Professional Documents
Culture Documents
oleh
Putri Mareta Hertika, S.Kep
NIM 122311101014
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Neurogenic Bladder
di Poli Orthopedi RSD dr. Soebandi telah disetujui dan di sahkan pada tanggal:
Hari, tanggal :
2017
Jember,
Januari 2017
Mahasiswa
Pembimbing Klinik
Poli Orthopedi
RSD dr. Soebandi Jember
____________________________
NIP
serabut detrusor pada daerah leher kandung kemih berbeda pada kedua jenis
kelamin, pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut
membentuk suatu sfingter leher kandung kemih yang efektif untuk mencegah
terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen. Sfingter uretra
(rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot luruk berbentuk sirkuler. Pada pria,
rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi
hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang
membentuk dasar pelvis. Pemeriksaann EMG otot ini menunjukkan suatu discharge
tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses
miksi (Japardi, 2002).
C. Persarafan dari kandung kemih dan sfingter
1) Persarafan parasimpatis (N.pelvikus)
Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari neuron
preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral
medula spinalis antara S2 dan S4. Neuron preganglionik keluar dari medula spinalis
bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus
parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu jaringan halus yang menutupi kandung
kemih dan rektum. Serabut postganglionik pendek berjalan dari pleksus untuk
menginervasi organ- organ pelvis. Tidak terdapat perbedaan khusus postjunctional
antara serabut postganglionik danotot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut
postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung
vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmiter
nonkolinergik nonadrenergik juga ditemukan, keberadaannya pada manusia
diragukan (Japardi, 2002).
pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher kandung kemih pria
banyak mengandung mervasi noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi
menyebabkan penutupan dari leher kandung kemih untuk mencegah ejakulasi
retrograde (Japardi, 2002).
3) Persarafan somantik (N.pudendus)
Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus
urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan suatu
nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang
umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron
yang menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter
yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai
sinaps motor neuron ini pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor
dibandingkan persarafan perineal parasimpatis preganglionik (Japardi, 2002).
Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam
N.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal
dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit
dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo
yang sedikit lebih rendah (Japardi, 2002).
4) Persarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah
Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus
suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari
serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan
pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat
digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni (Japardi, 2002).
Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral dan
pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam
n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi kandung kemih tampaknya merupakan
hal yang terpenting pada fungsi kandung kemih yang normal. Akson aferen terdiri
dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut A bermyelin kecil (Japardi,
2002).
Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini mungkin menyampaikan
beberapa sensasi dari distensi kandung kemih dan nyeri. Aferen somatik pudendal
menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan
memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral sebagai aferen
kandung kemih. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah penting
pada medulla spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik (Japardi, 2002). Nathan
dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah mengalami kordotomi
anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras asending dari kandung kemih dan uretra
berjalan di dalam traktus spiotalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis
mungkin juga berperan pada transmisi dari informasi aferen (Japardi, 2002).
D. Hubungan dengan susunan saraf pusat
1) Pusat Miksi Pons
Pons merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks spinal-bulberspinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat
miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana refleks transpinalbulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan pengisian atau pengosongan
kandung kemih. Pusat miksi pons berperansebagai pusat pengaturan yang mengatur
refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak (Japardi, 2002).
2) Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari
lobus frontal dapat menimbulkan gangguan miksi berupa urgensi, inkontinens,
hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis
menunjukkan adanya kandung kemih yang hiperrefleksi (Japardi, 2002).
Gambar di bawah ini ini menggambarkan daerah kontrol kortikal di frontal dan
cingulate gyri serta daerah subkortikal memberikan pengaruh penghambatan pada
berkemih pada tingkat pons dan memberikan rangsang yang berpengaruh pada
sfingter kemih eksternal. Hal ini memungkinkan adanya kontrol sukarela berkemih
sehingga biasanya evakuasi kandung kemih dapat ditunda (Dorsher & McIntosh ,
2011).
Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi
kandung kemih yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif terhadap
regangan. Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak diketahui dengan jelas tetapi
diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti
dengan kontraksi kandung kemih. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung kemih
juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral
dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri
refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor
selama miksi (Japardi, 2002).
adalah perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia didapatkan bahwa
prevalensi Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah sekitar 50,6% (Hopkins,
2012). Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%- 90% pasien
dengan multiple sclerosis, 37% - 72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada
pasien dengan stroke. Ini memperkirakan bahwa 70-84% pasien dengan spinal cord
injury paling tidak mempunyai sedikit gangguan kandung kemih (Ginsberg, 2013).
C. Etiologi
Setiap kondisi yang merusak kandung kemih dapat menyebabkan kandung
kemih neurogenik. Penyebab mungkin melibatkan:
1) Sistem saraf pusat (SSP):
a) Kejadian serebrovaskular
b) Cedera tulang belakang.
c) Meningomyelocele.
d) Amyotrophic lateral sclerosis.
adalah cacat bawaan pada medula spinalis (misalnya spina bifida atau
mielomeningokel). Suatu kandung kemih yang terlalu aktif biasanya terjadi akibat
adanya gangguan pada pengendalian kandung kemih yang normal oleh medula
spinalis dan otak. Penyebabnya adalah cedera atau suatu penyakit, misalnya sklerosis
multipel pada medula spinalis yang juga menyebabkan kelumpuhan tungkai
(paraplegia) atau kelumpuhan tungkai dan lengan (kuadripelegia). Cedera ini
seringkali pada awalnya menyebabkan kandung kemih menjadi kaku selama
beberapa hari, minggu atau bulan (fase syok). Selanjutnya kandung kemih menjadi
overaktif dan melakukan pengosongan yang tak terkendali (Dhorser & McIntosh,
2011).
D. Patofisiologi
Gangguan kandung kencing / bladder dapat terjadi akibat dari kerusakan saraf
atau lesi yang terjadi pada sistem saraf manusia. Apabila sistem saraf pusat atau
system saraf tepi yang merupakan jalur persarafan system perkemihan mengalami
gangguan maka akan mengganggu proses berkemih. Otak, pons, medulla spinalis
dan saraf perifer merupakan beberapa bagian dari system saraf yang memungkinkan
untuk terlibat. Gejala yang dapat terjadi apabila terjadi disfungsi kandung kemih /
bladder adalah retensi inkontinensia yang berlebihan, urinasi yang kerapkali hanya
sedikit, atau kombinasi dari keduanya. Berdasarkan lokasinya penyebabsecara garis
besar,Neurogenic Bladder dibagi menjadi tiga, antara lain:
1. Lesi supra pons
Pusat miksi pons merupakan pusat pengaturan refleks-refleks miksi dan seluruh
aktivitasnya diatur kebanyakan oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian
medial, ganglia basalis dan tempat lain. Kerusakan pada umumnya akan
berakibat hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada
kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi periventrikuler, dilatasi kornu
anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglia basalis, dapat
menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. Retensi urine dapat
ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai proses
miksi secara volunteer
2. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis
Lesi medula spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sacral
medula spinalis akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor
dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin terjadi
antara lain adalah:
a) Disinergia detrusor-sfingter (DDS)
Pada keadaan normal, relaksasi sfingter akan mendahului kontraksi detrusor.
Pada keadaan DDS, terdapat kontraksi sfingter dan otot detrusor secara
bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi akan menghambat miksi
sehingga dapat terjadi tekanan intravesikal yang tinggi yang kadang-kadang
menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas.Urine dapat keluar dari
vesica urinaria hanya bila kontraksi detrusor berlangsung lebih lama dari
kontraksi sfingter sehingga aliran urine terputus-putus.
b) Kontraksi detrusor yang lemah
Kontraksi hiperrefleksi yang timbul seringkali lemah sehingga pengosongan
vesica
urinaria
yang
terjadi
tidak
sempurna.
Keadaan
ini
bila
karena informasi aferen yang dibawa oleh sistim saraf simpatis melalui
n.hipogastrikus ke daerah thorakolumbal. Denervasi otot sfingter mengganggu
mekanisme penutupan namun jaringan elastik dari leher vesica urinaria
memungkinkan terjadinya miksi. Mekanisme untuk mempertahankan miksi
selama kenaikan tekanan intra abdominal yang mendadak hilang, sehingga stress
inkontinens sering timbul pada batuk atau bersin.
E. Manifestasi klinis
Gejala kandung kemih neurogenik dapat meliputi : infeksi saluran kemih, batu
ginjal, inkontinensia urin, volume urine kecil selama berkemih, frekuensi dan urgensi
kemih, dribbling urin yang merupakan suatu keadaan dimana urin menetes pada
akhir miksi, hilangnya sensasi kandung kemih penuh (Hopskin, 2012).
Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya
frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan
(localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan
jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat
berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan
kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita
dengan lesi neurologis antara pons dan medulla spinalis bagian sakral, (Disinergia
detrusor-sfingter) DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada
umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul
akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul
akibat kegagalan untuk memulai refleks miksi seperti pada lesi susunan saraf pusat.
Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada
pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat
hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan
dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi.
Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi
sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang
mengakibatkan retensi kronik dengan overflow (Hopskin, 2012).
F. Pemeriksaan penunjang
Pendekatan sistematis untuk mengetahui maslah gangguan miksi selama
rehabilitasi pasien dengan cedera medula spinalis merupakan hal yang penting
karena penatalaksanaan yang baik sejak awal akan mencegah komplikasi urologis
dan kerusakan ginjal permanen. Pemeriksaan meliputi penilaian saluran kencing
bagian atas, penilaian pengosongan kandung kencing dan deteksi hiperrefleksia
detrusor
a. Penilaian saluran kencing bagian atas
Meskipun jarang didapatkan masalah pada saluran kencing bagian atas,
gangguan ginjal merupakan hal yang potensial mengancam penderita. Penilaian
ditujukan untuk menilai fungsi ginjal dandeteksi hidronefrosis. Pemeriksaan
radiologis harus meliputi urografi intravena dan voiding cystourethrogram untuk
menilai saluran bagian atas dan menyingkirkan kemungkinan adanya refluks
vesikoureteral.
b. Penilaian pengosongan kandung kencing
Penilaian sisa urine dapat dilakukan dengan katerisasi pada saat pertama
pemeriksaan meupun dengan menggunakan USG. Residu urine lebih dari 100
ml dikatakanbermakna
c. Deteksi hiperrefleksia detrusor
Pemeriksaan CMG dan EMG dari sfingter uretral eksterna akan membantu
menentukan disfungsi neurogenik dan adanya suatu DDS yang signifikan.
Kontraksi abnormal dari otot detrusor dapat dideteksi dengan baik dengan
menggunakan filling cystometrogram (CMV). Pada orang normal, kandung
kencing dapat mengakomodasi pengisian kandung kencing bahkan pada
kecepatan pengisian yang tinggi sedangkan pada penderita dengan hiperrefleksia
kandung kencing, terjadi peningkatan tekanan yang spontan pada pengisian
d. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis harus meliputi pemeriksaan sensibilitas perianal untuk
mengetahui ada tidaknya sacral sparing. Adanya tonus anal, refleks anal dan
refleks bulbokavernosus hanya menandakan utuhnya konus dan lengkung
refleks lokal. Didapatkannya kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan
uthunya kontrol volunter dan pada kasus kuadriplegia, ini menandakan lesi
medula spinalis yang inkomplit. Pada lesi medula spinalis, dalam hari pertama
sampai 3 atau 4 minggu berikutnya seluruh refleks dalam pada tingkat di bawah
lesi akan hilang. Hal ini biasanya dihubungkan dengan fase syok spinal. Dalam
periode ini, kandung kencing bersifat arefleksi danmemerlukan drainase
periodik atau kontinu yang cermat dan tes provokatif dengan menggunakan 4 oz
air dingin steril suhu 4oC tidak akan menimbulkan aktifitas refleks kandung
kencing. Tes air es dikatakan positif bila pengisian dengan air dingin segera
diikuti dengan pengeluaran air kateter dari kandung kencing. Drainase kandung
kencing yang adekuat selama fase syok spinal akan dapat mencegah timbulnya
distensi yang berlebih dan atoni dari kandung kencing yang arefleksi.
G. Penatalaksanaan
Pengobatan betujuan untuk memungkinkan baldder benar-benar kosong dan
secara reguler, mencegah infeksi, mengontrol inkontinensia, melindungi fungsi
ginjal. Kateterisasi atau teknik untuk memicu buang air kecil dapat membantu
mencegah urin dari sisa terlalu lama di kandung kemih. Sebagai contoh, beberapa
orang dengan kandung kemih spastik dapat memicu buang air kecil dengan menekan
perut mereka lebih rendah atau menggaruk paha mereka . Ketika urin tetap dalam
kandung kemih terlalu lama , orang tersebut berada pada risiko infeksi saluran
kemih. Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih secara berkala biasanya lebih
aman daripada meninggalkan kateter secara terus menerus (Shenot, 2014).
Jika penyebabnya adalah cedera saraf, maka dipasang kateter melalui uretra
untuk mengosongkan kandung kemih, baik secara berkesinambungan maupun untuk
sementara waktu. Kateter dipasang sesegera mungkin agar otot kandung kemih tidak
mengalami kerusakan karena peregangan yang berlebihan dan untuk mencegah
infeksi kandung kemih. Pemasangan kateter secara permanen lebih sedikit
menimbulkan masalah pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada pria, kateter bisa
menyebabkan peradangan uretra dan jaringan di sekitarnya (Shenot, 2014).
1. Non farmakolgis
Salah satu terapi non farmakologis yang efektif adalah bladder training.
Bladder trining adalah latihan yang dilakukan untuk mengembalikan tonus otot
kandung kemih agar fungsinya kembali normal. Bladder training adalah salah satu
upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke
keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik. Tujuan dari bladder training
adalah untuk melatih kandung kemih dan mengembalikan pola normal perkemihan
dengan menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih. Terdapat tiga macam
metode bladder training, yaitu kegel exercises (latihan pengencangan atau penguatan
otot-otot dasar panggul), Delay urination (menunda berkemih), dan scheduled
bathroom trips (jadwal berkemih). Latihan kegel (kegel execises) merupakan
aktifitas fisik yang tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulangulang guna meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat meningkatkan
mobilitas kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul dapat membantu memperkuat
otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan secara refleks
menghambat kontraksi kandung kemih (Shenot, 2014).
Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing (menunda
untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder training dapat
dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Bladder training dilakukan
sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan dengan menjepit
kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap beberapa jam sekali.
Kateter di klem selama 20 menit dan kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter
ini memungkinkan kandung kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval
berkemih yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau teknik relaksasi
sehingga frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam
sekali (Shenot, 2014).
Penjadwalan cairan sangat penting untuk mencegah kandung kemih
overdistensi. Jadwal cairan yang dianjurkan adalah 400 cc dengan makanan; 200 cc
pukul 10 pagi, 02:00, dan 04:00; dan kemudian hanya teguk cairan setelah makan
malam (1.800 cc / hari total). Akuntansi untuk kehilangan cairan insensible dengan
respirasi dan berkeringat, jadwal cairan ini membuat pembentukan urin terbatas
sekitar 1600 cc per hari. Jika kateterisasi urin kemudian dilakukan pada jadwal setiap
6 jam, volume kateter akan menjadi sekitar 400 cc tiap. Hal ini untuk mencegah
kandung kemih overdistension, dan kateterisasi harus cukup sering untuk secara
optimal menjaga volume kandung kemih untuk 400-500 cc.
2. Terapi Farmakologis
a) Anti kolinergik
Anti kolinergik efektif dalam mengobati inkontinensia karena mereka
menghambat kontraksi kandung kemihi nvolunter dan memperbaiki fungsi
penampungan air kemih oleh kandung kemih. Misalnya, Hiosiamin ( Levbid)
0.125 mg, Dicyclomine hydrochloride (Bentyl) 10-20 mg.
b) Anti spasmodik
Anti spasmodik melepaskan otot polos kandung kemih. Obat anti spasmodik
telah dilaporkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih danefektif
mengurangi atau menghilangkan inkontinensia. Misalnya Oksibutinin
(ditropanXL) 5-15 mg, Tolterodin (detrol) 2 mg.
c) Obat Betanekol klorida (urecholine)
Adalah suatu obat kolinergik yang bekerja langsung, bekerja pada reseptor
muskarinik (kolonergik) dan terutama di pakai untuk meningkatkan berkemih
dan mengobat retensi urin. Merupakan agonis kolinergik yang digunakan untuk
meningkatkan kontraksi detrusor, obat ini membantu menstimulasi kontraksi
bladder pada pasien yang menyimpan urin. Betanekol klorida 10-50 mg 3-4 kali
dalam sehari.
(Shenot, 2014)
3. Terapi Operatif
Pembedahan bisa dilakukan pada kasus tertentu yang jarang. Pembedahan
dilakukan untuk membuat jalan lain untuk mengeluarkan urin, memasang alat untuk
menstimulasi otot kandung kemih (Shenot, 2014).
H. Komplikasi
Pada pasien dengan neurogenic bladder juga memungkinkan untuk
meningkatkan resiko terkena infeksi saluran kemih (ISK) dan gangguan saluran
keluar kandung kemih (bladder outlet obstruction). Pada pasien dengan neurogenic
bladder, jika mereka tidak diobati secara optimal maka juga bisa menyebabkan sepsis
dan gagal ginjal (Ginsberg, 2013).
Anamnesis
a) Identitas pasien
Salah satu penelitian pertama mengenai prevalensi Neurogenic Bladder di
Asia adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific
Continence Advisory Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan
perempuan, dimana sekitar 70% adalah perempuan dari 11 negara.
b) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya pasien mengeluhkan tidak bisa menehan kencing, volume urine
kecil selama berkemih, frekuensi dan urgensi kemih, dribbling urin yang
merupakan suatu keadaan dimana urin menetes pada akhir miksi dan
hilangnya sensasi kandung kemih.
c) Riwayat penyakit dahulu
Klien memiliki riwayat merokok, penggunaan alkohol, asupan kafein, dan
terpapar zat nefrotoksik, klien pernah mengalami pembedahan.
d) Keluhan utama
Klien biasanya mengeluh sulit berkemih atau sulit menahan kemih.
e) Riwayat penyakit keluarga
Perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh
anggota keluarga lain. Adakah anggota keluarga yang pernah mengalami
penyakit infeksi saluran kemih lainnya.
2.
Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Klien tampak lemas, cemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena
respon dari terjadinya inkontinensia
b) Kesadaran
Kesadaran pasien compos mentis.
3.
a)
Pemeriksaan Persistem
B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai
c)
B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh. Pemeriksaan neurologis meliputi
pemeriksaan sensibilitas perianal untuk mengetahui ada tidaknya sacral
sparing. Adanya tonus anal, refleks anal dan refleks bulbokavernosus hanya
menandakan utuhnya konus dan lengkung refleks lokal. Didapatkannya
kontraksi volunter sfingter anal menunjukkan uthunya kontrol volunter dan
pada kasus kuadriplegia, ini menandakan lesi medula spinalis yang
inkomplit. Pada lesi medula spinalis, dalam hari pertama sampai 3 atau 4
minggu berikutnya seluruh refleks dalam pada tingkat di bawah lesi akan
hilang. Hal ini biasanya dihubungkan dengan fase syok spinal. Dalam
periode ini, kandung kencing bersifat arefleksi danmemerlukan drainase
periodik atau kontinu yang cermat dan tes provokatif dengan menggunakan
air dingin steril suhu 4C tidak akan menimbulkan aktifitas refleks kandung
kencing. Tes air es dikatakan positif bila pengisian dengan air dingin segera
diikuti dengan pengeluaran air kateter dari kandung kencing. Drainase
kandung kencing yang adekuat selama fase syok spinal akan dapat
mencegah timbulnya distensi yang berlebih dan atoni dari kandung kemih
yang fleksi.
d)
B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat
berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang
kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa
terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e)
B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidak normalan perkusi, adanya ketidak normalan
L. Intervensi Keperawatan
Diagnosa
Gangguan eliminasi urin
berhubungan
dengan
gangguan sensori motorik
(Bladder spastik)
NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
diharapkan gangguan eleminasi urin dapat
berkurang hingga teratasi
NOC
1. Urine Continency (0502)
2. Urine Elemination (0503)
a. Nyeri pada saat miksi berkurang
b. Tidak terdapat retensi urin
c. Tidak mengejan saat miksi
d. Hesitansi (kesulitan memulai miksi)
berkurang
e. Perasaan puas terhadap pengosongan
kandung kemih
NIC
Urine Retention Care (0620)
1. Lakukan pengkajian komprhensif terkait permasalahan
eleminasi urin meliputi frekuensi, jumlah, hesitasi,
intermitten, terminal dribbling, disuria,straining
2. Sediakan privasi selama eleminasi
3. Stimulasi reflek kandung kemih dengan kompres dingin
pada suprapublik
4. Gunakan kateter urin, bila dibutuhkan
5. Instruksikan keluarga pasien mencatat umlah urin
6. Instruksikan pasien cara menghindari konstipasi
7. Instruksikan pasien mengonsumsi air putih 2000ml
perhari
8. Monitor intake dan output
9. Monitor distensi kandung kemih dengan palpasi
suprapubik secara teratur
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Peningkatan Citra Tubuh (5220)
diharapkan pasien dapat beradaptasi dengan 1 Tentukan harapan citra diri pasien didasarkan pada tahap
perkembangan
keadaannya dengan kriteria hasil:
2 Bantu pasien unutk mendiskusikan perubahan-perubahan
NOC:
Citra Tubuh (1200)
yang ada pada tubuhnya dengan cara yang tepat
a Pasien dapat menyampaikan gambaran
3 Bantu pasien untuk mendiskusikan stresor yang
internal dirinya
mempengaruhi citra diri terkait dengan kondisi kongenital
b Terdapat kesesuaian antara realita tubuh
4 Bantu pasien untuk mengidentifikasi bagian tubuhnya
dan ideal tubuh dengan penampilan tubuh
yang memilki persepsi positif
c Pasien dapat menyesuaikan dengan
5 Bantu pasien mengidentifikasi tindakan-tindakan yang
perubahan fisiknya
akan meningkatkan penampilan
d Pasien merasa puas dengan penampilan
6 Fasilitasi kontak dengan individu yang mengalami
tubuhnya
perubahan yang sama dalam hal citra tubuh.
Ansietas
berhubungan NOC:
Penurunan Kecemasan (5820)
1. Kaji penyebab kecemasan klien
dengan perubahan proses Kontrol Kecemasan (1402)
2. Observasi tanda verbal dan non verbal dari kecemasan
penyakit yang berdampak a. Tingkat ansietas klien menurun
b. Pengetahuan klien terhadap penyebab
klien
pada perubahan tubuh.
ansietas meningkat
c. Klien mampu menggunakan teknik relaksasi Calming technique (5880)
untuk mengontrol cemas
1. Kontrol faktor lingkungan yang menyebabkan klien
cemas.
2. Mempertahankan kontak mata dengan pasien
3. Yakinkan pasien terhadap keselamatan diri dan
keamanannya
DAFTAR PUSTAKA