You are on page 1of 11

Jurnal Reading

Pseudoaneurisma Arteri Karotis Interna Intrakavernosa

Oleh :
Fadhli Rahman

G99152013

Adhizti N E N

G99152014

Rizki Febriawan

G99152015

Ria Tustina H

G99152016

Annisa Pertiwi

G99152017

M Yusuf Karim

G99152018

Pembimbing:
dr. Subandi, Sp.S, FINS
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT SYARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

Pseudoaneurisma Arteri Karotis Interna Intrakavernosa


Epistaksis biasa ditemui dalam praktek otorhinolaringologik. Namun epistaksis
berat dan berulang jarang ditemui, terutama epistaksis yang berasal dari
pseudoaneurisma

arteri

carotis

interna

(internal

carotid

artery/ICA)

intrakavernosa. Penulis menyajikan kasus dari seorang laki-laki berusia 32 tahun


yang mengalami kecelakaan motor yang kemudian mengalami episode epistaksis
berulang dalam 3 bulan berikutnya, yang membutuhkan transfusi darah dan
tampon hidung untuk mengontrol perdarahan. Hasil dari computed tomography
angiography menunjukkan adanya pseuroaneurisma ICA intrakavernosa besar
berukuran 1.7 cm x 1.2 cm x 1.0 cm. Pasien menjalani angiografi pada empat
pembuluh darah dan embolisasi coil dan telah pulang dari rumah sakit satu
minggu kemudian tanpa adanya episode perdarahan. Pasien tetap asimptom
hingga 3 bulan sampai 1 tahun berikutnya. Laporan kasus ini menyoroti pada
pseudoaneurisma ICA intrakavernosus yang besar sebagai penyebab yang jarang
dari epistaksis, yang membutuhkan ketelitian yang tinggi dalam praktek klinis dan
pengobatan emergensi endovaskuler untuk mencegah mortalitas.
Pendahuluan
Epistaksis merupakan kejadian emergensi yang paling sering ditemukan
dalam praktek otorhinolaringologik dan seringkali membahayakan pasien. Lebih
dari setengah populasi manusia pernah mengalami episode epistaksis dengan
tingkat keparahan yang bervariasi (1). Intervensi medis dibutuhkan hanya pada
kurang lebih 6% dari pasien, dikarenakan kasus epistaksis berat yang jarang
ditemukan (1). Trauma digital pada mukosa hidung, kondisi sangat kering dari
kavitas nasal, hipertensi, penggunaan antikoagulan, dan blood dyscrasia adalah
beberapa penyebab umum dari epistaksis (2). Faktor yang jarang ditemukan
adalah trauma yang disertai abnormalitas vaskuler, yang terhitung kurang dari 5%
dari semua kasus (3). Meskipun trauma kepala termasuk penyebab umum
epistaksis, epistaksis yang disebabkan karena pseudoaneurisma trauamtik dari
ICA relatif jarang. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian apabila tidak
dikenali. Di sini, penulis memaparkan mengenai pseudoaneurisma post trauma
2

pada ICA, dimana pengobatan endovaskuler dengan cara mempertahankan arteri


proksimalnya telah berhasil.
Case Report
Seorang laki-laki berusia 32 tahun dirujuk untuk mendapatkan manajemen
lebih lanjut mengenai pseudoaneurisma ICA kavernosa yang dimilikinya. Pasien
sebelumnya mempunyai riwayat kecelakaan lalu lintas dan mengalami cedera di
bagian kepala, wajah, dan abdomen 1 bulan sebelum dirujuk. Pasien telah
menjalani laparotomi untuk menangani cedera abdomennya dan telah pulang dari
rumah sakit setelah mondok berbulan-bulan, dengan follow up dari bagian gigi
dan ortopedi. Sayangnya, 2 bulan setelah pasien pulang dari rumah sakit, pasien
dibawa ke departemen emergensi akibat 2 episode epistaksis yang dialaminya.
Namun, perdarahannya minimal dan dapat berhenti spontan tanpa membutuhkan
perawatan di rumah sakit. Dalam bulan ketiga setelah pasien pulang dari rumah
sakit, pasien datang lagi dengan 2 episode epsitaksis berat.
Hemoglobin pasien didapatkan 4.7 g/dL. Prothrombin time (PT) dan
activated partial thromboplastin time (aPTT) memanjang, dengan international
normalised ratio (INR) sebesar 5.93. Pasien menerima transfusi darah, dan profil
koagulasi dapat terkoreksi. Kemudian dilakukan endoskopi dan didapatkan
pembengkakan dengan kebiruan yang berasal dari sisi kiri nasofaring. Darah juga
tampak mengalir dari lesi vaskuler pada regio tersebut. Kemudian dipasang
tampon hidung untuk membantu mengontrol perdarahan. Selanjutnya, computed
tomography

(CT) angiography

dilakukan

untuk

membantu

memastikan

kecurigaan adanya lesi vaskular pada nasofaring dan untuk menyingkirkan


diferensial diagnosis yang lain (contoh: tumor vaskuler). CT angiografi
menunjukkan fraktur linier termasuk pada dinding lateral dari sinus sphenoidalis
kiri (Gambar 1) dengan pseudoaneurisme ICA kavernosa yan prominen dan
mengarah ke sinus sphenoidalis yang terkena (Gambar 2).

Gambar 1. CT angiogram menunjukkan sebuah fraktur linier pada


dinding lateral sinus sphenoidalis sinistra

Gambar 2. CT Angiogram menunjukkan lesi di sinus sphenoidalis


sinistra, yang merupakan suspek dari pseudoaneurisme ICA intrakavernosa
sinistra
Pasien dirujuk untuk mendapatkan terapi embolisasi. Angiografi pada
empat pembuluh darah dilakukan, dan didapatkan hasil adanya pseudoaneurisma
besar yang berukuran 1.7 cm 1.2 cm 1.0 cm dan menunjuk pada anteroinferior
dari kavernosa pada ICA sinistra (Gambar 3). Pembuluh darah yang lain normal.
Sebuah uji oklusi pada ICA servikal sinistra dilakukan untuk menilai aliran silang
dari ICA kontralateral, dalam hal ini arteri karotis perlu dikorbankan.

Gambar 3. Kateter angiogram menunjukkan (kiri) anterior-posterior dan


(kanan) tampak lateral dari ICA sinistra
Meskipun tes oklusi berhasil, menjaga patensi ICA merupakan tujuan yang
diinginkan. Coil embolisasi dilakukan dengan Excelsior SL-10 microcatheter
(Boston

Scientific,

Natick,

Massachusetts,

USA)

dan

Transcend

14

microguidewire (Boston Scientific, Natick, Massachusetts, USA). Tidak ada


masalah yang ditemui selama navigasi. Banyak coil yang disebar termasuk
Target Detachable Coils (Boston Scientific/Stryker Neurovascular, Fremont,
California, USA) intrakranial dua dan tiga dimensi. Angiografi pasca prosedural
menunjukkan oklusi yang berhasil pada leher yang aneurisme (Gambar 4). Pasien
tidak memiliki riwayat epistaksis berulang; tampon hidung dilepas dan
dipulangkan degan tanpa gejala setelah satu minggu. Pasien terlihat di klinik
setelah kurun waktu tiga bulan dan satu tahun dan tetap bebas gejala.

Gambar4.EmbolisasipostcoilangiogrampadaICAsinistramenunjukkan
okulusitotaldaripseudoaneurisme
5

Diskusi
Hanya 3%-5% dari semua aneurisme intrakranial berasal dari ICA
cavernosa (4). Sebagian besar kasus-kasus ini dikaitkan trauma, dengan tingkat
kematian terkait mencapai 50% (5). Defek dinding pembuluh darah yang
diinduksi trauma dengan adanya tekanan arteri konstan akan menghasilkan diseksi
dalam

darah

ke

lingkungan

dan

membentuk

kantung

perfusi

(yaitu

pseudoaneurisma). Hubungan langsung terjadi antara lumen pembuluh darah dan


kantung dari pseudoaneurisme, dengan darah mengalir melalui defek dalam
dinding pembuluh darah. Kantung perfusi aneurisma berisi jaringan adventitia
atau jaringan lunak sekitar. Risiko ruptur karena pseudoaneurisme lebih besar
dibanding aneurisme dengan ukuran yang sama, karena dukungan yang tidak
memadai dari dinding pseudoaneurisme. Meskipun sebagian besar kasus terjadi
setelah trauma kepala berat yang berkaitan dengan fraktur basis cranium,
pseudoaneurisme post operatif dan non traumatik spontan telah dijelaskan.
Pseudoaneurisme dapat asimptomatik atau merobek ke dalam sinus sphenoid dan
uncul dengan epistaksis yang deras dan tertunda (6). Epistaksis berulang terjadi,
sobekan kecil pada ICA dapat menutup sementara dari hematoma dalam
penutupan sinus sphenoid.(7) ICA cavernosa telah diteliti menonjol ke dinding
lateral sinus sphenoid pada 70% spesimen cadaver, karena berkaitan erat dengan
sinus ini. (8) Penutupan tulang oleh ICA caverosa dalam sinus sphenoid berukuran
kurang dari 1mm pada 66% kasus dan tidak ada pada 4% nya. (8) Jaringan tipis
berhadapan antara struktur ini, oleh karena itu merupakan predisposisi sinus
sphenoid untuk terjadi cedera ICA dalam kasus-kasus trauma dan operasi sinus
sphenoid. (2) ICA intracavernosa juga relatif melekat pada posisinya,
membuatnya mudah robek saat cedera akselerrasi-deselerasi, menghasilkan baik
hubungan fistula ke dalam sinus cavernosa atau pembentukan pseudoaneurisme di
sinus sphenoid. Kantung aneurisma yang mengarah ke anteromedial dalam kasus
ini, terletak jauh dari saraf kranial yang terletak lateral berdekatan dengan sinus
cavernosus, mungkn menyumbang pada tidak adanya kelumpuhan saraf kranial
yang bersaaman pada pasien kami.

Kondisi ini (Pseudoaneurisma ICA intracavernosa) biasanya menyebabkan


epistaksis yang tertunda, berulang-ulang dan masif yang terjadi dalam tiga
minggu dari permulaan cedera. Perdarahan yang sulit diatasi bahkan bisa ditunda
dalam beberapa bulan atau tahun. Epiisode permulaan dari epistaksis biasanya
tidak berat, tetapi cenderung berulag dengan peningkatan keparahan yang dapat
menyebabkan kehilangan darah yang berat dan cepat. Tertundanya diagnosis dan
terapi dapat terjadi, karena episode perdarahan awal mungkin tidak sangat
mengkhawatirkan. (9) Patogenesis epistaksis yang tertunda dapat berkaitan
dengan waktu yang dibutuhkan untuk tekanan denyut arteri yang memperlemah
dinding pembuluh darah yang terluka dan terkikis melalui sinus sphenoid. Karena
pseudoaneurisme tidak memiliki dinding yang baik, ukuran dari kantung biasanya
juga akan bertambah seiring waktu.
Hematom di dalam sinus sphenoid mungkin menunjukkan pecahnya
dinding sinus dan adanya fraktur pada sinus sphenoid, seperti terlihat pada pasien
kami, atau sella turcica seharusnya mewaspadakan ahli bedah dan radiologi
terhadap kemungkinan pseudoaneurisma ICA traumatik. Oleh karena itu, indeks
kecurigaan yang tinggi untuk kondisi ini dibenarkan. Angiografi karotis
merupakan gold standar untuk menegakkan diagnosis, dan diharuskan untuk
menentukan kelayakan terapi endovaskuler. (10) Perhatian khusus terhadap
anatomi dari aneurisma, dengan analisis mendalam dari dimensi geometris nya,
diperlukan untuk memutuskan apakah aneurisma dapat dihilangkan dalam isolasi
sambil mempertahankan arteri induk. Meskipun demikian CT-angiografi tiga
dimensi meru[akan alternatif yang lebih tidak invasif dibandingkan angiografi
kateter konvensional dan biasanya dilakukan sebagai penyelidikan awal. CT
angiografi cepat dan mempunyai kemampuan untuk mendeteksi pseudoaneurisme,
menilai struktur anatomi tulang di sekitarnya, sebagaimana diperlukan dalam
rencana penanganan lebih lanjut (misal bedah terbuka dan embolisasi
endovaskuler). Magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat memberikan
informasi

awal

yang

diperlukan

untuk

memberi

kesan

kemungkinan

pseudoaneurisma ICA.

Terapi awal untuk pseudoaneurisma ICA tidak bisa terlalu ditekankan.


Tingkat kematian post traumatik aneurisma dengan ruptur ke dalam sinus
sphenoid berkisar dari 30% sampai 50%. (5) pengendaian epistaksis yang tiba-tiba
memerlukan tampon hidung yang memberikan waktu untuk penyelidikan
neuroradiologik definitif dan pengobatan. Teknik endovaskuler dilakukan lebih
dahulu dari penanganan bedah pseudoaneurisma cavernosa, dimana lokasi
pembuluh darahnya terletak di basis cranii, dilingkupi oleh tulang sphenoid, sinus
kavernosus dan nervus cranieles, mempersulit dilakukannya pembedahan secara
langsung.
Beberapa

pendekatan

teknis

telah

dianjurkan

untuk

penanganan

pseudoaneurisma ICA traumatis, termasuk pembedahan arteri proksimal (misal


clipping, wrapping, trapping dan ligasi arteri karotis) atau endovascular. Namun,
pasien mungkin tidak dapat menoleransi pembedahan arteri proksimal tersebut
sehingga dapat mengakibatkan hipoperfusi serebral dan iskemia.
Meskipun angiografi menunjukkan aliran silang yang baik dari hemisfer
serebri kontralateral selama uji oklusi balon, oklusi arteri proksimal mungkin
masih menjadi risiko pada pasien stroke. 26% pasien yang menjalani ligasi
mengalami stroke, sedangkan yang mengalami stroke pada pasien yang berhasil
dengan tes balon oklusi hanya 3% (11). Dalam studi lain, 5% -20% dari pasien
yang berhasil dengan tes balon oklusi dapat berkembang menjadi infark setelah
oklusi permanen arteri karotis (12). Oklusi endovaskular dari ICA yang
menggunakan coils juga dapat menjadi resiko kecil terbentuknya stroke
tromboemboli akibat aliran darah yang lambat di arteri yang tersumbat (13).
Namun demikian, metode oklusi endovaskular dari pseudoaneurisma dengan tetap
mempertahankan arteri proksimal adalah metode yang diunggulkan. Umumnya,
aneurisma sakular dengan small neck bisa diembolisasi dengan coils, seperti pada
pasien kami. Meskipun detachable coils dan balloons dapat terlepas ke dinding
pseudoaneurisma yang rapuh, batas-batas tulang dari sinus sphenoid dapat
dijadikan tempat coils bagi pseudoaneurisma tersebut (13).
Periode laten antara awal trauma dan pengobatan pada pasien kami
menggunakan unsur fibroblastik pada dinding pseudoaneurisma agar dapat

mendukung mesh coil (13). Pasien kami tetap asimtomatik satu tahun paska
embolisasi. Penempatan stent yang baik dapat mempertahankan arteri proksimal.
Namun, di beberapa pseudoaneurisma yang kompleks dan anatomi ICA yang
sulit, oklusi pembuluh darah proksimal merupakan alternatif yang dapat diterima.
Penempatan coiling atau detachable balloon endosakular dilaporkan cukup aman
dan berhasil pada okluding pseudoaneurisma dengan mempertahankan arteri
proksimal (13,14). Kami percaya bahwa coil embolisation dari saccus aneurisma
memiliki keuntungan lebih banyak daripada balloon embolisation dalam kasus
kami. Coils dapat menyerap kekuatan hemodinamik yang disebabkan oleh pulsatil
aliran darah yang lebih baik dari balon yang lebih kaku yang dapat meningkatkan
tekanan pada dinding pseudoaneurisma tersebut (13). Baru-baru ini, stent graft
telah berhasil digunakan untuk mengobati ICA pseudoaneurisma (15). Sekarang
teknologi endovaskular termasuk penggunaan stent yang dapat mempertahankan
arteri proksimal dengan salah satu pemasangan stent atau penggunaan stent dan
detachable coils bersamaan untuk pengobatan wide-necked pseudoaneurisma,
yang tidak dapat dilakukan dengan coil embolisation. Namun, ada kelemahan
untuk pengenalan stent endovaskular, khususnya di pasien kami, seperti
penggunaannya yang dapat meningkatkan risiko cedera tambahan pada dinding
pembuluh darah dan dapat mengakibatkan stent thrombosis. Stent relatif tidak
fleksibel setelah pemasangan dan dapat menimbulkan kemungkinan komplikasi,
seperti diseksi atau delayed intima hiperplasia, terutama ketika digunakan di
segmen tortuous arteri.
Singkatnya, meskipun pseudoaneurisma intrakavernous sangat jarang
terjadi pada kasus isolated fraktur sphenoid, tetapi tetap harus dipertimbangkan
dalam diagnosis banding ketika pasien memiliki epistaksis refraktori dengan
riwayat trauma kepala. Lesi ini berpotensi lethal sehingga deteksi dini dan terapi
endovaskular merupakan prosedur yang sangat penting. Kasus ini menunjukkan
bahwa ICA pseudoaneurisma dapat dengan aman dan efektif diobati melalui
coiling, dengan mempertimbangkan lokasi anatomi pseudoaneurisma dan waktu
perawatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Elahi MM, Parnes LS, Fox AJ, Pelz DM, Lee DH. Therapeutic embolization
in the treatment of intractable epistaxis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg
1995; 121:65-9.
2. Chen D, Concus AP, Halbach VV, Cheung SW. Epistaxis originating from
traumatic pseudoaneurysm of the internal carotid artery: diagnosis and
endovascular therapy. Laryngoscope 1998; 108:326-31.
3. Juselius H. Epistaxis. A clinical study of 1,724 patients. J Laryngol Otol
1974; 88:317-27.
4. Bars HW, Blackwood W, Meadows SP. Intracavernous carotid aneurysms. A
clinical-pathological report. Brain 1971; 94:607-22.
5. Wang AN, Winfield JA, Ger G. Traumatic internal carotid aneurysm with
rupture into the sphenoid sinus. Surg Neurol 1986; 25:77-81.
6. Bhatoe HS, Suryanarayana KV, Gill HS. Recurrent massive epistaxis due to
traumatic intracavernous internal carotid artery aneurysm. J Laryngol Otol
1995; 109:650-2.
7. Chandy MJ, Rajshekhar V. Nontraumatic intracavernous carotid aneurysm
presenting with epistaxis. J Laryngol Otol 1989; 103:425-6.
8. Renn WH, Rhoton AL Jr. Microsurgical anatomy of the sellar region. J
Neurosurg 1975; 43:288-98.
9. Chambers EF, Rosenblum AE, Norman D, Newton TH. Traumatic aneurysms
of cavernous internal carotid artery with secondary epistaxis. Am J
Neuroradiol 1981; 2:405-9.
10. Kim JY, Farkas J, Putman CM, Varvares M. Paraclinoid internal carotid artery
aneurysm presenting as massive epistaxis. Ann Otol Rhinol Laryngol 2000;
109:782-6.
11. Mathis JM, Barr JD, Jungreis CA, et al. Temporary balloon test occlusion of
the internal carotid artery: experience in 500 cases. Am J Neuroradiol 1995;
16:749-54.
12. de Vries EJ, Sekhar LN, Horton JA, et al. A new method to predict safe
resection of the internal carotid artery. Laryngoscope 1990; 100:85-8. 13.
Lempert TE, Halbach VV, Higashida RT, et al. Endovascular treatment of
pseudoaneurysms with electrolytically detachable coils. AJNR Am J

10

13. Lempert TE, Halbach VV, Higashida RT, et al. Endovascular treatment of
pseudoaneurysms with electrolytically detachable coils. AJNR Am
JNeuroradiol 1998; 19:907-11.
14. Tantana S, Pilla TJ, Awwad EE, Smith KR. Balloon embolization of a
traumatic carotid-ophthalmic pseudoaneurysm with control of the epistaxis
and preservation of the internal carotid artery. AJNR Am J Neuroradiol 1987;
8:923-4.
15. Maras D, Lioupis C, Magoufis G, et al. Covered stent-graft treatment of
traumatic internal carotid pseudoaneurysms: a review. Cardiovasc Intervent
Radiol 2006; 29:958-68.

11

You might also like