You are on page 1of 3

1. 9 tempat pemeriksaan suhu?

1. Arteri pulmonalis
Suhu tubuh yang diangap palin mendekati suhu yang terukur oleh thermostat di
hipotalamus adalah suhu darah arteri pulmonalis, tetapi pengukuran tersebut
merupakan cara invasiv, menggunakan kateter arteri pulmonal sehingga hanya
sesuai digunakan untuk perawatan intensif tau pasien badan tertentu.
2. Esofagus
Suhu esofagus dianggap suhu yang mendekati suhu inti karena dekat dengan
arteri yang membawa darah dari jantung ke otak, dan lebih tidak invasive
dibandingkan dengan pengukuran suhu arteri pulmonalis. Namun suhu esofagus
tidak sama sepanjang esophagus. Pada esofagus bagian atas dipengaruhi udara
trakeal sedankan bagian 1/3 bawah paralel dengan suhu aliran daerah arteri
pulmonalis.
3. Kandung kemih
Kandung kemih merupakan tempat lain yang digunakan untuk pengukuran suhu
tubuh, karena diasumsikan bahwa urin merupakan hasil filtrasi darah yang
ekuivalen dengan 20% curah jantung dan merefleksikan suhu rata-rata aliran
darah yang melalui ginjal pada satuan waktu tertentu. Namun tingkat keakuratan
pengukuran suhu sangat tergantung dari jumlah urin yang keluar.
4. Rektal
Suhu rektal diangap sebagai baku emas dalam pengukuran suhu karena bersifat
praktis dan akurat dalam estimasi rutin suhu tubuh. Namun demikian ditemukan
beberapa kelemahan. Bezinger dkk menyatakan pada rektum tidak ditemukan
sistem termoregulasi. Suhu rektal lebih tinggi dibandingkan tempat lain (arteri
pulmonalis), hal ini mungkin akibat aktivitas metabolik bakteri feses. Nilai suhu
rektal dipengaruhi oleh kedalaman insersi termometer, kondisi aliran darah, dan
ada atau tidaknya feses. Selain itu terapat risiko perforasi rektal dan infeksi
nosokomial.
5. Oral
Pengukuran oral lebih disukai karena kemudahan dalam teknik penukurannya,
demikian juga dengan responnya terhadap perubahan suhu inti tubuh. Suhu
sublingual cukup dapat diterima secara klinis karena arteri utamanya merupakan
cabang arteri karotid eksterna dan mempunyai respon yang cepat terhadap
perubahan suhu ini.
6. Aksila
Pengukuran suhu aksila relative mudah bagi pemeriksa, nyaman bagi pasien,
dan mempunyai risiko yang paling kecil untuk penyebaran penyakit. Kelemahan
pengukuran suhu aksila terletak pada sensitivitasnya yang rendah dan
mempunyai variasi suhu yan tinggi dan sangat sipengaruhi suhu lingkungan.
7. Membran timpani
Secara teoritis membran timpani merupakan tempat yang ideal untuk
pengukuran suhu inti karena terdapat arteri yang berhubungan dengan pusat
termoregulasi. Termometer membran timpani saat ini menggunakan metode
infrared radiation emitted detectors (IRED). Walaupun dari segi kenyaman
cukup baik, pengukuran suhu membran timpani hingga saat ini jarang
dipergunakan karena variasi nilai suhu yang berkorelasi denga suhu oral atau
rektal cukup besar.
8. Kulit
Proses kehilangan panas melalui kulit dimungkinkan karena panas diedarkan
melalui pembuluh darah dan juga disuplai langsung ke fleksus arteri kecil
melalui anastomosis arteriovenosa yang mengandung banyak otot. Kecepatan
aliran dalam fleksus arteriovenosa yang cukup tinggi menyebabkan konduksi
panas dari inti tubuh ke kulit menjadi sangat efisien. Dengan demikian, kulit
merupakan radiator panas yang efektif untuk keseimbangan suhu tubuh.
9. Vagina

Suhu tubuh basal adalah suhu terendah yang dicapai oleh tubuh selama istirahat
atau dalam keadaan istirahat (tidur). Pengukuran suhu basal dilakukan pada pagi
hari segera setelah bangun tidur dan sebelum melakukan aktivitas lainnya.

Tujuan pencatatan suhu basal untuk mengetahui kapan terjadinya masa subur
atau ovulasi. Suhu basal tubuh diukur dengan alat yang berupa termometer
basal. Termometer basal ini dapat digunakan secara per vagina, atau melalui
dubur dan ditempatkan pada lokasi serta waktu yang sama selama 5 menit.

Suhu normal tubuh sekitar 35,5-36 derajat Celcius. Pada waktu ovulasi, suhu
akan turun terlebih dahulu dan naik menjadi 37-38 derajat kemudian tidak akan
kembali pada suhu 35 derajat Celcius. Pada saat itulah terjadi masa subur atau

ovulasi.

(Sumber : Wahidiyat Iskandar, Pemeriksaan Fisis, Dalam buku Diagnosis Fisis


Pada Anak Edisi Ke-2. Jakarta, 2003. Halaman 18)

You might also like