Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Tanah merupakan modal utama bagi masyarkat hukum adat terutama yang
masih sangat bercorak agraris. Hal tersebut karena tanah merupakan tempat
tinggal, tempat beribadah dan juga sebagai tempat bercocok tanam untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Karena pentingnya tanah bagi masyrakat, tidak heran
jika dari jaman kerajaan sampai dengan sekarang dirasakan perlu pengaturan
tentang tanah. Pada masyarakat hukum adat terdahulu sudah ada peraturan
peraturan mengenai tanah, walupun bentuknya masih dalam hukum yang tidak
tertulis atau disebut hukum adat. Pada jaman masyarakat hukum adat terdahulu
terdapat suatu ketentuan mengenai tanah yang menyatakan bahwa siapa yang
pertama kali membuka lahan dan mendudukinya, maka orang tersebutlah yang
dianggap menjadi pemilik tanah. Dahulu dalam membuktikan kepemilikan tanah
tidak perlu dengan surat menyurat, tetapi cukup dengan pengakuan secara lisan
dari masyarakat setempat bahwa benar ia telah menduduki tanah tersebut dalam
jangaka waktu yang lama. Namun adakalnya bahwa sebidang tanah tidak dapat
dikatakan sebagi hak milik orang perseorangan. Dalam hal ini tidak ada
seorangpun yang dikatakan sebagai pemilik tanah, karena tanah itu dianggap
sebagai milik bersama dari suatu kelompok masyarakat dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan bersama.
Dalam perkembangannya, setelah dikenal adanya hukum tertulis dan juga
adanya kesadaran hukum di dalam kehidupan masyarakat
maka dibentuklah
hukum tertulis yang mengatur tentang tanah dan segala hal yang berkaitan dengan
tanah yang disebut dengan hukum agraria. Salah satunya adalah Undang
Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria atau
yang disebut UUPA. Dibentuknya UUPA ini dimaksudkan untuk mengakhiri
keberagaman perangkat hukum yang mengatur dalam bidang pertanahan, dimana
pembentukannya didasarkan pada hukum adat. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya bahwa di dalam hukum adat terdapat konsepsi mengenai kepemilikan
tanah yang bersifat komunal yang menunjukkan adanya hak ulayat dalam
1
masyarakat hukum adat. Walaupun di dalam UUPA dikenal adanya istilah hak
ulayat, tetapi sampai sekarang hak ulayat tersebut keberadaannya masih menjadi
permasalahan di dalam hukum tanah nasional. Begitu juga statusnya dalam
masyarakat adat sendiri, mengingat keberadaan hak ulayat tersebut ada yang
masih sangat kental dan ada juga yang sudah menipis bahkan hilang.
Maka dari itu, untuk mengetahui secara jelas bagaimana kedudukan dan
eksistensi hak ulayat di dalam UUPA, dalam makalah ini akan dijelaskan
menganai hak ulayat dan bagaimana kedudukannya di dalam sistem hukum tanah
nasional, apakah masih diakui atau tidak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak Ulayat
Sebelum membahas mengenai hak ulayat, akan lebih baik jika kita
memahami terlebih dahulu mengenai konsep masyarakat dan masyarakat
hukum adat. Tentu kita ketahui bahwa setiap makhluk hidup di bumi ini pasti
hidup dengan berkelompok dan saling berinteraksi yang membentuk suatu
kesatuan, termasuk manusia. Biasanya kesatuan kesatuan hidup manusia itu
disebut sebagai masyarkat.
Namun perlu menjadi perhatian bahwa tidak semua kesatuan manusia
yang saling berinteraksi itu bisa disebut sebagai masyarakat, misalnya ada
sekelompok orang yang mengerumuni tukang sayur, mereka memang
berkelompok dan saling berinteraksi tetapi tidak bisa disebut sebagai
masyarakat. Oleh karena itu yang dapat disebut sebagai masyarakat tidak
hanya kesatuan manusia yang yang bergaul dan berinteraksi, tetapi juga harus
mempunyai suatu ikatan lain yang khusus.1 Ikatan khusus tersebut haruslah
bersifat mantap dan kontinyu sehingga telah menjadi adat istiadat yang khas.
Selain itu, suatu kesatuan masyarakat juga harus memiliki suata rasa
identitas yang di dalamnya terdapat suatu sistem norma. Sehingga dapat
1 Koenjtaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta:Rineka Cipta,
2009).
2
anggotanya berhak memetik hasil dari tanah beserta segala isinya untuk
memenuhi kebutuhan para anggotnya, sedangkan berlaku kedalam artinya
bahwa selain anggotanya sendiri, orang asing boleh menggunakan tanah hak
ulayat tersebut dengan seijin penguasa dan diwajibkan membayar kerugian.
Bagi masyarakat hukum adat tertentu, hak ulayat bisa tercipta karena
pemisahan dari masyarakat hukum adat induknya, menjadi masyarakat
hukum adat baru yang mandiri, dengan sebagian wilayah induknya sebagai
tanah ulayatnya.5
Dalam peraturan perundang undangan sendiri hak ulayat tidak
diterangkan secara jelas, sehingga dahulu hak ulayat ada yang menamakan
hak milik komunal. Van Vollenhoven menamakan hak ulayat sebagai
beschikkingensrecht yang kemudian diterima oleh umum dan dipakai sampai
sekarang. Beschikkingensrecht merupakan suatu hak tanah yang hanya
terdapat di Indonesia, suatu hak yang tidak dapat dipecah pecahkan
yangdan didasarkan pada keagamaan.
Undang Undang Pokok Agraria pun juga tidak menyebutkan penjelasan
tentang hak ulayat yang dalam kepustakaan hukum adat disebut
beschikkingensrecht.6 Hak ulayat secara sebagai istilah yuridis yaitu hak yang
melekat sebagai kompetensi khas pada masyarakat hukum adat, berupa
wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tenah seisinya dengan
kekuatan berlaku ke dalam maupun ke luar.7
Dengan demikian hak ulayat menunjukkan adanya hubungan hukum
antara masyarakat hukum adat sebagai subyek hak dan tanah sebagai obyek
haknya. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya
adalah hubungan menguasai.
5 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
UUPA dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah Nasional,
(Jakarta:Djambatan, 2008). Hlm. 281
6 Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan
Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2008). Hlm. 55.
7 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Jogjakarta : Liberty, 1981).
Hlm. 1
4
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang
mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari.
2. Terdapat tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari.
3. Terdapat tatanan hukum adat menguasai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlalu dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.
Dalam Pasal 4 ayat (1) penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk Tanah
Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan
hukum dapat dilakukan :
1. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak
penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila
dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah
yang sesuai menurut ketentuan UUPA,
2. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut
ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari negara setelah tanah
tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya sesuai
dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.9
Pengertian terhadap istilah hak ulayat juga ditegaskan
oleh
hukum
(desa,
suku)
untuk
menjamin
ketertiban
ini mempunyai hubungan yang timbal balik dengan hak perseorangan, bila
hak perseorangan kuat, hak ulayatnya melemah. Sebaliknya bila seseorang
yang meninggalkan hak perorangannya, maka hak ulayat berlaku kembali.
Berlaku keluar berarti bahwa orang luar hanya boleh memunggut hasil
tanah dan lain-lain dalam lingkungannya sesusah mendapat ijin dari kepala
adat atau masyarakat dan membayar uang pengakuan yang disebut recognitie
(mesi).
B. Kedudukan Hak Ulayat dalam Hukum Tanah Nasional
1. Hak Ulayat dalam UUPA
Berbagai macam hak yang berasal dari hukum adat ataupun hubungan
hukum antara manusia dengan tanahnya harus mendapatkan tempat dalam
sistem hukum agraria nasional dengan syarat harus diadakan berbagai
modifikasi, karena hukum adat merupakan dasar dari hukum agraria
nasional.
Daniel S.Lev menyatakan bahwa para perancang UUPA mengatakan
bahwa Undang-Undang karya mereka itu didasarkan pada hukum adat,
tetapi nyatanya Undang-Undang Tahun 1960 itu banyak melakukan
langkah-langkah besar ke arah penghapusan hak-hak milik adat.11 Hal ini
bukan tanpa alasan karena semua tanah itu harus tunduk pada tuntutan
kepentingan dan tujuan nasional. UUPA jelas sekali mengingkari hak-hak
adat yang khas walaupun masih di izinkannya beberapa kebijakan
administrasif sesuai hukum adat. Pada dasarnya semua ini untuk
menciptakan suatu hukum tanah yang berlaku universal.
Kiranya masih adanya Hak Ulayat diketahui dari kenyataan mengenai
1) masih adanya suatu kelompok orang-orang yang merupakan warga
suatu masyarakat hukum adat tertentu, dan 2) masih adanya tanah yang
merupakan wilayah masyarakat hukum adat tersebut, yang didasari
sebagai kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat itu sebagai
lebensraum-nya. Selain itu, eksistensi Hak Ulayat masyarakat hukum
adat yang bersangkutan juga diketahui dari kenyataan, masih adanya 3)
11 Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan
Agraria Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1984), Hlm 80.
8
kepala adat dan para tetua adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh
para warganya, melakukan kegiatan sehari-hari, sebagai pengemban tugas
kewenangan
masyarakat
hukum
adatnya,
mengelola,
mengatur
memberikan
berbagai
kemudahan
bagi
para
pelaksana
ketentuan
bahwa
Pengadaan
tanah
bagi
pelaksanaan
Ulayat dipakai sebagai dalih bagi masyarakat hukum adat setempat untuk
membuka hutan secara sewenang-wenang.
Pada kenyataannya, jika suatu wilayah hutan sudah diberikan dengan
Hak Pengusahaan Hutan kepada pengusaha, ada kemungkinan para
anggota masyarakat hukum adat untuk mengambil hasil hutan berdasarkan
Hak Ulayat, sangat dibatasi. Dengan telah diberikannya Hak Pengusahaan
Hutan kepada para pengusaha hutan yang meliputi tanah Hak Ulayat
mereka, berakibat dibekukannya, lebih-lebih ditiadakannya, hak mereka
untuk mengambil hasil hutan diwilayah ulayatnya masing-masing. Namun
demikian ada ketentuan yang melindungi hak-hak masyarakat hukum adat
dan para warganya yaitu Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tentang
Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Keagrariaan dengan Bidang Tugas
Kehutanan Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum.
Diinstruksikan pada para menteri yang bersangkutan bahwa :
1. bilamana pemegang Hak Pengusahaan Hutan memerlukan penggunaan
sebidang tanah didalam areal Hak Pengusahaan Hutannya, yang
penggunaannya tidak secara langsung untuk usaha yang sesuai dengan
pemberian Hak Pengusahaan Hutan tersebut, maka yang bersangkutan
wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Dalam Negeri
( sekarang : Menteri Negara Agraria / Kepala BPN ) untuk
memperoleh sesuatu hak atas
areal
itu
sehingga
mengakibatkan
penduduk
atau
ada pula perkembangan positif yang dinyatakan dalam pasal 68, bahwa
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi
karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hilangnya akses yang dijelaskan dalam pasal diatas meliputi hak
untuk mengambil hasil hutan dan juga untuk membuka hutan ulayatnya.
Pada dasarnya bukan hanya suatu masyarakat hukum saja yang berhak
memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya
melainkan setiap orang berhak memperoleh kompensasi tersebut. Hal ini
merupakan akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dimana pemerintah
bersama pihak penerima izin usaha pemanfaatan hutan berkewajiban untuk
mengupayakan kompensasi yang memadai, antara lain dalam bentuk mata
pencaharian baru dan keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan
disekitarnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan bab II dapat disimpulkan bahwa Hak ulayat di akui
eksistensinya di dalam hukum tanah nasional, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada. Masih adanya Hak Ulayat pada masyarakat hukum adat tertentu, antara
lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala Adat dan para tetua adat
dalam kenyataannya, yang masih diakui sebagai pengemban tugas kewenangan
mengatur penguasaan dan memimpin pengguanaan tanah ulayat, yang merupakan
tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selain
diakui, pelaksanaannya dibatasi, dalam arti harus sedemikian rupa sehingga sesuai
kepentingan nasioanal dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang
lebih tinggi. Demikian dinyatakan dalam penjelasan Umum UUPA. Merupakan
suatu kenyataan, bahwa jika dalam usaha memperoleh sebagian tanah ulayat
15
16
DAFTAR PUSTAKA
17