You are on page 1of 10

PENCEGAHAN AIR ASAM TAMBANG

. Latar Belakang

Kegiatan penambangan khususnya penambangan batubara tidak akan terlepas dengan terbentuknya air

asam tambang. Terbentuknya air asam tambang (AAT) di dalam lokasi penambangan akan mempengaruhi

kegiatan penambangan itu sendiri. Adanya yang sifatnya terlalu asam dapat merusak impeller pompa yang

digunakan dalam proses penambangan. Dan apabila dibiarkan maka air asam tambang akan menimbulkan

dampak negatif terhadap lingkungan sekitar penambangan. Keberadaan air asam tambang tidak terlepas dari

sifat tanah (batuan) yang menyusun lingkungan tambang tersebut. Tereksposnya mineral tertentu seperti pirit

(FeS2) dapat mengakibatkan kemasaman tanah tinggi (Caruccio et al, 1981; Qomariah, 2003 dalam Mindasari,

2007). Kondisi tanah yang masam menyebabkan beberapa unsur logam terlarut ke hilir areal tambang sehingga

mencemari perairan dan lahan di sekitar (Greene, 1988 ; Anonim, 1995 ; Anonim, 1999, Qomariah, 2003

dalam Mindasari, 2007).

Sistem penambangan yang banyak diterapkan adalah sistem tambang terbuka, dimana terjadi

pembukaan lahan dan penggalian tanah dan batuan penutup. Tanah dan batuan tersebut kemudian ditimbun

pada suatu disposal area atau ditimbun kembali ke lubang bekas galian sebelumnya (backfilling). Mineral-

mineral sulfida yang terkandung di batuan penutup dan batubara akan terekspose sehingga terjadi peningkatan

kecepatan reaksi antara mineral-mineral tersebut dengan udara dan air yang kemudian menghasilkan air asam

tambang.

Pit penambangan merupakan daerah yang tidak dapat dihindari dari potensi pembentukan AAT yang
berasal batuan pada dinding pit. Sehingga upaya yang dapat dilakukan hanyalah dengan melakukan

pengolahan. Air yang masuk ke dalam pit penambangan dikumpulkan dalam kolam di lantai tambang (pit

sump). Air tersebut lalu dipompakan keluar dari pit untuk dilakukan proses pengolahan. Selain dari pit

penambangan, area disposal batuan penutup juga berpotensi untuk membentuk AAT terutama disposal yang

belum final. Disposal yang telah final juga berpotensi dapat membentuk air asam tambang jika proses

pengelolaan batuan penutup yakni pemisahan material PAF dan NAF tidak dilakukan. Oleh karena itu

dibutuhkan manajemen material PAF dan NAF yang baik di disposal area untuk meminimalkan potensi

terbentuknya air asam tambang.

Pembentukan Air Asam Tambang


Air asam tambang (AAT) yang dikenal dengan acid mine drainage (AMD) adalah air yang bersifat

asam (tingkat keasaman yang tinggi dan sering ditandai dengan nilai pH yang rendah di bawah 6) sebagai hasil

dari oksidasi mineral sulfida yang terpajan atau terdedah (exposed) di udara dengan kehadiran air. Polusi air

yang disebabkan oleh air asam tambang dapat dikenali dari adanya endapan besi hidroksida yang berwarna

kuning sampai kemerahan didasar aliran atau genangan air. Endapan tersebut terbentuk karena teroksidasinya

besi terlarut (Fe2+) didalam air asam tambang oleh oksigen.

Kegiatan penggalian dan penimbunan akan mengakibatkan terdedahnya (eksposed) batuan sehingga

memungkinkan kontak dengan udara atau air hujan. Air limpasan hujan yang mengalir akan kontak dengan

dinding pit penambangan. Hasil pelapukan batuan atau reaksi kimia antara udara dengan mineral bila terkena

air limpasan hujan atau rembesan air tanah dapat mengakibatkan perubahan kualitas air limpasan atau air tanah
tersebut. Jika perubahan yang terjadi ditunjukkan dengan tingkat kemasaman tinggi maka hal inilah yang

disebut sebagai air asam tambang (AAT) atau acid mine drainage.
GAMBAR

PEMBENTUKAN AIR ASAM TAMBANG

Dalam reaksi pembentukan air asam tambang diperlukan kehadiran tiga komponen, yaitu: mineral

sulfida, air dan oksigen. Reaksi tersebut selalu berjalan sepanjang waktu. Hanya saja, kegiatan penambangan

yang membongkar batuan dan mengekspos mineral sulfida menyebabkan terjadinya percepatan terhadap

jalannya proses tersebut. Kondisi tanah dan batuan yang sulit menyerap air akan menyebabkan genangan

sehingga waktu reaksi cukup tersedia. Secara umum reaksi pembentukan air asam tambang adalah sebagai

berikut:

4 FeS2 + 15 O2 + 14 H2O 4 Fe(OH)3 + 8 H2SO4

Reaksi antara pirit, oksigen dan air akan membentuk asam sulfat dan endapan besi hidroksida. Warna
kekuningan yang mengendap di dasar saluran tambang atau pada dinding kolam pengendap lumpur merupakan

gambaran visual dari endapan besi hidroksida atau disebut yellowboy.

Didalam reaksi umum pembentukan air asam tambang, terjadi lima reaksi pada pirit yang

menghasilkan ion-ion hidrogen yang bila berikatan dengan ion-ion negatif dapat membentuk asam. Oksidasi

terhadap pirit dan menghasilkan besi (II) dan sulfat. Selanjutnya besi (II) teroksidasi lagi menjadi besi (III).

Reaksi ini berlangsung lambat pada kondisi asam dan semakin cepat seiring kenaikan pH. Besi (III) akan

bereaksi dengan air (hidrolisis) dan membentuk endapan besi hidroksida. Besi (III) yang belum mengendap

akan mengoksidasi pirit yang belum mengalami oksidasi. Adapun reaksi-reaksi tersebut adalah sebagai berikut

(Stumm dan Morgan, 1996):

Reaksi I : 2 FeS2 + 7 O2 + 2 H2O 2 Fe2+ + 4 SO42- + 4 H+

Reaksi II : FeS2 + 14 Fe3+ + 8 H2O 15 Fe2+ + 2 SO4 2- + 16 H+

Reaksi III : 4 Fe2+ + O2 + 4 H+ 4 Fe3+ + 2 H2O


Reaksi IV : Fe2+ + O2 + 5/2 H2 4 Fe(OH)3 + 2 H+

Reaksi pertama adalah reaksi pelapukan dari pirit disertai proses oksidasi. Pirit dioksidasi menjadi

sulfat dan besi fero. Dari reaksi ini dihasilkan dua mol keasaman dari setiap mol pirit yang teroksidasi. O2

terlarut dapat juga mengoksidasi tetapi kurang penting karena kelarutannya sangat terbatas. Reaksi ini dapat

terjadi baik pada kondisi abiotik maupun biotik. Selain oksidasi langsung, pirit dapat juga terlarut dan

selanjutnya teroksidasi.

Aqueous ferric ion juga dapat mengoksidasi pirit. Reaksi oksidasi lanjutan dari pirit oleh besi ferri
lebih cepat (23 kali) dibandingkan dengan oksidasi dengan oksigen dan menghasilkan keasaman yang lebih
banyak per mol pirit.Tetapi terbatas pada kondisi dimana terdapat jumlah yang cukup dari ion ferri (kondisi

asam). Dengan demikian oksidasi pirit dimulai dengan reaksi (1) pada kondisi dekat netral dan dilanjutkan

dengan reaksi (2) jika kondisi semakin asam (pH < 4,5)

Pada reaksi ketiga terjadi konversi dari besi ferro menjadi besi ferri yang mengkonsumsi satu mol

keasaman. Laju reaksi lambat pada pH < 5 dan kondisi abiotik. Kehadiran bakteri acidithiobacillus
ferrooxidans dapat mempercepat reaksi ini (56 kali).Anggapan bahwa ion ferri dapat mengoksidasi pirit tanpa

kehadiran oksigen itu tidak tepat. Reaksi (3) menunjukkan bahwa oksigen diperlukan untuk mengoksidasi ion

ferro menjadi ferri. Ion ferri yang dihasilkan pada reaksi (1) dapat mengalami oksidasi dan hidrolisa dan

membentuk ferri hidroksida. Pembentukan presipitat ferri hidroksida tergantung pH, yaitu lebih banyak pada

pH di atas 3,5. Jika reaksi (1) dan (4) digabungkan maka diperoleh reaksi akhir sebagai berikut :
FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+

Prediksi Potensi Air Asam Tambang

Uji Statik

Pengujian statik menentukan kandungan sulfur dari sampel dan berapa banyak asam yang dapat

dinetralisir oleh sampel. Hasil uji ini tidak memberikan informasi kapan pembentukan asam akan terjadi, laju

pembentukan asam dan penetralan ataupun kualitas air akibat sample.

a. Paste pH

Paste pH diperoleh dari pengukuran pH dari paste yang terbentuk dari campuran air yang terbebas dari

ion (de-ionized) dan sample batuan dengan perbandingan berat 1:1 setelah dibiarkan selama kurang lebih 10

menit. pH paste ini menunjukkan interaksi keasaman dan alkalinitas material pada saat awal material tersebut

tersingkap dan bereaksi dengan air.

b. Acid Base Accounting

Metode ini mengevaluasi keseimbangan antara proses pembentukan asam (oksidasi mineral sulfida)

dan proses penetralan asam (disolusi karbon alakalin, perpindahan bases yang dapat berubah dan pelapukan

silikat). Nilai yang didapatkan dari metode ini adalah nilai maximum Potential Acidity (MPA),Net Acid

Producing Potential (NAPP), Acid Neutralizing Capacity (ANC).

MPA ditentukan dengan mengalikan persen total sulfur atau sulfur sulfida (tergantung test) dalam

sampel dengan faktor konversi (MPA = 30.6x%S). ANC menyatakan banyaknya asam sulfat yang diperlukan
untuk mendapatkan keasaman yang sama seperti pada sampel. Besarnya ditentukan dengan menambahkan

asam pada sampel dan mentitrasi kembali untuk menentukan jumlah asam yang dikonsumsi atau dengan titrasi

asam langsung dari sampel hingga mencapai pH tertentu. Potensi penetralan bersih (NAPP), ditentukan dengan

mengurangkan MPA dan ANC (NAPP = MPA-ANC). Rasio antara ANC terhadap MPA juga digunakan. NAPP

bernilai 0 ekivalen dengan rasio bernilai 1 (Ferguson and Morin 1991). Unit dari hasil test statik (MPA, ANC,

dan NAPP) dinyatakan dalam kgH2SO4/ton batuan

Jika selisih antara ANC dan MPA adalah negatif maka potensi dari batuan adalah membentuk asam.

Jika bernilai positif, resiko akan semakin kecil. Prediksi jika NAPP berada diantara -20 dan 20 akan lebih sulit

dilakukan. Dalam penggunaan rasio, jika ratio potensi penetralan sampel terhadap potensi produksi asam lebih

besar dari 3:1 dan 1:1, sebagai kisaran ketidakpasstian perlu tambahan uji kinetik. Sampel dengan ratio 1:1
atau lebih rendah cenderung menghasilkan asam. Prediksi dari kualitas penyaliran sampel berdasarkan nilai-

nilai ini membutuhkan asumsi bahwa laju reaksi sama dan mineral yang mengkonsumsi asam akan terurai.

Ketika mengulang data untuk pengujian static, pertimbangan penting adalah ukuran sampel dan bagaimana itu

dibedakan dari waste atau unit yang sedang dikarakteristikkan.

c. Net Acid Generating (NAG) Test

Dalam uji ini diukur keasaman larutan batuan dan seberapa besar kation yang dibutuhkan larutan

untuk mencapai derajat keasaman tertentu yang sesuai dengan standard baku mutu lingkungan yang

diinginkan. Uji ini akan memberikan indikasi kereaktifan kandungan sulfida. Dalam pelaksanaannya, hidrogen

peroksida akan ditambahkan ke sampel untuk mengoksidasi sulfida yang reaktif. Pada pokoknya,hasil uji NAG

akan mengkonfirmasi bahwa sulfida dalam batuan reaktif dan titrasi dari larutan terakhir memberikan nilai

asam sisa yang masih tinggal pada sampe setelah semua pembentukan asam dan penetralan asam terjadi.

Hasilnya mengindikasikan potensi dari material untuk menghasilkan asam setelah waktu terdedah dan

terlapukkannya dan khususnya digunakan untuk mengkonfirmasi prediksi NAPP berdasarkan kandungan

sulfur dan nilai ANC. Uji NAPP dan NAG saling melengkapi dimana NAPP menyediakan potensi

pembentukan maksimum asam secara teoritis dan NAG adalah pengukuran langsung hasil net dari kedua

reaksi.

3.4.2 Uji Kinetik

Pengujian geokimia kinetik digunakan untuk menegaskan hasil uji statik untuk menentukan laju reaktif dari

reaksi/penetralan dan keterlarutan logam ,dan untuk menguji teknik pengontrolan dan penanganan. Dalam uji
kinetik, pelapukan disimulasikan dengan terkontrol dalam kondisi lapangan/laboratorium untuk mempelajari

reaksi yang terjadi. Hasil pengujian memberikan informasi laju reaksi terhadap waktu, periode waktu untuk

reaksi, dan teknik kontrol yang dapat membantu penanganan dengan mengetahui durasi dari reaksi.

Prosedur yang dilakukan memakan waktu yang lama dan membutuhkan kekonsistenan untuk memberikan

hasil yang baik. Uji ini mencoba membuat sampel pembentuk asam dan memberikan data seberapa lama

sampel mulai membentuk asam. Hasilnya juga akan memberikan informasi tentang keadaan kimia air setelah

penelidian. Dalam pelaksanaannya, sampel dilindi secara periodik dan air hasil pelindian dikumpulkan untuk

dianalisis. Parameter yang kemudian dihitung adalah laju pembentukan asam, logam terlarut, dan pengurangan

kapasitas penetralan.

Beberapa metode pengujian kinetik telah digunakan dalam berbagai penelitian.


1. Humidity cells

Metode yang konvensional (Sobek, et al, 1978) adalah uji laboratorium bench scale. Dua ratus hingga

tiga ratus gram sampel yang telah diremuk (2mm) ditempatkan pada kotak plastic yang tertutup untuk menjaga

kelembaban sel yang akan membentuk oksidasi pirit. Udara kering dilewatkan melalui sampel selama tiga hari

diikuti dengan udara lembab 3 hari berikutnya. Setiap 7 hari sampel disemprot dengan volume air tertentu. Air

yang sedikit asam dapat pula digunakan untuk mensimulasikan hujan asam. Proses hari ketujuh diulangi

selama 10-20 minggu.

2. Leaching Columns

Column test tidak memiliki standard tertentu sehingga dapat dibuat variasi desain kolom, karakteristik

material, siklus peindian dan laju aliran. Efek dari adanya bakteri dapat dianalisis dengan menggunakan uji ini.

Kolom ini memodelkan presipitasi dan infilterasi yang terjadi dan air keluaran yang berasal dari daerah

penambangan yang terdedah dengan udara luar. Penyangga berpori di bawah kolom akan menahan sampel

batuan dan membiarkan air lindian turun ke bawah setelah membasahi sampel batuan. Air lindian dikumpulkan

pada bagian bawah kolom.

3. Soxhlet Reactors

Uji ini menggunakan alat ekstraksi yang didesain untuk sampel batuan yang telah dihaluskan hingga

melalui ayakan 125 mikrometer dan yang diletakkan dalam cincin seluloseuntuk siklus penghamburan dengan

air yang mendidih selama beberapa jam periode pelindian. Air panas ini disesuaikan dengan oksidasi dengan

suhu yang tinggi yang diperoleh dengan menempatkan cincin sampel batuan pada oven selama 2 minggu

dengan suhu 1050 C. Biasanya potensi asam ditentukan setelah lima atau enam kali siklus pelindian dan
oksidasi. Ekstraksi Soxhlet mempercepat reaksi oksidasi realtif terhadap disolusi kalsium karbonat. Walapun

peningkatan kalsium terlihat pada air lindian, hal ini dikarenakan dari keterdapatan mineral sekunderatau ion

seperti Ca2+ dan sulfat.

Shake Flask

Dalam pengujian ini,sampel dihaluskan dan dimasukkan dalam distilat dan memberikan kemungkinan

3.5. Pengelolaan

Terdapat dua upaya dalam pengelolaan air asam tambang, yaitu preventif (pencegahan) dan kuratif

(pengolahan). Reaksi pembentukan air asam tambang yang memerlukan oksigen adalah kunci dari upaya

preventif. Dengan menutup batuan yang berpotensi membangkitkan asam dengan bahan yang dapat
menghalangi suplai oksigen dan atau air, diharapkan air asam yang terbentuk dapat direduksi. Terdapat dua

jenis bahan penutup tersebut, yaitu dry cover dan wet cover. Macam material pada dry cover antara lain adalah:

a. Soil Cover, didesain untuk mereduksi koefisien difusi oksigen pada material cover dan mereduksi jumlah fluks

oksigen pada permukaan sulfida. Bahan yang biasa digunakan adalah tanah liat yang dipadatkan karena

permeabilitas dari tanah jenis ini relatif kecil.

b. Oxygen-consuming Cover, merupakan material organik yang dapat diambil dari limbah organik, misalnya kulit

kayu, serbuk gergaji. Tetapi dekomposisi bahan organik ini menjadikan cover ini tidak dapat dipilih sebagai

solusi yang permanen.

c. Synthetic Cover, bahan sintetis dengan nama high density polyethylene sudah digunakan

sebagai cover timbunanKelian Mine Indonesia. Bahan ini efektif untuk mencegah infiltrasi air pada timbunan,

tetapi tidak efektif untuk mengendalikan masuknya oksigen.

Pada wet cover, material penghalang yang digunakan adalah air yang memiliki kandungan oksigen

terlarut yang rendah. Batuan yang berpotensi menghasilkan asam direndam didalam air yang tenang sehingga

oksigen di udara bebas diharapka tidak berdifusi ke dalam air.

Upaya kuratif dilakukan pada air asam tambang yang telah terbentuk, dengan cara menambahkan kapur

tohor {CaO}atau batu kapur (CaCO3) ke dalamnya. Penambahan kapur dilakukan pada saluran-saluran yang

terletak di inlet dan outlet kolam pengendap lumpur. Karung-karung berisi kapur disusun sedemikian rupa

sehingga air asam tambang memiliki kesempatan untuk bereaksi dengan kapur.

Akhir-akhir ini juga diperkenalkan upaya pengolahan air asam tambang secara pasif. Pada prinsipnya

upaya ini menciptakan suatu lingkungan dimana reaksi kimia dan biologi yang dapat mengolah air asam
tambang dapat berlangsung dengan sendirinya. Penerapannya membutuhkan pengetahuan yang mendetil

mengenai karakteristik kimia dan fisika dari air asam yang akan diolah. Kandungan oksigen terlarut dan besi

merupakan parameter yang harus diketahui sebelum memilih sistem yang akan digunakan (Gambar 3.3).

Pengolahan air asam tambang secara pasif tidak dapat hanya terdiri dari satu metode saja. Harus

dipilih beberapa metode dan dibentuk suatu sistem yang terintegrasi sehingga menghasilkan keluaran yang

dapat memenuhi kriteria air buangan. Beberapa metode yang telah diterapkan penggunaannya antara lain

adalah:
GAMBAR

DIAGRAM ALIR PEMILIHAN SISTEM PENGOLAHAN

DENGAN METODE PASIF

a. Anoxic Limestone Drain (ALD). Merupakan metode yang juga menggunakan batu kapur. Caranya adalah

dengan mengubur batu kapur dalam sebuah saluran yang dilapisi bahan kedap air dan udara.
b. Aerobic Wetland. Wetland merupakan lahan yang terendam air dan ditumbuhi tanaman. Dalam rangka

pengolahan air asam tambang, wetland dapat dibuat dalam kolam-kolam dengan ukuran tertentu sesuai dengan

karakteristik kimia dan fisika air asam tambang.

c. Anaerobic Wetland. Metode ini disebut juga compost wetland karena dasar kolamnya bukan berupa tanah biasa

tetapi menggunakan kompos yang dicampur dengan batu kapur. Kompos tersebut akan mengkonsumsi semua

oksigen di dalam sistem sehingga tidak terjadi oksidasi dimana hidroksida logam tidak akan mengendap dan

menyelimuti butiran batu kapur.

d. Successive Alkalinity Producing System (SAPS). Metode ini adalah pengabungan antara metode anaerobic

wetlanddan ALD. Konsep dasar dari metode ini sama seperti ALD tetapi kompos dan batu kapur dipisahkan

dalam dua lapisan dan adanya saluran drainase didalam kolam.


e. Open Limestone Channel (OLC).. Batu kapur yang disusun didalam karung diletakkan di suatu saluran yang

dilewati oleh air asam. Batu kapur akan memberikan alkalinitas dan menetralkan asam.

f. Oxic Limestone Drain (OLD). Sama Seperti ALD, tetapi AAT yang diolah telah diketahui memiliki konsentrasi

logam yang rendah. Kelebihan metode ini adalah dapat beroperasi dalam kondisi oksigen terlarut yang tinggi.

Tetapi perlu adanya kegiatan pembersihan saluran secara periodik untuk mengangkat endapan-endapan yang

tertinggal

You might also like