2nd Edition, 3rd Printing,
Rajagraphindo, Ja-karta 2016
USAID. Impact of Increasing Tobacco Tax on Government Revenue and Tobacco Consumption.
SEADI Project, Jakarta 2013.
WHO. Earmarked of Tobacco Tax: Lessons Learnt from Nine Countries. WHO,
Geneva, 2016. WHO. Global Report on Trends in Prevalence of Tobacco
Smoking. WHO, Geneva. 2015 WHO. WHO Technical Manual On TobaccoTax
Administration. WHO, Geneva, 2011
World Bank team. Discussion on Workshop of Cigarette Excise: Win-win Solution
for Fiscal Space and Health. Jakarta, March 2016

Support Sin Tax

11

Thabrany & Laborahima

A Comparative Budget Requirements for TB program based


on Minimum standard of Services (SPM) and Budget Realization: an Exit Strategy Before Termination of GF ATM
Ery Setiawan1, Purwa K Sucahya2, Hasbullah Thabrany3, Kalsum
Komaryani4 Contact: setiawan.ery@cheps.or.id
Submitted on July 10, 2016. Reviewed July 22, 2016, and accepted on July 25, 2016

Abstrak
Telah menjadi isu umum bahwa Global Fund (GF) sebagai salah satu donor internasional terbesar
untuk Program AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria (ATM) akan mulai menghentikan pendanaannya. Data
menunjukkan bahwa pada tahun 2009 dukungan GF ATM mencapai 88,8% dari total pengelolaan
program sementara dana APBN hanya menutupi sekitar 11,2%. Namun demikian, anggaran APBN untuk
program ATM meningkat secara signifikan pada tahun 2012 yang mencakup hampir 30% dari total
anggaran. Meski-pun kecenderungan peningkatan anggaran ATM terjadi pada level pusat, peran
pemerintah daerah akan memegang kunci dalam keberlangsungan program paska terminasi GF ATM.

Tujuan
penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran komitmen pemerintah
daerah sebagai lembaga pelaksana untuk merespon kebutuhan pembiayaan khusus untuk program TB.

Metode

Evaluasi ekonomi dalam artikel ini dilakukan dengan membandingkan besaran anggaran yang
telah direalisasikan saat ini dengan jumlah yang anggaran dibutuhkan berdasarkan Standar Minimum
Pelayanan (SPM) Program TB. Sampel pada penelitian ini ditetapkan pada dua kabupaten/kota di Jawa
Barat yaitu Kota Cirebon dan Kabupaten Garut. Komponen biaya yang dihitung dalam evaluasi ini adalah
antara lain: obat-obatan, peralatan medis, biaya pencegahan dan pemuan kasus, serta biaya administrasi .

Hasil dan Diskusi

Total anggaran yang dibutuhkan di Garut menurut SPM sekitar 2,5 Milyar Rupiah, sedangkan total
anggaran yang telah dialokasikan sekitar 2 Milyar Rupiah. Dari toral anggaran yang telah dialokasikan di
Garut, sebesar kurang lebih 90% bersumber dari Pemerintah sedangkan selebihnya merupakan dukungan
dari GF. Kecenderungan serupa terjadi di Kota Cirebon, dimana ditemukan selisih sebesar kurang lebih
700 Juta Rupiah dari sekitar 1,6 Miliar Rupiah anggaran yang dibutuhkan. Porsi pembiayaan program di
Kota Cirebon yang bersumber dari pemerintah sudah mencapai 80% dari total anggaran. Temuan penting
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pembiayaan kegiatan pencegahan dan penemuan kasus di Garut
masih didominasi oleh dukungan GF yaitu sekitar 65%. Lain halnya dengan Kota Cirebon, dimana
anggaran un-tuk kegiatan tersebut sudah mencapai 80% yang didukung oleh pemerintah.

Kesimpulan
Secara umum, baik Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon menghadapi dua tantangan dalam hal
keberlangsungan pembiayaan program TB. Pertama, tingginya kesenjangan antara kebutuhan dan
anggaran yang telah dialokasikan untuk program menjadi perhatian penting untuk mengatasi penurunan
kasus TB di wilayah terkait. Kedua adalah keberlangsungan program setelah terminasi pembiayaan dari
Global Fund, terutama untuk program pencegahan dan penemuan kasus. Oleh karena itu, tentu diperlukan
keteribatan dari LSM dan berbagai pihak terkait untuk melakukan advokasi kepada pemerintah daerah
dan DPRD un-tuk meningkatkan pembiayaan dalam penanggulangan TB.

Kata kunci:
GF ATM, Exit Strategy, Program TB, Biaya

1.
2.
3.
4.

Research assistant (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
Researcher (Center for Health Research UI)
Chair (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
Chair (Center of Health Finance and Insurance, Ministry of Health)

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

12

Volume 1, Nomor 1

Abstract
It has become a common issue that the Global Fund (GF) as one of the largest international donors to
AIDS, Tuberculosis, and Malaria Program will immediately stop the funding. Data shows that in 2009 GF
ATM support reached 88,8% while APBN funding just cover 11,2% of the total budget needed. Howev-er,
APBN budget for ATM programs was significantly increased in 2012 which covered almost 30% of the total
budget. Eventhough the increasing trend of ATM budget seemed at the central government level, how-ever the
local governments will hold the key to the sustainability of the post- termination GF ATM Funding

Objectives
This study aimed to get a picture of the local governments commitment as an implementing institution to respond the financing needs specifically for TB programs.

Methods
This economic evaluation compared the amount of the existing budget of local governments and
the amount needed based on the Minimum Standards of Services (MSS) of TB Programs. We sampled
two district in west java that were Cirebon and Garut. The cost component calculated in these evaluation
were: medicines, medical supplies, case findings, and administrative cost.

Results and Discussion


Total budget needed in Garut according to MSS amounted 2,5 Billion Rupiahs, whereas the total
budget which has been alocated approximately 2 Billion Rupiahs. For those budget allocated in Garut,
90% of the total was supported by the Government then the rest of that was supported by GF. A similar
trend showed in Cirebon, which was found a budget shortage amounted 700 Million Rupiahs from
approximate-ly 1,6 Billion Rupiahs budget needed and 80% of those was sourced by The Government.
The particular finding showed that prevention and case detection program in Garut still dominated by GF
support which slightly above 65%. Otherwise, budget allocated for those Activity in Cirebon has been
dominated by the government approximately 80%.

Conclusion
In general, both Garut and Cirebon faced two common challenges in terms of financing the TB
program. First, the high shortage between needs and budget alocated of the program becomes an important
concern for addressing TB cases reduction in related district. The second is programs sustainibility after
termination of Global Fund, particularly for prevention and case detection programs. Therefore, it might be
need a support from NGO or other related institution to advocate the local government and DPRD to
allocate more budget for reducing TB cases.

Key Words :
GF ATM. Exit Strategy. TB Program. Cost

Costing TB Program

13

Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani

Pendahuluan
Indonesia saat ini berada di urutan ketiga negara dengan beban tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia dengan estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 647/100.000 penduduk
(WHO, 2015). Berdasarkan perhitungan disability-adjusted life-year (DALY) WHO, kasus TB
menyumbang 6,3 persen dari total beban penyakit di Indonesia, dibandingkan dengan rata-rata di
kawasan Asia Tenggara sebesar 3,2 persen (USAID, 2008). Hingga saat ini, sebagian besar
pembiayaan AIDS, TB, dan malaria di Indonesia secara umum masih didukung oleh donor internasional terutama Global Fund (GF). Namun demikian, peran donor Internasional dalam
beberapa tahun ke depan akan berakhir, termasuk yang bersumber dari GF (Global Fund, 2015).
Sehingga isu exit strategy pembiayaan program TB terhadap terminasi dukungan donor asing
menjadi san-gat penting untuk keberlangsungan program.
Tabel 1 Perbandingan Ketersediaan Anggaran Program TB Antara GF dan Pemerintah, 2009-2012

(Dalam Jutaan Rupiah)


%
APBN

Tahun

GF

2009
2010
2011

300,397
223,710
309,125

88.8
65.3
71.7

2012

287,163

70.1

TOTAL

38,000
119,000
122,000

11.2
34.7
28.3

338,397
342,710
431,125

122,304

29.9

409,467

Merujuk pada tabel di atas ditunjukkan bahwa pola anggaran yang bersumber pemerintah
telah mengalami peningkatan dari sekitar 11% pada tahun 2009 menjadi sekitar 30% pada tahun
2012. Komitmen tersebut direncanakan akan terus meningkat hingga 50% di tahun 2016
(Kemen-kes, 2012). Namun demikian, sebagian besar peningkatan tersebut masih fokus pada
pengadaan obat dan bahan medis terkait pemeriksaan dan pengobatan TB.
Penyelenggaraan sistem kesehatan ke depan melalui program JKN akan lebih sistematik
dengan masuknya upaya pengobatan TB dalam paket manfaat jaminan. Namun demikian yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana pola pembiayaan untuk Upaya Kesehatan Masyarakat
(UKM) yang merupakan salah satu peran penting dari pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian kesehatan dan dinas kesehatan pada tingkat daerah dalam menurunkan angka kesakitan TB.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk membangun political will dari para pemangku kebijakan,
dibutuhkan sebuah evidence based data terkait besaran kebutuhan biaya program sebagai bahan
dalam advokasi pembiayaan UKM. Kemudian, dilakukan analisis situasi dengan
membandingkan kebutuhan pembiayaan program tersebut dengan anggaran yang hingga saat ini
telah dialokasikan termasuk sumber pembiayaannya. Sehingga dengan mengetahui kesenjangan
tersebut, maka hasil analisis dalam artikel ini akan menunjukkan seberapa besar gap yang harus
diupayakan pemerin-tah untuk mengendalikan dampak dari penyakit TB di Indonesia.

Tujuan
Tujuan dari studi ini adalah untuk membandingkan antara kebutuhan program
berdasarkan SPM dengan anggaran yang telah dialokasikan. Sementara secara khusus ditujukan
untuk menga-nalisis kesenjangan pada masing-masing komponen biaya dan sumber pembiayaan.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

14

Volume 1, Nomor 1

Metode
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kuantitatif (dengan metode survei) dan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan
besaran biaya program TB yang sudah di alokasikan melalui metode activity based costing dan
perhitungan kebutuhan anggaran melalui pendekatan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Semen-tara
pendekatan kualitatif dilakukan melalui proses wawancara mendalam kepada para pengambil
kebijakan untuk menguatkan argumentasi pada temuan-temuan kuantitatif yang didapatkan (Hancock et.al, 2007). Perspektif yang digunakan dalam studi ini adalah perspektif program terutama yang
terkait dengan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) pada penatalaksanaan program TB baik pada
fasilitas tingkat primer maupun rujukan pada tahun 2013.
Dasar penentuan Provinsi sampel merujuk pada capaian Case Detection Rate (CDR) dan
angka Success Rate (SR) (Dirjen P2PL, 2011). Dalam artikel ini akan dipilih satu provinsi den-gan
kriteria memiliki CDR dan SR yang dapat menunjukkan besaran kasus dan tingkat efektivitas
penyelenggaraan program. Pemilihan di tingkat provinsi terlebih dahulu dibagi menjadi 4 wilayah
hingga terbentuk kluster seperti pada tabel di bawah. Oleh karena kriteria yang ditetapkan adalah
daerah dengan tingkat CDR dan SR tinggi maka kluster yang terpilih terdiri dari 5 provinsi yai-tu
Jabar, Sulawesi Utara, Maluku, Jakarta, dan Banten. Dari kelima provinsi tersebut dilakukan
pemilihan secara acak hingga didapatkan Jawa Barat sebagai lokasi sampel.

Tabel 2 Pencapaian Target Pengendalian TB per Provinsi 2009 (Stranas 2010-2014)


CDR 70%

CDR < 70%

SR 85%

Jabar, Sulawesi Utara, Maluku,


DKI Jakarta, Banten (5)

SR < 85%

Tidak ada

Bali, Sulawesi Barat, Bangka Belitung,


Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah,
Lampung, NTB, Jambi, NAD, Kalimantan
Selatan, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau, Sumatera Utara,
Gorontalo, Bengkulu, Kalimantan Barat,
NTT, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah
(23)
Papua Barat, Papua, DIY, Maluku Utara,
Riau (5)

Pada tingkat kab/kota di provinsi terpilih, pemilihan sampel tidak menggunakan cara
yang sama dengan di tingkat provinsi oleh karena ketersediaan data CDR dan SR di tingkat
kab/kota. Sehingga peneliti menggunakan indeks kapasitas fiskal untuk merepresentasikan
kemampuan daerah. Peneliti menggunakan indeks kapasitas fiskal dengan mengasumsikan
adanya hubungan yang erat antara indikator tersebut dengan komitmen pemerintah daerah dalam
pembiayaan pro-gram TB pada khususnya. Klasifikasi yang dikeluarkan dalam peraturan menteri
keuangan, setiap kab/kota dibagi menjadi 4 kategori dana daerah urusan bersama (DDUB) yang
bersumber APBD yaitu dengan klasifikasi sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Mengingat
di setiap provinsi hanya akan dipilih 2 kab/kota maka peneliti mengelompokkan menjadi 2
kategori DDUB, yaitu tinggi (sangat tinggi dan tinggi) dan rendah (sedang dan rendah). Di setiap
kategori tersebut dipi-lih secara acak, hingga terpilih Kota Cirebon yang mewakili kapasitas
fiskal tinggi dan Kab Garut yang mewakili kapasitas fiskal rendah.
Pada setiap lokasi studi di tingkat kab/kota dipilih 4 puskesmas dengan kriteria 2 puskes-

Costing TB Program

15

Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani

mas satelit dan 2 non satelit yang dikonsultasikan dengan pihak Dinas Kesehatan setempat.
Selain itu pada masing-masing kab/kota juga akan dilakukan pengumpulan data di satu rumah
sakit, satu laboratorium penunjang (bila ada), serta LSM yang terlibat dalam penatalaksanaan
program TB di wilayah terkait. Selain itu, untuk pendekatan kualitatif juga akan dilakukan
wawancara mendalam di Bappeda atau pemerintah daerah.

Metode Perhitungan: Pendekatan Activity Based Costing


Perhitungan biaya program TB yang telah dialokasikan akan ditelusuri melalui metode
Activity Based Costing (ABC), yaitu melalui proses penilaian kegiatan-kegiatan yang terkait dalam penatalaksanaan program TB (Collins & Jarrah, 2012). Masing-masing kegiatan tersebut
akan terdiri dari berbagai aktivitas yang memicu timbulnya biaya baik yang bersifat biaya
langsung maupun biaya tidak langsung (Popesko, 2013). Penilaian rincian kegiatan yang terkait
dengan pengendalian TB merujuk pada pedoman nasional penatalaksanaan program TB yang
terdiri dari beberapa kegiatan sebagai berikut (Dirjen P2PL, 2014):
1.
Penemuan kasus
2.
Pengobatan
3.
Pemantauan hasil pengobatan
4.
Pengendalian infeksi pada sarana layanan
5.
Pencegahan tuberkulosis
6.
Perencanaan program tuberkulosis
7.
Monitoring dan evaluasi program
8.
Manajemen logistik
9.
Pengembangan ketenagaan
10.
Promosi program
11.
Penguatan layanan laboratorium
12.
Public-Private Mix
13.
Kolaborasi TB-HIV
14.
Pemberdayaan masyarakat dan pasien TB
15.
Pendekatan kolaborasi dan kesehatan Paru
16.
Manajemen TB Resisten Obat
17.
Penelitian
Masing-masing kegiatan tersebut akan di uraikan berdasarkan beberapa komponen biaya
yang telah di tetapkan oleh peneliti, antara lain: alat medis, alat non medis, bahan habis pakai (me-dis
dan non medis), gaji dan insentif, gedung, utilities, kendaraan, dan obat (Mogyorosy & Smith, 2005).
Sebagai contoh, untuk kegiatan penemuan kasus melibatkan beberapa staf yang bertugas untuk
aktivitas kunjungan rumah, sehingga sumber daya yang timbul dari aktivitas tersebut dapat berupa
insentif staf, biaya transportasi, dan bahan habis pakai apabila dilakukan survei cepat.
Setelah masing-masing kegiatan diuraikan berdasarkan aktivitas dan komponen biaya
kemudian dikelompokkan menurut sumber pembiayaannya, apakah sumber daya tersebut berasal
pembiayaan dari APBN, APBD atau donor. Maka pada hasil analisis didapatkan berapa besaran
proporsi masing-masing sumber biaya pada setiap jenis kegiatan dan secara umum. Sehingga dalam konteks kebijakan dapat diketahui porsi pada kegiatan apa yang masih membutuhkan dukungan pembiayaan lebih dari pemerintah sebagai exit strategy donor asing.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

16

Volume 1, Nomor 1

Metode Perhitungan: Standar Pelayanan Minimum


Penatalaksanaan beberapa program kesehatan nasional ke depan termasuk TB akan merujuk pada standar pelayanan minimum (SPM). Rancangan SPM tersebut telah di susun oleh
Asosi-asi Dinas Kesehatan (Adinkes) yang salah satunya dengan membentuk pedoman aktivitas
program TB yang wajib disediakan oleh pemerintah daerah. Atas dasar tersebut, peneliti
mencoba meng-hitung kebutuhan besaran biaya program TB di tingkat kab/kota. Hasil
perhitungan tersebut kemu-dian akan dibandingkan dengan ketersediaan anggaran yang ada saat
ini, sehingga dapat diketahui tingkat kesenjangan ketersediaan anggarannya.
Merujuk pada pedoman SPM untuk program TB terdapat beberapa komponen biaya yang
terkait dengan penyelenggaraan program yaitu sebagai berikut:
1.
Alat dan bahan lab
2.
Bahan diagnostik
3.
Bahan pelatihan
4.
Barang pencetakan dan pelaporan
5.
Monitoring dan evaluasi
6.
Pelatihan tatalaksana TB bagi dokter/perawat/petugas TB
7.
Pemeriksaan anak 0-14 tahun
8.
Penyediaan media KIE
Kebutuhan data dasar untuk proses perhitungan antara lain:
1.
Jumlah alat kesehatan yang digunakan
2.
Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan
3.
Unit price alat kesehatan dan bahan habis pakai medis maupun non medis
4.
Satuan biaya umum (SBU) untuk honorarium
5.
Total jumlah kasus TB
6.
Total jumlah kasus TB anak
7.
Frekuensi pelatihan
8.
Prosedur klinis
Perspektif yang digunakan dalam proses perhitungan ini adalah perspektif program yang
diselenggarakan di fasilitas kesehatan primer pada tingkat kab/kota. Hasil perhitungan ini akan
mencerminkan besaran kebutuhan biaya minimal yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah di
wilayahnya. Keterbatasan hasil dari perhitungan ini adalah biaya yang timbul merujuk pada besaran kasus bukan termasuk berbagai upaya pengembangan atau inovasi program untuk mereduksi
incidence rate TB. Selain itu, pada kerangka SPM tidak terdapat aspek pengobatan sehingga
biaya obat akan dikeluarkan dari perhitungan ini, termasuk biaya untuk layanan rujukan,
penunjang, dan fasilitas pelayanan TB lainnya.
Hasil analisis dalam artikel ini adalah dengan membandingkan hasil antara perhitungan
SPM dengan perhitungan ketersediaan anggaran riil di tingkat kab/kota pada tahun 2013. Oleh
karena klasifikasi komponen biaya antara pendekatan SPM dengan Activity Based Costing
berbe-da, sehingga perlu dibuat kategori yang sama pada keduanya. Setelah dilakukan penilaian,
maka diputuskan kategorisasi biaya yang sama pada kedua kelompok tersebut, terbagi menjadi 4
kom-ponen, yaitu:
1.
Alat dan Bahan Medis,
2.
Alat dan Bahan Non Medis,
3.
Operasional Program

Costing TB Program

17

Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani

Untuk membuat kedua pendekatan tersebut menjadi layak dibandingkan, maka selain
penyetaraan komponen biaya juga diperlukan penyetaraan item biaya (cost driver) yang diperhitungkan. Terdapat beberapa item biaya yang dikeluarkan dari perhitungan antara lain obat, gedung, dan gaji rutin. Pembiayaan untuk obat dikeluarkan dari perhitungan sebab pada pendekatan
SPM tidak menyebutkan rincian kegiatan pengobatan, sehingga biaya untuk obat tidak muncul
meskipun dalam praktiknya terdapat penggunaan obat. Hal ini dikarenakan pengadaan obat dalam
penatalaksanaan program TB seluruhnya telah di supply oleh pemerintah pusat melalui APBN
sehingga tidak ada biaya yang muncul pada fasilitas kesehatan primer selain gaji dan insentif
petugas. Begitu pula untuk item biaya gedung dan gaji rutin yang bersifat given goods atau sum-ber
daya yang pasti akan keluar meskipun tidak terkait dengan program TB, dimana pembiayaan
bersumber donor tidak mencakup biaya tersebut sehingga tidak dapat dibandingkan. Lain halnya
dengan biaya insentif staf, yang muncul baik dari sumber APBN/APBD maupun Global Fund sehingga dapat dibandingkan. Untuk gaji staf tambahan yang direkrut oleh GF ATM guna membantu
pengelolaan program akan diperhitungkan dalam item insentif staf.

Hasil dan Pembahasan


Tabel 3 Perbandingan Kebutuhan Anggaran Menurut SPM dan Realisasi Anggaran di
Garut Dan Cirebon
Komponen Biaya
SPM
Existing Budget
Gap
Garut
alat dan bahan medis
alat dan bahan non medis
Operasional Program
Total
Cirebon
alat dan bahan medis
alat dan bahan non medis
Operasional Program
Total

1.655.118.425
113.250.000
703.751.200
2.472.119.625

997.809.553
101.047.578
847.738.140
1.946.595.273

(657.308.871)
(12.202.421)
143.986.940
(525.524.351)

968.974.214
44.805.000
541.373.600
1.555.152.814

372.757.642
30.773.353
429.989.362
833.520.359

(596.216.571)
(14.031.646)
(111.384.237)
(721.632.454)

Total kebutuhan anggaran program TB di kabupaten Garut berdasarkan Standar Pelayanan


Minimal sekitar 2,5 Milyar Rupiah, sedangkan total anggaran yang sudah dialokasikan hampir 2
Milyar Rupiah. Sehingga selisih antara kebutuhan dengan realisasi anggaran sekitar 535 Juta
Rupiah. Dari ketiga komponen biaya yang tercantum pada tabel, selisih paling besar terjadi pada
komponen alat dan bahan medis meskipun secara umum total realisasi anggaran sudah cukup
ting-gi yaitu hampir mencapai 1 Milyar Rupiah.
Sama halnya dengan Kabupaten Garut, perbandingan antara total kebutuhan anggaran
menurut SPM dengan anggaran yang telah dialokasikan di Kota Cirebon terjadi selisih yang cukup signifikan yaitu sekitar 721 Juta Rupiah. Dari ketiga komponen biaya pada tabel di atas,
selisih anggaran yang paling tinggi adalah pada komponen alat dan bahan medis yaitu sekitar
hampir 600 Juta Rupiah.
Tingginya realisasi anggaran untuk komponen alat dan bahan medis baik di Garut maupun
Cirebon terkait dengan tingginya angka suspek TB di kedua daerah tersebut. Pada tahun 2013

tercatat angka suspek TB di Garut mencapai 13.898 kasus atau 560/100.000 penduduk sementara

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

18

Volume 1, Nomor 1

di kota Cirebon sebanyak 5317 kasus atau 1778/100000 penduduk. Hal inilah yang juga memicu
tingginya kebutuhan anggaran program berdasarkan SPM, sebab basis data dalam perhitungan
SPM adalah angka kasus TB dan frekuensi kegiatan.
Total perhitungan pembiayaan program TB pada tabel di atas tidak termasuk komponen
biaya obat, sebab komponen tersebut tidak tercantum dalam item Standar Pelayanan Minimum
(SPM). Namun demikian, pada proses perhitungan realisasi anggaran didapatkan bahwa total
pengeluaran biaya obat untuk penatalaksanaan program TB di Garut sekitar 1,5 Milyar. Dari total
pembiayaan obat tersebut, sekitar 94% bersumber dari pemerintah sedangkan sisanya merupakan
support dari Global Fund. Berbeda dengan pola pembiayaan obat di kabupaten garut,
pembiayaan obat di Kota Cirebon sepenuhnya di supply oleh pemerintah.
Tabel 4 Rincian Sumber Realisasi Pembiayaan Program TB di Garut dan Cirebon
Komponen Biaya
Garut
alat dan bahan medis
alat dan bahan non medis
Pencegahan dan Penemuan Kasus
Gaji
Utilities
Total
Cirebon
alat dan bahan medis
alat dan bahan non medis
Pencegahan dan Penemuan Kasus
Gaji
Utilities
Total

Pemerintah
Daerah

Pemerintah
Pusat

Global
Fund

Total

495.078.361
26.265.883
39.758.000
329.818.920
16.154.000
907.075.164

494.599.993
28.681.696
12.909.600
288.360.000
27.022.181
851.573.469

8.131.200
46.100.000
98.416.000
35.299.440
187.946.640

997.809.553
101.047.578
151.083.600
653.478.360
43.176.180
1.946.595.273

312.645.107
8.981.527
79.855.029
225.706.945
95.782.952
722.971.561

40.597.655
21.618.786
11.156.375
73.372.818

19.514.880
173.040
17.488.060
37.175.980

372.757.642
30.773.353
97.343.089
225.706.945
106.939.327
833.520.359

Tabel di atas menjelaskan rincian masing-masing komponen biaya dan sumber pembiayaannya, antara lain pemerintah daerah, pemerintah pusat dan global fund. Namun demikian,
rincian biaya di atas hanya menjelaskan proporsi pembiayaan dari anggaran yang telah direalisasikan di masing-masing daerah. Secara total, penatalaksanaan program TB di kabupaten garut
masih di dominasi oleh pembiayaan bersumber pemerintah, yaitu sekitar 46% pemerintah daerah,
44% pemerintah pusat, dan 10% Global Fund. Apabila ditinjau lebih rinci memang tingginya alokasi anggaran pemerintah baik pusat maupun daerah masih cenderung pada pengadaan alat dan
bahan medis serta komponen gaji.
Lain halnya dengan Kota Cirebon, secara umum peran global fund terhadap penatalaksanaan program TB tidak terlalu signifikan. Berdasarkan perhitungan alokasi anggaran program
melalui pendekatan ABC, didapatkan bahwa peran global fund dalam pembiayaan TB di Kota
Cirebon hanya sebesar 4% sementara selebihnya merupakan support dari Pemerintah. Porsi pembiayaan pada komponen alat dan bahan medis menunjukkan bahwa peran pemerintah baik pada
level pusat maupun daerah jauh lebih dominan dibandingkan GF. Begitu juga pada komponen
pencegahan dan penemuan kasus, dimana sekitar 80% pembiayaannya telah di support oleh pemerintah daerah.
Costing TB Program

19

Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani

Salah satu isu penting yang terdapat pada tabel di atas adalah pada komponen pencegahan
dan penemuan kasus. Aktivitas yang dilakukan pada komponen ini antara lain kunjungan rumah pada
pasien suspek TB maupun kegiatan operasional lain guna mencegah penularan aktif oleh pasien TB,
sehingga pembiayaan untuk komponen ini sangat penting. Porsi pembiayaan kegiatan pencegahan
dan penemuan kasus di kota Cirebon sebesar 80% berasal dari pemerintah daerah.
Namun demikian, pembiayaan untuk komponen ini kabupaten Garut masih cukup kecil yaitu
seki-tar 35%, sementara 65% lainnya masih di-support oleh Global Fund. Berdasarkan temuan
studi kualitatif diketahui bahwa program penanggulangan TB khususnya untuk kegiatan
pencegahan dan penemuan kasus masih belum mendapatkan porsi pembiayaan yang memadai
seperti yang disampaikan oleh narasumber berikut.

kita belom pernah ada dari APBD sebelum 2011-2012, baru ada 2013, itu pun
hanya untuk follow-up pasien MDR 1 kasus. Kalau dari APBD2 baru ada 1 kegiatan untuk
pendamp-ingan penderita TB MDR. Tahun 2014 diberikan dana Rp.112juta dari pemerintah
daerah untuk pendataan TB di puskesmas & follow up kasus TB MDR (9 kasus)...
..biasanya program TB dimasukkan dalam satu RKA yang bersatu dengan kegiatan
lainnya, termasuk kegiatan penanggulangan penyakit epidemic dan pandemic. Tahun ini saya
coba dipisahkan RKA tersendiri, jadi saya masukkan program pencegahan dan penanganan
penyakit Tuberculosis. Saya coba anggarkan Rp.256.000.000 untuk tahun 2015

Hal ini menjadi perhatian penting mengingat dukungan donor asing akan segera berakhir,
sementara pembiayaan pemerintah untuk aktivitas primer masih relatif kecil. Untuk menjamin
keberlangsungan program, pemerintah daerah tentunya perlu mengupayakan kerja sama dengan
pihak swasta (Public-Private Partnership) atau berbagai pihak lain yang memiliki potensi dan
ket-erkaitan dengan penatalaksanaan program TB. Selain itu tentunya diperlukan advokasi yang
tepat kepada pemangku kebijakan yang berwenang dalam penetapan anggaran. Hal ini
dikarenakan be-ban ekonomi yang ditimbulkan oleh penyakit TB cukup tinggi, mengingat
tingginya angka preva-lensi Tuberkulosis baik di Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon.

Kesimpulan dan Saran


Merujuk pada Standar Pelayanan Minimum (SPM), diketahui bahwa kebutuhan anggaran
program TB di Kabupaten Garut sekitar 2,5 Milyar Rupiah. Sedangkan anggaran yang telah di realisasikan pada tahun 2013 sebesar hampir 2 Milyar Rupiah, sehingga terdapat selisih sekitar 500
juta terhadap standar kebutuhan program. Tingginya angka tersebut dipicu oleh tingginya angka
kejadian kasus TB di Kabupaten Garut yang mencapai 13.898 kasus atau 560/100.000 penduduk.
Sama halnya dengan Kabupaten garut, selisih kebutuhan dan realisasi anggaran di Kota
Cirebon cukup signifikan. Total kebutuhan anggaran merujuk pada SPM sekitar 1,5 Milyar rupiah
sementara realisasi anggaran pada tahun yang sama sekitar 833 Juta Rupiah. Selisih anggaran yang
paling tinggi di Kota Cirebon adalah pada komponen alat dan bahan medis yaitu sekitar hampir 600
Juta Rupiah. Tingginya selisih antara kebutuhan dan realisasi anggaran kontras dengan besa-ran
kasus yang ada di Kota Cirebon. Pada tahun 2013 total suspek TB di kota Cirebon sebanyak 5.317
kasus atau 1.778/100000 penduduk, yang tentunya akan membutuhkan bahan medis cukup

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

20

Volume 1, Nomor 1

banyak untuk pemeriksaan TB.


Apabila ditinjau lebih rinci pada peran pemerintah dalam pola pembiayaan program, penatalaksanaan program TB di kabupaten garut masih di dominasi oleh pembiayaan bersumber
pemerintah, yaitu sekitar 46% pemerintah daerah, 44% pemerintah pusat, dan 10% Global Fund.
Begitu juga peran Global Fund dalam pembiayaan TB di Kota Cirebon hanya sebesar 4%,
semen-tara selebihnya merupakan support pembiayaan dari Pemerintah. Sehingga untuk isu exit
strategy pasca terminasi Global Fund seharusnya tidak menjadi beban serius karena pembiayaan
yang ber-sumber pemerintah sudah cukup menunjukkan porsi yang besar terhadap program.
Meskipun ting-ginya alokasi anggaran pemerintah baik pusat maupun daerah masih cenderung
pada pengadaan alat dan bahan medis serta komponen gaji.
Salah satu temuan penting pada hasil perhitungan ini adalah gambaran komitmen daerah
untuk pembiayaan kegiatan pencegahan dan penemuan kasus. Merujuk pada hasil perhitungan di
kabupaten Garut diketahui bahwa peran pembiayaan pemerintah untuk komponen pencegahan dan
penemuan kasus masih cukup rendah yaitu sekitar 35% dari total alokasi anggaran, sementara
65% lainnya masih di support oleh Global Fund. Hal ini akan menjadi tantangan besar terhadap
keberlangsungan program preventif TB di Kabupaten Garut apabila tidak dirumuskan alternatif
pembiayaan yang memadai. Namun sebaliknya di Kota Cirebon, meskipun secara total selisih
antara kebutuhan dengan realisasi anggaran jauh lebih tinggi di kota Cirebon akan tetapi porsi
pembiayaan pemerintah sudah cukup tinggi. Pada komponen pencegahan dan penemuan kasus,
sekitar 80% pembiayaannya sudah di support oleh pemerintah daerah sementara selebihnya
adalah dukungan dari Global Fund.
Secara umum, baik Kabupaten Garut maupun Kota Cirebon menghadapi dua tantangan yang
sama dalam hal pembiayaan program TB. Pertama, selisih antara kebutuhan dan realisasi anggaran
program yang masih cukup tinggi menjadi perhatian penting untuk menangani kasus TB di daerah
masing-masing. Sebab, karakteristik penyakit TB apabila tidak terobati dengan tepat akan memicu
terjadinya MDR TB (multi drug resistant), dimana pembiayaan untuk pengobatan tersebut menjadi
sangat tinggi. Terlebih penularan oleh pasien MDR TB akan secara langsung menjadikan pasien baru
terjangkit MDR TB, bukan kasus TB reguler sehingga beban ekonomi yang ditimbulkan akan
semakin besar. Tantangan kedua adalah keberlangsungan program setelah berakhirnya dukungan
pembiayaan dari donor asing, terutama untuk program pencegahan dan penemuan kasus. Oleh karena
itu upaya yang sangat perlu dilakukan adalah advokasi kepada para pemangku kebijakan dengan
bukti dan dampak yang akan ditimbulkan dari penyakit TB. Sebab alternatif yang dapat dilakukan
dalam jangka pendek adalah dengan peningkatan komitmen pem-biayaan pemerintah untuk
menggantikan pembiayaan yang bersumber donor sebelumnya. Semen-tara dalam jangka panjang,
pemerintah daerah dapat mengupayakan public-private partnership untuk melibatkan pihak swasta
dalam penatalaksanaan program TB di daerah.

Daftar Pustaka
Collins, D. H., & Jarrah, Z. (2012). Modeling the Cost-Effectiveness of Multi-Drug Resistant Tuberculosis. Management Sciences for Health.
Dirjen P2PL. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementerian
Kesehatan RI.
Dirjen P2PL. (2014). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan

Costing TB Program

21

Setiawan, Sucahya, Thabrany & Komaryani

RI.
Global Fund. (2015). Investment Case for the Global Funds 2017-2019 Replenishment. Global
Fund.
Hancock, B., Windridge, K., & Ockleford, E. (2007). An Introdustion to Qualitative Research.
UK: The NIHR RDS EM.
Mogyorosy, Z., & Smith, P. (2005). The main methodological issues in costing health care services: A literature review. Center for Health Economic University of York.
Popesko, B. (2013). Specifics of the Activity-Based Costing applications in Hospital Management.
International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine & Public Healt, 184.
USAID. (2008). Tuberculosis Profile of Indonesia.
WHO. (2015). Global Tuberculosis Report.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

22

Volume 1, Nomor 1

Application of Decision Analytic Model in Health Economic


Evaluation: Smoking Cessation Cases
Septiara Putri1
Contact: septiara.putri@cheps.or.id
Submitted on July 18, 2016. Reviewed July 25, 2016, and accepted on July 25, 2016

Abstract
It has become a common issue that the Global Fund (GF) as one of the largest international
donors to AIDHealth economic evaluation that encompasses decision analytic model is a beneficial
approach for assisting decision maker to choose the best health intervention for patients. Decision analytic
model has been increasingly applied in health economic evaluation. This mathematical approach is mostly
used for conducting cost-effectiveness of healthcare interventions.
Decision tree and Markov model has been widely applied in the past 20 years. Decision tree is the
simplest form of decision model that drawn by the series of branches and clear pathways. Meanwhile,
Markov model is one of the powerful approaches that employ stochastic process in health economic evaluation. This paper describes the applications of those two models in tobacco cessations, specifically for
pharmacological interventions.
First, decision tree for cost-effectiveness of smoking cessation program with pharmacist and
thera-pies interventions compared to no program or self-aid cessation. Second, the application of Markov
model estimates cost-effectiveness of veranicline, in comparison to bupropion. Markov model is
constructed with morbidity and mortality states that consists of: well/no morbidities, lung cancer, COPD,
stroke, myocar-dial infarction, and dead. This paper provides step by step of populating and constructing
the model-with some modification of data. Several sections discuss the understanding of transition
probabilities, costs data, cohort simulation, and the role of sensitivity analysis. Other models, despite
deterministic approach, prob-abilistic approach are also reviewed.
Both of models had both advantages and limitation that analysts should be aware of. Translating the
real world to mathematical model yields beneficial and insightful information for analysts. In addition, it
could fulfill the need of evidence-based policy by decision maker. From simulation, the model may easy
to be replicated-with appropriate context to generate evidence related health and costs.

Key Words :
Smoking Cessation. Tobacco Control. Modeling. Markov Model. Decision Tree. Indonesia

Research Assistant (Center for Health Economic and Policy Studies UI)

Modelling on Smoking Cessation

23

Putri

Introduction
Health economic evaluation is a general framework to aid decision maker with best available evidence in terms of priority setting and choosing particular health technologies (Shiell et
al. 2002). This is one of pivotal aspects for decision making that commonly related to funding,
reimbursement or regulatory of health intervention, with increasing challenges of finite resources
available (Morris et al. 2007; Hjelmgren et al. 2001).
Decision analytic model can be used in health economic evaluation; it is widely applied
to estimate cost-effectiveness of healthcare interventions (Sox et al. 1988; Buxton et al.1997;
Hun-nink et al. 2001). This essential technique is defined as a systematic approach on
synthesizing information from multiple sources and applying mathematical relationship to
answer decision problems, allowing its variability and uncertainty. Expected costs and possible
consequences of all available options are compared (Briggs et al. 2006; Gray et al. 2010). In
particular situation, economic evaluation is increasingly conducted alongside clinical trial.
However, the results from this economic evaluation do not always able to inform decision related
reimbursement (Sculpher et al. 2006). Decision analytic model therefore can be beneficial to
resolve the limitations in clin-ical trial.
Generally, there are several circumstances when decision analytic modeling in health economic evaluation is very useful. First, when Randomized Clinical Trials (RCTs) could not be
undertaken due to costs, time, or other reasons. Hence, modeling techniques can be applied by
synthesizing all relevant information from various sources, not only from primary data (Karnon and
Brown, 1998). Second, RCTs remain crucial for efficacy evidence. However, it might not com-pare
all relevant alternatives and provide appropriate time horizon. In health economic evaluation, time
horizon should be long enough to capture the magnitude of costs and benefits among alter-natives.
(Drummond et al., 2005; Briggs et al., 2006). Third, final endpoints evidence is difficult to be
achieved, for instance: mortality and long-term morbidity. It is related to short time horizon in
clinical trials, mostly RCTs are concluded up to intermediate endpoints. Furthermore, by devel-oping
a model, the results can be extended (Briggs et al., 2006). Moreover, Sculpher et al. (1997) explained
four major stages in economic evaluation process, and decision analytic model assigned prominent
role in each of those steps. Therefore, decision analytic model is able to sufficiently an-swer the
resource allocation question, while all information about cost and consequences become barriers in
primary clinical research such as RCTs. As powerful tool in economic evaluation, mod-eling is
structuring evidence both clinical and economics outcomes, simplifying representation of reality. It
thus beneficial to generate relevant evidence that highly required by decision makers.
There are some alternatives modeling approach that can be used for estimating cost-effectiveness of health interventions. For example: dynamic models, discrete event simulations (DES),
and patient level simulations (Petrou and Gray, 2011). However, this paper only discusses decision
tree and Markov model application, since these two models are frequently applied in economic
evaluation (Buxton et al., 1997; Karnon and Brown 1998). Author discusses the example of tobac-co
program as well as pharmacological therapies in tobacco cessation, in this example: veranicline,
bupropion. The costs and outcomes value have been determined as instances. Models in this paper
are structured by referring from previous studies, indeed with some modifications. Author will
frequently use terms Cost-effectiveness Analysis (CEA) and Cost Utility Analysis(CUA). Illustrations of these methods can be found in publication by Drummond et al. (2005). This paper is
divided into several sections that cover stages on designing and conducting simple decision tree

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

24

Volume 1, Nomor 1

and Markov model for pharmacological interventions in smoking cessation.


This paper neither demonstrates modeling choice nor provides ideal good structure that
should be followed on tobacco cessation cases. Models are characterized depend on research or
policy question, modeler, and decision maker consideration, not only technically applying mathematical operations. It should be noted that this paper focuses on outlining the basic theory and aim
to familiarize unexposed audience with basics modeling applications as abstractions of reality.

Decision rules
Before going to further parts, this section covers the decision rules and general rationale
of conducting CEA/CUA for making sense the final resources after applying decision models.
Deci-sion makers in health sector often face a dilemma for choosing health intervention. New
treatment/ health technology is often more effective than current/standard treatment, however it
is inevitably more expensive. Health economists are interested in considering of how much do
we get the benefit for additional cost or the money spent? Value for money of new intervention
furthermore is summarized by Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) (Owens, 1998;
Jefferson, 2000; Cohen and Reynolds, 2008).
The concept of cost, effect, effectiveness and its linkage to ICER concepts are divided
into four main rules (OBrien et al. 1994; Briggs and Tambour 1998). From two therapies that are
com-pared, one new treatment and a comparator or familiarly named as existing treatment
represented by A and B, respectively. Mean of treatments costs denoted by_cA and_cB.
Similarly, effects are denoted by _eA and _eB. It describes below:
1. _cA - _cB< 0 ; _eA - _eB> 0 ; dominance, accept new treatment
2. _cA - _cB> 0 ; _eA - _eB< 0 ; dominance, reject new treatment
3. _cA - _cB> 0 ; _eA - _eB> 0 ; trade-off (consider magnitude of ratio of differenc-es
in cost to differences in effect; or additional costs relative to additional effectiveness)
4. _cA - _cB< 0 ; _eA - _eB< 0 ; trade-off (consider magnitude of ratio of
differenc-es in cost to differences in effect, cost-saving to it reduced effectiveness)
Those four points are in relation to four quadrants of cost-effectiveness plane. It is commonly used for presenting cost-effectiveness results that described and discussed in almost economic
evaluation results. The condition number 1 demonstrates that we accept new treatment when it is
more effective and less costly compared to existing treatment. In contrast, condition number 2, when
new treatment is more costly and less effective, so then clearly we reject it. However, when a new
treatment is more effective but also it is more expensive, then judgment should be made. This is the
condition when ICER is playing its role, providing the summary of cost-effectiveness of new
intervention compared to current intervention/treatment(s) with equation:

ICER= (cA-cB)/(eA- cB) = c/e <


Therefore, ICER is simply the ratio of both differences in costs and effects. The
(lambda) represents maximum acceptable cost-effectiveness ratio or ceiling ratio. Several
countries have produced lamda to support their decision related to new health intervention (Mc
Cabe et al. 2008; Grosse, 2008; Shiroiwa et al. 2010; Neumann et al. 2014). If the ICER is less
than the value of , it is concluded that the intervention is potentially be accepted.
Modelling on Smoking Cessation

25

Putri

Defining questions
The first step for structuring the decision model is specifying the decision problem. Population, interventions, comparators, as well as clinical and economic outcomes should be clearly
identified (Briggs et al. 2006; Drummond et al. 2005; Gray et al. 2010). In this case, for instance, we
will discuss modeling method for cost-effectiveness/cost-utility analysis of smoking cessation
program with pharmacological therapies such as: varenicline and bupropion. In addition, perspec-tive
of evaluation should be considered, why the intervention is being evaluated, costs incurred, and for
whom the result required and may support the decision. The perspectives reflect the pur-pose of
evaluation (Byford and Raftery, 1998; Jonsson, 2009; Hjelmegren et al. 2001).
Appropriate decision model should be structured and developed by clear understanding
about the problems. Several guidelines provide details of good practices in constructing the model (Weinstein et al. 2003; Roberts et al. 2012). Parameters choice, sources of data and evidence
synthesis important as model input also available in standing alone publication. (Caro et al.
2010; Briggs et al. 2012). In this paper, all the data has been given and we directly head to
explanation of model structure. However, author provides the schematic of design and
conducting decision analytic model in figure 1. It is a complete visual illustration of decision
analysis process. This illustration is summarized and modified according several publications
(Briggset al. 2006; Marti-kainen, 2008; Gray et al. 2010; Roberts et al. 2012; Briggs et al. 2012).

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

26

Volume 1, Nomor 1

Modelling on Smoking Cessation

27

Putri

Figure 1. Illustration of decision analytic modeling process in economic evaluation

Structuring and analyzing the models


Decision Tree
Smoking cessation can be classified into two types behavioral therapies and pharmacotherapies. Pharmacotherapies interventions in smoking cessation can be classified as nicotine replacement therapy (NRT) and non-nicotine based medications (bupropion and varenicline) (Ruger and
Razar, 2012). The first model will discuss the cost-effectiveness of community pharmacy on smoking cessation program. We will estimate the cost-effectiveness of establishing smoking cessation
programs, medications compared to non-pharmacy based program.
In decision analytical modeling, the simplest form of model is decision tree (Karnon and
Brown, 1998). Decision tree illustrates alternatives and its events that represent by pathways
(figure 2.). There are several nodes in a decision tree. The square node represents the decision
question, in this case pharmacological-smoking cessation program versus no program. This is the
simplest scenario of a decision tree. In reality, the comparators are probably more than one, such
as tobacco bans or other considerable programs. Events or morbidities in a decision tree are
represented by circular symbols. Triangular or terminal nodes are placed in the end of each
event pathways, where model stopped.
The set of alternatives in a decision tree should be mutually exclusive. It means that
two events could not occur simultaneously (Briggs et al. 2006, Petrou and Gray 2011).
Probabilities of events and costs are incorporated in each pathway. The probability shows the
proportion of pa-tients progression, and in each alternative it should be summed as exactly 1.
The decision tree structure is adapted from study that compares a pharmacist-managed
smoking-cessation program with a self-directed quit attempt. The events from therapy strategies are
modified and simplified (Figure 2.) (Tran et al. 2002; Bauld et al. 2011). A comparator or no program
means there is no aid from a pharmacist in smoking cessation. The data in this model is assumed
primary data. Costs incurred are cost related to intervention, with payer perspective. This model
assumes that in six months, the program may generate two conditions, smokers attempt to quit
smoking or remain continue to smoke, with events of their health condition, persistent cough.
There are two strategies in this model. Costs are assigned in each pathway. The effectiveness
of intervention is illustrated on each event, having persistent cough or not. For instance, the probabilities 0.30, indicating that 30% of patients who joined the program with medications attempted to
quit smoking. The final result is cost per case avoided. In the end of the decision tree, the expected
value of costs and outcomes are assigned, ICER therefore can be calculated.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

28

Volume 1, Nomor 1

Modelling on Smoking Cessation

29

Putri

The summary of calculation is briefly presented below:


Table 1. Calculation according decision-tree
Pathways
Program
A
B
C
D
Total
No program
E
F
G
H

Costs

Intervention
benefit

Expected cost Intervention benefit


(a x b)

$200
$275
$200
$275

0.30x0.70= 0.21
0.30x0.30= 0.09
0.70x0.70= 0.49
0.70x0.30= 0.21
1.00

$
$
$
$
$

42
24.75
98
57.75
222.5

$ 222.5/0.21= $1,059.5

$100
$150
$100
$150

0.05x0.70= 0.04
0.05x0.30= 0.02
0.95x0.70= 0.67
0.95x0.30= 0.29

$
$
$
$

4
3
67
43.5

$ 117.5/0.04= $2,937.5

Total

1.00 $ 117.5

The average cost-effectiveness ratio (ACER) is derived from expected costs per
effective-ness, in this case per quit smoking with no persistent cough. We can conclude that
ACER of no program is higher than providing program $2,937.5. Furthermore, to estimate
ICER, as formulat-ed above, the ICER will be (222.5-117.5) / (0.21-0.04) resulting $617.65 per
quit attempt (with no persistent cough). To conclude whether program is potentially effective,
analysts can use their acceptable maximum of cost-effectiveness ratio ().
Applying decision tree allows the less complicated scenarios, simplicity, as well as
trans-parency (Karnon and Brown, 1998; Petiti, 1999). We can build a set of alternatives with
clear pathways. However, there is a limitation to deal with time dependent in economic
evaluation such as applying discounting. The decision tree above looks simple because it is
applying short-term outcome and short time horizon (less than one year), with unnecessary
discounting appli-cation. The smoking cases often have outcome that tend to be recursive, or
patients will survive with a particular condition that may take longer than one year. In terms of
recurrent events such as chronic diseases, the analysis will be more complicated. Decision tree
become bushy and having long-complex pathways. (Karnon and Brown, 1998; Briggs et al.
2006; Petrou and Gray, 2011)

Markov model
The Markov model was first developed by Russian mathematician, Andrey Markov
(1856-1922). It is a random process that encounters transition from one state to another state.
This model is beneficial for ongoing events over time and risks exposure (Stahl, 2008). For
instance, we will discuss lung cancer as clinical conditions that are experienced by patients, risks
may change over time and Markov model can be useful for this case.
As a model alternative in health economic evaluation, the Markov model can deal with more
complex decision problems and is able to be applied for longer pathways/sequences, partic-ularly for
recurrent outcomes (Stahl, 2008; Sato and Zouain, 2010). Markov state refers patients are staying in
one health state and can move from their current state to another state over discrete time period. The
movements among states are attributed by transition probability. Number of states in Markov model
are determined depend on decision problem. Moreover, time horizon is represented by distinctive
cycles, it could be monthly or annual cycle. (Sonneberg and Beck, 1993; Briggs and Sclupher,
1998; Briggs, 2006; Nikfar, 2012). The first state in Markov process
Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

30

Volume 1, Nomor 1

is commonly of well condition or without morbidity, then progression states and finally death,
or familiarly known as absorption state.
We will discuss the application of Markov model for estimating the cost-effectiveness of
Veranicline compared to Bupropion. This is based on condition that Varenicline has higher effectiveness to support smoking cessation compared to another pharmacological intervention (Mahmoudi et al, 2012). Structure of this model is adapted and modified according to publication that
apply BENESCO (Benefits of Smoking Cessation on Outcomes model) and Quit Benefit Model
(QBM) (Hurley and Matthews 2007; Bolin et al. 2009).
The first stage in constructing Markov model after specifying decision problem is de-fining
the states. States must represent clinical and economic effects of a disease. In this model, states
consist of: no-morbidity/well, COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease), lung can-cer, stroke
and MI (Myocardial Infarction). Four states in progressive states assume that model will be
simulated for 20 years, and post-morbidities state transition probability assumed similar for first and
second year onwards. The Markov model is presented in Figure 3, and to translate and to understand
the transition probabilities, author provide the transition matrix on table 2.

Figure 3. Markov modelfor cost-utility analysis of Veranicline versus Bupropion


Overall, there are six health states on this Markov model. Patients start the model with
well states, or without morbidity, and can move to particular states such as stroke, COPD, lung
cancer and MI or death. The next stage is incorporating input parameters that include transition
probability, costs, utility and effectiveness. For this model, the effectiveness of intervention is
tak-en from meta analyses, represented with Risk Ratio (RR).
According to the graph, transition probability initiated with p followed by the first letter of
states. For example: pStoD is for transition probability from stroke state to death state. Transi-tion
probabilities (represented by arrows) are derived from clinical trials, observational studies or from
systematic reviews. Transition probabilities can be structured by transition probability matrix on
Table 2. The loop symbol means that patients may remain experiencing with health condition in
that state at specific time before moving to another state. In CUA, sometimes an ideal model is added
with second year of progressive states such as: post stroke, post MI, second year lung cancer
Modelling on Smoking Cessation

31

Putri

and soon, with an assumption that progressivity of utility values occur in patients after receiving
the intervention. If the model having extended structure such as post-stroke or post MI, it means
that we could add new input parameters for second year onwards.
Table 2. Transition Probability Matrix
Transition to
No morbidity

Transition
from
No morbid- 1-pNtoS-pNtoCity
pNtoL-pNtoMIpNtoD
Stroke
0
COPD
0
Lung cancer 0
MI
0
Death
0

Stroke

COPD

Lung cancer

MI

Death

pNtoS

pNtoC

pNtoL

pNtoMI

pNtoD

1-pstoD
0
0
0
0

0
1-pCtoD
0
0
0

0
0
1-pLtoD
0
0

0
0
0
1-ptoD
0

pStoD
pCtoD
pLtoD
ptoD
pDtoD

The total sum of transition probabilities from initial until end of model must be 1.0.
There-fore, when we calculate the probability of patients who remain in the same states (loop
symbol) with 1-probabilties. Value 0 simply representing that there is no transition probability
from a state to another state (see figure 2.)
Sometimes, when it is intended to input parameters such as transition probabilities, for
in-stance from systematic reviews, the confusion between rate and probability exists.
Transition probabilities gathered from literature reviews do not exactly reflect the models cycle
that we con-struct (Sato, 2010). Rates are potential occurrence of an event in defined population
and defined time. Meanwhile, probability is assigned values ranging from 0 and 1, representing
the likelihood of an event happening over a specific period of time. To deal with this, rate is
possible to be con-verted to a probability and vice versa (Briggs et al. 2006) where p is the
probability, r is the rate and t is the time period of an interest:

p=1-exp {-rt}
In the cohort hypothetical simulation, the author desribes how Markov model is running,
without assigning all input parameters. Details are provided in appendix 1. We only incorporated
transition probability for every health states, only for familiarizing audience of basic Markov application. Unlike a decision tree, Markov model is applicable for applying discounting, which is an
important factor in health economic evaluation. Additionally, for chronic diseases, the life table
and survival data are often attached into the model. Quality Adjusted Life Years (QALYs) also can be
estimated as final results, since in calculating QALYs, valuing quality of life encompasses the length
of time spent in health states (Briggs, 1998). The cost analysis also has similar method,
costs are represented in treatment events. With computer application, this complex simulation can
be handled. After simulating decision analytic model, the final results are ICER, derived from
differences for both costs and effects/utility, in this case after 20 years cycle. Thus, decision rules
should be followed.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

32

Volume 1, Nomor 1

Although Markov model application is helpful in decision analytic modeling, there are
several limitations that we should aware of. Markov has a characteristic of memory less (Sonnenberg, 1993; Briggs, 1998). It means when patient move to another states, the model will have
no historical memory where patients has come from previous cycles. The population equal in this
model also with constant risk. Adding additional states and time dependency into transition probability may possible for the model. Besides, Markov model has greater complexity compared to
decision tree, however computer software nowadays could help for running this model.

Handling uncertainty
Variability, uncertainty and heterogeneity influences the results of decision analytic
model, these should be handled (Barton et al. 2004). The results of evaluation are depending on
uncertain-ties that related with various factors. This section will focus on short-review for
handling uncer-tainty, before going further, that will be useful to define several types of
uncertainty in modeling (Briggs et al. 2012). Decision makers needs evidence beyond point
estimate of the outcome. The uncertainty-surrounding outcome should be explored and reported.
Uncertainty may categorized as methodological uncertainty, parameter uncertainty, structural
uncertainty and generalizability (Briggs and Sclupher, 1995). Thus, decision maker can receive
more information what factors that influence the model and its findings, and increasing the
confidence level where they read and intend to accept the evaluation results.
Uncertainty can be handled by performing appropriate sensitivity analysis. There are several types of sensitivity analysis (Andronis et al. 2009, Briggs et al. 2012). First, a one-way sensitivity analysis. It is the simplest form of sensitivity analysis, examines impact of the changes in
model results by varying plausible values range. Tornado diagram is used to visualized this,
presented with baseline value and range variation in the right and left wings. Second is multiway sensitivity analysis, including two-way sensitivity analysis. This examines relationship of
two or more parameters, not single parameters like one-way sensitivity analyses. Another type is
extreme scenario, simply when the parameters or input value of favorable intervention are
established to provide best and worst case scenario.
Probabilistic Sensitivity Analysis (PSA) is one type of sensitivity analysis that runs randomly by large number of Monte Carlo simulation (for instance: 10,000 iterative). It is examine
each input parameters with their probability distributions. It resulted mean cost as well as effectiveness. This approach is preferred to generate cost-effectiveness acceptability curve (Claxton et
al. 2005; Ades et al. 2006).
Finally, model result and its sensitivity analysis should be presented clearly. It is advisable to
see guidelines related to full health economics study reporting (Husereau et al. 2013).

Conclusions
Models are chosen, construct and developed based on decision problems and must be appropriate with decision makers purpose. All evidence as input parameters are assigned and performs by mathematical operations that translating into model. Furthermore, to decide the set of
alternatives that should be chosen, the final results of decision analytical models have to follow
decision rules for cost-effectiveness of health intervention. The explanation in this paper not providing best practice yet simple example of modeling application, further details and international
guidelines are available elsewhere (Sclupher et al. 2000; Hjelmegren et al. 2001; Weinstein et al.

Modelling on Smoking Cessation

33

Putri

2003; Philips et al. 2006).


This paper provides a review and application of decision analytic model in economic evaluation, with tobacco cessation examples. Decision tree and Markov model are commonly per-formed
in health economic evaluation, indeed with their advantages and limitations. These two model are
complements each other. Performing decision analytic modeling is beneficial, specifi-cally when
there are several barriers from clinical trials. Decision tree with its simplicity is able to provide clear
pathways of decision and for economic evaluation with intermediate outcomes.
Markov meanwhile has ability to analyze the condition with longer time horizon and expecting
final outcomes.

Acknowledgements
The author thanks to Prof. Hasbullah Thabrany MD.,MPH.,DrPH for his valuable input
and review on final draft of manuscript.

References
Ades, A.E., Claxton, K. and Sculpher, M., 2006. Evidence synthesis, parameter correlation and
probabilistic sensitivity analysis. Health economics, 15(4), pp.373-381.
Andronis, L., Barton, P. and Bryan, S., 2009. Sensitivity analysis in economic evaluation: an
audit of NICE current practice and a review of its use and value in decision-making.
Bauld, L., Boyd, K.A., Briggs, A.H., Chesterman, J., Ferguson, J., Judge, K. and Hiscock, R., 2011.
One-year outcomes and a cost-effectiveness analysis for smokers accessing group-based
and pharmacy-led cessation services. Nicotine & Tobacco Research, 13(2), pp.135-145.
Bolin, K., Wilson, K., Benhaddi, H., De Nigris, E., Marbaix, S., Mork, A.C. and Aubin, H.J.,
2009. Cost-effectiveness of varenicline compared with nicotine patches for smoking
cessa-tionresults from four European countries. The European Journal of Public
Health, 19(6), pp.650-654.
Briggs, A. and Sculpher, M., 1995. Sensitivity analysis in economic evaluation: a review of published studies. Health economics, 4(5), pp.355-371.
Briggs, M.A. and Sculpher, M., 1998. An introduction to Markov modeling for economic evaluation. Pharmacoeconomics, 13(4), pp.397-409.
Briggs, A. and Tambour, M., 2001. The design and analysis of stochastic cost-effectiveness
studies for the evaluation of health care interventions.Drug information journal, 35(4),
pp.1455-1468.
Briggs, A., Sculpher, M. and Claxton, K., 2006. Decision modeling for health economic evaluation. OUP Oxford.
Briggs, A.H., Weinstein, M.C., Fenwick, E.A., Karnon, J., Sculpher, M.J. and Paltiel, A.D., 2012.
Model parameter estimation and uncertainty analysis a report of the ISPOR-SMDM
Mod-eling Good Research Practices Task Force Working Group6. Medical Decision
Making, 32(5), pp.722-732.
Buxton, M.J., Drummond, M.F., Van Hout, B.A., Prince, R.L., Sheldon, T.A., Szucs, T. and Vray,
M., 1997. Modeling in economic evaluation: an unavoidable fact of life. Health
economics, 6(3), pp.217-227.
Byford, S. and Raftery, J., 1998. Economics notes: Perspectives in economic evaluation. British

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

34

Volume 1, Nomor 1

Medical Journal, 316(7143), p.1529.


Caro, J.J., Briggs, A.H., Siebert, U. and Kuntz, K.M., 2012. Modeling good research practices
overview a report of the ISPOR-SMDM modeling good research practices task force1.
Medical Decision Making, 32(5), pp.667-677.
Claxton, K., Sculpher, M., McCabe, C., Briggs, A., Akehurst, R., Buxton, M., Brazier, J. and
OHagan, T., 2005. Probabilistic sensitivity analysis for NICE technology assessment: not
an optional extra. Health economics,14(4), pp.339-347
Cohen, D.J. and Reynolds, M.R., 2008. Interpreting the results of cost-effectiveness studies.
Jour-nal of the American College of Cardiology, 52(25), pp.2119-2126.
Drummond MF, Sculpher MJ, Torrance GW, OBrien BJ, Stoddart G. 2005. Methods for theeconomic evaluation of health care programmes. 3rd ed. Oxford UniversityPress.
Gray, A.M., Clarke, P.M., Wolstenholme, J.L. and Wordsworth, S., 2010. Applied methods of
cost-effectiveness analysis in healthcare (Vol. 3). OUP Oxford.
Grosse SD. Assessing cost-effectiveness in healthcare: history of the $50,000 per QALY threshold.
Expert review of pharmacoeconomics & outcomes research. 2008 Apr 1;8(2):165-78.
Hjelmgren, J., Berggren, F. and Andersson, F., 2001. Health economic guidelinessimilarities,
differences and some implications. Value in Health,4(3), pp.225-250.
Hunnink,M. and P.Glasziou., 2001. Decision Making in Health and Medicine. Cambridge
Univer-sity Press, Cambridge, UK.
Hurley, S.F. and Matthews, J.P., 2007. The Quit Benefits Model: a Markov model for assessing
the health benefits and health care cost savings of quitting smoking. Cost effectiveness
and resource allocation, 5(1), p.1.
Husereau, D., Drummond, M., Petrou, S., Carswell, C., Moher, D., Greenberg, D., Augustovski,
F., Briggs, A.H., Mauskopf, J., Loder, E. and ISPOR Health Economic Evaluation Publication Guidelines-CHEERS Good Reporting Practices Task Force, 2013. Consolidated
health economic evaluation reporting standards (CHEERS)explanation and
elaboration: a report of the ISPOR health economic evaluation publication guidelines
good reporting practices task force. Value in Health, 16(2), pp.231-250. Jefferson, T.,
Demicheli, V. and Mugford, M., 2000. Elementary economic evaluation in health care.
Wiley-Blackwell [Im-print].
Jnsson, B., 2009. Ten arguments for a societal perspective in the economic evaluation of
medical innovations. The European Journal of Health Economics, 10(4), pp.357-359.
Karnon, J. and Brown, J., 1998. Selecting a decision model for economic evaluation: a case study
and review. Health care management science, 1(2), pp.133-140.
Martikainen, J., 2008. Application of decision-analytic modeling in health economic evaluations.
University of Kuopio.
McCabe, C., Claxton, K. and Culyer, A.J., 2008. The NICE cost-effectiveness threshold. Pharmacoeconomics, 26(9), pp.733-744.
Morris,S., N. Devlin, and D. Parkin., 2007. Economic Analysis in Health Care. John Wiley &
Sons, Chichester, UK.
Neumann, P.J., Cohen, J.T. and Weinstein, M.C., 2014. Updating cost-effectivenessthe curious
resilience of the $50,000-per-QALY threshold. New England Journal of Medicine,
371(9), pp.796-797.
OBrien, B.J., Drummond, M.F., Labelle, R.J. and Willan, A., 1994. In search of power and signif-

Modelling on Smoking Cessation

35

Putri

icance: issues in the design and analysis of stochastic cost-effectiveness


studies in health care. Medical care, pp.150-163.
Owens, D.K., 1998. Interpretation of cost-effectiveness analyses. Journal of
General Internal Med-icine, 13(10), p.716.
Petitti, D.B., 1999. Meta-analysis, decision analysis, and cost-effectiveness
analysis: methods for quantitative synthesis in medicine. Oxford University
Press.
Petrou, S. and Gray, A., 2011. Economic evaluation using decision analytical
modeling: design, conduct, analysis, and reporting. Bmj, 342, p.d1766.
Philips, Z., Bojke, L., Sculpher, M., Claxton, K. and Golder, S., 2006. Good practice
guidelines for decision-analytic modeling in health technology assessment.
Pharmacoeconomics, 24(4), pp.355-371.
Roberts, M., Russell, L.B., Paltiel, A.D., Chambers, M., McEwan, P. and Krahn, M.,
2012. Con-ceptualizing a model a report of the ISPOR-SMDM modeling
good research practices task force2. Medical Decision Making, 32(5),
pp.678-689.
Ruger, J.P. and Lazar, C.M., 2012. Economic evaluation of pharmacy-and
behavioral therapies for smoking cessation: a critical and systematic review
of empirical research. Annual review of public health, 33, p.279.
Sato, R.C. and Zouain, D.M., 2010. Markov Models in health care. Einstein (So
Paulo), 8(3), pp.376-379.
Sculpher, M., Drummond, M. and Buxton, M., 1997. The iterative use of economic evaluation as
part of the process of health technology assessment. Journal of Health Services Research,
2(1), pp.26-30.
Sculpher, M., Fenwick, E. and Claxton, K., 2000. Assessing quality in decision
analytic cost-effec-tiveness models. Pharmacoeconomics, 17(5), pp.461477.
Sculpher, M.J., Claxton, K., Drummond, M. and McCabe, C., 2006. Whither trial based economic
evaluations for health caredecision-making?. Health economics, 15(7),
pp.677-687.
Shiell, A., Donaldson, C., Mitton, C. and Currie, G., 2002. Health economic evaluation. Journal
of epidemiology and community health, 56(2), p.85.
Shiroiwa, T., Sung, Y.K., Fukuda, T., Lang, H.C., Bae, S.C. and Tsutani, K., 2010. International
survey on willingness to pay (WTP) for one additional QALY gained: what is
the threshold of cost-effectiveness?. Health economics, 19(4), pp.422-437.
Sonnenberg, F.A. and Beck, J.R., 1993. Markov models in medical decision making a practical
guide. Medical decision making, 13(4), pp.322-338
Sox,H.C., Blatt, M,A., Higgins,M.C., and Marton, K.I. 1988.Medical Decision
Making.Butter-worths, Stoneham, Massachusetts.
Stahl, J.E., 2008. Modeling methods for pharmacoeconomics and health
technology assessment. Pharmacoeconomics, 26(2), pp.131-148.
Tran, M.T., Holdford, D.A., Kennedy, D.T. and Small, R.E., 2002. Modeling the Cost
Effective-ness of a SmokingCessation Program in a Community Pharmacy
Practice. Pharmaco-therapy: The Journal of Human Pharmacology and Drug
Therapy, 22(12), pp.1623-1631.
Weinstein, M.C., OBrien, B., Hornberger, J., Jackson, J., Johannesson, M.,
McCabe, C. and Luce, B.R., 2003. Principles of good practice for decision
analytic modeling in health care eval-uation: report of the ISPOR Task

Force on Good Research PracticesModeling Studies. Value in health,


6(1), pp.9-17.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

36

Volume 1, Nomor 1

Appendix 1
Table 1. Input Parameters
Parameters
Transition probabilities
pNtoS
pNtoC
pNtoL
pNtoM
pNtoD
pStoD
pCtoD
pLtoD
pMtoD
pDtoD
Effectiveness
RRs
RRc
RRl
RRm

Modelling on Smoking Cessation

Value
0.0082
0.0721
0.040
0.01
0.05
0.022
0.025
0.075
0.035
1.00
0.71
0.65
0.85
0.69

37

Putri

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

38

Volume 1, Nomor 1

Evaluasi Pengadaan Obat Publik Pada JKN Berdasarkan


Data e-Catalogue Tahun 2014-2015
Ary Dwiaji1, Prih Sarnianto2, Hasbullah Thabrany3, Muhammad
Syarifudin4 Korespondensi: arydwiaji@cheps.or.id
Dikirimkan pada 10 Juli 2016. Ditinjau pada 22 Juli 2016. Diterima pada 25 Juli 2016.

Abstrak
Sejak dimulainya JKN, pengadaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) publik dilakukan dengan e-Purchasing melalui e-Catalogue. Didasarkan pada RKO dan HPS, penyusunan e-Catalogue
dilakukan melalui proses lelang dan negosiasi harga. Rantai proses tersebut akan berdampak pada jenis
(molekul) dan jumlah obat yang tayang dalam e-Catalogue maupun jumlah dan volume permintaan oleh
faskes publik (e-Order).

Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi e-Order menurut kategorisasi obat, yaitu generik (OGB)
dan dengan merek dagang (OMD), pada data e-Catalogue 2014-2015.

Metode
Pada penelitian ini dilakukan pula wawancara dengan pegawai LKPP yang berwenang dalam
peny-usunan e-Catalogue. Evaluasi dilakukan dengan menganalisis profil penawaran obat JKN (eCatalogue atau RKO) dan kesenjangannya dengan permintaan oleh fasilitas kesehatan publik, baik pada
kelompok OGB maupun OMD.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa dalam e-Catalogue, pada 2014 ditawarkan 800 item
obat (50,3% OGB; 49,7% OMD) dari 73 perusahaan farmasi dan, pada 2015, sedikit menurun jadi 795
item obat (40,4% OGB; 59,6% OMD) dari 79 perusahaan farmasi. Di sisi lain, e-Order pada 2014 tercatat
Rp1.199,01 miliar (71,9% OGB, 28,1% OMD) untuk 1.928,50 juta satuan obat terkecil (98,2% OGB;
1,8% OMD) dan, pada 2015, mengalami peningkatan jadi Rp3.201,44 miliar (48,4% OGB; 51,6% OMD)
untuk 3.175,78 juta satuan obat terkecil (96,8% OGB; 3,2% OMD). Rerata harga OMD pada 2014 dan
2015 itu masing-masing Rp9.978,04 dan Rp15.957,70 per satuan obat terkecil, sekitar 20 sampai 30 kali
lipat rerata harga satuan OGB yang hanya Rp454,86 dan Rp504,19 per satuan obat terkecil. Hasil analisis
juga menunjukkan adanya kesenjangan antara RKO dan e-Order yang, menurut data kualitatif, terutama
berakar dari penetapan RKO dan HPS serta penayangan e-Catalogue yang tidak memberikan cukup
waktu bagi pemenang lelang untuk mempersiapkan obat dalam jumlah yang sesuai dengan komitmen,
pada saat dibutuhkan oleh fasilitas kesehatan.

Kesimpulan
Guna mengatasi masalah mendasar ini, perlu dilakukan penyempurnaan dalam penetapan RKO
dan HPS serta dibuat kesepakatan terkait alur dan jadwal penyusunan e-Catalogue.

Kata Kunci
RKO. e-Catalogue. e-Order. OGB. OMD. LKPP.

1
2
3
4

Asisten Peneliti (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
Dosen (Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila)
Kepala (Center for Health Economic and Policy Studies UI)
Peneliti Muda (Badan Litbangkes)

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

39

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

Abstract
Since National Health Insurance (JKN) has been implemented, drug procurement in public health
care facilities use e-Purchasing via e-Catalogue. Based on the RKO and HPS, drafting e-Catalogue have
gone through a tender process and price negotiations. The process chain will effect the type (molecules)
and the amount of drug through the e-Catalogue as well as the number and volume of demand by public
health care facilities (e-Order).

Objectives
This study evaluated the e-Order according to the categories of medicine, namely generic (OGB)
and branded (OMD), using e-Catalogue data 2014-2015. The study also conducted interviews with
employ-ees LKPP authorities in the preparation of e-Catalogue. Evaluation has been done by analyzing
the profile of drug deals JKN (e-Catalogue or RKO) and gaps with demand by the public health care
facilities, either in groups or OMD OGB.

Result and Discussion


Descriptive analysis showed that, in the e-Catalogue, in 2014 to offer 800 items of drugs (OGB
50.3%; 49.7% OMD) of 73 pharmaceutical companies and, in 2015, slightly decreased to 795 drug items
(40.4% OGB; 59.6% OMD) of 79 pharmaceutical companies. On the other hand, e-Order Rp1,199.01 billion
recorded in 2014 (71.9% OGB, 28.1% OMD) to 1,928.50 million units of the smallest drug (OGB 98.2%;
1.8% OMD) and, in 2015, had increased so Rp3,201.44 billion (48.4% OGB; 51.6% OMD) to 3,175.78
million units of the smallest drug (OGB 96.8%; 3.2% OMD). Average price OMD in 2014 and 2015 was
respectively Rp9.978,04 and Rp15.957,70 per unit smallest drug, about 20 to 30 times the aver-age unit price
is only Rp454.86 OGB and Rp504.19 per unit smallest drug. The analysis also showed the gap between RKO
and e-Order, according to the qualitative data, mainly stems from the establishment of RKO and HPS and
delivery of e-Catalogue which did not leave enough time for the auction winner to pre-pare the drug in an
amount corresponding to the commitment, at the time required by health care facilities.

Conclusion
To address this fundamental problem, it is necessary to improve the determination of RKO and
HPS and related agreements about e-Catalogue preparation flow and schedule should be made.

Key Words
RKO. e-Catalogue. e-Order. OGB. OMD. LKPP.

Pendahuluan
Sejak dimulainya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), awal 2014, pengadaan obat JKN di fasilitas pelayanan kesehatan (faskes) publik dilakukan dengan e-Purchasing melalui e-Catalogue. Berdasarkan
pada Rencana Kebutuhan Obat (RKO) Tingkat Nasional dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penyusunan e-Catalogue dilakukan melalui proses lelang dan
negosiasi yang dilaksanakan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa (LKPP). Pengadaan
obat JKN melalui e-Catalogue diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat atas Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa dan Surat Edaran
Kemenkes No.167 Tahun 2014. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan obat yang aman, bermutu, dan berhasiat di faskes secara transparan, efektif, efisien, dan dapat
dipertanggungjawabkan (Kemenkes, 2014).
Proses pengadaan obat dimulai dari pemilihan, pemesanan, dan pengiriman (distribusi) yang, pada
ujungnya, adalah pemberian obat oleh rumah sakit [atau puskesmas] kepada pasien. Agar berjalan dengan baik,
proses ini perlu didukung manajemen informasi, sumberdaya manusia, perencanaan, dan organisa-si yang baik
(Health, 2012b). Pada dasarnya, e-Catalogue merupakan sistem manajemen informasi yang menghubungkan
antara pemerintah (LKPP, Kemenkes, Badan POM), produsen (pabrik obat, distributor),

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

40

Volume 1, Nomor 1

dan pengguna (rumah sakit, puskesmas) dalam proses pengadaan obat JKN. Berbasis teknologi informasi,
sistem e-Catalogue bertujuan memberikan kenyamanan, efisiensi, harga yang wajar, dan informasi obat
baru; menempatkan pembeli pada efisiensi tertinggi (Ketikidis et al., 2010). Dengan sistem online yang
transparan tersebut diharapkan rumah sakit dan puskesmas dapat melakukan pengadaan obat JKN secara
mudah.
Kenyataannya, masih sering dijumpai pasien JKN harus menebus obat sendiri karena kekosongan
obat, obat tidak tercantum dalam Formularium Nasional (Fornas), obat tidak termasuk dalam paket pengobatan, dan berbagai alasan lain yang disampaikan oleh pihak rumah sakit atau puskesmas. Akibatnya,
pasien harus mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkan obat yang sesuai dengan dosis dan lama
terapi yang dianjurkan.
Dengan demikian, perlu dilakukan kajian tentang alur sistem e-Catalogue, termasuk pola pemesanan obat JKN yang meliputi jenis dan jumlah obat berdasarkan data LKPP.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi, secara kualitatif dan deskriptif kuantitatif, pengadaan
obat JKN melalui e-Catalogue pada 2014-2015, termasuk kategorisasi menjadi obat generik (OGB, yang
telah off-patent) dan obat dengan merek (OMD, yang umumnya masih in-patent) pada penyusunan eCata-logue yang dilakukan oleh LKPP.

Metodologi
Penelitian ini adalah studi evaluatif menggunakan data pemesanan obat melalui e-Catalogue dan
RKO yang tercatat dalam pangkalan data LKPP untuk tahun 2014 dan 2015. Analisis kuantitatif
dilakukan guna melihat berapa banyak RKO mendapat pemesanan dari fasilitas kesehatan publik (eOrder), jumlah industri farmasi dan satuan kerja kesehatan yang berpartisipasi dalam e-Catalogue, serta
mengkaji kesen-jangan yang ada terkait kelompok OGB dan OMD.
Selain itu, dilakukan pula analisis kualitatif untuk mendapatkan gambaran tentang proses pengadaan obat JKN melalui e-Catalogue dan masalah yang ada dalam rantai proses yang panjang tersebut.
Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam pada November 2015, dengan
pegawai LKPP yang berwenang dalam penyusunan e-Catalogue obat.

Hasil dan Pembahasan


Proses Penyusunan e-Catalogue dan e-Purchasing
Aturan yang mendasari penyusunan e-Catalogue adalah Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 523 Tahun 2015 yang telah disempurnakan dengan Kepmenkes No.137 Tahun 2016 tentang
Formularium Nasional (Fornas). Fornas berisi daftar obat terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di
faskes, sebagai acuan dalam pelaksanaan JKN. Untuk itu, Fornas digunakan sebagai acuan dalam
penyusu-nan e-Catalogue. Bila suatu obat tidak terdapat di dalam Fornas, dapat digunakan obat lain [yang
memiliki efek terapi serupa] secara terbatas, berdasarkan persetujuan Komite Medik dan Kepala/Direktur
Rumah Sakit setempat (Kemenkes, 2015). Penggunaan obat di luar Fornas [dan, karenanya, di luar eCatalogue] ini tidak menjadi masalah untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit yang didasarkan pada
Ina-CBGs. Namun demikian, dalam pemberian obat rujuk-balik, klaim atas obat-obat yang tidak ada di
dalam e-Catalogue tidak akan mendapatkan penggantian.

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

41

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

Proses penetapan e-Catalogue melibatkan dua pihak sebagai pihak pertama, yaitu Kemenkes dan
LKPP. Kementerian Kesehatan menyusun RKO Nasional [dari RKO yang diajukan oleh Pemerintah Daer-ah
Tingkat I Provinsi seluruh Indonesia] selama satu tahun dan HPS. Sampai saat ini, e-Catalogue hanya dapat
diakses oleh faskes publik yang, menurut Permenkes No.68 Tahun 2010, wajib menggunakan obat generik
(Kemenkes, 2010), Sebab itu, dalam e-Catalogue, OGB didahulukan dibandingkan obat lainnya.
Sebagai pelaksana lelang harga dalam penyusunan e-Catalogue, LKPP membentuk Kelompok Kerja
(Pokja) yang bertugas melakukan pemilihan penyedia obat di Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi (K/L/D/I) (LKPP, 2015). Untuk itu, Pokja membuat dokumen lelang berdasar-kan RKO dan
HPS yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Obat yang masuk dalam lelang diseleksi kembali
dengan melihat apakah obat tersebut memiliki versi generik (OGB)-nya. Bila OGB terse-but memiliki banyak
penyedia, dilakukan lelang. Tetapi, bila OGB tersebut hanya memiliki dua atau tiga pemasok, sehingga sulit
terbentuk harga yang wajar dalam pelelanganapalagi pemasok tunggaldilaku-kan proses negosiasi harga.
Demikian pula untuk obat yang tidak ada OGB-nya; bila memiliki banyak penyedia dilakukan proses lelang
dan, bila jumlah pemasoknya terbatas, dilakukan proses negosiasi.

Setelah dicapai kesepakatan harga untuk penyediaan obat dengan kuantitas tertentu, di provinsi
tertentu, baik melalui mekanisme lelang maupun negosiasi, dibuat kontrak payung. Kontrak payung inilah
yang menjadi dasar penayangan e-Catalogue di situs web LKPP. Penawaran dalam e-Catalogue berlaku
pada awal tahun atau, untuk item obat yang mengalami keterlambatan tayang, segera setelah tayang. alami keterlambatan tayang, segera setelah tayang. Proses pembentukan e-Catalogue yang secara umum digambarkan dalam Lampiran-1 tersebut, termasuk jadwal kegiatannya, dapat diakses oleh para pemangku
kepentingan kunci.
Karena harga obat dalam e-Catalogue umumnya lebih murah dibanding harga reguler, e-Catalogue
tersebut biasanya langsung dimanfaatkan untuk e-Purchasing. Proses e-Purchasing dimulai dengan pemesanan secara online obat yang dipilih oleh K/L/D/I. Pesanan tersebut dilanjutkan kepada perusahaan farma-si
pemenang lelang yang harus segera menyatakan apakah mampu memenuhinya. Pemenang lelang hanya satu,
yaitu perusahaan farmasi yang memberikan penawaran harga terendah. Jika tidak sanggup memenuhi pesanan
yang diajukan, perusahaan farmasi tersebut harus memberikan penjelasan yang dapat diterima dan, jika
diperlukan, dapat dilakukan revisi pesanan yang kemudian diberitahukan pada K/L/D/I. Jika sang-gup
memenuhi pesanan, pemenang lelang memberikan laporan kesediaan pada K/L/D/I. Berdasarkan pen-awaran
dan kesediaan tersebut, dibuat kontrak antara K/L/D/I dan perusahaan farmasi pemenang lelang un-tuk
pengiriman obat JKN yang dipesan. Secara umum proses e-Purchasing dapat dilihat pada Lampiran-2.

Profil Obat dalam e-Catalogue


Secara umum, jenis zat aktif obat dalam e-Catalogue mengalami peningkatan, yaitu dari 400
(pada 2014) menjadi 441 molekul obat (2015). Di sisi lain, item obat yang ditawarkan mengalami
rasionalisasi dari 800 (pada 2014) menjadi 795 item obat (2015), karena beberapa bentuk sediaan tidak
mendapat peme-san yang cukup banyak pada 2014. Dari item obat ini, pada 2014 sebagian besar (50,3%)
adalah OGB teta-pi, pada 2015, proporsi OMD lebih besar (59,6%). Pada pemesanan, menurut volume, eOrder untuk OGB sangat dominan, baik pada 2014 (98,2%, yaitu 1.894,71 juta dari 1.928,50 juta satuan
obat terkecil) maupun 2015 (96,8%, yaitu 3.072,42 juta dari 3.175,78 juta satuan obat terkecil). Namun
demikian, menurut nilai, proporsi OGB pada 2014 tidak setinggi volumenya, hanya 71,9% (Rp861,84
miliar dari Rp1.199,01 mil-iar). Pada 2015 proporsi OGB kalah dari OMD, yaitu 48,4% (Rp1.549,07
miliar dari Rp 3.201,44 miliar) dibandingkan 51,6% (Rp1.652,37 miliar dari Rp3.201,44 miliar). Hal ini
mengindikasikan bahwa harga satuan OMD lebih tinggi dibanding OGB.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

42

Volume 1, Nomor 1

Tabel 1. Jenis dan Pemesanan Obat melalui e-Catalogue, 2014 dan 2015

Keterangan

e-Catalogue
2014

e-Catalogue
2015

Item obat
Obat generik [OGB]
Obat dengan merek dagang [OMD]

800
402
398

100,0
50,3
49,7

795
321
474

100,0
40,4
59,6

Molekul obat

410

Perusahaan farmasi pemenang lelang


PMDN
PMA

73
56
17

100,0
76,7
23,3

79
62
17

100,0
78,5
21,5

1.928.496.189
1.894.705.551
33.790.638
1.199.009.238.280
861.845.014.202
337.164.224.078

100,0
98,2
1,8
100.0
71,9
28,1

3.175.775.412
3.072.422.829
103.352.583
3.201.442.822.229
1.549.072.184.846
1.652.370.637.383

100,0
96,8
3,2
100.0
48,4
51,6

Pemesanan [e-Order]
Volume [satuan obat terkecil]
Obat generik berlogo [OGB]
Obat bermerek
Nilai [rupiah]
Obat generik berlogo [OGB]
Obat bermerek

441

Pada 2014 dan 2015, dengan volume e-Order yang masing-masing mencapai 1.894,71 juta dan
3.072,42 juta satuan obat terkecil sementara nilainya hanya Rp861,84 miliar dan Rp1.549,07 miliar, rerata
harga OGB adalah Rp454,86 dan Rp504,19 per satuan obat terkecil. Di sisi lain, dengan volume e-Or-der
yang masing-masing hanya 33,79 juta dan 103,35 juta satuan obat terkecil tetapi nilai yang menca-pai
Rp337,16 miliar dan Rp1.652,37 miliar, rerata harga OMD pada periode yang sama, 2014 dan 2015,
Rp9.978,04 dan Rp15.957,70 per satuan obat terkecil atau sekitar 20 sampai 30 kali lipat rerata harga
satuan OGB.
Dari sisi penyedia obat, pada 2014 maupun 2015, perusahaan farmasi yang terpilih menjadi
penye-dia obat JKN sebagian besar adalah perusahaan nasional (PMDN). Tidak memiliki R&D yang
kuat, PMDN lebih banyak menawarkan OGB atau, kalaupun OMD, yang relatif rendah harganya.

Pemesanan Obat melalui e-Catalogue


Data penawaran dalam e-Catalogue didasarkan pada RKO, sementara e-Purchasing didasarkan
pada pemesanan secara online oleh K/L/D/I atau faskes publik (e-Order). Data menunjukkan bahwa
dalam penyediaan obat JKN terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara RKO dan e-Order, walau pada
2015 kesenjangan tersebut menyempit (Tabel 2)

Evaluasi Pengadaan Obat JKN


Syarifudin

43

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, &

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

Tabel 2. Pemesanan Obat dengan RKO Terbanyak, 2014 dan 2015


No

Nama Obat
RKO

1
2

Asam mefenamat 500


Parasetamol 500

2014
e-Order

No

Nama Obat

RKO

2015
e-Order

%
44,1
22,6

44

1.249.981.785
763.599.036

55.887.700
192.292.551

4,5
25,2

1
2

Parasetamol 500
CTM 4

809.708.943
645.129.609

356.897.700
145.940.792

CTM 4

623.495.752

110.200

0,2

Amoksisilin 500

620.650.077

157.632.788

25,4

Gliseril guaiakolat 100

548.901.167

Vitamin B kompleks

432.796.601

142.383.459

32,9

Amoksisilin 500

527.318.839

38,6

Deksametason

392.010.034

Vitamin B kompleks

439.531.634

121.164.960

27,6

Antasida DOEN I

379.906.695

134.135.493

35,3

Antasida DOEN I

355.621.068

119.803.624

33,7

Vitamin C 50

352.598.146

95.476.738

27,1

Deksametason 0,5

342.729.731

68.134.600

19,9

Tiamin 50

318.245.383

3.725.090

Kalsium laktat 500

337.260.020

12.582.100

3,7

Asam mefenamat 500

295.654.918

28.179.121

9,6

10

Besi [II] sulfat + folat

332.550.872

3.000

~0

10

Piridoksin 10

275.638.482

35.135.398

12,7

11

Vitamin C 50

308.976.438

122.639.535

39,7

11

Kalsium laktat 500

231.403.459

80.040.632

34,6

12

Tiamin 50

234.792.108

11.714.300

5,0

12

Prednison 5

207.815.095

56.437.882

17,2

13

Metampiron 500

204.581.436

114.000

0,1

13

Besi [II] sulfat + folat

157.336.221

174.663.843

111,0

14

Dekstrometorfan 15

186.429.586

55.600

~0

14

Kaptopril 25

142.568.345

56.472.585

39,6

15

Kotrimoksasol DOEN I

124.333.607

21.248.180

17,1

15

Dietilkarbamazin 100

138.548.520

18.528.400

13,4

203.435.910

132.339.233

33,8

1,2

Volume 1, Nomor 1

Kesesuaian yang lebih baik ini tampaknya lebih disebabkan karena, pada tahun 2015
RKO beberapa item obat mengalami rasionalisasi setelah pada 2014 tidak mendapat e-Order
yang me-madai. Namun demikian, pada 2015 pun, proporsi e-Order dari 15 item obat dengan
RKO terban-yak masih jauh lebih rendah dari 50%, kecuali untuk tablet besi [II] sulfat + folat.
Pemesanan obat antianemia yang mencapai 111% RKO tersebut mungkin karena pada tahun
sebelumnya, 2014, e-Order oleh fasilitas kesehatan nyaris nihil.
Pada penyediaan obat penyakit kronis tidak menular, seperti anti hipertensi dan anti dia-betes,
terjadi pola kesenjangan yang serupa. Secara umum, kesenjangan RKO dan e-Order pada 2014 juga
lebih lebar dibanding pada 2015 (Tabel 3). Pada 2015, tidak ada lagi, misalnya, item obat yang
mendapat e-Order <25% RKO. Hal ini juga terjadi karena dilakukan rasionalisasi terhadap beberapa
item obat yang pada 2014 tidak mendapat e-Order memadai. Di sisi lain, karena RKO obat-obat
dengan e-Order tinggi pada 2014seperti tablet kaptopril dan tablet metforminjuga dinaikkan,
jumlah item obat yang mendapat e-Order >50% RKO tidak mengalami peningkatan berarti. Kalau
pada 2014, empat item obat mendapat e-Order >50% RKO, pada 2015 jumlah item obat yang
mendapat e-Order >50% RKO hanya meningkat jadi lima.

Data LKPP menunjukkan pula bahwa semua item obat dalam Daftar 15 Obat Penyakit
Kronis Tidak Menular dengan RKO Terbanyak adalah OGB. Laiknya OGB, rerata harga 15 obat
penyakit kronis tidak menular dengan RKO terbanyak tersebut jauh lebih rendah dibanding
rerata harga OMD, yaitu masing-masing Rp114,67 (pada 2014) dan Rp143,97 per satuan obat
terkecil (pada 2015). Di sisi lain, semua item obat dalam Daftar 15 Obat Antikanker dengan
RKO Terban-yak adalah OMD (Tabel 4). Belum memiliki versi off-patent, rerata harga obat
antikanker tersebut sangat tinggi, yaitu masing-masing Rp43.924,86 (pada 2014) dan
Rp31.080,91 per satuan obat ter-kecil (pada 2015).

Evaluasi Pengadaan Obat JKN


Syarifudin

45

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, &

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

Tabel 3. Pemesanan Obat Penyakit Kronis Tidak Menular dengan RKO Terbanyak, 2014 dan 2015
2014
No

46

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Nama obat
Kaptopril 25
Kaptopril 12,5
Metformin 500
Glibenklamida 5
Triheksifenidil 2
Simvastatin 10
Furosemid 40
Nifedipin 10
Amlodipin 5
Isosorbid dinitrat 5
Amlodipin 10
Hidroklortiazid 25
Digoksin 0,25
Propiltiourasil 100
Asetosal 80
Total

2015

RKO

e-Order

OGB/
OMD

116.468.264
74.274.254
59.531.274
48.626.213
45.321.326
33.327.613
32.560.482
28.869.554
28.771.743
25.282.600
20.897.044
19.340.585
15.068.173
12.644.582
11.177.112

50.392.834
35.868.165
18.422.300
24.369.250
~
6.472.330
11.152.410
12.995.990
23.514.960
9.276.180
12.166.630
~
4.427.915
696.200
1.205.000

43,3
48,3
30,9
50,1
0
19,4
34,3
45
81,7
36,7
58,2
0
29,4
5,5
10,8

OGB
OGB
OGB
OGB
~
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
~
OGB
OGB
OGB

210.960.164

Nilai, [Rp]
4.501.941.706
2.306.064.432
2.113.929.450
1.408.773.400
~
1.125.098.600
962.580.790
1.425.545.800
4.497.967.830
843.467.940
4.163.009.380
~
438.579.386
225.358.200
178.835.700
24.191.152.614

Nama Obat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Kaptopril 25
Kaptopril 12,5
Metformin 500
Glibenklamida 5
Amlodipin 5
Simvastatin 10
Amlodipin 10
Nifedipin 10
Isosorbid dinitrat 5
Asetosal 80
Digoksin 0,25
Propiltiourasil 100
Asetosal 100
Simvastatin 20
Glimepirid 2
Total

RKO

e-Order

OGB/
OMD

Nilai, [Rp]

142.568.345
90.230.029
81.520.567
53.166.614
50.813.452
38.394.140
37.348.093
31.909.360
30.693.530
19.063.906
15.374.307
14.855.795
13.825.769
13.222.544
12.971.783

56.472.585
29.885.231
33.707.770
14.414.982
33.563.100
20.690.770
20.755.180
14.271.650
11.963.680
11.279.300
6.649.855
4.592.950
3.925.119
3.688.130
6.108.950

39,6
33,1
41,3
27,1
66,1
53,9
55,6
44,7
39,0
59,2
43,3
30,9
28,4
27,9
47,1

OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB
OGB

4.820.712.332
1.887.748.392
3.867.781.875
829.265.096
6.240.551.940
3.537.637.220
6.889.856.830
1.550.833.600
1.063.080.640
1.689.297.200
637.668.826
1.524.702.550
462.929.813
1.603.634.550
2.549.618.600

271.969.252

39.155.319.464

Volume 1, Nomor 1

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

Tabel 4. Pemesanan Obat Antikanker dengan RKO Terbanyak, 2014 dan 2015
2014
No

47
Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Nama obat
Tamoksifen 20
Siklofosfamid 200 inj
Metotreksat 2,5
Vinkristin 1 inj
Sisplatin 10 inj
Hidroksi urea 500
Busulfan 2
Siklosporin 25
Asparaginase inj
Sisplatin 50 inj
Klorambusil 2
Pakliktaksel 30 inj
Siklofosfamid 50
Metotreksat 5 inj
Doksorubisin 10 inj

Total

2015

RKO

e-Order

OGB/
OMD

676.197
589.977
499.955
453.575
439.953
290.311
253.814
242.927
206.399
205.693
204.757
148.347
141.539
137.516
112.677

5~
4.245
~
1.397
5.567
30.050
~
75.150
1.638
4.534
~
6.543
~
~
4.200

0
0,7
0
0,3
1,3
10,4
0
30,9
0,8
2,2
0
4,4
0
0
3,7

~
OMD
~
OMD
OMD
OMD
~
OMD
OMD
OMD
~
OMD
~
~
OMD

133.324

Nilai, [Rp]
~
364.039.000
~
64.262.000
125.474.000
163.728.000
~
901.800.000
1.702.701.000
425.762.000
~
1.862.816.880
~
~
245.655.000

5.856.237.880

Nama Obat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Kapesitabin 500
Tamoksifen 20
Lapatinib 250
Hidroksi urea 500
Metotreksat 2,5
Anastrozol
Mikofenolat mofetil 500
Imatinib mesilat 100
Metotreksat 5 inj
Letrozol 2,5
Ifostamid 1.000 inj
Metotreksat 50 inj
Siklosporin 25
Takrolimus 1
Kalsium folinat 3 inj

Total

RKO
979.568
702.880
449.166
387.280
279.175
240.628
149.049
146.390
139.759
118.044
113.927
113.097
108.830
105.885
99.154

e-Order

OGB/
OMD

Nilai, [Rp]

849.980
22.560
106.840
349.750
181.100
201.208
227.550
187.980
41.923
129.780
9.876
19.018
155.600
50.950
34.694

86,8
3,2
23,8
90,3
64,9
83,6
152,7
128,4
30,0
109,9
8,7
16,8
143,0
48,1
35,0

OMD
OMD
OMD
OMD
OMD
OMD
OMD
OMD
OMD
OMD
OMD
OMD
OMD
OMD
OMD

21.034.750.000
25.828.740
7.148.668.800
1.850.620.500
282.412.200
6.203.008.000
3.576.000.000
39.170.040.000
880.651.200
2.115.225.000
12.526.032.112
613.381.250
1.755.600.000
927.725.000
2.765.738.000

2.568.809

79.840.930.802

Sistem e-Catalogue yang digunakan dalam pengadaan obat JKN pada dasarnya adalah
ba-gian dari rantai-pasok yang menghubungkan produsen dengan pengguna produk/jasa. Rantaipa-sok terbentuk dari partisipasi dua atau lebih perusahaan yang berkomitmen untuk
memberikan nilai-tambah pada produk/jasa terkait (Lu, 2011, Ripin et al., 2014). Akhir dari
rangkaian ran-tai-pasok produk/jasa tersebutyaitu obat, dalam hal JKNadalah pasien,
sebagai konsumen akhir. Kekosongan sebagian obat JKN, suatu hal yang mengindikasikan
kurang memadainya ran-tai-pasok, menurut Lu (2011), tidak akan terjadi kalau terbentuk aliansi
strategis, yaitu pengaturan formal maupun informal berbagai komponen dalam rantai-pasok, dan
sumber daya terkait terinte-grasi dalam aliansi strategis tersebut.
Penggunaan e-Procurement diyakini dapat menekan biaya dan keyakinan bahwa penggunaan e-Procurement, termasuk pengadaan obat JKN melalui e-Catalogue, dapat menekan biaya
akan mendorong percepatan penggunaan e-Procurement, termasuk di rumah sakit dan fasilitas
kesehatan lainnya (Pasipoulos et al., 2013). Teknologi, lingkungan, dan budaya organisasi
merupa-kan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penggunaan e-Procurement (Ronald &
Omwenga, 2015). Faktor berpengaruh lainnya adalah ketersediaan dana, kemampuan organisasi
mengatasi perubahan, dan keandalan pelatihan petugas (Matunga et al., 2013).
Penetapan Fornas di awal tahun akan memberikan kelonggaran waktu bagi LKPP dan Kementerian Kesehatan untuk menyiapkan e-Catalogue tahun berikutnya, sehingga dapat dipastikan
bahwa daftar obat yang masuk dalam e-Catalogue merupakan obat yang tercantum dalam Fornas.
Selain itu, LKPP dan Kemenkes dapat mengecek secara lebih saksama Nomor Izin Edar (NIE) dari
BPOM, sehingga obat yang masuk dalam e-Catalogue memiliki NIE yang masih berlaku.
Dalam dua tahun pertama pengadaan obat JKN ini belum terbentuk keselarasan yang baik; masih
ada obat yang masuk dalam e-Catalogue namun tidak ada dalam Fornas atau tidak memiliki NIE
yang valid.
Kekosongan sebagian obat JKN juga terkait dengan masuknya suatu obat dalam e-Catalogue. Kenyataan bahwa beberapa item obat Fornas yang tidak masuk dalam e-Catalogue, menunjukkan bahwa penetapan RKO Nasional dan HPS yang menjadi dasar bagi industri farmasi untuk
melakukan penawaran harga perlu ditinjau-ulang. Menurut Bogaert, Bochenek, Prokop & Pilc
(2015), di kawasan dengan perekonomian maju, seperti Eropa, kekosongan obat umumnya disebabkan oleh ketidaksesuaian harga dan hambatan dalam proses lelang. Penggunaan historical data
dapat diharapkan membuat penetapan RKO lebih mendekati permintaan riil, seiring waktu. Sementara itu, penggunaan referensi yang lebih komprehensif, termasuk harga internasional, dapat
diharapkan akan membuat HPS yang ditetapkan lebih realistis.
Hal lain yang mengurangi peluang industri farmasi untuk mengajukan penawaran harga
adalah pemisahan antara obat generik (OGB) dan non-generik (ODM), yang membuat tidak
semua perusahaan dapat mengikuti proses lelang harga. Pemilihan pemenang lelang yang hanya
didasar-kan pada penawaran harga terendah berpengaruh terhadap kualitas layanan, yaitu
pengiriman (de-livery) obat. Untuk mendapatkan pemasok terbaik perlu dipertimbangkan
beberapa kriteria tam-bahan yang lebih terkait dengan kualitas layanan (maupun kualitas obat
yang dikirim). Menurut beberapa peneiliti, harga bukanlah faktor terpenting dalam pemilihan
pemasok obat (Abdolshah, 2013; Enyinda, Dunu & Bell-Hanyes, 2010).
Kemampuan industri farmasi dalam memenuhi permintaan obat dari faskes tergantung pula
pada kesiapan pemenang lelang. Untuk memproduksi obat, mulai dari pemesanan bahan baku yang
harus diimpor, diperlukan waktu sekitar tiga bulan. Karena itu, penetapan pemenang lelang

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

48

Volume 1, Nomor 1

sekitar tiga bulan sebelum e-Catalogue berlaku, akan menjamin pemenuhan komitmen oleh perusahaan farmasi pemenang lelang tersebut. Kemudahan para pemangku kepentingan kunci meman-tau
proses dapat diharapkan akan membantu penetapan e-Cataloguetermasuk waktu penetapan
Fornas dan pemenang lelang yang cukup dinisehingga meminimalkan kekosongan obat.
Terkait faskes swasta yang tidak meperoleh akses terhadap e-Catalogue sehingga harus
melakukan peme-sanan obat secara manual, kemudahan mendapatkan pasok obat JKN dengan
harga e-Catalogue akan meminimalkan kekosongan obat secara lebih luas.

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) belum mencerminkan kebutuhan riil fasilitas
keseha-tan dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) belum sepenuhnya dapat diterima oleh
penye-dia.
2. Penentuan pemenang lelang hanya berdasarkan harga terendahdan dengan satu pemenangberisiko menyebabkan kebutuhan obat di tingkat fasilitas kesehatan tidak
dapat terpenuhi.
3. Belum terjadi keselarasan terkait waktu penetapan Formularium Nasional maupun
waktu penetapan pemenang lelang atau penayangan e-Catalogue.
4. Obat dengan merek dagang (OMD), walau kecil dalam volume, memiliki proporsi besar dalam nilai.
5. Belum ada jadwal yang pasti dan disepakati terkait waktu penetapan titik krusial alam
proses panjang pengadaan obat JKNtermasuk waktu penetapan RKO, selain
Formu-larium Nasional dan e-Catalogueyang dapat dipantau oleh para pemangku
kepentin-gan kunci, sehingga masing-masing terdorong untuk melaksanakan tugas
dan kewa-jibannya secara tepat waktu.
Berdasarkan studi evaluasi ini, saran dan rekomendasi yang dapat diberikan antara lain:
1. Proses dan cara penetapan RKO dan HPS perlu ditata-ulang agar didapat harga yang
ekonomis dan dapat diterima, sehingga proses lelang dapat berjalan dengan baik.
2. Perlu kriteria tambahan selain harga termurah untuk penetapan pemenang lelang, seperti variabel kualitas produk dan layanan, apalagi jika karena satu dan lain hal sistem
satu pemenang untuk satu molekul obat buat satu provinsi ingin dipertahankan.
3. Perlu diselaraskan waktu penetapan Formularium Nasional sehingga memberikan
tenggat waktu yang cukup untuk penyusunan e-Catalogue yang sesuai Formularium
Nasional dan dengan obat yang memiliki NIE valid. Perlu diselaraskan pula waktu
penyangan e-Catalogue, sehingga pemenang lelang memiliki cukup waktu untuk
mem-persiapkan produk yang harus dikirim.
4. Perlu dipastikan bahwa obat-obat yang ditawarkan dalam e-Catalogue, terutama
OMD dan obat mahal lainnya, memiliki efektivitas-biaya yang tinggi.
5. Perlu disepakati alur dan jadwal penyusunan RKO, Formularium Nasional, e-Catalogue, dan titik krusial lain dalam proses pengadaan obat JKN, serta mekanisme pemantauan oleh semua pemangku kepentingan kunci.

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

49

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

Daftar Pustaka
Abdolshah, M. (2013). A review of Quality Criteria Supporting Supplier Selection. Journal of
Quality and Relaibility Engineering, 1-9.
Bof, F. & Previtali, P. 2010. National models of public (e)-procurement in Europe. Journal of eGoverment Studies and Best Practice, 1-14.
Bogaert, P., Bochenek, T., Prokop, A. & Pilc, A. (2015). A qualitative approach to a better understanding af the problems underlying drug shortage, as a view from Belgian, French, and the
European Unions Perspective. Plos One, 120.
Enyinda, C.I., Dunu, E. & Bell-Hanyes, J. (2010). A model for quantifying strategic supplier selection: Evidence from generic pharmaceutical firm supply chain. International Journal of
Business Marketing, and Decision Science, 25-44.
Health, M.S.F. 2012a. Toward sustainable acces to medicines. Managing Acces to Health and
Medicines. Arlington: Manajemen Science for Health.
Health, M.S.F. 2012b. Toward sustainable access to medicines. In: EMBREY, M. (ed.) MDS-3:
Managing Access to Medicines and Health Technologies. Arlington: Management
science for health.
Kanyoma, K.E. & Khomba, J.K. 2013. The impact of procurement operations on healthcare
deliv-ery : a case study of Malawis public healthcare delivery system. Global Journal of
Man-agement and Business Research Administration and management,13, 27-35.
Kanyoma, K.E., Khomba, J.K., Sankhulani, E.J. & Hanif, R. 2013. Sourcing strategy and supply
chain risk management in the healthcare sector : a case study of Malawis public
healthcare deliveri supply chain. Journal of Management and Strategy, 4, 1626.
Kemenkes 2010. Permenkes No 68 tahun 2010 tentang kewajiban menggunakan obat generik di
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah.
Kemenkes 2014. Surat Edaran No 167 tahun 2014 tentang pengadaan obat berdasarkan katalog
elektronik (e-catalogue).
Kemenkes 2015. Kepmenkes No 523 tahun 2015 tentang Formularium Nasional.
Kemenkumham 2014. Peppres No 157 tahun 2014 tentang LKPP. In: DEPUTI BIDANG POLITIK, H.D.K. (ed.). Jakarta.
BPJS Kesehatan 2015. Info BPJS Kesehatan. Jakarta: BPJS.
Ketikidis, P., Kontogeorgis, A., Stalidis, G. & Kaggelides, K. 2010. Applying e-procurement system in the healthcare : the EPOS paradigm. International Journal of Systems Science, 41,
281-299.
Kritchanchai, D. 2012. A framework for healthcare supply chain improvement in Thailand.
Oper-ations and Supply Chain Management, 5, 103-113.
LKPP 2015. Perka No 5 Tahun 2015 Tentang Unit Layanan Pengadaan [Online]. Jakarta, Jakarta,
Indonesia.
Lu, D. 2011. Fundamentals of supply chain management, Dawei Lu & Ventus Publishing Aps.
Matunga, D. A., Nyanamba, S. O. & Okibo, W. 2013. The effect of e-procurement practice on
effective procurement in public hospitals : a case study of Kissi level 5 hospital.
American International Journal of Contemporary Research, 3, 103-111.
Pasipoulos, A., Siskou, O., Galanis, P., Prezerakos, P., Moisoglou, L., Theodorou, M. & Kaite-lidou,
D. 2013. The Implementation of e-procurement system in the health sector in Greece :
Attitude of potential users and implication for hospital management. International Journal

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

50

Volume 1, Nomor 1

of Health Research and Innovation, 1, 15-23.


Rascati, K.L. 2014. Essentials of Pharmacoeconomics, Lippincot Williams and Wilkins.
Ripin, D.J., Jamieson, D., Meyers, A., Warty, U., Dain, M. & Khamsi, C. 2014. Antiretroviral
pro-curement and supply chain management. Antiviral Therapy, 19, 79-89.
Ronald, N.K. & Omwenga, J.Q. 2015. Factors contributing to adoption of e-procurement in
county goverment : a case study of county goverment of Bomet. International Journal of
Academic Research in Business and Social Science, 5, 233-239.

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

51

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

Lampiran 1. Proses Lelang Harga Membentuk e-Catalogue

Lampiran

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

52

Volume 1, Nomor 1

Lampiran 2. Alur Proses e-Purchasing

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

53

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

Biaya dan Outcome Hemodialisis di Rumah Sakit


Kelas B dan C
Firda Tania1 dan Hasbullah Thabrany2
Korespondensi: firda.tania@gmail.com
Dikirimkan pada 10 Juli 2016. Ditinjau pada 22 Juli 2016. Diterima pada 25 Juli 2016.

Abstrak
Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan kondisi yang semakin meningkat kejadiannya di Indonesia, menghabiskan banyak dana publik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam program JKN,
hemodi-alisis (HD) untuk penanganan GGK dijamin tetapi perleu keseimbangan antara biaya dan
outcome. Sejak 2014, BPJS menanggung hampir seluruh biaya HD di Indonesia dengan besaran tarif
Casemix Base Group (CBG) yang berbeda menurut kelas Rumah Sakit (RS).

Tujuan
Pertanyaan penelitian ini adalah apakah tarif yang dibayarkan lebih tinggi pada kelas RS lebih
tinggi menghasilkan hasil yang lebih baik? Selain itu, perlu diketahui pula apakah terdapat perbedaan
biaya yang dikeluarkan RS pada kelas yang berbeda.

Metode
Studi evaluasi ekonomi ini dilakukan di dua RS dengan kelas berbeda: kelas B (RS B) dan kelas
C (RS C) dengan perbedaan kepemilikan. Kepemilikan RS B adalah pemerintah daerah sedangkan RS C
dimiliki oleh yayasan swasta. Outcome HD diukur dengan suatu survey ke pasien HD. Analisis outcome
dilakukan dengan penilaian kualitas hidup (instrumen EQ-5D) dengan Indeks EQ, EQ VAS, intermediate
outcome berupa rerata Intra Dialytic Weight Loss (IDWL), dan rerata Hb. Perbedaan rerata nilai hasil
diuji dengan Students t-test. Responden dipilih dari pasien GGK yang menjalani HD di kedua RS selama
Feb-ruari-April 2016. Analisis biaya menurut perspektif pasien, meliputi biaya langsung medis, biaya
langsung non medis, dan biaya tidak langsung. Biaya sebenarnya yang dikeluarkan oleh RS dikumpulkan
dari doku-men RS. Studi kualitatif tambahan dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan
kunci di RS yang bertanggung jawab atas unit HD.

Hasil dan Diskusi


Pada penelitian ini, total responden sebanyak adalah 100 orang (di RS B 76 orang & di RS C 24
orang). Menurut perspektif pasien, biaya langsung medis HD selama sebulan di RS B Rp 5.215.331 dan di RS
C Rp 7.781.744. Besaran tarif CBG untuk RS kelas B adalah Rp 962.800 dan kelas C adalah Rp 893.300.
Menurut perspektif RS, tidak terdapat perbedaan biaya operasional HD antar kelas RS. Biaya langsung non
medis HD selama sebulan di RS B Rp 566.260 dan di RS C Rp 334.500. Biaya tidak langsung HD selama
sebulan di RS B Rp 165.530 dan di RS C Rp 45.830. Rerata total biaya HD selama sebulan di RS B Rp
6.149.285 dan di RS C Rp 8.162.077. Pada intermediate outcome didapatkan bahwa rerata Hb pada RS B
sebesar 10,26 g% berbeda secara signifikan dengan RS C (8,21 g%), p= 0,000. Rerata IDWL pada RS B
(0,0403) tidak berbeda secara signifikan dengan RS C (0,0438), p= 0.188. Rerata EQ Indeks sebesar 0,7178
dan EQ VAS sebesar 64,74 di RS B tidak berbeda secara signifikan dengan rerata EQ Indeks sebesar 0,7208
dan EQ VAS sebesar 64,79 di RS C, dengan p value secara berurutan p=0,94 dan p= 0,986.

1
2

Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta


Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

54

Volume 1, Nomor 1

Kesimpulan
Besarnya tarif CBG untuk HD di RS kelas B dan C berbeda, tapi outcomenya tidak berbeda. CBG
yang lebih tinggi tidak memberikan outcome kesehatan yang lebih baik. Kementerian Kesehatan diharapkan merevisi tarif CBG tanpa diskriminasi antar kelas RS, tetapi perbedaan tarif CBG menurut
kepemilikan perlu dilakukan. Riset komprehensif untuk menemukan tarif keekonomian yang layak di
berbagai wilayah perlu dilakukan Kemenekes dan atau BPJS.

Kata Kunci
Cost and Outcome Analysis. Hemodialisis. Kelas RS. Tarif CBG. JKN.

Abstract
Chronic renal failure (CRF) has been increasing in Indonesia and consuming a lot of the National
Health Insurance (JKN) fund. The JKN should cover all medically necessary, including hemodialysis
(HD), but should balance between spending and good outcome. Since 2014, the JKN covered all HD
using differ-ent Case mix Base Group (CBG) prices for different class of hospitals.

Objective
The research question is whether the price differences correlate with different outcome of HD. In
addition, differences of costs in providing HD in different class of hospital are also questioned.

Method
This is an economic evaluation as case study in two different hospital and survey of HD patients in the
two hospitals, class B and class C hospital. The class B hospital is owned by a local government while the class
C hospital is owned by a private not for profit organization. The Outcomes of HD are measured us-ing
intermediate outcomes of mean hemoglobin levels, Intra Dialysis Weight Loss (IDWL), EQ index and EQ VAS
index. The measurement of quality of life used EQ-5D instrument. The Students t-test is measured to test
differences in costs and outcomes between the two different classes of hospitals. To measure quality of life, a
survey to all eligible HD patients undertaking HD during February-April 2016 was taken. Costs (direct
medical, direct non medical, and indirect) are measured to hospitals and patients perspectives. To explore
qualitative information, in-depth interviews were taken to managers of HD units in both hospitals.

Result and Discussion


The total of 100 respondents were surveyed on their economic and quality of life (76 patients in class
B & 24 patients in class C). On patient perspective, the total monthly costs per month in class B were IDR
5,215,331 and in class C was IDR 7,781,744. The average direct non-medical cost to patient was IDR 566,260
in class B and IDR 334,500 in class C. The average indirect costs to patient, was IDR 165,530 in class B and
IDR 45,830 in class C hospital. The average total cost to patients was IDR 6,149,285 per month in class B and
IDR 8,162,077 per month in class C hospital. The JKN pay hospital class B the amount of IDR 962,800 per
HD and IDR 893,300 for class C hospital for the frequency of twice HD per week. At the hospital perspective,
there is no cost difference in operating HD in both hospitals. The average Hb was 10.26 g% in class B hospital,
significantly difference from average Hb of 8.21 g% in class C hospital, p= 0.000. The average IDWL in class
B hospital of 0.0403 was no difference with the average IDWL in class C of 0.0438, p= 0.188. The average EQ
index of 0.7178 and EQVAS in index of 64.74 in class B hospital

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

55

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

were no difference with the average EQ index of 0.7208 and EQVAS index of 64,79 in class C hospital, p
value of =0.94 and 0.986 respectively.

Conclusion
The difference in price of CBG paid to class B and class C hospital produced the same outcome
level. The operational costs in providing HD in both hospitals was no difference statistically. It is
concluded that the Government should not pay difference prices for different class of hospitals unless
there is different outcome. The Government (Ministry of Health) should revise the CBG prices and pay
equal amount of HD for different class of hospitals. However, difference prices are justified between
public and private hospital to compensate investment costs of private hospitals.

Key words
Cost and Outcome. Hemodialysis. Class of Hospitals. CBG Prices. JKN or National Health Insurance.

Pendahuluan
Gagal Ginjal Kronik (GGK) sejak Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dijalankan semakin meningkat. Insidens gagal ginjal kronik meningkat dua kali dalam 15 tahun terakhir (Pernefri, 2012). Salah satu terapi
simpomatik yang banyak digunakan adalah hemodialisis yang memakan biaya besar. Selain biaya besar,
hemodialisis menyerap biaya tidak langsung yang besar karena durasi dan frekuensi terapi (Kaite-lidou et al,
2005). Di dunia, sejak 1972, hemodialisis dijadikan menjadi benchmark terapi mempertahankan hidup yang
umumnya dibiayai dana publik (Mendelssohn & McFarlanet, 2011). Meskipun prevalensi GGK hanya 0,050,07%, tindakan ini menghabiskan 1 sampai 1,6% belanja kesehatan nasional (Kaitelidou et al, 2005). Pada
tahun 2014, BPJS Kesehatan membayar klaim kasus GGK sebesar Rp 2,2 Triliun dan pada tahun 2015
meningkat menjadi Rp 2,7 Triliun (BPJS Kesehatan, 2016).

Penanganan GGK merupakan tantangan ekonomi dan politik yang utama bagi pelayanan
kesehatan (Teerawattananon, et al, 2007). Sejak 2014, BPJS menanggung biaya hemodialisis (HD)
dengan besaran tarif InaCBG (Indonesian Casemix Based Group, Ina-CBG) yang berbeda menurut kelas
RS. Tarif hemo-dialisis di RS kelas B di Jakarta sebesar Rp 982.600 sedangkan tarif di RS kelas C
sebesar Rp 893.300. Sementara tarif di RSCM mencapai Rp 2.110.500 (Permenkes No. 59 Tahun 2014).
Pertanyaannya, apakah tarif CBG lebih tinggi pada RS kelas B mencerminkan biaya yang lebih
tinggi dan menghasilkan outcome yang lebih baik? Dari perspektif pasien, menurut Sculpher, perlu juga
di-kaji apakah perbedaan tarif CBG berdampak pada perbedaan biaya tidak langsung bagi pasien
(Drummond & Mc Guire, 2001). Dari perspektif RS, apakah biaya aktual yang keluarkan RS berbeda
menurut kelas RS? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, telah dilakukan studi kasus di dua RS, yang
satu RS kelas B milik pemda dan RS kelas C milik swasta pada tahun 2016. Secara umum RS kelas B
memiliki kemampuan pe-layanan kesehatan yang lebih tinggi dari RS kelas C sesuai persyaratannya.
Namun pada unit hemodialisis, persyaratan di kedua RS tidaklah berbeda sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 812/ Menkes/PER/VII/2010.

Tujuan
Studi ini bertujuan menguji apakah ada perbedaan biaya dan keluaran (outcome) hemodialisis
yang dilakukan di dua RS dengan kelas dan pemilik berbeda, yaitu RS kelas B dan RS kelas C.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

56

Volume 1, Nomor 1

Metode
Studi ini merupakan studi evaluasi ekonomi dengan kelas mengambil dua RS dengan kelas berbeda: kelas B dan kelas C. Pilihan hanya dua RS adalah dengan pertimbangan bahwa pada studi-studi
terdahulu, biaya HD relatif standar dengan varians kecil (Novelia, 2014). Selain itu, pada umumnya RS di
Indonesia menggunakan skema sewa alat untuk HD dengan kontrak hanya membayar dengan membeli
cairan dan filter/dialiser. Di tiap RS diambil pasien HD untuk mengukur kualitas layanan dengan
mengukur kualitas hidup menggunakan perangkat alat ukur EQ-5D. Secara umum, kerangka konsep studi
ini adalah sebagaimana terlihat dalam Gambar 1. Biaya HD di RS dan biaya tidak langsung diukur
dengan wawancara pengelola RS dan wawancara kepada pasien. Analisis biaya, outcome, dan rasio biayaoutcome dilakukan oleh penulis dengan menggunakan perangat lunak spread sheet dan statistik.
Rumah sakit kelas B yang dipilih adalah RS milik pemerintah daerah yang telah beroperasi lebih dari
14 tahun dan telah melakukan hemodialisis sejak lebih dari 12 tahun. Sedangkan RS kelas C adalah RS milik
swasta nirlaba yang relatif dan menyediakan layanan hemodialisis dalam 2 tahun terakhir. Pada saat
pengambilan data, RS B menyediakan 32 mesin HD dengan jumlah pasien HD rawat jalan sebanyak 127
orang, sedangkan RS C menyediakan 37 mesin HD dengan jumlah pasien HD rawat jalan sebanyak 129 orang.
Untuk mengukur biaya tidak langsung dan outcome, dilakukan survei kepada pasien hemodialisis di kedua RS
tersebut. Populasi penelitian adalah pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani HD yang terdaftar di RS
kelas B dan kelas C. Dilakukan sampel waktu, seluruh pasien yang memenuhi kriteria inklu-si yang menjalani
hemodialisis selama bulan Februari - April 2016, dan telah menjalani hemodialisis lebih dari 2 (dua) tahun
untuk dapat mengukur outcome kualitas hidup. Selain itu, kriteria inklusi lain adalah ter-dapat rekam medis
riwayat terapi lengkap dan persetujuan pasien untuk menjadi sampel studi. Pasien yang memiliki gangguan
kognitif, mental, pendengaran atau bicara yang tidak memungkinkan diwawancarai dikeluarkan dari sampel.
Untuk mengukur kualitas outcome, dikumpulkan data laboratorium perkemban-gan kadar Hb, IDWL ( dan
pengukuran kualitas hidup menggunakan format EQ-5D.

Untuk mendapatkan data biaya RS, dilakukan wawancara dengan 6 (enam) orang dari kedua RS
yang terdiri dari 2 (dua) orang yang mewakili manajemen RS, 2 (dua) orang yang mewakili penanggung
jawab layanan HD, dan 2 (dua) orang yang mewakili pelaksana harian HD. Untuk menjamin validitas
data biaya, dilakukan triangulasi metoda dan telaah dokumen.
Analisis biaya dilakukan dengan mengambil biaya menurut perspektif pasien dengan perhitungan
estimasi biaya HD selama satu bulan dengan rumus berikut:
X=xxf
Y = (y1+y2+y3+y4) x f
Z = (z1+z2) x h
Total biaya HD = X+Y+Z
Keterangan:
X

: biaya langsung medis (berdasarkan data tagihan RS) selama sebulan

: biaya langsung medis untuk satu tindakan HD

: jumlah tindakan HD selama sebulan (frekuensi HD 4x per minggu)

: biaya langsung non medis selama sebulan

y1 : biaya transportasi keluarga yang menunggu untuk satu tindakan HD y2 :


biaya transportasi pasien untuk satu tindakan HD

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

57

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

y3 : biaya makan keluarga yang menunggu untuk satu tindakan HD y4 :


biaya makan pasien untuk satu tindakan HD
Z : biaya tidak langsung selama sebulan z1 :
jumlah pendapatan per hari pasien
z2

: jumlah pendapatan per hari keluarga penunggu pasien

: jumlah hari kerja yang hilang dalam sebulan karena HD

Perhitungan biaya HD menurut perspektif pasien terdiri dari biaya langsung medis untuk satu tindakan HD yang diperoleh dari tagihan RS. Biaya tagihan RS sudah termasuk biaya tindakan HD, jasa/
gaji tenaga medis, bahan medis habis pakai, obat dan pemeriksaan lab. Biaya langsung HD selama satu
bulan diperoleh dengan mengalikan biaya satu tindakan HD dengan delapan tindakan HD selama sebulan.
Sedangkan biaya langsung non medis dihitung dari biaya yang dikeluarkan pasien maupun keluarga yang
menunggu pasien untuk transportasi dan biaya makan selama satu tindakan HD. Biaya selama satu bulan
diperoleh dengan mengalikan biaya satu tindakan HD dengan delapan tindakan HD selama sebulan. Sementara biaya tidak langsung dihitung berdasarkan biaya yang terjadi akibat hilangnya pendapatan ketika
pasien ataupun keluarga menjalani tindakan HD atau mengantar pasien sehingga mereka tidak bekerja
dan kehilangan penghasilan. Biaya ini dihitung per hari dengan membagi penghasilan pasien/penunggu
satu bulan (dari wawancara pasien) dengan jumlah hari yang digunakan untuk tindakan HD. Biaya total
HD di-hitung berdasarkan penjumlahan biaya langsung medis, biaya langsung non medis dan biaya tidak
langsung selama sebulan.
Outcome hemodialisis diukur dengan kualitas hidup pasein menggunakan instrument standar
yaitu EQ-5D dan rerata Hb. Anaylisis biaya-outcome dilakukan dengan membandingkan jumlah total
biaya HD di RS kelas B dan RS kelas C selama sebulan dibandingkan dengan perbedaan outcome HD
yang dinilai dengan rerata skor EQ-5D, rerata skor EQ VAS, rerata IDWL dan rerata Hb.

Gambar 1.
Kerangka Konsep Penelitian Biaya dan Outcome Hemodialisis, 2016

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

58

Volume 1, Nomor 1

Hasil dan Diskusi


Studi ini berhasil mengumpulkan data biaya HD dan outcome dari 100 orang (76 orang di RS
kelas B dan 24 orang di RS kelas C). Distribusi umur responden berada di kisaran usia 51-60 tahun
(35%), 41-50 tahun (32%) dan >60 tahun (20%). Rerata usia responden adalah 51,2 tahun (SD= 10,3).
Sebaran mur terbanyak pada rentang 51-60 tahun ini sesuai dengan riwayat perjalanan gagal ginjal kronik
(Suhardjono, 2007). Penyakit komorbiditas yang diderita responden adalah hipertensi (63%) dan
gabungan hipertensi di-abetes mellitus (20%). Hipertensi dan diabetes merupakan dua penyebab tertinggi
penyakit GGK (Pernefri, 2012, Suhardjono, 2007).
Pasien laki-laki (56%) sedikit lebih banyak daripada perempuan (44%). Sebagian besar responden
(41%) berpendidikan SMA dan sebagian besar responden (69%)tidak bekerja, baik karena pensiun, ibu
ru-mah tangga atau memang tidak lagi memiliki pekerjaan karena penyakit GGK. Menurut pengakuan
respon-den, mayoritas sulit memiliki fleksibilitas waktu untuk bekerja formal dan tidak sedikit responden
yang memutuskan berhenti bekerja. Beberapa pasien mengaku diberhentikan dari pekerjaannya karena
alasan ketidakmampuan fisik maupun banyaknya ijin yang harus diberikan untuk tindakan HD. Hal ini
merupakan tantangan tersendiri bagi program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Program Pensiun dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional. Mereka yang masih mampu bekerja melibatkan diri dalam pekerjaan
usaha mandiri tanpa upah (informal). Hal ini mempengaruhi biaya tidak langsung yang ternyata tidak
terlalu besar. Hanya seba-gian kecil responden (11%) yang memiliki pekerjaan dengan menerima upah
(formal), baik sebagai PNS atau karyawan swasta.
Pada umumnya responden menjalani tindakan HD 2 (dua) kali seminggu, hanya 7% responden
yang menjalani HD 3 (tiga) kali seminggu karena tingkat keparahan GGK yang lebih serius. Sebagian
besar responden terdiagnosa GGK (71%) dan menjalani HD (76%) kurang dari 4 (empat) tahun (mean 4,7
tahun, modus 2 tahun, nilai lama 2 tahun dan nilai maksimum 21 tahun). Hanya 29% responden yang
terdiagnosa GGK lebih dari 4 tahun dan hanya 24% responden yang sudah menjalani HD lebih dari 4
tahun. Beberapa responden berupaya menunda HD sejak diagnosa dengan berupaya mencari pengobatan
alternatif. Ting-ginya frekuensi (76%) lama HD 2 (dua) tahun berhubungan dengan mulainya JKN.
Sebelum JKN, seperti halnya di masa Askes, jumlah pusat HD terbatas karena kebanyakan pasien GGK
yang tidak memiliki jaminan tidak sanggup membayar HD.

Biaya HD, Perspektif Pasien


Biaya langsung medis yang diambil dari data tagihan RS kelas B terdiri dari dua tarif, bergantung pada
jenis dialiser yang digunakan. Dialiser baru dipakai pertama kali pada awal HD bertarif Rp 800.000, pada HD
kedua sampai keenam (reuse) bertarif Rp 600.000. Untuk studi ini digunakan rerata kedua tarif tersebut dengan
memperhitungkan distribusi jumlah HD yang dilakukan. Biaya HD RS kelas B = {(1 x Rp 800.000) + (5 x Rp
600.000)}:6 = Rp 633.333. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan di RS B adalah hema 1 sebulan
sekali dan ureum creatinin pre-post HD tiga bulan sekali. Jadi, biaya laboratorium dihitung berdasarkan 4
(empat) kali dalam setahun pemeriksaan hema 1 beserta ureum creatinin sebelum dan sesudah tindakan HD,
serta 8 (delapan) kali pemeriksaan hema 1 saja. Jumlah biaya pemeriksaan lab digabungkan selama setahun
dan didapat rerata biaya perbulan. Jumlah biaya pemeriksaan lab digabungkan selama setahun dan didapat
rerata biaya perbulan. Sehingga diperoleh rerata biaya lab = {(4 x Rp 195.000) + (8 x Rp 55.000)}:12 =
Rp101.667/bulan. Selain itu ada biaya alkes (spuit 3 cc, gentamycin) sebesar Rp 5.875 untuk satu kali tindakan
HD. Dengan demikian, diperoleh biaya rerata HD/bulan di RS kelas B sebesar = (8 x Rp 633.333) + (8 x Rp
5.875) + Rp.101.667 = Rp 5.215.331 untuk frekuensi HD 2x/minggu. Sedangkan untuk pasien yang menjalani
HD tiga kali seminggu diperoleh rerata biaya HD/bulan = (12 x Rp 633.333) + (12 x Rp 5.875) + Rp 101.667=
Rp 7.772.163.

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

59

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

Di RS kelas C layanan HD tersedia sejak JKN berlaku tahun 2014 dengan tarif CBG untuk HD
yang dibayar oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp 893.300 per tindakan sebagaimana tercantum dalam
Permenkes No. 59 Tahun 2014. Tagihan HD di RS C ini bagi pasien bukan JKN sebesar Rp 890.000
ditambah jasa dokter sebesar Rp 100.000. Pada pasien bukan JKN, tagihan dapat berbeda-beda tergantung jumlah obat, bahan medis habis pakai, lab dan biaya lain-lain. Biaya langsung medis RS C, sesuai
tagihan, adalah minimum Rp 721.318 dan maksimum Rp 1.145.156, dengan rerata Rp 872.718. Modus
tagihan adalah pada rentang Rp 750.000- Rp 800.000, diluar jasa dokter. Total biaya per tindakan HD
rata-rata adalah Rp 972.718. Sedangkan BPJS membayar RS kelas C sebesar Rp 893.300. Rata-rata total
biaya langsung medis sesuai tagihan RS C adalah Rp 7.781.744 (belum termasuk biaya investasi). Jika dimasukkan dalam tarif, akan terlihat selisih yang lebih besar. Informan di RS tersebut mengatakan bahwa
RS swasta baru mencapai BEP jika tarif CBG sebesar 1,5 kali tarif kelas C yang berlaku sekarang.
Rerata biaya transpor di RS kelas B sebesar Rp 302.130 perbulan dengan rentang Rp 0 Rp1.200.000. Sedangkan di RS kelas C biaya transpor rata-rata sebesar Rp 204.830 per bulan, dengan
rentang Rp 0-Rp 880.000. Rerata biaya makan di RS kelas B sebesar Rp 264.130 perbulan, dengan
variasi Rp 0 Rp 1.600.000 per bulan. Responden di RS kelas C menghabiskan biaya makan rata-rata
sebesar Rp 129.670 per bulan (rentang Rp 0- Rp 480.000). Rata-rata biaya langsung total non medis di
RS kelas B sebesar Rp 566.260 dengan variasi Rp 0 - Rp 1.920.000. Sedangkan di RS kelas C, rerata total
biaya langsung non medis sebesar Rp 334.500, dengan variasi Rp 0 - Rp 960.000. Biaya tidak langsung
HD selama sebulan di RS B Rp 165.530 dan di RS C Rp 45.830.
Rerata total biaya HD pada RS kelas B (Rp 6.149.285) lebih rendah dari total biaya HD di RS kelas C
(Rp 8.162.077) karena perbedaan faktor biaya investasi. Pergub membatasi tarif RSUD tidak boleh lebih tinggi
dari biaya satuan diluar investasi. Maka median total biaya HD di RS kelas B sebesar Rp 5.755.331, lebih
rendah dari median di RS kelas C sebesar Rp 8.069.744. Rerata biaya di RS B berhubungan dengan sesi HD
yang lebih lama (5-6jam) dibandingkan sesi HD di RS C (4-5 jam) sehingga responden lebih ban-yak
kehilangan waktu produktif. Ilustrasi visual perbadingan biaya disajikan dalam gambar 2.
Semua responden di unit HD di kedua RS merupakan peserta JKN. Responden mengaku harus
membayar sebagian biaya yang tidak ditanggung BPJS, seperti biaya vitamin, obat yang tidak terkait penyakit GGK/HD, ataupun obat yang atas keinginan pasien sendiri. Beberapa pasien mengaku mendapat
obat yang diresepkan oleh dokter RS namun mereka enggan menebusnya di apotek RS karena antrian
yang panjang. Rerata biaya yang dibayar pasien di RS B adalah Rp 157.470 (Rp 0 Rp 1.450.000) per
bulan. Sedangkan rerata biaya yang dibayar pasien di RS C adalah Rp 203.750 (Rp 0-Rp 3.000.000).
Menurut perspektif RS, dari wawancara mendalam, secara umum tidak terdapat perbedaan bi-aya
operasional yang dikeluarkan oleh kedua RS untuk HD. Persyaratan layanan HD menurut Permenkes
812/2010 tidak membedakan kelas RS. Tindakan yang dilakukan sama, prosedur sama, mesin dan bahan
habis pakai juga sama, semua komponen lainnya pun sama. Kondisi pasien yang dilayani (severitas, komplikasi, dll) pun tidak berbeda. Tetapi, ada perberbedaan biaya investasi. Bagi RS C yang milik swasta;
semua investasi harus ditanggung sendiri, sementara di RS B yang milik pemda, investasi maupun biaya
operasional didanai pemerintah.
Beberapa kendala yang dikeluhkan kedua RS antara lain tarif CBG untuk HD rawat inap tidak
mencukupi, ketersediaan sumber air yang mahal, banyak pasien anemia yang membutuhkan biaya besar,
pemeriksaan SI-TIBC atau transfusi, dan penggunaan dialiser

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

60

Volume 1, Nomor 1

Gambar 2. Distribusi Biaya HD (Perspektif Pasien)


di RS Kelas B dan di RS Kelas C, 2016

Keluaran/Outcome
Keluara tengnah (intermediate) pasien HD diukur dengan rerata Hb dengan hasil di pada RS B
sebesar 10,26 g% berbeda bermakna dengan rata-rata Hb di RS C yang hanya 8,21 g% (p= 0,000). Penelitian (Frankenfield DL, 2002) menemukan asosiasi signifikan antara nilai rerata Hb dengan rerata Kt/V
dan nilai serum albumin yang menggambarkan pencapaian adekuasi dialisis. Pada pasien hemodialisis,
anemia terjadi karena dialisis yang tidak adekuat (Stefansson, 2011; Locatelli et al, 2003 dalam Aprilianti
R, 2013). Penelitian Aprilianti (2013) menunjukkan bahwa HD yang tidak adekuat berpeluang dua kali
menyebabkan anemia dibanding dengan HD memadai.
Perbedaan rerata Hb tersebut berkaitan erat dengan penanganan anemia dan tarif CBG. Dalam
wawancara, responden mengakui bahwa biaya transfusi darah di RS C dibebankan kepada pasien. Karena
banyak pasien tidak sanggup, sebagian pasien tidak melakukan transfusi meski kadar Hb nya rendah. Selain itu
di RS C pasien hanya diberikan hemapo 2x dalam sebulan, pasien harus bayar sendiri hemapo ke-3 dst.
Sedangkan di RS B transfusi darah dan hemapo diberikan sesuai kebutuhan pasien tanpa biaya pada pasien.
Prilaku RS menyiasati beban biaya ini sejalan dengan studi Dor (2007) yang mengindikasikan bukti kuat
bahwa tingkat pembayaran mempengaruhi prilaku RS.
Indikator IDWL menentukan tingkat mortalitas pasien hemodialisis (Szczech et al, 2002; Tentori et al,
2012; Foley et al, 2002; Saran et al, 2003; Kalantar et al, 2009; Szczech et al. 2002). Persentasi IDWL
berkorelasi dengan berat badan (BB) pasca dialisis, indeks massa tubuh yang lebih besar, dan kadar natri-um.
Pada penelitian Foley et al. (2002) IDWL/BB >4,8% menaikan hazard ratio (HR) menjadi 1,12. Saran et al.
(2003) melaporkan risiko mortalitas pada IDWL/BB >5,7% menhasilan yang sama HR= 1,12. Studi Kalantar
et al (2009) di Amerika mendapatkan risiko mortalitas meningkat (HR 1,25) pada IDWL/BB 4

%. Hasil pengukuran rerata IDWL pada penelitian ini didapatkan hasil yang tidak berbeda di antara kedua
RS. Rerata IDWL pada RS kelas B sebesar 0,0403 (4%) tidak berbeda bermakna dengan rerata IDWL di RS
kelas C dengan IDWL=0,0438 (p= 0,188). Artinya, keluaran HD, yang diukur dengan IDWL, di kedua
RS tidak berbeda.
Pengukuran kualitas dengan instrumen EQ-5D juga menghasilkan rerata skor EQ-5D Indeks dan
rerata skor EQ Visual Analog Scale (EQ VAS) yang tidak berbeda. Rerata indeks EQ di RS B sebesar
0,7178 dan di di RS C sebesar 0,7208 (p= 0,94). Rerata EQVAS di RS B sebesar 64,74 juga tidak berbeda

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

61

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

bermakna dengan rerate EQVAS di RS C sebesar 64,79 (p= 0,986). Terdapat konsistensi pengukuran utilitas dengan indeks EQ-5D dan indeks EQ VAS, dimana responden dengan indeks EQ-5D yang tinggi juga
memiliki indeks EQ VAS yang tinggi. Hasil pengukuran keluaran kualitas hidup pasien HD yang telah
dua tahun menjalani HD di kedua RS tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna.
Namun perlu difahami bahwa secara umum pasein GGK umumnya memiliki HRQOL yang lebih
buruk dibanding populasi umum (Morales et al, 2007; Reina-Neyra et al, 2008; Varela et al, dalam
Reyna-ga-Ornelas, 2011). Skor indeks EQ-5D di kedua RS berkisar pada angka 70 dan EQVAS pada
angka 0,71. Skor maksimum (sehat sekali) indeks EQ adalah 100 dan EQVAS adalah 1.Dapat
disimpulkan bahwa skor sekitar 70% dari nilai sehat sekali pasien HD merupakan skor status sehat yang
sama baiknya di kedua RS tersebut. Faktor kemandirian pasien memberi nilai tinggai pada EQVAS. Hal
ini sesuai dengan temuan Abraham & Ramachandran (2012) yang menyatakan turunnya kualitas hidup
pasien HD disebabkan oleh ketergantungan pada dialisis. Tindakan HD memicu rasa ketidak puasan diri,
ansietas, dan depresi. Masalah finansial memperburuk kualitas hidup pasien HD.
Karena kini tersedia pilihan Peritoneal Dialisis (PD) atau transplantasi, riset perbedaan kualitas hid-up
pasein GGK dengan HD dan dengan PD di Indonesia perlu dikaji dan JKN dapat memberikan layanan dengan
hasil kualitas hidup yang lebih baik. Tajima et al. (2010) menemukan penurunan kualitas hidup pa-sien HD
berhubungan dengan progresivitas GGK, anemia, kurang gizi, hipertensi, diabetes, atau penyakit
kardiovaskular. Penelitian Lee et al. (2005) melaporkan pasien transplantasi ginjal memiliki kualitas hidup
yang lebih baik (skor 0,712) dibanding dengan pasien HD (skor 0,44) dan pasien PD (skor 0,569).

Gambar 3. Distribusi Outcome Pasien HD


di RS Kelas B dan di RS Kelas C, 2016
Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa outcome HD berupa Indeks EQ maupun EQVAS antara kedua
kelas RS tidak jauh berbeda. Uji T menunjukkan perbedaan outcome tersebut tidak signifikan, kecuali untuk
outcome tengah nilai Hb yang dipengaruhi beban pasien untuk membayar hemapoe. Jika tarif CBG memadai
dan adil mempertimbangkan sumber dana investasi, maka pasien tidak dibebani biaya hemapoe, maka kadar
Hb akan sama. Pasien di RS kelas C yang milik swasta terpaksa menerima perbedaan kadar
Hb, karena besaran tarif CBG yang sama untuk RS milik pemerintah dan milik swasta. Seharusnya RS swasta
juga mendapat kompensasi investasi agar persaingan layanan JKN seimbang. Perdebatan dan kaji-an-kajian
yang mengharuskan bayaran berbeda, untuk kompensasi investasi yang diberikan secara terpisah oleh
pemerintah kepada RS pemerintah, telah banyak dilakukan. Penepatan besaran tarif CBG khusus di

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

62

Volume 1, Nomor 1

RSCM yang lebih dari dua kali biaya HD di RS kelas C sama sekali bukan merupakan kebijakan publik
yang berkeadilan. Hal itu merupakan pemborosan besar dana JKN yang menguntungkan tenaga kesehatan
di kota besar.
Besaran tarif CBG, secara umum, yang jauh lebih besar di RS kelas A dan tarif di RS khusus seperti di
RSCM merupakan kebijakan publik yang tidak berkeadilan dan tidak mendorong pemerataan layanan. Dengan
tarif yang lebih besar di RS kelas A dan khusus, yang ada di kota-kota besar, para spesialis justeru didorong
atau diberi insentif untuk bermigrasi ke kota. Padahal, kebutuhan spesialis di pedesaan atau kota/ kabupaten
kecil, justeru tidak terpenuhi. Tarif CBG yang layak dan prospektif/futuristik justeru harus diba-lik, yaitu lebih
besar di RS kelas C dan kelas D serta lebih besar di RS milik swasta agar terjadi insentif untuk dokter spesialis
dan investor swasta memberikan layanan kepada penduduk Indonesia di pedesaan atau di kota/kabupaten kecil
yang selama ini tidak mendapat layanan yang sama. Hal ini sesuai dengan azas Keadilan Sosial yang secara
Nasional kita sepakati dalam Pancasila.

Kesimpulan dan Saran


Pada penilaian ini tidak ditemukan perbedaan biaya operasional antara layanan HD di RS kelas B dan
di RS kelas C dan keluaran (outcome) yang sama kedua kelas RS. Perbedaan biaya menurut perspektif pasien
disebabkan karena ada perbedaan jarak dan lama sesi HD. Terdapat penurunan indeks kualitas hidup (sekitar
70%) dibandingkan dengan masyarakat normal, bukan penderita GGK. Namun, indeks kualitas hidup yang
dialami pasien HD di RS kelas B tidak berbeda dengan indeks kualitas hidup di RS kelas C.

Sementara bearan tarif CBG yang ditetapkan Kementrian Kesehatan berbeda cukup besar. Perbedaan biaya HD di kedua RS dalam penelitian ini hanya kerena perbedaan biaya investasi yang tidak dikompenasi
oleh besaran tarif CBG. Seharusnya besaran tarif CBG untuk HD dibedakan berdasarkan kepemilikan RS,
bukan berdasarkan kelas RS. Penetapan tarif khusus HD di RSCM yang lebih dari dua kali tarif HD di RS
kelas C merupakan pemborosan dana publik dalam JKN.
Peneliti menyarankan agar secara bertahap, namun segera, besaran bayaran CBG, khususnya untuk
HD direvisi untuk keadilan pembayaran sesuai dengan rata-rata biaya pasar (average market cost) atau harga
keekonomian yang layak. Besaran tarif HD harus sama antara RS kelas A sampai kelas D, tanpa ada besaran
HD di RS khusus. Agar besaran tarif CBG memenuhi harga keekonomian dan perdebatan perbe-daan tarif
dikurangi, disarankan agar Kemenkes atau BPJS Kesehatan melakukan atau menyediakan dana yang memadai
untuk riset komprehensif penetapan tarif harga keekonomian yang berkeadilan.

DAFTAR PUSTAKA
Abraham S dan Ramachandran A, 2012. Estimation of Quality of Life in Haemodialisis Patients. Indian
Journal of Pharmaceutical Sciences. November-December 2012, pp. 583-587.
Aprilianti R, 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Anemia pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis di RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. Tesis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Idris, F. Bahan presentasi pada Dialog Nasional JKN, Jakarta 30 Mei 2016.
Dor, Avi, et al, 2007. End Stage Renal Disease and Economic Incentives: The International Study of Health
Care Organization and Financing (ISHCOF). Int J Health Care Finance Econ Vol. 7, pp. 73-111.

Evaluasi Pengadaan Obat JKN

63

Dwiaji, Sarnianto, Thabrany, & Syarifudin

Drummond MF, et al, 2004. Methods for the Economic Evaluation for Healthcare Programmes. Third ed.
New York: Oxford University Press.
Foley RN, et al, 2002. Blood Pressure and Long Term Mortality in US Hemodialisis Patients: USRDS
waves 3 and 4 study. Kidney Int 2002(62), pp. 1784-1790.
Frankenfield DL & Johnson CA, 2002. Current Management of Anemia in Adult Hemodialisis Patients
with End Stage Renal Disease (ESRD). Am J Health-Syst Pharm, Vol. 59, pp. 429-435.
Kaitelidou, et al, 2005. Economic evaluation of hemodialisis: Implications for technology assessment in
Greece. International Journal of Technology Assessment in Health Care, 21(1), pp. 40-46.
Kalantar-Zadeh K, et al, 2009. Fluid retention is associated with cardiovascular mortality in patients
under-going long term hemodialisis. Circulation (119), pp. 671-679.
Kementrian Kesehatan, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan No. 59 Tahun 2014 tentang Besaran Tarif Pelayanan Hemodialisis Era Jaminan Kesehatan Nasional. Kemenkes Jakarta.
Kementrian Kesehatan, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan No. 812/Menkes/PER/VII/2010 tentang
penye-lenggaraan pelayanan dialisis pada fasilitas pelayanan kesehatan. Kemenkes Jakarta.
Lee A J, et al, 2005. Characterisation and Comparison of Health Related Quality of Life for Patients with
Renal Failure. Current Medical Research and Opinion, Vol. 21, No. 11, pp. 1777-1783.
Mendelssohn, D. C, et al, 2011. Conditionally Funded Field Evaluations A Solution to the Economic Barrier
Limiting Evidence Generation in Dialisis? Seminar in Dialysis, Vol. 24, No. 5: pp. 556-559.

Novelia, Elsa. 2014. Cost Effectiveness Analysis (CEA) Penanganan Gagal Ginjal Terminal dengan
Hemo-dialisis dan CAPD. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Pernefri, 2012. 5th annual report of IRR 2012. Indonesian Renal Registry. <www.pernefri-inasn.org> [Diunduh pada tanggal 4 Juni 2015].
Reynaga-Ornelas L, 2011. Dialisis Modality and Health Related Quality of Life of Persons with End
Stage Renal Disease. Dissertation for Doctor of Philosophy. Arizona State University.
Saran R, et al, 2003. Nonadherence in Hemodialisis: Assosciation with mortality, hospitalization and
Prac-tice Patterns in the DOPPS. Kidney Int 2003, Vol. 64, pp. 254-262.
Suhardjono, 2007. The Development of A Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis Program in
Indone-sia. Peritoneal Dialysis International, Vol. 28, pp. S59-S62.
Szczech LA, et al, 2002. Interactions beteen dialisis related volume exposures, nutrituinal surrogates and
mortality among GGK patients. Nephrology Dialisis Transplantation, Vol. 18, Issue 8, pp. 15851591.
Tajima R, et al, 2010. Measurement of Health Related Quality of Life in Patients with Chronic Kidney
Disease in Japan with EuroQol (EQ-5D). Clin Exp Nephrol Vol. 14, pp. 340-348.
Teerawattananon, Yot et al, 2007. Economic Evaluation of Palliative Management versus Peritoneal Dialisis and Hemodialisis for End-Stage Renal Disease: Evidence for Coverage Decisions in
Thailand. International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) 10983015/07/61: pp. 61-72.
Tentori F, et al, 2012. Longer dialisis session length is associated with better intermediate outcomes and
survival among patients on in-center three times per week hemodialisis: results from the Dialisis
Hasils and Practice Patterns Study (DOPPS). Nephrol Dial Transplant 0: 1-8.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

64

Volume 1, Nomor 1

Terapi Sistemik Defisit JKN: Bahan Refleksi Bagi Semua


Pihak
Budi Hidaya1t
Korespondensi: b_hidayat@hotmail.com
Dikirimkan pada 20 Juli 2016. Ditinjau pada 25 Juli 2016. Diterima pada 27 Juli 2016.

Abstrak
Defisit layak disandang sebagai penyakit kronis JKN. Indikasi defisit terungkap dari angka rasio
klaim. Pada tahun 2014 dan 2015 angka rasio klaim selalu berada diatas 100%. Angka ini merupakan
hasil pembagian biaya klaim (atau biaya kesehatan peserta) dengan pendapatan iuran. Dengan demikian
rasio klaim menggambarkan penyerapan dana iuran untuk biaya kesehatan saja. Padahal pendapatan iuran
juga harus dialokasikan untuk biaya operasional dan cadangan.
Defisit JKN akan terus bergulir jika terapi sistemik nihil. Untuk tahun 2016, hasil estimasi penulis
dengan merujuk pada asumsi besaran iuran sesuai Peraturan Presiden No 28/2016 (Sekretariat Kabinet, 2016)
dan tarif pelayanan Permenkes 59/2014 (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2014) menemukan angka
rasio klaim 101%. Artinya, pendapatan iuran masih kurang meski hanya untuk mendanai pelayanan kesehatan.
Dari mana sumber dana untuk mendanai biaya operasional? Apakah JKN hanya mengandalkan suntikan dana
pemerintah? Label penyakit kronis defisit layak disandang oleh JKN. Apa obatnya?

Kata Kunci:
Defisit, JKN, Evaluasi

1
Guru Besar FKMUI, dan Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan,
FKMUI
Terapi Sistematik Defisit JKN

65

Hidayat

Kontrol Biaya Klaim


Strategi pertama untuk mengerem defisit adalah mengontrol biaya klaim untuk memastikan klaim dibayar terhadap apa yang seharusnya dibayar. Secara matematis besaran biaya klaim
dipengaruhi oleh nilai harga dan angka utilisasi layanan kesehatan. Untuk meredam biaya klaim
maka dapat dilakukan dengan dua resep. Pertama adalah menurunkan harga layanan. Resep ini
mudah dilakukan, cukup dengan merombak standar tarif pelayanan yang diatur Permenkes
Nomor 59/2014 agar rasional terhadap pendapatan iuran. Namun jika opsi penurunan standar
harga yang dipilih maka akan menuai masalah baru. Badai protes dari fasilitas kesehatan (faskes)
akan datang silih berganti. Kualitas layanan menjadi terancam, meskipun pada produk kesehatan
kualitas tidak selalu berbanding lurus dengan harga. Bahayanya, JKN akan menyandang gelar
baru sebagai pro-duk inferior. Ini yang harus dicegah.
Cara kedua mengontrol biaya klaim adalah mengendalikan utilisasi yang sifatnya abnor-mal.
Jenis utilisasi ini tidak murni disebabkan oleh kebutuhan medis pasien, namun disebabkan oleh motif
lain (target income) provider. Pencetus utilisasi abnormal adalah ketidakseimbangan informasi dan
peran ganda provider. Ketika berobat, pasien umumnya tidak tahu terhadap jenis layanan kesehatan
apa yang dibutuhkan. Pasien akan selalu menggantungkan pemilihan terapi atas saran provider yang
memang lebih mengetahuinya. Sementara provider memiliki dua peran ganda
(Blomqvist, 1991), yaitu sebagai penasehat atau advisor pasien dan penyedia jasa atau supplier
layanan. Kedua peran ini melekat alamiah dan tidak bisa dipisahkan. Ketika tidak ada polisi
yang mengontrol, atau sudah ada asuradur (missal BPJS Kesehatan) namun fungsi kontrolnya
mandul maka kombinasi dari ciri asimetrik informasi dengan peran ganda provider melahirkan
fenomena Supplier Induced Demand (SID) yang berujung pemborosan .
Fenomena SID mengglobal dalam praktik layanan kesehatan, dan terbukti empiris di ban-yak
negara (De Jaegher and Jegers, 2000, Labelle et al., 1994, Carlsen and Grytten, 2000, Az-zahrazade,
2016, Van Doorslaer and Geurts, 1987), termasuk Indonesia (Hidayat and Pokhrel, 2010,
Azzahrazade, 2016). Analisis data Indonesian Family Life Survei mendeteksi fenomena
SID di perkotaan yang memiliki tingkat kompetisi provider lebih tinggi dibandingkan di pedesaan
(Hidayat and Pokhrel, 2010). Studi (Azzahrazade, 2016) dengan data Susenas dan Podes 2012
mengklarifikasi SID di Indonesia. Dari hasil analisis yang dilakukan dengan two-part (atau
hurdle) model, Azahrazzade (2016) menemukan angka probabilitas dokter yang mendorong
kunjungan pasien rawat jalan semakin tinggi seiring naiknya kompetisi dokter yang diukur
dengan rasio dok-ter terhadap populasi.
Fenomena SID memang semakin menonjol ketika kompetisi provider semakin menguat
(Lonard et al., 2009), dan terjadi dalam sistem kesehatan yang mengandalkan mekanisme pasar. Ini contoh anomali dari asumsi ekonomi yang menyatakan kompetisi dan mekanisme pasar
mendorong efisiensi. Aplikasi asumsi ini pada kesehatan ternyata menelorkan hasil sebaliknya,
inefisiensi. Ketika terjadi over-supply, misalnya, kondisi ekuilibrium penawaran dan permintaan
pada pasar kesehatan terjadi bukan disebabkan oleh turunnya harga layanan sebagaimana asumsi
ekonomi yang berlaku pada pasar non-kesehatan, namun karena kenaikan harga. Knsumen kesehatan tetap membelinya karena supplier (dokter) berperan tidak hanya sebagai penyedia jasa
tetapi juga sebagai advisor.
Wujud konkrit SID bervariasi, tergantung dari pola bayar apa yang digunakan untuk
membayar provider. Ketika pembayaran provider dilakukan dengan Diagnosis Related Groups
(DRGs), wujud SID dapat berupa pemulangan dini pasien yang masih membutuhkan perawatan,

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

66

Volume 1, Nomor 1

atau bloody discharge (Qian et al., 2011) dengan harapan pasien berobat kembali. Bloody discharge juga terjadi akibat alokasi dana DRGs untuk perawatan pasien sudah terserap semua. Pada
pelayanan rawat jalan, kaveat DRGs dapat berupa pemecahan kasus menjadi beberapa kunjungan
yang mendorong lahirnya readmisi (Bjorvatn, 2013). Tidak heran jika DRGs, kecuali Indonesia,
tidak lazim digunakan untuk membayar provider yang memberikan layanan rawat jalan. Altrnatifnya discount on charge yang digunakan di sejumlah negara, atau ambulatory payment
classifica-tions yang dipakai oleh program medicare di Amerika.

Pemborosan
Nihilnya pengendalian membuka peluang subur utilisasi abnormal yang berujung pemborosan. Adalah sistem jaminan kesehatan di Jerman yang menerapkan audit medis untuk menelisik
rekam medis, minimal 10% dari kasus klaim DRGs, yang diambil acak per tahun dari sejumlah rumah sakit sampel. Tujuannya untuk menilai apakah pasien jaminan memperoleh layanan keseha-tan
sesuai standar pelayanan, dan untuk mengklarifikasi apakah tagihan yang diajukan rumah sakit
sejalan dengan diagnosis, serta jenis pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien.
Di Indonesia, celah untuk meraih efisiensi terbuka lebar. Berapa triliun rupiah dana JKN yang
bisa dihemat? Analisis data klaim INA-CBGs sampai bulan pembayaran Agustus 2015 me-nemukan
76% klaim rawat jalan (atau 36 juta kasus) merupakan kasus-kasus readmisi. Memang tidak semua
kasus readmisi tergolong bermasalah, namun ada sekitar 34% (12.6 juta kasus) ter-golong sebagai
readmisi bermasalah dan diduga akibat motivasi SID. Dugaan SID diidentifikasi dengan kriteria jeda
kunjungan pasien ke faskes sama untuk jenis penyakit yang sama antara kun-jungan berikut dengan
sebelumnya berada dalam rentang maksimal 7 hari. Nilai klaim atas kejadi-an readmisi dengan jeda
antara kunjungan sebelum dan terakhir selama maksimal 7 hari mencapai
Rp 5.1 triliun.
Selain pelayanan rawat jalan, utilisasi abnormal terdeteksi pula pada pemanfaatan rawat inap.
Angka bloody discharge yang mendorong kejadian readmisi juga menyedot dana signifikan
(mencapai 4% dari total klaim rawat inap). Ada indikasi pula kasus klaim yang mengarah pada
dugaan upcoding (Dafny, 2005, Berta et al., 2010) yang jika dihitung dampaknya terhadap biaya
nilainya fantastis. Pembuktian empiris kasus-kasus upcoding harus dilakukan melalui audit medis.

Estimasi total biaya klaim INA-CBGs yang sudah dibayarkan oleh BPJS Kesehatan sampai dengan bulan pembayaran Agustus 2015 mencapai Rp 55,9 triliun. Seandainya saja readmisi
dan SID pada pelayanan rawat jalan, serta dugaan praktik upcoding dan bloody discharge pada
jenis pelayanan rawat inap terdeteksi oleh radar audit medis seperti halnya di Jerman, perhitungan penulis menemukan efisiensi dana mencapai sekitar 12.6% dari total klaim. Untuk itu, BPJS
Kesehatan harus mengembangkan sebuah sistem yang sanggup untuk mendeteksi kasus-kasus
tersebut. Algoritma sistem sangat mudah dikembangkan, dan cukup sederhana. Luaran dari
sistem pendeteksian ini adalah basis data kasus-kasus klaim yang teridentifikasi bermasalah.
Data ini selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk menelusuri kasus klaim di lapangan dalam
program audit medis. Dengan demikian, ketika melakukan aktivitas audit medis, para auditor
tidak harus membokar jutaan klaim, namun cukup melacak kasus klaim yang sudah masuk dalam
daftar ber-masalah. Cara cerdas inilah yang harus dilakukan.

Terapi Sistematik Defisit JKN

67

Hidayat

Efek Domino INA-CBGs


Implikasi negatif INA-CBGs juga memberikan efek domino bagi penderitaan pasien dan
sistem kesehatan. Rata-rata kunjungan berulang diantara pasien yang memanfaatkan layanan
rawat jalan untuk kasus penyakit sama mencapai 4.7 per pasien. Dengan demikian readmisi berimbas tidak hanya pada pendanaan JKN tetapi juga pada pengeluaran pasien. Ketika berobat
pasien sudah pasti mengeluarkan biaya transport. Biaya kesempatan, opportunity costs, pasien
dan keluarga yang mendampinginya juga pasti lenyap. Penderitaan pasien semakin parah karena
setiap mendatangi faskes menemui antrian sejak pendaftaran, pemanfaatan layanan sampai tahap
pengambilan obat.
Penderitaan pasien juga tercermin oleh adanya kasus-kasus rujukan yang mengarah indika-si
dumping (Ellis, 1998). Faskes cenderung memilih pasien yang menguntungkan saja, yakni menerima pasien yang dinilai akan menghabiskan biaya lebih rendah dari tarif INA-CBGs sementara
pasien yang dinilai merugikan dirujuk ke faskes lain (Newhouse, 1989). Indikasi dumping ditelisik
dengan menelusuri kasus-kasus rujukan horizontal, yaitu rujukan yang diberikan oleh perujuk faskes
lanjut dengan tingkatan sama dengan faskes tujuan rujukan. Estimasi penulis menemukan angka
dumping 33,7% untuk rawat inap, dan 16% untuk rawat jalan. Kejadian lempar-melempar pasien
cenderung naik dari bulan ke bulan sejak implementasi JKN. Angka dumping rawat jalan naik dari
11,2% pada bulan Januari 2014 menjadi 20,0% pada Juli 2015 atau naik 78% selama 18 bulan (4,3%
per bulan). Pada pelayanan rawat inap, kenaikan angka dumping selama periode yang sama
mencapai 63% (3,5% per bulan), naik dari 23,5% pada Januari 2014 menjadi 38,5% pada bulan Juli
2015. Meski dampak dumping relatif kecil pada efisiensi dana, fenomena ini berdampak negative
bagi peserta yang menjadi objek dumping karena mereka akan dilempar dari satu faskes ke faskes
lain. Ini akan menyebabkan ketidaknyamanan, dan jika dibiarkan akan berakumulasi pada
ketidakpuasan peserta terhadap program JKN.
Efek domino implikasi negative INA-CBGs bagi overall sistem pelayanan kesehatan adalah terjadinya penumpukan dan antrian pasien. Pada kondisi ini yang selalu disalahkan adalah
program JKN. Program ini dianggap tidak matang karena infrastruktur (supply, faskes) tidak dipikirkan sejak dini. Jika saja, misal, readmisi tidak terjadi, pasien cukup sekali datang ke faskes,
dan faskes tersebut dapat digunakan oleh pasien lain. Karena proporsi kasus readmisi sangat
tinggi, apalagi pada kasus rawat jalan, maka secara akumulasi menyebabkan kekurangan faskes.
Rasio faskes dengan penduduk baik dari sisi nakes dan tempat tidur secara teoritis sudah cukup,
namun praktiknya menunjukkan kekurangan yang terdeteksi dari fenomena antrian pasien, serta
dan tidak adanya ruangan.
Tidak tersedianya ruang rawat inap bagi pasien JKN yang butuh pelayanan juga sering
ter-dengar sejak implementasi JKN. Apakah ini memang murni disebabkan oleh tidak adanya
ruangan atau karena fenomena dumping megingat banyak kasus pasien tidak jadi dirujuk ke
faskes lain jika yang bersangkutan bersedia membayar layanan kesehatan sendiri. Disini
dibutuhkan polisi untuk mengontrol praktik layanan kesehatan. Nihilnya kontrol akan
menyebabkan pasien semakin terombang-ambing ketika mereka butuh pelayanan kesehatan. Dan
cilakanya, JKN menjadi sasa-ran kesalahan.

Genjot Pendapatan
Strategi kedua untuk meredam defisit JKN dapat dilakukan dengan menggencot pendapa-tan
JKN. Pendapatan dipengaruhi oleh besaran iuran dan jumlah peserta. Untuk itu, langkah siste-

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

68

Volume 1, Nomor 1

mik yang harus dilakukan adalah menaikkan nilai iuran. Sayangnya revisi iuran yang dituangkan
dalam Peraturan Presiden 28/2016 (Sekretariat Kabinet, 2016) masih jauh berada dibawah nilai
ideal. Tampak disini pemerintah ragu menjadikan JKN sebagai produk superior.
Cara kedua membenahi pendapatan adalah membangun tata kelola kepesertaan. BPJS Kesehatan tidak hanya focus mendorong jumlah peserta, tetapi harus memperhatikan pada kelom-pok
mana prioritas harus dibidik sedini mungkin, serta bagaimana memastikan mereka konsisten
membayar iuran. Sistem inilah yang harus dibangun. Rubah pola pikir atau mindset masyarakat
untuk menyikapi klausul wajib dalam UU SJSN menjadi sebuah kebutuhan. Mereka yang bu-tuh
tentunya akan berupaya memenuhi kebutuhannya. Sholat lima waktu adalah rukun Islam, dan
kewajiban mutlak bagi kaum muslim. Seorang muslim yang taat akan selalu mengerjakan Sholat
sebagai wahana dalam memenuhi kebutuhan melepas rindu untuk berjumpa dengan Allah. Ini contoh
perubahan mindset kewajiban menjadi kebutuhan yang tampaknya perlu ditularkan bagi masyarakat
Indonesia dalam menyikapi JKN. Sosialisasi dan edukasi publik terkait keberadaan dan seluk beluk
JKN harus dilakukan terus menerus untuk membangun mindset tersebut.

Intervensi Sistemik, Kumpulan PR


JKN membutuhkan intervensi sistemik yang harus menembak pada sumber masalah defisit. Upaya menaikkan peserta tidak serta merta akan mampu meredam defisit JKN. Meskipun
seluruh penduduk Indonesia masuk program JKN, dengan merujuk struktur tariff yang diatur
Per-menkes 69/2014 dan nilai iuran PerPres 28/2016, JKN akan tetap menyandang label penyakit
kro-nis defisit karena kenaikan peserta secara proporsional tidak sebanding dengan kebutuhan
biaya kesehatan per orang per bulan. Dengan demikian upaya kenaikan peserta harus dibarengi
dengan upaya pengendalian, rasionalisasi harga layanan dan perbaikan nilai iuran. Ini paket
sistemik un-tuk mentralisir defisit JKN.
Terkait intervensi pengendalian, JKN membutuhkan pelembagaan manajemen telaah utilisasi (utilization review) komprehensif untuk menjamin kualitas dan kontrol biaya. Aplikasi
sistem informasi teknologi harus digunakan untuk mendeteksi kasus-kasus klaim yang
bermasalah. Audit medis sebagai bagian dari aktivitas retrospektif telaah utilisasi untuk
menelisik kasus-kasus klaim yang masuk dalam daftar hitam implikasi INA-CBGs (readmisi,
bloody discharge, dan upcoding) juga harus dilakukan. Audit medis ini tentunya harus didukung
oleh regulasi untuk memuluskan pelaksanaan ketika auditor membongkar berkas rekam medis
pasien yang tersimpan disetiap fask-es.
Selain intervensi sistemik diatas, dalam jangka panjang, permasalahan hulu terkait dengan skema pembayaran INA-CBGs, yakni klasifikasi penyakit, harus segera diselesaikan.
Aplikasi DRGs, sejak INA-DRG (Jamkesmas) sampai INA-CBGs (JKN), belum pernah
dilakukan evaluasi klasifikasi penyakit secara komprehensif yang digunakan sebagai dasar dalam
pengelompokkan DRGs. Padahal ada sejumlah DRGs yang belum pernah muncul kasusnya. Atau
kasus DRG su-dah muncul, namun jumlahnya relatif kecil sehingga secara statistik tidak
memadai digunakan dalam penentuan bobot tarif. Ini yang harus dituntaskan segera. Jika tidak,
permasalahan tinggi/ rendahnya tariff pada kelompok DRGs tertentu dibandingkan dengan tariff
rumah sakit akan tetap mengemuka sepanjang masa.
Inovasi metode pembayaran provider juga harus dibangun untuk menanggalkan kelemahan metode bayar yang digunakan dalam JKN. Inovasi potensialnya adalah bagaimana mengkombinasikan Kapitasi dan INA-CBGs dengan Pay-For-Performance. Apa indikator kinerja yang

Terapi Sistematik Defisit JKN

69

Hidayat

perlu digunakan untuk kemudian dilebur dalam skim Kapitasi dan INA-CBGs? Ini juga
pekerjaan lanjutan yang harus difikirkan sedini mungkin.

Kesimpulan
Dari uraian dimuka, artikel ini menyimpulkan bajwa ada empat intervensi sistemik yang
bisa dijalankan untuk meredam defisit: rasionalisasi harga, pelembagaan pengendalian, revisi
nilai iuran, serta membangun manajemen kepesertaan. Keempat intervensi sistemik tersebut
harus dilakukan simultan, serta melibatkan semua pelaku inti dalam program JKN.
Implementasi berbagai kebijakan yang terkandung dalam program JKN (missal reformasi
pembayaran provider: Kapitasi dan INA-CBGs) tengah mendatangkan pekerjaan baru. Mempertahankan apa yang baik, dan berupaya terus untuk memperbaiki kelemahan adalah hal logis. Ini
terjadi diseluruh dunia. Reformasi jaminan kesehatan tidak pernah berhenti. Maju dan benahi
terus JKN. Rakyat BUTUH, jangan sampai mereka membencimu.

Daftar Pustaka
Azzahrazade 2016. Supplier Induced Demand on Outpatient Care in Indonesia: Analysis of National Social Economic Survey 2012. Faculty of Public Health, Universitas Indonesia, 1.
Berta, P., Callea, G., Martini, G. & Vittadini, G. 2010. The effects of upcoding, cream skimming
and readmissions on the Italian hospitals efficiency: A population-based investigation.
Economic Modelling, 27, 812-821.
Bjorvatn, A. 2013. Hospital readmission among elderly patients. The European Journal of Health
Economics, 14, 809-820.
Blomqvist, K. 1991. The doctor as double agent: Information asymmetry, health insurance, and
medical care. Journal of Health Economics, 10, 411-432.
Carlsen, F. & Grytten, J. 2000. Consumer satisfaction and supplier induced demand. Journal of
Health Economics, 19, 731-753.
Dafny, L. S. 2005. How Do Hospitals Respond to Price Changes? American Economic Review,
95, 1525-1547.
De Jaegher, K. & Jegers, M. 2000. A model of physician behaviour with demand inducement.
Journal of Health Economics, 19, 231-258.
Ellis, R. P. 1998. Creaming, skimping and dumping: provider competition on the intensive and
extensive margins1. Journal of Health Economics, 17, 537-555.
Hidayat, B. & Pokhrel, S. 2010. The Selection of an Appropriate Count Data Model for
Modelling Health Insurance and Health Care Demand: Case of Indonesia. International
Journal of Environmental Research and Public Health, 7, 9-27.
Labelle, R., Stoddart, G. & Rice, T. 1994. A re-examination of the meaning and importance of
supplier-induced demand. Journal of Health Economics, 13, 347-368.
Lonard, C., Stordeur, S. & Roberfroid, D. 2009. Association between physician density and health
care consumption: A systematic review of the evidence. Health Policy, 91, 121-134.
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, R. I. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun
2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1287, 1-17.
Newhouse, J. P. 1989. Do unprofitable patients face access problems? Health Care Financing Review, 11, 33-42.

Jurnal Ekonomi Kesehatan Indonesia

70

Volume 1, Nomor 1

Qian, X., Russell, L. B., Valiyeva, E. & Miller, J. E. 2011. Quicker And Sicker Under
Medicares Prospective Payment System For Hospitals: New Evidence On An Old Issue
From A Na-tional Longitudinal Survey. Bulletin of Economic Research, 63, 1-27.
Sekretariat Kabinet, R. I. 2016. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016
Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 62, 1-8.
Van Doorslaer, E. & Geurts, J. 1987. Supplier-induced demand for physiotherapy in the Netherlands. Social Science & Medicine, 24, 919-925.

Terapi Sistematik Defisit JKN

71

Hidayat

Center for Health Economics and Policy Studies (CHEPS)


Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Gedung G Lantai 3 Ruang 311
Depok 16424
Telepon/Faks: (021) 12345678
E-mail: info.cheps@or.id

ISSN 2527-8878

You might also like