You are on page 1of 27

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
FRAKTUR DENTOALVEOLAR
2.1 Definisi Fraktur Dentoalveolar
Definisi fraktur secara umum adalah pemecahan atau kerusakan suatu
bagian terutama tulang (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002). Literatur lain
menyebutkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas
jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma
(Mansjoer,

2000).

Berdasarkan

definisi-definisi

tersebut

maka

fraktur

dentoalveolar adalah kerusakan atau putusnya kontinuitas jaringan keras pada


stuktur gigi dan alveolusnya disebabkan trauma.
2.2 Klasifikasi Fraktur Dentoalveolar
Jenis fraktur dentoalveolar pada anak diklasifikasikan menjadi beberapa
kejadian. Klasifikasi ini membantu dokter gigi untuk memilih cara penanganan
yang tepat untuk setiap kejadiannya sehingga pasien mendapatkan prognosis yang
baik selama perawatan. Klasifikasi fraktur dentoalveolar juga dapat memberikan
informasi yang komprehensif dan universal untuk mengkomunikasikan mengenai
tujuan perawatan tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang mendeskripsikan
mengenai fraktur dentoalveolar. Klasifikasi yang banyak dijadikan pedoman
dalam penanganan fraktur dentoalveolar adalah klasifikasi menurut World Health
Organization (WHO). 7 Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health
Organization (WHO) diterapkan pada gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi
jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut.

Pada pembahasan ini klasifikasi WHO yang diterangkan hanya pada


trauma yang mengakibatkan fraktur dentoalveolar, yaitu cedera pada jaringan
keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, dan tulang pendukung (Welbury,
2005):
1. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa (gambar 2.1)
1) Enamel infraction: jenis fraktur tidak sempurna dan hanya berupa retakan
tanpa hilangnya substansi gigi.
2) Fraktur email: hilangnya substansi gigi berupa email saja.
3) Fraktur email-dentin: hilangnya substansi gigi terbatas pada email dan
dentin tanpa melibatkan pulpa gigi.
4) Fraktur mahkota kompleks (complicated crown fracture): fraktur email
dan dentin dengan pulpa yang terpapar.
5) Fraktur mahkota-akar tidak kompleks

(uncomplicated

crown-root

fracture): fraktur email, dentin, sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa.


6) Fraktur mahkota-akar kompleks (complicated crown-root fracture): fraktur
email, dentin, dan sementum dengan pulpa yang terpapar.
7) Fraktur akar: fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa, dapat
disubklasifikasikan lagi menjadi apikal, tengah, dan sepertiga koronal
(gingiva).

Gambar 2.1 Cedera pada Jaringan Keras Gigi dan Jaringan Pulpa
(Fonseca, 2005)

2. Cedera pada jaringan periodontal (gambar 2.2)


1) Concussion: tidak ada perpindahan gigi, tetapi ada reaksi ketika
diperkusi.
2) Subluksasi: kegoyangan abnormal tetapi tidak ada perpindahan gigi.
3) Luksasi ekstrusif (partial avulsion): perpindahan gigi sebagian dari
soket.
4) Luksasi lateral: perpindahan ke arah aksial disertai fraktur soket
alveolar.
5) Luksasi intrusif: perpindahan ke arah tulang alveolar disertai fraktur
soket alveolar.
6) Avulsi: gigi lepas dari soketnya.

Gambar 2.2 Cedera pada Jaringan Periodontal (Fonseca, 2005).

3. Cedera pada tulang pendukung (gambar 2.3)


1) Pecah dinding soket alveolar mandibula atau maksila : hancur dan
tertekannya soket alveolar, ditemukan pada cedera intrusif dan lateral
luksasi.
2) Fraktur dinding soket alveolar mandibula atau maksila : fraktur yang
terbatas pada fasial atau lingual/palatal dinding soket.
3) Fraktur prosesus alveolar mandibula atau maksila : fraktur prosesus
alveolar yang dapat melibatkan soket gigi.
4) Fraktur mandibula atau maksila : dapat atau tidak melibatkan soket
alveolar.

Gambar 2.3 Cedera pada Tulang Pendukung (Fonseca, 2005).


Klasifikasi menurut Ellis
a. Klas I : tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau tanpa
perubahan tempat, menunjukkan luka kecil dengan chipping kasar
b. Klas II : fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa dengan atau
tanpa memakai perubahan tempat. Pasien mulai peka dengan sentuhan
dan udara

c. Klas III : Fraktur mahkota dengan


pulpa terbuka dengan atau tanpa
perubahan tempat
d. Klas IV : gigi mengalami trauma
sehingga
dengan

menjadi
atau

tanpa

non

vital

hilangnya

struktur mahkota
e. Klas V : Hilangnya sebagian gigi
f.

akibat trauma
Klas VI : Fraktur akar dengan atau
tanpa kehilangan mahkota atau

akar gigi
g. Klas VII : perpindahan gigi atau
tanpa fraktur mahkota atau akar
gigi
h. Klas VIII : fraktur mahkota sampai akar
i. Klas IX : fraktur pada gigi decidious

2.3 Etiologi dan Epidemiologi


Penyebab trauma dibagi menjadi dua, langsung dan tidak langsung.
Trauma langsung jika benturannya itu langsung mengenai gigi, biasanya pada
regio anterior. Trauma tidak langsung terjadi ketika ada benturan rahang bawah ke
rahang atas, gigi patah pada bagian mahkota atau mahkota-akar di gigi premolar
dan molar, dan juga pada kondilus dan simfisis rahang. Faktor yang memengaruhi
hasil trauma adalah kombinasi dari energi impaksi, resiliensi objek yang terkena
impaksi, bentuk objek yang terkena impaksi, dan sudut arah gaya impaksi.
(Welburry, 2005).

Penyebab umum trauma adalah terjatuh dengan perbandingan antara 26%


dan 82% dari semua kasus cedera, tergantung pada subpopulasi yang diteliti.
Olahraga merupakan penyebab kedua yang mengakibatkan cedera (Berman, et al.,
2007). 11 Kasus trauma dentoalveolar pada anak dapat disebabkan kecelakaan
lalu lintas, serangan hewan, perkelahian dan kekerasan dalam rumah tangga. Gigi
yang terkena trauma biasanya hanya satu, kecuali pada kasus kecelakaan dan
olahraga. (Cameron and Widmer, 2008).
Maloklusi

dapat

menjadi

faktor

pendukung

terjadinya

trauma

dentoalveolar. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya trauma


adalah protrusi gigi anterior pada maloklusi kelas I tipe 2 atau kelas II divisi 1.
Insidensi pada anak dengan kondisi tersebut dua kali dibandingkan anak dengan
kondisi oklusi normal. Anak dengan overjet berlebih juga dapat memiliki faktor
resiko lebih tinggi terjadi trauma dibandingkan dengan anak dengan overjet
normal (Holan and McTigue, 2005). Tabel 2.1 menunjukkan probabilitas fraktur
gigi incisif sentral maksila dengan perbedaan overjet.
Tabel 2.1 Probabilitas Kejadian Fraktur Gigi Incisif Sentral Maksila
dengan Perbedaan Jarak Overjet (Finn, 2003).

Prevalensi trauma gigi anak berkisar dari 10-30% di beberapa negara di


dunia. (Shun-Te Huang, et al., 2005). Data epidemiologi mengenai fraktur gigi
anak di Indonesia belum ditemukan secara pasti, namun ada beberapa laporan
makalah 12 ilmiah yang memperkirakan 2%-5% (Sutadi, 2003). Penelitian yang
dilakukan Sasteria pada 1.348 anak usia 1-12 tahun di Klinik Ilmu Kedokteran
Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia selama periode 1
Januari 1995- 31 Desember 1995 menunjukkan bahwa 98 anak (7,27%)
mengalami fraktur pada gigi anterior atas (Sasteria, 1997).
Kejadian terbanyak trauma dentoalveolar terjadi pada usia 2-4 tahun ketika
koordinasi motorik anak sedang berkembang. Trauma sering terjadi di rumah
ketika anak sudah mulai mencoba banyak hal baru dan bergerak aktif, sedangkan
pada usia 7-10 tahun anak biasanya mengalami trauma di sekolah ketika mereka
sedang bermain, berlari, bersepeda, dan atau berolahraga. Gigi yang mengalami
trauma pada usia ini biasanya gigi permanen. (Welbury, 2005).
Insidensi trauma dentoalveolar pada anak menurut usia adalah sebagai
berikut: pada usia 5 tahun, 31-40% anak laki-laki dan 16-30% anak perempuan
mengalami trauma. Pada usia 12 tahun 12-33% anak laki-laki dan 4-19 % anak
perempuan mengalami trauma gigi. Insidensi injuri pada laki-laki dua kali lebih
banyak baik pada usia anak maupun dewasa (Welbury, 2005). Literatur lain
menyebutkan rasio insidensi injuri pada anak hampir sama antara laki-laki dan
perempuan (Berman, et.al., 2007). Kasus trauma yang terjadi pada anak sebagian
besar terjadi di daerah anterior terutama incisif sentral (Welbury, 2005),
sedangkan pada bagian posterior biasanya terjadi karena trauma tidak langsung,

seperti trauma pada bagian dagu yang mengakibatkan tekanan berlebih pada
bagian maksila (Finn, 2003).
Kejadian yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah concussion,
subluksasi, dan luksasi, sedangkan pada gigi permanen adalah fraktur mahkota 13
tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) (Welburry, 2005). Gambar 2.4
menunjukkan persentasi kejadian fraktur menurut klasifikasi cedera pada jaringan
pendukung gigi.

Gambar 2.4 Persentasi Kejadian Fraktur (Koch and Poulsen, 2001).

Fraktur dentoalveolar pada anak dapat menyebabkan kerusakan gigi


permanen yang berada di atas atau bawahnya. Hal ini dapat langsung terjadi dari
luka atau infeksi residual yang disebabkan oleh trauma pada gigi anak. Andreasen
dan Ravn 14 menemukan bahwa usia anak pada waktu terjadinya trauma
merupakan faktor yang paling memengaruhi perkembangan kerusakan gigi
permanen. Mereka menemukan bahwa 60% anak di bawah usia 4 tahun dengan
trauma pada gigi incisif menunjukkan anomali klinis pada radiografi gigi
permanen pengganti (Dummet, 2006).
2.4 Tanda Tanda Klinis Fraktur Dentoalveolar
Tanda-tanda klinis fraktur alveolar diantaranya adalah adanya kegoyangan dan
pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir,
serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa
diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan Radiografi .
Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu adanya luka pada gingiva
dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus
ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau
tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini biasa
terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir.
2.5 Penegakan Diagnosis

Penegakan Diagnosis Pemeriksaan terhadap pasien meliputi anamnesis


dan pemeriksaan fisik yang terdiri atas keadaan umum, kondisi ekstra oral dan
intra oral. Dari anamnesis dapat diketahui mekanisme trauma, yang berguna untuk
mengetahui ada tidaknya fraktur di bagian tubuh lain.

10

Keadaan umum pasien dengan fraktur dentoalveolar yang berdiri sendiri


biasanya baik, dengan kesadaran kompos mentis. Apabila disertai cedera kepala
dan fraktur serta vulnus di bagian tubuh lain yang dapat menimbulkan gangguan
pernafasan, sirkulasi, atau neurologi, maka kesadaran dapat menurun. Pada
pemeriksaan ekstra oral dapat ditemukan asimetri wajah berupa bengkak di bibir,
hematoma, abrasi, dan laserasi. Kedalaman laserasi sebaiknya diperiksa untuk
mengetahui apakah ada struktur vital yang terlibat, seperti duktus kelenjar parotis
atau nervus fasialis.
Pemeriksaan intra oral meliputi jaringan lunak dan jaringan keras. Trauma
di anterior biasanya mengakibatkan kerusakan bibir yang parah. Hematoma sering
ditemukan dan pada palpasi dapat teraba kepingan gigi atau benda asing yang
tertanam di jaringan lunak. Bibir bawah dapat tergigit sehingga terjadi laserasi.
Bila gigi avulsi, pada gingiva akan tampak luka seperti bekas ekstraksi. Selain itu
bisa ditemukan juga laserasi gingiva dan deformitas tulang alveolar. Pada anterior
mandibula dapat terjadi degloving, yaitu sobekan horisontal di sulkus labialis
pada perbatasan attached dan free gingiva, bila pasien jatuh tertelungkup dan
terseret ke depan. Sobekan terjadi di periosteum dan pada kasus yang parah saraf
mentalis dapat terbuka.
Pada gigi dapat terjadi fraktur mahkota, dengan atau tanpa terbukanya
kamar pulpa, dengan perkusi yang positif. Gigi dapat goyang, bergeser ke segala
arah, ekstrusi, intrusi dan bahkan avulsi. Perubahan tersebut dapat menimbulkan
maloklusi. Gigi yang tidak tampak bergeser tetapi goyang dicurigai telah
mengalami fraktur akar, baik vertikal maupun horisontal. Fraktur yang 4 paling
sulit dideteksi adalah fraktur akar yang stabil dan retak vertikal mahkota gigi
11

posterior. Dalam keadaan itu harus dilakukan sondasi, perkusi dan tekan. Bila ada
gigi yang tampak hilang, perlu dipastikan bahwa tidak ada akar gigi yang
tertinggal. Trauma pada gigi posterior dapat disebabkan benturan rahang atas oleh
rahang bawah sehingga gigi dapat terbelah secara vertikal. Serpihan gigi dapat
tertanam di jaringan lunak, tertelan, atau terinhalasi pada pasien yang kehilangan
kesadaran. Pada keadaan demikian perlu dibuat foto toraks.
Kegoyahan beberapa gigi dalam satu segmen menunjukkan fraktur tulang
alveolar. Fraktur alveolar dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur gigi. Fraktur
alveolar di mandibula lebih sering merupakan bagian dari fraktur komplit
mandibula, sedangkan di maksila lebih sering berdiri sendiri. Gigi yang terdapat
dalam fragmen fraktur harus dicurigai vitalitasnya. Fraktur tulang alveolar dapat
terbuka atau tertutup, tunggal atau multipel. Pada saat pemeriksaan awal dapat
dilakukan reposisi fragmen yang goyah, karena semakin cepat hal itu dilakukan
semakin baik prognosis gigi geliginya. Setiap fragmen harus diperiksa untuk
melihat apakah lengkap atau tidak lengkap. Fraktur alveolar di maksila paling
sering terjadi di regio insisif. Fraktur tuberositas maksilaris dan dasar antrum
merupakan komplikasi ekstraksi gigi molar atas yang sering terjadi.
Pemeriksaan radiografis yang paling sering digunakan untuk evaluasi
fraktur dentoalveolar adalah foto dental dan panoramik.
2.6 Penatalaksanaan
Perawatan fraktur dentoalveolar sebaiknya dilakukan sesegera mungkin,
karena penundaan perawatan akan mempengaruhi prognosis gigi geligi. Bila
fraktur dentoalveolar merupakan bagian dari fraktur wajah yang lebih serius,

12

perawatan dapat dilakukan secara efektif untuk menstabilkan keadaan umum


pasien terlebih dahulu. Tujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah
mengembalikan bentuk dan fungsi organ pengunyahan senormal mungkin.
Prognosis fraktur dentoalveolar dipengaruhi oleh keadaan umum dan usia pasien
serta kompleksitas fraktur.
Trauma pada Gigi Sulung
Perawatan gigi sulung yang mengalami trauma pada umumnya tidak
berbeda dengan perawatan gigi tetap. Gigi sulung yang intrusi biasanya akan
erupsi secara spontan. Gigi yang tidak terlalu bergeser dan tidak menyebabkan
gangguan oklusi dapat diobservasi saja. Fraktur dentoalveolar yang kompleks
pada gigi sulung jarang terjadi karena elastisitas tulang alveolar.
Trauma pada Gigi Tetap
A. Trauma yang mengenai jaringan keras gigi
1. Fraktur mahkota
Fraktur email hanya memerlukan penghalusan bagian yang tajam, atau
penambalan dengan komposit. Fraktur dentin sebaiknya ditambal sesegera
mungkin, khususnya pada pasien muda karena penetrasi bakteri melalui tubulus
dentin cepat terjadi. Penambalan dengan semen kalsium hidroksida dan restorasi
komposit sudah cukup ideal. Bila patahan gigi cukup besar, fragmen mahkota
dapat disemen 5 kembali menggunakan resin komposit. Fraktur pulpa dapat
dirawat dengan pulp capping, pulpotomi, atau ekstirpasi pulpa.
2. Fraktur akar

13

Fraktur mahkota yang oblik dapat meluas ke subgingiva (fraktur mahkota-akar).


Bila garis fraktur tidak terlalu jauh ke apikal dan pulpa tidak terbuka, cukup
ditambal dengan restorasi komposit. Bila fraktur meluas sampai jauh ke apikal,
atau bila gigi terbelah secara vertikal, umumnya ekstraksi harus dilakukan.1
Fraktur akar horizontal prognosisnya tergantung pada garis fraktur. Bila garis
fraktur terletak di dekat gingiva, fragmen mahkota dapat diekstraksi dan dilakukan
perawatan endodontik serta pembuatan mahkota pasak. Bila garis fraktur terletak
jauh ke apikal, gigi sebaiknya diekstraksi.
B. Trauma yang mengenai jaringan periodontal
1. Malposisi Gigi yang luksasi, ekstrusi dan intrusi direposisi dan di-splint untuk
imobilisasi gigi selama 7-21 hari. Setelah periode imobilisasi selesai vitalitas gigi
tersebut harus diperiksa.
2. Avulsi Gigi yang avulsi dapat direplantasi dengan memperhatikan sejumlah
faktor, yaitu tahap perkembangan akar, lamanya keberadaan gigi di luar soket,
lamanya penyimpanan dan media yang digunakan. Idealnya replantasi dilakukan
sesegera mungkin. Sebaiknya dipastikan bahwa sel ligamen periodontal tidak
mengering, yakni tidak lebih dari 30 menit. Kemudian dilakukan imobilisasi
dengan pemasangan splint.
C. Trauma yang mengenai tulang alveolar
Perawatan fraktur tulang alveolar biasanya hanya memerlukan anastesi
lokal, dan paling baik dilakukan segera setelah trauma. Reduksi tertutup fraktur
alveolar tertutup biasanya dilakukan dengan manipulasi jari yang diikuti dengan
splinting. Imobilisasi tersebut harus menyertakan beberapa gigi yang sehat.
14

Fiksasi intermaksilar kadangkadang diperlukan bila fragmen fraktur sangat besar,


atau bila prosedur splinting tidak menghasilkan imobilisasi yang adekuat, dengan
memperhatikan oklusi yang benar. Reduksi terbuka jarang dilakukan untuk fraktur
alveolar, kecuali bila merupakan bagian dari perawatan fraktur rahang.
Pada ekstraksi gigi yang menyebabkan komunikasi oro antral, harus
dilakukan penutupan segera dengan flap bukal. Pasien diberi obat tetes hidung
ephedrine 0,5 persen untuk membantu drainase antral, dan antibiotik untuk
mencegah timbulnya fistula oroantral.
D. Trauma yang mengenai jaringan lunak mulut
Fraktur dentoalveolar hampir selalu disertai vulnus. Prinsip perawatannya terdiri
atas pembersihan, pembuangan jaringan nekrotik (debridement), penghentian
perdarahan dan penjahitan.Pada bagian dalam laserasi degloving sering ditemukan
debris atau kotoran tanah, sehingga debridement perlu diikuti dengan irigasi yang
cermat. Fraktur dentoalveolar sering mengakibatkan luka terbuka, sehingga perlu
diberikan antibiotik profilaksis dan obat kumur antiseptik.
2.7 Macam-Macam Alat untuk Stabilisasi Fraktur
Stabilisasi Dentoalveolar
Splinting adalah prosedur di mana gigi ditopang dalam posisi tertentu untuk
jangka waktu tertentu. Hal ini dilakukan pada gigi yang terkena trauma atau gigi yang
jaringan pendukungnya terinfeksi penyakit, sehingga gigi tidak terdukung dengan baik.
Tujuan utama dari sebuah splinting adalah untuk melindungi perlekatan agar
memungkinkan adanya perbaikan atau regenerasi serat periodontal. Splinting dilakukan
dengan cara mengikat sekelompok gigi bersama sehingga daya kunyah ditahan oleh

15

sekelompok gigi, tidak hanya oleh gigi yang terkena taruma atau infeksi. Splinting
dibutuhkan minimal 4 minggu.
Splint haruslah fleksibel baik dari arah horizontal maupun vertikal untuk
mendukung proses penyembuhan. Splint yang baik haruslah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Diaplikasikan langsung intraoral


Mudah dibuat dengan material yang ada di ruang praktek
Tidak meningkatkan injury periodontal dan prevalensi karies
Tidak mengiritasi jaringan lunak
Pasif
Mudah di lepas dengan sedikit atau tidak menyebabkan kerusakan pada gigi
Higienis
Estetis

Macam-macam splinting:
1)

Arch Bar Splint


Merupakan rigid splint, biasanya menggunakan kawat ligatur, kadang-kadang
dilapisi dengan bahan pengerasan secara kimia sintetik. Splint ini menyebabkan
kerusakan pada gigi yang terluka, dikarenakan reposisi tidak akurat, yang dapat menekan
jaringan longgar gigi terhadap dinding soket. Terdapat resiko invasi bakteri ke dalam
jaringan periodontal karena dekatnya letak splint dan wire terhadap margin gingival.

2)

Wire-composite Splint
Teknik ini termasuk penerapan kawat lunak yang disesuaikan dengan kurva
lengkung gigi. Kawat ini difiksasi terhadap gigi dengan adhesive composite. Tergantung
pada ketebalan dan efek memori kawat, penting untuk menyesuaikannya untuk

16

menghindari kekuatan ortodonti yang diberikan oleh splinting tersebut. Jika ingin dibuat
lebih rigid dapat dilakukan dengan mengubah dimensi kawat atau menambahkan
komposit di sepanjang kawat di bagian labial hingga ruang interdental. Sama seperti
splint resin komposit, dapat merusak permukaan email gigi saat akan dilepas.

3)

Orthodontic Splint
Pendekatan yang serupa meliputi penempatan bracket dengan teknik adhesif.
Sebuah kawat orthodontik kemudian membengkokkan dan diligasikan pada bracket, atau
kawat yang dilewatkan pada figure-eight-loops dari bracket ke bracket. Namun, metode
splinting ini lebih mengakibatkan iritasi bibir dan gangguan berbicara bila dibandingkan
dengan teknik splinting lainnya. Kawat bracket dan komposit dapat menyebabkan iritasi
pada mukosa, menurunkan kebersihan mulut dan tidak nyaman.

4)

Titanium Trauma Splint (TTS)


Sebuah teknik splinting baru yang menawarkan kenyamanan dan penanganan
kepada pasien dan dokter gigi sama, dirancang dari titanium (TTS, Medartis AG, Basel,
Swiss). Splint memiliki ketebalan 0,2 mm, sepenuhnya beradaptasi dan dapat

17

mempertahankan mobilitas fisiologis gigi, namun masih memungkinkan fiksasi gigi yang
memadai selama periode splinting. Penempatan dan pemindahan splint dapat dilakukan
dengan sederhana, hanya memerlukan sedikit komposit untuk fiksasi (etsa dan bonding),
dan sangat efektif dan mudah untuk digunakan.

5)

Resin Splint
Penempatan splint resin penuh pada permukaan gigi merupakan sebuah metode
yang berbeda menggunakan teknik adhesif. Splint ini sepenuhnya menjembatani ruang
interdental, dan mengakibatkan kurang nyamannya pada pasien dibandingkan dengan
teknik splinting lainnya. Namun, metode ini menunjukkan penurunan mobilitas gigi
signifikan bila dibandingkan dengan wire-composite splint dalam suatu studi
eksperimental. Memiliki nilai estetik yang lebih dan mudah untuk dilakukan, tetapi telah
ditemukan adanya fraktur interdental. Bersifat rigid, meskipun memiliki warna yang
mendekati warna gigi tetapi splint jenis ini sulit untuk dilepas tanpa merusak permukaan
gigi. Splint jenis resin komposit sebaiknya digunakan untuk gigi yang mengalami luksasi
lateral.

6)

Kevlar/Fiberglass Splint

18

Metode yang menggunakan teknik adhesif melibatkan serat nilon, band Kevlar
atau fiberglass untuk menstabilkan suatu trauma gigi terluka. Serat atau band direndam
dalam resin dan ditempatkan pada permukaan gigi dengan polimerisasi. Splint ini adalah
terlihat estetik dan walaupun konstruksinya ringan, memiliki frekuensi fraktur yang
rendah.

7)

Self-etching and Bonding Material


Berbeda dengan teknik adhesif standar, metode ini menggunakan bahan selfetching bonding. Kawat pengikat stainless-steel halus yang dipelintir membuat untai
ganda difiksasi dengan bahan light-curing compomer. Penggunaan self-etching adhesive
bonding agent tampaknya membuat aplikasi splint lebih mudah dan lebih cepat
menghilangkan tahap etsa dan pembilasan yang terpisah.

8)

Suture Splint

19

Suture splint berguna sebagai fiksasi sementara, dan dalam kasus di mana ada
masalah retensi karena kurangnya gigi yang berdekatan, seperti pada geligi sulung atau
campuran. Namun, penggunaan maksimum suture splint hanya beberapa hari. Jahitan
dilewatkan dari jaringan labial ke jaringan lingual dengan benang melintasi tepi insisal,
sehingga mencegah gigi bergerak dari soketnya. Selain itu, sejumlah kecil resin dapat
ditempatkan untuk menjamin retensi dari jahitan.

Rekomendasi untuk tipe splinting dan durasi


Ekstrusive luxation : 2 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
Lateral luxation : 4 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
Intrusive luxation : 6-8 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
Avulsion : 1-2 minggu; tipe fiksasi : fleksibel
Root fracture; setengah atau sepertiga apical : 4 minggu; tipe fiksasi : rigid
Root fracture; sepertiga servikal : 3 bulan; tipe fiksasi : fleksibel
Alveolar fracture : 4 minggu; tipe fiksasi : fleksibel

20

2.8 Pencegahan Fraktur Dentoalveolar


Hal terbaik yang dilakukan pada fraktur dentoalveolar adalah melakukan
tindakan pencegahan. Pencegahan adalah orientasi utama seorang dokter gigi,
terutama dalam perawatan gigi anak. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk mencegah kejadian fraktur dentoalveolar, di antaranya adalah sebagai
berikut (Cameron and Widmer, 2008):
1. Perawatan orthodonti;
2. Sabuk pengaman;
3. Pemakaian helm saat bersepeda;
4. Pemakaian mouth protector;
5. Pengawasan terhadap binatang peliharaan; dan
6. Penyuluhan kepada para orang tua
Tindakan pencegahan tersebut dilakukan sesuai dengan kondisi. Perawatan
orthodonti dilakukan pada pasien yang memiliki kecenderungan mengalami
fraktur gigi, seperti pada pasien kelas II divisi 1 dengan overjet tinggi.
Pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pasien dengan overjet
tinggi akan memiliki kecenderungan lebih rentan terjadi fraktur gigi daripada
pasien 15 dengan overjet normal. Hal tersebut memberikan gambaran kepada
dokter gigi untuk menghimbau pasien dengan keadaan overjet tinggi ini untuk
melakukan perawatan orthodonti, sehingga kondisi overjet pasien dapat dikoreksi
dan kejadian fraktur dentoalveolar dapat dihindari.

21

Penyebab fraktur dentoalveolar berikutnya selain overjet adalah terjadinya


kecelakaan, bukan hanya saat berkendara tetapi juga saat berolahraga. Dokter gigi
dapat menghimbau kepada masyarakat untuk menggunakan sabuk pengaman saat
berkendara dan memakai helm saat bersepeda. Hal ini dapat mengurangi resiko
cedera saat terjadi kecelakaan lalu lintas.
Cedera saat berolahraga dapat dicegah dengan mouth protector. Contoh
olahraga yang biasanya membutuhkan alat ini adalah olahraga dinamis, seperti
sepakbola, hoki, baseball, softball, dan lain sebagainya. Ada beberapa jenis mouth
protector yang dapat digunakan sebagai langkah pencegahan terhadap fraktur
dentoalveolar, berikut adalah tipe dari mouth protector (Fonseca, 2005):
4. Stock mouth protectors Jenis mouth protector ini merupakan tindakan
pencegahan yang paling mudah dan murah. Mouthguard ini dibuat dari
lateks atau material Elginat dan hanya menjaga secara minimal karena
cukup longgar saat digunakan sehingga harus dalam kondisi rahang yang
tertutup. Jenis ini kurang nyaman saat digunakan karena menyulitkan
pengguna untuk berbicara dan bernafas, selain itu mouthguard ini
mengiritasi Elginate dan vestibula di bagian bukal. Jenis ini kurang
direkomendasikan. Gambar 2.5 menunjukkan stock mouth protector.

22

2. Mouth formed protectors


Mouth formed protector paling sering digunakan dan terdiri dari dua jenis,
yaitu shell-liner mouthguard dan thermoplastic guard.
1) Shell-liner mouthguard
Shell-liner mouthguard terdiri dari karet lateks atau Elginat yang menutup
gigi maksila. Jenis ini cukup halus dan permukaannya lembut beradaptasi
dengan gigi. Kekurangannya adalah pemakaiannya terbatas, jika sering
digigit material yang mendasarinya akan berkurang dan mengilangkan
ikatan dengan gigi. Lapisannya dapat mengeras jika terkena cairan mulut.
Pelindung ini tidak direkomendasikan untuk atlet yang menggunakan
braket ortho.
2) Thermoplastic mouthguard
Jenis pelindung ini paling banyak digunakan karena keunggulannya yang
murah, tahan lama, dan dapat dilembutkan kembali serta diadaptasikan
jika retensinya mulai berkurang. Kekurangan dari pelindung ini adalah
distorsi 17 dan pengerasan ketika kontak dengan cairan mulut. Gambar 2.6
menunjukkan pelindung mulut jenis ElginateEstic.

23

Gambar
Mouthguard
3.

Bimaxillary

2.6

Thermoplastic

(Fonseca, 2005)
mouthguard

Penggunaan pelindung mulut ini terfiksasi di mandibula dan cukup


nyaman untuk bernafas secara maksimal. Efektif mencegah cedera karena
concussion dan trauma yang menyebabkan jejas pada kondilus mandibula. Gigi
anterior mandibula juga terproteksi dari trauma yang cukup frontal. Gambar 2.7
menunjukkan pelindung mulut jenis bimaksila.

4.

Custom-made

mouth protectors
Jenis pelindung mulut ini adalah yang terbaik jika dibandingkan dengan
jenis lainnya dilihat dari retensi, proteksi, rasa, bau, kenyamanan saat berbicara,
dan kebersihannya. Keunggulan tersebut tidak sepenuhnya menjadi bukti bahwa
24

alat pelindung ini paling baik mencegah dampak buruk dari trauma. Pelindung ini
difabrikasi menggunakan Elginate menyesuaikan dengan maksila pasien tersebut.
Gambar 2.8 menunjukkan pelindung mulut jenis custom-made.

Gambar 2.8 Custom-made Mouth Protector (Vito, 2012)


Tindakan yang sudah disebutkan di atas akan berjalan optimal ketika para
orang tua sudah teredukasi dengan baik tentang pencegahan trauma gigi pada
anak-anak. Langkah darurat yang bisa dilakukan ketika terjadi trauma gigi pada
anak juga akan mengurangi keparahan trauma yang mengenai intraoral.

25

BAB II
JURNAL
FRAKTUR
DENTOALVEOLAR

DAFTAR PUSTAKA
1. Banks P, Brown A. Fractures of the facial skeleton. Wright; 2001.p.40-2,72-9
26

2. Killey HC. Fractures of the middle third of the facial skeleton, 3rd ed. Bristol:
John Wright & Sons Ltd, 1977
3.
Tiwana
P.Dentoalveolar
trauma.
Diunduh
http://www.cmf.hyperguides.com/tutorials/d ento_trauma Maret 2008

dari

4. Mendes F. A prospective study of dentoalveolar trauma at the Hospital das


Clinicas, Sao Paulo University Medical School. Diunduh dari
http://www.scielo.br/cgi-bin/fbpe/fb-text Maret 2008
5. Ellis E. Soft tissue and dentoalveolar injuries. Dalam: Peterson LJ, Ellis E,
Hupp J, Tucker M. Contemporary oral and maxillofacial surgery. 4th eds.
St.Lauis. Mosby Inc. 2003.
6. Radford G. Treatment of injured tissues (dentoalveolar). Diunduh dari
http://www.almedadental.com/onlineforums/ consent.htm Maret 2008
7. Pedersen G. Oral surgery. Philadelphia; W.B. Saunders Company, 1988.p.234-8
8. Kruger G. Textbook of oral surgery. 4th eds. St.Lauis. The C.V. Mosby
Company, 1974.
9.http://www.scielo.br/scielo.php?
pid=S167877572010000400004&script=sci_arttext
10.http://www.jisppd.com/temp/JIndianSocPedodPrevDent2541831959642_052636.pdf
11.http://portal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/2005/1/A
%205.%20PENATALAKSANAAN%20FRAKTUR%20DENTOALVEOLAR.pdf
12. http://media.unpad.ac.id/thesis/160110/2007/160110070075_2_9049.pdf

27

You might also like