You are on page 1of 41

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi

2.2 Epidemiologi 4
2.3 Etiologi 6
2.4 Perkembangan bahasa normal 9
2.5 Anatomi

12

2.6 Fisiologi pendengaran 15


2.7 Fisiologi bicara 22
2.8Patogenesis24
2.9Deteksi dini gangguan bicara 27
2.10Diagnosis dini gangguan bicara anak 29
2.10.1 Anamnesis

2.10.2 Pemeriksaan fisis

32

2.10.3 Pemeriksaan fisis

33

2.11Penatalaksanaan
BAB 3

31

2.12 Prognosis

39

KESIMPULAN

40

DAFTAR PUSTAKA

34

41

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Bahasa merupakan simbolisasi dari pikiran berupa kode yang telah kita
pelajari; atau suatu sistem yang telah disepakati yang memungkinkan kita untuk
mengomunikasikan ide-ide serta mengekspresikan keinginan dan kebutuhan kita.
Membaca, menulis, gerakan tubuh, dan berbicara adalah semua bentuk dari
bahasa. Bahasa terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bahasa reseptif:
memahami apa yang tertulis atau apa yang dikatakan, dan bahasa ekspresif:
kemampuan untuk berbicara dan menulis.1
Kemampuan berbicara merupakan hal yang penting dalam kehidupan anak,
yakni kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok sosial. Walaupun dengan
cara lain anak mungkin bisa berkomunikasi dengan anggota kelompok sosial,
sebelum mereka mampu berbicara dengan anggota kelompok tersebutl.Seperti
perkembangan dalam bidang lainnya, tahun-tahun awal kehidupan sangat penting
bagi perkembangan bicara anak, dimana dasar untuk perkembangan bicara berada
dalam masa tersebut.2,3
Pada umumnya bila seorang anak pada umur 2 tahun belum dapat
mengucapkan kata-kata harus dicari penyebabnya. Anak disebut slow talker bila
perkembangan lainnya normal, kecuali terlambat dalam bicara dan pada
anamnesis didapatkan di dalam keluarga juga terdapat anggota keluarga lain yang
terlambat bicaranya. Seorang anak rata-rata mulai mengeluarkan kata-kata tunggal
antara umur 10-12 bulan, mulai mengucapkan kalimat pendek pada umur 18 bulan
dan kalimat sempurna kira-kira pada umur 30 bulan.1
Gangguan bicara merupakan salah satu masalah yang sering ditemukan pada
anak. Menurut NCHS, berdasarkan laporan orang tua(diluar gangguan
pendengaran serta palatoskisis), terdapat 0.9% kejadian pada anak dibawah umur
5 tahun dan 1.94% pada anak usia sekolah, dimana angka kejadianya 3.8 kali
lebih tinggi dibandingkan hasil wawancara. Berdasarkan hal ini, diperkirakan
gangguan bicara dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5%.1

Deteksi dini perlu ditegakkan, agar penyebab dari gangguan bicara dapat
segera dicari, sehingga pengobatan serta pemulihannya dapat dilakukan sedini
mungkin. Contohnya, pada seorang anak dengan tuli konduksi tetapi cerdas yang
terlambat mendapat alat bantu pendengaran dan terapi wicara, serta tidak diberi
kesempatan mengembangkan sistem komunikasi non verbal pada dirinya sendiri
sebelum usia 3 tahun, maka kesempatan untuk mengajarinya supaya bisa
berbicara yang dapat dimengerti, jelas dan terang telah hilang.1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Bicara dan bahasa merupakan dua istilah yang berbeda, yang mana
penggunaan istilah ini terkadang sering kali dipertukarkan. Bahasa mencakup
setiap sarana komunikasi dengan menyimpulkan pikiran dan perasaan untuk
menyampaikan maksud kepada orang lain, termasuk di dalamnya perbedaan
bentuk komunikasi yang luas seperti : tulisan, bicara, bahasa, simbol, ekspresi
muka, isyarat, pantomim, dan seni.1
Bicara adalah bentuk bahasa yang menggunakkan artikulasi atau kata
untuk menyampaikan maksud. Karena bicara merupakan bentuk komunikasi yang
paling efektif, maka penggunanya pun juga paling luas dan paling penting.
Masalah bicara dan bahasa sebenarnya berbeda tetapi kedua masalah ini sering
kali tumpang tindih.2,3
Gangguan bicara adalah gangguan yang berhubungan dengan intensitas
dan penekanan bunyi dengan kesulitan menghasilkan bunyi yang spesifik untuk
bicara atau gangguan dalam kualitas suara. Gangguan perkembangan ini
berhubungan erat dengan umur, jenis kelamin, dan latar belakang budaya.4,5
Gangguan bicara terdiri

dari masalah

(resonance disorders), masalah kelancaran

artikulasi, masalah

suara

berbicara (fluency), dan afasia

(kesulitan dalam menggunakan katakata, biasanya akibat cedera otak). Masalah


artikulasi mencakup kesulitan memproduksi suara atau mengucapkan kata yang
salah. Masalah kelancaran bicara mencakup masalah gagap (stuttering) yang
merupakan kondisi dimana kelancaran bicara terganggu akibat abnormal
stoppages, pengulangan (st-st-stuttering), atau suara prolong (ssssstuttering).
Sedangkan masalah resonansi mencakup masalah nada, volume, atau kualitas
suara anak.4
Gangguan perkembangan artikulasi meliputi kegagalan mengucapkan satu
huruf sampai beberapa huruf. Sering terjadi penghilangan atau penggantian bunyi
huruf itu sehingga menimbulkan kesan bahwa bicaranya seperti anak kecil. Selain
itu juga dapat berupa gangguan dalam nada, volume atau kualitas suara.6,7

Afasia yaitu kehilangan kemampuan untuk membentuk katakata atau


kehilangan kemampuan untuk menangkap arti katakata sehingga pembicaraan
tidak dapat berlangsung dengan baik. Anakanak dengan afasia diduga memiliki
riwayat perkembangan bahasa awal yang normal, dan onset terjadi setelah trauma
kepala atau gangguan neurologis lain (sebagai contohnya kejang),7,8,9
Gagap adalah gangguan kelancaran atau abnormalitas dalam kecepatan
atau irama bicara. Terdapat pengulangan suara, suku kata atau kata, atau suatu
blocking yang spasmodik, biasa terjadi spasme tonik dari otototot bicara seperti
lidah, bibir, dan laring dan dipengaruhi oleh adanya riwayat gagap dalam
keluarga. Selain itu, gagap juga dapat disebabkan oleh tekanan dari orang tua agar
anak

bicara

dengan

jelas,

gangguan

lateralisasi,

rasa

tidak

aman, dan kepribadian anak.7,8,10


Dalam mengatasi masalah gangguan bicara diperlukan stimulasi, yaitu
kegiatan merangsang kemampuan dasar anak agar anak tumbuh dan berkembang
secara optimal. Setiap anak perlu mendapat stimulasi rutin sedini mungkin dan
terus menerus pada setiap kesempatan yang dapat dilakukan oleh ibu, ayah,
pengasuh, maupun orangorang terdekat dalam kehidupan seharihari. Kurangnya
stimulasi dapat menyebabkan gangguan yang menetap.4
2.2. Epidemiologi
Gangguan bicara merupakan salah satu masalah yang sering terdapat pada
anak-anak . Menurut NCHS, berdasarkan atas laporan orang tua (di luar gangguan
pendengaran serta celah pada palatum), maka angka kejadiannya adalah 0,9 %
pada anak di bawah umur 5 tahun dan 1,94 % pada anak yang berumur 5-14
tahun. Dari hasil evaluasi langsung terhadap anak usia sekolah, angka kejadiannya
3,8 kali lebih tinggi dari yang berdasarkan hasil wawancara. Berdasarkan hal ini,
diperkirakan gangguan bicara dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5 %.2
Di Amerika Serikat, rasio prevalensi untuk keterlambatan bicara dan
bahasa telah dilaporkan dalam batasan yang luas. Penelitian terbaru Cochrane
melaporkan prevalensi untuk keterlambatan bicara, keterlambatan bahasa, dan

kombinasi keduanya pada umur pra sekolah dan anak umur sekolah. Untuk anak
umur pra sekolah, 2 sampai 4,5 tahun, studi yang mengevaluasi kombinasi
keterlambatan bicara dan bahasa melaporkan rasio prevalensi antara 5 % sampai 8
%, dan studi tentang keterlambatan bahasa melaporkan rasio prevalensi antara 2,3
% sampai 19 %. Anak dengan keterlambatan bicara dan bahasa usia pra sekolah
yang tidak diterapi menunjukkan rasio variabel yang persisten (dari 0 % sampai
100 %), dengan laporan hasil studi tersering menyatakan 40 % sampai 60 %.6
Gangguan bicara merupakan salah satu masalah yang sering terdapat pada
anak-anak. Menurut National Institute on Deafness and Other Communication
Disorders (NIDCD), gangguan berbicara dan bahasa diderita 8% dari anak-anak
usia prasekolah di Amerika Serikat. Hampir 20% dari seluruh anak-anak di
Amerika Serikat usia 2 tahun menderita keterlambatan perkembangan bicara dan
pada umur 5 tahun 19% anak-anak diidentifikasi memiliki gangguan berbicara
dan bahasa. (6.4% gangguan bicara, 4.6% gangguan bicara-bahasa, dan 8%
gangguan berbahasa). Rasio laki-laki yang menderita gangguan bicara dan bahasa
hampir mencapai dua kali lipat dibanding jumlah perempuan.4
Menurut NCHS (National Center for Health Statistics), berdasarkan
laporan orang tua (di luar gangguan pendengaran serta celah pada palatum), maka
angka kejadian gangguan bicara di Amerika Serikat adalah 0,9 % pada anak di
bawah umur 5 tahun dan 1,94 % pada anak yang berumur 5-14 tahun. (1) Rata-rata
keseluruhan untuk gangguan bicara dan bahasa adalah sekitar 5 % pada anak usia
sekolah. Kelainan tersebut meliputi kelainan suara (3%) dan gagap (1%). Insiden
pada anak-anak sekolah dasar dengan gangguan perkembangan adalah 2 3 %,
walaupun persentasenya menurun seiring dengan pertambahan usia.6
Menurut American Speech-Language and Hearing Association (ASHA),
24.1% anak-anak usia sekolah di Amerika Serikat pada tahun 2003 mendapatkan
penanganan khusus bagi gangguan bicara dan bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa
jumlahnya mencapai 1.4 juta anak pada rentang umur 3 21 tahun menderita
gangguan bicara dan bahasa. Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2007
di Indonesia, angka prevalensi suspek gangguan bicara dan bahasa di daerah
Bantul mencapai 8%.10

2.3. Etiologi
Penyebab kelainan berbahasa ada bermacam-macam yang melibatkan
berbagai faktor yang dapat saling mempengaruhi; antara lain kemampuan
lingkungan, pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi psikologis dan lain
sebagainya. Seorang anak mungkin kehilangan pendengaran sensoneural dari
sedang sampai berat. Sedangkan yang lain mungkin kehilangan pendengaran
konduksi berulang, sehingga kemampuan bicara keseluruhannya menurun.
Demikian pula suatu gangguan bicara (disfasia) dapat terjadi tanpa adanya cedera
otak atau keadaan lainnya. Blagger (1981) membagi penyebab gangguan bicara
dan bahasa sebagai berikut:
Penyebab

Efek pada perkembangan bicara

1. Lingkungan
a. Sosial ekonomi kurang

Terlambat

b. Tekanan keluarga

Gagap

c. Keluarga bisu

Terlambat pemerolehan bahasa

d. Di rumah menggunakan bahasa


bilingual

Terlambat pemerolehan struktur bahasa

2. Emosi
a. Ibu yang tertekan

Terlambat pemerolehan bahasa

b. Gangguan serius pada orang tua

Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa

c. Gangguan serius pada anak

Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa

3. Masalah pendengaran
a. Kongenital

Terlambat/gangguan bicara yang permanen

b. Didapat

Terlambat/gangguan bicara yang permanen

4. Perkembangan terlambat
a. Perkembangan lambat

Terlambat bicara

b. Perkembangan lambat, tetapi masih

Terlambat bicara

dalam batas rata-rata


c. Retardasi mental

Pasti terlambat bicara

5. Cacat bawaan
a. Palatoschizis

Terlambat dan terganggu kemampuan bicaranya

b. Sindrom down

Kemampuan bicaranya lebih rendah

6. Kerusakan otak
a. Kelainan neuromuskular

Mempengaruhi kemampuan mengisap, menelan,


mengunyah, dan akhirnya timbul gangguan bicara
dan artikulasi seperti disartria

b. Kelainan sensorimotor

Mempengaruhi kemampuan mengisap


dan menelan, akhirnya menimbulkan gangguan
artikulasi, seperti dispraksia

c. Palsi serebral

Berpengaruh pada pernafasan, makan dan timbul


juga masalah artikulasi yang dapat
mengakibatkan disartria dan dispraksia

d.Kelainan persepsi

Kesulitan membedakan suara, mengerti bahasa,


simbolisasi, mengenal konsep, akhirnya
menimbulkan kesulitan belajar di sekolah

Tabel 1. Berbagai penyebab gangguan bicara dan bahasa1

Perkembangan bahasa yang lambat dapat bersifat familial. Oleh karena itu
harus dicari dalam keluarga apakah ada yang mengalami keterlambatan bicara
juga. Di samping itu kelainan bicara juga lebih banyak pada anak laki-laki
daripada perempuan. Hal ini karena pada perempuan, maturasi dan perkembangan
fungsi verbal hemisfer kiri lebih baik. Sedangkan pada laki-laki perkembangan
hemisfer kanan yang lebih baik, yaitu untuk tugas yang abstrak dan memerlukan
keterampilan.1
Sedangkan Aram DM (1978), mengatakan bahwa gangguan bicara pada
anak dapat disebabkan oleh kelainan di bawah ini:
1. Lingkungan sosial anak

Interaksi antar personal merupakan dasar dari semua komunikasi dan


perkembangan bahasa. Lingkungan yang tidak mendukung akan menyebabkan
gangguan bicara dan bahasa pada anak.
2. Sistem masukan/input
Adalah sistem pendengaran, penglihatan dan integritas taktil-kinestetik dari
anak. Pendengaran merupakan alat yang penting dalam perkembangan bicara.
Anak dengan otitis media kronis dengan penurunan daya pendengaran akan
mengalami keterlambatan kemampuan menerima ataupun mengungkapkan
bahasa. Gangguan bicara juga terdapat pada tuli oleh karena kelainan genetik
dan metabolik (tuli primer), tuli sensorineural (infeksi intra uterin: sifilis,
TORCH), tuli konduksi seperti akibat malformasi telinga luar, tuli sentral
(sama sekali tidak dapat mendengar), tuli persepsi/afasia sensorik (terjadi
kegagalan integrasi arti bicara yang didengar menjadi suatu pengertian yang
menyeluruh), dan tuli psikis seperti pada skizofrenia, autisme infantile,
keadaan cemas dan reaksi psikologis lainnya.Pola bahasa juga akan
terpengaruh pada anak dengan gangguan penglihatan yang berat, demikian
pula dengan anak dengan defisit taktil-kinestetik akan terjadi gangguan
artikulasi.
3. Sistem pusat bicara dan bahasa
Kelainan susunan saraf pusat akan mempengaruhi pemahaman, interpretasi,
formulasi dan perencanaan bahasa, juga pada aktivitas dan kemampuan
intelektual dari anak. Gangguan komunikasi biasanya merupakan bagian dari
retardasi mental, misalnya pada Sindrom Down.
4. Sistem produksi
Sistem produksi suara seperti laring, faring, hidung, struktur mulut, dan
mekanisme neuromuskular yang berpengaruh terhadap pengaturan nafas untuk
berbicara, bunyi laring, pembentukan bunyi untuk artikulasi bicara melalui
aliran udara lewat laring, faring, dan rongga mulut.
2.4. Perkembangan bahasa normal
Pengertian antara berbicara (speech) dan bahasa (language) sering kali
membingungkan, tetapi keduanya memiliki perbedaan. Berbicara (speech) adalah
ekspresi verbal dari bahasa yang meliputi artikulasi sebagai sarananya sehingga

terbentuk kata-kata yang dapat kita dengar.Bahasa (language) memiliki pengertian


yang lebih luas, meliputi seluruh sistem pengekspresian dan penerimaan informasi
yang memiliki makna. Bahasa dapat dimengerti secara pasif dan aktif melalui
komunikasi verbal, non verbal, dan tertulis.1,2
a. Di bawah 12 bulan
Penting pada anak-anak usia ini untuk diobservasi bahwa mereka
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan lingkungan mereka.
Tertawa dan

mengoceh adalah

fase awal dari perkembangan berbicara.

Seiring dengan pertambahan usia bayi (sekitar usia 9 bulan), mereka mulai
merangkai suara-suara, menggabungkan kata-kata dengan nada yang berbeda,
dan mengucapka kata-kata seperti mama dan dada (tanpa mengetahui
makna dari kata-kata tersebut). Sebelum usia 12 bulan, anak-anak seharusnya
sudah peka terhadap suara. Bayi yang pandangannya fokus sekali tetapi tidak
bereaksi terhadap suara mungkin memiliki gangguan pada pendengarannya.

b. 12 sampai 15 bulan
Anak pada usia ini pada normalnya harus mengoceh lebih banyak lagi dan
sedikitnya mengeluarkan satu atau lebih kata yang bermakna (tidak termasuk
mama dan dada). Kata benda biasanya muncul lebih awal seperti baby
dan ball.Anak seharusnya juga mampu untuk memahami dan menuruti satu
perintah (contoh, tolong ambilkan mainanmu.).

c. 18 sampai 24 bulan
Anak sudah memiliki sekitar 20 perbendaharaan kata pada usia 18 bulan dan
50 atau lebih kata-kata yang belum sempurna saat usia mereka mencapai 2
tahun. Ketika usia 2 tahun, anak-anak sudah belajar untuk mengombinasikan

dua kata, seperti adik nangis atau ayah besar. Seorang anak yang berusia 2
tahun harus sudah mampu untuk melaksanakan dua buah perintah (seperti
"tolong ambilkan mainanmu dan ambil gelasmu ).
d. 2 sampai 3 tahun
Pada usia ini anak akan mengalami perkembangan bahasa yang pesat dan
perbendaharaan

kata

yang

amat

meningkat.

Mereka

sudah

bisa

menggabungkan tiga atau lebih kata-kata menjadi satu kalimat. Kemampuan


anak dalam memahami bahasa juga meningkat pada usia 3 tahun. Mereka
mulai memahami apa maksud dari taruh di meja itu atau taruh itu di bawah
tempat tidur. Anak juga sudah harus mulai bisa menyebutkan warna dan
memahami konsep deskriptif (contonya membedakan besar dan kecil).
Perkembangan bicara normal melalui beberapa tahapan perkembangan
bicara yaitu coding, babbling, echolalia, jargon, kata dan kombinasi kata dan
pembentukan kalimat, seperti yang tercantum dalam tabel berikut:

Pendengaran dan Pengertian

Bicara

4-8 bulan:
mata bergerak ke arah suara

Babbling dengan berbagai huruf awal


b, pp, m

respons terhadap suara


perhatian

terhadap

mainan

mengeluarkan suara

yang

suara kegembiraan atau sedih


suara saat sendiri atau bermain

pengertian terhadap musik


7 bulan 1 tahun:
mengerti permainan ciluk-ba

Babbling dengan kata panjang dan


pendek seperti tata, bibibi

10

menoleh dan melihat ke arah suara


mendengarkan saat orang berbicara
mengerti beberapa kata: sepatu, gelas

menggunakan kata atau suara untuk


mendapat perhatian
mengucapkan 1-2 kata

respon terhadap permintaan sederhana


seperti ke sini, mau lagi
1-2 tahun:
menunjuk anggota tubuh

kata-kata bertambah tiap bulan

mengikuti perintah dan permintaan menggunakan 1-2 kata tanya


yang mudah

mengucapkan dua kata bersamaan

mendengar cerita sederhana, lagu dan


irama

mengucapkan 10 kata saat usia 19


bulan

menunjuk

gambar

sesuai

dengan

namanya
2-3 tahun:

mempunyai kata untuk semua benda

mengerti perbedaan dengan artinya

berbicara

mengikuti 2 tahap perintah: ambil buku

dengan 2-3 kata

dalam

kalimat

itu dan letakkan di meja


Tabel 2.Perkembangan bahasa norma pada anak1

2.5.

Anatomi Telinga

11

Gambar 1. Sistem auditori periferal dapat dibagi menjadi 3 bagian: telinga


luar (biru); telinga tengah (hijau); telinga dalam (merah). Dan nervus
vestibulaokoklearis diwarnai dengan warna kuning.12

2.5.1. Telinga Luar


Aurikula (Daun Telinga)
Telinga luar sendiri terbagi atas daun telinga (pinna) dan liang
telinga (meatus akustikus eksterna). Daun telinga dibentuk oleh tulang
rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Liang telinga (meatus akustikus
eksternus) berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada
sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat
banyak kelenjar serumen dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada
seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam terdiri dari
tulang. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar
sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi
menjadi kelenjar seruminosa. Fungsi dari rambut adalah untuk
melindungi terhadap masuknya serangga dan benda asing.1,2

12

2.5.2. Telinga Tengah


Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas- batas antara lain:
1. Batas luar

: Membran timpani

2. Batas depan

: Tuba eustachius

3. Batas bawah. : Vena jugularis (bulbus jugularis)


4. Batas belakang: Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
5. Batas atas

: Tegmen timpani (meningen / otak )

6. Batas dalam : Berturu-tturut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window) dan promontorium.
Membran Timpani
Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan
berbentuk kerucut dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial.
Membran timpani umumnya bulat. Pada rongga telinga tengah yaitu
epitimpanum yang terdapat osikula maleus, inkus dan stapes meluas
melampaui batas atas membrane timpani, dan bahwa ada bagian
hipotimpanum yang meluas melalui batas bawah membrane timpani.11
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari
arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian
atas disebut Pars flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah
Pars Tensa (Membran propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu
bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam
dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars
tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari
serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian
luar dan sirkuler pada bagian dalam.

13

Gambar 2. Membran Timpani12


Tuba Eustachius
Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Bagian lateral tuba Eustachius adalah yang bertulang,
sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot
tensor timpani terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis
karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan
melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriktor
superior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi
otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi
pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba Eustachius berfungsi
untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani.11
2.5.3. Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis.

Ujung

atau

puncak

koklea

disebut

holikotrema,

menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis


semi

sirkularis

saling

berhubungan

secara

tidak

lengkap

dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea


tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala
media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani
14

berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala


vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissners membrane)
sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membran ini
terletak organ korti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk
lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel
rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis
korti, yang membentuk organ korti. Telinga dalam divaskularisasi oleh
arteri labirintin (auditori unternal) yang berasal dari arteri basilaris.
Drainase vena melalui vena aquaduktus vestibular, aquaduktus koklear,
dan vena labirintin. Persarafannya melalui nervus vestibulokoklearis.

Gambar 3. Potongan melintang dari koklea13

Organ korti
Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membran, yaitu
membran tektoria. Membran ini berpangkal pada krista spiralis dan
berhubungan dengan alat persepsi pada alat korti. Pada alat korti dapat
ditemukan sel-sel penunjang, sel-sel persepsi yang mengandung rambut.
Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan (saluran) yang berisi kortilimfe.
15

Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus


reunions. Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial kavum
timpani menimbulkan penonjolan pada dinding ini ke arah kavum timpani.
Tonjolan ini dinamakan promontorium.
Sel Rambut dalam dan luar
Organ corti, yang terletak diatas membran basilar, mengandung sel
rambut yang merupakan reseptor suara. Sebanyak 16.000 sel rambut di
dalam masing-masing koklea tersusun menjadi empat baris sejajar
diseluruh panjang membrane basilaris: satu baris sel rambut dalam dan
tiga baris sel rambut luar. Dari permukaan masing-masing sel rambut
menonjol sekitar 100 rambut yang dikenal sebagai sterosilia. Sel rambut
menghasilkan sinyal saraf jika rambut permukaanya mengalami perubahan
bentuk secara mekanis akibat gerakan cairan ditelinga dalam. Stereosilia
ini berkontak dengan membrane tektorium, suatu tonjolan mirip tenda
yang menutupi organ corti diseluruh panjangnya.
Sel rambut dalam dan luar memiliki fungsi berbeda. Sel rambut
dalam mengubah gaya mekanis suara (getaran cairan koklea) menjadi
impuls listrik pendengaran ke otak melalui serat aferen. Sel rambut luar
bertindak sebagai unit motor yang memperkuat gerakan membrane basilar
dalam menanggapi stimulus melalui serat eferen.

(a)

(b)

16

Gambar 4. Gambaran skematik dari (a) Sel rambut koklea; (b) Organ
korti13
2.6. Fisiologi pendengaran
Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu pengumpul suara,
sementara liang telinga karena bentuk dan dimensinya, dapat memperbesar
17

suara dalam rentang 2 sampai 4 kHz; pembesaran pada frekuensi ini


adalah sampai 10 sampai 15 dB. Maka suara dalam rentang frekuensi ini
adalah yang paling berbahaya jika ditinjau dari sudut trauma akustik.11
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membrane timpani
diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang
akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi
getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibule
bergerak.
Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong
endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membrane
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion
terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel
(rangsangan fisik ini berubah menjadi rangsangan listrik akibat adanya
perbedaan ion Natrium dan Kalium)
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi ke dalam sinaps
yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 3940) di lobus temporalis.15

Gambar 5. Gerakan perilimfe akibat getaran stapes pada round window

18

Gambar 5. Jalur auditorik.14


Tetapi ada juga yang langsung ke nukleus lemniskus lateral. Dari
kompleks olivari superior serabutnya berjalan ke nukleus lemniskus
lateralis dan sebagian langsung ke colliculus inferior. Serabut-seravut ini
membentuk lemniskus lateralis. Dari colliculus inferior serabutnya
berlanjut lagi ke corpus genikulatum mediale sebagai brachium colliculus
inferior. Dari CGM ini serabutnya berjalan ke korteks serebri di area
acustikus

(area

Broadmann

39)

dan

disadari

sebagai

rangsang

pendengaran.11,12

19

Gambar 10.Skema Fisiologi Pendengaran 11


2.7 Fisiologi Bicara
Terdapat dua aspek dalam

proses

terjadinya

bicara,

yaitu

aspek

sensorik(input bahasa) dan motorik(output bahasa). Aspek sensorik meliputi


pendengaran, penglihatan, dan rasa raba yang berfungsi untuk memahami apa
yang didengar, dilihat, dan dirasa. Aspek motorik melibatkan vokalisasi dan
pengaturannya.15

20

Otak

memiliki

tiga

mengatur mekanisme berbahasa, dua pusat bersifat

pusat
reseptif

yang

yang
mengurus

penangkapan bahasa lisan dan tulisan serta, satu pusat lainnya bersifat ekspresif
yang mengurus pelaksanaan bahasa lisan dan tulisan. Ketiganya berada di
hemisfer dominan dari otak atau system susunan saraf pusat. Kedua pusat
bahasa reseptif tersebut adalah area 41 dan 42 disebut area Wernicke, merupakan
pusat persepsi auditoroleksik yaitu mengurus pengenalan dan pengertian segala
sesuatu yang berkaitan dengan bahasa lisan (verbal). Area 39 Broadman adalah
pusat persepsi visuoleksik yang mengurus pengenalan dan pengertian segala
sesuatu yang bersangkutan dengan bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah
pusat

bahasa

ekspresif.

Ketiga

pusat

tersebut

berhubungan satu sama lain melalui serabut asosiasi.1,15

Gambar 11. Area Korteks Serebri16


Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan
masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada
membrane timpani. Dari sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam
telinga tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor
sensoris untuk pendengaran yang disebut koklea. Saat gelombang suara mencapai
koklea maka impuls ini diteruskan oleh nervus vestibulokoklearis ke area

21

pendengaran primer di otak diteruskan ke area Wernicke. Kemudian jawaban


diformulasikan dan disalurkan dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area motorik
di otak yang mengontrol gerakan bicara. Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh
vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran udara dari paruparu sedangkan
bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langitlangit). Jadi untuk
proses bicara diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana
organ pendengaran sangat penting.2,3,15

Gambar 12. Jalur persepsi bahasa lisan16)Gambar 13. Jalur persepsi bahasa
tulisan16

2.8 Patogenesis
Terdapat dua aspek untuk dapat berkomunikasi: pertama, aspek
sensorik(input bahasa), yang melibatkan telinga dan mata, dan kedua, aspek
motorik(output bahasa), yang melibatkan vokalisasi dan pengaturannya. 2,15
Urutan proses komunikasi-input bahasa dan output bahasa adalah sebagai berikut:
1. sinyal bunyi mula-mula diterima oleh area auditorik primer yang nantinya
akan menyandikan sinyal tadi dalam bentuk kata-kata
2. kata-kata lalu diinterpretasikan di area Wernicke

22

3. penentuan buah pikiran dan kata-kata yang akan diucapkan juga terjadi di
dalam area Wernicke
4. penjalaran sinyal-sinyal dari area Wernicke ke area Brocca melalui
fasikulus arkuatus
5. aktivitas program keterampilan motorik yang terdapat di area Brocca
untuk mengatur pembentukan kata
6. penjalaran sinyal yang sesuai ke korteks motorik untuk mengatur otot-otot
bicara.

Gambar 14. Urutan proses


komunikasi16

Apabila

terjadi

kelainan

pada

salah
satu

jalannya

impuls ini, maka


akan terjadi kelainan bicara.Pendengaran normal pada tahun pertama kehidupan,
memegang peranan penting dalam perkembangan bicara dan bahasa. Gangguan
pendengaran pada awal perkembangan dapat menyebabkan keterlambatan bicara
yang berat. Oleh karenanya, pemeriksaan fungsi pendengaran pada keterlambatan
bicara, memegang peranan sangat penting.22
Gangguan pendengaran dapat berupa tipe konduktif dan sensorineural.
Gangguan pendengaran tipe konduktif dapat disebabkan oleh otitis media dengan
efusi. Adapun gangguan pendengaran sensorineural dapat disebabkan oleh infeksi
intra uterin, kern icterus, meningitis bakterial, atau hipoksia. Gangguan

23

pendengaran sebagai penyebab keterlambatan bicara makin bertambah, tersering


penyebab gangguan pendengaran adalah kongenital.22
Aspek sensorik pada komunikasi
Bila ada kerusakan pada bagian area asosiasi auditorik dan area asosiasi
visual pada korteks, maka dapat menimbulkan ketidakmampuan untuk mengerti
kata-kata yang diucapkan dan kata-kata yang tertulis. Efek ini secara berturutberturut disebut sebagai afasia reseptif auditorik dan afasia reseptif visual atau
lebih umum , tuli kata-kata dan buta kata-kata (disebut juga disleksia).
Afasia Wernicke dan Afasia Global
Beberapa orang mampu mengerti kata-kata yang diucapkan atau pun kata-kata
yang

dituliskan

namun

tak

mampu

menginterpretasikan

pikiran

yang

diekspresikan. Keadaan ini sering terjadi bila area Wernicke yang terdapat di
bagian posterior hemisfer dominan girus temporalis superior mengalami
kerusakan atau kehancuran. Oleh karena itu, tipe afasia ini disebut afasia
Wernicke.
Bila lesi pada area Wernicke ini meluas dan menyebar (1) ke belakang ke regio
girus angular, (2) ke inferior ke area bawah lobus temporalis, dan (3) ke superior
ke tepi superior fisura sylvian, maka penderita tampak seperti benar-benar
terbelakang secara total (totally demented) untuk mengerti bahasa atau
berkomunikasi, dan karena itu dikatakan menderita afasia global.
Aspek motorik pada komunikasi
Proses bicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental: (1)
membentuk buah pikiran untuk diekspresikan dan memilih kata-kata yang akan
digunakan, kemudian (2) mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari
vokalisasi itu sendiri. Pembentukan buah pikiran dan bahkan pemilihan kata-kata
merupakan fungsi area asosiasi sensorik otak. Sekali lagi, area Wernicke pada
bagian posterior girus temporalis superior merupakan hal yang paling penting
untuk kemampuan ini. Oleh karena itu, penderita yang mengalamai afasia
Wernicke atau afasia global tak mampu memformulasikan pikirannya untuk

24

dikomunikasikan. Atau, bila lesinya tak begitu parah, maka penderita masih
mampu memformulasikan pikirannya namun tak mampu menyusun kata-kata
yang sesuai secara berurutan dan bersama-sama untuk mengekspresikan
pikirannya. Seringkali, penderita fasih berkata-kata namun kata-kata yang
dikeluarkan tidak beraturan.
Afasia motorik akibat hilangnya Area Brocca
Kadang-kadang, penderita mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya, dan
mampu bervokalisasi, namun tak dapat mengatur sistem vokalnya untuk
menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini, disebut afasia motorik,
disebabkan oleh kerusakan pada area bicara Broca, yang terletak di regio prefontal
dan fasial premotorik kortekskira-kira 95 persen kelainannya di hemisfer kiri.
Oleh karena itu, pola keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring,
bibir, mulut, sistem respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara
dimulai dari daerah ini.
Artikulasi
Kerja artikulasi berarti gerakan otot-otot mulut, lidah, laring, pita suara, dan
sebagainya, yang bertanggung jawab untuk intonasi, waktu, dan perubahan
intensitas yang cepat dari urutan suara. Regio fasial dan laringela korteks motorik
mengaktifkan otot-otot ini, dan serebelum, ganglia basalis, dan korteks sensorik
semuanya membantu mengatur urutan dan intensitas dari kontraksi otot, dengan
mekanisme umpan balik sereberal dan fungsi ganglia basalis. Kerusakan setiap
regio ini dapat menyebabkan ketidakmampuan parsial atau total untuk berbicara
dengan jelas.

2.9 Deteksi Dini Gangguan Bicara Pada Anak


Deteksi dini merupakan suatu upaya yang dilaksanakan secara
komprehensif

untuk

menemukan

penyimpangan

tumbuh

kembang

dan

mengetahui serta mengenal faktor resiko pada anak usia dini. Melalui deteksi dini
dapat diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini, sehingga upaya
pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan dengan

25

indikasi yang jelas pada masa proses tumbuh kembang. Upaya tersebut diberikan
sesuai dengan umur perkembangan anak, dengan demikian dapat tercapai kondisi
tumbuh kembang yang optimal. Penilaian pertumbuhan dan perkembangan
meliputi dua hal pokok, yaitu penilaian pertumbuhan fisik dan penilaian
perkembangan. Masing-masing penilaian tersebut mempunyai parameter dan alat
ukur tersendiri.Deteksi dini terhadap gangguan bicara merupakan bagian dari
deteksi dini mengenai penilaian penyimpangan perkembangan.17,18
Deteksi yang sedini mungkin terhadap gangguan bicara pada anak perlu
dilakukan, agar bisa sesegera mungkin memastikan penyebab terjadinya gangguan
bicara tersebut dan untuk menentukan langkah pengobatan selanjutnya yang tepat
dan sesuai. Umumnya jika gangguan bicara ini semakin dini terdeteksi, maka
semakin baik kemungkinan pemulihan gangguan tersebut.1,2
Deteksi dini keterlambatan bicara harus dilakukan oleh semua individu.
Kegiatan deteksi dini ini melibatkan orang tua, keluarga, bila memungkinkan
dokter kandungan yang merawat sejak kehamilan dan tentunya dokter anak yang
merawat anak tersebut. Kegiatan deteksi dini ini dapat juga dilakukan oleh kader
kesehatan BKB (Bina Keluarga Balita) terlatih, petugas tempat penitipan anak
terlatih, petugas PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) terlatih, kemudian di
Puskesmas oleh dokter, bidan, maupun perawat. Instrumen dan metode skrining
yang bisa digunakan antara lain: KPSP (Kuesioner Pra Skrining Perkembangan)
menurut umur, Tes Daya Lihat, dan Tes Daya Dengar.18
Orang tua sebagai lini pertama yang biasanya mengetahui bila terjadi
sesuatu yang aneh dalam proses pertumbuhan dan perkembangan putra-putrinya
sebelum akhirnya memutuskan untuk berobat ke dokter, sebaiknya memperoleh
sosialisasi mengenai metode deteksi dini gangguan tumbuh kembang yang bisa
mereka lakukan khususnya terhadap gangguan bicara, sehingga penanganan
terhadap kasus gangguan bicara ini bisa dilakukan lebih awal. Pada dasarnya
deteksi dini adalah kegiatan menggunakan seluruh kemampuan dan panca indera
orang tua untuk mengamati proses perkembangan putra-putrinya, sebaiknya orang
tua juga mengetahui fase-fase normal yang seharusnya terjadi dalam periode
tumbuh kembang.18

26

Berbagai metode skrining yang lebih mutakhir dan global untuk deteksi
dini gangguan bicara juga dikembangkan dengan menggunakan alat bantu atau
panduan skala khusus, misalnya: menggunakan DDST (Denver Developmental
Screening Test II), Child Development Inventory untuk menilai kemampuan
motorik kasar dan motorik halus, Ages and Stages Questionnaire, Parents
Evaluations of Developmental Status. Dan alat-alat skrining yang lebih Spesifik
dan khusus yaitu ELMS (Early Language Milestone Scale) dan CLAMS (Clinical
Linguistic and Milestone Scale) yang dipakai untuk menilai kemampuan bahasa
ekspresif, reseptif, dan visual untuk anak di bawah 3 tahun.19
USPSTF (US Preventive Task Force) merekomendasikan untuk dilakukan
skrining universal gangguan pendengaran pada bayi baru lahir pada kelompok
yang berisiko tinggi untuk menderita gangguan pendengaran kongenital bilateral
permanen dengan kriteria:
1. bayi sempat dirawat di NICU selama lebih dari sama dengan 2 hari
2. riwayat keluarga atau keturunan dengan kelainan pendengaran
sensorineural
3. abnormalitas kraniofasial
4. sindrom kongenital tertentu dan infeksi
Program skrining yang direkomendasikan oleh USPSTF adalah dengan
menggunakan langkah pertama atau kedua dari sebuah protokol yang sah. 2
langkah skrining yang lazim digunakan meliputi pemeriksaan OAE (Otoaccoustic
Emission) dan BERA, yang dilakukan pada bayi baru lahir bila gagal pada tes
skrining pertama. Bayi yang mendapatkan hasil tes skrining yang positif harus
mendapatkan evaluasi audiologik yang tepat. Semua bayi dengan risiko tinggi
untuk mendapatkan gangguan pendengaran harus melalui skrining pendengaran
sebelum usia 1 bulan, sementara bayi yang gagal skrining harus dievaluasi
audiologik dan kesehatan sebelum usia 3 bulan.5

27

2.10 Diagnosis Gangguan Bicara dan Bahasa pada Anak


American Psychiatric Associations Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder (DSM IV) membagi gangguan bahasa dalam 4 tipe.2
1. Gangguan bahasa ekspresif
2. Gangguan bahasa resepti fekspresif
3. Gangguan phonological
4. Gagap
Pada gangguan bahasa ekspresif, secara klinis kita bisa menemukan gejala
sepertiperbendaharaan kata yang jelas terbatas, membuat kesalahan dalam kosa
kata, mengalami kesulitan dalam mengingat kata-kata atau membentuk kalimat
yang panjang dan memiliki kesulitan dalam pencapaian akademik, dan
komunikasi sosial, namun pemahaman bahasa anak tetap relatif utuh. Gangguan
menjadi jelas pada kira-kira usia 18 bulan, saat anak tidak dapat mengucapkan
kata dengan spontan atau meniru kata dan menggunakan gerakan badannya untuk
menyatakan keinginannya. Jika anak akhirnya bisa berbicara, defisit bahasa
menjadi jelas, terjadi kesalahan artikulasi seperti bunyi th, r, s, z, y. Riwayat
keluarga yang memiliki gangguan bahasa ekspresif juga ikut mendukung
diagnosis.8,17
Pada gangguan bahasa campuran ekspresif reseptif, selain ditemukan
gejala-gejala gangguan bahasa ekspresif, juga disertai kesulitan dalam mengerti
kata dan kalimat. Ciri klinis penting dari gangguan tersebut adalah gangguan yang
bermakna pada pemahaman bahasa dan ekspresi bahasa. Gangguan ini biasanya
tampak sebelum usia 4 tahun. Bentuk yang parah terlihat pada usia 2 tahun,
bentuk ringan tidak terlihat sampai usia 7 tahun atau lebih tua. Anak dengan
gangguan bahasa reseptif ekspresif campuran memiliki gangguan auditorik
sensorik atau tidak mampu memproses simbol visual seperti arti suatu gambar.
Mereka memiliki defisit dalam mengintegrasikan simbol auditorik maupun visual,
contohnya mengenali atribut dasar yang umum untuk mainan truk dan mainan
mobil penumpang. Anak dengan gangguan bahasa campuran reseptif ekspresif
biasanya tampak tuli.9,17

28

Anak dengan kesulitan bebicara memiliki masalah dalam pengucapan,


yaituberhubungan dengan gangguan motorik, diantaranya kemampuan untuk
memproduksi suara.2
Anak yang gagap dapat diketahui dari cara dia berbicara, dimana terjadi
pengulangan atau perpanjangan suara, kata, atau suku kata dan sangat sering
disertai mengedipkan mata dan menggoyangkan kepala.2
Secara lebih spesifik lagi gangguan bicara motorik dibagi antara lain
berupa: disartria, verbal apraxia, gangguan fonologik, gangguan bicara yang
disebabkan oleh gangguan pendengaran, serta gagap. Untuk penegakan diagnosis
gangguan bicara didasarkan dari hasil pengumpulan dan analisis data-data yang
diperoleh selama anamnesis, pemeriksaan fisik, dan bila diperlukan dari
pemeriksaan penunjang.2
2.10.1 Anamnesis
Anamnesis yang holistik meliputi keluhan utama yang jelas dan dapat
langsung mengarah pada kemungkinan diagnosis, riwayat penyakit dahulu
(infeksi susunan saraf, trauma kepala, kejang, obat-obatan), riwayat keturunan
atau penyakit anggota keluarga lainnya, riwayat kehamilan ibu (infeksi TORCH,
penyakit ibu, obat-obatan), riwayat perinatal (trauma perinatal, infeksi atau
asfiksia, perdarahan intrakranial) dan persalinan (adakah trauma perinatal, infeksi
atau asfiksia saat hamil), psikososial, riwayat pengobatan. Kemudian riwayat
imunisasi, pertumbuhan dan perkembangan anak terutama motorik dan bicara,
yaitu perkembangan bicara pada anak dikategorikan dalam kondisi bahaya, bila
ditemukan.20
a. 46 Bulan
Tidak menirukan suara yang dikeluarkan orang tuanya;
Pada usia 6 bulan belum tertawa atau berceloteh
Gangguan Bicara dan Bahasa pada Anak
b. 8-10 Bulan
Usia 8 bulan tidak mengeluarkan suara yang menarik perhatian.
Usia 10 bulan, belum bereaksi ketika dipanggil namanya.

29

Usia 9-10 bulan, tidak memperlihatkan emosi seperti tertawa atau


menangis.
c. 12-15 Bulan
12 bulan, belum menunjukkan mimik.
12 bulan, belum mampu mengeluarkan suara, seperti mama, dada.
12 bulan, tidak menunjukkan usaha berkomunikasi bila membutuhkan
sesuatu.
15 bulan, belum mampu memahami arti tidak boleh atau daag.
15 bulan, tidak memperlihatkan 6 mimik yang berbeda.
16 bulan, belum dapat mengucapkan 13 kata.
d. 18-24 Bulan
18 bulan, belum dapat mengucapkan 610 kata.
18.20bulan, tidak menunjukkan ke sesuatu yang menarik perhatian.
18.21bulan, belum dapat mengikuti perintah sederhana.
24 bulan, belum mampu merangkai 2 kata menjadi kalimat.
24 bulan, tidak memahami fungsi alat rumah tangga seperti sikat gigi
dantelepon.
24 bulan, belum dapat meniru tingkah laku atau katakata orang lain.
24 bulan, tidak mampu menunjukkan anggota tubuhnya bila ditanya.
e. 30-36 Bulan
30 bulan, tidak dapat dipahami oleh anggota keluarga.
36 bulan, tidak menggunakan kalimat sederhana dan pertanyaan dan tidak
dapat dipahami oleh orang lain selain anggota keluarga.
f. 3-4 Tahun
3 tahun, tidak mengucapkan kalimat, tidak mengerti perintah verbal dan
tidak memiliki minat bermain dengan sesamanya.
3,5 tahun, tidak dapat menyelesaikan kata seperti ayah diucapkan aya.
4 tahun, masih gagap dan tidak dimengerti secara lengkap.

30

2.10.2. Pemeriksaan Fisis


Pemeriksaan fisik digunakan untuk mengungkapkan penyebab lain dari
gangguan bahasa dan bicara. Perlu diperhatikan ada tidaknya mikrosefali, anomali
telinga luar, otitis media yang berulang, sindrom William (fasies Elfin, perawakan
pendek, kelainan jantung, langkah yang tidak mantap), celah palatum, dan lainlain. Gangguan oromotor dapat diperiksa dengan menyuruh anak menirukan
gerakan mengunyah, menjulurkan lidah, dan mengulang suku kata pa, ta, pata,
pataka.4,5
Pada bayi diperhatikan respon pendengaranya dalam tingkah laku seharihari, tingkah laku pre linguistik buruk, seperiti respon visual yang buruk dan
gagal terhadap tes dasar yang dilakukan harus diwaspadai sebagai tanda akan
terjadinya gangguan bicara5
2.10.3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan audiometri22
Pemeriksaan audiometri diindikasikan untuk anak-anak yang sangat kecil
dan untuk anak-anak yang ketajaman pendengarannya tampak terganggu. Ada 4
kategori pengukuran dengan audiometri :
a.

Audiometri tingkah laku, merupakan pemeriksaan pada anak yang


dilakukan dengan melihat respon dari anak jika diberi stimulus bunyi.
Mulai dapat dilakukan pada bayi usia 4-7 bulan dimana kontrol
neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah berkembang.
Respon yang diberikan dapat berupa menoleh ke arah sumber bunyi atau
mencari sumber bunyi. Pemeriksaan dilakukan di ruangan yang tenang
atau kedap suara dan menggunakan mainan yang berfrekuensi tinggi.
Penilaian dilakukan terhadap respon yang diperlihatkan anak.

b.

Audiometri bermain, merupakan pemeriksaan pada anak yang


dilakukan sambil bermain, misalnya anak diajarkan untuk meletakkan
suatu objek pada tempat tertentu bila dia mendengar bunyi. Dapat
dilakukan pada usia 2-5 tahun bila anak cukup kooperatif.

31

c.

Audiometri bicara. Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah


disusun dalam silabus dalam daftar yang disebut : phonetically balance
word LBT (PB List). Anak diminta untuk mengulangi kata-kata yang
didengar melalui kaset tape recorder. Pada tes ini dilihat apakah anak
dapat membedakan bunyi s, r, n, c, h, ch. Tujuan pemeriksaan ini adalah
untuk menilai kemampuan anak dalam pembicaraan sehari-hari dan untuk
menilai pemberian alat bantu dengar (hearing aid).

d.

Audiometri objektif, biasanya memerlukan teknologi khusus.

2. Otoacoustic Emission (OAE)


Merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai fungsi koklea
yang obyektif, otomatis, tidak invasif, mudah, tidak membutuhkan waktu lama
dan praktis sehingga sangat efisien untuk program skrining pendengaran bayi baru
lahir (Universal newborn Hearing Screening). Pemeriksaan tidak harus di ruang
kedap suara, cukup di ruangan yang tenang. Untuk memperoleh hasil yang
optimal diperlukan pemilihan probe (sumbat liang telinga) sesuai ukuran liang
telinga.22
3. Timpanometri
Digunakan untuk menilai kondisi telinga tengah (mengukur kelenturan
membrana timpani dan sistem osikular). Gambaran timpanometri yang abnormal
(adanya cairan atau tekanan negative di telinga tengah) merupakan petunjuk
adanya gangguan pendengaran konduktif.22
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga
dapat diketahui besarnya tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara yang
dipantulkan kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada bayi berusia di atas
7 bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi di bawah usia
6 bulan tidak digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi resonansi pada
liang telinga sehingga harus digunakan probe tone frekuensi tinggi (668, 678 atau
1000 Hz).22
4. BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry)
32

Merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistem


auditorik, bersifat obyektif, tidak invasif. Dapat dilakukan pada bayi dan anak
yang tidak kooperatif yang sulit diperiksa dengan pemeriksaan konvensional.21
BERA merupakan cara pengukuran evoked potensial (aktivitas listrik yang
dihasilkan nervus vestibulokoklearis, pusat-pusat neural dan traktus di dalam
batang otak) sebagai respon terhadap stimulus auditorik. Stimulus bunyi yang
digunakan berupa bunyi click atau toneburst yang diberikan melalui
headphone,insert probe, bone vibrator.22
5. ASSR (Auditory Steady State Response)
ASSR adalah salah satu metode terbaru untuk menentukan prediksi
ambang pendengaran pada anak-anak. Tujuan ASSR adalah untuk membuat
estimasi audiogram statistik yang akurat. Pada dasarnya, cara pemeriksaan ASSR
sama dengan pemeriksaan tes BERA. Yang mebedakan adalah frekuensi yang
diperiksa serta gambaran hasil tes. Hasil tes BERA berupa gelombang-gelombang
sedangkan hasil tes ASSR berupa audiogram. 22
2.11.Tatalaksana
Gangguan bicara biasanya pertama kali dikenal pasti oleh orang tua pasien
atau pengasuh anak. Jika dicurigai gangguan bicara perlu dilakukan tes
pendengaran oleh ahli bicara dan bahasa sebagai langkah pertama. Jika memang
gangguan bicara disebabkan oleh gangguan pendengaran, dapat dipasang alat
bantu dengar.21
Diagnosis yang tepat terhadap gangguan bicara dan bahasa pada anak,
sangat berpengaruh terhadap perbaikan dan perkembangan kemampuan berbicara
dan bahasa. Terapi sebaiknya dimulai saat diagnosis ditegakkan, namun hal ini
menjadi sulit karena

diagnosis sering terlambat karena adanya variasi

perkembangan normal atau orang tua baru mengeluhkan gangguan ini kepada
dokter saat mencurigai adanya kelainan pada anaknya, sehingga para dokter lebih
sering dihadapkan pada aspek kuratif dan rehabilitatif dibandingkan preventif.
Tatalaksana dini terhadap gangguan ini akan membantu anak-anak dan orang tua
untuk menghindari atau memperkecil kelainan dimasa sekolah.2,6,10
33

a) Terapi bicara
Terapi bicara melibatkan dokter ahli bicara bersama anak secara
perorangan dalam sebuah kelompok kecil atau secara langsung didalam sebuah
kelas untuk mengatasi gangguan tertentu. Terapi bicara menggunakan berbagai
cara termasuk intervensi bahasa dan terapi artikulasi. Seorang terapis mungkin
menggunakan objek-objek, gambar, buku atau peristiwa penting untuk
merangsang perkembangan bicara. Terapis juga merupakan contoh terhadap
pengucapan yang benar dan menggunakan latihan mengulang sebutan untuk
membangun keterampilan berbicara dan berbahasa.6
b) Terapi artikulasi
Terapi artikulasi melibatkan ahli terapis sebagai model yang benar
terhadap pengucapan yang benar untuk anak, selama kegiatan bermain. Tingkatan
permainan tersebut adalah berdasarkan umur dan sesuai dengan kebutuhan anak.
Terapi ini melibatkan fisik anak tentang bagaimana membuat suara tertentu seperti
R. Seorang terapis

bicara

seharusnya

menunjukkan bagaimana

cara

menggerakkan lidah untuk menghasilkan suara tertentu.6


c) Terapi perilaku
Terapi perilaku adalah terapi yang bertujuan untuk merubah atau
menghilangkan tingkah laku anak yang dianggap tidak layak. Terapi perilaku ini
lebih dikenal dengan nama ABA (Applied Behavior Analysis) yang dilakukan
dengan metode Lovas, yang dalam prakteknya menggunakan prinsip stimulus
respons. Terapi ini disukai karena terstruktur, terarah dan terukur. Yang ingin
dipacu pada terapi ini adalah peningkatan pemahaman dan kepatuhan akan aturan.
Terapi ini diberikan pada anak autisme, gangguan perkembangan pervasive, anak
dengan ADD, anak dengan gangguan emosional, dan sebagainya.20
d) Terapi sensori integrasi
Terapi sensori integrasi adalah suatu pendekatan untuk menilai dan
melakukan terapi pada anak-anak yang menunjukkan masalah perilaku atau
kesulitan belajar. Dalam terapi ini, anak dibimbing untuk melakukan berbagai
aktivitas yang dapat memberikan masukan berbagai informasi sensorik, yang
penting adalah partisipasi aktif dari anak agar timbul perubahan positif yang dapat

34

memperbaiki struktur halus pada otak anak yang masih mempunyai daya
plastisitas yang baik. Dalam memberikan terapi, anak didukung untuk memilih
kegiatan yang disukainya dan terapis akan mengarahkan agar kegiatan yang
dilakukan dapat memberikan tantangan yang tepat. Dengan tantangan ini, maka
perlahan-lahan kemampuan anak akan bertambah. Diharapkan dengan ini fungsi
otak yang lebih kompleks, seperti berfikir secara emotif, kreatif, dan fleksibel
serta pemahaman terhadap konsep-konsep abstrak seperti berbahasa akan
berkembang lebih baik. Terapi ini dirancang untuk dapat memberikan rangsangan
vestibuler, proprioseptif, taktil auditori, visual, dan sebagainya sesuai dengan
kebutuhan individual anak.20
e) Terapi okupasi
Terapi

okupasi

adalah

penggunaan

aktivitas

yang

bertujuan

mengintervensi, sebagai upaya untuk meningkatkan kesehatan dan fungsi


perkembangan ke tingkat yang lebih tinggi dari seseorang yang mengalami
keterbatasan yang disebabkan penyakit fisik, kondisi fungsional, gangguan
kognitif, disfungsi psikososial, gangguan mental, disabilitas perkembangan.
Terapi okupasi bertujuan membuat individu mandiri dalam aktifitasnya seharihari, memiliki produktifitas, dan pengisian waktu luang yang sesuai usia individu
tersebut. Terapi ini meliputi pengajaran keterampilan dalam aktivitas sehari-hari
(makan, minum, mandi, berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan),
pengembangan

keterampilan

motorik,

keterampilan

sensori

integrasi,

keterampilan bermain dan kapasitas kerja, maupun memanfaatkan waktu luang.


Selain itu, terapi okupasi berperan dalam menyediakan fasilitas untuk
meningkatkan dan memperbaiki fungsi sensorimotor, neuromuskular, emosional,
kognitif, dan kinerja psikososial.20
f) Fisioterapi
Fisioterapi digunakan sebagai metode untuk membantu rehabilitasi
terhadap anak-anak yang mengalami gangguan tumbuh kembang, seperti
keterlambatan dalam gerak motorik kasar (tengkurap, duduk, berdiri, dan
berjalan) dan motorik halus (menggunakan fungsi tangan). Metode yang
digunakan adalah metode Bobath yaitu terapi yang berdasarkan pada

35

perkembangan normal saraf, sehingga disebut juga neurodevelopmental treatment.


Metode ini menggunakan sensori-motor dari indera (taktil perabaan, penglihatan,
pengecapan, dan penciuman), juga perkembangan neuropsikososial.20
g) Stimulasi floor time
Floor time merupakan cara berinteraksi antara orang dewasa dengan anak
dalam suasana yang dapat membentuk emosi yang sehat, sosial, dan intelektual.
Mengerti emosi anak merupakan kunci yang efektif dalam memberikan
pengajaran. Para profesional (dokter, terapis, psikolog, pedagogik) membantu
orang tua menganalisis, memberi umpan balik, dan ide bagaimana orangtua
melakukannya. Prinsip utama floor time adalah memanfaatkan setiap kesempatan
yang muncul untuk berinteraksi dengan cara yang disesuaikan dengan tahap
perkembangan emosi anak. Interaksi yang terjadi diharapkan bermula dari inisiatif
anak, pengasuh atau orang tua mengikuti anak dan memanfaatkan emosi sebagai
titik awal interaksi, diperluas dan dikembangkan menjadi lebih bermakna dan
timbal balik.20
Untuk membantu anak dalam mencapai terapi yang maksimal, selain
dibutuhkan berbagai macam terapi, orangtua juga berperan penting untuk terapi di
rumah. Beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua di rumah adalah :20
1. Selalu berbicara dengan anak
2. Berikan dorongan pada anak untuk bertanya, memilih dan menjawab
pertanyaan dengan kemampuan bahasanya.
3. Dengarkan anak
4. Berikan dorongan untuk bermain. Diharapkan anak dapat bermain cukup
lama dengan orangtua
5. Ajarkan anak lagu baru yang dia sukai
6. Rencanakan berjalan-jalan dengan anak
7. Bacakan cerita pada anak. Ajarkan mengucapkan kata atau ide
8. Setiap mengajarkan kata, tunjukkan benda objeknya
Pemilihan terapi yang tepat tergantung dari tiap anak, sesuai etiologi dan
kebutuhannya. Anak dengan gangguan pendengaran, bisa menggunakan alat bantu
dengar atau implant koklea yang dikombinasikan dengan terapi bicara. Anak yang

36

mempunyai perilaku agresif sebaiknya diberikan lebih dahulu terapi perilaku atau
sensori integrasi. Bila anak telah mulai berinteraksi cukup baik barulah diberikan
terapi bicara.Pemakaian beberapa bahasa di rumah, sebaiknya diseragamkan lebih
dulu.Keadaan ini diharapkan dapat membantu anak untuk menguasai satu bahasa
dahulu dengan baik. Karena terapi yang diberikan bukan pengobatan, hasil terapi
biasanya baru terlihat setelah anak menjalaninya beberapa waktu. Perlu dilakukan
evaluasi setiap 3-6 bulan untuk melihat hasil terapi yang telah diberikan. Apakah
perlu ditambah, dikurangi, atau diubah, disesuaikan dengan keadaan dan
kebutuhan anak saat itu.20
2.12.

Prognosis
Prognosis gangguan bicara pada anak tergantung pada penyebabnya.

Sebagian besar anak memberikan respon baik terhadap tata laksana yang
diberikan. Untuk gangguan yang berhubungan dengan kelainan organik seperti
pada

tuli

konduksi,

perbaikan

masalah

medisnya

dapat

menghasilkan

perkembangan bahasa normal pada anak. Anak dengan retardasi mental memiliki
prognosis yang lebih buruk dibandingkan anak yang intelegensinya baik.
Demikian juga dengan anak yang memiliki gangguan perkembangan multiple,
membutuhkan penanganan ekstra agar tidak meninggalkan kelainan sisa.
Lingkungan yang beresiko tinggi dan usia terdeteksinya gejala turut memperburuk
prognosis.2,4
Beberapa anak yang mengalami keterlambatan berbahasa dini dapat
mengalami periode sembuh ilusi selama bertahun-tahun usia prasekolah, tetapi
secara berturut-turut memiliki kesulitan belajar untuk membaca selama tingkat
sekolah dasar awal karena adanya masalah fonetik (yaitu kesulitan mengenali
setiap bagian kata, misal suara atau suku kata). Sebagian besar gagap sembuh
pada akhir masa kanak-kanak, pada 1 % populasi dengan masalah jangka panjang
ke dalam tahun-tahun dewasa. Sayangnya terdapat data yang terbatas untuk
membantu menyususn prognosis spesifik utnuk setiap anak.18

37

BAB 3
KESIMPULAN
Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak.
Karena kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan
pada sistem lainnya, sebab melibatkan kemapuan kognitif, sensori motor,
psikologis, emosi, dan lingkungan di sekitar anak.2,3 Diperkirakan gangguan bicara
dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5 %.2
Secara umum, gangguan berbahasa dapat dibagi dalam tiga tipe, yaitu: (1)
Kegagalan memperoleh kemampuan berbahasa apapun. Keadaan ini misalnya
terdapat pada anak yang menderita retardasi mental berat; (2) Kendala
kemampuan bahasa yang telat didapat, yang dapat disebabkan oleh trauma fisik
damupun psikis, atau oleh gangguan neurologist; (3) Gangguan perkembangan
berbahasa. Tipe inilah yang dikategorikan dalam gangguan perkembangan
spesifik. Terdapat dua sub tipe, yaitu (a) tipe reseptif, yaitu kesukaran untuk
menrima dan mengerti bahasa yang dibicarakan, dan (b) tipe ekspresif, yaitu
kesukaran dalam mengekspresikan bahasa secara verbal.11
Deteksi dan penanganan dini pada gangguan keterlambatan bicara dan
bahasa dapat membantu baik anak atau orang tua untuk memperkecil kesulitan di
masa sekolah anak.3 Dalam diagnosa dan penanganannya diperlukan ahli yang
beragam seperti dokter, ahli terapi: ahli terapi bicara dan ahli fisioterapi, psikolog,
perawat, dan pekerja sosial.9

DAFTAR PUSTAKA
1.

Soetjiningsih. Tumbuh kembang anak. Jakarta. EGC 1995. h.237-40

38

2.

Simms MD, Schum RL. Language development and communication disorder.


Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of
paediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders, 2007. h.152-61.

3.

Virginia W, Meredith G, Dalam : Adams, Boies highler. Gangguan bicara dan


bahasa. Buku ajar penyakit telinga, hidung, tenggorok.Edisi 6. Jakarta : EGC, 1997. h
397-410

4.

Yoshimasu K, Barbaresi WJ, Colligan RC, Killian JM, Voigt RG, Weaver AL, et
al. Written-language disorder among children with and without ADHD in a
population-based birth cohort. Pediatrics. 2011;128(3):e605-e12.

5.

Busari JO, Weggelaar NM. How to Investigate and Manage the Child who is
Slow to Speak. BMJ 2004, 328 : 272-6

6.

Nelson HD, Nygren P, Walker M, Panoscha R. Screening for speech and


language delay in preschool children: systematic evidence review for the US
Preventive Services Task Force. Pediatrics. 2006;117(2):e298-e319.

7.

Kaplan, Harold I. Gangguan Komunikasi. Dalam : I Made Wiguna, editor.


Sinopsis Psikiatri : Bina Rupa Aksara, 1997.h. 766-82

8.

Vade Mecum, Pediatri, Edisi 13, Erlangga, EGC, 2003

9.

Heidi M. Feildman Evaluation and Management of Speech and Language


disorder in Preschool Children. Pediatric in Review. 2005.h.131-42

10.

Sitaresmi MN, Ismail D, Wahab A. Risk factors of developmental delay: a


community-based study. Paediatri Indonesia. 2008;48(3):161.

11.

Liston, Stephen L, Duvall, Arndt J. 1997. Embriologi, Anatomi, dan


Fisiologi Telinga, Chapter 2 pada Adams, George L., MD., Boies, Lawrence
R., Jr., MD., Higler, Peter A., MD.; alih bahasa, Caroline Wijaya; editor,
Harjanto Efendi; Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of
Otolaryngology), Edisi 6. Jakarta : EGC. Pp 30-38.

12.

Kahle W, Frotscher M. Nervous System and Sensory Organs, Volume3. In:


Color Atlas and Textbook of Human Anatomy. 5th revised edition. New York:
Thieme; 2003. pp 361-382.

13.

Probst R. Ear: Anatomy and physiology of the ear, Anatomy and function
of the cochlea. In: Probs R, Grevers G, Iro H, editors. Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme; 2006. p 153, 160-1

39

14.

Netter H.F , Craig A.J, Perkins J. Atlas of Neuroanatomy and


Neurophysiology. USA: Icon Custom Communications. 2002.

15.

Guyton AC, Hall JE. Dalam : Irawati Setyawan, penyunting. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC, 1997.h. 909- 19

16.

Sherwood L. Human physiology: from cells to systems: Cengage Learning; 2015.

17.

Chamidah, A Nur. Deteksi Dini Gangguan Pertumbuhan dan Perkembangan


Anak. Diakses dari www. Journal_UMY.ac.id. Diunduh tanggal 12 April 2016.

18.

Departemen Kesehatan RI, 2009, Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, deteksi dan


intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak ditingkat Pelayanan Kesehatn Pasar.

19.

UKK Neurologi IDAI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta.
Diagnosis Banding Keterlambatan Bicara : Pendekatan etiologi pada praktik sehari
hari dalam : A Journey to Child Neurodevelopment : Application in Daily Practice.
Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010. h. 55

20.

US Preventive Services Task Force. Universal Screening for Hearing Loss in


Newborns, US Preventive Services Task Force Recommendation Statement.
Pediatrics 2008, vol 122. h. 143-4

21.

Lissauer Tom, Clayden Graham. Developmental problems and tha child with
special needs. Illustrated textbook of paediatrics. Edisi ke-3. London,UK: Mosby,
2007. h.45-46.

22.

Suwento R, Zizakausky S, Hendrawan H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan


Anak. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan
Leher. Edisi ke 6. Jakarta : FKUI, 2007.h.31-42

40

You might also like