You are on page 1of 4

Agriculture Startup

KATEGORI : ENTREPRENEURSHIP

Published on Wednesday, 04 May 2016 07:25


Oleh : Muhaimin Iqbal
Kalau saja program pemerintah benar-benar berjalan, seharusnya negeri ini sudah swasembada beras sejak
tahun lalu (2015), kemudian tahun ini swasembaga jagung , tahun depan swasembada kedelai dan setelah itu
swasembada pangan lainnya. Inilah hasil akumulatif setelah 70 tahun merdeka dan 7 presiden berganti, kita
masih berkutat dalam urusan perut yang tidak kunjung usai. Program demi program disusun, sebelum program
itu berjalan pemerintahan berganti dan mengganti pula program yang disusun pemerintahan sebelumnya.
Bagaimana lingkaran setan ini bisa diputus ? menurut saya sendiri salah satunya adalah dengan men-startupkan sektor pertanian di negeri ini.
Alih-alih bisa swasembada beras di tahun 2015 dan jagung di tahun ini, apalagi kedelai di tahun depan semua
indikator harga dan volume import justru menunjukkan arah yang sebaliknya, Guru Besar Pertanian IPB
mengulas hal ini dengan sangat detil di harian Kompas kemarin (3/5/2016) dalam artikel berjudul Waspada
Pangan 2016.
Masalahnya sebenarnya sudah jelas dari dahulu, penduduk negeri ini yang sangat banyak memerlukan bahan
pangan yang sangat banyak pula. Bila dilihat dari sudut pandang pemerintah siapapun pemerintahnya akan
melihat ini sebagai beban, yaitu bagaimana dapat menyediakan pangan yang cukup bagi rakyat yang begitu
banyak.
Karena dilihatnya sebagai beban atau liability, maka pasti akan terasa berat bagi para pemikulnya. Jadi apa
solusinya ? rakyat yang sangat banyak dan semuanya membutuhkan sumber-sumber pangan terbaik harus
dapat dilihat sebagai potensi asset, yang dapat bener-bener menjadi asset bagi para pihak yang mampu
mengatasi tantangannya.
Jadi siapa yang akan bisa mengubah liability tersebut menjadi asset ? Diantaranya adalah para startupers !
Mereka mencari tantangan-tantangan besar karena pada tantangan besar inilah terbuka peluang besar terbuka
peluang untuk scalability usaha yang nyaris tanpa batas.
Dan ini bukan utopia semata, di berbagai bidang lain para startupers (orang-orang yang memulai usaha baru dan
mampu menumbuhkannya dengan cepat) telah melakukannya. Bagamana GO-JEK misalnya membantu
mengatasi problem transportasi massal yang fleksibel dan murah, bagaimana Bukalapak yang bisa membangun
pasar bagi UKM yang jauh lebih efektif dari yang bisa difasilitasi pemerintah dan berbagai contoh-contoh lain
yang sangat banyak yang tercermin dari berjubel-nya icon di smartphone kita.
Maka terbuka hal yang sama untuk anak-anak muda yang kreatif dan inovatif, untuk melihat problem pangan
tersebut sebagai tantangan yang harus ditaklukkan. Sisi-sisi yang bisa digarap sangat banyak, jadi tidak perlu
berdarah-darah bersaing di red ocean, masih terbuka banyak blue ocean untuk diarungi.
Salah satunya adalah realitas pangan yang kita hadapi sekarang. Era globalisasi di satu sisi membawa kebaikan
karena makanan kita bisa berasal dari mana saja. Namun keburukannya juga tidak sedikit, para petani kita
menjadi bersaing head-to-head dengan petani-petani raksasa dari perbagai belahan dunia lainnya.

Petani padi kita pasti tidak mudah bersaing dengan petani padi dari Thailand dan Vietnam karena cost produksi
beras mereka kurang lebih hanya separuh dari cost produksi beras kita.
Demikian pula para peternak kita, tidak akan mudah bersaing dengan para peternak Australia, yang cost
produksi dagingnya kurang lebih juga hanya sekitar separuh dari cost produksi daging dari peternak kita.

Akibatnya tidak sederhana, kita makan makanan yang bahan-bahannya ditransportasikan dengan begitu
jauhnya. Roti, mie dan berbagai makanan keseharian kita bahannya ditransportasikan lebih dari 11 ribu miles
atau sekitar 17,500 km menempuh perjalanan separuh bumi dengan waktu tempuh lebih dari satu bulan di laut !
Tahu tempe kita-pun demikian, bahan-bahannya menempuh perjalanan lebih dari 10,000 miles. Susu dari
belanda menempuh perjalanan 7,200 miles, daging dari Australia menempuh perjalanan 3,700 miles, jeruk dari
China menempuh perjalanan 2,200 miles dan bahkan beras yang merupakan bahan makanan pokok kita kadang
harus menempuh perjalanan 1,600 miles dari Thailand sebelum sampai piring kita.

Dengan perjalanan yang begitu panjang, sangat bisa jadi harga bahan pangan yang kita bayar sejatinya bukan
dari harga bahan pangan itu sendiri tetapi lebih pada harga ongkos bahan bakarnya. Kita membuang begitu
banyak energi fosil untuk mengangkut bahan pangan, begitu banyak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Dari realitas tersebut, di berbagai belahan dunia sekarang muncul gerakan yang disebut Local Food Movement,
yaitu gerakan untuk mendorong masyarakat makan-makanan yang bahannya diproduksi tidak jauh dari lokasi
mereka. Muncul pula istilah Locavore atau Localvore untuk masyarakat yang sudah makan sesuai dengan
produksi lingkungannya. Bahkan di Amerika ada index yang disebut Locavore Index, untuk membandingkan
tingkat konsumsi produksi lokal dari masing-masing negara bagian.
Apa dampak dari gerakan semacam ini ? pertama yang jelas adalah menghidupkan ekonomi lokal karena akan
ada keberpihakan masyarakat untuk mengkonsumsi produk bahan pangan yang terdekat dari mereka tinggal.
Yang kedua adalah dampak lingkungan, semakin dekat jarak produksi dan konsumsi semakin kecil bahan
bakar diboroskan untuk transportasi.
Memang belum ada kesepakatan tentang seberapa dekat sih yang disebut local, angka yang rata-rata muncul
adalah kurang dari 100 miles. Bila asumsi ini yang kita gunakan dan kita hidup di Jakarta, maka mayoritas
pangan kita mestinya bisa disupply dari DKI, Banten, dan Jawa Barat. Coba kita baynagkan , apa yang tidak bisa
kita hadirkan dari bahan pangan kita dalam radius ini ? semuanya insyaAllah bisa. Tetapi bila memang ada yang
belum bisa disupply dari daerah ini, tentu saja tetap bisa disupply oleh daerah lainnya, local food bukan masalah
boleh tidak boleh tetapi adalah masalah pereferensi atau keberpihakan.
Lantas bagaimana dengan para petani di daerah lain ? bukankah akan berkurang pasarnya ? Tidak perlu juga,
karena dia bisa fokus ke pasar yang dalam radius 100 miles yang sama. Bila pasar pangannya tidak cukup besar
dalam radius tersebut, baru mengisi daerah lain.
Bisa mensupply bibit-bibit untuk ditanam di daerah yang lebih dekat dengan pasar atau konsumennya. Bisa juga
bertani untuk produk-produk pertanian non pangan, seperti bahan baku industri tekstil, industri obat, industri
minyak atsiri dlsb.
Saya beri contoh misalnya saya punya lahan tegalan yang cukup luas di Blitar, saya tanami apa sebaliknya ?
kalau saya tanami bahan pangan langsung pasar dalam radius 100 milenya kurang menarik. Tetapi kalau saya
tanami tanaman sayur untuk diambil bibitnya, maka ekspor ke negeri China-pun menjadi menarik.
Setelah

video I

Grow

My

Own

Food

in

14

Days

saya

tayangkan

di

fanpage

GeraiDinar misalnya, banyak sekali menghubungi kami dimana memperoleh bibit untuk microgreens yang
saya tampilkan dalam video tersebut, ini membuka pasar yang tidak terbatas bagi petani dimanapun
sebenarnya.
Lantas bagaimana kita tahu ada local food di sekitar kita ? Itulah tantangan para startupers untuk
memformulasikan value proposition-nya. Bagaimana dia bisa menarik masyarakat DKI, Banten dan Jawa Barat
misalnya untuk tiba-tiba mau menanam bahan pangan karena adanya pasar yang sangat besar.
Bagaimana pula dia bisa mengkomunikasikan dengan mudah ke masyarakat luas, bahwa ada pilihan bahan
pangan yang mereka butuhkan yang berasal dari sekitar mereka, dst.

Bila kedua langkah ini terjadi bersamaan, maka inilah kontribusi masyarakat bagi kecukupan pangan untuk kita
semua itu. Program ini tidak membebani biaya apapun ke pemerintah , karena masyarakat melakukannya
dengan melihat potensi Asset. Bahkan sebaliknya menurunkan beban atau liability pemerintah karena
pemerintah selalu melihat urusan pangan ini sebagai liability yang harus diberikan anggaran, subsidi dlsb.
After all, bukan pemerintah lah yang memberi kita makan. Tetapi Dia Yang Al Ghanny dan Al-Mughni , dengan
Dia Yang Maha Kaya dan Maha Mampu Mengkayakan mengapa kita sampai harus menghadapi krisis
pangan ? InsyaAllah tidak, krisis ini hanyalah tantangan bagi yang siap menaklukkannya. InsyaAllah.

You might also like