You are on page 1of 15

STASE ANESTESIOLOGI

TUGAS REFERAT

Tatalaksana Nyeri Perioperatif

Disusun Oleh :

Dibimbing Oleh :

PERIODE 28 DESEMBER 23 JANUARI 2016


RS ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH JAKARTA
JAKARTA, 2016

TATALAKSANA NYERI
a. Pendahuluan

The international Association for the Study of Pain : nyeri merupakan pengalaman
sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan
secara potensial dan aktual potensial atau yang dijelaskan dalam hal kerusakan tersebut.
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang
tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan
ringan.
Nyeri berawal dari reseptor nyeri yang tersebar di seluruh tubuh. Reseptor nyeri ini
menyampaikan pesan sebagai impuls listrik di sepanjang saraf yang menuju ke medula
spinalis dan kemudian diteruskan ke otak. Kadang ketika sampai di medula spinalis,
sinyal ini menyebabkan terjadinya respon refleks; jika hal ini terjadi, maka sinyal segera
dikirim kembali di sepanjang saraf motorik ke sumber nyeri dan menyebabkan terjadinya
kontraksi otot.
Contoh dari respon refleks adalah reaksi segera menarik tangan ketika menyentuh
sesuatu yang sangat panas. Sinyal nyeri juga sampai ke otak. Seseorang akan akan
merasakan nyeri hanya jika otak mengolah sinyal ini dan mengartikannya sebagai nyeri.
Reseptor nyeri dan jalur sarafnya berbeda pada setiap bagian tubuh. Karena itu, sensasi
nyeri bervariasi berdasarkan jenis dan lokasi dari cedera yang terjadi. Reseptor nyeri di
kulit sangat banyak dan mampu meneruskan informasi secara akurat. Sedangkan sinyal
nyeri dari usus sangat terbatas dan tidak akurat. Otak tidak dapat menentukan sumber
yang tepat dari nyeri di usus, lokasi nyeri sulit ditentukan dan cenderung dirasakan di
daerah yang lebih luas. Nyeri yang dirasakan di beberapa daerah tubuh tidak secara pasti
mewakili lokasi kelainannya, karena nyeri bisa berpindah ke daerah lain (referred pain).
Referred pain terjadi karena sinyal dari beberapa daerah di tubuh seringkali masuk ke
dalam jalur saraf yang sama ke medula spinalis dan otak. Misalnya nyeri karena serangan
jantung bisa dirasakan di leher, rahang, lengan atau perut dan nyeri karena serangan
kandung kemih bisa dirasakan di bahu.
Setiap orang memiliki tingkat toleransi yang berbeda terhadap nyeri.Seseorang bisa
merasakan nyeri yang hebat karena tergores atau mengalami memar, sedangkan yang
lainnya hanya sedikit mengeluh meskipun mengalami kecelakaan berat atau tertusuk

pisau. Kemampuan untuk mengatasi nyeri tergantung kepada suasana hati, kepribadian
dan lingkungan.

b. Pembagian Nyeri
1. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang dimulai secara tiba-tiba dan biasanya tidak
berlangsung lama.Jika nyerinya hebat, bisa menyebabkan denyut jantung yang cepat,
laju pernafasan meningkat, tekanan darah meninggi, berkeringat dan pupil melebar.
1.1 nyeri somatik luar (nyeri tajam dikulit subkutis, mukosa)
1.2 nyeri somatik dalam nyeri tumpul otot rangka, tulang, sendi & jaringan ikat
1.3 nyeri viseral nyeri karena penyakit atau disfungsi alat dalam
2. Nyeri Kronik
Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung selama beberapa minggu atau bulan;
istilah ini biasanya digunakan jika:

nyeri menetap selama lebih dari 1 bulan


nyeri sering kambuhan dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
nyeri berhubungan dengan penyakit menahun (misalnya kanker).
Nyeri kronis biasanya tidak mempengaruhi denyut jantung, laju pernafasan,

tekanan darah maupun pupil; tetapi bisa menyebabkan gangguan tidur, mengurangi
nafsu makan dan menyebabkan sembelit, penurunan berat badan, berkurangnya
gairah seksual dan depresi.
c. Kualitas Nyeri
1. Nyeri cepat (fast pain)
singkat, tempatnya jelas sesuai rangsang yang diberi. Nyeri dihantar oleh serabut
saraf kecil bermielin jenis A-delta dengan kecepatan konduksi 12-30 m/detik.
Misalnya nyeri tusuk, pembedahan
2. Nyeri lambat (slow pain)
sulit dilokalisir dan tak ada hub dengan ranngsang misalnya rasa terbakar, rasa
berdenyut, rasa ngilu, linu. Nyeri dihantar oleh serabut saraf primitif tak bermielin
jenis C dengan kecepatan konduksi 0,5-2 meter/detik
d. Nyeri Inflamasi

Proses inflamasi ialah proses unik baik secara biokimia atau seluler yang disebabkan
oleh kerusakan jaringan atau adanya benda asing. Proses inflamasi tidak hanya berusaha
menghilangkan jaringan yang rusak, tetapi berusaha pula untuk menyembuhkannya.
Tanda utama inflamasi :
1. Rubor (kemerahan)
2. Kalor (kehangatan)
3. Tumor (pembengkakan)
4. Dolor (nyeri)
5. Fungsio laesa (kehilangan fungsi)
Reseptor nyeri
Ujung-ujung saraf bebas. Nyeri dapat memicu mual untah melalui peningkatan sirkulasi
katekolain akibat stres
e. Mekanisme Nyeri
1. Tranduksi
rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang
kemudian menjadi impuls saraf
2. Tranmisi
2.1 Saraf sensoris perifer yang melanjutkan rangsang ke terinal di medula spinalis
disebut neuron aferen primer
2.2 Jaringan saraf yang naik dari medula spinalis kebatang otak dan talamus disebut
neuron penerima kedua
2.3 Neuron yang menghubungkan dari talamus ke korteks serebri disebut neuron
penerima ketiga
3. Modulasi
Dapat timbul di nosireseptor perifer, medula spinalis atau supra spinal. Modulasi ini
dapat menghambat atau memberi fasilitasi
4. Pesepsi : sangat subjektif, mekanisme jelas
f. Zat-zat Penghasil Nyeri
Pembedahan akan

menghasilkan

sel-sel

rusak

dengan

konsekuensi

akan

mengeluarkan zat-zat kimia bersifat analgesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri. Zat mediator inflamasi tersebut diantaranya :

Zat

Sumber

Menimbulkan nyeri

Efek pada aferen primer

Kalium

Sel-sel rsak

++

mengaktifkan

Serotonin

Trombosit

++

mengaktifkan

Bradikinin

Kininogen plasma

+++

mengaktifkan

Histamin

Sel-sel mast

mengaktifkan

Prostaglandin

Asam arakidonat dan sel


rusak

sensitisasi

Lekotrien

Asam arakidonat dan sel


rusak

sensitisasi

Substansi P

Aferen primer

sensitisasi

g. Respon Sistemik Terhadap Nyeri


Nyeri akut berhubungan dengan respon neuro-endokrin sesuai derajat nyerinya.
Nyeri menyebabkan peningkatan hormon katabolik (katekolamin, kortisol, glukagon,
renin, aldosteron, angiotensin,hormon antidiuretik) & penurunan hormon anabolik
(insulin, testosteron)
h. Manifestasi nyeri :
Hipertensi, takikardi, hiperventilasi, tonus sfingter saluran cerna & saluran kemih
meningkat (ileus, retensi urin)
i. Skala Nyeri
Pengatahuan tentang nyeri penting untuk menyusun program penghilangan nyeri
pasca bedah. Derajat nyeri dapat diukur dengan macam-macam cara, misalnya tingkah
laku pasien, skala verbal dasar (VRS, verbal rating scales), (VAS, visual analogue
scales).
Secara sederhana nyeri pasca bedah pada pasien sadar dapat langsung ditanyakan
pada yang bersangkuta dan dikategorikan:
- Tidak nyeri
- Nyeri ringan
- Nyeri sedang
- Nyeri berat
- Sangat Nyeri
j. Metode Penghilang Nyeri

Biasanya digunakan :

Analgetik golongan opioid untuk nyeri hebat

Golongan anti inflamasi non steroid (NSAID) untuk nyeri sedang atau ringan
Metode menghilangkan nyeri :
Oral, rektal, transdermal, sublingual, subkutan, intramuskular, intravena atau perinfus.
Cara yang sering digunakan adalah intramuscular opiod.
Metode regional misalnya :
epidural opioid (dewasa : morfin 1-6 mg, petidin 20-60 mg, fentanil 25-100 g) atau
intraspinal opioid ( dewasa : morfin 0,1-0,3 mg, petidin 10-30 mg, fentanil 5-25 g)
Metode infiltrasi : luka operasi sebelum pembedahan selesai
k. Obat-obatan
- Opioid
Adalah semua zat baik sistemik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan
dalam anestesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan paska pembedahan.
Opium ialah getah candu. Opiat adalah obat yang dibuat dari opium. Narkotik adalah
istilah tidak spesifik untuk sema obat yang dapat menyebabkan tidur.

Mekanisme kerja
Reseptor opioid tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat, tapi lebih
berkonsentrasi di otak tengah yaitu sistem limbik, talamus, hipotalamus, korpus
striatum, sistem aktivasi retikular dan di korda spinalis yaitu substansia

gelatinosa dan dijumpai pula saraf usus


Molekul opioid dan polipeptida endogen (menkefalin, beta-endorfin, dinorfin)
berinteraksi dengan respetor morfin dan menghasilkan efek

Reseptor opioid diidentifikasikan menjadi 5 golongan :

Reseptor (mu) : -1 analgesia supraspinal, sedasi


-2, analgesia spinal, depresi napas, eforia, ketergantungan
fisik, kekakuan otot
Reseptor (delta) : analgesia spinal, epileptogen
Reseptor (kappa) : -1 nalagesia spinal
-2 tidak diketahui
-3 analgesia supraspinal
Reseptor (sigma) : disforia, halusinasi, stimulais jantung
Reseptor (epsilon) : respon hormonal

Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia grisea,
yaitu di periakuaduktus dan periventrikular. Sedangkan pada system spinal tempat
kerjanya di substansia gelatinosa korda spinalis.
Morfin (agonis) terutama bekerja di reseptor dan sisanya di reseptor
Golongan opioid:
1. Agonis : Mengaktifkan reseptor.
Contoh : morfin, petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein,
alfaprodin
2. Antagonis : Tidak mengaktifkan reseptor.
Contoh : Nalokson, naltrekson
3. Agonis-antagonis
Pentasosin, nalbufin, butarfanol, buprenorfin

Klasifikasi opioid:

Natural (morfin, kodein, papaverin, tebain)

Semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivat tebain)

Sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil, dan remifentanil)

Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih
mudah dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver somniferum.
Morfin paling mudah larut dalam air, dibandingkan golongan opioid lain dan kerja
analgetiknya cukup panjang.
Terhadap sistem saraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi (analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar) dan

stimulasi (parasimpatis, miosis mual, muntah, hiperaktif refleks spinal, konvulsi,


sekresi hormon ADH. Sirkulasi darah otak sebenernya secara langsng tak terganggu,
tetapi kalau terjadi depresi napas dan hiperkapnia baru terjadi peningkatan aliran
darah otak dan peningkatan tekanan intracranial.
Terhadap system jantung-sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan berakibat
bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik pada dewasa
sehat normal tidue terlentang hampir tidak mengganggu sistem jantung-sirkulasi.
Morfin menyebabkan hipotensi ortostatik.
Dosis besarmerangsang vagus & bradikardi .
Menyebabkan hipotensi ortostatik
Terhadap sistem respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan
histamine, sehingga menyebabkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di
kontraindikasi pada asma dan bronchitis kronis.
Melepaskan histamin konstriksi bronkus

Terhadap saluran cerna morfin menyebabkan kejang otot usus, sehingga terjadi
kontipasi. Kejang sfingter oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga tidak
dianjurkan digunakan untuk gangguan empedu. Kolik empedu menyerupai serangan
jantung, sehingga untuk membedakannya diberikan antagonis opioid.

Sal cerna : kejang otot usus konstipasi


Kejang sfingter oddi kolik empedu
Terhadap sistem eksresi ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter buli-

buli yang berakibat retensio urin.


Kejang sfingter buli-buli retensi urin

Adiksi dan Toleransi


Toleransi morfin ditandai oleh peningkatan dosis pada penggunaan obat secara
berulang untuk mendapatkan efek klinis yang sama seperti sebelumnya. Toleransi

morfin hanya pada efek depresinya dan tidak pada efek stimulasinya. Toleransi ini
dapat kembali normal setelah pasien puasa morfin selama 1-2 minggu.
Adiksi morfin ialah keadaan ketergantungan fisik dan psikis yang ditandai oleh
sindroma menarik diri (withdrawal syndrome) yang terdiri dari ketakutan,
kegelisahan, lakrimasi, rinorea, berkeringat, mual- muntah, diare, menguap terus,
midriasis, hipertensi, takikardi, kejang perut dan nyeri otot.
Efek Samping
Jarang dijumpai alaergi morfin. Gejala seperti alergi kadang ditemukan di
tempat suntikan berupa bentol kecil dan gatal. Mual dan munta sering dijumpai.
Pruritus sering dijumpai pada pemberian morfin secara epidural atau intrarektal,
tetapi pruritus ini dapat segera dihilangkan dengan nalokson, tanpa menghilangkan
efek analgesinya.
Ambilan, distribusi dan eliminasi
Penggunaan : subkutan, IM, IV, epidural, intratekal. Absorpsi dosis paruh waktu
kira-kira 30 menit setelah suntikan subkutan dan 8 menit setelah intramuscular.
Sepertiga morfin yang diabsorpsi akan berikatan dengan albumin plasma. Sebagian
besar morfin akan dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepar dan metabolitnya
akan dikeluarkan oleh urin 90% dan feses 10%.

Penggunaan dalam anesthesia dan analgesia


Morfin

masih

popular

sampai

sekarang.

Pada

premedikasi

sering

dikombinasikan dengan atropin dan fenotiasin (largaktil). Pada pemeliharaan anestesi


umum sebagai tambahan analgesia dan diberikan secara intravena.
Untuk digunakan sebagai obat
utama anestesi harus ditambahkan
bensodiazepin atau fenotiasin atau anestetik inhalasi volatil dosis rendah. Dosis
anjuran untuk menghilangakan nyeri sedang : 0,10,2 mg/kgBB subkutan & I.m
dapat diulang tiap 4 jam. Nyeri hebat : 1-2 mg I.v diulang sesuai keperluan.

Untuk mengurangi nyeri paska bedah atau nyeri persalinan 2-4 mg epidural atau
0,05-0,2mg intratekal. Dapat diulang 6-12 jam
-

Petidin
Adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi
mempunyai efek klinik dan efek samping hampir sama dengan morfin.
Perbedaan dengan morfin :
a. Lebih larut dalam lemak
b. Metabolisme oleh hepar lebih cepat & menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat & asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analegesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin
c. Bersifat atropin meyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan &
takikardi
d. Menyebabkan kontiasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan
e. Efektif menghilangkan gemetaran paska bedah yang tak ada hubungannya

dengan hipotermi dengan dosis 20-25 iv pada dewasa


f. Lama kerja petidin lebih pendek
Dosis I.m 1-2 mg/kg BB dapat diulang 3-4 jam.
Dosis I.v 0,2-0,5 mg/BB
Subkutan tidak dianjurkan karena bersifat iritasi
Dapa untuk analgesia spinal, dosis 1-2 mg/BB

Fentanil
Kekuatan 100x morfin
Lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan petidin
Menembus sawar jaringan dengan mudah
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir
sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama
melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan

sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.


Efek depresi napas lebih lama dibanding efek analgesinya
Dosis 1-3 g/kgBB nalgesinya berlangsung menit tidak digunakan untuk paska

bedah
Dosis besar 50-150 g/kgBB induksi anestesi & pemeliharaan dengan

kombinasi bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis rendah pada bedah jantung
ES: kekakuan otot punggung cegah dengan pelumpuh otot

Dosis besar mencegah: peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin,
aldosteron & kortisol

Sufentanil
Sama dengan fentanil
Efek pulih lebih cepat dari fentanil
Kekuatan analgesi 5-10x fentanil
Dosis 0,1-0,3 mg/kgBB

Alfentanil
Kekuatan analgesi 1/5 1/3 fentanil
Insiden mual muntah sangat besar
Mula kerja cepat
Dosis analgesi : 10-20 g/kgBB

Tramadol
Analgetik sentral
Diberi : oral, I.m, I.v, dengan dosis 50-100mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam ,
dosis maksimal 400 mg/hari

Antagonis
- NALOKSON
a. antagonis murni opioid
b. bekerja pada reseptor mu, delta, kappa, sigma
c. digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan dengan dosis
d.
e.
f.
g.

dicicil 1-2 g/kgBB I.v , dapat diulang tiap 3-5 menit, sampai ventilasi baik
Dosis > 0,2 mg jarang digunakan
Dosis I.m 2x I.v
Pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan perinfud 3-10 g/kgBB
Untuk depresi napas neonatus yang ibunya mendapat opioid beri nalokson

10 g/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit


h. 1 mapil nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml 1ml = 0,04 mg
-

NALTREKSON
a. antagonis opioid
b. kerja panjang
c. diberi peroral (bertahan sampai 24 jam) pada pasien yang ketergantungan
opioid
d. waktu paro 8-12 jam
e. naltrekson peroral 5 atau 10 mg mengurangi puritus, mual, muntah pada
analgesia epidural saat persalinan, tanpa menhilang kan efek analgesinya

Analgetik Non Opioid


Banyak obat memiliki sifat analgetik yang tidak berkaitan dengan reseptor opioid
misalnya acetaminophen dan NSAID (nonstreroid anti inflammatory drug). Golongan
obat anlgetik nonopioid dianggap kurang meyakinkan untuk mengurangi nyeri pasca
bedah, kecuali kalau sifat nyeri pasca bedah tersebut nyeri ringan ata nyeri sedang.
Golongan obat analgetik nonopioid ini digunakan sebagai tambahan penggunaan opioid
dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa depresi napas.
Golongan analgetik nonopioid selain bersifat anti inflamasi juga bersifat analgesic,
antipiretik dan anti pembekuan darah.
Kerja obat ini menghambat aktivitas ensim siklo-oksigenase, sehingga terjadi
penghambatan sintesis prostaglandin perifer. Prostaglandin dihasilkan oleh fosfolipif
sendiri secara langsung tidak menyebabkan nyeri, tetapi menurunkan respons terhadap
inflamasi, sehingga mengurangi nyeri perifer. Analgetik NSAID jumlahnya sangat
banyak.
Asam asetil salisilat
Asam asetil salisilat (aspirin) digunakan untuk mengurangi nyeri ringan atau
sedang dan biasanya dikombinasi dengan analgetik lain untuk 3-4 hari. Aspirin lebih
bersifat antipiretik. Dosis oral tablet 250-500 mg/8-12 jam.
Indometasin

Indometasin (confortid) 25 mg/8-12 jam bermanfaat untuk mengobati arthritis.


Diklofenak
Diklofenak (voltaren):
dosis dewasa oral
IV

: 50-100 mg/8-12 jam


: 75 mg

suppositoria: 50-100 mg/12 jam


Ketorolak
Ketorolak (toradol) dapat diberikan secara oral, intramuscular atau intravena.
Tidak dianjurkan untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan intramuscular atau
intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan
lama kerja sekitar 4-6 jam dan penggunaannya dibatasi untuk 5 hari.
dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Untuk
pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan untuk berat < 50 kg, manula atau
gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60 mg.
Sifat analgetik ketorolak setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac = 12 mg
morfin = 100 mg petidin, sedangkan sifat antipiretik dan anti inflamasinya rendah.
Ketorolak dapat digunakan secara bersamaan dengan opioid.
Cara kerja ketorolak ialah menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa
mengganggu reseptor opioid di sitem saraf pusat. Seperti NSAID lain tidak dianjurkan
digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita sedang
menyusui, usia lanjut, anak usia < 4 tahun, gangguan perdarahan dan bedah tonsilektomi
Ketoprofen
Ketoprofen (profenid) dapat diberikan secara oral kapsul atau tablet 100-200 mg
setiap hari, per rectal 1-2 setiap hari, intramuscular 100-300 mg per hari atau intravena
perifus dihabiskan dalam 20 menit.

Piroksikam
Piroksikam (feldane) dapat diberikan secara oral, rectal, atau ampul 10-20 mg.
Ternoksikam
Tenoksikam (tilcotil) biasanya diberikan intramuscular, intravena ampul 20 mg
setiap hari yang dilanjutkan dengan oral. Hasil metabolism dibuang lewat ginjal dan
sebagian lewat empedu

Meloksikam
Meloksikam (movicox) adalah inhibitor selektif Cox-2 dengan efektivitas
sebanding diklofenal (voltaren) atau piroksikam (feldane) dalam mengurangi nyeri, tetapi
dengan efek samping minimal. Dosis per hari satu tablet 7,5 mg atau 15 mg
Acetaminofen
Acetaminofen (paracetamol, panadol) tidak punya sifat antiinflamasi dan sifat
inhibitor terhadap sintesis prostaglandin sangat lemah, karena itu tidak digolongkan
sebagai NSAID. Biasanya untuk nyeri ringan dan dikombinasikan dengan analgetik lain.
Oral 500-1000 mg/4-6 jam, dosis maksimal 4000 mg/hari. Dosis toksis dapat
menyebabkan nekrosis hati, karena ia dirusak oleh enzim mikrosomal hati. Acetaminofen
lebih disukai disbanding aspirin, karena efek samping terhadap lambung dan gangguan
pembekuan darah minimal.
Efek samping golongan NSAID
1.

Gangguan sistem saluran cerna


lambung merasa nyeri, panas, kembungm mual-muntah, konstipasi, diare, dyspepsia,

perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa lambung dan perforasi.


2. Hipersensitivitas kulit : pruritus, sindrom steven-johnson
3. Gangguan fungsi ginjal : terjadi penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju
infiltrasi glomerulurs, retensi natrium, hiperkalemia
4. Gangguan fungsi hepar : peningkatan kadar SGOT, SGPT
5. Gangguan sistem darah : terjadi trombositopenia, anemia aplastik

6. Gangguan kardiovaskular : akibat retensi air dapat menyebabkan edema hipertensi


dan gagal jantung
7. Gangguan respirasi berupa tonus otot bronkus meningkat, asma
8. Keamanannya belum terbukti pada wanita hamil, wanita menyusui, proses persalinan,
anak kecil, manula.

DAFTAR PUSTAKA

Dr.latief A. said, Sp An. Petunjuk praktis Anastesiologi. Bagian anestesiologi dan terapi
intensif FK UI. Edisi ke 4. Jakarta : FK UI 2009
John N. lunn. Catatan kuliah anestesi. Edisi 4. Jakarta : EGC 2005
Staf pengajar bagian anstesiologi dan terapi intensif. Anestesiologi. Jakarta : FK UI
Omoigui, Sota. Buku Saku Obat-obatn Anestesia Edisi II. Jakarta : EGC, 2012

You might also like