You are on page 1of 37

PRESENTASI KASUS BEDAH PLASTIK

SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 12 TAHUN DENGAN


SNAKE BITE REGIO DORSUM PEDIS DEXTRA

Oleh :
Paksi Suryo

G99141175

Jinan Fairuz AR

G99141172

Pembimbing:
dr. Amru Sungkar, SpB., Sp.BP-RE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. F
Umur
: 12 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
: Ngablak RT 06 RW VI Tasikmadu, Karanganyar
No. RM
: 01-32-82-10
Masuk RS
: 31 Januari 2016
B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Nyeri dan pada kaki kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri dan bengkak pada kaki kanan, keluhan
dirasakan setelah pasien digigit ular 2 hari SMRS saat pasien berjalan kaki
menuju rumahnya saat mlam hari. Pasien mengatakan bahwa ular yang
menggigitnya berwarna hijau. Keluhan nyeri dan bengkak dirasakan pada
daerah bekas gigitan ular di kaki kanan pada posisi punggung kaki serta
nyeri dirasakan terus menerus. Pasien tidak merasakan adanya sesak nafas,
lemas, mual, muntah, namun terdapat keterbatasan gerak pada kaki kanan
setelah digigit ular. Dua jam setelah digigit ular, orangtua pasien membawa
pasien ke orang pintar dan kaki pasien di ikat. Esoknya ibu pasien
meminta antibiotik kepada mantri untuk pasien. Namun, karena keluhan
tidak membaik, dan semakin nyeri dan membengkak, orangtua pasien
membawa pasien ke IGD RSDM.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
R. Asma
: disangkal
R. Alergi
: disangkal
R. Diabetes Mellitus : disangkal
R. Hipertensi
: disangkal
R. Sakit jantung
: disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
R. Sakit jantung
: disangkal
R. Hipertensi
: disangkal
R. DM
: disangkal

R. Asma
R. Alergi

: disangkal
: disangkal

5. Anamnesis Sistemik
Kepala
: pusing (-)
Mata
: pandangan kabur (-/-), pucat(-/-), pandangan dobel (-/-)
Hidung
: pilek (-), mimisan (-), hidung tersumbat (-)
Telinga
: pendengaran berkurang (-/-), keluar cairan (-/-) ,
Mulut

berdenging (-/-)
: mulut kering (-), bibir biru (-), sariawan (-), gusi berdarah

(-), bibir pecah- pecah (-)


Tenggorokan : nyeri telan (-)
Respirasi
: sesak (-), batuk (-), dahak (-), batuk darah (-), mengi (-)
Cardiovascular : nyeri dada (-), kaki bengkak(-), keringat dingin (-), lemas
(-)
Gastrointestinal: mual (-) muntah (-),perut terasa panas (-) kembung (-),
sebah(-) , muntah darah (-), BAB warna hitam (-), BAB
lendir darah(-), BAB sulit (-)
Genitourinaria : BAK warna kuning jernih, nyeri saat BAK (-)
Muskuloskeletal: nyeri otot (+) pada kaki kiri, nyeri sendi (-), bengkak
sendi(-)
Ekstremitas

: Atas

: pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), luka


(-/-), terasa dingin (-/-), terasa kebal (-/-),
gerakan terbatas (-/-)

Bawah : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (+/-) region


dorsum pedis, luka (-/+) terasa dingin (-/-),
gerakan terbatas (+/-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
Primary Survey
1. Airway
: bebas
2. Breathing
:
Inspeksi
: Pengembangan dada kanan = kiri, spontan,
thoracoabdominal, pernafasan 18 x/menit
Palpasi
: Krepitasi (-)
Perkusi
: Sonor (+/+)
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler (+/+) , suara tambahan (-)
3. Circulation
: Tekanan darah : 110/70 mmHg, Nadi 80 x/menit
4. Disability
: GCS E4V5M6, reflek cahaya (+/+), pupil isokor
5.

(3mm/3mm)
Exposure

: suhu 36,6 C, jejas (+) lihat status lokalis

Secondary Survey
Kepala

: mesochepal,

Mata

: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor


(3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+),

Hidung

: deviasi septum (-), krepitasi (-), discharge (-)

Telinga

: sekret (-/-),darah (-/-),nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan

Mulut
Leher

tragus(-)
: Maloklusi (-), sianosis (-), gusi berdarah (-)
: KGB membesar (-), peningkatan JVP (-)

Thorax

: bentuk normochest, pengembangan dada kanan = kiri, retraksi


(-), nyeri tekan (-)

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Ekstremitas

:
:
:
:
:

ictus cordis tidak tampak


ictus cordis teraba tidak kuat angkat
batas jantung kesan tidak melebar
bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

:
:
:
:
:

Pengembangan dada kanan = kiri


Fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-)
sonor/sonor
SDV (+ /+)

:
:
:
:
:

Distensi (-)
Bising usus (+) normal
timpani
supel, nyeri tekan (-), defans muskuler (-)

Superior Dx: akral dingin (-), edema (-)


Superior Sn : akral dingin (-), edema (-)
Inferior Dx : akral dingin (-), edema (+),jejas (+) lihat status lokalis
Inferior Sn : akral dingin (-), edema (-)
Status Lokalis
Regio pedis dextra
Inspeksi : fang mark (+), oedem (+), kebiruan (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+), hipoestesi (-), CRT < 2 detik

D. ASSESSMENT I
Snake bite regio dorsum pedis dextra
E. PLANNING I
Cek laboratorium darah lengkap+PT/APTT
Infus RL + SABU 1 vial 20 tpm (drip)
Injeksi Metronidazole 500mg / 8 jam
Injeksi Ceftriaxon 500 mg / 12 jam (skin test)
Injeksi ATS 1500 IU (skin test)
Diet TKTP
Monitoring KUVS
Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 1 Desember 2015
PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
RUTIN
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
Golongan darah
HEMOSTASIS
PT
APTT
INR
KIMIA KLINIK
Creatinine
Ureum
ELEKTROLIT
Natrium darah
Kalium darah
Chlorida darah
SEROLOGI
HEPATITIS
HbsAg

HASIL

SATUAN

RUJUKAN

13.6
41
9.4
237
5.17
B

g/dL
%
ribu/l
ribu/l
juta/l

13.5-17.5
33 45
4.5 11.0
150 450
4.5-5.90

11.5
30.9
0.890

detik
detik

10.0 15.0
20.0 40.0

0.8
22

mg/dl
mg/dl

0.9-1.3
< 50

138
3.4
106

mmol/L
mmol/L
mmol/L

136-145
3.3-5.1
98-106

Non
reactive

F. ASSESSMENT II

Non reactive

Post snake bite regio dorsum pedis dextra


G. PLANNING II
Infus RL + SABU 2 vial 20 tpm (drip)
Injeksi Ketorolac 30mg / 8 jam
Injeksi Ranitidine 50mg / 12 jam
Cek PT, APTT
Diet TKTP
Monitoring KUVS
Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 2 Desember 2015
PEMERIKSAAN
HEMOSTASIS
PT
APTT
INR

HASIL

SATUAN

RUJUKAN

16.1
30.0
1.380

detik
detik

10.0 15.0
20.0 40.0

H. ASSESSMENT III
Post snake bite regio pedis sinistra
I. PLANNING III
Infus RL + SABU 2 vial 20 tpm (drip)
Injeksi Ketorolac 30mg / 8 jam
Injeksi Ranitidine 50mg / 12 jam
Cek PT, APTT
Diet TKTP
Monitoring KUVS
Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 3 Desember 2015
PEMERIKSAAN
HEMOSTASIS
PT
APTT
INR

HASIL

SATUAN

RUJUKAN

12.3
28.7
0.950

detik
detik

10.0 15.0
20.0 40.0

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan
atau manusia. Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan
pada kesempatan khusus untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan
yang sampai merusak kulit kadang kala dapat mengakibatkan infeksi. Beberapa
luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang beberapa lainnya cukup
dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya4.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini
dapat menyebabkan4 :
a.
b.
c.
d.
e.

Kerusakan jaringan secara umum,


perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka
infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies
dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular
awal dari peradangan
Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular

berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring,
pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa
(seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke
dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila manusia tergigit, bisa biasanya
disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular kobra yang meludah dapat
memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang
diarahkan terhadap kedua mata penyerang 2,5.
Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada
spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah
hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang
terjadi5.

B. Jenis Ular dan Cara Mengidentifikasikannya


Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada
umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk
famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular

tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular
berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae,
Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak
permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan
ular king kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang
secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila
sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu
Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa
berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata.
Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)5

Gambar 1. Jenis ular Cobra(kiri) dan viper(kanan) yang banyak terdapat di


Indonesia (Sumber : Poisonus Snake in Indonesia, 2010)

Gambar 2. Gigitan ular dan Bisa (Sumber : www.animalsearth.blogspot.com)


Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa
Bentuk Kepala
Gigi Taring
Bekas Gigitan
Warna

Tidak berbisa
Bulat
Gigi Kecil
Lengkung seperti U
Warna-warni

Berbisa
Elips, segitiga
2 gigi taring besar
Terdiri dari 2 titik
Gelap

C. Bisa Ular
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus.
Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah
parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa
ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran
kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik5.

a. Komposisi Bisa Ular

Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah
protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular
yang memiliki efek klinis2 :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah
namun dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari
ular Russel mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan
mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya
adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah
secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang
antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi
sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat
membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang
meliputi pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan
(spontaneous systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik mencerna hidrolase (enzim proteolitik
dan fosfolipase A)
meningkatkan

racun polipentida dan faktor lainnya yang

permeabilitas

membran

sel

dan

menyebabkan

pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan membran


sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik ennzim ini dapat
menghancurkan membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah
merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa
Viperidae) merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf,
pada awalnya melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan
pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) polipeptida ini bersaing dengan
asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan
menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium2
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A,
hialuronidase,

ATP-ase,

nukleotidase,

kolin

esterase,

protease,

fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi


jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau

pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak


bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun6.
b. Sifat Bisa Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan
menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem
pembuluh darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf
dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang
menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan
jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah),
sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan
keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya
perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan,
dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut
mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam
(nekrotik). Penyebaran dan peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan
saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf
pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe4.
C. Patofisiologi Gigitan Ular Berbisa
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang
atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis
bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama,
derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung

merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular
untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan
bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase
telah diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan
penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu
efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat
venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan
cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya
berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder
terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute
ventilasi.

Efek

blokade

neuromuskuler

dapat

menyebabkan

perburukan

pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan


hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal7.
D. Tanda dan Gejala Gigitan Ular Berdasarkan Jenis Ular
Gigitan Elapidae
(misalnya : ular kobra, ular weling, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral
snake, mambas, kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,
kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
3. Setelah digigit ular
a. 15 menit : muncul gejala sistemik
b. 10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar
berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin,
muntah, pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut. Kematian dapat
terjadi dalam 24 jam
Gigitan Viporidae/Crotalidae
(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)

1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak
di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut
dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiridae
(misalnya ular laut)
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh,

dilatasi

pupil,

spasme

otot

rahang,

paralisis

otot,

mioglobinuria yang ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting


untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung
F. Diagnosis Klinis
Anamnesis2 :
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik
lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya,
adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu
berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera
setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala
walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat
sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila
di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper (ular
berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila terjadi
saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau
air payau).

3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?


Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari
pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular
tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan
identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak
berbahaya (atau bukan ular samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan
dipulangkan dari rumah sakit.
4. apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat.
Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang
mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan
mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya
ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang
mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau
ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang
berbahaya. Beberapa ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk
terlihat hampir identik dengan yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa
yang terkenal dapat dikenali dari ukuran, bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta
suara yang dibuatnya saat merasa terancam.2.
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil,
dan pada luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.

Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B)
Ular berbisa dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional
adan POM, 2012)
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada
korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke
tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi
kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan
bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang
diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda
gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan
kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan
(terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae)2.
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan2:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis

Gambar 4. Gejala Umum Gigitan Ular (Sumber : www.doctorsecret.com)


Tanda dan gejala sistemik2 :
a. Umum (general)
mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema
paru, edema konjunctiva (chemosis)
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan
yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah
menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik
spontan dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari
perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan
cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan
pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa
(misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis),
serta perdarahan retina.

d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)


mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi
nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung,
kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and
B. candidus, western Russells viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem urogenital
nyeri

punggung

bawah,

hematuria,

hemoglobinuria,

myoglobinuria,

oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual,


nyeri pleura, dan lain-lain)
g. gejala endokrin
insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun
setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan
libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism
G. Penatalaksanaan Keracunan Akibat Gigitan Ular
Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah5:
1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan
ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh
korban sendiri atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan
pertolongan pertama adalah untuk menghambat penyerapan bisa,
mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum
mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini
yang membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan
adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak
bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau
menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena
pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke

dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan

pressure-

immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka


gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan
pendarahan lokal.

Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae


(Sumber : WHO,2005)

2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang
aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot
untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi
yang dapat digunakan untuk membawa pasien adalah tandu, sepeda,
motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu, atau pasien dapat dipikul
(dengan firemans metode). Pasien diposisikan miring (recovery posotion)
bila ia muntah dalam perjalanan
3. Pengobatan gigitan ular
Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular.
Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat
peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat
gigitan, pendinginan daerah yang digigit.
4. Terapi yang dianjurkan meliputi:
a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril.
b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun
elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di
sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai
bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti
membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar
aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena
dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan
efek sistemik yang lebih berat.
c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi
penatalaksanaan

jalan

nafas;

penatalaksanaan

fungsi

pernafasan;

penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan


bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock
perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba
memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat
rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis
lokal.
d. Pemberian suntikan antitetanus, bila korban pernah mendapatkan
toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus.
e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara
intramuskular.
f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian serum antibisa.

Serum Anti Bisa Ular


Gunannya untuk pengobatan terhadap gigitan ular berbisa. Serum anti bisa ular
merupakan serum polivalen yang dimurnikan dan dipekatkan, berasal dari plasma
kuda yang dikebalkan terhadap bisa ular yang mempunyai efek neurotoksik dan
hematotoksik, yang kebanyakan ada di Indonesia.
Kandungan Serum Anti Bisa Ular
Tiap ml dapat menetralisasi :
a. Bisa ular Ankystrodon rhodosoma 10-50 LD50
b. Bisa ular Bungarus fascinatus 25-50 LD50
c. Bisa Ular Naya sputatrix 25-50 LD50
d. Dan mengandung Fenol 0,25% sebagai pengawet
Cara Penyimpanan Serum Anti Bisa Ular
Penyimpanan serum antibisa ular adalah pada suhu 20-80 C dengan waktu
kadaluwarsa 2 tahun.
Cara Pemakaian Serum Anti Bisa Ular
Pemilihan antibisa ular tergantung dari spesies ular yang menggigit. Dosis
yang tepat untuk ditentukan karena tergantung dari jumlah bisa ular yang masuk
peredaran darah dan keadaan korban sewaktu menerima anti serum. Dosis
pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam.
Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah)
antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena
dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar
daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara
infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena.
Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati
selama 24 jam.
Efek Samping Serum Anti Bisa Ular
Meskipun pemberian antiserum akan menimbulkan kekebalan pasif dan
memberikan perlindungan untuk jangka waktu pendek, tapi pemberiannya harus

hari-hati, mengingat kemungkinan terjadinya reaksi sampingan yang dapat berupa


:
1. Reaksi anafilaktik (anaphylactic shock)
Dapat timbul dengan segera atau beberapa jam setelah suntikan
2. Penyakit serum (serum sickness)
Dapat timbul 7-10 hari setelah suntikan dan dapat berupa kenaikan suhu,
gatal-gatal, sesak nafas dan lain-lain gejala alergi. Reaksi ini jarang timbul
bila digunakan serum yang sudah dimurnikan
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena
4. Rasa nyeri pada tempat suantikan
Biasanya timbul pada penyuntikan serum dengan jumlah besar reaksi ini
terjadi dalam pemberian 24 jam
Oleh karena itu, pemberian serum harus berdasarkan atas indikasi yang tajam.
Hal-hal yang harus diperhatikan bila akan menyuntik serum
1. Siapkan alat suntik, adrenalin 1:1000, sediakan kortikosteroid dan
antihistamin
2. Jangan menyuntik serum dalam keadaan dingin, yang baru dikeluarkan
dari lemari es, apalagi dalam jumlah besar. Hangatkan lebih dahulu hingga
suhunya sama dengan suhu badan
3. Waktu disuntik penderita harus dalam keadaan relax
4. Penyuntikan harus perlahan-lahan, sesudahnya amati penderita paling
sedikit 30 menit
Tes hipersentivitas subkutan
Untuk mengetahui apakah serum dapat diberikan kepada seseorang, terlebih
dahulu harus dilakukan tes hipersensitifitas sbukutan sebagai berikut :
Suntikan 0,2 ml serum encerkan 1: 10, subkutan dan amati 30 menit.

Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan.


Reaksi yang mungkin timbul dapat berupa tanda-tanda reaksi anafilaktik
yang dini seperti pucat, kepala pusing, perasaan panas, batuk-batuk,
kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah atau bibir,
denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman
di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang.
Reaksi tersebut biasanya ringan dan mudah diatasi dengan adrenalin
1:1000.

Bila tidak timbul reaksi : suntikkan lagi serum yang tidak diencerkan 0,2

ml subkutan dan amati lagi selama 30 menit.


Bila timbul reaksi : serum jangan diberikan
Bila tidak timbul reaksi, suntikkan serum dalam dosis penuh secara
perlahan-lahan dan amati lagi paling sedikit 30 menit.

Syarat-syarat pemberian serum secara intravena


1. Pada penderita harus dilakukan tes hipersensitivitas subkutan lebih
dahullu, kemudian dicoba dengan suntikan intramuskuler, baru intravena.
2. Pemberiannya harus perlahan-lahan, dan siapkan adrenalin 1:1000.
3. Setelah dsuntik intravena penderita harus diamati sedikitnya selama satu
jam.
Tindakan terhadap reaksi sampingan
1. Reaksi anafilaktik (anaphyilactic shock)
Penderita harus dibaringkan dengan kepala lebih rendah, jangan diberi
selimut atau botol berisi air panas. Suntikkan 0,3-0,5 ml adrenalin 1:1000
intramuskuler.
Periksa tekanan darah secara teratur. Bila tekanan darah tetap rendah, beri
lagi 0,3-0,5 adrenalin 1:100 intravena, bila perlu sediaan kortikosteroid
intramuskuler.
Bila keadaan belum teratasi, segera kirim ke rumah sakit.
2. Penyakit serum (serum sickness)
Beri antihistamin selama beberapa hari dan penderita sebaiknya istirahat.
Bila sangat mengganggu dapat diberikan sediaan kortikosteroid.
3. Kenaikan suhu (demam) dengan menggigil
Keadaaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan cepat
menghilang dalam 24 jam.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan
Keadaan ini tidak memerlukan tindakan apa-apa, karena akan menghilang
dengan sendirinya.
Indikasi Pemberian Serum Anti Bisa Ular2 :
Pemberian serum anti bisa ular direkomendasikan bila dan saat pasien terbukti
atau dicurigai mengalami gigitan ular berbisa dengan munculnya satu atau lebih
tanda berikut :
Gejala venerasi sistemik
Kelainan hemostatik : perdarahan spontan (klinis), koagulopati, atau
trombositopenia.

Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis, dan lainnya.


Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia (klinis), kelainan EKG.
Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria (klinis), peningkatan
kreatinin/urea urin (hasil laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin
coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan adanya hemolisis
intravaskuler atatu rabdomiolisis generalisata (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis,
hasil laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya terhadap tanda
venerasi.
Gejala venerasi lokal :
Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari separuh bagian tubuh yang
terkena gigitan (tanpa adanya turniket) dalam 48 jam setelah gigitan.
Pembengkakan setelah tergigit pada jari-jari ( jari kaki dan khususnya jari tangan).
Pembengkakan yang meluas ( misalnya di bawah pergelangan tangan atau mata
kaki pada beberapa jam setelah gigitan pada tangan dan kaki), pembesaran
kelenjar getah bening pada kelenjar getah bening pada ekstremitas yang terkena
gigitan.
Pemberian anti bisa ular dapat menggunakan pedoman dari Parrish, seperti
tabel di bawah ini :
Derajat

Venerasi

Udem/eritema

Tanda sistemik

+ +/-

<3cm/12 jam

+/

+ +

<3cm/12 jam

II

+ +++

>12cm25cm/12jam

+. Neurotoksik,
mual, pusing, syok

III

++

+ +++

>25cm/12jam

++,syok,
petekie,ekimosis

++

+ +++

Pada satu
ekstremitas
secara
menyeluruh

++, gangguan faal


ginjal, koma,
perdarahan

Luka
gigit

Nyeri

I
V

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam,


jika derajat meningkat maka diberikan SABU

Derajat II: 3-4 vial SABU

Derajat III: 5-15 vial SABU

Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular
dapat melawan envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap
selama beberapa hari, atau pada kasus kelainan haemostasis, yang dapat
belangsung dua minggu atau lebih. Untuk itu, pemberian anti bisa tepat diberikan
selama terdapat bukti terjadi koagulopati persisten. Apakah antibisa ular dapat
mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi, namun beberapa bukti
klinins menunjukkan bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti bisa ular
harus diberikan pada satu jam pertama setelah gigitan.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
b. Pemeriksaan radiologis :
1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum

2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal


c. Pemeriksaan lainnya :
a. Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat
yang steril, sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya
(seperti

Styker

pressure

monitor).

Indikasi

pengukuran

tekanan

kompartemen adalah bila terdapat pembengkakan yang signifikan, nyeri


yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi
muncul pada ekstremitas yang tergigit
Tindak Lanjut
Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit :
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin
dilaksanakan. Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat
membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah,
menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam. Buat evaluasi serial
untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma kompartemen.
Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung
dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin
dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level
fibrinogen.
Observasi dan Evaluasi Respon Terhadap Pemberian Anti Bisa Ular
Bila dosis adekuat dari antibisa yang tepat telah diberikan, beberapa respon di
bawah ini dapat diobservasi.
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara
keseluruhan dapat hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada
15-30 menit.

c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka
yang menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit
pertama dan aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra)
akan membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun
biasanya membutuhkan waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre
sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan
warna urin akan kembali ke warna normal.
Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal
terhadap antibisa ular (perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda
keracunan sistemik dapat terjadi kembali dalam 24-48 jam. Hal ini dapat terjadi
karena :
a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari depot pada lokasi gigitan,
kemungkinan didukung oleh peningkatkan aliran darah setelah koreksi
syok, hipovolemia, dsb, setelah terjadi eliminasi antibisa (tergantung
waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab)2 80-100 jam; Fan 12-18 jam)
b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan
oleh terapi antibisa.

kriteria pengulangan dosis inisiasi anti bisa ular :


a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau

perdarahan

setelah 1-2 jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala


kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal
antibisa, dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi
bahwa, bila dosis besar antibisa diberikan (

lebih dari cukup untuk

menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan pada awal, waktu
yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa
harus diulang antara 1-2 jam.
d. Pada

kasus

perburukan

gejala

neurotoksik

atau

gejala

kardiovaskuler, dosis awal antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan
perawatan pendukung harus dipertimbangkan.

DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR


PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR
PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR
PASIEN KE RS
YA
TIDAK

YA

TIDAK

ULAR DIBAWA KE
TIDAK
RS
TIDAK
RAWAT

TERDAPAT

ULAR DAPAT

TANDA

TERIDENTIFIKASI
YA

ENVENOMASI

ULAR
OBSERVASI* DI
DITETAPKAN
RS SELAMA 24

Insisi cross bila memenuhi


kriteria

YA

TIDAK

JAM

YA

TERDAPAT TANDA
TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK
(KERACUNAN) ULAR YANG

TENANGKAN KORBAN,

ENVENOMASI

DARI ENVENOMASI

YA

YA

BERI SERUM
TIDAK

TIDAK

OBSERVASI* DI

KRITERIA

RS SELAMA 24

PEMBERIAN

TANDA MEMENUHI

ANTITETANUS,
RAWAT

TANDA MEMENUHI

UMUM BERADA DI AREA

RAWAT

YA

KRITERIA
PEMBERIAN
TIDAK

TERSEDIA

YA

ANTIBISA

RAWAT

TIDAK

MONOSPESIFIK /
YA

OBSERVASI* DI

BERIKAN

RS SELAMA 24

ANTIBISA

BERIKAN

JAM

POLISPESIFIK

ANTIBISA

UNTUK SPESIES

MONOSPESIFIK /

RAWAT

TERAPI
KONSERVATIF**

ULAR YANG
LIHAT RESPON2

RAWAT

RAWAT
TIDAK

OBSERVASI* DI RS

TANDA

YA

WHO Guidelines for The Clinical Management of


Snake Bite in The South East Asia Region 2005

ULANGI DOSIS INISIASI


RAWAT

ENVENOMASI

ANTIBISA (MAX 80-100


ml)

TIDAK ADA PERBAIKAN :

ADA PERBAIKAN :

RUJUK SEGERA

OBSERVASI* DI RS

Keterangan Skema
Cross Insisi
Setelah tergigit
3 menit
15-30 menit
1 jam

Bisa yang dapat terbuang


90%
50%
1%

Tanda Envenomasi
LOKAL ( pada bekas gigitan)
a. Tanda gigitan taring (fang
marks)

Sistemik
Umum (general) : mual, muntah, nyeri
perut, lemah, mengantuk, lemas.

b. Nyeri lokal

Kelainan hemostatik : perdarahan spontan

c. Perdarahan lokal

(klinis), koagulopati, atau trombositopenia.

d. Kemerahan

Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia

e. Limfangitis

eksternal, paralisis, dan lainnya.

f. Pembesaran kelenjar limfe

Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok,

g. Inflamasi (bengkak, merah, arritmia (klinis), kelainan EKG.


panas)

Cidera

h. Melepuh
i. Infeksi

ginjal

oligouria/anuria
lokal,

akut

(gagal

(klinis),

ginjal)

peningkatan

terbentuk kreatinin/urea urin (hasil laboratorium).

abses

Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat

j. Nekrosis

gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain


akan adanya hemolisis intravaskuler atatu
rabdomiolisis

generalisata

(nyeri

otot,

hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium).


Serta adanya bukti laboratorium lainnya
terhadap tanda venerasi.

Kriteria Pemberian Serem Anti Bisa Ular

Derajat Parrish

Derajat

Venerasi

Udem/eritema

Tanda sistemik

+ +/-

<3cm/12 jam

+/

+ +

<3cm/12 jam

II

+ +++

>12cm25cm/12jam

+. Neurotoksik,
mual, pusing, syok

III

++

+ +++

>25cm/12jam

++,syok,
petekie,ekimosis

++

+ +++

Pada satu
ekstremitas
secara
menyeluruh

++, gangguan faal


ginjal, koma,
perdarahan

Luka
gigit

Nyeri

PEMBERIAN SABU (SERUM ANTI BISA ULAR)


Derajat parrish
0-1
2
3-4

SABU (serum antibisa ular)


Tidak perlu
5-20 cc
40-100 cc

Cara Pemberian Serum Antibisa Ular


Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat
diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang
setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau
bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100
ml). antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan
intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih
besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml
secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau
intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita
harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik

Cara Pemberian Serum Anti Bisa Ular


injeksi 0,2 ml serum encerkan
1: 10 (subkutan)

Amati 30 menit
Reaksi hipersensitivitas (+)

Reaksi hipersensitivitas (-)

Injeksi adrenalin 1:1000

Injeksi serum yang tidak


diencerkan 0,2 ml (subkutan)

Amati 30 menit

Reaksi hipersensitivitas (+)

Serum jangan diberikan

Reaksi hipersensitivitas (-)

suntikkan serum dalam dosis


penuh secara perlahan-lahan

KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing, perasaan panas,
batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah atau

Amati respon terhadap


serum antibisa ular

bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak nyaman di
perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang

Kriteria Pengulangan Dosis Inisiasi Anti Bisa Ular :


a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau

perdarahan

setelah 1-2 jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala


kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal
antibisa, dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi
bahwa, bila dosis besar antibisa diberikan (

lebih dari cukup untuk

menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan pada awal, waktu
yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi
fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.

c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa


harus diulang antara 1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis
awal antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus
dipertimbangkan
2

Rerpon Terhadap Pemberian Antibisa Ular


a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara
keseluruhan dapat hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada
15-30 menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka
yang menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit
pertama dan aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra)
akan membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun
biasanya membutuhkan waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre
sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan
warna urin akan kembali ke warna normal.

* Observasi

Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang,
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper,
observasi di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan
observasi di ruangan

Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan


perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah,
menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan
nafas.

Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.

Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan


sindroma kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg.
Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut
mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit,
dan level fibrinogen

** Perawatan Konservatif
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen,
Indomethacin, Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin,
Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
H. Komplikasi Gigitan Ular
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit
viper. Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit.
Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat
terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang
lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi
ularkoral.
Komplikasi

yang

terkait

dengan

antivenin

termasuk

reaksi

hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness,
tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan
dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi,
dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa intervensi
farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin,
pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 2 minggu

setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G


(IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia,
urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin
harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan
steroid7.
I. Prognosis Gigitan Ular
Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan
baik, memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit.
Disamping fakta bahwa mungkin terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan ular
berbisa, terdapat kurang dari 10 kematian, dan kebanyakan dari kasus fatal ini
tidak mencari pertolongan karena suatu alasan dan lain hal. Jarang terjadi untuk
seseorang meninggal sebelum mencapai perawatan medis di AS. Kebanyakan ular
tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit oleh ular tidak berbisa, korban akan
pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak berbisa meliputi gigi yang
tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka (termasuk tetanus). Ular tidak
membawa

atau

mentransmisikan

rabies6.

Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada
lebih dari 20% gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada
bisa yang disuntikan. Hal ini disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada
gigitan yang diakibatkan oleh elapid. Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular)
memiliki komplikasi yang sama dengan gigitan ular tidak berbisa. Seorang korban
yang masih sangat muda, tua, atau memiliki penyakit sistemik lain sebagian besar
tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang sama dengan orang dewasa
yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang paling penting,
antibisa ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang
awalnya terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban
yang tergigit oleh ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa
harus ditunda-tunda6
DAFTAR PUSTAKA

Addo et al. Broad ligament haematoma following a snake bite 2009, 43:4

Alirol et al. Snake Bite in South Asia: A Review 2010, 4:603


Athappan et al. Saudi J Kidney Dis Transpl 2008;19(3):404-410
Awasthi et al. Cerebellar Ataxia following Snake Bite 2010, 58:390
Boviatsis et al. Am. J. Trop. Med. Hyg., 68(2), 2003, pp. 253257
Chaudhary SC, et al. BMJ Case Reports 2013. doi:10.1136/bcr-2012-007515
Currie. Snakebite in tropical Australia: a prospective study in the Top End of the
Northern TerritoryMJA 2004; 181: 693697
G.K. Isbister et al. Q J Med 2009; 102:563568
Gomes et al. Indian ournal of experimental biology 2010, 48:865-878
Hifumi et al. Journal of Intensive Care (2015) 3:16
Johnston et al. Successful resuscitation after cardiac arrest following massive
brown snake envenomation MJA 2002; 177: 646-649
Karunanayake et al. BMC Research Notes 2014, 7:482
Kshirsagar VY, et al. Iranian Journal of Pediatrics, Volume 23 (Number 6),
December 2013, Pages: 632-636
Madi Deepak et al./Asian Pac J Trop Biomed 2013; 3(2):154-155
Mohapatra B, Warrell DA, Suraweera W, Bhatia P, Dhingra N, et al. (2011)
Snakebite Mortality in India: A Nationally Representative Mortality
Survey. PloS Negl Trop Dis 5(4): e1018
Rahman R, Faiz MA, Selim S, Rahman B, Basher A, et al. (2010) Annual
Incidence of Snake Bite in Rural Bangladesh. PLoS Negl Trop Dis 4(10):
e860
Rao et al. Journal of Occupational Medicine and Toxicology 2013, 8:7

S Chauhan et al. Pre-hospital treatment of snake envenomation in patients


presented at a tertiary care hospital in northwestern india. J. Venom.
Anim. Toxins incl. Trop. Dis., 2005, 11, 3, p. 276
Seo et al. Korean J Pain 2014 January; Vol. 27, No. 1: 68-71
Shastri et al. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2014 Sep, Vol-8(9):
MD03-MD04
Sithprija. Snakebite nephropathy nephrology 2006; 11 , 442448
Smalligan et al. Crotaline snake bite in the Ecuadorian Amazon: randomised
double blind comparative trial of three South American polyspecific
antivenoms BMJ volume 329
Top, et al. Serious envenomation after a snakebite.2006, 64:5
Walker et al. Toxicology and treatment: medical authorities and snake-bite in the
middle agesKorot. 2014 December 1; 22: 85104
Yasunaga et al. Short report : venomous snake bites in japan Am. J. Trop. Med.
Hyg., 84(1), 2011, pp. 135136

You might also like