You are on page 1of 18

DIAGNOSTIK KLINIK

PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL

Disusun oleh :
Ananda Putri Asmoro 12334114

Dosen :
Dra. Refdanita, M.Si, Apt

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Allah.SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayahNya kepada Kita sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Pemeriksaan Fungsi Ginjal ini tepat pada waktunya.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada Kita semua yang
membacanya. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir dan semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kami. Amin

Jakarta, Oktober 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ginjal merupakan organ yang diperlukan untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme.
Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan kotoran dari system saluran kemih. Selain itu
fungsi ginjal adalah untuk menyaring kotoran dari darah, ginjal juga menyerap banyak
nutrisi penting ke aliran darah, fungsi lain yang dilakukan di saluran (tubulus) adalah
menyeimbangkan jumlah garam dan air yang disimpan. (KementrianKesehatan RI,
2009).
Ginjal mempertahankan komposisi cairan ekstraseluler yang menunjang fungsi
semua sel tubuh. Kemampuan ginjal untuk mengatur komposisi cairan ekstraseluler
merupakan fungsi per satuan waktu yang diatur oleh epitel tubulus. Untuk zat yang tidak
disekresi oleh tubulus, pengaturan volumenya berhubungan dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG). Seluruh zat yang larut dalam filtrasi glomerulus dapat direabsorpsi
atau disekresi oleh tubulus.
Laju filtrasi glomerulus telah diterima secara luas sebagai indeks terbaik untuk
menilai fungsi ginjal. Pengukuran LFG merupakan hal yang penting dalam pengelolaan
pasien dengan penyakit ginjal. Selain untuk menilai fungsi ginjal secara umum, banyak
kegunaan penting pengukuran LFG, seperti untuk mengetahui dosis obat yang tepat yang
dapat dibersihkan oleh ginjal, untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan ginjal,
mencegah gangguan ginjal lebih lanjut, mengelola pasien dengan transplantasi ginjal,
dan dalam penggunaan kontras media radiografik yang berpotensi nefrotoksik. Karena
itu diperlukan pemeriksaan LFG yang mempunyai nilai akurasi yang tinggi.
B. Tujuan
Untuk mengetahui cara uji laboratorium untuk penyakit gagal ginjal kronik, hasil dan
terapi obat dari hasil yang didapat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit
Gagal ginjal (renal atau Kidney Falture) adalah kasus menurunnya fungsi ginjal
yang terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronis (menahun). Dikatakan gagal ginjal
akut (acute renal falture), tetapi kemudian dapat kembali normal setelah penyebabnya
dapat segera diatasi. Gagal ginjal kronis sama dengan hipertensi, penyakit ikutan yang
saling berkaitan, termasuk silent killer yaitu penyakit mematikan. Gagal ginjal juga bisa
sebagai akibat penyakit ginjal turunan. Namun, menurut Dr, Tunggul Situmorang SpPd.
RGIT, Direktur Utama Rs. Eikini, kalau dulu penderita radang ginjal kronis tahap akhir
disebabkan oleh radang ginjal menahun. Sekarang sudah penyebabnya ke komplikasi
penyakit metabolik dan penyakit generatif (Merir, 2011).
Kegagalan ginjal dalam melaksanakan fungsi-fungsi vital menimbulkan keadaan
yang disebut uremia atau Gagal Ginjal Kronik (GGK) stadium terminal. Perkembangan
yang terus beranjut sejak tahun 1960 dari teknik dialysis dan transplantasi ginjal sebagai
pengobatan stadium terminal GGK, merupakan alternatif dari resiko kematian yang
hampir pasti. (Benez,2011).
Gagal ginjal yang tergolong penyakit kronis ini mempunyai karakteristik bersifat
menetap, tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan dan rawat jalan dalam
jangka waktu yang lama. Selain itu,umumnya pasien juga tidak dapat mengatur dirinya
sendiri dan biasanya tergantung kepada para profesi kesehatan. Kondisi tersebut, tentu
saja menimbulkan perubahan atau ketidakseimbangan yang meliputi biologi,psikologi,
sosial dan spiritual pasien. Seperti, perilaku penolakan, marah, perasaan takut, cemas,
rasa tidak berdaya, putus asa bahkan bunuh diri (Indonesia Kidney Care Club, 2006).
Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan oleh promovendus dr.
Sagiran, Sp.B, M.Kes sebanyak 81 persen pasien yang divonis gagal ginjal bereaksi
dengan emosi negatif, dan baru bisa menerima kenyataan menjelang setahun sejak
divonis penyakit ini. Penyakit ginjal kronis semakin banyak menarik perhatian dan
makin banyak dipelajari karena walaupun sudah mencapai gagal ginjal tahap akhir akan
tetapi penderita masih dapat hidup panjang dengan kualitas hidup yang cukup baik di
samping prevalensinya yang terus meningkat sepanjang tahun.

Menurut United State Renal Data System di Amerika Serikat prevalensi penyakit
ginjal kronis meningkat 20-25% setiap tahun. WHO memperkirakan di Indonesia akan
terjadi peningkatan penderita gagal ginjal pada tahun 1995-2025 sebesar 41,4% dan
menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) diperkirakan terdapat
70.000 penderita gagal ginjal di Indonesia, angka ini akan terus meningkat sekitar 10%
setiap tahunnya.
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya Di Sulawesi
Utara sendiri penyakit ginjal kronis masuk dalam salah satu penyakit beresiko, menurut
data RSUP Prof. DR. R. D. Kandou Manado Penderita penyakit ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis 130 pasien dalam periode waktu 1 bulan, dimana setiap
pasien memiliki jadwal pemeriksaan yang telah ditentukan untuk terapi berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik.
B. Uji Laboratorium Klinik
Pemeriksaan fungsi ginjal dapat dilakukan dengan uji-uji berikut:
1. Kreatinin
Nilai normal : 0,6 1,3 mg/dL SI : 62-115 mol/L
Deskripsi :
Tes ini untuk mengukur jumlah kreatinin dalam darah. Kreatinin dihasilkan
selama kontraksi otot skeletal melalui pemecahan kreatinin fosfat. Kreatinin
diekskresi oleh ginjal dan konsentrasinya dalam darah sebagai indikator fungsi
ginjal. Pada kondisi fungsi ginjal normal, kreatinin dalam darah ada dalam jumlah
konstan. Nilainya akan meningkat pada penurunan fungsi ginjal. Serum kreatinin
berasal dari masa otot, tidak dipengaruhi oleh diet, atau aktivitas dan diekskresi
seluruhnya melalui glomerulus. Tes kreatinin berguna untuk mendiagnosa fungsi
ginjal karena nilainya mendekati glomerular fi ltration rate (GFR).
Kreatinin adalah produk antara hasil peruraian kreatinin otot dan
fosfokreatinin yang diekskresikan melalui ginjal. Produksi kreatinin konstan selama
masa otot konstan. Penurunan fungsi ginjal akan menurunkan ekskresi kreatinin.

Implikasi klinik :

Konsentrasi kreatinin serum meningkat pada gangguan fungsi ginjal baik karena
gangguan fungsi ginjal disebabkan oleh nefritis, penyumbatan saluran urin,

penyakit otot atau dehidrasi akut.


Konsentrasi kreatinin serum menurun akibat distropi otot, atropi, malnutrisi atau

penurunan masa otot akibat penuaan.


Obat-obat seperti asam askorbat, simetidin, levodopa dan metildopa dapat
mempengaruhi nilai kreatinin pada pengukuran laboratorium walaupun tidak

berarti ada gangguan fungsi ginjal.


Nilai kreatinin boleh jadi normal meskipun terjadi gangguan fungsi ginjal pada

pasien lanjut usia (lansia) dan pasien malnutrisi akibat penurunan masa otot.
Kreatinin mempunyai waktu paruh sekitar satu hari. Oleh karena itu diperlukan
waktu beberapa hari hingga kadar kreatinin mencapai kadar normal untuk

mendeteksi perbaikan fungsi ginjal yang signifikan.


Kreatinin serum 2 - 3 mg/dL menunjukan fungsi ginjal yang menurun 50 %

hingga 30 % dari fungsi ginjal normal.


Konsentrasi kreatinin serum juga bergantung pada berat, umur dan masa otot.

Faktor pengganggu:

Olahraga berat, angkat beban dan prosedur operasi yang merusak otot rangka

dapat meningkatkan kadar kreatinin


Alkohol dan penyalahgunaan obat meningkatkan kadar kreatinin
Atlet memiliki kreatinin yang lebih tinggi karena masa otot lebih besar
Injeksi IM berulang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar kreatinin
Banyak obat dapat meningkatkan kadar kreatinin
Melahirkan dapat meningkatkan kadar kreatinin
Hemolisis sampel darah dapat meningkatkan kadar kreatinin
Obat-obat yang meningkatkan serum kreatinin: trimetropim, simetidin,
ACEI/ARB

2. Kreatinin Urin (Clcr) Creatinine clearance


Nilai normal : Pria : 1 - 2 g/24 jam
Wanita : 0,8 - 1,8 g/24 jam
Deskripsi:

Kreatinin terbentuk sebagai hasil dehidrasi kreatin otot dan merupakan produk sisa
kreatin. Kreatinin difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan tidak direabsorbsi oleh
tubulus pada kondisi normal. Kreatinin serum dan klirens kreatinin memberikan
gambaran filtrasi glomerulus.
Implikasi klinik:
Pengukuran kreatinin yang diperoleh dari pengumpulan urin 24 jam, namun hal itu
sulit dilakukan. Konsentrasi kreatinin urin dihubungkan dengan volume urin dan
durasi pengumpulan urin (dalam menit) merupakan nilai perkiraan kerja fungsi
ginjal yang sebenarnya.
Kategori kerusakan ginjal berdasarkan kreatinin serum dan klirens
Derajat

kegagalan Klirens

ginjal
Normal
Ringan
Moderat
Berat
Anuria

Kreatinin Serum

(mL/menit)
> 80
57 79
10 49
< 10
0

Kreatinin

(mg/dL)
1,4
1,5 - 1,9
2,0 - 6,4
> 6,4
> 12

Perhitungan Klirens Kreatinin dari Konsentrasi Kreatinin Serum


a. Menurut Traub SL dan Johnson CE, untuk anak 1 18 tahun
Clcr=[0,48(tinggi)]/Scr
Keterangan: Clcr = kreatinin klirens dalam mL/min/1,73 m2
Scr = serum kreatinin dalam mg/dL
b. Metode Jelliffe, memperhitungkan umur pasien, pada umumnya dapat dipakai
untuk pasien dewasa yang berumur 20-80 tahun. Dengan metode ini makin tua
pasien makin kecil klirens kreatinin untuk konsentrasi kreatinin serum yang
sama.
Pria : Clcr=[98-0,8x(umur-20)]/Scr
Wanita: Hendaknya menggunakan 90% dari Clcr yang diperoleh pada pria atau
hasil dari pria x 0,90
c. Metode Cockroff dan Gault juga digunakan untuk memperkirakan klirens
kreatinin dari konsentrasi kreatinin serum pasien dewasa. Metode ini melibatkan
umur dan berat badan pasien.
Pria : Clcr={[140-umur(tahun)]berat badan (kg)}/[72Scr(mg/dL)]

Wanita : Untuk pasien wanita menggunakan 85 % dari harga Clcr yang


diperoleh pada pria atau hasil dari pria x 0,85
Obat-obat yang bersifat nefrotoksik :

Analgesik: naproksen, salisilat, fenoprofen, ibuprofen


Anestesi: ketamin
Antibiotik: kolistin, oksasilin, tetrasiklin, aminoglikosida,

eritromisin,rifampisin, sulfonamid
Antiretroviral, asiklovir
Preparat besi
Diuretik: furosemid, tiazid, manitol
Koloid: dextran
Sitostatika: siklofosfamid, cisplatin
Antijamur: amfoterisin
Imunosupresan: siklosporin, takrolimus
Antitrombotik: klopidogrel, ticlid
Antidislipidemia: statin
Golongan bifosfonat
Antidepresan: amitriptilin
Antihistamin
Allopurinol
Antikonvulsi: fenitoin, asam valproat
Ulcer healing drugs: H2-blocker, penghambat pompa proton

vankomisin,

a. Klirens kreatinin (Clcr)


Umur
0-6 bulan
7-12 bulan
13 bulan- 4 tahun
5-8 tahun
9-12 tahun
13 tahun keatas

Pria

Wanita

(mL/menit)
40-60
50-75
60-100
65-110
70-120
80-130

(mL/menit)
40-60
50-75
60-100
65-110
70-120
75-120

Tingkat kerusakan ginjal parah < 10 mL/menit, sedang 10-30 mL/menit, ringan
30-70 /menit
Deskripsi:

Klirens

kreatinin

adalah

pengukuran

kecepatan

tubuh

(oleh

ginjal)

membersihkan kreatinin, terutama pengukuran kecepatan filtrasi glomerolus


(GFR).
Implikasi Klinik:

Hasil penilaian dengan mengukur klirens kreatinin memberikan hasil yang

lebih akurat.
Pada anak-anak, nilai klirens kreatinin akan lebih rendah (kemungkinan
akibat masa otot yang lebih kecil)

Obat-obat yang perlu dimonitor pada pasien dengan ganguan fungsi ginjal

Golongan aminoglikosida
Obat dengan indeks terapi sempit

3. D - Dimer
Nilai normal: Negatif atau < 0,5 mcg /mL atau < 0,5 mg/L SI
Peningkatan palsu: pada kondisi titer reumatoid faktor yang tinggi, adanya tumor
marker (penanda) CA-125, terapi estrogen dan kehamilan normal.
Deskripsi:
Menilai salah satu produk degradasi fibrin. Terdiri dari berbagai ukuran fibrin terkait
silang (cross-linked)
Implikasi klinik:
Meningkat pada DIC, DVT, Emboli paru, gagal hati atau gagal ginjal, kehamilan
trimester akhir, preeklamsia, infark miokard, keganasan, inflamasi, infeksi parah,
pembedahan dan trauma.
4. Kalium (K+)
Nilai normal: 0 - 17 tahun : 3,6 - 5,2 mEq/L SI unit : 3,6 - 5,2 mmol/L
: 18 tahun : 3,6 4,8 mEq/L SI unit :3,6 4,8 mmol/L
Deskripsi :
Kalium merupakan kation utama yang terdapat di dalam cairan intraseluler,
(bersama bikarbonat) berfungsi sebagai buffer utama. Lebih kurang 80% - 90%
kalium dikeluarkan dalam urin melalui ginjal. Aktivitas mineral okortikoid dari
adrenokortikosteroid juga mengatur konsentrasi kalium dalam tubuh. Hanya sekitar
10% dari total konsentrasi kalium di dalam tubuh berada di ekstraseluler dan 50

mmoL berada dalam cairan intraseluler, karena konsentrasi kalium dalam serum
darah sangat kecil maka tidak memadai untuk mengukur kalium serum. Konsentrasi
kalium dalam serum berkolerasi langsung dengan kondisi fisiologi pada konduksi
saraf, fungsi otot, keseimbangan asam-basa dan kontraksi otot jantung.
Implikasi klinik:

Hiperkalemia. Faktor yang mempengaruhi penurunan ekskresi kalium yaitu:


gagal ginjal, kerusakan sel (luka bakar, operasi), asidosis, penyakit Addison,

diabetes yang tidak terkontrol dan transfusi sel darah merah.


Hipokalemia, adalah konsentrasi kalium dalam serum darah kurang dari 3,5
mmol/L. Jika dari beberapa tes ditemukan kecenderungan rendahnya
konsentrasi kalium (contoh: 0,1-0,2 mmol/L/hari) akan lebih mengkhawatirkan
dibandingkan dengan nilai yang rendah pada satu pengukuran. Kondisi
hipokalemia akan lebih berat pada diare, muntah, luka bakar parah, aldosteron
primer, asidosis tubular ginjal, diuretik, steroid, cisplatin, tikarsilin, stres yang

kronik, penyakit hati dengan asites, terapi amfoterisin.


Nilai kalium tidak berubah dengan sirkulasi volume. Kalium adalah ion

intraseluler dan konsentrasi serumnya tidak terpengaruh oleh volume sirkulasi.


Garam kalium klorida (KCl) lebih banyak digunakan untuk pengobatan
hipokalemia. Bilamana kadar K masih diatas 3mEg/L. Bila kurang, berikan KCl
injeksi (KCl injeksi termasuk HIGH ALERT MEDICATION). Dosis KCl
optimal yang diberikan tergantung pada tingkat hipokalemia dan perubahan
EKG. Pasien dewasa mendapat asupan 60-120 mmoL/hari kalium dan pasien
yang tidak menerima makanan melalui mulut mendapat 10-30 mEq/L K+ dari

cairan IV.
Hipokalemia dan hiperkalemia dapat meningkatkan efek digitalis dan dapat
menyebabkan toksisitas digitalis, sehingga perlu memeriksa nilai K sebelum

pemberian digoksin.
Kalium darah meningkat sekitar 0,6 mmol/L untuk setiap penurunan 0,1

penurunan pH darah (pH normal = 7,4).


Perubahan EKG yang spesifik terkait dengan perubahan kadar kalium dalam

serum.
Hipokalemia mungkin sulit untuk dikoreksi dengan penambahan KCl jika

pasien juga mengalami hypomagnesemia.


Fungsi neuromuskular dipengaruhi baik oleh hiperkalemia dan hipokalemia.
Terapi penurunan glukosa dengan insulin, secara IV drip dapat menurunkan
kadar gula darah melalui penggantian kalium intraseluler.

Perhitungan kekurangan kalium total tubuh tidak dapat ditentukan dengan tepat.
Setiap 1 mmol/L penurunan kalium dalam serum menunjukan kekurangan
kalium 100-200 mmol/L. Bila kadar serum turun di bawah 3 mmol/L, tiap 1
mmol/L menunjukan penurunan 200-400 mmol/L kaliumdari persediaan total
kalium tubuh.

Faktor pengganggu

Penggunaan obat; pemberian penisilin kalium secara IV mungkin menjadi


penyebab hiperkalemia ; penisilin natrium dapat menyebabkan peningkatan

ekskresi kalium.
Beberapa obat dapat menyebabkan peningkatan kadar kalium seperti penisilin

natrium, diuretik hemat kalium (spironolakton), ACEI, NSAID.


Hiperkalemia juga sering dijumpai pada gangguan ginjal.
Penurunan kadar kalium sebesar 0,4 mEq/L bisa terjadi setelah pemberian

insulin. Namun manifestasi klinisnya tidak bermakna.


Hiponatremia dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung.
Pemberian glukosa selama pemeriksaan toleransi atau asupan dan pemberian
glukosa jumlah besar pada pasien dengan penyakit jantung dapat menyebabkan

penurunan sebesar 0,4 mEq/L kadar darah kalium.


Sejumlah obat yang meningkatkan kadar kalium, khususnya diuretik hemat
kalium dan anti inflamasi non steroid, khususnya jika terdapat gangguan ginjal.

5. Klorida (Cl-)
Nilai normal : 97 - 106 mEq/L SI unit : 97 - 106 mmol/L
Deskripsi:
Anion klorida terutama terdapat di dalam cairan ekstraseluler. Klorida berperan
penting dalam memelihara keseimbangan asam basa tubuh dan cairan melalui
pengaturan tekanan osmotis. Perubahan konsentasi klorida dalam serum jarang
menimbulkan masalah klinis, tetapi tetap perlu dimonitor untuk mendiagnosa
penyakit atau gangguan keseimbangan asam-basa.
Implikasi klinik:

Penurunan konsentrasi klorida dalam serum dapat disebabkan oleh muntah,


gastritis, diuresis yang agresif, luka bakar, kelelahan, diabetik asidosis, infeksi
akut. Penurunan konsentrasi klorida sering terjadi bersamaan dengan alkalosis
metabolik.

Peningkatan konsentrasi klorida dalam serum dapat terjadi karena dehidrasi,

hiperventilasi, asidosis metabolik dan penyakit ginjal.


Nilai klorida berguna dalam menilai gangguan asam-basa yang menyertai
gangguan fungsi ginjal. Konsentrasi klorida dalam plasma dapat dijaga agar

tetap mendekati nilai normal, walaupun dalam keadaan gagal ginjal.


Konsentrasi natrium, bikarbonat dan klorida dalam serum dapat digunakan
untuk menghitung gap anion (AG) sebagai berikut : AG = (Na+) [ HCO3- +

Cl-]
Gap anion lebih dari 12 mengindikasikan adanya anion yang tidak
terukur,seperti metanol, urea, keton, laktat dan etilen glikol.

Faktor pengganggu:

Konsentrasi klorida plasma pada bayi biasanya lebih tinggi dibandingkan pada

anak-anak dan dewasa.


Beberapa obat tertentu dapat mengubah kadar klorida.
Peningkatan klorida terkait dengan infus garam IV berlebih.

Hal yang harus diwaspadai:


nilai kritis klorida: <70 atau > 120 mEq/L atau mmol/L
Perawatan Pasien

Memeriksa aktifitas dan diet normal


Interpretasi hasil pemeriksaan dan monitor dengan memadai
Jika diduga terjadi gangguan elektrokit, harus dicatat berat badan dan asupan
dan output cairan yang akurat

6. Karbon Dioksida (CO2)


Nilai normal : 22 - 32 mEq/L SI unit : 22 - 32 mmol/L
Deskripsi:
Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion bikarbonat(HCO3-1),
5% sebagai larutan gas CO 2 terlarut dan asam karbonat (H 2CO3).Kandungan CO2
plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang bersifat basa dan diatur oleh
ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama bersifat asam dan diatur oleh paru-paru. Oleh
karena itu nilai CO2 plasma menunjukkan konsentrasi bikarbonat.

Implikasi klinik:

Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah, emfi sema,dan

aldosteronisme
Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik asidosis dan

hiperventilasi
Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan nitrofurantoin

7. Trigliserida
Nilai normal : Dewasa yang diharapkan
Pria : 40 - 160 mg/dL SI: 0,45 - 1,80 mmol/L
Wanita : 35 - 135 mg/dL SI: 0,4 - 1,53 mmol/L
Deskripsi :
Trigliserida ditemukan dalam plasma lipid dalam bentuk kilomikron dan VLDL(very
low density lipoproteins).
Implikasi klinik :

Trigliserida meningkat dapat terjadi pada pasien yang mengidap sirosis


alkoholik, alkoholisme, anoreksia nervosa, sirosis bilier, obstruksi bilier,
trombosis cerebral, gagal ginjal kronis, DM, Sindrom Downs, hipertensi,
hiperkalsemia, idiopatik, hiperlipoproteinemia (tipe I, II, III, IV, dan V),
penyakit penimbunan glikogen (tipe I, III, VI), gout, penyakit iskemia hati
hipotiroidism, kehamilan, porfiria akut yang sering kambuh, sindrom sesak

nafas, talasemia mayor, hepatitis viral dan sindrom Werner.


Kolestiramin, kortikosteroid, estrogen, etanol, diet karbohidrat, mikonazoli.v,

kontrasepsi oral dan spironolakton dapat meningkatkan trigliserida.


Penurunan trigliserida dapat terjadi pada obstruksi paru

kronis,

hiperparatiroidism, hipolipoproteinemia, limfa ansietas, penyakit parenkim hati,

malabsorbsi dan malnutrisi.


Vitamin C, asparagin, klofibrat dan heparin dapat menurunkan konsentrasi
serum trigliserida.

8. Fosfor anorganik (PO4)


Nilai normal : Pria; 0-5 tahun : 4-7 mg/dL SI unit:1,29-2,25 mmol/L
6-13 tahun: 4-5,6 mg/dL SI unit : 1,29-1,80 mmol/L

14-16 tahun:3,4-5,5 mg/dL SI unit 1,09-1,78 mmol/L


17-19 tahun: 3-5 mg/dL SI unit: 0,97-1,61 mmol/L
20 tahun: 2,6-4,6 mg/dL SI unit: 0,89-1,48 mmol/L
Wanita; 0-5 tahun: 4-7 mg/dL SI unit :1,29-2,25 mmol/L
6-10 tahun: 4,2-5,8 mg/dL SI unit: 1,35-1,87 mmol/L
11-13 tahun: 3,6-5,6 mg/dL SI unit : 1,16-1,8 mmol/L
14-16 tahun: 3,2-5,6 mg/dL SI unit : 1,03-1,8 mmol/L
17 tahun: 2,6-4,6 mg/dL SI unit: 0,84-1,48 mmol/L
Deskripsi:
Fosfat dibutuhkan untuk pembentukan jaringan tulang, metabolisme glukosa dan
lemak, pemeliharaan keseimbangan asam-basa serta penyimpanan dan transfer
energi dalam tubuh. Sekitar 85% total fosfor dalam tubuh terikat dengan kalsium.
Bila kadar fosfat diperiksa maka nilai serum kalsium juga harus diperiksa.
Implikasi klinik:

Hiperfosfatemia dapat terjadi pada gangguan fungsi ginjal, uremia, kelebihan


asupan fosfat, hipoparatiroidisme, hipokalsemia, kelebihan asupan vitamin D,

tumor tulang, respiratori asidosis, asidosis laktat dan terapi bifosfonat.


Hipofosfatemia dapat terjadi pada hiperparatiroidisme, rickets, komadiabetik,
hyperinsulinisme, pemberian glukosa iv secara terus menerus pada non diabetik,
antasida, tahap-tahap diuretik pada luka bakar parah dan respiratori alkalosis.

Faktor pengganggu

Kadar fosfor normal lebih tinggi pada anak-anak


Kadar fosfor dapat meningkat secara false akibat hemolisis darah karenanya

pisahkan serum dari sel sesegera mungkin


Obat dapat menjadi penyebab menurunnya fosfor
Penggunaan laksatif atau enema yang mengandung natrium fosfat dalam jumlah
besar akan meningkatkan fosfor sebesar 5 mg/dL setelah 2 hingga 3 jam.
Peningkatan tersebut hanya sementara (5-6 jam) tetapi faktor ini harus
dipertimbangkan jika dijumpai abnormalitas kadar.

Tatalaksana Hiperfosfatemia
a. Terapi hiperfosfatemia sebaiknya langsung pada penyebab masalah:

Pada gagal ginjal pembatasan makanan bermanfaat dan penggunaan bahan

yang mengikat fosfat (kalsium atau aluminium)


Hemodialisis digunakan untuk mengurangi kadar fosfat pada pasien yang
mengalami penyakit ginjal tahap akhir

b. Terapi hiperfosfatemia yang mengancam jiwa:


Pemberian cairan IV untuk meningkatkan ekskresi
Kalsium IV
Dialisis
C. Terapi
Cuci darah (Hemodialisis, sering disingkat HD) adalah salah satu terapi pada pasien
dengan gagal ginjal dalam hal ini fungsi pencucian darah yang seharusnya dilakukan
oleh ginjal diganti dengan mesin. Dengan mesin ini pasien tidak perlu lagi melakukan
cangkok ginjal, namun hanya perlu melakukan cuci darah secara periodik dengan jarak
waktu tergantung dari keparahan dari kegagalan fungsi ginjal. Fungsi ginjal untuk
pencucian darah adalah dengan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu
dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium,hidrogen, ureum, kreatinin,
asam urat, dan zat-zat lain.
Cuci darah dilakukan jika ginjal tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik
atau biasa disebut dengan gagal ginjal. Kegagalan ginjal ini dapat terjadi secara
mendadak (gagal ginjal akut) maupun yang terjadi secara perlahan (gagal ginjal kronik)
dan sudah menyebabkan gangguan pada organ tubuh atau sistem dalam tubuh lain. Hal
ini terjadi karena racun racun yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal tidak dapat
dikeluarkan karena rusaknya ginjal. Kelainan yang dapat terjadi yaitu meningkatnya
kadar keasaman darah yang tidak bisa lagi diobati dengan obat obatan, terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh, kegagalan jantung memompa darah akibat
terlalu banyaknya cairan yang beredar di dalam darah,terjadinya peningkatan dari kadar
ureum dalam tubuh yang dapat mengakibatkan kelainan fungsi otak, radang selaput
jantung, dan perdarahan.
Menurut Brian J.G Pereira (2005:1038) bahwa cuci darah dapat dilakukan sementara
waktu apabila kerusakan fungsi ginjal bersifat sementara, biasanya sering terjadi pada
kasus gagal ginjal akut. Tetapi, pada kasus gagal ginjal kronik dimana kerusakan fungsi
ginjal bersifat permanen, maka cuci darah dilakukan seumur hidup pasiennya. Tidak ada
klasifikasi seragam pada tahap penyakit gagal ginjal kronik.

Dialiser Proses Ulang (DPU) , DPU adalah penggunaan dialiser lebih dari satu kali
untuk pasien yang sama. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser 80% dari
dialiser baru. Pemakaian DPU pertama kali dilaporkan pada tahun 1964. Sejak saat itu,
DPU telah banyak digunakan di beberapa negara. Data dari catatan medis tahun 2007 di
Unit HD RSCM didapatkan 96% pasien HD menggunakan DPU. Ureum Darah dan
Kreatinin Darah. Salah satu fungsi ekskresi ginjal adalah mengekskresikan produk akhir
Nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea, asam urat dan kreatinin.(AlfredK.
Cheung, 1999:350). Nilai normal ureum dalam darah orang dewasa dari 5 25 mg/dl.
Pada Pasien penyakit ginjal yang laju filtrasi glomerulusnya sangat menurun, konsentrasi
ureum plasmanya sangat meningkat. Penurunan ureum dipakai sebagai parameter
melihat kemampuan DPU untuk membersihkan ureum dalam darah pasien dan juga
merupakan bahan yang secara praktis dapat diukur sebagai pertanda adekuasi proses HD.
Fungsi ginjal dapat juga dilihat dengan mengukur kadar kreatinin dalam darah.
Semakin tinggi kadar kreatinin pada darah menunjukkan menurunnya fungsi ginjal. Nilai
normal kreatinin dalam darah manusia kurang dari 1,2 mg/dl. Tingginya tingkat kreatinin
menunjukkan jatuh laju filtrasi glomerulus dan sebagai akibat penurunan kemampuan
ginjal mengekskresikan produk limbah.

BAB III
KESIMPULAN

Ginjal merupakan organ yang diperlukan untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme.


Fungsi utama ginjal adalah mengeluarkan kotoran dari system saluran kemih. Selain itu
fungsi ginjal adalah untuk menyaring kotoran dari darah, ginjal juga menyerap banyak
nutrisi penting ke aliran darah, fungsi lain yang dilakukan di saluran (tubulus) adalah
menyeimbangkan jumlah garam dan air yang disimpan. Laju filtrasi glomerulus telah
diterima secara luas sebagai indeks terbaik untuk menilai fungsi ginjal. Pengukuran LFG
merupakan hal yang penting dalam pengelolaan pasien dengan penyakit ginjal.
Gagal ginjal (renal atau Kidney Falture) adalah kasus menurunnya fungsi ginjal yang
terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronis (menahun). Dikatakan gagal ginjal akut (acute
renal falture), tetapi kemudian dapat kembali normal setelah penyebabnya dapat segera
diatasi. Kegagalan ginjal dalam melaksanakan fungsi-fungsi vital menimbulkan keadaan yang
disebut uremia atau Gagal Ginjal Kronik (GGK) stadium terminal. Pemeriksaan fungsi ginjal
dapat dilakukan dengan uji Kreatinin, Kreatinin Urin (Clcr) Creatinine clearance, D
Dimer, Kalium (K+), Klorida (Cl-), Karon Dioksida (CO2), Phoshor anorganik (PO4), dan
Trigliseriida.
Cuci darah (Hemodialisis, sering disingkat HD) adalah salah satu terapi pada pasien
dengan gagal ginjal dalam hal ini fungsi pencucian darah yang seharusnya dilakukan oleh
ginjal diganti dengan mesin. Dengan mesin ini pasien tidak perlu lagi melakukan cangkok
ginjal, namun hanya perlu melakukan cuci darah secara periodik dengan jarak waktu
tergantung dari keparahan dari kegagalan fungsi ginjal. Fungsi ginjal untuk pencucian darah
adalah dengan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, ureum, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain.

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Ilmiah WIDYA, Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014, EFEKTIVITAS
DIALISER

PROSESULANG

(DPU)

PADA

PENDERITA

GAGAL

GINJALKRONIK (HEMODIALISA)
Pedoman Interpretasi Data Klinik, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011
Hubungan Antara Kadar Hemoglobin, Kadar Albumin, Kadar Kreatinin Dan Status
Pembayaran Dengan Kematian Pasien Gagal Ginjal Kronik.Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta 2012
Karakteristik Pasien Dan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang

MenjalaniTerapi Hemodialisa.

You might also like