You are on page 1of 93

JURNAL THEOLOGI ALETHEIA

Diterbitkan oleh :
Sekolah Tinggi Theologia Aletheia (STT Aletheia)
Alamat Redaksi :
Sekolah Tinggi Theologia Aletheia
Jl. Argopuro 28-34 (PO. Box 100)
Lawang 65211, Jawa Timur
Telp. 0341-426617 ; Fax : 0341 - 426971
E-mail : admin@ital.ac.id
Rekening Bank :
BCA Cabang Malang No. 011-3099-744
a/n. Sinode GKT ITA Lawang
Staff Redaksi :
Penasehat
Pemimpin
Anggota

Bendahara
Publikasi &
Distributor

: Pdt. Kornelius A. Setiawan, Th.D.


: Pdt. Amos Winarto, Ph.D.
: Pdt. Sia Kok Sin, D.Th.
Pdt. Iskandar Santoso, Th.M.
Pdt. Marthen Nainupu, M.Th.
Pdt. Dr.Agung Gunawan, Th.M.
Pdt. Mariani Febriana, Th.M.
: Pdt. Alfius Areng Mutak, Ed.D.
: Suwandi & Adi Wijaya

Tujuan Penerbitan :

Memajukan aktivitas karya tulis Kristen melalui medium penelitian


dan pemikiran di dalam kerangka umum disiplin teologia
Reformatoris

JURNAL THEOLOGIA ALETHEIA


Vol. 15 No. 4, Maret 2013
Daftar Isi
Catatan Redaksi

Agung Gunawan
Mengelola Konflik Dalam Gereja

Sia Kok Sin


Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran: Tindakan
Pribadi Atau Tindakan Allah

17

Stefanus Kristianto
Meresponi New Perspective on Paul

29

Marthen Nainupu
Pluralisme Oikumenis Dan Implikasi Pelayanan Pastoral

45

Amos Winarto
Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi : Sebuah Refleksi
Teologis-Etis Perceraian

65

Sia Kok Sin


Resensi Buku : The Story Of Israel: A Biblical Theology

75

Amos Winarto
Resensi Buku: The Lost History Of Christianity: The ThousandYear Golden Age Of the Church In The Middle East, Africa, And
Asia-And How It Died
81
Alfius Areng Mutak
Resensi Buku: Building A Strong Youth Ministry

85

Penulis

87

CATATAN REDAKSI

Musim hujan mungkin sudah berlalu. Kota Lawang sudah kembali


semakin panas.Namun bersyukur angin sepoi-sepoi masih bertiup. Di
tengah-tengah tiupan angin yang menyejukkan tersebut, kami naikkan
pujian kepada Tuhan Maha Pengasih dengan terbitnya kembali Jurnal
Theologia Aletheia.

Edisi kali ini mencoba menyaksikan gereja Kristen, yang diwakili


oleh para penulisnya, menanggapi beberapa persoalan yang telah dan
sedang terjadi. Di antaranya adalah persoalan konflik di dalam gereja, isu
penafsiran dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, masalah pluralism
dan tantangan perceraian di antara pasangan orang percaya.Juga
terdapat beberapa resensi buku yang kiranya boleh semakin
meningkatkan minat baca di dalam jemaat terhadap buku-buku Kristen
untuk pertumbuhan rohani mereka.

Bagi yang berminat untuk memiliki secara elektronik artikel-artikel


di dalam Jurnal edisi ini atau edisi-edisi sebelumnya, bisa mengunduhnya
pada website Sekolah Tinggi Theologia Aletheia:
http://sttaletheia.ac.id/?page_id=1333. Demikian juga, kalau ada
komentar atau masukan yang membangun silakan memberikannya pada
halaman website jurnal berikut ini: http://sttaletheia.ac.id/?page_id=1081.
Akhir kata, kiranya Jurnal edisi ini boleh menjadi berkat bagi banyak orang
dan membangun iman jemaat. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

MENGELOLA KONFLIK DALAM GEREJA


Agung Gunawan
ABSTRAKSI
Gereja adalah miniatur Kerajaan Allah dalam dunia yang fana ini yang
didalamnya terdiri dari manusia-manusia berdosa yang telah ditebus oleh
darah Kristus. Oleh sebab itu, gereja bukan sorga dan tempat
berkumpulkan para malaikat yang sempurna tanpa cacat cela. Gereja
merupakan kumpulan orang-orang yang terus menerus masih mengalami
proses pengudusan hingga mencapai tahap yang sempurna ketika Tuhan
Yesus dating kembali.
Oleh sebab itu, konflik dalam gereja bukanlah sesuatu yang aneh
namun suatu kelaziman. Konflik adalah bagian dari dinamika kehidupan
manusia. Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan begitu saja,
karena akan membawa dampak kepada kehancuran gereja. Konflik yang
terjadi dalam gereja harus dikelola dengan baik dan tepat agar konflik dapat
diatasi. Dengan demikian maka gereja akan dapat terus mengembangkan
diri kearah pemenuhan terhadap panggilan kesempurnaan di dalam
Kristus.
Kata Kunci: gereja, konflik, mengelola konflik.

PENDAHULUAN
Gereja merupakan kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar dari
kegelapan untuk masuk kedalam terang-Nya yang ajaib untuk
memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar (I Petrus 2:9).
Mengingat bahwa gereja adalah kumpulan dari orang-orang berdosa yang
sedang mengalami proses pengudusan, maka di dalam proses inilah gereja
tidak dapat mengelak dari konflik.
Konflik bisa terjadi karena masalah-masalah yang berkaitan dengan
organisasi, seperti program gereja (organization conflicts) dan konflik juga
bisa terjadi antar pribadi dalam gereja (personal conflicts). Konflik bisa
terjadi antar kelompok-kelompok dalam gereja (intergroup conflicts) dan
juga bisa terjadi antar anggota dalam kelompok (interpersonal conflicts).
Namun disisi lain, gereja juga mmiliki tugas untuk memberitakan perbuatan7

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

perbuatan Allah yang besar, maka gereja harus mampu untuk mengelola
konflik secara benar agar gereja tidak mempermalukan nama Tuhan.
Mengapa konflik dapat muncul dalam gereja? Apa tanda-tanda munculnya
konflik dalam gereja? Apa saja level-level konflik dalam gereja dan
bagaimana kiat mengelola konflik dalam gereja? Tulisan ini akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas untuk memberikan pemahaman yang jelas
tentang konflik dalam gereja dengan segala macam dimensinya.
DEFINISI KONFLIK
Meskipun tidak ada definisi tunggal tentang konflik, definisi yang
paling tepat adalah konflik melibatkan dua kelompok independen, dimana
satu kelompok merasakan beberapa ketidakcocokan di antara mereka.
Jadi konflik adalah suatu kondisi disharmoni antara dua atau lebih individu
1
karena adanya benturan kepentingan diantara mereka.
Di dalam konflik ada dua proses yaitu: (1) "proses di mana satu pihak
merasakan bahwa kepentingannya bertentangan /ditentang oleh pihak
lain", dan (2) "proses interaktif yang mana didalamnya terjadi
ketidakcocokan, perselisihan, atau ketidaksetujuan di antara entitas
2
sosial"
Penyebab Munculnya Konflik
1.

Perbedaan Persepsi dari Data Sensori


Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda tentang apa yang
diterima oleh panca inderanya (melihat, mendengar, meraba, merasa, dan
mencium).3 Misalnya, seseorang akan memiliki persepi yang positif ketika
melihat satu obyek, namun orang lain akan memiliki persepsi yang negatif
ketika melihat obyek yang sama. Di dalam gereja ada sebagaian orang
yang merasa nyaman dengan musik band untuk mengiringi ibadah, namun
ada sebagian yang merasa kurang nyaman apabila ibadah diiringi dengan
musik band. Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa perbedaanperbedaan persepsi terhadap apa yang diterima oleh mata dan telinga
dapat menimbulkan konflik di antara anggota gereja.
2.

Pertentangan Keyakinan
Setiap individu memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Ketika
keyakinan yang dimiliki oleh individu-individu dalam gereja saling
4
bertentangan, maka konflik tidak dapat terelakkan. Misalnya, di dalam

Mengatasi Konflik Dalam Gereja

diukur secara kuantitas yaitu dengan jumlah anggota yang banyak, namun
hamba Tuhan memiliki keyakinan bahwa gereja yang bertumbuh harus
diukur secara kualitas yaitu kedewasaan rohani jemaat bukan kuantitas.
Pertentangan keyakinan antara majelis dan hamba Tuhan dalam gereja
sering memicu munculnya konflik dalam gereja.
3.

Perasaan Yang Terganggu


Seringkali konflik dalam gereja juga muncul karena adanya perasaan
yang terganggu disebabkan oleh ucapan-ucapan yang menyinggung
perasaan sesama anggota dalam gereja.5 Perasaan yang tersinggung
seringkali menyangkut harga diri seseorang. Di dalam gereja yang terdiri
dari bermacam-macam temperamen dan karakter seringkali perkataan,
perilaku dan sikap seseorang dapat memicu terjadinya konflik.
4.

Persaingan Keinginan
Setiap individu dalam gereja memiliki keinginan untuk memajukan
pekerjaan Tuhan, namun seringkali seseorang memaksa kehendak agar
6
keinginannnya dituruti. Ketika keinginannya tidak dituruti dan keinginan
orang lain yang dituruti, maka dapat dipastikan bahwa konflik akan terjadi
karena adanya persaingan keinginan di antara anggota dalam gereja.
Seseorang yang tidak diterima keinginannya akan merasa diabaikan
dan tidak dihargai. Akibatnya ia akan membuat masalah yang akan memicu
konflik dalam komunitas gereja.
Tanda-Tanda Munculnya Konflik
Ketika di dalam gereja terjadi konflik yang berkepanjangan dan tidak
segera dikelola secara baik dan sehat, maka akan terjadi dampak yang
negatif bagi gereja, antara lain:
1.

Jemaat dan Persembahan Berkurang


Gereja yang memiliki konflik di dalamnya akan membawa dampak
yang dapat dilihat secara kasat mata yaitu berkurangnya jumlah anggota
7
dari gereja tersebut. Hal itu dapat dilihat dari grafik kehadiran jemaat yang
terus menunjukkan penurunan secara signifikan. Mengapa hal ini dapat
terjadi? Hal ini disebakan karena jemaat tidak merasa nyaman berada
dalam lingkungan gereja yang tidak kondusif. Jemaat datang kegereja
untuk mencari kedamaian dan ketenangan.

10

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Apabila gereja penuh dengan konflik, maka jemaat akan merasa tidak
nyaman dan tidak ada damai. Akibatnya jemaat akan meninggalkan gereja
tersebut dan pindah mencari gereja lain yang didalamnya ada kedamaian.
Ketika anggota jemaat yang hadir berkurang, maka sebagai konsekwensi
logisnya uang persembahan juga berkurang secara drastis. Akibatnya
maka gereja akan mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan
finansial gereja karena gereja mengalami defisit keuangan.
2.

Partisipasi Jemaat Menurun


Apabila gereja penuh dengan konflik, maka hal itu akan membawa
dampak pada penurunan dari partisipasi jemaat dalam aktifitas pelayanan
8
gereja. Banyak anggota gereja sebenarnya menyadari panggilan untuk
terlibat dalam pekerjaan Tuhan. Banyak anggota jemaat yang memiliki
kerinduan untuk melayani Tuhan. Namun tatkala mereka melihat bahwa di
dalam gereja banyak konflik, maka mereka menjadi enggan dan akhirnya
menarik diri dari pelayanan.
Fakta menunjukkan bahwa banyak gereja-gereja yang sulit untuk
mencari orang-orang yang mau terlibat dalam pelayanan seperti menjadi
majelis, pengurus komisi, dan guru sekolah minggu. Akibatnya maka yang
terlibat dalam pelayanan hanya orang-orang yang sama dan tidak ada
tenaga baru. Selain daripada itu, banyak orang-orang yang memiliki tugas
yang merangkap-rangkap, sehingga menyebabkan pelayanan menjadi
tidak efektif dan tidak berkembang dengan baik dan maksimal.
3.

Perubahan Perilaku Hamba Tuhan


Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah konflik dalam gereja
akan membawa dampak terhadap perilaku hamba Tuhan yang melayani di
gereja tersebut.9 Karena hamba Tuhan merupakan tokoh sentral di dalam
gereja, maka ia adalah pribadi yang sangat terkena imbasnya secara hebat
ketika gereja mengalami konflik.
Perubahan yang terjadi pada diri hamba Tuhan diantaranya adalah:
- Hamba Tuhan mulai malas melakukan visitasi jemaat
- Hamba Tuhan mulai acuh tak acuh dalam pelayananannya
- Kotbahnya tidak dipersiapkan dengan baik
- Hamba Tuhan menjadi pasif dalam rapat
- Hamba Tuhan kurang memperhatikan keluarganya
- Hamba Tuhan lebih mementingkan hobinya seperti memancing
daripada memikirkan pekerjaan Tuhan

Mengatasi Konflik Dalam Gereja

11

4.

Munculnya Keluhan-Keluhan
Ketika gereja berada dalam situasi konflik, maka pelayanan gereja
10
terhadap jemaatnya akan tidak berjalan secara maksimal. Hamba Tuhan
dan majelis yang terlibat konflik pasti tidak akan dapat melakukan tugas dan
tanggungjawabnya dengan baik. Bahkan mereka cenderung akan
mengabaikan tugas dan kewajibannya.
Hal itu akan dapat dirasakan oleh anggota jemaat yang membutuhkan
pelayanan yang baik dan benar. Akibatnya banyak anggota jemaat yang
menyampaikan keluhan-keluhan, baik terhadap pelayanan dari hamba
Tuhan mapun dari majelis atau pengurus gereja yang bertanggungjawab
atas jalannya pelayanan dalam gereja. Banyak anggota jemaat yang
merasa tidak puas terhadap apa yang dilakukan oleh orang-orang yang
terlibat dalam pelayanannya.
Tidak jarang anggota gereja yang melakukan kritik yang keras, baik
melalui lisan maupun surat. Bahkan tidak jarang juga muncul surat-surat
kaleng yang mendeskridikkan hamba Tuhan maupun para aktifis gereja.
Apabila hal ini dibiarkan, maka banyak jemaat yang akan keluar bahkan
bukan tidak mungkin gereja akan mengalami perpecahan.
Jenis-Jenis Konflik
Ada dua macam konflik yang terjadi dalam kehidupan gereja yaitu:
1.

Konflik Substantif Dan Konflik Afektif 11

Konflik Substantif adalah konflik yang melibatkan perbedaan


pendapat di antara anggota kelompok tentang isi dari tugas-tugas yang
dilakukan atau kinerja itu sendiri. Konflik jenis ini terjadi ketika dua atau lebih
entitas sosial tidak setuju pada pengakuan dan solusi untuk masalah tugas,
termasuk perbedaan dalam sudut pandang, gagasan, dan pendapat.
Konflik Afektif adalah konflik yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal atau ketidak cocokan antar pribadi dan tidak terkait langsung
dengan pencapaian fungsi kelompok.Baik konflik substantif dan afektif
memiliki dampak yang negatif berhubungan dengan kepuasan anggota tim
dan kinerja tim dalam pelayan digereja.
Konflik Organisasi Dan Interpersonal12
Konflik organisasi, apakah itu substantif atau afektif, dapat dibagi
menjadi interorganisasi dan intraorganisasi. Konflik interorganisasi terjadi
2.

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

12

antara dua atau lebih organisasi yang berbeda, sedangkan konflik


intraorganisasi adalah konflik yang ada di dalam organisasi, misalnya
konflik yang terjadi antar komisi yang ada dalam gereja. Konflik
interpersonal mengacu pada konflik antara dua atau lebih individu (tidak
mewakili kelompok mereka). Konflik interpersonal dibagi menjadi intragrup
dan intergrup. Konflik intragrup terjadi antara anggota dalam kelompok
yang sama, sedangkan konflik intergrup terjadi antara pribadi-pribadi dari
kelompok-kelompok yang berbeda.
Level Level Konflik
I.

Problem To Solve
Dalam level pertama ini, orang-orang yang terlibat konflik menyadari
bahwa mereka memiliki konflik yang harus segera diselesaikan.13 Dalam
level ini, pihak-pihak yang terlibat konflik fokus pada penyelesaian masalah
(problem oriented), bukan fokus pada pribadi yang terlibat konflik (person
oriented).
Pada level ini, tidak ada penyerang kepada pribadi baik secara verbal
maupun non verbal. Dalam level ini, keduanya akan berusaha sekuat
tenaga untuk segera mencari cara untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi. Kedua belah pihak memiliki sikap yang optimis bahwa masalah yang
mereka hadapi dapat diselesaikan dengan baik.
II.

Disagreement

Level II dari konflik ini kondisinya lebih sulit dibandingkan dengan level
pertama, karena disini terjadi ketidaksepahaman antara pribadi-pribadi
14
yang terlibat konflik. Berbeda dengan level pertama, pada level ini fokus
bukan kepada penyelesaian masalah (problem solving), tapi cenderung
untuk melindungi diri (self protection).
Pada level ini, pihak-pihak yang konflik berusaha untuk mencari
keselamatan atas diri masing-masing. Mereka yang terlibat konflik tidak
mau secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki masalah. Mereka
hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat umum, walaupun sebenarnya
mereka memiliki masalah-masalah yang spesifik. Akibatnya masalah yang
terjadi akan sulit diselesaikan, sehingga konflik akan terus mengambang
tanpa ada akhirnya (floating).
III.

Contest
Dalam level III ini, kedua pihak yang terlibat konflik berpindah dari

Mengatasi Konflik Dalam Gereja

13

upaya melindungi diri masing-masing kepada upaya untuk menjadi pihak


15
yang menang yang mengalahkan lawannya (win/lose).
Pada level ini, pihak-pihak yang berkonflik masing-masing
memaksakan kehendaknya kepada lawannya. Akibatnya akan sulit untuk
menemukan solusi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Apabila
kondisi ini dibiarkan, maka akibatnya konflik makin hari semakin meruncing
dan akan membawa kepada level yang berikutnya yaitu fight/flight.
IV. Fight/Flight Level ini merupakan kelanjutan dari level III. Dalam
level ini pihak-pihak yang terlibat konflik bukan hanya ingin menang atas
lawannya, tapi juga ingin melukai atau menyingkirkan lawannya.16 Pada
level ini, pihak-pihak yang terlibat konflik sudah tidak percaya bahwa
lawannya mau dan dapat berubah, karena dirinya sendiri tidak mau dan
dapat berubah. Sehingga satu-satunya jalan adalah menyingkirkan orang
tersebut dari organisasi gereja bahkan kalau bisa juga menyingkir dari
gereja.
Level ini biasanya akan berujung kepada salah satu pihak keluar atau
menyingkir dari gereja dengan membawa pengikutnya. Dengan demikian
maka perpecahan gereja tidak dapat dielakkan.
V.

Intractable Situations
Level ini adalah level yang tidak dapat dikelola, dimana konflik sudah
tidak dapat lagi terkontrol oleh pihak-pihak yang terlibat.17 Level ini
merupakan kelanjutan dari level IV yang memiliki orientasi untuk
menyingkirkan lawannya. Namun level ini lebih daripada level IV karena
pihak-pihak yang terlibat konflik berupaya untuk menghancurkan lawannya
dengan melakukan tindakan kekerasan, baik secara verbal maupun non
verbal. Apabila lawannya belum hancur maka ia tidak akan mengalami
kepuasan. Apabila hal ini terjadi, maka konflik yang terjadi antar anggota
gereja akan berujung kepada masalah hukum.
Gereja harus menghindari konflik yang terjadi tidak mencapai level V
karena akibatnya gereja akan menjadi tontonan dan dipermalukan oleh
orang-orang di luar gereja. Dengan demikian nama Tuhan bukan
dipermuliakan, namun sebaliknya akan dipermalukan. Oleh sebab itu,
konflik yang terjadi harus segera dikelola secara baik dan benar.
Bagaimana kiat mengelola konflik yang baik dan benar?

14

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Kiat Mengelola Konflik


1.

Menyelesaikan Masalah (Resolve The Problem)


Di dalam mengelola konflik secara baik dan benar, maka pertama18
tama kita perlu fokus kepada masalah yang ada. Disini kita
mengindentifikasi tentang akar penyebab munculnya masalah, siapa saja
orang-orang yang terlibat, serta mencari langkah yang tepat untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Masalah yang muncul harus diselesaikan secara tuntas sampai
keakarnya bukan hanya permukaannya saja. Untuk itu maka perlu ada
komitmen dari pihak-pihak yang terlibat konflik untuk mau membuka diri dan
menyatakan secara terbuka apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan,
diinginkan, serta apa yang diharapkan akan terjadi ketika masalahnya
diselesaikan. Dengan demikian, maka masing-masing pihak tahu apa yang
menyebabkan masalah terjadi dan hal ini akan memudahkan untuk
menyelesaikan masalah secara tuntas.
2.

Memperbaiki Hubungan (Restore The Relationship)


Setelah masalah yang ada dapat diselesaikan secara tuntas, maka
berikutnya yang perlu dilakukan adalah memperbaiki hubungan antara
19
pihak-pihak yang terlibat konflik. Konflik pasti menimbulkan luka batin,
kemarahan, kebencian dan dendam bagi orang-orang yang terlibat konflik.
Dengan kata lain karena konflik hubungan mereka menjadi rusak.
Meskipun masalah yang menjadi pemicu terjadinya konflik sudah
diselesaikan, namun hubungan di antara mereka yang terlibat konflik tidak
secara otomatis juga akan menjadi baik. Hubungan mereka masih ada
ketidaknyamanan. Untuk itu, hubungan di antara orang-orang yang terlibat
konflik harus dipulihkan agar hubungan mereka menjadi seperti sebelum
terjadi konflik. Dengan demikian maka konflik akan terselesaikan secara
tuntas.
3.

Mengubah Sistem (Rebuilt The Sistem)


Setelah masalah diselesaikan secara tuntas dan hubungan sudah
20
dipulihkan, maka langkah berikutnya adalah mengubah sistem yang ada.
Sistem seringkali memiliki andil yang besar dalam terciptanya konflik.
Sistem disini bisa berupa kondisi, peraturan, serta organisasi dalam gereja
yang menyebabkan terjadinya konflik.

Mengatasi Konflik Dalam Gereja

15

Apabila sistem tidak diubah maka konflik akan dapat muncul kembali.
Oleh sebab itu, pada bagian ini perlu dikaji dengan cermat sistem yang
memiliki andil terjadinya sebuah konflik. Setelah diketahui, maka orangorang yang terlibat konflik perlu bersama-sama mengubah sistem yang
ada, sehingga tidak Akan terjadi lagi konflik yang sama.
PENUTUP
Konflik dalam gereja tidak dapat dan tidak boleh dihindari. Konflik
selalu ada dalam seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk dalam
kehidupan gereja. Gereja harus belajar untuk dapat mengelola konflik
dengan cantik dn cerdas. Agar gereja tidak berjalan di dalam konflik tapi
gereja berjalan di atas konflik. Gereja tidak dikuasai konflik, tapi gereja yang
menguasai konflik. Ini adalah hasil dari pengelolaan konflik gereja secara
tepat dan benar.
DAFTAR RUJUKAN
Alper, S., Tjosvold, D., & Law, K. S. (2000). Conflict Management, Efficacy,
and Performance In Organizational Teams. Personnel Psychology,
53, 625-642.
Leas, Speed B. (1998). Moving Your Church Through Conflict. The Alban
Institut.
Miller, Sherod (1993). Talking and Listening Together Interpersonal
communication Programs, Inc..
Rahim, M., Antonioni, D., & Psenicka, C. (2001). A Structural Equations
Model of Leader Power, Subordinates' Styles of Handling Conflict, And
Job Performance. International Journal of Conflict Management,
12(3), 191.
Wall, J. A., Jr., & Callister, R. R. (1995). Conflict and Its Management.
Journal of Management, 21, 515-558.
EndNote
1.

Wall, J. A., Jr., & Callister, R. R. (1995). Conflict and Its Management. Journal of Management, 21,
p.517

2.

Rahim, M. A. (1992). Managing conflict in organizations (2nd ed.). Westport, CT: Praeger. p.16

3.

Miller, Sherod (1993). Talking and Listening Together Interpersonal communication Programs, Inc.

4.

Ibid.

5.

Ibid.

6.

Ibid.

7.

Leas, Speed B. (1998). Moving Your Church Through Conflict. The Alban Institut.

14

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

8.

Ibid.

9.

Ibid.

10. Ibid.
11. Rahim, M., Antonioni, D., & Psenicka, C. (2001). A Structureal Equations Model of Leader Power,
Subordinates' Styles of Handling Conflict, And Job Performance. International Journal of Conflict
Management, 12(3), 191.
12. Ibid.
13. Leas, 1998.
14. Ibid.
15. Ibid.
16. Ibid.
17. Ibid.
18. Miller, 1993
19. Ibid.
20. Ibid.

KEKERASAN HATI FIRAUN DALAM KITAB KELUARAN:


TINDAKAN PRIBADI ATAU TINDAKAN ALLAH
Sia Kok Sin
ABSTRAKSI
Kekerasan hati Firaun dalam kitab Keluaran merupakan topik
perdebatan teologis yang hangat. Permasalahan yang muncul adalah
apakah kekerasan hati itu merupakan kehendak bebas Firaun atau
predetermination Allah. Kekerasan hati Firaun merupakan salah satu
persoalan teologis dalam kitab Keluaran. khususnya kalau kekerasan hati
itu merupakan akibat dari tindakan Allah yang mengeraskannya. Apakah
adil jika Allah yang mengeraskan hati Firaun, Ia juga yang menghukum
Firaun oleh karena kekerasan hati itu? Urutan pemunculan ungkapan Allah
mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3) yang mendahului ungkapan Hati
Firaun berkeras (Kel. 7:13) atau Firaun tetap berkeras hati (Kel. 8:15)
menimbulkan kesan bahwa Allah yang pertama-tama mengeraskan hati
Firaun dan bukannya tindakan atau pribadi Firaun untuk mengeraskan
hatinya. Pemecahan terhadap masalah ini ada pada pertama, penyelidikan
ungkapan Allah mengeraskan Firaun (Kel. 4:21, 7:3) atau lebih tepatnya
Allah akan mengeraskan hati Firaun itu muncul dalam bentuk YQTL
(imperfect). Bentuk ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan
membuat hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia
melakukannya. Kedua, Kel. 3:19 menyatakan bahwa dalam
kemahatahuan-Nya Allah telah tahu bahwa raja Mesir atau Firaun akan
mengeraskan hatinya dengan tidak membiarkan Israel pergi dari Mesir.
Firaun hanya akan melepaskan Israel setelah melewati penghukuman yang
keras. Ayat ini penting oleh karena menyatakan bahwa Allah telah
mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Perihal bahwa Allah
juga akan mengeraskan hati Firaun tidak lagi menjadi masalah, oleh karena
Firaun sendiri yang memulai mengeraskan hatinya. Tindakan Allah
mengeraskan hati Firaun akan menambah kekerasan hati Firaun.
Kata Kunci: kekerasan hati, Firaun, Allah
Kekerasan hati Firaun itu merupakan topik perdebatan teologis.
Walter C. Kaiser Jr. membahasnya sebagai salah satu ucapan sulit dalam
1
Perjanjian Lama. Permasalahan yang muncul adalah apakah kekerasan
hati itu merupakan kehendak bebas Firaun atau predetermination Allah.2
Kekerasan hati Firaun merupakan salah satu persoalan teologis dalam
kitab Keluaran, khususnya kalau kekerasan hati itu merupakan akibat dari
3
tindakan Allah yang mengeraskannya. Tema kekerasan hati ini memang
dicatat dua puluh kali dalam Keluaran 4-14, namun yang menjadi persoalan
17

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

bahwa dalam bagian ini disebutkan bahwa Allah sendiri yang mengeraskan
4
hati Firaun sebanyak sepuluh kali. Kitab Keluaran memang
mengungkapkan bahwa Firaun berkeras hati (Kel. 7:14, 22:8:15, dll.), tetapi
juga diungkapkan bahwa Allah mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3;
9:12, dll.). Menjadi persoalan adalah hati Firaun itu menjadi keras, oleh
karena ia sendiri yang berkeras hati atau hal itu merupakan akibat dari
tindakan Allah yang mengeraskan hatinya.
Biasanya untuk menghindari tuduhan terhadap karakter Allah muncul
pendapat bahwa kekerasan hati Firaun dimulai dari tindakan Firaun
berkeras hati, lalu ditindaklanjuti oleh Allah dengan mengeraskan hatinya
dan akhirnya menyebabkan bahwa hati Firaun semakin keras.5 Pendapat
ini biasanya diperhadapkan dengan kesulitan urutan pemunculan
ungkapan Allah mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3) yang
mendahului ungkapan Hati Firaun berkeras (Kel. 7:13) atau Firaun tetap
berkeras hati(Kel. 8:15). Urutan pemunculan ini menimbulkan kesan
bahwa Allah yang pertama-tama mengeraskan hati Firaun dan bukannya
tindakan atau pribadi Firaun untuk mengeraskan hatinya.
Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa ungkapan Allah
mengeraskan hati Firaun merupakan ungkapan idiomatis tentang
penolakan batiniah Firaun yang telah sampai pada titik yang tak dapat
6
dibalikkan atau berubah lagi. Brevard Childs menolak pandangan ini
dengan alasan bahwa penafsiran psikologis ini kehilangan inti teologis,
karena ungkapan Allah mengeraskan hati Firaun menunjuk dengan jelas
adanya a theology of divine causality.7
Beberapa ahli telah membahas topik ini dengan menggunakan
beberapa pendekatan, di antaranya:8
Pendekatan Kritik Sumber9
Robert R. Wilson menggunakan pendekatan kritik sumber dalam
membahas topik ini. Wilson menyelidiki topik ini dengan menyelusuri
sumber Y (Yahwist), E (Elohist) dan P (Priestly) untuk menemukan
kekhasan pembahasan topik ini dalam sumber ini masing-masing. Sumber
Yahwist (Kel. 7:14, 8:15, 32; 9:7, 34) menggunakan kata . Allah tidak
pernah dijadikan sebagai subyek atau pelaku, tetapi subyeknya adalah hati
Firaun atau Firaun itu sendiri. 10Sumber Elohist (Kel. 4:21; 10:20, 27)
menggunakan kata yang menyebutkan Allah sebagai subyek yang
mengeraskan hati Firaun dan hanya dalam Kel. 9:35 kata ini digunakan
untuk mengungkapkan kondisi hati Firaun.11 Sedangkan sumber Priestly
(Kel. 9:12; 11:10; 14:4, 8, 17) menggunakan kata di mana Allah
merupakan subyek atau pelaku yang mengeraskan hati Firaun.dan dalam
12
Kel. 7:13, 22: 8:15 di mana menggambarkan kekerasan hati Firaun.

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran

19

Sumber Priestly juga menggunakan kata


dalam Kel. 7:3 di mana Allah
merupakan subyek atau pelaku yang akan mengeraskan hati Firaun.13
Selanjutnya Wilson mengamati dua hal dalam kaitan sumber-sumber ini,

tak digunakan dalam sumber-sumber kemudian


dan diganti dengan kata dan ; kedua, sumber-sumber kemudian
yaitu pertama, kata

cenderung melihat Allah sebagai subyek atau pelaku yang menyebabkan


kekerasan hati Firaun.14
Wilson juga melihat fungsi motif kekerasan hati ini dalam setiap
sumber. Dalam sumber Yahwist motif ini berada dalam akhir kisah tulah
yang menunjukkan bahwa walaupun Firaun telah melihat dan mengalami
tulah, namun ia tetap mengeraskan hati dan tidak membiarkan umat untuk
pergi.15 Ia juga mengungkapkan bahwa dalam sumber Yahwist ini motif
kekerasan hati ini menjadi penghubung dan pengikat antara narasi
16
penindasan dan narasi tulah. Dalam sumber Elohist Wilson melihat bahwa
motif kekerasan ini memberikan kesatuan narasi tulah di mana motif ini
merupakan penyebab adanya tulah lagi dan menjadi motif untuk Firaun
menoolak untuk melepaskan Israel.17 Juga Allah dianggap sebagai
penyebab kekerasan hati Firaun ini.18 Dalam sumber Priestly motif
kekerasan digunakan dalam kaitan narasi tulah, namun motif ini digunakan
19
dalam menekankan kisah konfrontasi antara Musa dan Firaun.
Memang tulisan Wilson ini menolong bagi mereka yang memegang
pendekatan hipotesa dokumen yang mana seseorang dapat menemukan
kekhasan dari setiap sumber dalam mengungkapkan motif kekerasan hati
ini, tetapi tulisan Wilson tidak memberikan jalan keluar atas persoalan
konflik teologis dalam topik kekerasan hati ini.
Pendekatan Teologis-Eksegetis
Pendekatan ini dapat ditemukan dalam tulisan G.K. Beale.20 Memang
Beale melakukan penyelidikan eksegetis teks-teks yang berkaitan dengan
kekerasan hati Firaun ini, namun penyelidikannya dipengaruhi oleh
presuposisinya bahwa Allah itu Mahakuasa, sehingga Ia berhak melakukan
segala hal, termasuk menjadi sumber atau penyebab utama kekerasan hati
Firaun. Ungkapan Allah mengeraskan hati Firaun dalam Kel. 4:21 dan 7:3
mendahului narasi tulah-tulah, menunjukkan bahwa Allah adalah sumber
utama kekerasan hati Firaun (the Ultimate Cause of Pharaoh's
Hardening).21 Ia mengungkapkan tujuan Allah mengeraskan hati Firaun
adalah Yahweh hardens Pharaoh's heart primarily to create an Israelite
Heilgeschichte, necessarily involving an Egyptian Unheilgeschichte all of
22
which culminates in Yahweh's glory. Pengerasan hati Firaun oleh Allah
merupakan tindakan yang tak bersyarat (unconditional) atau tak
bergantung pada keputusan Firaun dan semata-mata merupakan

20

keputusan Allah.

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013


23

Tulisan Beale banyak memberikan informasi eksegetis yang baik,


namun hasil akhir penyelidikannya ini sangat dipengaruhi oleh presuposisi
teologisnya tentang kemahakuasaan dan kedaulatan Allah dalam hidup
manusia. Aspek kehendak bebas manusia (Firaun) kurang mendapat
tempat, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan tentang keadilan Allah.
Apakah adil kalau Allah yang merupakan penyebab utama kekerasan hati
Firaun juga merupakan Allah yang menghukum Firaun atas kekerasan hati
itu?.
24

Pendekatan konteks sastra dan budaya

Dorian G. Coover Cox mengangkatkan persoalan keadilan Allah


dalam kaitan dengan kekerasan hati Firaun. Dalam kaitan dengan
pertanyaan tentang keadilan Allah dalam kaitan kekerasan hati Firaun, Cox
menjawab dengan pasti bahwa kitab Keluaran menunjukkan bahwa
25
tuduhan bahwa Allah tidak adil adalah tuduhan yang salah. Cox
menyelidiki topik ini dengan pendekatan yang memperhatikan konteks
sastra dan budaya.
Melalui penyelusuran konteks sastra Cox menyelusuri adanya kisahkisah dalam kitab Kejadian dan Keluaran yang mengungkapkan telah
adanya ketegangan atau permusuhan antara Allah dan Mesir (Firaun).26
Cox memulai dengan kisah Penciptaan yang menunjukkan Allah adalah
27
Pencipta dan Pemilik segala sesuatu, termasuk yang dimiliki oleh Firaun.
Selanjutnya ia mengungkapkan tentang keberadaan keturunan Abraham
(Israel) dan penindasan mereka di Mesir yang telah Allah nubuatkan pada
masa Abraham (Kej. 15:13-14), ketegangan antara Abraham dan
keturunannya dengan raja-raja asing (termasuk Mesir Kej. 12:10-20) dan
28
kisah Yusuf yang menyelamatkan Mesir. Dalam kaitan dengan kitab
Keluaran, Cox mengungkapkan salah satu tema penting dalam kitab
Keluaran adalah melalui segala karya-Nya (termasuk tulah-tulah), Allah
ingin manusia mengakui Dia sebagai Tuhan.29 Kisah dalam Keluaran tak
didasarkan pada masalah etnis, di mana adanya superioritas Israel atas
30
Mesir. Kekerasan hati Firaun nampak dalam wujud ketidakbersediaannya
untuk mengakui Allah sebagai Tuhan
dan rencana-Nya untuk
31
membebaskan Israel dari Mesir. Cox juga mengangkapkan perihal
kemarahan Musa terhadap Firaun (Kel.11:8) sebagai dasar bahwa Firaun
pun bertanggung jawab atas kekerasan hatinya, walaupun Musa tahu
32
bahwa Allah juga berperan dalam kekerasan hati Firaun.
Sedangkan melalui perhatian terhadap konteks budaya Mesir, Cox
mengkontraskan konsep Mesir tentang Firaun sebagai raja yang besar dan
kitab Keluaran yang menempatkan Firaun di bawah kekuasaan Allah
33
sebagai Raja yang Besar itu. Firaun adalah raja yang memberontak atas

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran

21
34

kekuasaan Allah, Sang Raja Besar itu. Tulah-tulah tak hanya menyerang
35
sistem kepercayaan Mesir, tetapi juga status Firaun. Cox juga memberikan
uraiannya tentang kekerasan hati dalam konteks budaya Mesir yang
menunjukkan dalam hati yang ringan akan menikmati hidup kekal,
sedangkan hati yang berat menimbulkan masalah besar bagi yang
memilikinya.36
Dalam bagian kesimpulan dapat ditemukan bahwa secara umum Cox
berupaya menyimbangkan kekerasan hati Firaun itu sebagai tindakan yang
37
bersifat alami dan supraalami. Bersifat alami oleh karena tindakan itu
merupakan keputusan pribadi Firaun dan bersifat supraalami oleh karena
hal itu juga merupakan karya Allah atas diri Firaun. Oleh karena itu Allah
tidak dapat dituduh bahwa Ia tak adil, oleh karena kekerasan hati Firaun itu
juga merupakan keputusan pribadi Firaun. Cox mengungkapkan bahwa jika
Allah tidak mengeraskan hati Firaun, Firaun secara hakiki tidak akan
berbeda dan perbedaannya hanyalah bahwa mungkin ia hanya akan
38
mengalami tulah yang lebih sedikit.
Menurut penulis bahwa pendekatan konteks sastra dan budaya yang
dicetuskan oleh Cox, tidaklah memberikan solusi yang berarti atas
perdebatan tentang kekerasan hati Firaun. Tulisan Cox hanya memberikan
informasi tambahan dalam melihat perdebatan ini dalam persektif yang lain,
tapi belum memberikan solusi yang baik.
Pendekatan Kritik Narasi
Dalam membahas topik ini David M. Gunn menggunakan pendekatan
kritik narasi yang memberikan perhatian pada plot dan karakter Keluaran 114.39 Ia mengungkapkan Plot implies action, action by characters and
actions impinging on characters. Questions about the cause or motivation
of the hardening will therefore rapidly develop into questions about the
40
characters involved. Gunn mengungkapkan bahwa Firaun merupakan
41
karakter pemimpin yang bengis. Hal itu dapat dilihat dalam kisah
penolakan Firaun terhadap permintaan Musa untuk mengizinkan Israel
mengadakan perayaan bagi Yahweh (Kel. 5:1-9).42 Karakter Firaun itu
semakin jelas dalam kisah tulah-tulah yang juga mengungkapkan
bagaimana ia mengeraskan hatinya dengan tidak memberikan respons
yang tepat terhadap tulah-tulah itu dan juga tidak membebaskan Israel.
Ketika membahas antara karakter Allah dan Firaun dalam kaitan dengan
kekerasan hati Firaun, Gunn mengungkapkan:
To summarize so far, we can that while in the early stages of the story
we are invited to see Pharaoh as his own master, hardening his own
heart (perhaps the legacy of the J story), as the narrative develops it
becomes crystal clear that God is ultimately the only agent of hearthardening who matters (the Plegacy). Pharaoh's heart was hardened

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

22

thus becomes a kind of shorthand for Yahweh caused Pharaoh's heart


to harden. If Pharaoh may been directly responsible for his attitude as
the commencement, by the end of the story he is depicted as acting
against his own better judgement, a mere puppet of Yahweh.43
Jadi dapat dikatakan bahwa Firaun pada awalnya yang mengeraskan
hatinya dengan melawan Allah dan dalam perkembangannya Allah
berperan aktif mengeraskan hati Firaun, sehingga tak ada lagi pilihan lagi
bagi Firaun selain hatinya menjadi semakin keras dalam kendali Allah.
Pendapat Gunn ini dikritik oleh G.K. Beale oleh karena penekanan
terhadap peran Allah (divine casuality) dalam mengeraskan hati Firaun,
membebaskan Firaun dari tanggung jawab atas tindakannya.44 Bagi penulis
kritik Beale agak berlebihan, karena Gunn juga membahas peran Firaun
(human causality) dalam kekerasan hatinya. Dalam tulisannya ini Gunn
memberikan perhatian pada adanya perkembangan kekerasan hati Firaun.
Kekerasan hati Firaun dimulai dari tindakan Firaun berkeras hati, lalu
ditindaklanjuti oleh Allah dengan mengeraskan hatinya dan akhirnya
menyebabkan bahwa hati Firaun semakin keras. Pendapat Gunn ini
biasanya diperhadapkan dengan kesulitan dengan urutan pemunculan
ungkapan Allah mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3) yang
mendahului ungkapan Hati Firaun berkeras (Kel. 7:13) atau Firaun tetap
berkeras hati(Kel. 8:15). Urutan pemunculan ini menimbulkan kesan
bahwa Allah yang pertama-tama mengeraskan hati Firaun dan bukannya
tindakan atau pribadi Firaun untuk mengeraskan hatinya.
Dalam kaitan dalam upaya pembahasan topik ini, pertama-tama
penulis menggunakan tulisan Robert B. Chisholm Jr. yang menyusun ayat45
ayat yang berkaitkan dengan topik ini dalam tiga bagian, yaitu:
Teks yang mengungkapkan Allah sebagai Subyek
Kel. 4:21 Aku akan mengeraskan hatinya

A
B
l
it
a
,q
Z
Ex
;a
] ( Piel, YQTL)
Kel. 7:3 Aku akan mengeraskan hati Firaun

h
[
o+r
>P
;b
l
et
a
,h
v
,q
.a
;y
n
Ia
]w
: ( Hiphil, YQTL)
Kel. 9:12 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h
[
or
>P
;b
l
et
a
,h
w
"h
y
>q
Z
Ex
;y
>w
: ( Piel, WYQTL)
Kel. 10:1 Aku telah membuat hatinya dan hati para pegawainya berkeras

w
y
d
'b
'[
]b
l
et
a
,w
>A
B
l
it
a
,y
T
id
>B
;k
.h
iy
n
Ia
] ( Hipihil, QTL)
Kel. 10:20 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h
[
o+r
>P
;b
l
et
a
,h
w
"h
y
>q
Z
Ex
;y
>w
: ( Piel, WYQTL)
Kel. 10:27 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h
[
o+r
>P
;b
l
et
a
,h
w
"h
y
>q
Z
Ex
;y
>w
: ( Piel, WYQTL)

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran

23

Kel. 11:10 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h
[
or
>P
;b
l
et
a
,h
w
"h
y
>q
Z
Ex
;y
>w
: ( Piel, WYQTL)
Kel. 14:4 Aku akan mengeraskan hati Firaun

h
[
or
>P
;b
l
et
a
,y
T
iq
.Z
:x
iw
> ( Piel, WQTL)
Kel. 14:8 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h
[
or
>P
;b
l
et
a
,h
A
'h
y
>q
Z
Ex
;y
>w
: ( Piel, WYQTL)
Kel. 14:17 Aku akan mengeraskan hati orang Mesir

~
y
Ir
;c
.m
ib
l
et
a
,q
Z
Ex
;m
.y
n
In
>h
iy
n
Ia
]w
: ( Piel, partisip)
Teks yang mengungkapkan Firaun sebagai subyek
Kel. 8:15 Ia tetap berkeras hati (TB)

8:11

A
B
l
it
a
,d
B
ek
.h
;w
> ( Hiphil, infinitive

absolute)

Kel. 8:32 Firaun tetap berkeras hati

8:28

A
B
l
it
a
,h
[
or
>P
;d
B
ek
.Y
:w
: ( Hiphil, WYQTL)

Kel. 9:34 Ia tetap berkeras hati, baik ia maupun para pegawainya


( Hiphil, WYQTL)
Kel. 13:15 Sebab ketika Firaun dengan tegar menolak untuk membiarkan
kita pergi
( Hiphil, QTL) 1

`
w
y
d
'(b
'[
]w
:a
W
h
A
B
l
id
B
ek
.Y
:w
:

W
n
x
eL
.v
;l
. h
[
or
>p
;h
v
'q
.h
iy
K
i( y
h
iy
>w
:

Teks yang mengungkapkan kondisi hati Firaun yang keras


Kel. 7:13 Hati Firaun berkeras

h
[
or
>P
;b
l
e q
z
:x
/Y
<w
:

( Qal, WYQTL)
Kel. 7:14 Firaun berkeras hati /Hati Firaun berkeras
( Predicative Adjective)
Kel. 7:22 Hati Firaun berkeras
( Qal, WYQTL)
Kel. 8:19 Hati Firaun berkeras
8:15
( Qal, WYQTL)
Kel. 9:7 Firaun tetap berkeras hati2
( Qal, WYQTL)
Kel. 9:35 Berkeraslah hati Firaun

h
[
o+r
>P
;b
l
e d
b
eK
'

h
[
or
>P
;b
l
eq
z
:x
/Y
<w
:

h
[
or
>P
;b
l
eq
z
:x
/Y
<w
:

h
[
or
>P
;b
l
e d
B
;k
.Y
Iw
:

h
[
or
>P
;b
l
e q
z
:x
/Y
<w
:) ( Qal, WYQTL)
Dari pengamatan sederhana ketiga bagian ini seseorang dapat
menyimpulkan bahwa Allah dan Firaun mempunyai peran dalam kekerasan
hati ini, karena keduanya menjadi subyek. Allah mempunyai peran dalam
kekerasan hati Firaun, oleh karena ungkapan bahwa Ia mengeraskan hati

24

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Firaun. Firaun juga mempunyai peran dalam kekerasan hatinya, oleh


karena memang adanya ungkapan bahwa ia mengeraskan hatinya. Oleh
karena itu pembahasan tentang kekerasan hati Firaun tak dapat
melepaskan peran Allah ataupun peran Firaun. Peran Allah dan Firaun ini
perlu diselidiki dan ditemukan bagaimana relasi keduanya, sehingga tidak
menimbulkan masalah atau konflik teologis yang menganggap Allah tidak
adil. Allah dianggap tidak adil, karena Allah yang mengeraskan hati Firaun,
Ia juga yang menghukum Firaun yang berkeras hati.
Dari segi urutan pemunculannya ungkapan
tindakan Allah
mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3) muncul lebih dulu daripada
ungkapan hati Firaun menjadi keras (Kel. 7:13) ataupun Firaun
mengeraskan hati (Kel. 8:15). Hal ini menimbulkan kesan bahwa Allah yang
mengeraskan hati Firuan, sehingga hati Firaun menjadi keras ataupun
Firaun mengeraskan hatinya. Kalau Allah merupakan sumber atau
penyebab kekerasan hati Firaun, adilkah Allah yang mengeraskan Firaun
itu menghukumnya juga?
Kalau sekedar memperhatikan urutan mana yang lebih dulu antara
Allah mengeraskan hati Firaun dan hati Firaun menjadi keras atau Firaun
mengeraskan hatinya, maka dapat disimpulkan bahwa Allah merupakan
penyebab awal kekerasan hati Firaun. Pembacaan teliti kitab Keluaran
akan menolong dalam membahas permasalahan ini. Memang Keluaran
4:21 mencatat bahwa Allah akan mengeraskan hati Firaun (

A
B
l
it
a
,q
Z
Ex
;a
])

). Kata kerja (
( muncul dalam bentuk Piel, YQTL. Bentuk Piel kata kerja
ini masuk dalam kategori factitive yang menunjuk pada penyebab yang
menghasilkan suatu keadaan.46 Bentuk YQTL (Imperfekt) kata kerja ini
menunjuk kepada sesuatu yang sedang atau akan terjadi serta tak
menunjuk secara spesifik awal atau akhir situasi itu.47 Fretheim
mengungkapkan hal ini hanya sebagai promise future action.48. Dalam
Keluaran 7:3 muncul ungkapan Aku akan mengeraskan hati Firaun

h
[
o+r
>P
;b
l
et
a
,h
v
,q
.a
;y
n
Ia
]w
:

(
).
Kata kerja (
)muncul dalam bentuk
Hiphil, YQTL. Bentuk Hiphil ini dapat dikategorikan dalam factitive yang
49
menunjuk kepada penyebab yang menghasilkan suatu keadaan. Jadi
ayat-ayat ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan membuat
hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia
melakukannya. Ayat ini tak memungkiri adanya peranan Allah dalam
kekerasan hati Firaun, tetapi ayat ini tak menunjukkan bahwa Allah telah
mengeraskan hati Firaun. Allah sedang atau akan menyebabkan hati Firaun
keras, tetapi tentang waktunya belum dinyatakan secara pasti.50
Ungkapan bahwa Allah telah mengeraskan hati Firaun baru
disebutkan dalam Kel.9:12 (
)
. Munculnya
ungkapan ini dalam konteks tulah keenam, berarti Firaun dan orang Mesir

h
[
or
>P
; b
l
et
a
, h
w
"h
y
> q
Z
Ex
;y
>w
:

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran

25

telah mengalami enam tulah dari Allah. Sedangkan ungkapan hati Firaun
telah menjadi keras sudah disebutkan dalam Kel. 7:13 dan ungkapan
Firaun mengeraskan hatinya disebutkan dalam Kel. 8:15. Oleh karena itu
dapat diasumsikan bahwa ketika hati Firaun berkembang menjadi keras
atau Firaun mulai mengeraskan hatinya, maka Allah mulai bertindak untuk
51
mengeraskan hati Firaun.
Dalam kaitan dengan hal ini, bagian lain yang penting diperhatikan
adalah Kel..3:19 yang mengungkapkan: tetapi Aku tahu bahwa raja Mesir
tidak akan membiarkan kamu pergi, kecuali dipaksa oleh tangan yang
52
kuat.. (
)
Bagian ini mengungkapkan bahwa dalam
kemahatahuan-Nya Allah telah tahu bahwa raja Mesir atau Firaun akan
mengeraskan hatinya dengan tidak membiarkan Israel pergi dari Mesir.
Firaun hanya akan melepaskan Israel setelah melewati penghukuman yang
keras. Ayat ini penting oleh karena menyatakan bahwa Allah telah
mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Perihal bahwa Allah
juga akan mengeraskan hati Firaun tidak lagi menjadi masalah, oleh karena
Firaun sendiri yang memulai mengeraskan hatinya. Tindakan Allah
mengeraskan hati Firaun akan menambah kekerasan hati Firaun.

y
K
i y
T
i[
.d
;y
" y
n
Ia
]w

KESIMPULAN
1.
Munculnya ungkapan Allah mengeraskan Firaun memang lebih
awal dari pada ungkapan Firaun mengeraskan hatinya ataupun hati Firaun
menjadi keras, tetapi hal ini tak dapat dijadikan dasar untuk menerima
konsep predetermination Allah atas kekerasan hati Firaun. Oleh karena
ungkapan Allah mengeraskan Firaun atau lebih tepatnya Allah akan
mengeraskan hati Firaun itu muncul dalam bentuk YQTL (imperfect).
Bentuk ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan membuat
hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia
melakukannya. Ayat ini tak memungkiri adanya peranan Allah dalam
kekerasan hati Firaun, tetapi ayat ini tak menunjukkan bahwa Allah telah
mengeraskan hati Firaun. Dapat saja dipahami bahwa tindakan Allah
mengeraskan hati Firaun seiring dengan tindakan Firaun mengeraskan
hatinya. Oleh karena itu tidaklah dapat diterima anggapan bahwa dalam hal
ini Allah berlaku membingungkan, oleh karena Ia yang menjadi perancang
kekerasan hati Firaun dan kemudian Ia menghukum Firaun atas kekerasan
hati ini. Pendapat yang mengungkapkan bahwa tindakan Allah
mengeraskan hati Firaun seiring dengan tindakan Firaun mengeraskan
hatinya, membuat Firaun tetap harus bertanggung jawab dari kekerasan
hatinya.
2.
Kel. 3:19 merupakan ayat penting dalam kaitan tentang topik
kekerasan hati ini. Ayat ini menyatakan bahwa Allah dalam kemahatahuanNya mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Ketika topik ini

26

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

difahami dalam perspektif kemahatahuan Allah dan bukannya kedaulatan


Allah yang melakukan predetermination, maka hal ini tak lagi menjadi
masalah atau konflik teologis.
3.
Peranan Allah dalam kekerasan hati Firaun tak dapat dihilangkan,
tetapi perlu ditempatkan pada proposinya. Tindakan Allah mengeraskan
hati Firaun bukanlah penyebab utama kekerasan hati Firaun, tetapi lebih
merupakan tindakan penguatan terhadap tindakan Firaun yang telah
mengeraskan hatinya. Oleh karena itu tindakan Allah mengeraskan hati
Firaun dapat dikatakan merupakan bagian awal atau pendahuluan
penghukuman.
End note:
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.

Walter C. Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama (Malang: SAAT, 1998), h. 71-73.
Scott. M. Langston, Exodus Through the Centuries (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), pp. 85-87.
Dorian G. Coover Cox, The Hardening of Pharaohs Heart in Its Literary and Cultural Contexts,
Bibliotheca Sacra 163(July-September 2006), 292.
Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama, h. 71.
Langston mengutip pandangan Origenes yang mengungkapkan bahwa Allah mengeraskan hati
orang yang telah berkeras hati, sehingga kekerasan hati itu merupakan sesuatu yang jahat timbul
dari dalam orang itu dan bukan merupakan tindakan Allah (predetermination). Exodus Through the
Centuries, p. 86.
Brevard S. Childs, The Book of Exodus (Louisville: The Westminster Press, 1976), p. 170.
Ibid., p. 174
Para ahli yang disebutkan dalam bagian ini sebatas kemampuan penulis dalam memperoleh
materi. Ada beberapa artikel atau tulisan lain yang membahas topic ini, tetapi penulis tak mampu
memperoleh materi tersebut.
Robert R. Wilson, The Hardening of Pharaohs Heart, The Catholic Biblical Quarterly, 41, 1979,
18-36.
Ibid., 22.
Ibid., 23.
Ibid.
Ibid.
Ibid., 23-24.
Ibid., 25.
Ibid., 27.
Ibid., 29.
Ibid.
Ibid., 30.
G.K. Beale, An Exegetical and Theological Consideration of The Hardening of Pharaohs Heart in
Exodus 4-14 and Romas 9, Trinity Journal 5 NS (1984), 129-154.
Ibid.,133-8, 148-9
Ibid. 149.
Ibid., 50.
Dorian G. Coover Cox, The Hardening of Pharaohs Heart in Its Literary and Cultural Contexts,
Bibliotheca Sacra 163 (July-September 2006), 292-311.
Ibid., 294.
Ibid., 294-301.
Ibid., 294.
Ibid., 294-6.
Ibid., 296-7.
Ibid., 298.
Ibid., 298-300.
Ibid., 300-1.
Ibid., 301-2.
Ibid., 302.
Ibid., 303.
Ibid., 305-6.

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran

27

37. Ibid., 308.


38. Ibid., 311.
39. David M. Gunn, The Hardenng of Pharaohs Heart: Plot, Character and Theology in Exodus 114, Art and Meaning: Rhetoric in Biblical Literature, ed. David J.A. Clines, David M. Gunn, and J.
Hauser, JSOTS 19 (Sheffield: JSOT, 1982), 72-96.
40. Ibid., 74.
41. Ibid.
42. Ibid.
43. Ibid., 79-80.
44. Beale, An Exegetical and Theological Consideration, 300-1.
45. Bagian-bagian ini merupakan pengembangan dari tulisan Robert B. Chisholm Jr., Divine
Hardening in the Old Testament, Bibliotheca Sacra 153 (October-December 1996), 411-2.
46. Ibid., 44.
47. Ibid., 56-57.
48. Fretheim, Exodus, p. 98.
49. Arnold and Choi, A Guide to Biblical Hebrew Syntax, p. 50.
50. Walter C. Kaiser Jr. memahami bagian ini seperti nubuatan para nabi, yang walaupun tak
disebutkan persyaratannya. Oleh karena itu ia memahami bahwa Allah tak dapat dipandang
sebagai penyebab utama kekerasan hati Firuan. Band. Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam
Perjanjian Lama, h. 72.
51. Band. Fretheim, Exodus, p. 98.
52. Kata kerjanya dalam bentuk Qal, QTL (perfekt). Penggunaan kata ganti orang pertama sebagai
subyek juga menunjuk pada aspek penekanan dalam bagian kalimat ini.

MERESPONI NEW PERSPECTIVE ON PAUL


Stefanus Kristianto
ABSTRAKSI
Sumbangsih gerakan reformasi ternyata tidak hanya mencakup area
doktrinal namun juga pembacaan hermeneutis terhadap surat-surat
Paulus, khususnya Surat Roma. Cara membaca mereka telah menjadi cara
membaca mayoritas orang Kristen sejak jaman mereka. Namun, sejak abad
lalu cara membaca yang diwariskan reformator ini mulai digugat
keabsahannya. Dimulai dari Krister Stendahl, kritik ini mencapai
kulminasinya pada mazhab new perspective yang dimotori oleh orangorang seperti Ed Parish Sanders, James Dunn dan, di kalangan Injili,
Nicholas Wright. Tulisan ini akan mencoba menguraikan sejarah dan
konsep mendasar dari mazhab new perspective, serta menunjukkan
kepada pembaca bahwa meskipun dalam beberapa hal mereka
memberikan sumbangsih positif dan kritik konstruktif bagi studi Paulinisme,
namun dalam banyak hal, para reformator tetap lebih baik dalam
memahami tulisan Paulus.
SEJARAH DAN TOKOH
Munculnya gerakan reformasi di abad enam belas ternyata tidak
hanya meninggalkan beragam warisan doktrinal bagi Kekristenan, tetapi
juga entah disadari atau tidak cara membaca tulisan Paulus, khususnya
surat Roma. Cara para reformator (terutama dimulai oleh Luther)
memahami surat Roma telah menjadi cara mayoritas orang Kristen sejak
jaman itu memahami tulisan Paulus ini. Luther dan para reformator melihat
bahwa dalam surat ini Paulus mengritik habis konsep legalistik agama
Yahudi waktu itu, yang meyakini dan mengajarkan bahwa seseorang bisa
mendapatkan perkenanan Allah dengan cara menaati hukum Taurat.
Ketaatan ini dianggap bisa memaksa Allah untuk berkenan dan, lantas,
memberkati seseorang. Kontras dengan konsep itu, Paulus berargumen
bahwa pembenaran didapat bukan karena melakukan atau menaati hukum
Taurat melainkan hanya karena iman (justification by faith alone) di dalam
karya Kristus yang telah genap. Iman yang demikian ini dengan sendirinya
mengeksklusi peran perbuatan, dalam bentuk apapun, dalam meraih
perkenanan Allah. Konsep Paulus ini dengan baik disimpulkan para
reformator dalam motto gerakan mereka: pembenaran adalah sola fide dan
sola gratia.1
Akan tetapi, dalam abad yang lalu, konsensus cara membaca ini
dipersoalkan. Dimulai dengan esai Krister Stendahl dalam Harvard
29

30

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Theological Review bertajuk The Apostle Paul and the Introspective


2
Conscience of the West. Dalam esai ini, Stendahl mengritik bahwa sejak
masa reformasi (terutama karena Luther, namun sebenarnya dimulai jauh
sebelumnya oleh Agustinus) pembacaan terhadap tulisan Paulus lebih
banyak menyangkut soal moral guilt: manusia yang bergumul dengan dosa
moral membaca ulang pergumulannya dalam Kitab Suci untuk menemukan
penghiburan dan jawaban tentang keselamatan. Akibatnya, menurut
Stendahl, tanpa disadari pembacaan terhadap tulisan Paulus menjadi
bersifat sangat individualistik. Stendahl menulis bahwa pembacaan
demikian hanya merefleksikan cara membaca orang Barat (atau
pergumulan pribadi Luther) dan jelas bukan hal yang dimaksudkan Paulus.
Dalam pandangannya, pengaruh Luther ini justru menyebabkan sulitnya
pembacaan yang akurat secara historis terhadap tulisan Paulus. Ia lantas
mengusulkan pembacaan yang bersifat korporat dan bukan individualistik
seperti yang diwariskan para Reformator. Di sini terlihat bahwa sifat
aksiomatis pembacaan para reformator terhadap Surat-surat Paulus mulai
mengalami gugatan.
Nantinya, kritik Stendahl terhadap pembacaan reformator ini akan
diperluas dan dikembangkan oleh begitu banyak sarjana, serta mencapai
puncaknya dalam mazhab New Perspective. Setidaknya ada tiga tokoh
penting yang perlu dibahas khusus di sini terkait dengan New Perspective
(E P. Sanders, James D.G. Dunn, dan dalam tradisi evangelikal N.T.
Wright), sebab tiga tokoh ini merupakan suksesor terkemuka dari obor yang
telah disulut oleh Stendahl.
Ed Parish Sanders
Seperti disebutkan sebelumnya, Stendahl hanya menyulut bara kritik
terhadap konsensus yang diwariskan Reformator. Kritik yang sebenarnya
justru diusung oleh sebuah karya yang terbit tahun 1977, berjudul Paul and
Palestinian Judaism karangan Ed Parish Sanders, seorang sarjana dan
3
pendebat kelas internasional. Dalam karyanya, Sanders mengritik metode
rekonstruksi Yudaisme abad pertama yang digunakan banyak sarjana pada
saat itu, terutama dari kalangan Reformed dan Lutheran. Ia menilai metode
yang mereka lakukan tidak tepat sebab mereka menggunakan metode
yang anakronistik: mereka menggunakan sumber yang lebih kemudian
untuk memahami Yudaisme abad pertama. Akibatnya, tentu saja terjadi
kesalahpahaman tentang Yudaisme pada jaman Yesus dan Paulus di sanasini. Sanders mengatakan bahwa gambaran tentang Yudaisme yang
legalistik adalah salah satu produk dari kesalahan metode tersebut. Ia
mencontohkan soal ajaran timbangan kebaikan, yang sering dikaitkan
dengan Yudaisme abad pertama, namun yang sebenarnya baru bisa
ditemukan dalam Talmud Babilonia abad keempat atau kelima.
Penelitian yang dilakukan Sanders justru membawanya pada
kesimpulan yang jauh berbeda dari para penerus reformasi. Menurutnya,

Meresponi New Perspective on Paul

31

Yudaisme abad pertama bukanlah agama yang legalistik. Ia meneliti tiga


jenis literatur Yudaisme abad pertama, yakni naskah-naskah Tannaitik,
tulisan para rabi dan naskah Qumran, dan menyatakan bahwa sumbersumber Yudaisme yang dipelajarinya tersebut hampir semuanya
menggambarkan sejenis soteriologi yang disebutnya covenantal nomism.
Struktur atau pola covenantal nomism ini dirangkumkannya sebagai
5
berikut:
(1) God has chosen Israel, and (2) given the law. The law implies both (3)
God's promise to maintain the election and (4) the requirement to obey.
(5) God rewards obedience and punishes trangression. (6) The law
provides for means of atonement, and atonement results in (7)
manintenance or re-establishment of the covenantal relationship. (8) All
those who are maintained in the covenant by obedience, atonement and
God's mercy beong to the group which will be saved. An important
interpretation of the first and last points is that election and ultimately
salvation are considered to be God's mercy rather than human
achievement.
Jadi, fondasi soteriologi tersebut ialah perjanjian (covenant) yang
Allah buat dengan umat Israel. Allah telah memilih Israel, dan bagi orangorang Yahudi, pemilihan tersebut merupakan dasar dari keselamatan
mereka. Dalam perspektif ini, orang-orang Yahudi melakukan Taurat bukan
untuk diselamatkan, sebab mereka sudah diselamatkan melainkan
untuk memelihara status perjanjian mereka atau untuk mempertahankan
agar mereka tetap dalam perjanjian tersebut. Dalam bahasa Sanders
sendiri, orang Yahudi tidak melakukan Taurat untuk get in (legalism) tetapi
untuk stay in (nomism).
Meskipun fokus utama studinya ialah Yudaisme Palestina, tetapi
Sanders meluangkan sembilan puluh dua halaman untuk membahas kaitan
6
studi ini dengan Paulus. Sanders mengatakan bahwa soteriologi Yudaisme
Palestina yang dipelajarinya tersebut secara mendasar memiliki kemiripan
dengan teologi Paulus, yakni bahwa keselamatan merupakan anugerah
Allah melalui pemilihan-Nya. Bila demikian, bila sebenarnya mereka
sepakat dalam hal mendasar, bila iman versus perbuatan atau anugerah
versus Taurat bukanlah pokok utama pertentangan mereka, lantas apakah
yang menjadi pokok pertentangan antara Paulus dengan Yudaisme
(termasuk dalam surat Roma)? Dengan mantap Sanders menjawab:
eksklusivitas Kristologi Paulus. Bagi Paulus, Yesus adalah Mesias yang
dijanjikan dan karena itu, keselamatan hanya bisa didapat melalui Dia,
bukan melalui perjanjian. Inilah poin yang ingin ditegaskan Paulus kepada
orang-orang Yahudi sezamannya.
Apa yang diungkapkan Sanders ini (setidaknya ide utamanya)
sebenarnya bukan sesuatu yang novum. Pandangan Sanders tentang

32

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Yudaisme Bait Allah kedua (Second Temple Judaism) tersebut telah


7
8
diantisipasi oleh orang-orang seperti C. Montefiore, G.F. Moore, dan juga
9
Stendahl. Meski begitu, harus diakui karyanya secara dramatis telah
mengubah sudut pandang dalam studi Perjanjian Baru, secara khusus
10
dalam studi Paulinisme. Sayangnya, meski ide dasarnya mengenai nonlegalitas Yudaisme abad pertama diterima luas, penjelasan Sanders
tentang konflik utama Paulus dan Yudaisme dianggap tidak memuaskan
oleh para sarjana.
James D.G. Dunn
Para sarjana lain kemudian mengajukan proposal mereka masingmasing mengenai topik ini. Doug Moo11 menyebut setidaknya ada dua jenis
proposal yang diajukan. Pertama, proposal yang menganggap bahwa
pandangan Sanders maupun pandangan tradisional sama-sama benarnya.
Konsekuensinya, pendukung pandangan ini menganggap bahwa Paulus
telah salah memahami atau dengan sengaja membuat misrepresentasi
(straw-man12) terhadap Yudaisme untuk tujuan polemis. Salah seorang
sarjana pendukung pandangan ini ialah Heikki Raisanen.13 Kedua, proposal
yang berusaha menafsir ulang teologi Paulus dalam terang covenantal
nomism. Cukup banyak proposal yang diajukan dalam klasifikasi ini, salah
satunya yang diusulkan oleh Gager dan Gaston, bahwa yang ditentang
Paulus ialah mereka yang mencoba memaksakan Taurat terhadap bangsa
non-Yahudi.14 Namun, dari beragam proposal tersebut, jawaban yang paling
persuasif, populer, serta dianggap paling memuaskan dan komprehensif
15
muncul dari seorang teolog berkebangsaan Inggris, James D.G. Dunn.
Dunn merupakan orang pertama yang menggunakan istilah new
perspective untuk menyebut cara pandang baru terhadap studi Paulinisme
ini. Istilah ini kemudian juga menjadi istilah standar dalam studi Paulinisme
16
untuk menyebut cara baru melihat tulisan Paulus, khususnya Surat Roma.
Dunn mengatakan bahwa pokok pertentangan Paulus dengan orang-orang
Yahudi ialah kecenderungan mereka untuk membatasi keselamatan hanya
bagi bangsa mereka sendiri.17 Jadi, yang dipermasalahkan Paulus ialah
eksklusivitas etnis atau sejenis nasionalisme kaku bangsa Yahudi dan
bukannya legalisme agama. Problem utamanya bukanlah tuntutan agar
orang-orang menaati Taurat supaya mereka selamat (Sanders telah
menunjukkan bahwa bukan ini masalahnya), melainkan sikap orang Yahudi
yang mengeksklusi orang-orang non-Yahudi dari keselamatan Allah di
dalam Kristus.
Pandangan Dunn ini membuat ia mengintepretasi ulang teks-teks
18
tentang pembenaran. Carson dan Moo menjelaskan, The difference
between Dunn's view and the traditional interpretation of Paul can perhaps
be seen most clearly in their conflicting interpretations of texts such as

Meresponi New Perspective on Paul

33

Romans 3:20: no one will be declared righteous in his sight by works of the
law (our own translation; cf. also Rom. 3:28 and Gal. 2:16; 3:2, 5, 10). Tidak
seperti para Reformator yang memahami frase e;rga no,mou (works of the
law; LAI: melakukan hukum Taurat) secara literal, Dunn19 memahami frase
tersebut sebagai Torahfaitfulness, dimana kesetiaan ini sendiri merupakan
penanda (boundary marker) yang membedakan orang Yahudi dari bangsa
lain. Dengan kesetiaan mereka terhadap Taurat, yang wujudnya antara
lain soal sunat, menjaga sabat, dan hukum tentang makanan bangsa
Yahudi sedang mempertahankan keunikan identitas dan status mereka
sebagai umat pilihan Allah. Pendeknya, bagi Dunn, The Jewish claim Paul
opposes in Romans 3:20 and other such verses is not, then, that a person
can be justified by what he or she does (works), but the typically Jewish
claim that a person is justified by maintenance of covenant status through
20
adherence to Torah.
Nicholas Thomas Wright
Tokoh penting selanjutnya dalam mazhab new perspective ini ialah
Nicholas Thomas Wright atau yang lebih sering disebut N. T. Wright,
seorang pendeta Anglikan, mantan uskup di Durham, yang saat ini
menjabat sebagai profesor Perjanjian Baru di St. Mary's College, University
21
of St. Andrews. Wright merupakan tokoh sentral dalam promosi new
perspective di kalangan Injili. Menurut Wright, orang Yahudi memahami
bahwa pembuangan yang sebenarnya belumlah berakhir, baik pada saat
mereka kembali ke tanah mereka ataupun ketika Bait Allah dibangun
kembali. Alasannya karena janji yang Allah berikan melalui para nabi
tentang panggilan kepada semua bangsa belumlah tergenapi (Misalnya
nubuatan Yessaya; Mzm. 87, dsb). Nubuatan para nabi ini nampaknya
merujuk kepada sesuatu yang lain, yang jauh lebih spketakuler.
Lalu kapankah pembuangan ini berakhir? Paulus, kata Wright,
meyakini bahwa kematian Yesuslah yang mengakhiri pembuangan ini. Bagi
Paulus, kematian Mesias membayar dosa korporat umat perjanjian
sekaligus mengakhiri masa pembuangan yang sebenarnya, sementara
kebangkitan-Nya memungkinkan orang-orang non-Yahudi juga menjadi
bagian komunitas umat pilihan. Jadi, melalui hidup-Nya, Kristus membawa
bangsa Yahudi dan non-Yahudi membentuk sebuah komunitas umat
22
perjanjian yang baru.
Hampir mirip dengan Sanders, Wright beranggapan bahwa Paulus
berupaya menunjukkan kepada bangsa Yahudi bahwa Yesus adalah bukti
kesetiaan Allah terhadap perjanjian-Nya, dan, sebab itu, harus menjadi
fokus hidup mereka. Jadi, ada unsur konflik kristologis di sini. Namun,
seperti halnya Dunn, Wright juga beranggapan bahwa Paulus sedang
menentang ekslusivitas etnis Yahudi: seseorang menjadi keturunan
Abraham bukan karena ras tetapi karena iman kepada Yesus. Melalui

34

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

kebangkitan-Nya, Yesus telah memungkinkan orang-orang non-Yahudi


untuk menjadi umat Allah, dan, karena itu, orang Yahudi tidak berhak
menghalanginya.
Perbedaan tajam lainnya antara pandangan Wright dengan
pandangan tradisonal ada pada cara memaknai kata pembenaran. Bagi
Wright, pembenaran bukanlah bagian dari Injil tetapi hasil dari Injil. Tidak
seperti pandangan tradisional yang meyakini pembenaran sebagai
imputasi (penyematan) kebenaran Allah kepada orang berdosa saat ia
percaya kepada Kristus, Wright menganggap bahwa pembenaran ialah
pembebasan pendosa dari hukuman dan deklarasi terus-menerus dari
23
Allah bahwa seseorang menjadi bagian dari umat Allah. Dengan demikian,
pembenaran ini tidak selesai pada saat momen keselamatan melainkan
harus terus menerus dipelihara melalui perbuatan baik. Pembenaran ini
sendri akan sempurna saat penghakiman terakhir nanti. Jadi, menurut
Wright, pembenaran lebih merupakan persolan ekklesiologis ketimbang
24
soteriologis.
INTI MASALAH
Apa yang ditawarkan Sanders, Dunn, Wright dan para sarjana lain
yang mengikutik jejak mereka ialah cara baru membaca tulisan Paulus, atau
setidaknya beberapa elemen sentral dalam teologinya. Meskipun para
sarjana yang tergolong kelompok new perspective tentu saja berbeda
dalam detil mereka, namun Carson dan Moo melihat setidaknya ada tiga
tendensi yang menandai gerakan ini. 25
(1) Banyak kategori teologis, yang secara tradisional ditafsirkan secara
individu, diubah menjadi sebuah pengalaman korporat Israel dan umat
Allah. Jadi, pembacaan Roma tidak lagi berfokus pada individu
melainkan kelompok orang dan covenantal nomism.
(2) Sebagai konsekuensi dari poin pertama, kontras antara iman dan
perbuatan direduksi atau bahkan dieliminasi. Kontras utama Paulus
bukan lagi bagaimana seorang manusia diselamatkan tetapi
bagaimana orang non-Yahudi diperhitungkan sebagai umat Allah dalam
era baru keselamatan.
(3) Pengajaran tentang pembenaran diubah haluan dari vertikal (soal relasi
dengan Tuhan) menjadi horizontal (orang non-Yahudi sebagai rekanan
bangsa Yahudi dalam umat Allah). Beberapa pemikir mazhab ini
membaca pembenaran dalam tulisan Paulus, maupun dalam
Perjanjian Lama sebagai latar belakangnya, berarti menjadi anggota
umat Allah. Sehingga, In these ways, the new perspectiveat least in

Meresponi New Perspective on Paul

35

certain of its manifestationstends to offer a serious and potentially


damaging challenge to a hallmark of Reformation theology: justification
before God by faith alone, by grace alone.
RESPON TERHADAP NEW PERSPECTIVE
Kemunculan new perspective yang kini menjadi pandangan populer
26
dan dominan di kalangan sarjana Paulus telah menjadi tantangan
tersendiri bagi pemahaman tradisional tentang Paulus dan tulisannya.
Meskipun ada cukup banyak keberatan yang nantiya bisa diajukan
terhadap pandangan ini, namun ada baiknya lebih dulu melihat nilai-nilai
positif yang dibawa Sanders dan pengikutnya.
Harus diakui bahwa dalam beberapa hal pandangan ini membawa
koreksi yang berarti terhadap pandangan tradisional, misalnya koreksi soal
metodologi. Kritik Sanders mengenai penggunaan sumber yang lebih
kemudian untuk memahami Yudaisme abad pertama tentu saja benar. Ini
sama seperti berusaha memahami kehidupan Pangeran Diponegoro
dengan menggunakan koran Jawa Pos: hasilnya tentu saja absurd. Selain
itu, karya Sanders juga mengingatkan penafsir untuk tidak mengabaikan
aspek anugerah dan perjanjian dalam Yudaisme: Yudaisme tidaklah
selegalistik yang mereka kira selama ini. Dengan demikian, dosa tafsiran
Strack-Billerbeck Kommentar yang cenderung mengarikaturkan Yudaisme
abad pertama, dengan memakai sumber yang lebih kemudian, menjadi
sebuah agama yang sangat legalistik perlu segera ditinggalkan.
Meski begitu, poin-poin argumen new perspective tetap perlu dikritisi
dalam beberapa hal, antara lain:
(1) Klaim Sanders bahwa covenantal nomism merupakan satu-satunya
paradigma soteriologi dalam Yudaisme abad pertama perlu dipertanyakan.
Dalam hal ini Sanders nampaknya jatuh dalam reduksionisme yang serius.
Sanders sendiri mengakui bahwa 1 Henokh, kitab apokaliptik Yahudi akhir
27
abad pertama, tidak sesuai dengan kategori covenantal nomism. Selain
itu,beberapa sarjana telah menunjukkan bahwa covenantal nomism
bukanlah common pattern Yudaisme Bait Allah kedua seperti yang
dikatakan Sanders. Misalnya, Daniel Falk menunjukkan bahwa pola ini
tidak sesuai dengan Hodayot, koleksi doa dan pujian dari Qumran, maupun
28
dengan Mazmur Salomo. Craig Evans juga mengatakan bahwa beberapa
elemen dari tulisan pseudepigrafa (ia meneliti Kemartiran dan Kenaikan
Yesaya, Yusuf dan Asnat, Kisah Adam dan Hawa, dan Kisah Para Nabi)
mencerminkan bentuk perbuatan kebenaran (work-righteousness) yang
29
ditentang oleh Paulus. Meskipun pola ini memang terlihat dalam 4 Ezra,
namun Bauckham mengingatkan, 4 Ezra does rather than importantly
illustrate how the basic and very flexible pattern of covenantal nomism could

36

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

take forms in which the emphasis is overwhelmingly on meriting salvation by


works of obedience to the Law, with the result that achievement takes
center-stage and God's grace, while presupposed, is effectively
marginalized.30 Bauckham juga mencontohkan, With respect to 2 Baruch,
it would be more accurate to say not simply that God bestows mercy on the
righteous, but that God has mercy on the righteous because of their
31
goodworks. Kugler membuktikan bahwa dalam Perjanjian Musa,
seseorang get in memang melalui anugerah, seperti halnya yang
diungkapkan Sanders. Namun, tidak seperti covenantal nomism Sanders,
orang tersebut tetap stay in bukan karena ketaatannya, melainkan karena
32
penentuan anugerah Allah yang berdaulat. Witherington menambahkan
bahwa covenantal nomism juga inkompatibel dengan tulisan-tulisan lain,
seperti 2 Henokh, Jubilee 15:3-4; Yesus Ben Sira 44:19-21, CD 3:2 maupun
tulisan Philo dan Josephus.33 Ia pun menyimpulkan, The net effect of these
various discussions is that it becomes clear that Sanders's umbrella concept
of covenantal nomism has some holes in it, if it is meant to rule out the fact
that various early Jews did indeed take a line which Paul could have
critiqued under the banner of works of the Law=works righteousness,
especially in regard to the matter of final salvation.34 Teologi dan soteriologi
Yudaisme Bait Allah kedua bersifat sangat variatif sehingga
mengklasifikasikannya ke dalam sebuah sub-unit, seperti halnya yang
35
dilakukan Sanders, merupakan tindakan yang gegabah.
(2) Namun, terhadap teks-teks yang defektif ini, Sanders mengatakan
bahwa teks-teks tersebut pada dasarnya sama sekali tidak meruntuhkan
eksistensi covenantal nomism dikarenakan (a) struktur besar perjanjian dan
pemilihan pasti diasumsikan oleh penulisnya atau karena (b) teks-teks
tersebut, secara natur, bersifat kotbah. Sayangnya, argumen Sanders ini
pun tidak bisa dipertahankan karena dua hal:
1.

Carson dan Moo36 mengatakan bahwa cukup banyak studi teks-teks


Rabinik yang belakangan menunjukkan bahwa memang ada dua
konsep soteriologis yang berjalan berdampingan pada masa itu, yakni
keselamatan karena pemilihan dan keselamatan sebagai imbalan
perbuatan. Philip Alexander, misalnya, menunjukkan bahwa literatur
Tanaitik dipenuhi dengan konsep teologi yang berlawanan dengan
37
konsep anugerah, yakni merit theology. Ini berarti tidak semua teks
Yudaisme mengasumsikan struktur perjanjian dan pemilihan seperti
38
yang diungkapkan Sanders. Mengingkari fakta ini berarti kembali
terjebak dalam bentuk lain reduksionisme.

2.

Teks-teks homili seringkali lebih merefleksikan konsep teologi


seseorang tinimbang pengakuan imannya. Sebab itu, teks-teks kotbah
tidak bisa dikesampingkan begitu saja hanya karena secara natur
merupakan kotbah.

Meresponi New Perspective on Paul

37

Pendeknya, seperti yang ditulis Carson, one conclusion to be drawn, then,


is not that Sanders is wrong everywhere, but he is wrong when he tries to
39
establish that his category is right everywhere
(3) Studi yang dilakukan beberapa sarjana menunjukkan bahwa agama
Yudaisme merupakan agama yang sinergistik.40 Sanders sendiri
menyatakan bahwa seseorang get in dalam covenant karena anugerah,41
tetapi ia tetap stay in karena perbuatannya. Yang menjadi persoalan, pada
hari penghakiman nanti, kualitas dan konsistensi ketaatan kepada Taurat
akan menjadi pemisah antara seorang dengan yang lain. Sehingga
meskipun pemilihan untuk masuk ke dalam perjanjian memang soal
korporat, tetapi partisipasi dalam perjanjian tersebut tetap bersifat
42
individual. Dengan demikian, praktisnya, orang Yahudi diselamatkan baik
melalui anugerah maupun perbuatan (sinergisme). Dan menurut Carson
dan Moo nampaknya sinergime inilah yang Paulus kritisi dalam sejumlah
nas.43 Dari sini bisa disimpukan bahwa kategori yang Sanders sebutkan
(covenantal nomism) tidak bisa mencapai apa yang Sanders ingin capai,
yakni sebagai benteng pertahanan terhadap tuduhan bahwa beberapa
literatur Yudaisme abad pertama mengandung unsur perbuatan kebenaran
dan merit theology, tepatnya karena covenantal nomism sendiri
mengandung fenomena yang sama.44 Jadi, Yudaisme abad pertama
bukanlah murni agama anugerah (Sanders pun mengakuinya), melainkan,
seperti yang diungkapkan Seyoon Kim, Judaism was a covenantal nomism
45
with an element of works-righteousness.
(4) Upaya redefinisi pembenaran (dikaio,w dan turunannya) menjadi bahasa
deklaratif atau identitas perjanjian, seperti yang dilakukan Wright, juga perlu
dipertanyakan. Carson dan Moo menyebut bahwa upaya ini membalikkan
46
posisi antara yang sekunder dan primer. Meskipun sarjana modern
cenderung meremehkan elemen Perjanjian Lama dari istilah
pembenaran, namun untuk memahami bahasa Paulus tentang
pembenaran, seseorang harus menelusurinya dari Perjanjian Lama.47
Paulus memakai bahasa pembenaran tersebut dari Perjanjian lama,
meskipun dia menggunakannya dalam arahan yang berbeda, dengan cara
menguniversalkan kondisi manusia. Istilah ini, pertama-tama, merujuk
pada keberadaan manusia di hadapan Allah; sehingga dibenarkan berarti
ada dalam relasi yang benar dengan Allah, dan konsekuensinya, tentu saja,
seseorang masuk sebagai umat Allah. Memahami istilah pembenaran
hanya sebagai bahasa deklaratif berarti melewatkan penekanan Paulus
terhadap keberadaan manusia yang berdosa di hadapan Allah yang murka.
(5) Demikianpun redefinisi perbuatan Taurat menjadi sekadar
nasionalisme, seperti yang diusulkan Dunn, menyebabkan pertanyaan
serius. Istilah ini muncul hanya delapan kali dalam surat Paulus, yakni
hanya di surat Roma dan Galatia. Konteks pembicaraan Paulus dalam

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

38

Roma 1-3 menunjukkan bahwa diskusinya tentang perbuatan Taurat tidak


bersifat horizontal tetapi vertikal, yakni terkait dengan pelanggaran
terhadap Allah. Kesimpulan Paulus dalam Roma 3:20 juga mendukung
bahwa perbuatan di sana merujuk pada tuntutan Taurat bukan etnisitas (ay.
26; bnd. 22-23, 25, 27). Karena itu, Roma 3:20 tidak berkaitan dengan
apakah identitas Yahudi bisa membenarkan, tetapi apakah ketaatan orang
Yahudi bisa membenarkan. Menjadi orang Yahudi tidak membuatnya
menjadi benar sebab tidak ada orang Yahudi yang melakukan Taurat
dengan baik sehingga bisa menimbulkan kuasa keselamatan.
(6) Selain itu, Paulus menegaskan dalam Roma 2:1-29 bahwa bukan
ketaatan pada Taurat yang membuat orang Yahudi harus bertanggung
jawab saat penghakiman tetapi ketidaktaatan mereka terhadap Taurat.
Jadi, yang dikritisi Paulus bukan ketaatan mereka (nasionalisme) yang
dianggap menyelamatkan tetapi ketidaktaatan mereka. Alur ini jelas tidak
sesuai dengan proposal yang diajukan oleh Dunn.
KONKLUSI
Apa yang yang bisa disimpulkan di sini? Cara baru membaca tulisan
Paulus, dengan covenantal nomism sebagai kerangkanya, dalam beberapa
hal memang memberikan sumbangsih positif bagi studi Paulinisme. Akan
tetapi, dalam banyak hal, pembacaan ini terlalu redusionistik dan tidak
sesuai dengan konteks. Meskipun cara membaca Reformator pun perlu
dikritisi dalam banyak hal, namun pembacaan mereka tentang kritikan
Paulus terhadap peran perbuatan dalam keselamatan dan
ketidakmampuan manusia untuk selamat nampak lebih baik daripada yang
ditawarkan new perspective. Setidaknya dalam poin penting ini, para
Reformator memahami Paulus dengan tepat.
REFERENSI
Allman, James E., Gaining Perspective on the New Perspective on Paul,
Bibilotheca Sacra 170(January-March 2013)
Carson, D. A. and Douglas Moo, An Introduction to the New Testament
(Grand Rapids: Zondervan,2005).
Carson, D. A. (et.al), Justification and Variegated Nomism Vol. 1(Grand
Rapids: Baker, 2001)
Dunn, James D.G., New Perspective on Paul, Buletin of the John Rylands
University Library 65 (1983)
, The Theology of Paul the Apostle (Grand Rapids:
Eerdmans, 1998)
Dunn, James D.G. (ed), Paul and the Mosaic Law (Grand Rapids:
Eerdmans, 2000 [1996])

Meresponi New Perspective on Paul

39

Elliot, Mark A., The Survivors of Israel: A Reconsideration of the Theology of


Pre-Christian Judaism (Grand Rapids: Eerdmans, 2000)
Gager, J. G., The Origins of Anti-Semitism: Attitudes toward Judaism in
Pagan and Christian Antiquity (New York: OUP, 1983)
Gaston, L., Paul and the Torah (Vancouver: University of British Columbia,
1987).
Gundry, Robert H., Grace, Works, and Staying Saved Biblica 60 (1985)
Kim, Seyoon, Paul and the New Perspective: Second Thoughts on the
Origin of Paul's Gospel (Grand Rapids:Eerdmans, 2002)
Longenecker, Richard, Introducing Romans: Critical Issues in Paul's Most
Famous Letter (Grand Rapids:Eerdmans, 2011)
Montefiore, C., Judaism and St. Paul (London: Goschen, 1976)
Moo, Douglas J., The Epistle to the Romans (NICNT; Grand Rapids:
Eerdmans, 1996)
Moore, G.F., Christian Writers on Judaism, Harvard Theological Review 14
(1921)
, Judaism (3 Vols; Cambridge: Harvard, 1927-30)
Newman, Carey C. (ed),Jesus and the Restoration of Israel: A Critical
Assesment of N.T. Wright's Jesus and the Victory of God (Downers
Grove: IVP, 1999).
Oxford Advanced American Dictionary (Oxford: OUP, 2011)
Piper, John, The Future of Justification: A Response to N. T. Wright
(Wheaton: Good News/Crossway,2007).
Quarles, Charles L., The Soteriology of R. Akiba and E. P. Sanders' Paul
and Palestinian Judaism,New Testament Studies 42 (1996)
Raisanen, Heikki, Paul and the Law (Tubingen: Mohr, 1983).
Sanders, Ed Parish, Paul and Palestinian Judaism: A Comparison of
Patterns of Religion (Philadelphia:Fortress, 1977).
,Pattern of Religion in Paul and Judaism, Harvard Theological
Review 66(1973)
Seifrid, Mark, Justification by Faith: The Origin and Development of a
Central Pauline Theme, Novum Testamentum Supplement Series 68
(Leiden: Brill, 1992)
Stendahl, Krister, The Apostle Paul and the Introspective Conscience of the
West, Harvard Theological Review 56 (1963)
, Paul Among Jews and Gentiles (Philadelphia: Fortress, 1976).
Thurn, Lauri, Derhetorizing Paul: A Dynamic Perspective on Pauline
Theology and the Law (WUNT 124:Tbingen: Mohr-Siebeck, 2000)
Waters, Guy Prentiss, Justification and the New Perspective on Paul: A
Review and Response (Phillipsburg:P&R Publishing, 2004)
Westerholm, Stephen, Israel's Law and the Church's Faith (Grand Rapids:
Eerdmans, 1988)
Witherington III, Ben with Darlene Hyatt, Paul Letter to the Romans: A SocioRhetorical Commentary (Grand Rapids: Eerdmans, 2004)
Wright, N.T., What Saint Paul Really Said: Was Paul of Tarsus the Real
Founder of Christianity? (Grand Rapids: Eerdmans, 1997)
, Justification: God's Plan and Paul's Vision (Downers Grove: IVP,
2009).

Endnote
1.

Konsensus ini bisa ditemukan dalam beragam karya, mulai dari artikel, studi akademis (mis.
Ernst Kasemann, Deue Neue Testament als Kanon [Gottingen: Vandendhoek, 1970]) hingga
tafsiran monumental berbahasa Jerman, Strack-Billerbeck Kommentar. Bahkan, menarik
untuk dicatat, beberapa sarjana Katolik (mis. Hans Kung, Justification [London: Burns and
Oates, 1964]) juga melihat dengan cara yang sama seperti para Reformator, meskipun
mereka masih mempertahankan pembedaan antara pembenaran oleh iman dan
pembenaran oleh iman saja. Lihat juga agreed statement by the second Anglican-Roman
Catholic International Comission, Salvation and the Church (Anglican Consultative Council
and the Secretariat for Promoting Christian Unity, 1987)

2.
3.

Harvard Theological Review 56 [1963]: 199215.


Paul and Palestinian Judaism: A Comparison of Patterns of Religion (Philadelphia: Fortress
Press, 1977). Carson menulis bahwa Sanders sebenarnya telah mengantisipasi bukunya
melalui esainya Pattern of Religion in Paul and Judaism, Harvard Theological Review
66(1973): 455-78. Lihat D. A. Carson, Introduction, Justification and Variegated Nomism Vol.
1 (ed. D.A. Carson et.al; Grand Rapids: Baker, 2001), 1. Karya yang disebut terakhir
merupakan karya masif dan paling komprehensif yang meresponi new perspective,
khususnya tesis Sanders tentang covenantal nomism. Sekuel kedua dari karya ini meresponi
kaitan Paulus dan covenantal nomism.

4.

Konsep ini mengajarkan bahwa di akhir jaman perbuatan baik dan jahat seseorang akan
ditimbang, dan mana yang lebih berat akan menentukan kemana orang tersebut akan pergi.
Konsep ini mirip dengan doktrin keselamatan dalam Islam.

5.

Sanders, Paul and Palestinian Judaism, 422.

6.

Mungkin ini sebabnya Longenecker menuliskan bahwa Sanders sebenarnya lebih tepat
disebut sebagai penggagas New Perspective on Palestinian Judaism tinimbang New
Perspective on Paul. Lihat Richard Longenecker, Introducing Romans: Critical Issues in
Paul's Most Famous Letter (Grand Rapids: Eerdmans, 2011), 324-7.

7.

Judaism and St. Paul (London: Goschen, 1976)

8.

Christian Writers on Judaism, Harvard Theological Review 14 (1921): 197-254; juga

9.

Selain esai yang sudah disebutkan sebelumnya, lihat juga Paul Among Jews and Gentiles

Judaism (3 Vols; Cambridge: Harvard, 1927-30)

(Philadelphia: Fortress, 1976).


10. Dalam satu sesi ceramahnya di Reformed Theological Seminary mengenai topik New
Perspective on Paul ini, D. A. Carson menyebut bahwa terjadinya holocaust beberapa puluh
tahun sebelumnya berperan mendorong populernya karya Sanders. Holocaust membuat
pembicaraan atau studi yang menyinggung bangsa Yahudi atau Yudaisme menjadi topik yang
menarik pada masa itu. Rekaman audio ceramah Don Carson ini bisa diunduh di situs:
w w w. m o n e r g i s m . c o m / t h e t h r e s h o l d / b o o k s / l e c t u r e % 2 0 1 % 2 0 - % 2 0 n p p % 2 0 %20da%20carson.mp3
11. The Epistle to the Romans (NICNT; Grand Rapids: Eerdmans, 1996), 212-3.
12. Oxford Advanced American Dictionary mendefinisikan straw-man sebagai a weak, imaginary

Meresponi New Perspective on Paul

41

opponent or argument that is set up in order to be defeated easily ([Oxford: OUP, 2011], 1473)
13. Paul and the Law (Tubingen: Mohr, 1983).
14. J. G. Gager, The Origins of Anti-Semitism: Attitudes toward Judaism in Pagan and Christian
Antiquity (New York: OUP, 1983); L. Gaston, Paul and the Torah (Vancouver: University of
British Columbia, 1987).
15. D. A. Carson dan Douglas Moo menulis, What is attractive about Dunn's proposal is that it
offers a comprehensive interpretation of Paul that fits neatly with the covenantal nomism that
so many scholars are now persuaded was the actual Judaism with which Paul wrestled. Lihat
An Introduction to the New Testament (Grand Rapids: Zondervan, 2005), 377.
16. New Perspective on Paul, Bulletin of the John Rylands University Library 65 (1983): 95-122;
dicetak ulang dalam Jesus, Paul and the Law: Studies in Mark and Galatians (Louisville:
Westminster John Knox, 1990), 183-214.
17. Tempat terbaik untuk memelajari argumen Dunn ialah karyanya, The Theology of Paul the
Apostle (Grand Rapids: Eerdmans, 1998), khususnya 334-89.
18. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 377.
19. Lihat Theology of Paul, 354-9.
20. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 378.
21. Argumen Wright terutama bisa ditemukan dalam karyanya What Saint Paul Really Said: Was
Paul of Tarsus the Real Founder of Christianity? (Grand Rapids: Eerdmans, 1997) dan
Justification: God's Plan and Paul's Vision (Downers Grove: IVP, 2009). Untuk versi
singkatnya bisa dilihat di http://ntwrightpage.com/Wright_New_Perspectives.htm. Wright
mempertanyakan pengaitan Sanders, Dunn dan dirinya sebagai tokoh utama new
perspective. Ia menambahkan juga Richard Hays, Douglas Campbell, Terry Donaldson dan
Bruce Longenecker (Wright, Justification, 28).
22. Untuk kritik terhadap konsep pembuangan Wright, lihat Steven M. Bryan, Jesus and Israel
Traditions of Judgement and Restoration (Unpublished dissertation; submitted to the
University of Cambridge, 19990, 9-12; dikutip dalam Carson, Summaries and Conclusions,
Justification and Variegated Nomism, 546 n. 158. Lihat juga Carey C. Newman (ed), Jesus and
the Restoration of Israel: A Critical Assesment of N.T. Wright's Jesus and the Victory of God
(Downers Grove: IVP, 1999).
23. Wright bahkan menganggap bahwa doktrin imputasi ialah kategori yang salah (Wright, Saint
Paul, 98).
24. Detil konsep pembenaran Wright tidak akan dibahas di sini, namun beberapa karya telah
dibuat untuk meresponi pemikiran Wright ini, misalnya Guy Prentiss Waters, Justification and
the New Perspective on Paul: A Review and Response (Phillipsburg, NJ: P&R Publishing,
2004), dan yang cukup menarik ialah karya John Piper, The Future of Justification: A
Response to N. T. Wright (Wheaton: Good News/Crossway, 2007). Buku Wright yang disebut
sebelumnya, yang berjudul Justification and Paul's Vision merupakan respon Wright terhadap
karya Piper ini.
25. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 378.
26. Carson menulis, This new perspective is now so strong, especially in the world of English-

42

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013


languages biblical scholarship, that only the rare major work on Paul does not interact with it,
whether primarily by agreement, qualification, or disagreement. Lihat D. A. Carson,
Introduction, Justification and Variegated Nomism Vol. 1, 1.
27. Ia menyebutnya defective (Sanders, Paul and Palestinian Judaism, 423).
28. Daniel Falk, Psalms and Prayer, Justification and Variegated Nomism 1, 34.a
29. Craig Evans, Scripture Based Stories in the Pseudepigrapha, Justification and Variegated
Nomism 1, 57-72.
30. Richard Bauckham, Apocalypses, Justification and Variegated Nomism Vol. 1, 174
31. Ibid, 182.
32. Lihat Robert A. Kugler, Testament, Justification and Variegated Nomism 1, 189-213.
33. Ben Witherington III with Darlene Hyatt, Paul Letter to the Romans: A Socio-Rhetorical
Commentary (Grand Rapids: Eerdmans, 2004), 103; Lihat juga James E. Allman, Gaining
Perspective on the New Perspective on Paul, Bibliotheca Sacra 170 (January-March 2013):
66.
34. Witherington, Romans, 103.
35. Lihat juga evaluasi Longenecker, Romans, 329.
36. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 381.
37. Philip S. Alexander, Torah and Salvation in Tannaitic Literature, Justification and Variegated
Nomism 1, 261301. Dan lihat juga, tentang teks mishnaik tertentu, Charles L. Quarles, The
Soteriology of R. Akiba and E. P. Sanders' Paul and Palestinian Judaism, New Testament
Studies 42 (1996): 18595. Lihat juga Graham N. Stanton, The Law of Moses and the Law of
Christ, Paul and the Mosaic Law (ed. James D. G. Dunn; Grand Rapids: Eerdmans, 2000
[1996]), 1056.
38. Carson dan Moo (An Introduction to the New Testament,. 381-2) menambahkan bahwa bukti
lain perihal adanya legalisme dalam Yudaisme abad pertama yang sering diabaikan, namun
yang seharusnya diperhitungkan, ialah Perjanjian Baru. Meskipun Dunn mencoba
menginterpretasi ulang nas-nas legalistik menjadi nasionalistik, namun hampir semua sarjana
setuju bahwa beberapa bagian Perjanjian Baru dengan jelas menunjukkan atau menyiratkan
bahwa beberapa orang Yahudi memang mendasarkan keselamatan mereka pada Taurat.
Mereka yang menolak penggunaan Perjanjian Baru, biasanya beranggapan bahwa kitabkitab tersebut ditulis dalam sudut pandang oposisi, sehingga gambaran yang diberikan
cenderung bias. Namun, penulis Perjanjian Baru bukanlah musuh Yudaisme. Keduanya
terlibat dalam dialog ekstensif tentang siapakah suksesor kepercayaan Perjanjian Lama yang
absah. Oleh sebab itu, dalam memahami Yudaisme abad pertama, peran Perjanjian Baru
tidak bisa dikesampingkan begitu saja, terlebih bagi mereka yang memiliki penghargaan tinggi
terhadap akurasi Perjanjian Baru.
39. D. A. Carson, Summaries and Conclusions, Justification and Variegated Nomism, 543.
40. Lihat misalnya Robert H. Gundry, Grace, Works, and Staying Saved Biblica 60 (1985):
1920, 3536; Stephen Westerholm, Israel's Law and the Church's Faith (Grand Rapids:
Eerdmans, 1988), 14350; Mark Seifrid, Justification by Faith: The Origin and Development
of a Central Pauline Theme, Novum Testamentum Supplement Series 68 (Leiden: Brill, 1992),

Meresponi New Perspective on Paul

43

5657, 7181; Lauri Thurn, Derhetorizing Paul: A Dynamic Perspective on Pauline Theology
and the Law (WUNT 124; Tbingen: Mohr-Siebeck, 2000), 14648.
41. Bnd. juga disertasi Mark A. Elliot yang dibukukan, The Survivors of Israel: A Reconsideration
of the Theology of Pre-Christian Judaism (Grand Rapids: Eerdmans, 2000). Ada beberapa hal
yang ia bahas salah satunya ia mengatakan bahwa pandangan nasionalistik tidak secara
akurat merefleksikan beberapa kelompok Yahudi pra-Kristen. Ia mengatakan bahwa ada
beberapa pemilihan yang khusus (special election) yang nampak jauh sebelum periode
Perjanjian Baru. Dengan demikian klaim Sanders soal get in atas dasar kebangsaan juga
perlu dikaji lagi.
42. Alexander, Torah and Salvation in Tannaitic Literature, Justification and Variegated Nomism
1, 261301.
43. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 383.
44. Ibid. Bnd Moo, Romans, 215-6.
45. Seyoon Kim, Paul and the New Perspective: Second Thoughts on the Origin of Paul's Gospel
(Grand Rapids: Eerdmans, 2002), 8384.
46. Carson and Moo, An Introduction to the New Testament, 385.
47. Lihat Mark A. Seifrid, Righteousness Language in the Hebrew Scriptures and Early Judaism,
Justification and Variegated Nomism 1, 41542.

PLURALISME OIKUMENIS
DAN IMPLIKASI PELAYANAN PASTORAL
Marthen Nainupu
ABSTRAKSI
Hadirnya milenium ketiga dengan kecanggihan teknologinya, sudah
menyatukan berbagai belahan bumi yang sebelumnya terasa sangat
berjauhan, kini sudah sangat dekat bahkan telah menjadi sebuah kampung
kecil. Seiring dengan hal itu telah lahir pula suatu kesadaran baru akan
pluralisme, terutama pluralisme agama-agama dalam masyarakat
postmodern ini dan secara lebih khusus lagi pluralisme oikumenis.
Kehadiran pluralisme
mendorong untuk melakukan pendekatanpendekatan baru terhadap pelayanan pastoral, tetapi sekaligus melahirkan
sikap pro dan kontra di tengah masyarakat gereja. Artikel ini mencoba untuk
menelusuri akar-akar pluralisme serta beberapa problem yang ditimbulkan
olehnya. Fakta pluralitas di tengah kalangan masyarakat gereja menuntut
suatu sikap bijak dalam merespon pluralisme oikumenis , guna
membangun dan mengembangkan suatu semangat kerja sama di antara
para pelayan pastoral bagi keluasan kerajaan Allah.
Kata kunci: Pluralisme, Ekskulivisme, Inklusivisme, Pluralisme oikumenis,
Pelayanan pastoral yang berpusat pada Alkitab dan tradisi pelayanan
pastoral.
PENGANTAR
Sadar atau tidak, saat ini kita (gereja) hidup dan berkarya di tengah
semangat pemikiran pluralisme. Jika dibandingkan dengan beberapa
tahun yang lalu, hampir semua pemikiran besar saat itu telah di kuasai
oleh pemikiran tunggal dari agama, khususnya agama Kristen. Selama
milenium pertama dan kedua dimana pemikiran tunggal dikuasai oleh
pemikiran kristen. Sejarah telah mencatat bahwa pada masa milenium
pertama maupun kedua telah terjadi suatu masa yang sadis, banyak
kematian yang terjadi demi mempertahankan suatu pemikiran tunggal,
1
yang oleh Sumartana disebut Theological killing . Akan tetapi dengan
datangnya milenium ketiga ini, semangat pemikiran pluralis, semakin
bergema dimana-mana dan dapat dirasakan bahwa
kebenarankebenaran tunggal dalam agama Kristen sudah mulai kehilangan kekuatan
dan pengaruhnya. Semangat pluralisme ini mula-mula disadari dan
digalakkan oleh para pemikir kristen sendiri seperti Hans Kung, John Hick
dan Paul F. Knitter. Kini pengaruh semangat pemikiran pluralism sudah
merambah ke mana-mana.

45

46

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Sebenarnya semangat pemikiran pluralisme bukanlah hal yang baru,


bagi gereja atau jika kita mau melihat lebih jauh kebelakang, maka
semangat pluralisme itu kita akan segera temukan juga di dalam kelahiran
2
agama Yahudi . Sedangkan kalau kita berbicara tentang kehadiran agama
Kristen di Indoneia, memang agama kristen hadir di tengah-tengah agama
lainnya. Sebab realitas Indonesia sejak awalnya memang terdiri dari
kemajemukan dalam banyak hal. Hal tersebut kita semua tahu manakala
para pendiri negeri kita sudah mendeklarasikan keberagaman itu, dalam
suatu kalimat yang pendek: Bhineka Tunggal Ika. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya pemikiran tersebut mengalami berbagai
kebekuan dan bahkan terkesan kecenderungan untuk melupakannya.
Bilamana kita mau menengok sedikit jauh ke belakang, kita akan
segera menemukan akar-akar pemikiran pluralisme dalam tradisi pemikiran
Yunani kuno. Istilah pluralitas maupun pluralism, yang belakangan ini
sangat popular, sebenarnya bukanlah suatu istilah yang baru, melainkan itu
merupakan suatu istilah yang sudah usang. Hal itu kita dapat melacaknya
dari para ahli pikir jaman Yunani kuno. Pada jaman pra Sokrates misalnya,
gagasan pemikiran pluralisme sudah dirintis oleh Protagoras dengan
slogannya yang terkenal Manusia adalah satu-satunya ukuran bagi segala
3
sesuatu (Man is the measure of all things). Dari pernyataan Protagoras
tersebut telah terlihat dengan jelas semangat dan benih pluralism. Tetapi
kalau kita mundur sedikit ke belakang sebelum Protagoras, di sana kita
menemukan Herakletus, filosof dari Efesus, ia sudah menggagas ide awal
dari pemikiran pluralism. Filsafat Herakletus sering disebut dengan nama
filsafat menjadi. Artinya segala sesuatu di alam semesta ini sedang
menjadi dan selalu berada di dalam perubahan, tidak ada yang tetap,
semuanya mengalir. Panta Rei Uden Menei yang artinya bahwa segala
sesuatu mengalir tidak ada yang tinggal diam.4 Ia mengakui bahwa realitas
itu satu tetapi pada saat yang sama ia banyak dan itu bukan soal aksidental
melainkan essensial.
Dalam perjalanannya, pemikiran pluralis kurang memperoleh tempat
dalam kancah perdebatan filosofis. Sokrates sendiri adalah penentang
utama aliran berpikir pluralis. Pemikiran pluralis semakin hilang
pengaruhnya ketika dunia peradaban filsafat dikuasai oleh pemikiran
filsafat dan teologi Kristen. Dalam era filsafat dan teologi Kristen, semua
faham pemikiran politeisme Yunani dihapus dan diganti dengan pemikiran
monoteisme Kristen. Selama masa tersebut, pemikiran pluralism boleh
dikatakan hilang kekuatannya dalam berbagai diskusi filsafat.
Dalam tidur panjangnya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan hadirnya
jaman Renaisanse yang menempatkan manusia sebagai pusat pemikiran

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

47

segala filsafat. Selama era ini pemikiran pluralis kembali bergema dan
menjadi pokok diskusi para filosof, terutama para pemikir dari aliran
empirisme. Pemikiran-pemikiran dengan aliran pluralism terus bergulir
sejak era modern dan boleh dikatakan telah mencapai puncaknya di era
postmodern ini.
Semangat postmodern dan demokratisasi telah membuka peluang
yang sangat besar bagi hadirnya pluralism di tengah-tengah kehidupan
umat manusia. Memang harus diakui bahwa pluralism itu merupakan
bagian integral dari kehidupan umat manusia, akan tetapi pada masa
sebelum era kita hari ini, gerak pluralism itu masih sangat lambat dan hanya
dapat hidup dan bertahan secara local. Namun dengan datangnya era
paska modern ini, maka kekuatan pluralism semakin tampil mengemuka di
mana-mana. Hampir dapat dikatakan bahwa sudah tidak ada lagi batasbatas antara berbagai bagian dari kehidupan ini. Semangat pluralism telah
menghapus semua pemikiran tunggal dan menggantikannya dengan
pemikiran pluralism. Dalam bahasa Nietzsche, kebenaran adalah selalu
bersifat perspektifal. Artinya kebenaran selalu berada dalam perspektifperspektif tertentu. Di sini terlihat dengan jelas semangat pluralism yang
berujung kepada semangat relativisme, kekosongan dan kehampaan.
Ekses-ekses seperti inilah yang memunculkan berbagai reaksi terhadap
pemikiran-pemikiran pluralism. Kalau kita mau melacak lebih jauh lagi soal
pro dan kontra tentang pluralisme, kita bisa membuat buka dengan beratusratus halaman, sebab yang mendukung maupun yang menolak sangat
banyak, baik teolog, filosof, maupun awam. Pluralisme telah memecah
keseragaman berpikir dalam kelompok, misalnya para teolog dari gerejagereja Timur lebih senang dengan pluralisme, sedangkan teolog dari
5
gereja-gereja barat lebih cenderung menolak pimikiran pluralisme .
Memang memperdebatkan soal apa itu pluralisme, tidak akan pernah
habis-habisnya. Melalui tulisan ini saya mencoba untuk memahami
pluralisme dalam kaitannya dengan pelayanan pastoral. Dengan demikian,
percakapan ini hanya akan menampilkan sekilas beberapa pemikiran pro
maupun kontra. Tetapi yang lebih utama ialah bagaimana para pelayan
pastoral mengembangkan suatu sikap penuh empati untuk memanfaatkan
semangat pluralisme ini bagi keutuhan pelayanan.
APA ITU PLURALISME
Memahami pluralisme
Dari percakapan sebelumnya kita sudah melihat sekilas mengenai
akar-akar pemikiran pluralisme dari pemikiran filsafat, tetapi apakah

48

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

pluralisme itu? Ada baiknya, sebelum kita pahami bersama apa itu
pluralisme, dijelaskan lebih dahulu istilah pluralitas dan pluralisme yang
kedua istilah itu berasal dari akar kata yang sama. Kedua istilah tersebut
(pluralitas dan pluralism) berasal dari akar kata yang sama yaitu kata
6
pluralis dari bahasa Latin atau kata plural dari bahasa Inggris.
Diharapkan dengan adanya distingsi antara pluralitas dan pluralisme akan
terlihat semakin jelas apa itu pluralisme. Sebab sering kali kedua istilah ini
dipakai secara tumpang tindih dengan pengertian dan makna yang sama
saja. Di samping itu perjelasan tersebut dimaksudkan agar kita memiliki
pemahaman yang sama mengenai kedua istilah tersebut dan secara
khusus kata pluralisme yang saya gunakan dalam paper ini.
Pluralitas diterjemahkah dari kata plurality yang termaknai sebagai
keberagaman, kemajemukkan, kejamakkan. Kata pluralitas itu hampir
sama maknanya dengan kata kebhinekaan. Kebhinekaan atau
keberagaman seperti itu, memang adalah suatu realitas universal yang kita
dapat temui di mana-mana di seluruh dunia. Di Indonesia saja, kejamakkan
sebagai realitas sosial adalah merupakan suatu kenyataan, misalnya
kemajemukan suku, bahasa, budaya, adat istiadat, agama. Jadi pluralitas
adalah suatu deskripsi objektif atas atau terhadap realitas manusia dan
alam yang terdiri dari banyak hal yang beragam. Jadi kalau dalam
percakapan sehari-hari dan kita gunakan kata pluralisme agama ini salah
kaprah. Karena yang dimaksud dengan pluralisme agama dalam
percakapan tersebut adalah pluralitas agama yaitu bahwa memang di
Indonesia terdapat lima atau enam agama. Jadi sekali lagi, istilah pluralitas
lebih menunjuk kepada jumlah atau banyaknya agama, bahasa, budaya
dari pada perbedaan yang satu dengan yang lainnya.
Pluralisme sering diartikan sebagai sebuah paham (isme) suatu
perspektif ideologis filosofis dalam memahami realitas. Pluralisme bukan
sekedar soal kepelbagaian, bukan hanya soal jumlah, banyak atau sedikit,
majemuk atau tunggal, melainkan ia merupakan suatu paham (isme.)
Pluralism sebagai paham, mencoba untuk merangkul realitas pluralis
dalam suatu kesetaraan. Terhadap pluralisme agama atau keselamatan
yang disediakan agama, pluralisme berkeyakinan bahwa ada banyak jalan
menuju ke keselamatan. Tekanannya ada pada Allah sebagai pusat, atau
realitas tertinggi dan realitas tersebut dapat dipahami melalui berbagai
7
persepsi yang berhubungan dengan kebenaran. Upaya-upaya semacam
ini dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan berbagai pergesekan
dan perbedaan yang sering kali terjadi dan memicu berbagai konflik sosial
dalam masyarakat. Oleh karena itu paham pluralism mencoba untuk
mencari solusi terhadap berbagai konflik dengan meniadakan klaim-klaim
kebenaran. Pluralisme memberi tekanan pada kualitas keberagaman
sebagai realitas. Dengan paham pluralism, maka setiap keunikkan yang
terdapat pada suatu pandangan atau agama, direlatifkan makna dan
kebenarannya. Paham pluralis mencoba untuk menghapus kebenaran-

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

49

kebenaran tunggal dan menggantikannya dengan kebenaran-kebenaran


pluralis-relatif. Pemikiran semacam ini kita dapat melihatnya di dalam
8
pandangan dari Knitter . Dari perspektif tersebut di atas, maka pluralisme
yang dibicarakan bukan lagi penyajian suatu data deskriptif terhadap
realitas, melainkan suatu sikap pandang dalam memahami dan memaknai
realitas yang majemuk.
Sikap pandang terhadap realitas tersebut didorong oleh berbagai
peristiwa berdarah yang terjadi belakangan ini. Dalam berbagai analisis,
terutama analisis sosiolgis, ditemukan bahwa berbagai konflik sosial dan
peristiwa berdarah yang terjadi di berbagai tempat telah dipicu oleh klaim9
klaim kebenaran . Klaim-klaim kebenaran itu misalnya budaya, adat istiadat
dan terutama klaim kebenaran agama. Lahirnya ide pluralisme didasarkan
pada sebuah keinginan untuk melenyapkan klaim kebenaran yang
dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas
nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama.
Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatas namakan
agama baru akan bisa sirna jika masing-masing agama tidak lagi
menganggap agamanya yang paling benar. Maka para penganut semangat
pluralism mengajukan solusi yaitu harus dihapuskannya berbagai klaim
kebenaran, maka di situ akan tercipta kehidupan yang rukun dan damai.
Sebenarnya pluralisme itu sendiri masih dapat dikelompokkan ke
dalam tiga kelompok. Kelompok pertama disebut pluralism tradisional.
Mengenai pluralisme tradisional ini Wahono10 menyebutnya sebagai tahap
Ignorant, dimana masing-masing penganut agama tahu bahwa ada agama
lain di sampaing agama saya, tetapi masing-masing penganut agama
berjalan sendiri-sendiri. Tidak saling mengganggu dan tidak saling
mempedulikan satu sama lain. Mereka menerima saja perbedaanperbedaan tersebut sebagai sesuatu yang bersifat alamiah. Kedua ialah
kelompok pluralism terbatas, dimana masing-masing penganut agama
berjuang untuk menemukan kebenaran menurut agamanya sendiri yang
bersifat eksklusif. Di sinilah sebenarnya awal mula klaim-klaim kebenaran
muncul kepermukaan. Pluralisme ketiga ialah apa yang kita kenal dewasa
ini yaitu pluralism ekstrim sebagai sebuah paham. Pluralisme dewasa ini
sudah menjadi ciri utama dari kehidupan sosial. Sesungguhnya dunia kita
dewasa ini sudah menjadi sebuah kampung kecil yang sangat heterogen di
mana umat manusia hidup bersama di dalamnya. Bukan hanya hidup
bersama tetapi tiap-tiap orang sudah mengalami proses emansipasi, dan
sadar akan hak-haknya untuk berpendapat. Sadar akan kenyataan
semacam ini, munculkan semangat pluralisme hari ini.
Skeptisisme. Sekilas, banyak orang mempunyai anggapan bahwa
pluralism sama artinya dengan skeptisisme atau sebaliknya. Namun kalau
kita perhatikan dengan lebih teliti, kita akan segera tahu bahwa kedua istilah
tersebut tidaklah sama artinya. Skeptisisme adalah sebuah paham yang

50

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

mengatakan bahwa manusia dengan akal budinya tidak akan pernah


mencapai kebenaran sejati. Maka kebenaran satu-satunya ialah
meragukan semua kebenaran11. Skeptisisme mengatakan bahwa manusia
tidak mungkin mengetahui persesuaian antara pengetahuan dengan
kenyataan. Budi manusia tidak dapat mengenal realitas seperti dalam
dirinya sendiri. Skeptisisme semacam ini muncul dalam bentuk relativisme
dan individualisme12. Bagi penganut skeptisisme mereka mengatakan
bahwa segala kebenaran hanya berlaku bagi subjek tertentu dalam situasi
tertentu pula. Jadi ada perbedaan yang mendasar antara pluralisme dan
skeptisisme. Di dalam pluralisme kita masih bisa menemukan kebenaran,
meskipun menurut paham ini, kebenaran itu terbatas, tidak lengkap.
Sedangkan di dalam skeptisisme kita tidak akan pernah menemukan
kebenaran, karena pencari kebenaran itu sendiri pada dasarnya adalah
terbatas. Memang ada beberapa pemikir seperti Alan Race yang
menggolongkan pluralisme ke dalam varian relativisme, tetapi beberapa
pengamat lain lagi seperti Knitter melihat bahwa pluralisme dan relativisme
13
sebagai dua cara pandang yang berbeda, meskipun kadang berdekatan .
Pluralisme sebagaimana dijelaskan di atas, sebenarnya bukanlah
pluralisme yang mengalir dari pemikiran filsafat, melainan lahir dari realitas
sosial yang memang plural dan keadaan itu terus berkembang dengan
begitu cepat di era kita ini, serta membawa beberapa dampak negatif seperti
konflik-konflik sosial. Maka pluralisme ini sebenarnya merupakan suatu
usaha untuk meredam berbagai konflik sosial. Pluralisme semacam ini juga
merupakan kelanjutan dari sikap-sikap masyarakat agama terhadap
realitas plural.
Beberapa Sikap Terhadap Pluralisme
Setelah kita melihat apa itu pluralisme, kini kita mencoba lagi untuk
melihat beberapa sikap terhadap pemikiran pluralisme. Secara deskriptif
dapat diklasifikasikan menjadi tiga sikap utama.
Pertama paradigma eksklusive Paradigma eksklusivisme
merupakan pandangan yang dominan di sepanjang sejarah agama-agama
dan tetap dianut pemeluk agama sampai saat ini. Inti pandangan
eksklusivisme ialah bahwa agama yang dianut seseorang adalah satusatunya jalan yang sah, benar menuju keselamatan dan Sorga. Pandangan
ini menyebar di semua agama wahyu di seantero dunia ini. Di kalangan
agama kristen, Yesus dipahami dan diyakini sebagai satu-satunya jalan
menuju ke keselamatan ( Yohanes 6 : 14, Kisah Para Rasul 4 : 12)
Pandangan ini merupakan pandangan yang sangat klasik dan dipegang
teguh
oleh hampir semua orang kristen dari berbagai aliran dan
denominasi.
Dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat,
pandangan ini akan termanifestasi dalam beberapa sikap lagi. Sikap

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

51

pertama dari paradigma eksklusif adalah sikap menarik diri. Dari segi
sosiologis, apabila dalam suatu komunitas dimana penganut agama
tertentu merasa dirinya lebih kecil dari segi jumlah dan pengaruh, maka ia
akan lebih cenderung menarik diri dari realitas sosial yang majemuk dan
membentuk komunitas eksklusif, tertutup dalam pergaulan. Dalam keadaan
tertentu, mereka cenderung menjauhkan diri dari pengaruh mayoritas ke
14
daerah yang terpencil
Sikap kedua dari paradigma eksklusif ialah sikap menyangkal
kehadiran agama lain dengan melakukan tindakan depresif. Lagi-lagi dari
segi sosiologis, apabila dalam suatu wilayah tertentu dan terdapat suatu
golongan agama tertentu yang merasa lebih besar dalam jumlah maupun
pengaruh maka ia akan melakukan protes-protes terbuka terhadap
kelompok agama lainnya yang menurut golongan tersebut agama
merekalah yang benar dan agama lainnya adalah salah bahkan sesat.
Kelompok mayorits menciptakan suatu mitos bahwa merekalah yang
dipanggil untuk berkuasa dan menentukan jalannya masyarakat. Semua
minoritas harus ditundukkan kepada keinginan mayoritas15. Oleh karena itu
agama dengan penganut minoritas harus dikuasai dan ditaklukkan, baik
dengan secara paksa maupun dengan cara-cara yang lebih halus.
Kedua Paradigma Inclusive. Paradigma ini bertolak dari suatu
pemikiran bahwa semua agama dengan segala ajarannya, mampu
menyediakan jalan keselamatan yang dapat menyelamatkan umatnya
sejauh mereka (umat) hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan.
Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan dan aktivitas
Allah dalam tradisi agama-agama lain. Maka di dalam perjumpaan antar
umat beragama yang bebeda-beda, hampir kurang terjadi konflik sosial,
karena masing-masing mengakui dan menghargai perbedaan agama.
Dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat,
pandangan ini akan termanifestasi dalam beberapa sikap. Sikap pertama
dari paradigma inklusif ialah sikap akomodatif. Sikap akomodatif ini lebih
mementingkan keselamatan di dalam tiap-tiap agama. Oleh karena itu
kebersamaan dan kerukunan menjadi pusat perhatian mereka dan tidak
mempersoalkan ajaran-ajaran agama dimana terdapat perbedaanperbedaan. Agama, dengan segala ajarannya itu urusan interen agama
masing-masing orang atau soal agama itu adalah urusan hati tiap orang
dengan Tuhan. maka biarlah urusan masing-masing orang dengan Tuhan
dan biarlah Tuhan yang tahu. Terkadang sikap ini jatuh kepada sinkritisme.
Sikap kedua dari paradiga inklusif ialah inklusif kritis. Model ini sadar
akan perbedaan ajaran agama masing-masing. Oleh karena itu masingmasing umat penganut agama tertentu, berusaha untuk berpegang teguh
pada ajaran agamanya. Ciri pokok dari semangat inklusif kritis ialah: Hadir
di tengah masyarakat pluralis, melihat, menimbang, memutuskan dan
bertindak. Pandangan inklusif kritis bisa juga disebut sebagai inklusif

52

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

transformatif. Ia hadir di tengah pluralitas agama dan berjuang untuk


membawa transformasi atau perubahan terhadap kehidupan sosial
masyarakat. Ada semacam kesadaran bahwa sebagai sesama umat
manusia, kita harus hidup dan saling menghidupkan di antara sesama
umat beragama sehingga tercipta suatu masyarakat damai sejahtera. Jadi
inklusif kritis mengembangkan sikap saling menghargai kepelbagaian
masing-masing penganut umat beragama dengan semangat saling
menghormati dan saling memberdayakan menuju masyarakat sejahtera.
Sikap menarik diri (ekslusif)?sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
adalah sikap yang tidak sesuai dengan mandat menjadi garam dan terang
(Matius 5 : 13 16) di dunia. Selanjutnya sikap mengikuti arus pluralisme
tanpa sikap kritis (akomodatif), juga merupakan sikap yang bertentangan
dengan Roma 12 : 2. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia
(Sekuler) atau Sinkritisme.
Maka sikap inklusif kritis dengan kesadarannya untuk menjadi garam
dan terang dunia dan tidak menjadi serupa dengan dunia ini, maka ia hadir,
memperhatikan, memahami, menimbang, memutuskan dan bertindak
adalah sikap yang tepat16. Sikap inklusif kritis dengan kehadirannya dam
kemampuan memahami akan dapat mengendalikan semangat pluralisme
ke suatu tatanan hidup yang lebih memuliakan Tuhan. Usaha untuk
membangun sikap saling pengertian, yang dilakukan melalui dialog, sangat
membutuhkan sikap kritis. Sebab semangat dialog bukan untuk
menyelaraskan semua keyakinan dari tiap-tiap agama, melainkan
pengakuan bahwa tiap-tiap orang beragama memiliki keyakinan yang
teguh dan mutlak dan bahwa keyakinan-keyakinan ini berbeda. Dialog
menurut pemikiran saya, bukan soal mencari-cari kesamaan pandangan
untuk membangun saling pengertian, melainkan dalam dialog itu kita saling
menyadarkan bahwa manusia itu sudah teralienasi dari Allah karena dosa.
Dosa membawa kematian spiritual.
Kematian spiritual terebut tidak lain merupakan alienasi jiwa dari
Tuhan17 Atas kesadaran tersebut, maka dialog itu sendiri hendaknya
menghantar setiap orang kepada peristiwa dan Pribadi Yesus
Kristus.18Mengapa setiap orang perlu bertemu dengan peristiwa dan pribadi
Yesus Kristus? Karena Injil bukan untuk sekelompok orang melainkan
untuk semua umat manusia yang sudah mengalami keterasingan [alienasi]
dari Tuhan.

Ketiga Pandangan Pluralisme. Pandangan ini mengatakan bahwa


setiap agama mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itulah
semua klaim bahwa hanya agamanyalah adalah satu-satunya yang sah
dan benar, harus ditinggalkan. Dengan kata lain pluralisme agama
menghendaki agar setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui
perbedaan dan hak agama lain, tetapi harus terlibat di dalam usaha

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

53

memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam


kebhinekaan. Bahasa populernya di tanah air kita ialah toleransi dan dialog.
Dalam pergaulan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat,
pandangan ini akan termanifestasi dalam beberapa sikap yaitu, pertama
adalah sikap pluralisme eksistensial. Gerakan ini berjuang untuk
menyadarkan semua umat beragama bahwa secara kodrati realitas itu
plural. Artinya kita harus mengakui dan menerima bahwa realitas kosmos ini
memang banyak ragamnya dan untuk itu tidak perlu dipertentangkan satu
sama lainnya. Contoh dari pandangan ini ialah pelangi. Pelangi itu indah,
menarik bahkan mempesona kita, karena keragaman warnanya.
Sikap kedua ialah pluralisme relativisme. Pandangan ini bergerak dari
asumsi bahwa realitas mutlak itu adalah relatif. Tidak ada suatu kebenaran
apapun di dalam apapun. Ini pengaruh dari filsafat Kant yang meradikalkan
perbedaan antara fenomena dan noumena. Semua agama sedang dalam
pencaharian akan kebenaran dan kita hanya menangkap fenomenanya
saja sedangkan yang sesungguhnya tidak seorangpun yang tahu. Sikap
semacam ini sangat melemahkan kebenaran yang diakui dan diyakini oleh
setiap agama selama ini. Apabila kebenaran yang diyakini oleh tiap agama
direlatifkan, maka kemanakah kita harus mencari dan membangun lagi
kebenaran?
BEBERAPA PROBLEM UMUM DARI PLURALISME
Dari percakapan sebelumnya, sebenarnya sudah terlihat di sana-sini
adanya maslaha-masalah yang ditimbulkan oleh semangat pluralisme
tersebut. Atau adanya keberatan-keberatan tertentu mengenai paham
pluralisme. Para penganut pluralisme berupaya untuk mendorong
kekristenan bergerak keluar sehubungan dengan agama-agama lain di
dunia. Akan tetapi upaya tersebut telah menjumpai perlawanan yang tidak
kecil jumlahnya, sebagian berasal dari luar dan sebagian lagi berada di
dalam diri kita sendiri.19 Kita tidak akan membicarakan semua masalah
pluralisme di sini, tetapi saya hanya ingin melihat beberapa masalah yang
secara khusus berkenaan dengan implikasi pastoral.
Pluralisme sebagai problem sosiologis (keluarga)
Jika kita ikuti alur pemikiran dari kaum pluralisme, maka pluralisme
diusung sebagai solusi terhadap berbagai konflik dan kekacauan dalam
masyarakat. Secara teoritis, maksud baik tersebut dapat meredam
berbagai konflik sosial dalam masyarakat, namun dalam kenyataan
empiris, saya justru melihat bahwa dengan hadirnya pluralisme tersebut
justru menghadirkan sekaligus persoalan dalam keluarga. Yang saya
maksud dengan pluralisme sebagai problem sosiologis atau keluarga ialah

54

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

bahwa pluralisme selalu mengadung potensi konflik sosial atau kekaburan


identitas. Pluralisme oikumenis yang bersifat denominasional dengan
keterbukaan pikiran dan pendapat, justru menyebabkan kebingungan. Sulit
bagi kita untuk melihat dan menperoleh kepastian, sebab banyak pilihan
dan banyak alternatif. Sekedar contoh, mengenai liturgi ibadah,
persekutuan-persekutuan dengan nyanyian-nyanyian, terlalu banyak
pilihan dan kemungkinan.
Dalam konteks gereja-gereja di Indonesia, pemandangan seperti ini
tidak jarang kita jumpai bahwa dalam sebuah keluarga, bahwa anggota
keluarganya memiliki atau menganut sekaligus beberapa agama.
Dikalangan agama Kristen sendiri, tidak jarang kita temui bahwa dalam satu
keluarga anggota keluarganya menganut berbagai aliran denominasi
gereja. Keberadaan mereka dalam sebuah keluarga dengan bermacammacam denominasi gereja mengandung potensi konflik dalam keluarga.
Dalam keluarga dengan kepelbagaian denominasi gereja, akan melahirkan
pluralisme behavioristik. Menurut para ahli sosiologi, pluralisme
behavioristik merupakan inti permasalahan sosiologis. Permasalahan itu
berawal dari keyakinan atau hasrat dengan nama dogma yang berbeda,
aturan dan keinginan yang berbeda pula. Padahal keluarga sebagai
persekutuan yang paling asli, yang membentuk seluruh keyakinan dan
kewajiban moral. Pluralisme behavioristik bisa menjadi pokok
permasalahan, hal tersebut bisa terjadi karena tiap-tiap aliran denominasi
gereja memberi tekanan tertentu pada satu pokok ajaran atau doktrin.
Dengan memberi tekanan hanya pada satu pokok ajaran, saya rasa bahwa
itu adalah suatu bentuk kekaburan identitas sebagai orang kristen. Sebab
orang kristen percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan, tetapi mengapa
hanya menekankan satu pokok saja sebagai satu-satunya doktrin? Pada
umumnya masing-masing anggota keluarga mempertahankan dokrtin dari
aliran atau denominasi gerejanya. Inilah yang saya sebut sebagai
kekaburan identitas.
Tetapi di sisi lain mungkin mereka mengembangkan suatu sikap
toleransi, saling membiarkan, masing-masing bertumbuh dengan atau
menurut doktrin dari gerejanya. Bila hal ini yang dianut, maka mereka akan
segera jatuh kepada kekaburan identitas yang lebih serius lagi karena akan
menimbulkan kebingunan dari masyarakat sekitarnya. Dalam percakapan
saya dengan beberapa keluarga yang semacam ini, biasanya mereka
menyebut dirinya dengan nama keluarga keluarga Indonesia, agama
Pancasila. Dalam suasana normal, barangkali pluralisme agama atau
aliran denominasi gereja dalam keluarga boleh jadi aman-aman saja. Akan
tetapi manakala terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terutama yang
berkaitan dengan masalah agama atau aliran denominasi, maka di situlah
akan muncul berbagai masalah. Hal-hal semacam ini bisa menyeret para
anggota keluarga itu sendiri terjatuh ke dalam konflik dan pertengkaran.

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

55

Keluarga sebagai unit paling kecil dalam masyarakat tetapi sekaligus


sebagai fondasi persatuan, ternyata dengan adanya pluralisme aliran
denominasi gereja sudah menjadi benih perselisihan di anatra anggota
keluarga. Konsekuensi yang lebih jauh dari pluralisme aliran denominasi
gereja ialah terlepasnya anggota keluarga dari ikatan akar komunitas
keluarga, sebab masing-masing mengembangkan kediriannya (semangat
individualisme) sendiri. Nah jika benar hal ini yang terjadi, maka menurut
analisis dari Durkheim tentang masalah bunuh diri, ia menemukan bahwa
salah satu sebab bunuh diri ialah karena seseorang tercabut dari ikatan
akar komunitas keluarga. Bunuh diri sebagai akibat dari tercabutnya
seseorang dari akar kumunitas keluarga, lebih banyak ditemukan di antara
orang kristen Protestan jika dibandingkan dengan orang Katolik. Dalam
analisisnya lebih jauh ia menemukan bahwa orang protestan itu lebih
20
individual, sedangkan orang Katolik itu semangat komunalnya lebih tinggi .
Jadi bagi seseorang dengan semangat individual, ternyata tidak kuat
menghadapi tantangan, karena ia tidak memiliki dukungan sosial,
manakala ia berada dalam berbagai persoalan hidup. Selanjutnya
masyarakat (keluarga) seperti yang disebutkan Durkheim ialah masyarakat
Sui Generis yang memiliki solidaritas yang didasarkan pada prinsip21
prinsip moral . Keluarga sebagai unit persekutuan yang paling asli
hendaknya terus mengembangkan kesadaran kolektif sebagai suatu
kesatuan komunitas keluarga. Hal tersebut dapat terwujud manakala
anggota keluarga secara bersama-sama memiliki satu kepastian panduan.
Pluralisme Sebagai Problem Psikologis
Dalam sebuah keluarga perlu ada sistim tata nilai yang harus dianut
bersama. Pada umumnya sistim tata nilai dalam keluarga-keluarga kristen
di Indonesia adalah sistim tata nilai dari orang tua, khususnya bagi anakanak yang masih dibawah asuhan mereka. Sistim tata nilai itu bisa berupa
nilai-nilai agama, budaya ataupun tradisi-tradisi lainnya yang dianut oleh
orang tua selama itu. Sistim tata nilai tersebut sebagai batasan dan bila
mana batasan-batasan itu dilanggar maka di situ akan menimbulkan
berbagai kesulitan dalam keluarga. Sistim tata nilai tersebut perlu
diinternalisasikan ke dalam anggota keluarga sedini mungkin, sehingga
anggota keluarga mempunyai batasan yang jelas. Apabila anggota
keluarga yang kehidupan dunia moralnya terbentuk dengan baik, ia akan
membangun kesadaran kebersamaan secara lebih baik, sedangkan
anggota keluarga yang orientasi hidupnya di dorong oleh hawa nafsu, maka
orang tersebut akan lebih cenderung untuk mengabaikan nilai-nilai moral.
Apabila tidak ada batasan-batasan yang jelas dalam keluarga, maka
disitu pula akan menimbulkan banyak kesulitan. Batasan dalam keluarga
diperlukan untuk mengatur berfungsinya keluarga secara utuh. Oleh karena
itu baik indivudi maupun seluruh anggota keluarga, mereka dibatasi oleh
batasan-batasan hubungan antar pribadi. Batasan-batasan ini berfungsi
untuk menjaga otonomi keluarga.

56

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Apabila dalam sebuah keluarga dengan semangat pluralisme aliran


denominasi gereja dan tentu dengan sendirinya sudah berlaku nilai-nilai
pluralis, maka hal tersebut akan segera menimbulkan kebingungan di
antara anggota keluarga. Keluarga akan terpecah-pecah oleh pandangan
yang saling berbeda dan bahkan saling bertentangan, terutama mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan ajaran iman bersifat prinsip. Bilamana
sebuah keluarga mengalami kebingungan acuan moral maka kehidupan di
dalam keluarga tersebut tidak akan tenang. Keluarga yang mengalami
kebingungan seperti itu, sangat sukar untuk bisa menciptakan suasana
damai sejahtera dan tenang. Manakah yang harus dipegang dan manakah
yang benar, sebab semua diakui kebenarannya. Maka dari pandangan
psikologis, Potensi kekaburan jati diri keluarga akan memicu lahirnya stress
personal maupun komunal. Komunikasi akan menjadi terhambat, dan
suasana kebersamaan dalam keluarga akan menjadi sangat terganggu. Di
sini akan tercipta suatu pola baru yang disebut sebagai budaya bisu dalam
keluarga, dimana komunikasi tidak akan berjalan dengan sehat.
Mempertahankan diri dalam ketertutupan tanpa komunikasi akan
menyengsarakan diri sendiri. Keluarga yang hidup bersama dengan tanpa
komunikasi yang sehat, akan menimbulkan rasa frustrasi dan jengkel di
dalam jiwa anggota keluarga22.
Pluralisme Sebagai Masalah Teologi Pastoral
Problem pastoral di sini ialah potensi akomodatif / sinkritisme dan
bahaya dogmatism. Para pelayan pastoral dalam mensikapi pluralisme
selalu ada kecenderungan untuk memilih satu sikap ektrim dari dua
kemungkinan. Sikap ekstrim pertama ialah menyambut dengan semangat
pandangan-pandangan pluralis tanpa sikap kritis dan menolak dengan
tegas-tegas apa-apa yang dimilikinya selama ini tanpa suatu pertimbangan
yang matang. Barangkali ada keluarga yang menganut paham akomodatif
akan mencoba untuk menetralisir semua pandangan yang dianut dalam
keluarga untuk saling menerima dan mengakui dan bisa menciptakan suatu
suasana yang harmonis. Namun kalau usaha tersebut tidak dilakukan
dengan sikap kritis, maka usaha itu akan segera menghantar keluarga
tersebut kepada sikap sinkritsme. Jadi upaya untuk menyelamatkan
keluarga dengan semangat pluralis akan jatuh ke dalam bahaya
sinkritisme. Ini juga sangat berbahaya.
Bagi keluarga yang mengambil sikap tersebut, Segala suatu
dianggap seperti mode yang diciptakan menurut selera musim, lantas
23
disingkirkan untuk diganti dengan mode yang lain. Sikap semacam ini
sangat terbuka peluang untuk jatuh ke dalam bahaya sinkritisme.
Sinkritisme yang saya maksud ialah bukan soal-soal yang hanya sematamata berhubungan dengan hal-hal mistis atau penyembahan berhala,
melainkan penggunaan istilah-istilah dari disiplin ilmu sosial misalnya soal
dosa disamakan begitu saja dengan istilah id dari psikoanalisa Freud.
Penyamaan istilah-istilah teologi dengan istilah-istilah non teologi, menurut

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

57

saya, adalah suatu bentuk sikritisme baru, karena setiap disiplin ilmu, ia
mempunyai istilah-istilah yang khas dengan makna yang khas pula dan
tidak bisa disamakan begitu saja.
Ketercabutan dari akar tradisi pastoral gereja. Dalam pelayanan
pastoral, referensi yang dipakai adalah referensi ilmu-ilmu social seperti
psikologi, sosiologi atau ilmu kedokteran, dll. meskipun para pelayan
pastoral itu tidak memiliki pengetahuan dasar yang memadai untuk bidang
yang direfrensi tersebut. Pola-pola tradisi dari pastoral telah ditinggalkan.
Pola-pola tradisi yang saya maksud ialah Alkitab, sejarah pelayanan
pastoral dari gereja di masa lampau, teologi pastoral dan sejenisnya.
Tradisi tersebut sudah ditinggalkan oleh para pelayan pastoral hari ini.
Meninggalkan Alkitab. Hal tersebut dapat kita saksikan di dalam
berbagai khotbah dewasa ini. Dalam sebuah khotbah bukan lagi pesan
Alkitab yang mau disampaikan tetapi para pelayan pastoral
mengembangkan cerita-cerita pengalaman dari berbagai macam suku dan
budaya maupun pengalaman dirinya sendiri. Pembiasaan seperti ini sadar
atau tidak sadar akan segera membentuk suatu persepsi baru yaitu bahwa
cerita-cerita besar dari berbagai suku bangsa tersebut, sama nilainya
dengan cerita-cerita besar dalam Alkitab. Jika hal ini yang terjadi, maka
gereja telah menjadi agen untuk paham pluralism, yaitu menghapus
metanarasi dan menggantikannya dengan cerita-cerita rakyat dari
berbagai budaya dan agama. Tanpa disadari bahwa dengan cara tersebut
para pelayan pastoral telah menciptakan Alkitab baru yang penuh dengan
kisah-kisah pengalaman dari masing-masing individu.
Sikap ekstrim lainnya ialah bahaya dogmatisme. Berseberangan
dengan kelompok akomodatif ialah kelompok yang mencoba menutup diri
dengan nama dogma. Bagi kelompok ini bila berhadapan dengan paham
pluralisme, mereka segera menutup diri, membuat kepompong baja,
seraya memperkuat sikap mengagung-agungkan serta memutlakkan apa
yang dipunyai dan merelatifkan apa yang tidak dipunyai. Hal tersebut
dapat dipahami oleh karena keyakinan agama selalu bersifat dogmatis
yang tidak pernah memberi tempat pada keraguan dan pertanyaan.
IMPLIKASI PASTORAL
Di tengah silang pendapat dan pandangan dari para teolog di sanasini mengenai pluralisme, para petugas pastoral sebaiknya tidak usah
terjebak dalam perdebatan yang melelahkan itu. Para pelayan pastoral
harus tetap setia pada komitmentnya untuk memelihara jemaat Tuhan (2
Korintus 11 : 28) Kadang para pelayan pastoral tergoda untuk melakukan
tindakan konfrontasi dan mengeluarkan anggota gereja yang sangat
mendukung semangat pluralism. Sikap ini tidak perlu diambil, sebab
mereka yang senang dengan paham pluralisme itu bukanlah musuh kita (2

58

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

Tesalonika 3 : 15). Terkadang pula para pelayan pastoral tergoda untuk


bertindak masa bodoh terhadap apa yang sedang terjadi. Sikap inipun tidak
perlu diambil, sebab memang tugas pastoral ialah berusaha untuk selalu
mengingatkan (1 Timotius 4 : 6) jemaat akan segala hal yang membawa
mereka kepada kesempurnaan hidup. Jika demikian sikap seperti apakah
yang perlu diambil oleh para pelayan pastoral? Pada bagian-bagian
sebelumnya saya sudah menyinggung bahwa Alkitab dan tradisi pastoral
sudah ditinggalkan dalam pelayanan pastoral, maka di bawah ini saya akan
memperjelas apa yang saya maksud dengan pernyataan tersebut.
Kembali Kepada Alkitab
Kita tentu masih ingat akan semangat Martin Luther dengan Sola
Scripturanya yang menggoncangkan dunia. Ketika itu dunia hampir dapat
dikatakan sudah dan sedang dikuasai oleh semangat filsafat dan teologi
abad pertengahan. Keadaan itu membuat gereja lupa akan firman Tuhan,
para pemimpin gereja terjebak ke dalam diskusi yang tak pernah selesai
tentang filsafat, teologi dan ilmu pengetahuan. Tentu diskusi-diskusi
semacam itu tidak salah tetapi apa yang salah ialah bahwa diskusi itu sudah
semakin jauh meninggalkan alkitab. Maka di sanalah Martin Luther hadir
dan menyerukan untuk kembali kepada Alkitab.
Apa yang saya mau sampaikan dengan kalimat kembali kepada
Alkitab? Yang saya mau katakan ialah bahwa para pelayan pastoral
hendaknya membaca ulang Alkitab dengan teliti dan perlahan-lahan. Sebab
hanya dengan sikap membaca yang demikian kita akan menemukan bahwa
Alkitab sudah menyajikan kepada kita berbagai kemungkinan untuk
kepentingan kebersamaan kita. Alkitab sebagai sumber bagi pelayanan
pastoral sudah menyediakan kepada kita berbagai cara dengan segala
kekayaannya untuk kepentingan pemeliharaan domba-domba milik Tuhan.
Kalau kita perhatikan dengan teliti dan tidak tergesa-gesa, kita akan segera
menemukan kepelbagaian yang sangat kaya di dalam Alkitab. Membaca
dengan teliti membutuhkan kemauan untuk mendengarkan. Kitab suci yang
tidak didengar akan menjadi tidak menarik, tidak akan memberi inspirasi.
Mendengarkan artinya bersedia membuka hati, membuka diri,
bersedia menerima, berpikir dan merenungkan serta mengelola apa yang
didengar. Jadi sebagai pelayan pastoral janganlah kita terjebak ke dalam
satu pandangan yang ekstrim, apakah pandangan eksklusif, inklusif
ataupun pluralis. Janganlah kita melihat padangan-pandangan itu sebagai
yang saling bertentangan dan saling meniadakan. Pandangan-pandangan
tersebut hendaknya dilihat sebagai kekayaan kecerdasan manusia dalam
merumuskan pengalamannya dengan Tuhan. Di dalam Alkitab kita bisa
menemukan pandangan eksklusif, misalnya dalam Perjanjian lama Allah
menyuruh umatNya untuk memisahkan diri dari bangsa-bangsa Kanaan,
atau dalam perjanjian baru Tuhan berbicara melalui rasul Paulus bahwa
orang percaya tidak boleh menjadi serupa dengan dunia ini. Ini adalah sikap

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

59

eksklusif. Tetapi pada kesempatan lain, baik di dalam perjanjian lama


maupun Perjanjian baru, Tuhan memerintahkan kepada umatNya untuk
masuk ke dalam dunia dan menjadi terang dan saksi kepada dunia. Ini sikap
inklusif. Pada kesempatan lain lagi Alkitab menyodorkan kepada kita bahwa
pandangan dari dunia (mereka yang tidak beriman Yahudi atau Kristen)
bahwa Tuhan pakai mereka untuk mendatangkan kebaikan bagi manusia,
misalnya Yitro mertua Musa, ia adalah seorang imam di Median, (Keluaran
18) toh Tuhan pakai dia untuk memberikan suatu pencerahan kepada
Musa. Ini pandangan pluralis. Artinya disamping pandangan-pandangan
khas kelompok Israel, ada juga pandangan lain yang sangat berguna untuk
memperkaya kekayaan kaum Israel. Masih banyak contoh-contoh lain di
dalam Alkitab.
Maka bagi saya, sebagai pelayan pastoral marilah kita membaca
ulang Alkitab kita dengan teliti dan perlahan-lahan sehingga kita
menemukan mutiara-mutiara yang berhamburan di sana-sini. Membaca
ulang di sana bukan untuk kembali kepada cara-cara tempo dulu,
melainkan melihat pesan pelayanan pastoral dan makna pemeliharaan
umat seperti yang disampaikan di dalam Alkitab. Dengan demikian
panggilan pastoral untuk memelihara kawanan domba milik Allah tetap
terlaksana dengan baik dan mendatangkan damai sejahtera bagi kita
semua.
Jangan Mengabaikan Tradisi
Dari pengamatan saya belakangan ini, saya memperoleh kesan
bahwa ada kecenderungan dari para pelayan pastoral untuk mengabaikan
dan melupakan tradisi. Fenomena ini tidak saja terjadi di wilayah pelayanan
pastoral, tetapi sudah merambah ke mana-mana, banyak contoh yang bisa
kita temui di masyarakat. Melupakan tradisi adalah penyakit masyarakat
paska modern. Memang tradisi bisa bersifat negatif, apabila tradisi dipakai
sebagai ukuran untuk menentukan segala sesuatu, tetapi lebih lanjut dapat
dikatakan bahwa orang tidak bisa maju ke depan dengan tetap terikat pada
25
masa lalu (Filipi 3 : 13) sebab bagimanapun kita dibentuk oleh tradisi .
Ketika berbicara tentang tradisi yang saya mau katakan ialah soal cara-cara
atau kebiasaan dalam pelayanan pastoral. Di dalam Alkitab kita
menemukan berbagai cara untuk memelihara iman umat, misalnya dalam
tradisi para imam, mereka melakukan tugas pemeliharaan dengan ritualritual dan dalam ritual tersebut hal simbol memainkan peranan yang sangat
penting.
Pembatinan nilai-nilai religius ditanamkan melalui ritus-ritus. Ritusritus sebagai sistem simbol-simbol sakral yang berfungsi untuk
mensintesiskan suatu etos kerja seperti kualitas kehidupan, moral, gaya
estetis,
suasana batin manusia. Sistem simbol-simbol sakral juga
memberikan gambaran tentang pandangan dunia (world view) suatu
bangsa seperti, gambaran yang komprehensif mengenai tatanan hidup

60

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

sebagai bangsa. Simbol merupakan sumber informasi ekstrinsik. Simbol


ekstrinsik menyediakan cetak biru yang olehnya proses-proses kehidupan
spiritual dapat dibangun dan dibentuk. Sistem simbol menetapkan suasana
batin. Orang tidak melihat konsep tentang Tuhan, malaikat, dosa,
pengampunan. Tetapi dengan sistem simbol-simbol sakral, manusia
diangkat, terbentuk hati nuraninya, untuk mengenal Tuhan, dosa dan
pengampunan.
Sistem simbol-simbol sakral membentuk iklim hati, menarik si
penyembah ke disposisi khusus tertentu serta memberi suatu ciri tetap
pada kualitas pengalaman rohani. Suasana hati itu misalnya khikmad,
sahdu, kegembiraan yang meluap-luap, kesedihan yang mendalam,
penyesalan yangmendalam, keyakinan yang makin teguh .dst. Sistem
Simbol-simbol keagamaan yang sakral membuat orang untuk sanggup
menanggung: Situasi-situasi tekanan emosional. Membuka jalan keluar
dari situasi tersebut. dan jalan-jalan buntu, dengan ritus-ritus keagamaan
dan kepercayaan yang menghantar orang untuk masuk ke dalam dunia
supranatural. Sistem Simbol keagamaan sangat berperan kuat dalam
mengatasi situasi krisis dalam kehidupan. Ritual-ritual atau upacaraapacara yang diselenggarakan oleh para imam atas perintah Tuhan,
merupakan suatu ungkapan simbolis yang hendak menyatakan bahwa
dalam bentuk yang kelihatan realitas persekutuan rohani dengan Allah.
Gerak-gerik Imam pada ucapara hari penebusan merupakan ungkapan
sesungguhnya dari umat kepada Tuhan dan itu diperkenankan oleh Tuhan
dalam kemurahanNya.
Dalam tradisi pastoral lainnya, para pelayan pastoral menggunakan
pengurapan dengan minyak dan penumpangan tangan atas mereka yang
sakit, pengusiran setan dengan doa-doa dan nyanyian-nyanyian, doa-doa
penyembuhan bagi yang sakit, dll. Ekspresi palayanan pastoral dalam
tradisi ternyata sangat kaya dan kita bisa menggunakan salah satu atau
beberapa cara untuk pelayanan pastoral hari ini. Penggunaan cara-cara
seperti disebutkan di atas sudah dipraktekkan dalam tradisi Yudaisme
sebelum era kekristenan, kemudian di awal kekristenan cara-cara tersebut
masih dipakai dalam pelayanan pemulihan. Dewasa ini gereja-gereja
protestan liberal sudah tidak percaya lagi akan hal-hal atau kuasa roh jahat
dan tidak lagi menggunakan cara-cara pelayanan pemulihan dengan
pengusiran. Sementara di gereja-gereja pentakosta, hal ini masih
dilakukan. Dalam sejarah tradisi Katolik dan Ortodoks, masih
mempraktekkkan cara cara tersebut namun dengan pengawasan ketat
27
dari gereja . Dengan mengatakan demikian, saya bermaksud agar
janganlah para pelayan pastoral saling bertengkar atau
mempertentangkan cara-cara penanganan suatu kasus dalam pelayanan
pastoral. Hal yang penting ialah bahwa semuanya itu dilaksanakan dengan
hati nurani yang murni untuk melayani Tuhan dan bukan untuk mencari
popularitas pribadi. Sebab seluruh pelayanan pastoral selalu berkisar di

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

61

sekitar keterbukaan di dalam menghadapi kepelbagaian28. Sebagimana kita


ketahui bahwa teologia yang sangat dinamis adalah teologi pastoral, sebab
ia selalu berada dan hidup di tengah perubahan yang terus terjadi. Dari
antara sekian banyak teologi kristen yang berkembang dalam gereja,
tampaknya teologia pastoral adalah teologi yang sangat dinamis. Dinamis
oleh karena teologi pastoral sebagai suatu cabang teologi yang secara
sistimatis mengadakan refleksi tentang kehidupan gereja di tengah dunia.
Kehidupan gereja dan tugasnya tidak akan pernah selesai sebelum Sang
kepala gereja itu datang kembali, maka disini perlunya keterbukaan.
Keterbukaan tersebut perlu diiringi dengan kemauan untuk mendengarkan
sehingga dapat menangkap perasaan yang terdalam dari berbagai
perbedaan. Bahasa manusia selalu berbeda, tetapi perasaan-perasaan
manusia selalu sama. Oleh karena itu dalam pelayanan pastoral yang
berhubungan dengan manusia dalam konteksnya para pelayan pastoral
perlu belajar untuk menangkap pesan-pesan terdalam dari berbagai
perasaannya. Maka disana kita tidak hanya berbicara dengan otak atau
pengetahuan semata tetapi berbicara dengan hati yang penuh empati dan
hati nurani yang murni. Dengan mengambil sikap yang demikian, saya rasa
bahwa para pelayan pastoral yang sedang bergumul dengan banyak
permasalahan pastoral di lapangan, tidak akan terjebak ke dalam sikap
saling menyerang dan mempersalahkan, tetapi justru akan
mengembangkan suatu semangat kerja sama bagi keluasan kerajaan Allah.
PENUTUP
Dewasa ini pelayan pastoral berlangsung di tengah-tengah semangat
pluralisme. Semangat ini jauh lebih hebat dari masa-masa pelayanan
pastoral yang lalu. Akar-akar pemikiran pluralisme sesungguhnya berasal
dari perenungan yang lama dan panjang para ahli filsafat sejak jaman
Yunani kuno. Tetapi pluralisme yang tengah populer dewasa ini sebenarnya
tidak mengalir dari aliran filsafat melainkan dari analisis sosial yang
mengasumsikan bahwa konflik sosial yang tengah marak terjadi dipicu oleh
pluralisme agama terutama klaim-klaim kebenaran. Maka pluralisme
disodorkan sebagai solusi terhadap berbagai konflik sosial yang mengatas
namakan kebenaran agama, maka semangat pluralisme sebagai sebuah
paham hendaklah kita tanggapi secara kritis.
Berbagai sikap dan reaksi dan tanggapan terhadap pluralisme, namun
secara umum dapat dideskripsikan dalam tiga sikap. Pertama, paradigma
eksklusivisme merupakan pandangan yang dominan di sepanjang sejarah
agama-agama dan tetap dianut pemeluk agama sampai saat ini. Inti
pandangan eksklusivisme ialah bahwa agama yang dianut seseorang
adalah satu-satunya jalan yang sah, benar menuju keselamatan dan Sorga.
Pandangan ini menyebar di semua agama wahyu di seantero dunia ini.
Kedua, paradigma inclusive. Paradigma ini bertolak dari suatu pemikiran
bahwa semua agama dengan segala ajarannya, mampu menyediakan jalan

62

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

keselamatan yang dapat menyelamatkan umatnya sejauh mereka (umat)


hidup dalam ketulusan hati terhadap Tuhan. Ketiga, Pandangan ketiga
Pluralisme. Pandangan ini mengatakan bahwa setiap agama mempunyai
jalan keselamatannya sendiri, dan karena itulah semua klaim kebenaran
bahwa hanya agamakulah adalah satu-satunya yang agama sah dan
benar, harus ditinggalkan.
Semangat pluralisme telah menghadirkan pula kesadaran pluralisme
oikumenis di tengah masyarakat gereja. Dalam perjalannya pluralisme
oikumenis telah melahirkan konflik baru bagi pelayanan pastoral.
Pluralisme oikumenis menjadi problem sosiologis, psikologis dan teologis,
khususnya yang berkenaan dengan pelayanan pastoral.
Dalam menghadapi persoalan yang demikian, para pelayan pastoral
diminta untuk membangun kembali semangat cinta kepada Alkitab maupun
tradisi pelayanan pastoral, sehingga menemukan kembali pesan-pesan
pastoral dan makna pelayanan yang lebih mensejahterakan kehidupan
rohani umat.
DAFTAR PUSTAKA
Adiprasetya, Joas. Mencari Dasar Bersama: Etika Global Dalam kajian
Postmodernisme dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK. Gunung
Mulia, 2002.
Bactiar, Wardi. Sosiologi Klasik: Dari Comte hingga Parsons. Bandung:
Remaja Rosda, 2006.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1967.
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Claeke, Andrew D. dan Bruce W. Winter, Satu Allah Satu Tuhan: Tinjauan
Alkitabiah Tentang Pluralisme Agama. Jakarta: BPK. Gunung Mulia,
2002.
Copleston Fredrick. A History of Philosophy : Volume I Grece & Rome, Part
1. New York: Image Books, 1962.
Coward, Harold. Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama. Yogyakarta:
Kanisius, 1989.
Driver, Tom F. Masalah Seputar Pluralisme dalam & Paul F. Knitter. Mitos
Keunikan Agama Kristen. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001.
Durkheim, Emile. Suicide: An Study In Sociology. New York: The Free
Press, 1967.
Durness, William. Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama. Malang:
Gandum Mas, 1992.
Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia. Jakaarta: BPK. Gunung Mulia,
1993.

Pluralisme Oikumenis dan Implikasi Pelayanan Pastoral

Hadiwijono, Harun.
Kanisius, 1980.

63

Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid 1. Yogyakarta:

Hardiyanto, Soegeng. (ed) Agama dalam Dialog. Jakarta: BPK. Gunung


Mulia, 1999.
Hendropuspito. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Hommes, Tjaard & E. Gerrit Singgih. (ed) Teologi dan Praksis Pastoral:
Antologi Teologi Pastoral. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1992.
Hunter, Rodney J. (ed) Dictionary of Pastoral Care and Counseling.
Nashville: Abingdon Press, 1990.
Mulyono, Bambang Y. Mengatasi Kenakalan remaja, Pendekatan:
Sosiologis, Psikologis, Teologis. Yogyakarta: Yayasan Andi, 1986.
Prent, K. C. M. Kamus Latin Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1969.
Sairin, Weinata. Visi Gereja Memasuki Mileniun Baru. Jakarta: BPK.
Gunung Mulia, 2002.
Schacht, Richard. Alienasi: Suatu Pengantar Paling Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra, 2005.
Sia Hok Gwan. Paul Knitter dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana,
No. 47 tahun 1994.
Singgih, E. G. Eeuwout Klootwijk dalam Jurnal Teologi Gema Duta
Wacana, No. 47 tahun 1994.
Snijders, Adelbert Manusia Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Sumartana, Th. Theologia Religionum dalam Tim Litbang PGI, Meretas
Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia. Jakarta: BPK. Gunung
Mulia, 1999.
Veeger, K. J. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan
Individu-Masyarakat Dalam cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta:
Gramedi Pustaka Utama, 1990.
Vos, Gerhardus. Biblical Theology: Old and New Testaments. Grand
Rappids: Eerdmans, 1948.
Wahono, Wismoady S. Pro Eksistensi. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001.
Snijders, Adelbert Manusia Kebenaran, ( Yogyakarta: Kanisius, 2006) h.
133-134.

EndNote
1.

Th. Sumartana, Theologia Religionum dalam Tim Litbang PGI, Meretas Jalan Teologi AgamaAgama di Indonesia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999) h. 26.

2.

Andrew D. Claeke dan Bruce W. Winter, Satu Allah Satu Tuhan: Tinauan Alkitabiah Tentang
Pluralisme Agama, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002) h. 15 - 19

64
3.

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013


Fredrick Copleston, A History of Philosophy : Volume I Grece & Rome, Part 1, ( New York: Image
Books, 1962) hal 108. Lihat juga Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat Jilid 1. ( Yogyakarta:
Kanisius, 1980) hal 33

4.

Soegeng Hardiyanto, (ed) Agama dalam Dialog ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999) h. 309

5.

Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989) h. 53

6.

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1967) h. 853. Lihat juga K.
Prent C. M. Kamus Latin Indonesia ( Yogyakarta: Kanisius, 1969) h. 650.

7.

E. G. Singgih, Eeuwout Klootwijk dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, No. 47 tahun 1994,
h.123

8.

Sia Hok Gwan, Paul Knitter dalam Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, No. 47 tahun 1994, h. 138

9.

Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1991) h. 151-152

10. S. Wismoady Wahono, Pro Eksistensi ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2001) h. 5
11.

K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, ( Yogyakarta: Kanisius, 1981) h. 17

12. Adelbert Snijders, Manusia Kebenaran, ( Yogyakarta: Kanisius, 2006) h. 133-134.


13. Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersasama: Etika Global Dalam kajian Postmodernisme dan
Pluralisme Agama, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002) h. 74
14. Hendropuspito, Sosiologi Agama, ...h. 167
15. Ibid. h. 166
16.

Tjaard Hommes & E. Gerrit Singgih, (ed) Teologi dan Praksis Pastoral: Antologi Teologi pastoral,
(Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1992) h. 33

17.

Richard Schacht, Alienasi: Suatu Pengantar Paling Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2005)
h.19

18. . Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1993) h. 221
19. Tom F. Driver, Masalah Seputar Pluralisme dalam & Paul F. Knitter, Mitos Keunikkan Agama
Kristen, 2001) h. 313
20.

Emile Durkheim, Suicide: An Study In Sociology, ( New York: The Free Press, 1967) h. 152 - 160.
Lihat juga

K. J. Veeger,

Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-

Masyarakat Dalam cakrawala Sejarah Sosiologi, (Jakarta: Gramedi Pustaka Utama, 1990) h. 153 154
21. Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru, ( Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2002) h. 86
22. Y. Bambang Mulyono, Mengatasi Kenakalan remaja, Pendekatan: Sosiologis, Psikologis, Teologis,
(Yogyakarta: Yayasan Andi, 1986) h. 45
23. Tjaard G. Hommes & E. Gerrit Singgih, (ed) Teologi dan.... h. 163
24. Ibid, h. 163
25. Tjaard Hommes & E. Gerrit Singgih, Teologi dan.... h. 182
26. Gerhardus Vos, Biblical Theology: Old and New Testaments, (Grand Rappids: Eerdmans, 1948)
pp 161 -164. Lihat juga William Durness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, (Malang:
Gandum Mas, 1992) h. 125
27.

Rodney J. Hunter (ed) Dictionary of Pasroral Care and Counseling, ( Nashville: Abingdon Press,
1990) h. 387 388

28. Tjaard Hommes & E. Gerrit Singgih, Teologi dan h. 188.

KAU BUKAN SEPERTI YANG DULU LAGI:


SEBUAH REFLEKSI TEOLOGIS-ETIS PERCERAIAN
Amos Winarto
ABSTRAKSI
Artikel ini bertujuan meninjau secara teologis-etis
perceraian.Secara khusus di dalam Perjanjian Baru ada bagian yang
menunjukkan bahwa perceraian itu diijinkan. Bagaimana kita menyikapi hal
demikian? Apakah ada pertentangan dalam Alkitab? Bukankah dikatakan
TUHAN itu membenci perceraian? Namun mengapa Yesus dan Paulus
sepertinya mengijinkan perceraian?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya akan menganalisa
Matius 5:32 (lihat juga Matius 19:9) dan 1 Korintus 7:15. Dari analisa itu
saya akan menunjukkan bahwa TUHAN melarang orang Kristen ketika
masih hidup untuk bercerai apapun alasannya dan kalaupun perceraian
tetap terjadi itu adalah karenadua alasan berikut. Pertama, perceraian bisa
terjadi karena untuk melindungi nyawa pihak yang melakukan perzinahan
dari hukuman mati. Kedua, perceraian bisa terjadi karena yang
menceraikan adalah suami atau isteri bukan Kristen.
Kata kunci: pernikahan, perceraian, perzinahan, hukuman mati
PENDAHULUAN
Perjanjian Baru menggambarkan Kristus sebagai mempelai laki-laki
bagi gereja-Nya (Efesus 5:21-33, Wahyu 19:7; 21:2, 9 dan 22:17).
Perjanjian Lama juga menyatakan Allah sebagai Suami Israel (Yeremia 3:15; Yehezkiel 16:23; Hosea 1-3 dan Maleakhi 2:13-16).1Tidaklah
mengherankan jika di dalam kekristenan pernikahan adalah sebuah refleksi
hubungan di antara Allah dan umat-Nya yang diilustrasikan oleh
kebersamaan di antara suami dan isteri.
Di dalam refleksi hubungan ini terdapat perbedaan dan
persamaan.Hubungan di antara Allah dan umat-Nya didasarkan atas kasih
Allah yang sempurna, hikmat-Nya yang tidak pernah salah dan kesetiaanNya yang tidak berubah.Sedangkan kebersamaan di antara suami dan
isteri dalam sebuah pernikahan didasari oleh kasih yang tidak sempurna,
hikmat yang terbatas dan kesetiaan yang tidak terjamin.
Selain itu, pernikahan antara Allah dan umat-Nya adalah sebuah
hubungan di antara sosok pribadi suami ilahi yang berkedudukan lebih
tinggi daripada isteri umat-Nya yang adalah manusia ciptaan. Pernikahan
65

66

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

antara seorang laki dan seorang wanita adalah sebuah hubungan di antara
dua manusia yang berkedudukan sama di hadapan Penciptanya (Kejadian
1:27). Bahkan di dalam Yesus segala penghalang yang bertujuan membuat
laki-laki berkedudukan lebih tinggi dari wanita telah diruntuhkan (Galatia
3:28).
Walaupun memiliki perbedaan dan persamaan di dalam refleksi ini,
analogi yang terdapat di dalam Alkitab mengenai hubungan Allah dan umatNya dengan pernikahan suami isteri setidaknya menunjukkan satu hal pasti.
Yaitu, pernikahan yang berkenan di hadapan Tuhan adalah pernikahan
yang monogami. Dan ciri utama pernikahan monogami tersebut adalah
kesetiaan.
Dari analogi soal hubungan Allah dan umat-Nya, Alkitab
mendemonstrasikan bahwa Allah adalah sosok suami yang setia baik dalam
keadaan suka dan duka, kaya dan miskin, sehat dan sakit, kesedihan dan
kesukacitaan, kegagalan dan kesuksesan, bahkan dalam maut seperti
dalam hidup. Ketika umat-Nya tidak setia, Allah tetap setia (lihat 2 Timotius
2:13). Meskipun umat-Nya tidak layak untuk menerima kasih-Nya, Allah
tetap mengasihi dan tidak menolak.
Inilah yang menjadi alasan bahwa pernikahan Kristen memiliki sebuah
komitmen dan bertujuan untuk tetap menikah bukan hanya ketika segala
sesuatu berjalan dengan baik, ketika segalanya masih menyenangkan,
ketika semuanya masih saling menghargai dan ketika teman hidupnya
masih setia dan masih layak untuk dikasihi.Bukanlah demikian saja.
Melainkan ketika segala sesuatu berjalan dengan kacau, ketika segalanya
menyesakkan, ketika semuanya tidak saling menghargai dan ketika teman
hidupnya tidak setia dan tidak layak untuk dikasihi, pernikahan Kristen
tetaplah sebuah pernikahan di hadapan Allah sampai maut memisahkan
pasangan yang menikah tersebut.
Berdasarkan sekilas pemahaman teologis pernikahan ini apakah
jawaban terhadap seorang Kristen ketika dia mungkin sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa dia telah salah memilih teman hidupnya. Apakah dia
boleh bercerai ketika dia melihat bahwa teman hidupnya bukanlah seperti
yang dulu lagi? Jawabannya sudah jelas.Sebuah pernikahan Kristen adalah
sebuah pernikahan yang bertujuan tetap menjadi sebuah pernikahan yang
permanen, bukan sebuah pernikahan yang bersifat masa percobaan atau
eksperimen.
Pernikahan Kristen bukanlah pernikahan yang memiliki syarat sejauh
itu menyenangkan kedua belah pihak atau memuaskan kedua belah
pihak.Pernikahan Kristen adalah sebuah pernikahan yang dimeteraikan
oleh kesetiaan, bahkan ketika yang tetap setia itu hanyalah salah satu pihak
dan bukan kedua belah pihak. Maleakhi 2:16 mencatat, Sebab Aku

Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian

67

membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel dan juga Yesus di dalam
Markus 10:9 menyatakan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan oleh manusia.
Artikel ini bertujuan meninjau secara teologis-etis perceraian.Secara
khusus bahwa di dalam Perjanjian Baru ada bagian yang menunjukkan
bahwa perceraian itu diijinkan. Bagaimana kita menyikapi hal demikian?
Apakah ada pertentangan dalam Alkitab? Bukankah dikatakan TUHAN itu
membenci perceraian? Namun mengapa Yesus dan Paulus sepertinya
mengijinkan perceraian?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya akan menganalisa Matius
5:32 (lihat juga Matius 19:9) dan 1 Korintus 7:15. Dari analisa itu saya akan
menunjukkan bahwa TUHAN melarang orang Kristen ketika masih hidup
untuk bercerai apapun alasannya dan kalaupun perceraian tetap terjadi itu
adalah karenadua alasan berikut. Pertama, perceraian bisa terjadi karena
untuk melindungi nyawa pihak yang melakukan perzinahan dari hukuman
mati.Kedua, perceraian bisa terjadi karena yang menceraikan adalah
suami atau isteri bukan Kristen.
Menyikapi ungkapan kecuali karena zinah di dalam Matius 5:32 dan
19:92
Adanya kata kecuali karena zinah seringkali menimbulkan
pemahaman bahwa orang Kristen boleh bercerai sejauh itu dilakukan
dengan alasan salah satu pasangannya telah berbuat zinah.Namun
apakah pemahaman ini adalah sesederhana demikian?Di dalam
eksegesis-eksegesis yang telah dilakukan sampai sekarang ternyata
tidaklah sesederhana seperti itu. D. A Carson dalam tafsirannya melakukan
penelitian dan mendapati ada 7 cara untuk memahami ungkapan kecuali
karena zinah ini.3Di antaranya adalah ada yang menganggap perkecualian
tersebut bukanlah sebuah perkecualian melainkan sebuah penekanan:
bahkan karena zinah. Namun penafsiran demikian harus mengabaikan
dan mengubah makna asli bahasa Yunani (kecuali) yang dipakai.Lalu ada
juga yang menafsirkan bahwa perkecualian itu tidak bertujuan untuk hidup
bercerai antara suami isteri melainkan hanyalah hidup yang terpisah di
antara suami isteri jika salah salah satu pihak berzinah. Tetapi penafsiran
demikian mengabaikan juga makna asli bahasa Yunani (cerai) yang
dipakai baik dalam Matius 5:32 dan ayat sebelumnya, ayat 31. Carson
sendiri memilih untuk menafsirkan bahwa Matius 5:32 benar-benar bicara
soal perceraian dengan alasan yang diberikan oleh Yesus sendiri (kecuali
karena zinah).
Penelitian Carson itu membuktikan bahwa Yesus memberikan
sebuah perkecualian yang mengijinkan adanya perceraian dalam sebuah
pernikahan. Jika seseorang memahami ungkapan kecuali karena zinah

68

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013


4

itu secara demikian, maka ada 3 macam kemungkinan. Pertama,


perkecualian itu diberikan untuk menunjukkan pernikahan itu sendiri
sebetulnya memang bukan pernikahandengan alasan larangan pernikahan
antara kerabat dekat seperti dalam Imamat 18:6-18. Jadi karena memang
pasangan itu sebetulnya belum menikah di hadapan TUHAN, perceraian
dimungkinkan. Kedua, Yesus memang mengijinkan adanya perceraian
dengan alasan perzinahan sehingga pada jaman sekarang alasan itu tetap
bisa dipakai untuk perceraian tetapi tidak dengan alasan-alasan lain.
Ketiga, perkecualian kecuali karena zinah merupakan sebuah contoh dari
perkecualian-perkecualian lain yang memungkinkan sebuah perceraian,
seperti perlakukan kejam terus menerus oleh salah satu pasangan,
pertikaian yang tidak kunjung berhenti oleh kedua belah pihak, atau alasanalasan lain semacam itu.
Bagaimana sebaiknya kita memahaminya di tengah segala macam
tawaran penafsiran yang ada? Saya mengusulkan kita kembali pada
konteks jaman dimana Yesus menyampaikan ajarannya itu. Di dalam
Yohanes 8:5 ditunjukkan bahwa pada jaman Yesus perempuan yang
ditemukan berzinah harus dihukum mati dengan dirajam batu (lihat juga
Ulangan 22:23-24). Yesus memilih membiarkan perempuan itu tetap
hidup.Mengapa?Karena penghukuman mati dirajam batu memiliki sebuah
dampak final tak terelakkan yaitu kematian seseorang. Yesus lebih
menghargai kehidupan orang berdosa daripada kematian mereka sebab
keselamatan jiwalah taruhannya (bdk. Matius 10:28 atau Lukas 12:4-5).
Ketika mereka masih hidup, mereka masih ada kesempatan untuk bertobat.
Tidak heran dalam Yohanes 8:11 Yesus mengatakan bahwa Dia tidak akan
menghukum mati perempuan itu melainkan menasehatinya untuk tidak
berzinah lagi. Belas kasihan yang Yesus nyatakan adalah untuk
menggiatkan ucapan syukur dan ketaatan dari wanita itu.
Ketika Matius mencatat ucapan Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9,
dia tetap memakai ungkapan kecuali karena zinah untuk menunjukkan
bahwa Yesus menghargai hidup wanita yang berzinah itu supaya tetap ada
kesempatan bertobat. Karena itulahYesus mengajarkan seorang suami
untuk memilih bercerai dengan isterinya karena perzinahan yang dilakukan
daripada memilih untuk mencemarkan nama isterinya di muka umum dan
sebagai akibat perzinahannya harus menerima hukuman mati rajam batu.
Di dalam Perjanjian Baru sebelum Yesus mengajarkan soal ini
sebetulnya sudah ada seorang tokoh yang mempraktekkan ajaran Yesus
yang menghargai kehidupan daripada penghukuman mati seorang
berdosa.Tokoh itu adalah Yusuf, suami Maria, ibu Yesus (Matius 1:19).
Karena dia adalah seorang yang tulus hati, Yusuf tidak bisa mengingkari
hati nuraninya dengan menikahi Maria yang dia kira saat itu sudah tidak
setia karena hamil di luar nikah.Demikian juga karena tidak ingin
mempermalukan Maria di depan umum yang berdasarkan ketentuan

Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian

69

hukum pada jaman itu berakibat hukuman mati rajam batu, Yusuf memilih
jalan tidak ribut-ribut yang memang mempunyai hukumnya juga. Hukum
Yahudi itu, yang merupakan perkembangan aturan yang diberikan oleh
Musa dalam Bilangan 5:11-31, adalah perceraian secara empat mata di
hadapan dua saksi.5Inilah yang pada mulanya direncanakan oleh Yusuf
sebelum malaikat menjumpai dia di dalam mimpi karena dengan
melakukan demikian ketaatannya pada hukum dan kemurahan hatinya
menjadi nyata.
Jadi kecuali karena zinah di dalam Matius 5:32 dan 19:9 sangat
mengena dengan konteks jaman Yesus dan juga bagi para pembaca Yahudi
jaman itu yang adalah target Matius dalam menulis kitabnya. Yesus
memang menggenapi hukum Taurat dengan menghilangkan aturan-aturan
perceraian yang tercatat dalam Ulangan 24:1 yang diberikan oleh Musa
karena ketegaran hati, dosa, manusia (Matius 19:8).Dan pengecualian
perceraian karena zinah tidaklah bertentangan dengan usaha Yesus itu. Hal
ini dikarenakan walaupun tanpa diceraikan pun, isteri yang berzinah itu
pasti sudah diceraikan secara hukum, yaitu, dihukum mati rajam batu.
Orang-orang Yahudi menyadari fakta yang demikian sehingga tidaklah
mengherankan Matius menuliskan kecuali karena zinah dalam
kitabnya.Yesus memperlunak hukum yang menyatakan bahwa berzinah
harus diceraikan oleh hukum mati rajam batu menjadi hukum yang
menyatakan bahwa pihak yang berzinah bisa diceraikan tanpa hukuman
mati.6 Sehingga bagi para pendengar Yesus pada jaman itu, yang mereka
tangkap pada ajaran itu, yang juga dikehendaki oleh Matius supaya mereka
pahami, adalah bahwa Yesus sedang tidak memberikan aturan bahwa
seseorang boleh bercerai kalau pasangannya itu berzinah.
Yesus tidak saja menolak aliran Hillel pada jaman-Nya yang
mengijinkan perceraian dengan berbagai alasan melainkan juga
mempertajam aliran Shammai di masa-Nya yang mengajarkan bahwa
perceraian hanya boleh terjadi jika ada salah satu pasangan melakukan
perzinahan. Bagi Yesus seseorang bercerai bukan sekedar karena alasan
bahwa pasangannya telah melakukan perzinahan.Yang Yesus ajarkan
adalah bahwa di dalam pernikahan tidak boleh ada perceraian.Hanya saja
pada jaman Yesus, orang menikah yang melakukan perzinahan harus
diceraikan oleh hukum mati rajam batu.Aturan inilah yang diganti oleh
Yesus karena Dia lebih menghargai kehidupan seorang berdosa supaya
ada kesempatan untuk bertobat daripada kematiannya. Seseorang boleh
tercerai adalah demi menghindari hukuman mati terhadap pasangannya
yang telah berzinah bukan semata-mata karena perzinahannya.
Dengan pemahaman demikian kita bisa menyimpulkan bahwa
perkecualian yang Yesus berikan dalam Matius 5:32 dan 19:9 tidak bisa
diaplikasikan pada jaman dan budaya yang tidak menghukum mati orang

70

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

menikah yang berzinah. Perkecualian itu berlaku jika masih ada sebuah
negara atau tempat yang mempunyai hukum bahwa orang berzinah harus
dihukum mati. Pada jaman sekarang ini boleh dikatakan jarang sekali, kalau
bukan tidak ada,masih terdapat tempat yang memberlakukan hukum
demikian. Oleh sebab itu memakai Matius 5:32 dan 19:9 semata-mata untuk
mengijinkan perceraian oleh karena perzinahan pada jaman sekarang
adalah tidak tepat karena mengabaikan konteks jaman dimana
perkecualian itu diberikan oleh Yesus.
Menyikapi perceraian oleh orang tidak beriman dalam 1 Korintus 7:15
Bagaimana dengan 1 Korintus 7:15? Bukankah Paulus mengijinkan
perceraian jika itu dikehendaki oleh orang tidak beriman? Apakah Paulus
menentang ajaran bahwa di dalam pernikahan tidak boleh ada perceraian?
Jawabannya adalah tidak. Paulus tetap menaati perintah Tuhan bahwa apa
yang dipersatukan oleh Allah janganlah diceraikan oleh manusia.
Masalahnya adalah jika karena ketegaran hati, yaitu dosa, perceraian itu
terjadi, maka manusialah yang melanggar perintah Allah. Itulah yang Paulus
sebenarnya ungkapan dalam 1 Korintus 7:15. Jika seorang yang tidak
mengenal Tuhan bertegar hati untuk bercerai maka orang yang sudah
mengenal Tuhan tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Arti dari tidak terikat dalam 1 Korintus 7:15 adalah bahwa ketika
orang percaya sudah berusaha hidup mengasihi pasangannya yang tidak
percaya, namun kemudian pasangannya itu justru semakin mengeraskan
hati untuk meninggalkan orang percaya itu, maka orang percaya itu tidak
perlu merasa harus berusaha mengubah hati dan hidup pasangannya
yang tidak percaya itu. Paulus mengatakan orang yang menjadi percaya
Tuhan Yesus setelah menikah, maka orang yang menjadi percaya itu jangan
bercerai melainkan justru mengasihi, menjadi teladan dan menyaksikan
Yesus kepada pasangannya yang tidak percaya (1 Korintus 7:12-14).Salah
satu akibat yang mungkin terjadi adalah pasangannya yang tidak percaya
justru menjadi benci kepada orang percaya itu oleh sebab imannya kepada
Yesus sehingga ingin menceraikannya.Agustinus dalam hal ini berpendapat
serupa bahwa Paulus mengijinkan perceraian karena memang kekerasan
hati pasangan yang tidak percaya yang menolak iman Kristen sehingga
kalau orang percaya tetap berusaha mempertahankan pernikahan maka
yang menjadi taruhan adalah imannya(1.14-18).7Pasangannya yang tidak
percaya seakan-akan memperhadapkan kepada orang yang percaya itu
sebuah pilihan, Yesus atau saya (pasangan yang tidak percaya). Kalau
orang percaya itu memilih ikut Yesus, maka pasangannya yang tidak
percaya mengancam akan menceraikan. Jika itu terjadi, orang percaya itu
tidak terikat yaitu tidak perlu memaksakan diri untuk mempertahankan
pernikahannya.Lain soalnya kalau pasangan tidak percaya itu minta
bercerai karena karakter yang tidak baik dan kesaksian yang buruk dari
orang yang percaya itu sendiri.Orang yang percaya itu tetap terikat pada

Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian

71

pernikahannya yaitu perlu menjalani bimbingan pastoral supaya dapat


menjadi teladan dan memberikan kesaksian tentang Yesus kepada
pasangannya yang tidak percaya.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa ajaran Paulus tidaklah
bertentangan dengan ajaran Yesus soal perceraian.Masing-masing tetap
menjunjung tinggi kehendak Allah dari semula bahwa apa yang
dipersatukan oleh Allah dalam pernikahan janganlah diceraikan oleh
manusia. Bedanya adalah sebagai berikut. Kalau pada jaman Yesus
perceraian bisa terjadi oleh sebab perzinahan adalah demi menghindari
hukuman mati rajam batu dan memberi kesempatan untuk bertobat kepada
orang yang berzinah, maka pada jaman Paulus perceraian bisa terjadi oleh
karena pasangan yang tidak percaya mengeraskan hati untuk
meninggalkan pasangan yang percaya gara-gara soal iman kepada Yesus.
KESIMPULAN
Memahami Matius 5:32 (juga 19:9) dan 1 Korintus 7:15 sesuai konteks
jamannya menunjukkan bahwa ayat-ayat itu bukanlah mengajarkan syarat
yang boleh dipakai oleh seseorang pada jaman sekarang untuk bercerai.
Misalnya, perceraian boleh dilakukan oleh pihak suami jika isterinya
berzinah (demikian sebaliknya),titik. Ataupun perceraian boleh dilakukan
jika salah satu pasangan adalah orang bukan Kristen,titik. Maksud ayat-ayat
itu bukanlah demikian, melainkan untuk mengajarkan bahwa Allah tidak
menghendaki perceraian dalam pernikahan. Hanya saja karena orang
percaya masih hidup di dalam dunia yang berdosa ini, ada konteks-konteks
dimana perceraian itu terjadi. Dan jika konteks pada jaman Yesus dan
Paulus terulang kembali pada jaman kita sekarang, maka perceraian itu
mau tidak mau jugaakan terjadi.
Kalau sebuah keluarga Kristen tinggal di sebuah tempat dimana
hukum menitahkan bahwa orang berzinah dihukum mati, maka seorang
suami atau isteri mungkin harus menceraikan pasangannya yang
melakukan zinah dengan diam-diam supaya pihak yang berzinah itu tetap
hidup dan memiliki kesempatan untuk bertobat.Demikian juga, jika pada
jaman sekarang ada seorang yang tidak percaya mengancam untuk
menceraikan pasangannya yang percaya kalau pasangannya itu tetap ikut
Yesus, maka pasangan yang percaya tidaklah harus mempertahankan
pernikahannya. Di luar dua konteks ini (yang mana perceraian mau tidak
mau pasti terjadi), kehendak Tuhan tetaplah sama bagi orang-orang Kristen
bahwa sekali menikah tidak boleh bercerai.
Akhirnya, jika memang TUHAN melarang orang Kristen untuk bercerai
apapun alasannya dan kalaupun perceraian tetap terjadi adalah karena
untuk melindungi nyawa pihak yang melakukan perzinahan dari hukuman
mati dan karena yang menceraikan adalah suami atau isteri bukan Kristen,

72

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

maka di hadapan TUHAN sekali menikah status orang Kristen adalah tetap
menikah sampai orang itu meninggal dunia. Implikasinya adalah bahwa
selain perceraian karena kematian salah satu pasangan, orang Kristen
yang sudah menikah kemudian bercerai tidaklah diperkenankan untuk
menikah lagi selama pasangannya yang terceraikan itu masih hidup.
Agustinus mengingatkan bahwa keadaan seseorang yang bercerai itu
tidak ada bedanya dengan seorang menikah tidak bercerai namun
pasangannya sakit keras bertahun-tahun ataupun mungkin yang
pasangannya menjadi narapidana untuk waktu yang sangat lama:
penguasaan diri dibutuhkan sampai pasangannya itu meninggal dunia
(2.10.9). Janganlah seseorang yang sudah bercerai menjadi sangat kuatir
soal ekonomi (penghidupan sehari-hari) dan psikis (kebersamaan)
sehingga memaksa untuk menikah lagi. Alasan yang sering dipakai untuk
menikah lagi seperti soal ekonomi dan merasa kesepian tidaklah dapat
dibenarkan.Yesus sendiri sudah menjanjikan bahwa dalam kondisi apapun
(menikah, tidak menikah atau menikah kemudian kehilangan pasangannya
karena perceraian), orang tersebut akan dikaruniai untuk menguasai diri
(Matius 19:11).Di sinilah juga gereja sebagai agen Kerajaan Allah
seharusnya menunjukkan perannya dalam memelihara dan mendampingi
para janda (termasuk duda) dan anak-anak yatim piatu (Yakobus 1:27) dan
jangan hanya mencari gampang meninggalkan tanggung jawabnya dengan
membiarkan orang yang bercerai itu menikah lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Carson, D. A. "Matthew", dalam The Expositor's Bible Commentary, Volume
8: Matthew, Mark, Luke, ed. Frank E. Gaebelein. Grand Rapids, MI:
Zondervan Publishing House, 1984.
House, H. Wayne, ed. Divorce and Remarriage: Four Christian Views.
Downers Grove: InterVarsitiy Press, 1990.
Hill, David. A Note on Matthew i. 19, Expository Times 76 (January 1965)
no. 4: 13234.
Tosato, A. Joseph, Being a Just Man (Matt 1:19), Catholic Biblical
Quarterly 41 (1979): 547-51.
Hurley, James B. Man and Woman in Biblical Perspective. Leicester:
InterVarsity Press, 1981.
Agustinus, De adulterinis conjugiis (419-420 AD) dalam Corpus
Scripturom Ecclesiasticorum Latinorum 41, ed. J. Zycha. Vienna:
Tempsky, 1900: 347-410. Terjemahan bahasa Inggris: On
Adulterous Marriages, dalam The Works of Saint Augustine: A
st
Translation for the 21 Century, ed. J. E. Rotelle. New York: New
York City Press, 1999: 144-87.

Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi Sebuah Refleksi Teologis-Etis Perceraian

73

End Note:
1.

2.

3.
4.
5.
6.

7.

Hosea 2:15 menunjukkan bahwa isteri memanggil suaminya, Suamiku dan bukan Tuanku.
Perjanjian Lama telah menyatakan hubungan suami dan isteri dalam sebuah pernikahan bukanlah
seperti hubungan tuan dan pelayannya melainkan hubungan yang dilandasi oleh saling mengasihi
dan sukacita bersama.
Mengingat artikel ini tidak secara khusus meninjau secara eksegesis, maka saya tidak akan
menjabarkan detail-detail pendekatan linguistik bahasa Yunani. Para pembaca yang berminat
dapat menemukan berbagai pendekatan eksegesis dalam bermacam-macam tafsiran kitab-kitab
yang bersangkutan.Di dalam artikel ini saya menganalisa secara sistematis eksegesis-eksegesis
yang telah dilakukan dan mencoba menarik kesimpulan teologis-etis yang terbaik menurut saya.
D. A. Carson, "Matthew", in The Expositor's Bible Commentary, Volume 8: Matthew, Mark, Luke, ed.
Frank E. Gaebelein (Grand Rapids, MI: Zondervan Publishing House, 1984), 414-18.
Bandingkan dengan H. Wayne House, ed. Divorce and Remarriage: Four Christian Views (Downers
Grove: InterVarsitiy Press, 1990).
David Hill, A Note on Matthew i. 19, Expository Times 76 (January 1965) no. 4: 13334. Hal serupa
jugadikemukakan oleh A. Tosato, Joseph, Being a Just Man (Matt 1:19), Catholic Biblical Quarterly
41 (1979): 547-51.
Bandingkan dengan James B. Hurleyyang mengungkapkan hal serupa, In the absence of stoning,
the termination of the relationship might appropriately be effected by divorce (Dengan tidak adanya
perajaman batu, kesudahan hubungan pernikahan dapat secara wajar diakibatkan oleh
perceraian). James B. Hurley,Man and Woman in Biblical Perspective (Leicester: InterVarsity
Press, 1981), 104.
Agustinus, De adulterinis conjugiis (419-420 AD), Corpus Scripturom Ecclesiasticorum Latinorum
41, ed. J. Zycha (Vienna: Tempsky, 1900): 347-410. Terjemahan Inggris, On Adulterous
Marriages, The Works of Saint Augustine: A Translation for the 21st Century, ed. J. E. Rotelle (New
York: New York City Press, 1999): 144-87. Saya akan cenderung menggunakan terjemahan bahasa
Inggrisnya dan dimana dibutuhkan saya akan memperbaiki terjemahannya berdasarkan teks asli
bahasa Latinnya. Dalam artikel ini kutipan-kutipan yang diambil tidak akan direferensikan secara
langsung pada catatan kaki melainkan hanya ditunjukkan di akhir kutipan itu di dalam kurung
penomoran teks bahasa Latinnya.

RESENSI BUKU
: The Story of Israel: A Biblical Theology
: C. Marvin Pate, J. Scott Duvall, J. Daniel Hays, E. Randolph
Richards, W. Dennis Tucker Jr. and Preben Vang
Penerbit : Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press
Tahun
: 2004
Halaman : 320 halaman
Judul
Penulis

Menulis sebuah buku tentang Teologi Perjanjian Lama ataupun


Teologi Perjanjian bukanlah sesuatu yang sederhana, apalagi menulis
sebuah buku tentang Teologi Biblika. Mereka yang telah mempelajari baik
Teologi Perjanjian Lama ataupun Teologi Perjanjian, menyadari betapa
kompleksnya problematika dalam kedua bidang itu, sehingga tidak banyak
ahli dapat menghasilkan buku tentang Teologi Perjanjian Lama ataupun
Teologi Perjanjian Baru. Oleh karena itu buku The Story of Israel. A Biblical
Theology dapat dikatakan merupakan suatu proyek atau karya yang
ambisius.
Buku ini lahir dari pendapat beberapa dosen Biblika dari Ouachita
Baptist University yang menyatakan adanya kebutuhan satu jilid buku yang
baik dalam bidang Teologi Biblika (p.9). Buku ini bukanlah karya satu orang,
tetapi merupakan karya bersama dari 6 dosen Biblika. Dalam buku ini para
penulis berpendapat bahwa Kisah Israel (Story of Israel) adalah suatu tema
utama yang mengalir dalam seluruh Alkitab (PL dan PB) dan
mempersatukan kedua Perjanjian itu secara teologis. (p.9).
Bab 1 menguraikan tentang asal muasal Teologi Biblika yang
bertumbuh menjadi suatu disiplin ilmu yang terpisah dari Teologi
Sistematika. J.P. Gabler (1787) dianggap sebagai ahli yang meletakkan
dasar pemisah antara Teologi Biblika dan Teologi Sistematika. Bab ini
menguraikan secara ringkas perjalanan perkembangan disiplin ilmu Teologi
Biblika sampai menjadi suatu disiplin yang mandiri setelah melalui liku liku
keilmuan yang panjang. Perkembangan Teologi Biblika dibagi menjadi 2
periode, yaitu:
1. The first period, 1787 to 1878: No to biblical theology. Pada periode ini
perkembangan metode pendekatan historis menyebabkan Teologi
Biblika belum menemukan bentuknya. Periode ini didominasi oleh
pendekatan sejarah agama-agama (the history of religions approach)
yang menghancurkan keyakinan adanya kesatuan antara PL dan PB.
2. The second period, post-World I to 1960s: Yes to biblical theology. Pada
periode ini muncul gerakan baru Teologi Biblika dengan dihasilnya karya
Teologia PL oleh Walter Eichrodt dan Gerhard von Rad. Memang
75

76

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

gerakan ini merosot pada tahun 1960an dengan munculnya kritik


terhadap metodologi yang digunakan dan munculnya minat baru, yaitu
pendekatan sosiologi agama. Di tengah-tengah perdebatan yang tak
terselesaikan tentang metodologi Teologi Biblika, minat terhadap Teologi
Biblika sewaktu-waktu masih muncul di sana-sini hingga sekarang.
Para penulis buku ini memilih Kisah Israel (The Story of Israel) sebagai
tema utama yang mempersatukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
dalam menyusun suatu Teologi Biblika.(p. 18, 23). Selanjutnya kisah Israel
itu dibagi dalam 5 bagian:
-

Israel's perpetual disobedience to God


Israel and the prophets
Israel's rejection of the prophets
Israel and the Deuteronomic curses
The restoration of Israel and the Deuteronomic blessings (pp. 18-22)

Dalam mengamati kelima bagian kisah Israel itu mereka menemukan


suatu pola yaitu dosa-pembuangan-pemulihan (sin-exile-restoration). Pola
ini merupakan pola dalam Perjanjian Lama sampai Yudaisme awal. (p. 22).
Para penulis juga menyakini bahwa pola ini dapat diketemukan dalam
Perjanjian Baru.
Selanjutnya dalam membangun suatu Teologi Biblika, para penulis
membagi uraian mereka dalam bagian, yaitu:
1. Pentateukh: Kehendak Ilahi dan Tanggung Jawab Manusia (Bab 2)
2. Kitab-kitab Sejarah (Sejarah Deuteronomis): Dosa dan Pembuangan
(Bab 3)
3. Mazmur dan Literatur Hikmat: Kisah Yang Diperdebatkan (Bab 4)
4. Nabi-nabi: Dosa, Pembuangan dan Pemulihan (Bab 5)
5. Yudaisme era Bait Allah kedua: Unitas dan Diversitas dalam Tradisi
Deuteronomis (Bab 6)
6. Injil Sinoptis: Kisah Injil dan Kisah Israel (Bab 7)
7. Injil Yohanes: Tanda-tanda Pemulihan (Bab 8)
8. Kisah Para Rasul: Bangsa-bangsa Akan Mendengar (Bab 9)
9. Surat-surat Paulus: Pembalikan Kutuk (Bab 10)
10. Surat-surat Umum dan Surat Ibrani: Dalam Pembuangan, Namun Di
Ujung Pemulihan (Bab 11)
11. Kitab Wahyu: Visi Transformasi (Bab 12)
Bab 2 membahas Pentateukh yang mana penulis mengungkapkan
adanya keterkaitan antara kehendak Ilahi dan tanggung jawab
manusia.Ketika manusia gagal bertanggung jawab, hubungan itu terganggu
dan ada konsekwensi yang harus ditanggung. Sejarah dalam Pentateukh
mengungkapkan adanya koneksi antara dosa dan pembuangan serta

Resensi Buku

77

pengharapan. Kejadian 1-11 yang merupakan pendahuluan telah


menunjukkan adanya paradigma dosa-pembuangan-pemulihan dalam
sejarah manusia sejak mula. Kemudian dengan lahirnya sebuah bangsa
yang baru (Kej. 12) relasi antara kehendak Ilahi dan tanggung jawab
manusia ditandai dengan tuntutan (stipulasi) yang spesifik. Stipulasi ini
mendefinisikan dosa dengan konsekwensinya dan juga berisikan harapan
akan pemulihan. Kitab Ulangan menyimpulkan bahwa ketaatan kepada
firman Allah merupakan sentral untuk menjadi umat Allah yang ditandai
dengan berkat dan kutuk.(p. 23) Dalam ketaatan ada hidup. Dalam
ketidaktaatan ada maut dan pembuangan.
Bab 3 berkaitan dengan kitab-kitab Sejarah, khususnya sejarah
Deuteronomis yang meliputi Yosua, Hakim-hakim, I-II Samuel dan I-II Rajaraja. Isu utama adalah ketaatan Israel kepada Allah dan perjanjian-Nya.
Oleh karena ketidaktaatan Israel mereka harus meninggalkan tanah
perjanjian, dari berkat berganti kutuk dan pembuangan. Di balik
ketidaktaatan Israel nampak anugerah dan kesabaran Allah yang
memungkinkan adanya berita pemulihan di balik pembuangan. (p. 24)
Bab 4 membahas kitab Mazmur dan kitab-kitab Hikmat. Bagian ini
mengungkapkan kisah Israel dari sudut yang berbeda. Kitab Amsal
menguraikan adanya tata cara atau aturan dalam kehidupan dengan
prinsip retribusi. Kitab Ayub dan Pengkhotbah melihat kehidupan dari
aspek yang berbeda. Bab ini juga menyinggung kitab Sirakh yang bukan
bagian dari kanon PL. (p. 24).
Bab 5 membahas kitab Nabi-nabi yang mengungkapkan kisah Israel
dalam konteks Perjanjian sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab
Ulangan. Berita kepada Israel atau Yehuda memiliki 3 pokok utama, yaitu:
Kalian telah mematahkan perjanjian, bertobatlah dan kembalilah kepada
Allah. Kalau tidak bertobat, penghakiman dan penghukuman akan segera
terjadi (melalui Asyur dan Babel),tetapi melampaui penghakiman, tersedia
pengharapan untuk pemulihan yang mulia pada masa yang akan datang
dan cara baru dalam berhubungan dengan Allah (perjanjian baru).
Konsep perjanjian baru ('new covenant') ini mengubah hubungan
yang bersifat nasional menjadi hubungan bersifat individu yang
menyertakan bangsa-bangsa non-Israel dan janji pencurahan Roh-Nya
yang terkait langsung dengan Perjanjian Baru ('New Testament'). Situasi
pasca pembuangan bukanlah kondisi pemulihan yang mulia, karena
ketidaktaatan masih berlangsung dan masih menantikan pemenuhan
pemulihan yang dijanjikan.(p. 24).
Bab 6 berkaitkan dengan karya sastra Yudaisme pada era Bait Suci
kedua (era antar perjanjian). Israel telah kembali ke tanahnya, tetapi
mereka masih hidup dalam pembuangan, oleh karena mereka masih

78

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

dijajah oleh bangsa-bangsa lain. Pada era ini timbul kerinduan untuk
memperhatikan hukum Musa lebih serius dengan harapan mereka akan
mengalami kebebasan penuh. Penulis buku ini membahas karya sastra
pada era ini, karena era ini merupakan jembatan antara Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru. (p. 25)
Bab 7 membahas Injil Sinoptis. Titik klimaks karya Allah yang hadir
kembali dalam kehidupan Israel melalui Yesus Kristus. Injil Sinoptis
menguraikan tentang Kerajaan Allah dalam bahasa dan penekanan yang
sejajar dengan kisah Allah dan Israel dalam Perjanjian Lama. Injil Sinoptis
ini menguraikan tentang penggenapan janji-janji Allah dan menjelaskan
bagaimana seharusnya Israel memahami sejarah Allah bersama umat-Nya
dan bangsa-bangsa lainnya. (p. 25)
Bab 8 menguraikan Injil Yohanes yang memberikan kontribusi yang
unik dengan menyejajarkan Yesus dengan hikmat dalam kitab Amsal dan
tradisi hikmat Yudaisme. Hikmat tak berdiam di antara orang Yahudi dalam
wujud Taurat, tetapi Hikmat menjadi daging dan berdiam di antara kita (Yoh.
1:14). Dalam PL Allah berdiam di tabernakel dengan pelbagai tanda, begitu
juga dalam PB Allah berdiam di tengah umat dalam Yesus yang melakukan
pelbagai tanda. (pp. 25-26).
Bab 9 membahas Kisah Para Rasul yang mengungkapkan
pengajaran dan pelayanan Yesus Kristus yang berlanjut pada gereja awal
melalui Roh Kudus. Rencana Allah melalui Israel dalam proses
penggenapannya melalui pencurahan Roh Kudus kepada semua orang
yang percaya.
Bab 10 membahas konsep Paulus yang mengungkapkan peranan
Kristus yang menghapus kutuk dan memberikan berkat dan pemulihan bagi
Israel.
Bab 11 menguraikan bagian surat-surat Umum dan Ibrani yang
mengungkapkan bahwa orang Kristen hidup dalam paradoks. Walaupun
Mesias yang telah dijanjikan itu telah datang di dunia, namun orang percaya
masih hidup dalam penderitaan. Pemulihan masih sementara dan masih
menanti penggenapan yang segera.
Bab 12 membahas kitab Wahyu yang menggunakan bahasa
nubuatan apokaliptis untuk menguraikan rencana Allah dalam
membalikkan kutuk dosa, memulihkan ciptaan-Nya dan hidup di tengahtengah umat-Nya selama-lamanya.
Bab 13 merupakan kesimpulan buku ini yang mengikhtisarkan
kerangka kisah Israel dalam paradigma dosa-pembuangan-pemulihan.
Para penulis buku ini berpendapat bahwa kisah Israel merupakan tema
utama kanon Alkitab yang hadir dalam kesatuan dan kepelbagaiannya.

Resensi Buku

79

TANGGAPAN
Pemilihan kisah Israel sebagai tema utama dalam menulis suatu
Teologia Biblika bukanlah tak bebas dari masalah. Kisah Israel dapat
dikatakan bukanlah tema utama dalam Kejadian 1-11, karena keberadaan
Israel belumlah ada dan nampak. Begitu juga Perjanjian Baru yang lebih
banyak berfokus kepada Gereja. Gereja bukanlah sepenuhnya Israel,
karena dalam konsep Gereja terdapat kesinambungan dan
ketidaksinambungan konsep Israel. Gereja memang sering kali dikaitkan
dengan Israel dalam Perjanjian Lama yang mana hal itu dapat menunjukkan
adanya kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tetapi
Gereja tak dapat diidentikkan dengan Israel dalam Perjanjian Baru. Ada halhal yang baru dalam eksistensi Gereja, yang mana hal itu menunjukkan
adanya ketidaksinambungan antara Israel dalam Perjanjian Lama dan
Gereja dalam Perjanjian Baru. Gereja bukanlah Israel versi Perjanjian Baru,
karena eksistensi Israel tetap ada dan seringkali dalam posisi kontra
dengan Gereja. Kisah Israel memang lebih mudah untuk dijadikan tema
utama Teologia Perjanjian Lama (terlepas Kej. 1-11), karena memang
Perjanjian Lama berfokus pada kisah Allah dan umat-Nya, yaitu Israel.
Sedangkan menjadikannya sebagai tema utama Perjanjian Baru, akan
menimbulkan pelbagai kesulitan.
Memang Yesus Kristus yang merupakan tokoh utama dalam
Perjanjian Baru seringkali dikaitkan dengan bagian-bagian Perjanjian
Lama. Kehidupan dan pengajaran-Nya seringkali diakui sebagai
pengenapan dari bagian-bagian tertentu Perjanjian Lama. Namun
kehadiran Yesus Kristus juga menghadirkan hal-hal yang baru atau bahkan
radikal dengan apa yang ada dalam Perjanjian Lama. Pembahasan tentang
Teologia Biblika yang meliputi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tak
hanya perlu menyadari adanya kesatuan dan kepelbagaian dalam dua
bagian ini, tetapi juga adanya kesinambungan dan ketidaksinambungan di
antara kedua bagian ini. Hal ini menimbulkan kesulitan besar untuk
menemukan suatu tema utama yang sungguh dapat merangkumkan kedua
Perjanjian ini.
Terlepas dari kekurangan dan kelemahan buku ini, kita harus
menghargai buku ini sebagai suatu upaya menghadirkan suatu Teologia
Biblika dalam satu buku yang tak terlalu tebal dan bertele-tele. Buku ini
menolong seseorang untuk memahami garis besar konsep penting yang
mengalir dari Perjanjian Lama sampai kepada Perjanjian Baru.
Sia Kok Sin

RESENSI BUKU
Judul

Penulis
Penerbit
Tahun
Halaman

: The Lost History of Christianity: The Thousand-Year Golden


Age of the Church in the Middle East, Africa, and Asia-and
How It Died
: John Philip Jenkins
: New York: HarperColllins Publishers
: 2008
: xi + 320 halaman

Pada umumnya orang-orang cenderung memandang sejarah


Kekristenan melalui kacamata daratan Eropa. Paradigma demikian
berpendapat bahwa Kekristenan berasal dari Eropa dan berkembang ke
seluruh dunia melalui expansi dan kolonialisasi. Bagi Jenkins paradigma ini
adalah sebuah paradigma yang sangat sempit dan mengabaikan sejarah
panjang iman Kristen di Afrika dan Asia. Ia hendak mengoreksi paradigm
yang tidak tepat ini melalui bukunya (43).
Jenkins berhasil dalam bukunya untuk membunyikan suara yang
hilang dalam sejarah Kekristenan di luar daratan Eropa. Pada awal
bukunya dia menggambarkan penyebaran Kekristenan sampai ke Cina dan
Jepang. Catatan-catatan kaki dari bapa-bapa Gereja yang sering
dipandang sesat pada jaman sekarang (kaum Nestorian dan Jacobites)
mendukung argumentasi-argumentasinya. Secara khusus dia meyakinkan
saya berkaitan dengan argumentasinya soal cara gereja-gereja Kristen dari
kota-kota metropolitan berpindah ke desa-desa untuk menghindari
penganiayaan. Misalnya, Agustinus pernah memimpin sebuah gereja yang
berkembang pesat di kota besar Carthage, namun gereja ini hancur ketika
Islam masuk dan menguasai kota itu. Berbeda dengan gereja-gereja Koptik
di Mesir di daerah pedesaan yang masih bisa bertahan hidup lebih dari
1000 tahun kekuasaan Islam di daerah itu.
Saya sekarang hendak mengkaji lebih lanjut empat pokok penting
terkait dengan tulisan Jenkins ini. Pertama, saya setuju dengan Jenkins
yang menolak argumentasi para sarjana seperti Elaine Pagels dan Bart
Ehrmann yang berusaha memasukkan tulisan-tulisan Gnostik pada awal
sejarah Kekristenan seperti kitab Yudas sebagai bagian dari kanon Alkitab.
Dia membuktikan melalui penelitiannya yang ekstensif bahwa gerejagereja di Afrika dan Asia pada awal perkembangan Kekristenan pun sudah
tidak menjadikan tulisan-tulisan itu sebagai bagian dari kanon Alkitab
(halaman 88). Pandangan Pagels dan Ehrmann yang menganggap tulisantulisan itu tidak bisa menjadi kanon gara-gara penindasan oleh gerejagereja Eropa terhadap sekte-sekte Kristen yang menjunjung tinggi tulisantulisan itu pun tidak bisa dipertahankan lagi. Gereja-gereja Kristen di Afrika
81

82

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

dan Asia yang tidak di bawah kontrol dan kekuasaan gereja-gereja di Eropa
itu ternyata sudah dari awal tidak pernah menjadikan tulisan-tulisan Gnostik
itu sebagai bagian dari kanon Alkitab.
Kedua, Jenkins secara umum berhasil menyeimbangkan antara
kekejaman dan toleransi dalam sejarah Islam. Menurutnya, setiap agama,
bukan hanya Islam, dalam sejarahnya bisa melakukan kekejaman dan
toleransi terhadap agama lainnya (33, 99). Terkait dengan ini, Jenkins juga
menunjukkan bahwa betapa sering justru faktor-faktor non-agama seperti
politik, sumber daya alam, dan perebutan wilayah, memberikan kontribusi
pada peningkatan perlakukan yang kejam terhadap kelompok agamaagama lain. Sayangnya, di dalam buku ini Jenkins kurang meneliti
kontribusi Alquran di dalam sejarah kekerasan Islam (32). Bagaimanakah
kontribusi Alquran di dalam sejarah kekerasan Islam dibandingkan dengan
kontribusi Alkitab di dalam sejarah kekerasan Kekristenan? Jenkins
condong untuk berasumsi bahwa sejarah kekerasan Islam tidaklah inheren
di dalam kitab suci mereka (242).
Ketiga, Jenkins berhasil membuka mata saya berkaitan dengan
pengaruh dan dampak gereja-gereja di Asia dan Afrika atas agama-agama
lain seperti Islam dan Budha. Jenkins menunjukkan bahwa misionaris
Kristen di daratan Cinalah yang menolong misionaris Budha dalam
penterjemahan kitab-kitab suci mereka ketika mereka hendak masuk ke
daratan Cina (15-16). Di samping itu, sesungguhnya banyak orang Kristen
(di bawah kekuasaan Islam) yang menterjemahkan karya-karya filsafat dan
intelektual bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab (19). Studi Jenkins ini
sangat berharga karena bidang sejarah seperti ini kurang dicermati dan
ditelusuri. Dengan kata lain, studi Jenkins ini mengimplikasikan ketika kita
mempelajari asal mula Islam, kita akan dapat menggali kembali
peninggalan-peninggalan gereja-gereja kuno di Asia dan Afrika ini,
demikian juga sebaliknya.
Keempat, jika kita bisa mengabaikan kecondongan Jenkins untuk
menolak konsep Alkitab bahwa umat Allah bisa menderita karena
penghakiman Allah sendiri (252), maka kita akan mendapatkan beberapa
refleksi teologis yang berguna. Di antaranya adalah Jenkins menentang
paham yang tidak Alkitabiah Injil kemakmuran karena Yesus sendiri
mengingatkan bagi orang-orang Kristen untuk memikul salib. Selain itu,
orang-orang Kristen harus menyadari kebodohan mengkaitkan iman
dengan sebuah negara atau tatanan sosial tertentu (262). Ini berimplikasi
studi Jenkins dalam bukunya mengingatkan orang-orang Kristen bahwa
teologi penderitaan tidak boleh diabaikan di dalam kehidupan orang
percaya. Teologi ini harus dikaitkan dengan teologi kebangkitan yang mana
orang-orang Kristen menantikan kedatangan Tuhan kedua kalinya.

Resensi Buku

83

Akhir kata, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan yang ada, buku
ini memberikan sumbangsih yang besar dalam usaha memahami lebih utuh
dan lengkap sejarah Kekristenan di dunia ini. Saya merekomendasikan
buku ini untuk dibaca oleh orang-orang Kristen.
Amos Winarto

RESENSI BUKU
Judul
Penulis
Penerbit
Tahun
Halaman

: Building A Strong Youth Ministry


: Mark DeVries
: Intervarsity Press,
: 2008. Terj. ANDI Ofset, 2011.
: 330 halaman

Perkembangan dan perubahan dalam dunia berlangsung begitu


cepat. Sementara pelayanan gereja terhadap orang muda hari ini
menghdapi kendala yang besar. Hal ini disebabkan tidak ada banyak hamba
Tuhan yang melayani dikalangan orang muda tidak bisa bertahan lama.
Berdasarkan pengalaman pribadi sebagai pelayan kaum muda penulis
buku ini menunjukkan masalah-masalah yang selama ini adalah akibat dari
gagalnya para pelayan kaum muda memecahkan jalan buntu.
Penulis menyajikan paling tidak lima pertanyaan yang menimbulkan
jalan buntu dalam pelayanan kaum muda yaitu: - Tidak mampukah anda
melontarkan gagasan yang baik walaupun hanya sedikit? Mampukah
anda mencegah kami dari kegagalan? Bersediakah anda membantu
gereja saya agar mengerti bahwa dalam pelayanan jumlah tidaklah
penting? Mampukah anda mengeluarkan saya dari permainan politik ini?
(hal 19-28)
Salah satu kritik yang dilontarkan penulis ialah tenang kecenderungan
pelayanan kaum muda dalam gereja hari ini ialah gereja ingin mencapai
hasil yang bersifat instan, dengan tidak sabar menanti pembangunan
pelayanan kaum muda yang bertahan lama.(hal 4) menurut penulis upayaupaya heroik untuk membangun pelayanan kaum muda secara instan dan
berkembang ke segala arah biasanya tidak pernah akan berhasil dan
bertahan lama.
Menurut penulis mereka yang sungguh-sungguh berhasil adalah
mereka yang telah membangun pelayanan kaum muda yang berkembang
pesat adalah mereka yang berani memberitahu gereja sejak awal bahwa
mereka tidak akan meladeni harapan-harapan yang sifatnya instant dan
mencari solusi yang mudah. Karena pelayanan kaum muda yang
berkelanjutan dan berdaya guna baik adalah pelayanan yang direncanakan
dengan baik dan untuk itu membutuhkan waktu yang lama pula. Penulis
menggunakan istilah Berjudi untuk upaya yang instan, dan Berinvestasi
untuk upaya yang bertujuan tetap dan bertahan lama.
Dalam bab-bab selanjutnya akan ditemukan bahwa gereja yang telah
mencoba melakukan keduanya Berjudi maupun Berinvestasi pada saat
membuka halaman terakrhir kita tidak saja yakin bahwa ini dapat dilakukan,
namun juga dibekali dengan perangkat yang dibutuhkan untuk membangun
85

86

JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

pelayanan kaum muda yang sustainable. Anda akan belajar dari gereja
yang telah menjalankan langkah-langkah secara jelas, tenang dan hatihati, yang membangun pelayanan kaum muda sedikit demi sedikit menjadi
baik. hingga suatu hari bertahun tahun kedepan, investasi yang dilakukan
sedikit demi sedikit akan membuahkan hasil yang berlipat ganda.
Di samping itu penulis kemudian menyediakan perangkat praktis dan
struktur yang dibutuhkan untuk meletakan dasar yang kuat bagi pelayanan
yang bukan hanya diletakkan atas dasar satu orang saja tetapi kepada
sebuah tim yang solid, sebuah sistem yang baik dan kuat pula. Untuk
diperlukan dua hal penting yang dalam bahasa penulis disebutkan sebagai
Arsitektur : yang terdiri dari struktur daya tahan yang lama, dan
Atmosfer: yang terdiri dari kultur, iklim, dan etos yang mampu mendukung
organisasi yang sehat dan kuat hal 68-9). Karena itu menurut penulis buku
ini hal yang sangat penting bagi pelayanan kaum muda dalam gereja
adalah: a) Membuat keputusan yang bijak dalam perekrutan, b) membantu
pelayan kaum muda untuk membangun tim voluntir yang kuat, c)
membantu pelayanan kaum muda menetapkan dan menjaga batasan, d)
membuat peta guna menjelajahi dunia politik gereja.
KELEBIHAN DARI BUKU INI ADALAH:
1. Penulis buku ini menggunakan bahasa agak lain dari bahasa yang
biasa dipakai sebagai judul dari beberapa bab yang sangat menarik
sehingga itu membuat kita penasaran untuk tahu apasih yang ia
maksudkan, hal ini dapat dilihat dari bab 1 diberi judul Memecah kata
Sandi, Bab 4 Lantai tempat menari. Dan Bab 8 Kera, Katak, dan
Balkon. Serta sub-judul yang berbunyi Periksalah gereja anda untuk
melihat jika ada virus superstar (hal 56).
2. Penulis dalam uraiannya bayak menceritakan pengalaman diri dan
gereja gereja yang mngalami pergumulan dalam memamujkan dan
mengembangkan pelayanan orang muda.
3. Penulis memberikan criteria yang sangat spesifik dari orang orang yang
akan terlibat dalam tim pelayanan orang muda di gereja (hal. 56-58).
4. Penulis memberikan langkah-langkah praktis dalam membangun dan
mengembangkan pelayanan dikalangan kaum muda.
Mengingat sangat terbatasnya buku yang ditulis berkaitan dengan
pelayanan kaum muda dalam gereja saat ini, maka buku ini sangatlah
penting dan seharusnya menjadi bacaan wajib terutama bagi
mahasiswa teologi atau para aktifis pelayanan orang muda dalam
gereja, serta bagi semua pelayan Tuhan terkhusus para pelayan kaum
muda digereja saat ini. Karena buku memberikan sebuah paradigma
baru dalam pelayanan kaum muda yang selama ini menghadapi
berbagai kendala kalau tidak lesu dan monoton dan tidak bertahan
lama.
Alfius Areng Mutak

PENULIS ARTIKEL DAN RESENSI BUKU


AGUNG GUNAWAN meraih gelar Doktor dalam jurusan Bimbingan dan
Konseling dari Universitas Negri Malang pada tahun 2011. Saat ini
menjabat sebagai Pembantu Ketua III dan dosen tetap di Sekolah
Tinggi Theologi Aletheia Lawang yang mengajar bidang konseling.
SIA KOK SIN meraih gelar D.Th. dalam bidang Perjanjian Lama dari
SEAGST di UKDW Yogyakarta pada tahun 2008. Saat ini menjabat
sebagai Ketua Program Studi Pasca Sarjana dan juga merupakan
dosen tetap di Sekolah Tinggi Theologi Aletheia Lawang yang
mengajar bidang Perjanjian Lama
STEFANUS KRISTIANTO adalah Alumni STT Aletheia Lawang program
Magister Divinitas. Saat ini melayani sebagai Hamba Tuhan di GKT
Hosana Surabaya dan dosen paro waktu di STT Aletheia Lawang
untuk mata kuliah Perjanjian Baru
MARTHEN NAINUPU meraih gelar Magister Teologi (M.Th.) bidang
Pastoral Konseling dari Universitas Kristen Duta Wacana, yogyakarta
pada tahun 1998. Saat ini menjabat sebagai Pembantu ketua II dan
sekaligus sebagai dosen tetap di STT Aletheia yang mengajar
matakuliah bidang konseling dan Filsafat.
AMOS WINARTO meraih gelar Ph.D. dalam bidang Teologi Moral dari
Calvin Theological Seminary, U.S.A. Saat ini menjadi dosen tetap di
STT Aletheia mengajar matakuliah bidang Etika.
ALFIUS ARENG MUTAK meraih gelar Ed.D. dalam bidang Pendidikan dari
AGST, Philliphine pada tahun 2008. Saat ini menjabat sebagai
Pembantu Ketua I dan Dosen Tetap di Sekolah Tinggi Theologi
Aletheia Lawang yang mengajar bidang Pendidikan Kristen.

You might also like