Professional Documents
Culture Documents
KATEGORI : ENTREPRENEURSHIP
Petani padi kita pasti tidak mudah bersaing dengan petani padi dari Thailand dan Vietnam karena cost produksi
beras mereka kurang lebih hanya separuh dari cost produksi beras kita.
Demikian pula para peternak kita, tidak akan mudah bersaing dengan para peternak Australia, yang cost
produksi dagingnya kurang lebih juga hanya sekitar separuh dari cost produksi daging dari peternak kita.
Akibatnya tidak sederhana, kita makan makanan yang bahan-bahannya ditransportasikan dengan begitu
jauhnya. Roti, mie dan berbagai makanan keseharian kita bahannya ditransportasikan lebih dari 11 ribu miles
atau sekitar 17,500 km menempuh perjalanan separuh bumi dengan waktu tempuh lebih dari satu bulan di laut !
Tahu tempe kita-pun demikian, bahan-bahannya menempuh perjalanan lebih dari 10,000 miles. Susu dari
belanda menempuh perjalanan 7,200 miles, daging dari Australia menempuh perjalanan 3,700 miles, jeruk dari
China menempuh perjalanan 2,200 miles dan bahkan beras yang merupakan bahan makanan pokok kita kadang
harus menempuh perjalanan 1,600 miles dari Thailand sebelum sampai piring kita.
Dengan perjalanan yang begitu panjang, sangat bisa jadi harga bahan pangan yang kita bayar sejatinya bukan
dari harga bahan pangan itu sendiri tetapi lebih pada harga ongkos bahan bakarnya. Kita membuang begitu
banyak energi fosil untuk mengangkut bahan pangan, begitu banyak kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Dari realitas tersebut, di berbagai belahan dunia sekarang muncul gerakan yang disebut Local Food Movement,
yaitu gerakan untuk mendorong masyarakat makan-makanan yang bahannya diproduksi tidak jauh dari lokasi
mereka. Muncul pula istilah Locavore atau Localvore untuk masyarakat yang sudah makan sesuai dengan
produksi lingkungannya. Bahkan di Amerika ada index yang disebut Locavore Index, untuk membandingkan
tingkat konsumsi produksi lokal dari masing-masing negara bagian.
Apa dampak dari gerakan semacam ini ? pertama yang jelas adalah menghidupkan ekonomi lokal karena akan
ada keberpihakan masyarakat untuk mengkonsumsi produk bahan pangan yang terdekat dari mereka tinggal.
Yang kedua adalah dampak lingkungan, semakin dekat jarak produksi dan konsumsi semakin kecil bahan
bakar diboroskan untuk transportasi.
Memang belum ada kesepakatan tentang seberapa dekat sih yang disebut local, angka yang rata-rata muncul
adalah kurang dari 100 miles. Bila asumsi ini yang kita gunakan dan kita hidup di Jakarta, maka mayoritas
pangan kita mestinya bisa disupply dari DKI, Banten, dan Jawa Barat. Coba kita baynagkan , apa yang tidak bisa
kita hadirkan dari bahan pangan kita dalam radius ini ? semuanya insyaAllah bisa. Tetapi bila memang ada yang
belum bisa disupply dari daerah ini, tentu saja tetap bisa disupply oleh daerah lainnya, local food bukan masalah
boleh tidak boleh tetapi adalah masalah pereferensi atau keberpihakan.
Lantas bagaimana dengan para petani di daerah lain ? bukankah akan berkurang pasarnya ? Tidak perlu juga,
karena dia bisa fokus ke pasar yang dalam radius 100 miles yang sama. Bila pasar pangannya tidak cukup besar
dalam radius tersebut, baru mengisi daerah lain.
Bisa mensupply bibit-bibit untuk ditanam di daerah yang lebih dekat dengan pasar atau konsumennya. Bisa juga
bertani untuk produk-produk pertanian non pangan, seperti bahan baku industri tekstil, industri obat, industri
minyak atsiri dlsb.
Saya beri contoh misalnya saya punya lahan tegalan yang cukup luas di Blitar, saya tanami apa sebaliknya ?
kalau saya tanami bahan pangan langsung pasar dalam radius 100 milenya kurang menarik. Tetapi kalau saya
tanami tanaman sayur untuk diambil bibitnya, maka ekspor ke negeri China-pun menjadi menarik.
Setelah
video I
Grow
My
Own
Food
in
14
Days
saya
tayangkan
di
fanpage
GeraiDinar misalnya, banyak sekali menghubungi kami dimana memperoleh bibit untuk microgreens yang
saya tampilkan dalam video tersebut, ini membuka pasar yang tidak terbatas bagi petani dimanapun
sebenarnya.
Lantas bagaimana kita tahu ada local food di sekitar kita ? Itulah tantangan para startupers untuk
memformulasikan value proposition-nya. Bagaimana dia bisa menarik masyarakat DKI, Banten dan Jawa Barat
misalnya untuk tiba-tiba mau menanam bahan pangan karena adanya pasar yang sangat besar.
Bagaimana pula dia bisa mengkomunikasikan dengan mudah ke masyarakat luas, bahwa ada pilihan bahan
pangan yang mereka butuhkan yang berasal dari sekitar mereka, dst.
Bila kedua langkah ini terjadi bersamaan, maka inilah kontribusi masyarakat bagi kecukupan pangan untuk kita
semua itu. Program ini tidak membebani biaya apapun ke pemerintah , karena masyarakat melakukannya
dengan melihat potensi Asset. Bahkan sebaliknya menurunkan beban atau liability pemerintah karena
pemerintah selalu melihat urusan pangan ini sebagai liability yang harus diberikan anggaran, subsidi dlsb.
After all, bukan pemerintah lah yang memberi kita makan. Tetapi Dia Yang Al Ghanny dan Al-Mughni , dengan
Dia Yang Maha Kaya dan Maha Mampu Mengkayakan mengapa kita sampai harus menghadapi krisis
pangan ? InsyaAllah tidak, krisis ini hanyalah tantangan bagi yang siap menaklukkannya. InsyaAllah.