Professional Documents
Culture Documents
Diterbitkan oleh :
Sekolah Tinggi Theologia Aletheia (STT Aletheia)
Alamat Redaksi :
Sekolah Tinggi Theologia Aletheia
Jl. Argopuro 28-34 (PO. Box 100)
Lawang 65211, Jawa Timur
Telp. 0341-426617 ; Fax : 0341 - 426971
E-mail : admin@ital.ac.id
Rekening Bank :
BCA Cabang Malang No. 011-3099-744
a/n. Sinode GKT ITA Lawang
Staff Redaksi :
Penasehat
Pemimpin
Anggota
Bendahara
Publikasi &
Distributor
Tujuan Penerbitan :
Agung Gunawan
Mengelola Konflik Dalam Gereja
17
Stefanus Kristianto
Meresponi New Perspective on Paul
29
Marthen Nainupu
Pluralisme Oikumenis Dan Implikasi Pelayanan Pastoral
45
Amos Winarto
Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi : Sebuah Refleksi
Teologis-Etis Perceraian
65
75
Amos Winarto
Resensi Buku: The Lost History Of Christianity: The ThousandYear Golden Age Of the Church In The Middle East, Africa, And
Asia-And How It Died
81
Alfius Areng Mutak
Resensi Buku: Building A Strong Youth Ministry
85
Penulis
87
CATATAN REDAKSI
PENDAHULUAN
Gereja merupakan kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar dari
kegelapan untuk masuk kedalam terang-Nya yang ajaib untuk
memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar (I Petrus 2:9).
Mengingat bahwa gereja adalah kumpulan dari orang-orang berdosa yang
sedang mengalami proses pengudusan, maka di dalam proses inilah gereja
tidak dapat mengelak dari konflik.
Konflik bisa terjadi karena masalah-masalah yang berkaitan dengan
organisasi, seperti program gereja (organization conflicts) dan konflik juga
bisa terjadi antar pribadi dalam gereja (personal conflicts). Konflik bisa
terjadi antar kelompok-kelompok dalam gereja (intergroup conflicts) dan
juga bisa terjadi antar anggota dalam kelompok (interpersonal conflicts).
Namun disisi lain, gereja juga mmiliki tugas untuk memberitakan perbuatan7
perbuatan Allah yang besar, maka gereja harus mampu untuk mengelola
konflik secara benar agar gereja tidak mempermalukan nama Tuhan.
Mengapa konflik dapat muncul dalam gereja? Apa tanda-tanda munculnya
konflik dalam gereja? Apa saja level-level konflik dalam gereja dan
bagaimana kiat mengelola konflik dalam gereja? Tulisan ini akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas untuk memberikan pemahaman yang jelas
tentang konflik dalam gereja dengan segala macam dimensinya.
DEFINISI KONFLIK
Meskipun tidak ada definisi tunggal tentang konflik, definisi yang
paling tepat adalah konflik melibatkan dua kelompok independen, dimana
satu kelompok merasakan beberapa ketidakcocokan di antara mereka.
Jadi konflik adalah suatu kondisi disharmoni antara dua atau lebih individu
1
karena adanya benturan kepentingan diantara mereka.
Di dalam konflik ada dua proses yaitu: (1) "proses di mana satu pihak
merasakan bahwa kepentingannya bertentangan /ditentang oleh pihak
lain", dan (2) "proses interaktif yang mana didalamnya terjadi
ketidakcocokan, perselisihan, atau ketidaksetujuan di antara entitas
2
sosial"
Penyebab Munculnya Konflik
1.
Pertentangan Keyakinan
Setiap individu memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Ketika
keyakinan yang dimiliki oleh individu-individu dalam gereja saling
4
bertentangan, maka konflik tidak dapat terelakkan. Misalnya, di dalam
diukur secara kuantitas yaitu dengan jumlah anggota yang banyak, namun
hamba Tuhan memiliki keyakinan bahwa gereja yang bertumbuh harus
diukur secara kualitas yaitu kedewasaan rohani jemaat bukan kuantitas.
Pertentangan keyakinan antara majelis dan hamba Tuhan dalam gereja
sering memicu munculnya konflik dalam gereja.
3.
Persaingan Keinginan
Setiap individu dalam gereja memiliki keinginan untuk memajukan
pekerjaan Tuhan, namun seringkali seseorang memaksa kehendak agar
6
keinginannnya dituruti. Ketika keinginannya tidak dituruti dan keinginan
orang lain yang dituruti, maka dapat dipastikan bahwa konflik akan terjadi
karena adanya persaingan keinginan di antara anggota dalam gereja.
Seseorang yang tidak diterima keinginannya akan merasa diabaikan
dan tidak dihargai. Akibatnya ia akan membuat masalah yang akan memicu
konflik dalam komunitas gereja.
Tanda-Tanda Munculnya Konflik
Ketika di dalam gereja terjadi konflik yang berkepanjangan dan tidak
segera dikelola secara baik dan sehat, maka akan terjadi dampak yang
negatif bagi gereja, antara lain:
1.
10
Apabila gereja penuh dengan konflik, maka jemaat akan merasa tidak
nyaman dan tidak ada damai. Akibatnya jemaat akan meninggalkan gereja
tersebut dan pindah mencari gereja lain yang didalamnya ada kedamaian.
Ketika anggota jemaat yang hadir berkurang, maka sebagai konsekwensi
logisnya uang persembahan juga berkurang secara drastis. Akibatnya
maka gereja akan mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan
finansial gereja karena gereja mengalami defisit keuangan.
2.
11
4.
Munculnya Keluhan-Keluhan
Ketika gereja berada dalam situasi konflik, maka pelayanan gereja
10
terhadap jemaatnya akan tidak berjalan secara maksimal. Hamba Tuhan
dan majelis yang terlibat konflik pasti tidak akan dapat melakukan tugas dan
tanggungjawabnya dengan baik. Bahkan mereka cenderung akan
mengabaikan tugas dan kewajibannya.
Hal itu akan dapat dirasakan oleh anggota jemaat yang membutuhkan
pelayanan yang baik dan benar. Akibatnya banyak anggota jemaat yang
menyampaikan keluhan-keluhan, baik terhadap pelayanan dari hamba
Tuhan mapun dari majelis atau pengurus gereja yang bertanggungjawab
atas jalannya pelayanan dalam gereja. Banyak anggota jemaat yang
merasa tidak puas terhadap apa yang dilakukan oleh orang-orang yang
terlibat dalam pelayanannya.
Tidak jarang anggota gereja yang melakukan kritik yang keras, baik
melalui lisan maupun surat. Bahkan tidak jarang juga muncul surat-surat
kaleng yang mendeskridikkan hamba Tuhan maupun para aktifis gereja.
Apabila hal ini dibiarkan, maka banyak jemaat yang akan keluar bahkan
bukan tidak mungkin gereja akan mengalami perpecahan.
Jenis-Jenis Konflik
Ada dua macam konflik yang terjadi dalam kehidupan gereja yaitu:
1.
12
Problem To Solve
Dalam level pertama ini, orang-orang yang terlibat konflik menyadari
bahwa mereka memiliki konflik yang harus segera diselesaikan.13 Dalam
level ini, pihak-pihak yang terlibat konflik fokus pada penyelesaian masalah
(problem oriented), bukan fokus pada pribadi yang terlibat konflik (person
oriented).
Pada level ini, tidak ada penyerang kepada pribadi baik secara verbal
maupun non verbal. Dalam level ini, keduanya akan berusaha sekuat
tenaga untuk segera mencari cara untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi. Kedua belah pihak memiliki sikap yang optimis bahwa masalah yang
mereka hadapi dapat diselesaikan dengan baik.
II.
Disagreement
Level II dari konflik ini kondisinya lebih sulit dibandingkan dengan level
pertama, karena disini terjadi ketidaksepahaman antara pribadi-pribadi
14
yang terlibat konflik. Berbeda dengan level pertama, pada level ini fokus
bukan kepada penyelesaian masalah (problem solving), tapi cenderung
untuk melindungi diri (self protection).
Pada level ini, pihak-pihak yang konflik berusaha untuk mencari
keselamatan atas diri masing-masing. Mereka yang terlibat konflik tidak
mau secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki masalah. Mereka
hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat umum, walaupun sebenarnya
mereka memiliki masalah-masalah yang spesifik. Akibatnya masalah yang
terjadi akan sulit diselesaikan, sehingga konflik akan terus mengambang
tanpa ada akhirnya (floating).
III.
Contest
Dalam level III ini, kedua pihak yang terlibat konflik berpindah dari
13
Intractable Situations
Level ini adalah level yang tidak dapat dikelola, dimana konflik sudah
tidak dapat lagi terkontrol oleh pihak-pihak yang terlibat.17 Level ini
merupakan kelanjutan dari level IV yang memiliki orientasi untuk
menyingkirkan lawannya. Namun level ini lebih daripada level IV karena
pihak-pihak yang terlibat konflik berupaya untuk menghancurkan lawannya
dengan melakukan tindakan kekerasan, baik secara verbal maupun non
verbal. Apabila lawannya belum hancur maka ia tidak akan mengalami
kepuasan. Apabila hal ini terjadi, maka konflik yang terjadi antar anggota
gereja akan berujung kepada masalah hukum.
Gereja harus menghindari konflik yang terjadi tidak mencapai level V
karena akibatnya gereja akan menjadi tontonan dan dipermalukan oleh
orang-orang di luar gereja. Dengan demikian nama Tuhan bukan
dipermuliakan, namun sebaliknya akan dipermalukan. Oleh sebab itu,
konflik yang terjadi harus segera dikelola secara baik dan benar.
Bagaimana kiat mengelola konflik yang baik dan benar?
14
15
Apabila sistem tidak diubah maka konflik akan dapat muncul kembali.
Oleh sebab itu, pada bagian ini perlu dikaji dengan cermat sistem yang
memiliki andil terjadinya sebuah konflik. Setelah diketahui, maka orangorang yang terlibat konflik perlu bersama-sama mengubah sistem yang
ada, sehingga tidak Akan terjadi lagi konflik yang sama.
PENUTUP
Konflik dalam gereja tidak dapat dan tidak boleh dihindari. Konflik
selalu ada dalam seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk dalam
kehidupan gereja. Gereja harus belajar untuk dapat mengelola konflik
dengan cantik dn cerdas. Agar gereja tidak berjalan di dalam konflik tapi
gereja berjalan di atas konflik. Gereja tidak dikuasai konflik, tapi gereja yang
menguasai konflik. Ini adalah hasil dari pengelolaan konflik gereja secara
tepat dan benar.
DAFTAR RUJUKAN
Alper, S., Tjosvold, D., & Law, K. S. (2000). Conflict Management, Efficacy,
and Performance In Organizational Teams. Personnel Psychology,
53, 625-642.
Leas, Speed B. (1998). Moving Your Church Through Conflict. The Alban
Institut.
Miller, Sherod (1993). Talking and Listening Together Interpersonal
communication Programs, Inc..
Rahim, M., Antonioni, D., & Psenicka, C. (2001). A Structural Equations
Model of Leader Power, Subordinates' Styles of Handling Conflict, And
Job Performance. International Journal of Conflict Management,
12(3), 191.
Wall, J. A., Jr., & Callister, R. R. (1995). Conflict and Its Management.
Journal of Management, 21, 515-558.
EndNote
1.
Wall, J. A., Jr., & Callister, R. R. (1995). Conflict and Its Management. Journal of Management, 21,
p.517
2.
Rahim, M. A. (1992). Managing conflict in organizations (2nd ed.). Westport, CT: Praeger. p.16
3.
Miller, Sherod (1993). Talking and Listening Together Interpersonal communication Programs, Inc.
4.
Ibid.
5.
Ibid.
6.
Ibid.
7.
Leas, Speed B. (1998). Moving Your Church Through Conflict. The Alban Institut.
14
8.
Ibid.
9.
Ibid.
10. Ibid.
11. Rahim, M., Antonioni, D., & Psenicka, C. (2001). A Structureal Equations Model of Leader Power,
Subordinates' Styles of Handling Conflict, And Job Performance. International Journal of Conflict
Management, 12(3), 191.
12. Ibid.
13. Leas, 1998.
14. Ibid.
15. Ibid.
16. Ibid.
17. Ibid.
18. Miller, 1993
19. Ibid.
20. Ibid.
bahwa dalam bagian ini disebutkan bahwa Allah sendiri yang mengeraskan
4
hati Firaun sebanyak sepuluh kali. Kitab Keluaran memang
mengungkapkan bahwa Firaun berkeras hati (Kel. 7:14, 22:8:15, dll.), tetapi
juga diungkapkan bahwa Allah mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3;
9:12, dll.). Menjadi persoalan adalah hati Firaun itu menjadi keras, oleh
karena ia sendiri yang berkeras hati atau hal itu merupakan akibat dari
tindakan Allah yang mengeraskan hatinya.
Biasanya untuk menghindari tuduhan terhadap karakter Allah muncul
pendapat bahwa kekerasan hati Firaun dimulai dari tindakan Firaun
berkeras hati, lalu ditindaklanjuti oleh Allah dengan mengeraskan hatinya
dan akhirnya menyebabkan bahwa hati Firaun semakin keras.5 Pendapat
ini biasanya diperhadapkan dengan kesulitan urutan pemunculan
ungkapan Allah mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3) yang
mendahului ungkapan Hati Firaun berkeras (Kel. 7:13) atau Firaun tetap
berkeras hati(Kel. 8:15). Urutan pemunculan ini menimbulkan kesan
bahwa Allah yang pertama-tama mengeraskan hati Firaun dan bukannya
tindakan atau pribadi Firaun untuk mengeraskan hatinya.
Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa ungkapan Allah
mengeraskan hati Firaun merupakan ungkapan idiomatis tentang
penolakan batiniah Firaun yang telah sampai pada titik yang tak dapat
6
dibalikkan atau berubah lagi. Brevard Childs menolak pandangan ini
dengan alasan bahwa penafsiran psikologis ini kehilangan inti teologis,
karena ungkapan Allah mengeraskan hati Firaun menunjuk dengan jelas
adanya a theology of divine causality.7
Beberapa ahli telah membahas topik ini dengan menggunakan
beberapa pendekatan, di antaranya:8
Pendekatan Kritik Sumber9
Robert R. Wilson menggunakan pendekatan kritik sumber dalam
membahas topik ini. Wilson menyelidiki topik ini dengan menyelusuri
sumber Y (Yahwist), E (Elohist) dan P (Priestly) untuk menemukan
kekhasan pembahasan topik ini dalam sumber ini masing-masing. Sumber
Yahwist (Kel. 7:14, 8:15, 32; 9:7, 34) menggunakan kata . Allah tidak
pernah dijadikan sebagai subyek atau pelaku, tetapi subyeknya adalah hati
Firaun atau Firaun itu sendiri. 10Sumber Elohist (Kel. 4:21; 10:20, 27)
menggunakan kata yang menyebutkan Allah sebagai subyek yang
mengeraskan hati Firaun dan hanya dalam Kel. 9:35 kata ini digunakan
untuk mengungkapkan kondisi hati Firaun.11 Sedangkan sumber Priestly
(Kel. 9:12; 11:10; 14:4, 8, 17) menggunakan kata di mana Allah
merupakan subyek atau pelaku yang mengeraskan hati Firaun.dan dalam
12
Kel. 7:13, 22: 8:15 di mana menggambarkan kekerasan hati Firaun.
19
20
keputusan Allah.
21
34
kekuasaan Allah, Sang Raja Besar itu. Tulah-tulah tak hanya menyerang
35
sistem kepercayaan Mesir, tetapi juga status Firaun. Cox juga memberikan
uraiannya tentang kekerasan hati dalam konteks budaya Mesir yang
menunjukkan dalam hati yang ringan akan menikmati hidup kekal,
sedangkan hati yang berat menimbulkan masalah besar bagi yang
memilikinya.36
Dalam bagian kesimpulan dapat ditemukan bahwa secara umum Cox
berupaya menyimbangkan kekerasan hati Firaun itu sebagai tindakan yang
37
bersifat alami dan supraalami. Bersifat alami oleh karena tindakan itu
merupakan keputusan pribadi Firaun dan bersifat supraalami oleh karena
hal itu juga merupakan karya Allah atas diri Firaun. Oleh karena itu Allah
tidak dapat dituduh bahwa Ia tak adil, oleh karena kekerasan hati Firaun itu
juga merupakan keputusan pribadi Firaun. Cox mengungkapkan bahwa jika
Allah tidak mengeraskan hati Firaun, Firaun secara hakiki tidak akan
berbeda dan perbedaannya hanyalah bahwa mungkin ia hanya akan
38
mengalami tulah yang lebih sedikit.
Menurut penulis bahwa pendekatan konteks sastra dan budaya yang
dicetuskan oleh Cox, tidaklah memberikan solusi yang berarti atas
perdebatan tentang kekerasan hati Firaun. Tulisan Cox hanya memberikan
informasi tambahan dalam melihat perdebatan ini dalam persektif yang lain,
tapi belum memberikan solusi yang baik.
Pendekatan Kritik Narasi
Dalam membahas topik ini David M. Gunn menggunakan pendekatan
kritik narasi yang memberikan perhatian pada plot dan karakter Keluaran 114.39 Ia mengungkapkan Plot implies action, action by characters and
actions impinging on characters. Questions about the cause or motivation
of the hardening will therefore rapidly develop into questions about the
40
characters involved. Gunn mengungkapkan bahwa Firaun merupakan
41
karakter pemimpin yang bengis. Hal itu dapat dilihat dalam kisah
penolakan Firaun terhadap permintaan Musa untuk mengizinkan Israel
mengadakan perayaan bagi Yahweh (Kel. 5:1-9).42 Karakter Firaun itu
semakin jelas dalam kisah tulah-tulah yang juga mengungkapkan
bagaimana ia mengeraskan hatinya dengan tidak memberikan respons
yang tepat terhadap tulah-tulah itu dan juga tidak membebaskan Israel.
Ketika membahas antara karakter Allah dan Firaun dalam kaitan dengan
kekerasan hati Firaun, Gunn mengungkapkan:
To summarize so far, we can that while in the early stages of the story
we are invited to see Pharaoh as his own master, hardening his own
heart (perhaps the legacy of the J story), as the narrative develops it
becomes crystal clear that God is ultimately the only agent of hearthardening who matters (the Plegacy). Pharaoh's heart was hardened
22
A
B
l
it
a
,q
Z
Ex
;a
] ( Piel, YQTL)
Kel. 7:3 Aku akan mengeraskan hati Firaun
h
[
o+r
>P
;b
l
et
a
,h
v
,q
.a
;y
n
Ia
]w
: ( Hiphil, YQTL)
Kel. 9:12 TUHAN mengeraskan hati Firaun
h
[
or
>P
;b
l
et
a
,h
w
"h
y
>q
Z
Ex
;y
>w
: ( Piel, WYQTL)
Kel. 10:1 Aku telah membuat hatinya dan hati para pegawainya berkeras
w
y
d
'b
'[
]b
l
et
a
,w
>A
B
l
it
a
,y
T
id
>B
;k
.h
iy
n
Ia
] ( Hipihil, QTL)
Kel. 10:20 TUHAN mengeraskan hati Firaun
h
[
o+r
>P
;b
l
et
a
,h
w
"h
y
>q
Z
Ex
;y
>w
: ( Piel, WYQTL)
Kel. 10:27 TUHAN mengeraskan hati Firaun
h
[
o+r
>P
;b
l
et
a
,h
w
"h
y
>q
Z
Ex
;y
>w
: ( Piel, WYQTL)
23
h
[
or
>P
;b
l
et
a
,h
w
"h
y
>q
Z
Ex
;y
>w
: ( Piel, WYQTL)
Kel. 14:4 Aku akan mengeraskan hati Firaun
h
[
or
>P
;b
l
et
a
,y
T
iq
.Z
:x
iw
> ( Piel, WQTL)
Kel. 14:8 TUHAN mengeraskan hati Firaun
h
[
or
>P
;b
l
et
a
,h
A
'h
y
>q
Z
Ex
;y
>w
: ( Piel, WYQTL)
Kel. 14:17 Aku akan mengeraskan hati orang Mesir
~
y
Ir
;c
.m
ib
l
et
a
,q
Z
Ex
;m
.y
n
In
>h
iy
n
Ia
]w
: ( Piel, partisip)
Teks yang mengungkapkan Firaun sebagai subyek
Kel. 8:15 Ia tetap berkeras hati (TB)
8:11
A
B
l
it
a
,d
B
ek
.h
;w
> ( Hiphil, infinitive
absolute)
8:28
A
B
l
it
a
,h
[
or
>P
;d
B
ek
.Y
:w
: ( Hiphil, WYQTL)
`
w
y
d
'(b
'[
]w
:a
W
h
A
B
l
id
B
ek
.Y
:w
:
W
n
x
eL
.v
;l
. h
[
or
>p
;h
v
'q
.h
iy
K
i( y
h
iy
>w
:
h
[
or
>P
;b
l
e q
z
:x
/Y
<w
:
( Qal, WYQTL)
Kel. 7:14 Firaun berkeras hati /Hati Firaun berkeras
( Predicative Adjective)
Kel. 7:22 Hati Firaun berkeras
( Qal, WYQTL)
Kel. 8:19 Hati Firaun berkeras
8:15
( Qal, WYQTL)
Kel. 9:7 Firaun tetap berkeras hati2
( Qal, WYQTL)
Kel. 9:35 Berkeraslah hati Firaun
h
[
o+r
>P
;b
l
e d
b
eK
'
h
[
or
>P
;b
l
eq
z
:x
/Y
<w
:
h
[
or
>P
;b
l
eq
z
:x
/Y
<w
:
h
[
or
>P
;b
l
e d
B
;k
.Y
Iw
:
h
[
or
>P
;b
l
e q
z
:x
/Y
<w
:) ( Qal, WYQTL)
Dari pengamatan sederhana ketiga bagian ini seseorang dapat
menyimpulkan bahwa Allah dan Firaun mempunyai peran dalam kekerasan
hati ini, karena keduanya menjadi subyek. Allah mempunyai peran dalam
kekerasan hati Firaun, oleh karena ungkapan bahwa Ia mengeraskan hati
24
A
B
l
it
a
,q
Z
Ex
;a
])
). Kata kerja (
( muncul dalam bentuk Piel, YQTL. Bentuk Piel kata kerja
ini masuk dalam kategori factitive yang menunjuk pada penyebab yang
menghasilkan suatu keadaan.46 Bentuk YQTL (Imperfekt) kata kerja ini
menunjuk kepada sesuatu yang sedang atau akan terjadi serta tak
menunjuk secara spesifik awal atau akhir situasi itu.47 Fretheim
mengungkapkan hal ini hanya sebagai promise future action.48. Dalam
Keluaran 7:3 muncul ungkapan Aku akan mengeraskan hati Firaun
h
[
o+r
>P
;b
l
et
a
,h
v
,q
.a
;y
n
Ia
]w
:
(
).
Kata kerja (
)muncul dalam bentuk
Hiphil, YQTL. Bentuk Hiphil ini dapat dikategorikan dalam factitive yang
49
menunjuk kepada penyebab yang menghasilkan suatu keadaan. Jadi
ayat-ayat ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan membuat
hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia
melakukannya. Ayat ini tak memungkiri adanya peranan Allah dalam
kekerasan hati Firaun, tetapi ayat ini tak menunjukkan bahwa Allah telah
mengeraskan hati Firaun. Allah sedang atau akan menyebabkan hati Firaun
keras, tetapi tentang waktunya belum dinyatakan secara pasti.50
Ungkapan bahwa Allah telah mengeraskan hati Firaun baru
disebutkan dalam Kel.9:12 (
)
. Munculnya
ungkapan ini dalam konteks tulah keenam, berarti Firaun dan orang Mesir
h
[
or
>P
; b
l
et
a
, h
w
"h
y
> q
Z
Ex
;y
>w
:
25
telah mengalami enam tulah dari Allah. Sedangkan ungkapan hati Firaun
telah menjadi keras sudah disebutkan dalam Kel. 7:13 dan ungkapan
Firaun mengeraskan hatinya disebutkan dalam Kel. 8:15. Oleh karena itu
dapat diasumsikan bahwa ketika hati Firaun berkembang menjadi keras
atau Firaun mulai mengeraskan hatinya, maka Allah mulai bertindak untuk
51
mengeraskan hati Firaun.
Dalam kaitan dengan hal ini, bagian lain yang penting diperhatikan
adalah Kel..3:19 yang mengungkapkan: tetapi Aku tahu bahwa raja Mesir
tidak akan membiarkan kamu pergi, kecuali dipaksa oleh tangan yang
52
kuat.. (
)
Bagian ini mengungkapkan bahwa dalam
kemahatahuan-Nya Allah telah tahu bahwa raja Mesir atau Firaun akan
mengeraskan hatinya dengan tidak membiarkan Israel pergi dari Mesir.
Firaun hanya akan melepaskan Israel setelah melewati penghukuman yang
keras. Ayat ini penting oleh karena menyatakan bahwa Allah telah
mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Perihal bahwa Allah
juga akan mengeraskan hati Firaun tidak lagi menjadi masalah, oleh karena
Firaun sendiri yang memulai mengeraskan hatinya. Tindakan Allah
mengeraskan hati Firaun akan menambah kekerasan hati Firaun.
y
K
i y
T
i[
.d
;y
" y
n
Ia
]w
KESIMPULAN
1.
Munculnya ungkapan Allah mengeraskan Firaun memang lebih
awal dari pada ungkapan Firaun mengeraskan hatinya ataupun hati Firaun
menjadi keras, tetapi hal ini tak dapat dijadikan dasar untuk menerima
konsep predetermination Allah atas kekerasan hati Firaun. Oleh karena
ungkapan Allah mengeraskan Firaun atau lebih tepatnya Allah akan
mengeraskan hati Firaun itu muncul dalam bentuk YQTL (imperfect).
Bentuk ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan membuat
hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia
melakukannya. Ayat ini tak memungkiri adanya peranan Allah dalam
kekerasan hati Firaun, tetapi ayat ini tak menunjukkan bahwa Allah telah
mengeraskan hati Firaun. Dapat saja dipahami bahwa tindakan Allah
mengeraskan hati Firaun seiring dengan tindakan Firaun mengeraskan
hatinya. Oleh karena itu tidaklah dapat diterima anggapan bahwa dalam hal
ini Allah berlaku membingungkan, oleh karena Ia yang menjadi perancang
kekerasan hati Firaun dan kemudian Ia menghukum Firaun atas kekerasan
hati ini. Pendapat yang mengungkapkan bahwa tindakan Allah
mengeraskan hati Firaun seiring dengan tindakan Firaun mengeraskan
hatinya, membuat Firaun tetap harus bertanggung jawab dari kekerasan
hatinya.
2.
Kel. 3:19 merupakan ayat penting dalam kaitan tentang topik
kekerasan hati ini. Ayat ini menyatakan bahwa Allah dalam kemahatahuanNya mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Ketika topik ini
26
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
Walter C. Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama (Malang: SAAT, 1998), h. 71-73.
Scott. M. Langston, Exodus Through the Centuries (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), pp. 85-87.
Dorian G. Coover Cox, The Hardening of Pharaohs Heart in Its Literary and Cultural Contexts,
Bibliotheca Sacra 163(July-September 2006), 292.
Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama, h. 71.
Langston mengutip pandangan Origenes yang mengungkapkan bahwa Allah mengeraskan hati
orang yang telah berkeras hati, sehingga kekerasan hati itu merupakan sesuatu yang jahat timbul
dari dalam orang itu dan bukan merupakan tindakan Allah (predetermination). Exodus Through the
Centuries, p. 86.
Brevard S. Childs, The Book of Exodus (Louisville: The Westminster Press, 1976), p. 170.
Ibid., p. 174
Para ahli yang disebutkan dalam bagian ini sebatas kemampuan penulis dalam memperoleh
materi. Ada beberapa artikel atau tulisan lain yang membahas topic ini, tetapi penulis tak mampu
memperoleh materi tersebut.
Robert R. Wilson, The Hardening of Pharaohs Heart, The Catholic Biblical Quarterly, 41, 1979,
18-36.
Ibid., 22.
Ibid., 23.
Ibid.
Ibid.
Ibid., 23-24.
Ibid., 25.
Ibid., 27.
Ibid., 29.
Ibid.
Ibid., 30.
G.K. Beale, An Exegetical and Theological Consideration of The Hardening of Pharaohs Heart in
Exodus 4-14 and Romas 9, Trinity Journal 5 NS (1984), 129-154.
Ibid.,133-8, 148-9
Ibid. 149.
Ibid., 50.
Dorian G. Coover Cox, The Hardening of Pharaohs Heart in Its Literary and Cultural Contexts,
Bibliotheca Sacra 163 (July-September 2006), 292-311.
Ibid., 294.
Ibid., 294-301.
Ibid., 294.
Ibid., 294-6.
Ibid., 296-7.
Ibid., 298.
Ibid., 298-300.
Ibid., 300-1.
Ibid., 301-2.
Ibid., 302.
Ibid., 303.
Ibid., 305-6.
27
30
31
32
33
Romans 3:20: no one will be declared righteous in his sight by works of the
law (our own translation; cf. also Rom. 3:28 and Gal. 2:16; 3:2, 5, 10). Tidak
seperti para Reformator yang memahami frase e;rga no,mou (works of the
law; LAI: melakukan hukum Taurat) secara literal, Dunn19 memahami frase
tersebut sebagai Torahfaitfulness, dimana kesetiaan ini sendiri merupakan
penanda (boundary marker) yang membedakan orang Yahudi dari bangsa
lain. Dengan kesetiaan mereka terhadap Taurat, yang wujudnya antara
lain soal sunat, menjaga sabat, dan hukum tentang makanan bangsa
Yahudi sedang mempertahankan keunikan identitas dan status mereka
sebagai umat pilihan Allah. Pendeknya, bagi Dunn, The Jewish claim Paul
opposes in Romans 3:20 and other such verses is not, then, that a person
can be justified by what he or she does (works), but the typically Jewish
claim that a person is justified by maintenance of covenant status through
20
adherence to Torah.
Nicholas Thomas Wright
Tokoh penting selanjutnya dalam mazhab new perspective ini ialah
Nicholas Thomas Wright atau yang lebih sering disebut N. T. Wright,
seorang pendeta Anglikan, mantan uskup di Durham, yang saat ini
menjabat sebagai profesor Perjanjian Baru di St. Mary's College, University
21
of St. Andrews. Wright merupakan tokoh sentral dalam promosi new
perspective di kalangan Injili. Menurut Wright, orang Yahudi memahami
bahwa pembuangan yang sebenarnya belumlah berakhir, baik pada saat
mereka kembali ke tanah mereka ataupun ketika Bait Allah dibangun
kembali. Alasannya karena janji yang Allah berikan melalui para nabi
tentang panggilan kepada semua bangsa belumlah tergenapi (Misalnya
nubuatan Yessaya; Mzm. 87, dsb). Nubuatan para nabi ini nampaknya
merujuk kepada sesuatu yang lain, yang jauh lebih spketakuler.
Lalu kapankah pembuangan ini berakhir? Paulus, kata Wright,
meyakini bahwa kematian Yesuslah yang mengakhiri pembuangan ini. Bagi
Paulus, kematian Mesias membayar dosa korporat umat perjanjian
sekaligus mengakhiri masa pembuangan yang sebenarnya, sementara
kebangkitan-Nya memungkinkan orang-orang non-Yahudi juga menjadi
bagian komunitas umat pilihan. Jadi, melalui hidup-Nya, Kristus membawa
bangsa Yahudi dan non-Yahudi membentuk sebuah komunitas umat
22
perjanjian yang baru.
Hampir mirip dengan Sanders, Wright beranggapan bahwa Paulus
berupaya menunjukkan kepada bangsa Yahudi bahwa Yesus adalah bukti
kesetiaan Allah terhadap perjanjian-Nya, dan, sebab itu, harus menjadi
fokus hidup mereka. Jadi, ada unsur konflik kristologis di sini. Namun,
seperti halnya Dunn, Wright juga beranggapan bahwa Paulus sedang
menentang ekslusivitas etnis Yahudi: seseorang menjadi keturunan
Abraham bukan karena ras tetapi karena iman kepada Yesus. Melalui
34
35
36
2.
37
38
39
Endnote
1.
Konsensus ini bisa ditemukan dalam beragam karya, mulai dari artikel, studi akademis (mis.
Ernst Kasemann, Deue Neue Testament als Kanon [Gottingen: Vandendhoek, 1970]) hingga
tafsiran monumental berbahasa Jerman, Strack-Billerbeck Kommentar. Bahkan, menarik
untuk dicatat, beberapa sarjana Katolik (mis. Hans Kung, Justification [London: Burns and
Oates, 1964]) juga melihat dengan cara yang sama seperti para Reformator, meskipun
mereka masih mempertahankan pembedaan antara pembenaran oleh iman dan
pembenaran oleh iman saja. Lihat juga agreed statement by the second Anglican-Roman
Catholic International Comission, Salvation and the Church (Anglican Consultative Council
and the Secretariat for Promoting Christian Unity, 1987)
2.
3.
4.
Konsep ini mengajarkan bahwa di akhir jaman perbuatan baik dan jahat seseorang akan
ditimbang, dan mana yang lebih berat akan menentukan kemana orang tersebut akan pergi.
Konsep ini mirip dengan doktrin keselamatan dalam Islam.
5.
6.
Mungkin ini sebabnya Longenecker menuliskan bahwa Sanders sebenarnya lebih tepat
disebut sebagai penggagas New Perspective on Palestinian Judaism tinimbang New
Perspective on Paul. Lihat Richard Longenecker, Introducing Romans: Critical Issues in
Paul's Most Famous Letter (Grand Rapids: Eerdmans, 2011), 324-7.
7.
8.
9.
Selain esai yang sudah disebutkan sebelumnya, lihat juga Paul Among Jews and Gentiles
41
opponent or argument that is set up in order to be defeated easily ([Oxford: OUP, 2011], 1473)
13. Paul and the Law (Tubingen: Mohr, 1983).
14. J. G. Gager, The Origins of Anti-Semitism: Attitudes toward Judaism in Pagan and Christian
Antiquity (New York: OUP, 1983); L. Gaston, Paul and the Torah (Vancouver: University of
British Columbia, 1987).
15. D. A. Carson dan Douglas Moo menulis, What is attractive about Dunn's proposal is that it
offers a comprehensive interpretation of Paul that fits neatly with the covenantal nomism that
so many scholars are now persuaded was the actual Judaism with which Paul wrestled. Lihat
An Introduction to the New Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2005), 377.
16. New Perspective on Paul, Bulletin of the John Rylands University Library 65 (1983): 95-122;
dicetak ulang dalam Jesus, Paul and the Law: Studies in Mark and Galatians (Louisville:
Westminster John Knox, 1990), 183-214.
17. Tempat terbaik untuk memelajari argumen Dunn ialah karyanya, The Theology of Paul the
Apostle (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), khususnya 334-89.
18. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 377.
19. Lihat Theology of Paul, 354-9.
20. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 378.
21. Argumen Wright terutama bisa ditemukan dalam karyanya What Saint Paul Really Said: Was
Paul of Tarsus the Real Founder of Christianity? (Grand Rapids: Eerdmans, 1997) dan
Justification: God's Plan and Paul's Vision (Downers Grove: IVP, 2009). Untuk versi
singkatnya bisa dilihat di http://ntwrightpage.com/Wright_New_Perspectives.htm. Wright
mempertanyakan pengaitan Sanders, Dunn dan dirinya sebagai tokoh utama new
perspective. Ia menambahkan juga Richard Hays, Douglas Campbell, Terry Donaldson dan
Bruce Longenecker (Wright, Justification, 28).
22. Untuk kritik terhadap konsep pembuangan Wright, lihat Steven M. Bryan, Jesus and Israel
Traditions of Judgement and Restoration (Unpublished dissertation; submitted to the
University of Cambridge, 19990, 9-12; dikutip dalam Carson, Summaries and Conclusions,
Justification and Variegated Nomism, 546 n. 158. Lihat juga Carey C. Newman (ed), Jesus and
the Restoration of Israel: A Critical Assesment of N.T. Wright's Jesus and the Victory of God
(Downers Grove: IVP, 1999).
23. Wright bahkan menganggap bahwa doktrin imputasi ialah kategori yang salah (Wright, Saint
Paul, 98).
24. Detil konsep pembenaran Wright tidak akan dibahas di sini, namun beberapa karya telah
dibuat untuk meresponi pemikiran Wright ini, misalnya Guy Prentiss Waters, Justification and
the New Perspective on Paul: A Review and Response (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing,
2004), dan yang cukup menarik ialah karya John Piper, The Future of Justification: A
Response to N. T. Wright (Wheaton: Good News/Crossway, 2007). Buku Wright yang disebut
sebelumnya, yang berjudul Justification and Paul's Vision merupakan respon Wright terhadap
karya Piper ini.
25. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 378.
26. Carson menulis, This new perspective is now so strong, especially in the world of English-
42
43
5657, 7181; Lauri Thurn, Derhetorizing Paul: A Dynamic Perspective on Pauline Theology
and the Law (WUNT 124; Tbingen: Mohr-Siebeck, 2000), 14648.
41. Bnd. juga disertasi Mark A. Elliot yang dibukukan, The Survivors of Israel: A Reconsideration
of the Theology of Pre-Christian Judaism (Grand Rapids: Eerdmans, 2000). Ada beberapa hal
yang ia bahas salah satunya ia mengatakan bahwa pandangan nasionalistik tidak secara
akurat merefleksikan beberapa kelompok Yahudi pra-Kristen. Ia mengatakan bahwa ada
beberapa pemilihan yang khusus (special election) yang nampak jauh sebelum periode
Perjanjian Baru. Dengan demikian klaim Sanders soal get in atas dasar kebangsaan juga
perlu dikaji lagi.
42. Alexander, Torah and Salvation in Tannaitic Literature, Justification and Variegated Nomism
1, 261301.
43. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 383.
44. Ibid. Bnd Moo, Romans, 215-6.
45. Seyoon Kim, Paul and the New Perspective: Second Thoughts on the Origin of Paul's Gospel
(Grand Rapids: Eerdmans, 2002), 8384.
46. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 385.
47. Lihat Mark A. Seifrid, Righteousness Language in the Hebrew Scriptures and Early Judaism,
Justification and Variegated Nomism 1, 41542.
PLURALISME OIKUMENIS
DAN IMPLIKASI PELAYANAN PASTORAL
Marthen Nainupu
ABSTRAKSI
Hadirnya milenium ketiga dengan kecanggihan teknologinya, sudah
menyatukan berbagai belahan bumi yang sebelumnya terasa sangat
berjauhan, kini sudah sangat dekat bahkan telah menjadi sebuah kampung
kecil. Seiring dengan hal itu telah lahir pula suatu kesadaran baru akan
pluralisme, terutama pluralisme agama-agama dalam masyarakat
postmodern ini dan secara lebih khusus lagi pluralisme oikumenis.
Kehadiran pluralisme
mendorong untuk melakukan pendekatanpendekatan baru terhadap pelayanan pastoral, tetapi sekaligus melahirkan
sikap pro dan kontra di tengah masyarakat gereja. Artikel ini mencoba untuk
menelusuri akar-akar pluralisme serta beberapa problem yang ditimbulkan
olehnya. Fakta pluralitas di tengah kalangan masyarakat gereja menuntut
suatu sikap bijak dalam merespon pluralisme oikumenis , guna
membangun dan mengembangkan suatu semangat kerja sama di antara
para pelayan pastoral bagi keluasan kerajaan Allah.
Kata kunci: Pluralisme, Ekskulivisme, Inklusivisme, Pluralisme oikumenis,
Pelayanan pastoral yang berpusat pada Alkitab dan tradisi pelayanan
pastoral.
PENGANTAR
Sadar atau tidak, saat ini kita (gereja) hidup dan berkarya di tengah
semangat pemikiran pluralisme. Jika dibandingkan dengan beberapa
tahun yang lalu, hampir semua pemikiran besar saat itu telah di kuasai
oleh pemikiran tunggal dari agama, khususnya agama Kristen. Selama
milenium pertama dan kedua dimana pemikiran tunggal dikuasai oleh
pemikiran kristen. Sejarah telah mencatat bahwa pada masa milenium
pertama maupun kedua telah terjadi suatu masa yang sadis, banyak
kematian yang terjadi demi mempertahankan suatu pemikiran tunggal,
1
yang oleh Sumartana disebut Theological killing . Akan tetapi dengan
datangnya milenium ketiga ini, semangat pemikiran pluralis, semakin
bergema dimana-mana dan dapat dirasakan bahwa
kebenarankebenaran tunggal dalam agama Kristen sudah mulai kehilangan kekuatan
dan pengaruhnya. Semangat pluralisme ini mula-mula disadari dan
digalakkan oleh para pemikir kristen sendiri seperti Hans Kung, John Hick
dan Paul F. Knitter. Kini pengaruh semangat pemikiran pluralism sudah
merambah ke mana-mana.
45
46
47
segala filsafat. Selama era ini pemikiran pluralis kembali bergema dan
menjadi pokok diskusi para filosof, terutama para pemikir dari aliran
empirisme. Pemikiran-pemikiran dengan aliran pluralism terus bergulir
sejak era modern dan boleh dikatakan telah mencapai puncaknya di era
postmodern ini.
Semangat postmodern dan demokratisasi telah membuka peluang
yang sangat besar bagi hadirnya pluralism di tengah-tengah kehidupan
umat manusia. Memang harus diakui bahwa pluralism itu merupakan
bagian integral dari kehidupan umat manusia, akan tetapi pada masa
sebelum era kita hari ini, gerak pluralism itu masih sangat lambat dan hanya
dapat hidup dan bertahan secara local. Namun dengan datangnya era
paska modern ini, maka kekuatan pluralism semakin tampil mengemuka di
mana-mana. Hampir dapat dikatakan bahwa sudah tidak ada lagi batasbatas antara berbagai bagian dari kehidupan ini. Semangat pluralism telah
menghapus semua pemikiran tunggal dan menggantikannya dengan
pemikiran pluralism. Dalam bahasa Nietzsche, kebenaran adalah selalu
bersifat perspektifal. Artinya kebenaran selalu berada dalam perspektifperspektif tertentu. Di sini terlihat dengan jelas semangat pluralism yang
berujung kepada semangat relativisme, kekosongan dan kehampaan.
Ekses-ekses seperti inilah yang memunculkan berbagai reaksi terhadap
pemikiran-pemikiran pluralism. Kalau kita mau melacak lebih jauh lagi soal
pro dan kontra tentang pluralisme, kita bisa membuat buka dengan beratusratus halaman, sebab yang mendukung maupun yang menolak sangat
banyak, baik teolog, filosof, maupun awam. Pluralisme telah memecah
keseragaman berpikir dalam kelompok, misalnya para teolog dari gerejagereja Timur lebih senang dengan pluralisme, sedangkan teolog dari
5
gereja-gereja barat lebih cenderung menolak pimikiran pluralisme .
Memang memperdebatkan soal apa itu pluralisme, tidak akan pernah
habis-habisnya. Melalui tulisan ini saya mencoba untuk memahami
pluralisme dalam kaitannya dengan pelayanan pastoral. Dengan demikian,
percakapan ini hanya akan menampilkan sekilas beberapa pemikiran pro
maupun kontra. Tetapi yang lebih utama ialah bagaimana para pelayan
pastoral mengembangkan suatu sikap penuh empati untuk memanfaatkan
semangat pluralisme ini bagi keutuhan pelayanan.
APA ITU PLURALISME
Memahami pluralisme
Dari percakapan sebelumnya kita sudah melihat sekilas mengenai
akar-akar pemikiran pluralisme dari pemikiran filsafat, tetapi apakah
48
pluralisme itu? Ada baiknya, sebelum kita pahami bersama apa itu
pluralisme, dijelaskan lebih dahulu istilah pluralitas dan pluralisme yang
kedua istilah itu berasal dari akar kata yang sama. Kedua istilah tersebut
(pluralitas dan pluralism) berasal dari akar kata yang sama yaitu kata
6
pluralis dari bahasa Latin atau kata plural dari bahasa Inggris.
Diharapkan dengan adanya distingsi antara pluralitas dan pluralisme akan
terlihat semakin jelas apa itu pluralisme. Sebab sering kali kedua istilah ini
dipakai secara tumpang tindih dengan pengertian dan makna yang sama
saja. Di samping itu perjelasan tersebut dimaksudkan agar kita memiliki
pemahaman yang sama mengenai kedua istilah tersebut dan secara
khusus kata pluralisme yang saya gunakan dalam paper ini.
Pluralitas diterjemahkah dari kata plurality yang termaknai sebagai
keberagaman, kemajemukkan, kejamakkan. Kata pluralitas itu hampir
sama maknanya dengan kata kebhinekaan. Kebhinekaan atau
keberagaman seperti itu, memang adalah suatu realitas universal yang kita
dapat temui di mana-mana di seluruh dunia. Di Indonesia saja, kejamakkan
sebagai realitas sosial adalah merupakan suatu kenyataan, misalnya
kemajemukan suku, bahasa, budaya, adat istiadat, agama. Jadi pluralitas
adalah suatu deskripsi objektif atas atau terhadap realitas manusia dan
alam yang terdiri dari banyak hal yang beragam. Jadi kalau dalam
percakapan sehari-hari dan kita gunakan kata pluralisme agama ini salah
kaprah. Karena yang dimaksud dengan pluralisme agama dalam
percakapan tersebut adalah pluralitas agama yaitu bahwa memang di
Indonesia terdapat lima atau enam agama. Jadi sekali lagi, istilah pluralitas
lebih menunjuk kepada jumlah atau banyaknya agama, bahasa, budaya
dari pada perbedaan yang satu dengan yang lainnya.
Pluralisme sering diartikan sebagai sebuah paham (isme) suatu
perspektif ideologis filosofis dalam memahami realitas. Pluralisme bukan
sekedar soal kepelbagaian, bukan hanya soal jumlah, banyak atau sedikit,
majemuk atau tunggal, melainkan ia merupakan suatu paham (isme.)
Pluralism sebagai paham, mencoba untuk merangkul realitas pluralis
dalam suatu kesetaraan. Terhadap pluralisme agama atau keselamatan
yang disediakan agama, pluralisme berkeyakinan bahwa ada banyak jalan
menuju ke keselamatan. Tekanannya ada pada Allah sebagai pusat, atau
realitas tertinggi dan realitas tersebut dapat dipahami melalui berbagai
7
persepsi yang berhubungan dengan kebenaran. Upaya-upaya semacam
ini dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan berbagai pergesekan
dan perbedaan yang sering kali terjadi dan memicu berbagai konflik sosial
dalam masyarakat. Oleh karena itu paham pluralism mencoba untuk
mencari solusi terhadap berbagai konflik dengan meniadakan klaim-klaim
kebenaran. Pluralisme memberi tekanan pada kualitas keberagaman
sebagai realitas. Dengan paham pluralism, maka setiap keunikkan yang
terdapat pada suatu pandangan atau agama, direlatifkan makna dan
kebenarannya. Paham pluralis mencoba untuk menghapus kebenaran-
49
50
51
pertama dari paradigma eksklusif adalah sikap menarik diri. Dari segi
sosiologis, apabila dalam suatu komunitas dimana penganut agama
tertentu merasa dirinya lebih kecil dari segi jumlah dan pengaruh, maka ia
akan lebih cenderung menarik diri dari realitas sosial yang majemuk dan
membentuk komunitas eksklusif, tertutup dalam pergaulan. Dalam keadaan
tertentu, mereka cenderung menjauhkan diri dari pengaruh mayoritas ke
14
daerah yang terpencil
Sikap kedua dari paradigma eksklusif ialah sikap menyangkal
kehadiran agama lain dengan melakukan tindakan depresif. Lagi-lagi dari
segi sosiologis, apabila dalam suatu wilayah tertentu dan terdapat suatu
golongan agama tertentu yang merasa lebih besar dalam jumlah maupun
pengaruh maka ia akan melakukan protes-protes terbuka terhadap
kelompok agama lainnya yang menurut golongan tersebut agama
merekalah yang benar dan agama lainnya adalah salah bahkan sesat.
Kelompok mayorits menciptakan suatu mitos bahwa merekalah yang
dipanggil untuk berkuasa dan menentukan jalannya masyarakat. Semua
minoritas harus ditundukkan kepada keinginan mayoritas15. Oleh karena itu
agama dengan penganut minoritas harus dikuasai dan ditaklukkan, baik
dengan secara paksa maupun dengan cara-cara yang lebih halus.
Kedua Paradigma Inclusive. Paradigma ini bertolak dari suatu
pemikiran bahwa semua agama dengan segala ajarannya, mampu
menyediakan jalan keselamatan yang dapat menyelamatkan umatnya
sejauh mereka (umat) hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan.
Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktivitas
Allah dalam tradisi agama-agama lain. Maka di dalam perjumpaan antar
umat beragama yang bebeda-beda, hampir kurang terjadi konflik sosial,
karena masing-masing mengakui dan menghargai perbedaan agama.
Dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat,
pandangan ini akan termanifestasi dalam beberapa sikap. Sikap pertama
dari paradigma inklusif ialah sikap akomodatif. Sikap akomodatif ini lebih
mementingkan keselamatan di dalam tiap-tiap agama. Oleh karena itu
kebersamaan dan kerukunan menjadi pusat perhatian mereka dan tidak
mempersoalkan ajaran-ajaran agama dimana terdapat perbedaanperbedaan. Agama, dengan segala ajarannya itu urusan interen agama
masing-masing orang atau soal agama itu adalah urusan hati tiap orang
dengan Tuhan. maka biarlah urusan masing-masing orang dengan Tuhan
dan biarlah Tuhan yang tahu. Terkadang sikap ini jatuh kepada sinkritisme.
Sikap kedua dari paradiga inklusif ialah inklusif kritis. Model ini sadar
akan perbedaan ajaran agama masing-masing. Oleh karena itu masingmasing umat penganut agama tertentu, berusaha untuk berpegang teguh
pada ajaran agamanya. Ciri pokok dari semangat inklusif kritis ialah: Hadir
di tengah masyarakat pluralis, melihat, menimbang, memutuskan dan
bertindak. Pandangan inklusif kritis bisa juga disebut sebagai inklusif
52
53
54
55
56
57
saya, adalah suatu bentuk sikritisme baru, karena setiap disiplin ilmu, ia
mempunyai istilah-istilah yang khas dengan makna yang khas pula dan
tidak bisa disamakan begitu saja.
Ketercabutan dari akar tradisi pastoral gereja. Dalam pelayanan
pastoral, referensi yang dipakai adalah referensi ilmu-ilmu social seperti
psikologi, sosiologi atau ilmu kedokteran, dll. meskipun para pelayan
pastoral itu tidak memiliki pengetahuan dasar yang memadai untuk bidang
yang direfrensi tersebut. Pola-pola tradisi dari pastoral telah ditinggalkan.
Pola-pola tradisi yang saya maksud ialah Alkitab, sejarah pelayanan
pastoral dari gereja di masa lampau, teologi pastoral dan sejenisnya.
Tradisi tersebut sudah ditinggalkan oleh para pelayan pastoral hari ini.
Meninggalkan Alkitab. Hal tersebut dapat kita saksikan di dalam
berbagai khotbah dewasa ini. Dalam sebuah khotbah bukan lagi pesan
Alkitab yang mau disampaikan tetapi para pelayan pastoral
mengembangkan cerita-cerita pengalaman dari berbagai macam suku dan
budaya maupun pengalaman dirinya sendiri. Pembiasaan seperti ini sadar
atau tidak sadar akan segera membentuk suatu persepsi baru yaitu bahwa
cerita-cerita besar dari berbagai suku bangsa tersebut, sama nilainya
dengan cerita-cerita besar dalam Alkitab. Jika hal ini yang terjadi, maka
gereja telah menjadi agen untuk paham pluralism, yaitu menghapus
metanarasi dan menggantikannya dengan cerita-cerita rakyat dari
berbagai budaya dan agama. Tanpa disadari bahwa dengan cara tersebut
para pelayan pastoral telah menciptakan Alkitab baru yang penuh dengan
kisah-kisah pengalaman dari masing-masing individu.
Sikap ekstrim lainnya ialah bahaya dogmatisme. Berseberangan
dengan kelompok akomodatif ialah kelompok yang mencoba menutup diri
dengan nama dogma. Bagi kelompok ini bila berhadapan dengan paham
pluralisme, mereka segera menutup diri, membuat kepompong baja,
seraya memperkuat sikap mengagung-agungkan serta memutlakkan apa
yang dipunyai dan merelatifkan apa yang tidak dipunyai. Hal tersebut
dapat dipahami oleh karena keyakinan agama selalu bersifat dogmatis
yang tidak pernah memberi tempat pada keraguan dan pertanyaan.
IMPLIKASI PASTORAL
Di tengah silang pendapat dan pandangan dari para teolog di sanasini mengenai pluralisme, para petugas pastoral sebaiknya tidak usah
terjebak dalam perdebatan yang melelahkan itu. Para pelayan pastoral
harus tetap setia pada komitmentnya untuk memelihara jemaat Tuhan (2
Korintus 11 : 28) Kadang para pelayan pastoral tergoda untuk melakukan
tindakan konfrontasi dan mengeluarkan anggota gereja yang sangat
mendukung semangat pluralism. Sikap ini tidak perlu diambil, sebab
mereka yang senang dengan paham pluralisme itu bukanlah musuh kita (2
58
59
60
61
62
Hadiwijono, Harun.
Kanisius, 1980.
63
EndNote
1.
Th. Sumartana, Theologia Religionum dalam Tim Litbang PGI, Meretas Jalan Teologi AgamaAgama di Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999) h. 26.
2.
Andrew D. Claeke dan Bruce W. Winter, Satu Allah Satu Tuhan: Tinauan Alkitabiah Tentang
Pluralisme Agama, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002) h. 15 - 19
64
3.
4.
Soegeng Hardiyanto, (ed) Agama dalam Dialog ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999) h. 309
5.
6.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1967) h. 853. Lihat juga K.
Prent C. M. Kamus Latin Indonesia ( Yogyakarta: Kanisius, 1969) h. 650.
7.
E. G. Singgih, Eeuwout Klootwijk dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, No. 47 tahun 1994,
h.123
8.
Sia Hok Gwan, Paul Knitter dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, No. 47 tahun 1994, h. 138
9.
10. S. Wismoady Wahono, Pro Eksistensi ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001) h. 5
11.
Tjaard Hommes & E. Gerrit Singgih, (ed) Teologi dan Praksis Pastoral: Antologi Teologi pastoral,
(Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1992) h. 33
17.
Richard Schacht, Alienasi: Suatu Pengantar Paling Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2005)
h.19
18. . Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1993) h. 221
19. Tom F. Driver, Masalah Seputar Pluralisme dalam & Paul F. Knitter, Mitos Keunikkan Agama
Kristen, 2001) h. 313
20.
Emile Durkheim, Suicide: An Study In Sociology, ( New York: The Free Press, 1967) h. 152 - 160.
Lihat juga
K. J. Veeger,
Masyarakat Dalam cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta: Gramedi Pustaka Utama, 1990) h. 153 154
21. Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002) h. 86
22. Y. Bambang Mulyono, Mengatasi Kenakalan remaja, Pendekatan: Sosiologis, Psikologis, Teologis,
(Yogyakarta: Yayasan Andi, 1986) h. 45
23. Tjaard G. Hommes & E. Gerrit Singgih, (ed) Teologi dan.... h. 163
24. Ibid, h. 163
25. Tjaard Hommes & E. Gerrit Singgih, Teologi dan.... h. 182
26. Gerhardus Vos, Biblical Theology: Old and New Testaments, (Grand Rappids: Eerdmans, 1948)
pp 161 -164. Lihat juga William Durness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang:
Gandum Mas, 1992) h. 125
27.
Rodney J. Hunter (ed) Dictionary of Pasroral Care and Counseling, ( Nashville: Abingdon Press,
1990) h. 387 388
66
antara seorang laki dan seorang wanita adalah sebuah hubungan di antara
dua manusia yang berkedudukan sama di hadapan Penciptanya (Kejadian
1:27). Bahkan di dalam Yesus segala penghalang yang bertujuan membuat
laki-laki berkedudukan lebih tinggi dari wanita telah diruntuhkan (Galatia
3:28).
Walaupun memiliki perbedaan dan persamaan di dalam refleksi ini,
analogi yang terdapat di dalam Alkitab mengenai hubungan Allah dan umatNya dengan pernikahan suami isteri setidaknya menunjukkan satu hal pasti.
Yaitu, pernikahan yang berkenan di hadapan Tuhan adalah pernikahan
yang monogami. Dan ciri utama pernikahan monogami tersebut adalah
kesetiaan.
Dari analogi soal hubungan Allah dan umat-Nya, Alkitab
mendemonstrasikan bahwa Allah adalah sosok suami yang setia baik dalam
keadaan suka dan duka, kaya dan miskin, sehat dan sakit, kesedihan dan
kesukacitaan, kegagalan dan kesuksesan, bahkan dalam maut seperti
dalam hidup. Ketika umat-Nya tidak setia, Allah tetap setia (lihat 2 Timotius
2:13). Meskipun umat-Nya tidak layak untuk menerima kasih-Nya, Allah
tetap mengasihi dan tidak menolak.
Inilah yang menjadi alasan bahwa pernikahan Kristen memiliki sebuah
komitmen dan bertujuan untuk tetap menikah bukan hanya ketika segala
sesuatu berjalan dengan baik, ketika segalanya masih menyenangkan,
ketika semuanya masih saling menghargai dan ketika teman hidupnya
masih setia dan masih layak untuk dikasihi.Bukanlah demikian saja.
Melainkan ketika segala sesuatu berjalan dengan kacau, ketika segalanya
menyesakkan, ketika semuanya tidak saling menghargai dan ketika teman
hidupnya tidak setia dan tidak layak untuk dikasihi, pernikahan Kristen
tetaplah sebuah pernikahan di hadapan Allah sampai maut memisahkan
pasangan yang menikah tersebut.
Berdasarkan sekilas pemahaman teologis pernikahan ini apakah
jawaban terhadap seorang Kristen ketika dia mungkin sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa dia telah salah memilih teman hidupnya. Apakah dia
boleh bercerai ketika dia melihat bahwa teman hidupnya bukanlah seperti
yang dulu lagi? Jawabannya sudah jelas.Sebuah pernikahan Kristen adalah
sebuah pernikahan yang bertujuan tetap menjadi sebuah pernikahan yang
permanen, bukan sebuah pernikahan yang bersifat masa percobaan atau
eksperimen.
Pernikahan Kristen bukanlah pernikahan yang memiliki syarat sejauh
itu menyenangkan kedua belah pihak atau memuaskan kedua belah
pihak.Pernikahan Kristen adalah sebuah pernikahan yang dimeteraikan
oleh kesetiaan, bahkan ketika yang tetap setia itu hanyalah salah satu pihak
dan bukan kedua belah pihak. Maleakhi 2:16 mencatat, Sebab Aku
Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian
67
membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel dan juga Yesus di dalam
Markus 10:9 menyatakan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan oleh manusia.
Artikel ini bertujuan meninjau secara teologis-etis perceraian.Secara
khusus bahwa di dalam Perjanjian Baru ada bagian yang menunjukkan
bahwa perceraian itu diijinkan. Bagaimana kita menyikapi hal demikian?
Apakah ada pertentangan dalam Alkitab? Bukankah dikatakan TUHAN itu
membenci perceraian? Namun mengapa Yesus dan Paulus sepertinya
mengijinkan perceraian?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya akan menganalisa Matius
5:32 (lihat juga Matius 19:9) dan 1 Korintus 7:15. Dari analisa itu saya akan
menunjukkan bahwa TUHAN melarang orang Kristen ketika masih hidup
untuk bercerai apapun alasannya dan kalaupun perceraian tetap terjadi itu
adalah karenadua alasan berikut. Pertama, perceraian bisa terjadi karena
untuk melindungi nyawa pihak yang melakukan perzinahan dari hukuman
mati.Kedua, perceraian bisa terjadi karena yang menceraikan adalah
suami atau isteri bukan Kristen.
Menyikapi ungkapan kecuali karena zinah di dalam Matius 5:32 dan
19:92
Adanya kata kecuali karena zinah seringkali menimbulkan
pemahaman bahwa orang Kristen boleh bercerai sejauh itu dilakukan
dengan alasan salah satu pasangannya telah berbuat zinah.Namun
apakah pemahaman ini adalah sesederhana demikian?Di dalam
eksegesis-eksegesis yang telah dilakukan sampai sekarang ternyata
tidaklah sesederhana seperti itu. D. A Carson dalam tafsirannya melakukan
penelitian dan mendapati ada 7 cara untuk memahami ungkapan kecuali
karena zinah ini.3Di antaranya adalah ada yang menganggap perkecualian
tersebut bukanlah sebuah perkecualian melainkan sebuah penekanan:
bahkan karena zinah. Namun penafsiran demikian harus mengabaikan
dan mengubah makna asli bahasa Yunani (kecuali) yang dipakai.Lalu ada
juga yang menafsirkan bahwa perkecualian itu tidak bertujuan untuk hidup
bercerai antara suami isteri melainkan hanyalah hidup yang terpisah di
antara suami isteri jika salah salah satu pihak berzinah. Tetapi penafsiran
demikian mengabaikan juga makna asli bahasa Yunani (cerai) yang
dipakai baik dalam Matius 5:32 dan ayat sebelumnya, ayat 31. Carson
sendiri memilih untuk menafsirkan bahwa Matius 5:32 benar-benar bicara
soal perceraian dengan alasan yang diberikan oleh Yesus sendiri (kecuali
karena zinah).
Penelitian Carson itu membuktikan bahwa Yesus memberikan
sebuah perkecualian yang mengijinkan adanya perceraian dalam sebuah
pernikahan. Jika seseorang memahami ungkapan kecuali karena zinah
68
Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian
69
hukum pada jaman itu berakibat hukuman mati rajam batu, Yusuf memilih
jalan tidak ribut-ribut yang memang mempunyai hukumnya juga. Hukum
Yahudi itu, yang merupakan perkembangan aturan yang diberikan oleh
Musa dalam Bilangan 5:11-31, adalah perceraian secara empat mata di
hadapan dua saksi.5Inilah yang pada mulanya direncanakan oleh Yusuf
sebelum malaikat menjumpai dia di dalam mimpi karena dengan
melakukan demikian ketaatannya pada hukum dan kemurahan hatinya
menjadi nyata.
Jadi kecuali karena zinah di dalam Matius 5:32 dan 19:9 sangat
mengena dengan konteks jaman Yesus dan juga bagi para pembaca Yahudi
jaman itu yang adalah target Matius dalam menulis kitabnya. Yesus
memang menggenapi hukum Taurat dengan menghilangkan aturan-aturan
perceraian yang tercatat dalam Ulangan 24:1 yang diberikan oleh Musa
karena ketegaran hati, dosa, manusia (Matius 19:8).Dan pengecualian
perceraian karena zinah tidaklah bertentangan dengan usaha Yesus itu. Hal
ini dikarenakan walaupun tanpa diceraikan pun, isteri yang berzinah itu
pasti sudah diceraikan secara hukum, yaitu, dihukum mati rajam batu.
Orang-orang Yahudi menyadari fakta yang demikian sehingga tidaklah
mengherankan Matius menuliskan kecuali karena zinah dalam
kitabnya.Yesus memperlunak hukum yang menyatakan bahwa berzinah
harus diceraikan oleh hukum mati rajam batu menjadi hukum yang
menyatakan bahwa pihak yang berzinah bisa diceraikan tanpa hukuman
mati.6 Sehingga bagi para pendengar Yesus pada jaman itu, yang mereka
tangkap pada ajaran itu, yang juga dikehendaki oleh Matius supaya mereka
pahami, adalah bahwa Yesus sedang tidak memberikan aturan bahwa
seseorang boleh bercerai kalau pasangannya itu berzinah.
Yesus tidak saja menolak aliran Hillel pada jaman-Nya yang
mengijinkan perceraian dengan berbagai alasan melainkan juga
mempertajam aliran Shammai di masa-Nya yang mengajarkan bahwa
perceraian hanya boleh terjadi jika ada salah satu pasangan melakukan
perzinahan. Bagi Yesus seseorang bercerai bukan sekedar karena alasan
bahwa pasangannya telah melakukan perzinahan.Yang Yesus ajarkan
adalah bahwa di dalam pernikahan tidak boleh ada perceraian.Hanya saja
pada jaman Yesus, orang menikah yang melakukan perzinahan harus
diceraikan oleh hukum mati rajam batu.Aturan inilah yang diganti oleh
Yesus karena Dia lebih menghargai kehidupan seorang berdosa supaya
ada kesempatan untuk bertobat daripada kematiannya. Seseorang boleh
tercerai adalah demi menghindari hukuman mati terhadap pasangannya
yang telah berzinah bukan semata-mata karena perzinahannya.
Dengan pemahaman demikian kita bisa menyimpulkan bahwa
perkecualian yang Yesus berikan dalam Matius 5:32 dan 19:9 tidak bisa
diaplikasikan pada jaman dan budaya yang tidak menghukum mati orang
70
menikah yang berzinah. Perkecualian itu berlaku jika masih ada sebuah
negara atau tempat yang mempunyai hukum bahwa orang berzinah harus
dihukum mati. Pada jaman sekarang ini boleh dikatakan jarang sekali, kalau
bukan tidak ada,masih terdapat tempat yang memberlakukan hukum
demikian. Oleh sebab itu memakai Matius 5:32 dan 19:9 semata-mata untuk
mengijinkan perceraian oleh karena perzinahan pada jaman sekarang
adalah tidak tepat karena mengabaikan konteks jaman dimana
perkecualian itu diberikan oleh Yesus.
Menyikapi perceraian oleh orang tidak beriman dalam 1 Korintus 7:15
Bagaimana dengan 1 Korintus 7:15? Bukankah Paulus mengijinkan
perceraian jika itu dikehendaki oleh orang tidak beriman? Apakah Paulus
menentang ajaran bahwa di dalam pernikahan tidak boleh ada perceraian?
Jawabannya adalah tidak. Paulus tetap menaati perintah Tuhan bahwa apa
yang dipersatukan oleh Allah janganlah diceraikan oleh manusia.
Masalahnya adalah jika karena ketegaran hati, yaitu dosa, perceraian itu
terjadi, maka manusialah yang melanggar perintah Allah. Itulah yang Paulus
sebenarnya ungkapan dalam 1 Korintus 7:15. Jika seorang yang tidak
mengenal Tuhan bertegar hati untuk bercerai maka orang yang sudah
mengenal Tuhan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Arti dari tidak terikat dalam 1 Korintus 7:15 adalah bahwa ketika
orang percaya sudah berusaha hidup mengasihi pasangannya yang tidak
percaya, namun kemudian pasangannya itu justru semakin mengeraskan
hati untuk meninggalkan orang percaya itu, maka orang percaya itu tidak
perlu merasa harus berusaha mengubah hati dan hidup pasangannya
yang tidak percaya itu. Paulus mengatakan orang yang menjadi percaya
Tuhan Yesus setelah menikah, maka orang yang menjadi percaya itu jangan
bercerai melainkan justru mengasihi, menjadi teladan dan menyaksikan
Yesus kepada pasangannya yang tidak percaya (1 Korintus 7:12-14).Salah
satu akibat yang mungkin terjadi adalah pasangannya yang tidak percaya
justru menjadi benci kepada orang percaya itu oleh sebab imannya kepada
Yesus sehingga ingin menceraikannya.Agustinus dalam hal ini berpendapat
serupa bahwa Paulus mengijinkan perceraian karena memang kekerasan
hati pasangan yang tidak percaya yang menolak iman Kristen sehingga
kalau orang percaya tetap berusaha mempertahankan pernikahan maka
yang menjadi taruhan adalah imannya(1.14-18).7Pasangannya yang tidak
percaya seakan-akan memperhadapkan kepada orang yang percaya itu
sebuah pilihan, Yesus atau saya (pasangan yang tidak percaya). Kalau
orang percaya itu memilih ikut Yesus, maka pasangannya yang tidak
percaya mengancam akan menceraikan. Jika itu terjadi, orang percaya itu
tidak terikat yaitu tidak perlu memaksakan diri untuk mempertahankan
pernikahannya.Lain soalnya kalau pasangan tidak percaya itu minta
bercerai karena karakter yang tidak baik dan kesaksian yang buruk dari
orang yang percaya itu sendiri.Orang yang percaya itu tetap terikat pada
Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian
71
72
maka di hadapan TUHAN sekali menikah status orang Kristen adalah tetap
menikah sampai orang itu meninggal dunia. Implikasinya adalah bahwa
selain perceraian karena kematian salah satu pasangan, orang Kristen
yang sudah menikah kemudian bercerai tidaklah diperkenankan untuk
menikah lagi selama pasangannya yang terceraikan itu masih hidup.
Agustinus mengingatkan bahwa keadaan seseorang yang bercerai itu
tidak ada bedanya dengan seorang menikah tidak bercerai namun
pasangannya sakit keras bertahun-tahun ataupun mungkin yang
pasangannya menjadi narapidana untuk waktu yang sangat lama:
penguasaan diri dibutuhkan sampai pasangannya itu meninggal dunia
(2.10.9). Janganlah seseorang yang sudah bercerai menjadi sangat kuatir
soal ekonomi (penghidupan sehari-hari) dan psikis (kebersamaan)
sehingga memaksa untuk menikah lagi. Alasan yang sering dipakai untuk
menikah lagi seperti soal ekonomi dan merasa kesepian tidaklah dapat
dibenarkan.Yesus sendiri sudah menjanjikan bahwa dalam kondisi apapun
(menikah, tidak menikah atau menikah kemudian kehilangan pasangannya
karena perceraian), orang tersebut akan dikaruniai untuk menguasai diri
(Matius 19:11).Di sinilah juga gereja sebagai agen Kerajaan Allah
seharusnya menunjukkan perannya dalam memelihara dan mendampingi
para janda (termasuk duda) dan anak-anak yatim piatu (Yakobus 1:27) dan
jangan hanya mencari gampang meninggalkan tanggung jawabnya dengan
membiarkan orang yang bercerai itu menikah lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Carson, D. A. "Matthew", dalam The Expositor's Bible Commentary, Volume
8: Matthew, Mark, Luke, ed. Frank E. Gaebelein. Grand Rapids, MI:
Zondervan Publishing House, 1984.
House, H. Wayne, ed. Divorce and Remarriage: Four Christian Views.
Downers Grove: InterVarsitiy Press, 1990.
Hill, David. A Note on Matthew i. 19, Expository Times 76 (January 1965)
no. 4: 13234.
Tosato, A. Joseph, Being a Just Man (Matt 1:19), Catholic Biblical
Quarterly 41 (1979): 547-51.
Hurley, James B. Man and Woman in Biblical Perspective. Leicester:
InterVarsity Press, 1981.
Agustinus, De adulterinis conjugiis (419-420 AD) dalam Corpus
Scripturom Ecclesiasticorum Latinorum 41, ed. J. Zycha. Vienna:
Tempsky, 1900: 347-410. Terjemahan bahasa Inggris: On
Adulterous Marriages, dalam The Works of Saint Augustine: A
st
Translation for the 21 Century, ed. J. E. Rotelle. New York: New
York City Press, 1999: 144-87.
Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian
73
End Note:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Hosea 2:15 menunjukkan bahwa isteri memanggil suaminya, Suamiku dan bukan Tuanku.
Perjanjian Lama telah menyatakan hubungan suami dan isteri dalam sebuah pernikahan bukanlah
seperti hubungan tuan dan pelayannya melainkan hubungan yang dilandasi oleh saling mengasihi
dan sukacita bersama.
Mengingat artikel ini tidak secara khusus meninjau secara eksegesis, maka saya tidak akan
menjabarkan detail-detail pendekatan linguistik bahasa Yunani. Para pembaca yang berminat
dapat menemukan berbagai pendekatan eksegesis dalam bermacam-macam tafsiran kitab-kitab
yang bersangkutan.Di dalam artikel ini saya menganalisa secara sistematis eksegesis-eksegesis
yang telah dilakukan dan mencoba menarik kesimpulan teologis-etis yang terbaik menurut saya.
D. A. Carson, "Matthew", in The Expositor's Bible Commentary, Volume 8: Matthew, Mark, Luke, ed.
Frank E. Gaebelein (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1984), 414-18.
Bandingkan dengan H. Wayne House, ed. Divorce and Remarriage: Four Christian Views (Downers
Grove: InterVarsitiy Press, 1990).
David Hill, A Note on Matthew i. 19, Expository Times 76 (January 1965) no. 4: 13334. Hal serupa
jugadikemukakan oleh A. Tosato, Joseph, Being a Just Man (Matt 1:19), Catholic Biblical Quarterly
41 (1979): 547-51.
Bandingkan dengan James B. Hurleyyang mengungkapkan hal serupa, In the absence of stoning,
the termination of the relationship might appropriately be effected by divorce (Dengan tidak adanya
perajaman batu, kesudahan hubungan pernikahan dapat secara wajar diakibatkan oleh
perceraian). James B. Hurley,Man and Woman in Biblical Perspective (Leicester: InterVarsity
Press, 1981), 104.
Agustinus, De adulterinis conjugiis (419-420 AD), Corpus Scripturom Ecclesiasticorum Latinorum
41, ed. J. Zycha (Vienna: Tempsky, 1900): 347-410. Terjemahan Inggris, On Adulterous
Marriages, The Works of Saint Augustine: A Translation for the 21st Century, ed. J. E. Rotelle (New
York: New York City Press, 1999): 144-87. Saya akan cenderung menggunakan terjemahan bahasa
Inggrisnya dan dimana dibutuhkan saya akan memperbaiki terjemahannya berdasarkan teks asli
bahasa Latinnya. Dalam artikel ini kutipan-kutipan yang diambil tidak akan direferensikan secara
langsung pada catatan kaki melainkan hanya ditunjukkan di akhir kutipan itu di dalam kurung
penomoran teks bahasa Latinnya.
RESENSI BUKU
: The Story of Israel: A Biblical Theology
: C. Marvin Pate, J. Scott Duvall, J. Daniel Hays, E. Randolph
Richards, W. Dennis Tucker Jr. and Preben Vang
Penerbit : Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press
Tahun
: 2004
Halaman : 320 halaman
Judul
Penulis
76
Resensi Buku
77
78
dijajah oleh bangsa-bangsa lain. Pada era ini timbul kerinduan untuk
memperhatikan hukum Musa lebih serius dengan harapan mereka akan
mengalami kebebasan penuh. Penulis buku ini membahas karya sastra
pada era ini, karena era ini merupakan jembatan antara Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru. (p. 25)
Bab 7 membahas Injil Sinoptis. Titik klimaks karya Allah yang hadir
kembali dalam kehidupan Israel melalui Yesus Kristus. Injil Sinoptis
menguraikan tentang Kerajaan Allah dalam bahasa dan penekanan yang
sejajar dengan kisah Allah dan Israel dalam Perjanjian Lama. Injil Sinoptis
ini menguraikan tentang penggenapan janji-janji Allah dan menjelaskan
bagaimana seharusnya Israel memahami sejarah Allah bersama umat-Nya
dan bangsa-bangsa lainnya. (p. 25)
Bab 8 menguraikan Injil Yohanes yang memberikan kontribusi yang
unik dengan menyejajarkan Yesus dengan hikmat dalam kitab Amsal dan
tradisi hikmat Yudaisme. Hikmat tak berdiam di antara orang Yahudi dalam
wujud Taurat, tetapi Hikmat menjadi daging dan berdiam di antara kita (Yoh.
1:14). Dalam PL Allah berdiam di tabernakel dengan pelbagai tanda, begitu
juga dalam PB Allah berdiam di tengah umat dalam Yesus yang melakukan
pelbagai tanda. (pp. 25-26).
Bab 9 membahas Kisah Para Rasul yang mengungkapkan
pengajaran dan pelayanan Yesus Kristus yang berlanjut pada gereja awal
melalui Roh Kudus. Rencana Allah melalui Israel dalam proses
penggenapannya melalui pencurahan Roh Kudus kepada semua orang
yang percaya.
Bab 10 membahas konsep Paulus yang mengungkapkan peranan
Kristus yang menghapus kutuk dan memberikan berkat dan pemulihan bagi
Israel.
Bab 11 menguraikan bagian surat-surat Umum dan Ibrani yang
mengungkapkan bahwa orang Kristen hidup dalam paradoks. Walaupun
Mesias yang telah dijanjikan itu telah datang di dunia, namun orang percaya
masih hidup dalam penderitaan. Pemulihan masih sementara dan masih
menanti penggenapan yang segera.
Bab 12 membahas kitab Wahyu yang menggunakan bahasa
nubuatan apokaliptis untuk menguraikan rencana Allah dalam
membalikkan kutuk dosa, memulihkan ciptaan-Nya dan hidup di tengahtengah umat-Nya selama-lamanya.
Bab 13 merupakan kesimpulan buku ini yang mengikhtisarkan
kerangka kisah Israel dalam paradigma dosa-pembuangan-pemulihan.
Para penulis buku ini berpendapat bahwa kisah Israel merupakan tema
utama kanon Alkitab yang hadir dalam kesatuan dan kepelbagaiannya.
Resensi Buku
79
TANGGAPAN
Pemilihan kisah Israel sebagai tema utama dalam menulis suatu
Teologia Biblika bukanlah tak bebas dari masalah. Kisah Israel dapat
dikatakan bukanlah tema utama dalam Kejadian 1-11, karena keberadaan
Israel belumlah ada dan nampak. Begitu juga Perjanjian Baru yang lebih
banyak berfokus kepada Gereja. Gereja bukanlah sepenuhnya Israel,
karena dalam konsep Gereja terdapat kesinambungan dan
ketidaksinambungan konsep Israel. Gereja memang sering kali dikaitkan
dengan Israel dalam Perjanjian Lama yang mana hal itu dapat menunjukkan
adanya kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tetapi
Gereja tak dapat diidentikkan dengan Israel dalam Perjanjian Baru. Ada halhal yang baru dalam eksistensi Gereja, yang mana hal itu menunjukkan
adanya ketidaksinambungan antara Israel dalam Perjanjian Lama dan
Gereja dalam Perjanjian Baru. Gereja bukanlah Israel versi Perjanjian Baru,
karena eksistensi Israel tetap ada dan seringkali dalam posisi kontra
dengan Gereja. Kisah Israel memang lebih mudah untuk dijadikan tema
utama Teologia Perjanjian Lama (terlepas Kej. 1-11), karena memang
Perjanjian Lama berfokus pada kisah Allah dan umat-Nya, yaitu Israel.
Sedangkan menjadikannya sebagai tema utama Perjanjian Baru, akan
menimbulkan pelbagai kesulitan.
Memang Yesus Kristus yang merupakan tokoh utama dalam
Perjanjian Baru seringkali dikaitkan dengan bagian-bagian Perjanjian
Lama. Kehidupan dan pengajaran-Nya seringkali diakui sebagai
pengenapan dari bagian-bagian tertentu Perjanjian Lama. Namun
kehadiran Yesus Kristus juga menghadirkan hal-hal yang baru atau bahkan
radikal dengan apa yang ada dalam Perjanjian Lama. Pembahasan tentang
Teologia Biblika yang meliputi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tak
hanya perlu menyadari adanya kesatuan dan kepelbagaian dalam dua
bagian ini, tetapi juga adanya kesinambungan dan ketidaksinambungan di
antara kedua bagian ini. Hal ini menimbulkan kesulitan besar untuk
menemukan suatu tema utama yang sungguh dapat merangkumkan kedua
Perjanjian ini.
Terlepas dari kekurangan dan kelemahan buku ini, kita harus
menghargai buku ini sebagai suatu upaya menghadirkan suatu Teologia
Biblika dalam satu buku yang tak terlalu tebal dan bertele-tele. Buku ini
menolong seseorang untuk memahami garis besar konsep penting yang
mengalir dari Perjanjian Lama sampai kepada Perjanjian Baru.
Sia Kok Sin
RESENSI BUKU
Judul
Penulis
Penerbit
Tahun
Halaman
82
dan Asia yang tidak di bawah kontrol dan kekuasaan gereja-gereja di Eropa
itu ternyata sudah dari awal tidak pernah menjadikan tulisan-tulisan Gnostik
itu sebagai bagian dari kanon Alkitab.
Kedua, Jenkins secara umum berhasil menyeimbangkan antara
kekejaman dan toleransi dalam sejarah Islam. Menurutnya, setiap agama,
bukan hanya Islam, dalam sejarahnya bisa melakukan kekejaman dan
toleransi terhadap agama lainnya (33, 99). Terkait dengan ini, Jenkins juga
menunjukkan bahwa betapa sering justru faktor-faktor non-agama seperti
politik, sumber daya alam, dan perebutan wilayah, memberikan kontribusi
pada peningkatan perlakukan yang kejam terhadap kelompok agamaagama lain. Sayangnya, di dalam buku ini Jenkins kurang meneliti
kontribusi Alquran di dalam sejarah kekerasan Islam (32). Bagaimanakah
kontribusi Alquran di dalam sejarah kekerasan Islam dibandingkan dengan
kontribusi Alkitab di dalam sejarah kekerasan Kekristenan? Jenkins
condong untuk berasumsi bahwa sejarah kekerasan Islam tidaklah inheren
di dalam kitab suci mereka (242).
Ketiga, Jenkins berhasil membuka mata saya berkaitan dengan
pengaruh dan dampak gereja-gereja di Asia dan Afrika atas agama-agama
lain seperti Islam dan Budha. Jenkins menunjukkan bahwa misionaris
Kristen di daratan Cinalah yang menolong misionaris Budha dalam
penterjemahan kitab-kitab suci mereka ketika mereka hendak masuk ke
daratan Cina (15-16). Di samping itu, sesungguhnya banyak orang Kristen
(di bawah kekuasaan Islam) yang menterjemahkan karya-karya filsafat dan
intelektual bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab (19). Studi Jenkins ini
sangat berharga karena bidang sejarah seperti ini kurang dicermati dan
ditelusuri. Dengan kata lain, studi Jenkins ini mengimplikasikan ketika kita
mempelajari asal mula Islam, kita akan dapat menggali kembali
peninggalan-peninggalan gereja-gereja kuno di Asia dan Afrika ini,
demikian juga sebaliknya.
Keempat, jika kita bisa mengabaikan kecondongan Jenkins untuk
menolak konsep Alkitab bahwa umat Allah bisa menderita karena
penghakiman Allah sendiri (252), maka kita akan mendapatkan beberapa
refleksi teologis yang berguna. Di antaranya adalah Jenkins menentang
paham yang tidak Alkitabiah Injil kemakmuran karena Yesus sendiri
mengingatkan bagi orang-orang Kristen untuk memikul salib. Selain itu,
orang-orang Kristen harus menyadari kebodohan mengkaitkan iman
dengan sebuah negara atau tatanan sosial tertentu (262). Ini berimplikasi
studi Jenkins dalam bukunya mengingatkan orang-orang Kristen bahwa
teologi penderitaan tidak boleh diabaikan di dalam kehidupan orang
percaya. Teologi ini harus dikaitkan dengan teologi kebangkitan yang mana
orang-orang Kristen menantikan kedatangan Tuhan kedua kalinya.
Resensi Buku
83
Akhir kata, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan yang ada, buku
ini memberikan sumbangsih yang besar dalam usaha memahami lebih utuh
dan lengkap sejarah Kekristenan di dunia ini. Saya merekomendasikan
buku ini untuk dibaca oleh orang-orang Kristen.
Amos Winarto
RESENSI BUKU
Judul
Penulis
Penerbit
Tahun
Halaman
86
pelayanan kaum muda yang sustainable. Anda akan belajar dari gereja
yang telah menjalankan langkah-langkah secara jelas, tenang dan hatihati, yang membangun pelayanan kaum muda sedikit demi sedikit menjadi
baik. hingga suatu hari bertahun tahun kedepan, investasi yang dilakukan
sedikit demi sedikit akan membuahkan hasil yang berlipat ganda.
Di samping itu penulis kemudian menyediakan perangkat praktis dan
struktur yang dibutuhkan untuk meletakan dasar yang kuat bagi pelayanan
yang bukan hanya diletakkan atas dasar satu orang saja tetapi kepada
sebuah tim yang solid, sebuah sistem yang baik dan kuat pula. Untuk
diperlukan dua hal penting yang dalam bahasa penulis disebutkan sebagai
Arsitektur : yang terdiri dari struktur daya tahan yang lama, dan
Atmosfer: yang terdiri dari kultur, iklim, dan etos yang mampu mendukung
organisasi yang sehat dan kuat hal 68-9). Karena itu menurut penulis buku
ini hal yang sangat penting bagi pelayanan kaum muda dalam gereja
adalah: a) Membuat keputusan yang bijak dalam perekrutan, b) membantu
pelayan kaum muda untuk membangun tim voluntir yang kuat, c)
membantu pelayanan kaum muda menetapkan dan menjaga batasan, d)
membuat peta guna menjelajahi dunia politik gereja.
KELEBIHAN DARI BUKU INI ADALAH:
1. Penulis buku ini menggunakan bahasa agak lain dari bahasa yang
biasa dipakai sebagai judul dari beberapa bab yang sangat menarik
sehingga itu membuat kita penasaran untuk tahu apasih yang ia
maksudkan, hal ini dapat dilihat dari bab 1 diberi judul Memecah kata
Sandi, Bab 4 Lantai tempat menari. Dan Bab 8 Kera, Katak, dan
Balkon. Serta sub-judul yang berbunyi Periksalah gereja anda untuk
melihat jika ada virus superstar (hal 56).
2. Penulis dalam uraiannya bayak menceritakan pengalaman diri dan
gereja gereja yang mngalami pergumulan dalam memamujkan dan
mengembangkan pelayanan orang muda.
3. Penulis memberikan criteria yang sangat spesifik dari orang orang yang
akan terlibat dalam tim pelayanan orang muda di gereja (hal. 56-58).
4. Penulis memberikan langkah-langkah praktis dalam membangun dan
mengembangkan pelayanan dikalangan kaum muda.
Mengingat sangat terbatasnya buku yang ditulis berkaitan dengan
pelayanan kaum muda dalam gereja saat ini, maka buku ini sangatlah
penting dan seharusnya menjadi bacaan wajib terutama bagi
mahasiswa teologi atau para aktifis pelayanan orang muda dalam
gereja, serta bagi semua pelayan Tuhan terkhusus para pelayan kaum
muda digereja saat ini. Karena buku memberikan sebuah paradigma
baru dalam pelayanan kaum muda yang selama ini menghadapi
berbagai kendala kalau tidak lesu dan monoton dan tidak bertahan
lama.
Alfius Areng Mutak