Professional Documents
Culture Documents
Terjemahan dari:
Culture-directed topical antibiotic treatment for chronic rhinosinusitis
Abstrak
Latar Belakang: Berbagai macam antibiotik topikal, yang dapat disampaikan secara
optimal sesuai volume kultur tinggi untuk mengirigasi sinus secara langsung sedang
banyak digunakan pada kasus rinosinusitis kronik yang berulang. Antibiotik ini dapat
mempengaruhi pengukuran hasil secara subjektif dan objektif, namun hal ini masih
belum jelas.
Tujuan: untuk menilai apakah penggunaan antibiotic topikal pada rhinosinusitis
kronik yang endoskopi Lund-Kennedy serta untuk mengetahui nilai negatif dari kultur
kontrol pasca perawatan.
Metode: Pasien yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah jika mereka memenuhi
kriteria diagnosis untuk rhinosinusitis kronik, yang menerima antibiotic topikal
volume tinggi untuk irigasi sinus selama dua kali dalam sebulan diantara bulan
Desember 2009 dan Mei 2015 dan telah melakukan operasi endoskopi sinus. Hasil
primer merupakan hasil skor tes 20-Item Sino-Nasal. Hasil kedua merupakan skor
endoskopi Lund-Kennedy dan nilai negatif dari kultur kontrol pasca terapi. Pada
penelitian ini Paired t-test digunakan untuk membandingkan nilai sebelum perawatan
dan setelah perawatan. Pasien dengan kistik fibrosis dianalisa secara terpisah.
Hasil: dari 58 pasien yang dimasukkan, 47% memiliki polip hidung, 57% memiliki
asma, 16% memiliki sensitivitas aspirin, dan 55% memiliki alergi lingkungan. Nilai
tengah dari skor Lund-Mackay computed tomography adalah 11 (rentang interkuartil,
6-16) dan waktu median untuk follow-up adalah 8 minggu (rentang interkuartil, 6-10
minggu). Skor dari tes hasil 20-Item Sino-Nasal meningkat dari sebelum dan sesudah
perawatan, meskipun hal ini tidak signifikan dengan mean 1.5 (Interval kepercayaan
(CI) 1.3, 1.7) mean 1.3(CI 1.1, 1.6);p_0.16). Skor endoskopi Lund-Kennedy,
meskipun meningkat secara signifikan pada pra dan pasca perawatan (mean 4.9(CI
4.3, 5.6), mean 4.1 (CI 3.5, 4.7);P=0.05). dari 47 pasien dengan data kultur lengkap,
72% memiliki hasil kultur negative setelah perawatan, hal ini dapat didefinisikan
sebagai yang dikendalikan. Hanya satu pasien yang dihentikan perawatannya
karena merasa ketidaknyamanan dari irigasi tersebut.
Kesimpulan: pada pasien dengan rhinosinusitis berulang, penggunaan dari antibiotic
topikal cenderung mengarah pada seuatu perbaikan , dapat mengurangi gejala-gejala
yang berat dan menghasilkan penampakan endoskopi yang lebih baik. Selanjutnya,
72% memilikihasil kultur negatif setelah perawatan, yang berarti sebagai control
mikrobiologi. Hasil penelitian ini mendukung pengembangan antibiotik kultur
bervolume tinggi secara topikal, untuk kedepannya dapat dilakukan penelitian secara
prospektif yang lebih meyakinkan.
Sinusitis merupakan entitas klinis yang umumnya mempengaruhi 14% dari orang
dewasa, dengan subset dari pasien ini berkembang menjadi rhinosinusitis kronik
(RSK). Operasi sinus secara endoskopi melihatkan hasil yang signifikan dalam
meningkatkan kualitas hidup pasien, dengan indikasi pasien yang tidak berhasil
dalam menggunakan terapi secara medis. Beberapa pasien dengan RSK, tetap
mendapatkan infeksi yang persisten meskipun telah melakukan kedua terapi tersebut,
baik secara medis dan operasi endoskopi sinus. Terapi antibiotik topikal adalah
pilihan yang yang menjanjikan untuk beberapa pasien ini, dengan cara memasukkan
antibiotic konsentrasi tinggi secara langsung pada daerah infeksi. Hal ini juga
memiliki manfaat dalam mengurangi potensi efek sistemik yang merugikan dari
terapi antibiotik sistemik.
Literatur yang sudah ada memiliki kekurangan dalam variabilitas desain studi,
karakteristik pasien dan metode yang digunakan, serta memilki ukuran sampel yang
kecil. Akibatnya, bahkan RSK yang rutin, memiliki rekomendasi yang bervariasi
mengenai penggunaan antibiotic topikal. Sebuah tinjauan berbasis bukti pada tahun
2013, menganalisa tiga percobaan randomized-controlled dan satu review sistematik
faktor yang disebutkan di atas pada protokol penelitian, dan dengan mengevaluasi
lebih luas mengenai antibiotik topikal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai
apakah penggunaan volume tinggi, kultur langsung, irigasi sinus menggunakan
antibiotik topikal berhubungan dengan peningkatan kualitas hidup, endoskopi, dan
hasil kultur pada pasien dengan medis dan pembedahan RSK berulang.
Metode
Seleksi pasien
Penelitian ini sudah disetujui oleh badan peneliti universitas lokal. Pasien dianggap
memenuhi kriteria inklusi apabila menemui kriteria diagnostik untuk kronik
rinosinusitis (sesuai yang didefinisikan oleh American Academy of OtolaryngologyHead and Neck Surgery 2007 clinical practice guidelines), menerima antibiotik
topikal untuk irigasi sinus dalam jumlah besar antara bulan Februari 2009 hingga
bulan Mei 2015, dan menjalani operasi ESS dengan teknik standar ataupun dengan
pembedahan berdasarkan bukti klinis dan radiografi penyakit sinus. Tipe antibiotik
yang diresepkan berdasarkan kultur dan kecocokan pada pasien seperti alergi dan
komorbiditas lain, dan termasuk tobramycin (100 mg/100 mL), vancomycin (200
mg/100 mL), levofloxacin (100 mg/100 mL), mupirocin (15 mg/100 mL), gentamicin
(80 mg/100 mL), ceftriaxone (200 mg/100 mL), and ceftazidime (600 mg/100 mL).
Pasien melakukan irigasi masing-masing hidung dengan 50mL dengan satu atua lebih
antibiotik 2 kali selama 30 hari. pasien akan dieksklusikan apabila menggunakan
antibiotik yang tidak spesifik waktu mulai pertama kalinya, hilang dari follow-up, dan
memiliki keganasan pada basis cranium.
Pengumpulan Data
Karakteristik data yang dicatat adalah : demografi (umur dan jenis kelamin),
komorbiditas yang relevan (poliposis nasal, asma, sensitif aspirin, alergi lingkungan,
kistik fibrosis, dan penggunaan tembakau), skor CT Lund-Mackay (untuk scan yang
terdekat dengan periode treatment), waktu sejak pembedahan sinus endoskopik
(ESS), ESS sebelumnya, terapi saat ini (antibiotik sistemik, steroid sistemik, dan
steroid topikal), waktu follow up, dan jenis dari antibiotik topikal yang digunakan.
profil
mikrobiologik
treatment,
tidak
ditemukan.
Kultur
fibrosis kistik (n=58) dan pasien dengan fibrosis kistik (n=11) akan
dicantumkan pada tabel 1 dan mewakili karakteristik yang konsisten terhadap
rinosinusitis kronis.
Dari data yang didapatkan pada kultur pasien sebelum
pengobatan
Tabel 1
2. Pengukuran Hasil
Pada kelompok non-kistik fibrosis skor SNOT-20 meningkat dari sebelum
terapi (yaitu rata-rata1,5 [confidence interval {CI} 1,3, 1,7] terhadap rata-rata
post terapi yaitu 1,3 [CI 1.1, 1.6]), tetapi perbedaan ini tidak signifikan
(p=0.16) (Gambar 1). Terdapat 2 orang pasien yang kehilangan skor SNOT-20
post-terapi dan kemudian dimasukkan dalam kriteria eksklusi. Skor LundKennedy endoscopic meningkat dari sebelum terapi (4.9 [4.3, 5.6]) menjadi
(4.1 [3.5, 4.7]) setelah terapi, dan ini merupakan perbedaan yang signifikan
(p=0.05) (Gambar 2). Dari pasien dengan data kultur yang lengkap, 72%
(34/47) memiliki hasil kultur yang negative pada post-terapi untuk patogen
yang ditargetkan, yang didefinisikan sebagai kontrol. Terdapat 11 pasien yang
kekurangan data kultur baik pra atau pasca-terapi sehingga dimasukkan dalam
kriteria eksklusi.
Pada kelompok fibrosis kistik, skor SNOT-20 hasilnya sama dengan
sebelum terapi (rata-rata 1,8 [CI 1,0, 2,5] terhadap post-terapi dengan ratarata1,7 [CI 1,0, 2,3]) (p=0.68) (gambar 1). Skor Lund-Kennedy endoskopik
meningkat dari sebelum terapi (6.8 [4.1, 9.5]) dibanding setelah terapi (5.6
[3.1, 8.0]) , tetapi perbedaan ini tidak signifikan (p=0.16)(gambar 2). Terdapat
2 pasien yang kehilangan skor Lund-Kennedy endoskopik sehingga
dimasukkan dalam kriteria eksklusi. Pada pasien yang memiliki hasil data
kultur yang lengkap, 29% (2/7) memiliki hasil kultur post terapi yang negatif
untuk patogen yang ditargetkan, yang didefinisikan sebagai "kontrol." Ada 4
pasien yang tidak memiliki baik pra atau post-perawatan hasil kultur data dan
dimasukkan dalam kriteria ekslusi.
Gambar 1
Gambar 2
3. Efek samping
Satu pasien tidak melanjutkan pengobatan disebabkan tidak nyaman
dengan kombinasi irigasi tobramycin dan mupirocin. Tidak ada efek samping
bronkospasme, serum toxicity atau ototoksisitas yang tercatat.
Diskusi
Pada penelitian ini, kelompok polip non-CF yang diberikan irigasi sinus dengan
antibiotik topikal high-volume menunjukkan perbaikan gejala ketika diperiksa
menggunakan indeks kualitas hidup SNOT-20, selain itu terdapat perbaikan secara
signifikan pada gambaran endoskopik ketika diperiksa menggunakan skor
endoskopik Lund-Kennedy, serta 72% pasien menunjukkan hasil kultur posttreatment negatif sebagai kontrol klinis mikrobiologi. Tingkat keparahan gejala
menunjukkan hasil yang sama antara sebelum dan sesudah perlakuan, meski terdapat
perbaikan pada gambaran endoskopi hanya 29% pasien yang memiliki hasil kultur
negatif (sesudah perlakuan). Tidak ada efek samping serius yang terjadi. Hasil
penelitian ini menunjang penggunaan antibiotik topikal high-volume sesuai kultur
untuk irigasi sinus pada pasien CRS yang tidak membaik dengan pengobatan atau
pembedahan. Penggunaan antiibiotik topikal tidak begitu bermanfaat pada pasien
dengan polip tipe CF.
Kekhasan pada penelitian ini adalah hanya berfokus pada pasien CRS refrakter,
pasien tersebut terus mengalami infeksi peresisten meskipun telah mendapat terapi
maksimal dengan antibiotik sistemik dan steroid, sekalipun yang telah mendapat
tindakan ESS. Kondisi pasien seperti ini menyebabkan pencarian alteratif terapi
menjadi menantang karena keterbatasan pilihan terapi yang ada saat ini. Tinjauan
berbasis bukti terbaru merekomendasikan penggunaan rutin antibiotik topikal pada
kasus CRS, namun literatur yang mendukung masih kurang. Penelitian ini
menyediakan data sebagai tambahan literatur. Lebih lajut lagi, meskipun metode
irigasi high-volume, status post-ESS, dan terapi berdasarkan hasil kultur diterima
sebagai faktor pendukung keberhasilan terapi antibiotik topikal, penelitian mengenai
evaluasi terhadap efek terapi antibiotik topikal pada hal ini masih kurang. Penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya memiliki jumlah sampel yang tebatas dan terfokus
hanya pada CRS dengan S.aureus positif. Pada penelitian ini, semua pasien telah
mendapat ESS dan irigasi high-volume, dengan semua kecuali satu pasien yang
memiliki hasil kultur untuk mengarahkan pilihan antibiotik topikal. Sebagai
tambahan, penelitian ini memiliki ukuran sampel yang relatif besar dibandingkan
dengan studi sebelumnya dan telah mendapat bukti evaluasi untuk mendapat hasil
yang subjektif dan objektif. Keterbatasan pada cakupan asuransi untuk menambah
pengobatan dan keterbatasan keuangan menjadi penyulit penggunaan antibiotik
topikal.
Kekurangan pada penelitian ini berupa jenis penelitian yaitu retrospective case
series sehingga kelompok kontrol terbatas kemudian meyebabkan standar
keberhasilan terapi antibiotik topikal menjadi sulit. Dampak dari terapi adjuvan,
termasuk antibiotik sistemik, steroid sistemik, dan steroid topikal, dapat berkontribusi
untuk hasil yang lebih baik pada pasien dengan CRS. Mengingat desain penelitian ini
bersifat retrospektif, terdapat keterbatasan pada heterogenitas dalam seleksi pasien,
demografi, komorbiditas yang relevan, terapi bersamaan, selang tindak lanjut, dan
jenis antibiotik topikal, dengan demikian dapat muncul potensi bias. Terdapat
subjektifitas dan teknik nonblinding pada pengkuran klinis SNOT-20 dan endoskopi
Lund-Kennedy.
Kedua, kemajuan penelitian yang terukur secara klinis tidak terlalu jelas,
meskipun terdapat penurunan sebesar 0.2 poin di skor SNOT-20 yang terukur
sebelum dan sesudah pengobatan. Hal ini tidak terlalu signifikan dan masih kurang
dari 0.8 dari nilai ukur yang disepakati. Secara klinis nilai ambang untuk skor LundKennedy endoscopic dan kultur negatif setelah pengobatan tidak diketahui. Dalam
penelitian ini, definisi dari kultur negatif yaitu tidak adanya target pathogen namun
tidak menghitung adanya spesies pathogen lain yang mungkin berpengaruh dalam
pathogenesis CRF. Terlepas dari hal tersebut, hasil yang menyatakan perbaikan perlu
diperhatikan, yang tidak kalah penting, pengobatan topical yang digunakan dalam
penelitian ini hanya untuk pasien dengan CRS dimana tidak respon dengan
pengobatan antibiotic konvensional dan steroid.
Hasil penelitian disini mungkin tidak dapat digeneralisasikan pada seluruh
pengobatan medis dan operasi CRS. Dalam praktek klinik rhinology, terdapat jumlah
besar pasien dengan penyakit komorbid seperti polip hidung, asma, hipersensitifitas
aspirin, alergi debu, fibrosis kistik, perokok aktif dan PPOK eksaserbasi yang
mungkin tidak dapat mewakili suatu populasi.
Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini memberi dukungan dalam penggunaan volume besar
kultur langsung pengobatan antibiotik topikal pada populasi pasien CRS, yang mana
dalam pengobatan disini dapat dibilang memiliki dampak yang besar, memberikan
kekurangan dari pilihan obat yang lain. Kedepannya, dibutuhkan penelitian yang
lebih mendalam, studi retropektif yang melibatkan kelompok kontrol dan
penggabungan acak dibutuhkan untuk
kultur langsung pengobatan antibiotik topical pada pasien CRS dengan pengobatan
dan riwayat operasi.