You are on page 1of 22

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan di dalam melakukan penelitian mengenai gambaran

sistem pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition yaitu pada

saat melakukan wawancara. Salah satu informan utama tidak dapat

menyelesaikan wawancara karena pekerjaan yang dilakukannya sehingga

mengakibatkan keterbatasan waktu saat di lapangan. Beberapa pertanyaan

yang diajukan oleh peneliti tidak dapat terjawab dengan baik sehingga

mempengaruhi data wawancara atau hasil penelitian yang diperoleh

mengenai sistem pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition

MRTJ TWJO tahun 2016.


B. Gambaran Sistem Pelaporan Near miss, Unsafe Act dan Unsafe
Condition MRTJ TWJO Tahun 2016 Secara Umum
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dengan menggunakan

pendekatan sistem mengenai sistem pelaporan near miss, unsafe act dan

unsafe condition diperoleh bahwa pada tahap input terdapat komponen-

komponen yaitu berupa material, SDM dan metode. Berkaitan dengan

material yaitu kebijakan K3 perusahaan dan standar. Untuk komponen

tahap input berupa kebijakan sudah ada. Pada tahap proses yaitu

merupakan bagaimana pelaksanaan dari keempat komponen input tersebut

dan hasil akhirnya pada tahap output yaitu memperoleh laporan. Menurut

Kelly (2007) pencapaian sebuah manajemen dapat terlihat melalui

pendekatan sistem, bagaimana elemen-elemen didalamnya terhubung

dengan organisasi perusahaannya. Karena sistem dapat diartikan sebagai

154
155

suatu kumpulan dari unsur, komponen atau variabel-variabel yang

terorganisasi, terpadu, saling berinteraksi dan bergantung satu sama lain.

Sebuah sistem dibuat untuk menangani suatu yang berulang kali

atau secara rutin terjadi. Efektivitas dari suatu sistem harus merefleksikan

keseluruhan siklus input-proses-output. Input yang masuk dalam sistem

akan diproses dan diolah sehingga menghasilkan output (Kelly, 2007).

Terdapat kekurangan pada komponen tahap input sistem pelaporan near

miss, unsafe act dan unsafe condition TWJO yaitu standar. Dimana

perusahaan belum memiliki standar operasional prosedur untuk

pelaksanaan pelaporan dan form pelaporan pada komponen standar.

Komponen input tersebut kemudian diproses dan diolah dimana

mempengaruhi pelaksanaannya. Pada pelaksanaan standar, pemahaman

petugas yang terlibat terkait definisi near miss belum sejalan dan alur

pelaksanaan pelaporan sesuai dengan apa yang ada dilapangan saja belum

berdasarkan alur pelaporan pada SOP yang dibuat. Belum terdapat amnesti

berupa reward dan punishment yang mengatur pelaksanaan pelaporan.

Pada pelaksanaan amnesti pun belum dapat terlaksana. Selain itu

SO yang melaksanakan pelaporan belum maksimal. Semua tahap proses

diatas kemudian mempengaruhi output yang dihasilkan. Pada tahap output,

output yang dihasilkan yaitu bahwa record kejadian near miss yang

dilaporkan selama tahun 2016 yaitu hanya 1 kejadian near miss yang

tercatat pada laporan bulanan, record unsafe act selama tahun 2016 tidak

dapat diketahui dan record unsafe condtion selama tahun 2016 tidak dapat

diketahui hanya terlampir saja. Output yang diperoleh tersebut melalui


156

input yang diproses akan di analisa dan akan menjadi umpan balik bagi si

penerima dan dari umpan balik ini akan muncul segala macam

pertimbangan untuk input selanjutnya, dan siklus ini akan berlanjut dan

berkembang sesuai dengan permasalahan yang ada. Dari Output yang

dihasilkan memberikan umpan balik sebagai upaya untuk meningkatkan

kualitas input dan proses (Kelly, 2007). Berikut ini adalah pembahasan

mengenai masing-masing tahap input, proses dan output yang diperoleh

dalam sistem pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition MRTJ

TWJO tahun 2016.

C. Gambaran Tahap Input dalam Sistem Pelaporan Near miss,


Unsafe Act dan Unsafe Condition MRTJ TWJO Tahun 2016
Berdasarkan hasil penelitian komponen tahap input di dalam sistem

pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition TWJO berupa

material, SDM dan metode. Dimana input merupakan sumber daya yang

diperlukan untuk pelaksanaan suatu kegiatan yang bertujuan dalam

mencapai tujuan sistem (Kelly, 2007). Didalam mengimplementasikan

sistem pelaporan near miss (NEMIR System) melaporkan semua kejadian

yang tidak diinginkan merupakan aspek yang paling penting dari setiap

program keselamatan. Semakin banyak near miss yang dilaporkan maka

semakin banyak kesempatan untuk menyelidiki, mengidentifikasi dan

memperbaiki akar penyebab sebelum kerugian serius terjadi. Dimana

informasi tentang sistem pelaporan near miss harus dibuat dan diketahui

oleh setiap orang (McKinnon, 2012). Untuk mencatat, melaporkan semua

kejadian yang tidak diinginkan dan memperoleh informasi, maka

dibutuhkan material didalam sistem pelaporan tersebut.


157

1. Material
Ketersediaan material sangat vital dalam suatu proses. Material

terdiri dari bahan setengah jadi dan bahan jadi. Material dan manusia

tidak dapat dipisahkan, tanpa material tidak akan tercapai hasil yang

diinginkan (Satrianegara, 2009). Oleh karena itu dalam proses

pelaksanaan kegiatan material dianggap sebagai salah satu sarana

manajemen untuk mencapai tujuan. Material perlu dikelola dengan benar

agar organisasi di perusahaan dapat berjalan dengan efisien (Purnastuti

and Mustikawati, 2007). Di dalam melakukan pelaporan TWJO memiliki

material berupa form pelaporan, kebijakan K3 dan standar yang dimiliki

perusahaan.
a. Form Pelaporan
Berdasarkan hasil telaah dokumen yang dilakukan, form

pelaporan yang dimiliki perusahaan berupa daily safety patrol form

dan near miss form. Daily safety patrol form biasa digunakan oleh

divisi SHE yaitu safety officer (SO) di dalam melakukan pencatatan

dari hasil patroli mereka setiap hari di lapangan yang berkaitan dengan

pelaporan unsafe condition. Form daily safety patrol terdiri dari judul,

tanggal/waktu, nomor, lokasi, checklist angka, keterangan dari angka

1-17 terkait kondisi alat maupun lingkungan kerja, PIC nya siapa, dan

diperiksa oleh siapa.


Near miss form digunakan untuk melaporkan kejadian near

miss, form pelaporannya terdiri dari judul, waktu/tanggal kejadian,

nama korban, sumber near miss, faktor penyebab (sumber, tipe,

kategori unsafe act atau unsafe condition), kronologis kejadian, tindak

lanjut dan status. Sedangkan untuk form pelaporan unsafe act


158

perusahaan tidak memiliki form tersendiri untuk melakukan record.

Rekaman atau catatan adalah bukti bahwa sistem tata kerja yang

tertuang dalam pedoman, prosedur dan instruksi kerja telah

dilaksanakan yang dapat berupa formulir yang telah diisi atau lembar

kerja yang ditandatangani (Tathagati, 2015).


Setiap proyek harus mengimplementasikan sistem pelaporan

dan pencatatan dengan menggunakan beberapa form dan format yang

telah dibentuk oleh perusahaan (OSHA, 2013). Dengan tujuan sebagai

bukti atau alat telusur berbagai tindakan yang dilakukan dalam

melaksanakan suatu sistem (Tathagati, 2015). Oleh karena itu

diperlukan form dan format pelaporan yang dibuat perusahaan untuk

melaksanakan pelaporan terhadap kejadian unsafe act. Karena menurut

Annishia (2011) perilaku tidak aman (unsafe act) memegang pengaruh

yang besar terhadap terjadinya kecelakaan kerja dibandingkan dengan

kondisi tidak aman (unsafe condition).


Sejauh ini form pelaporan near miss maupun unsafe condition

yang dimiliki TWJO di dalam proses penyusunannya dan kesesuaian

isinya melibatkan divisi yang berwenang yaitu divisi SHE dan divisi

QA. Dimulai dari tahapan penomoran, pengajuan ke konsultan dan

persetujuan dari konsultan terkait form pelaporannya. Dimana form

tersebut dapat didistribusikan dan diterapkan apabila telah

mendapatkan persetujuan dari pihak konsultan. Form pencacatan dan

pelaporan yang dimiliki terdiri dari selembar form dan sudah mendapat

persetujuan dari konsultan untuk digunakan. Karena lembar pelaporan

dalam jumlah yang banyak akan menyulitkan pelapor dalam mengisi form.
159

Form pelaporan dan pencatatan sebaiknya sederhana atau simple, mudah

dibawa dan selalu tersedia (McKinnon, 2012).


b. Kebijakan K3
Komponen material lain berdasarkan hasil penelitian berupa

kebijakan perusahaan salah satunya yaitu kebijakan K3. Sistem

Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) harus dimulai

dari membuat suatu kebijakan yang dapat dilaksanakan dan

ditindaklanjuti oleh manajemen (McKinnon, 2012). Kebijakan K3

TWJO yaitu memiliki komitmen yang kuat untuk mendorong praktek

kerja yang aman pada Proyek Konstruksi Jakarta Mass Rapid Transit

CP 101 dan CP 102 sesuai dengan Undang-Undang keselamatan dan

kesehatan kerja serta aturan dan Peraturan Pemerintah Indonesia dan

otoritas terkait yang memiliki kewenangan hukum.


Dimana kebijakan (policy) merupakan pernyataan resmi

organisasi atau perusahaan yang merefleksikan tekad dan komitmen

yang dijadikan sebagai landasan utama dan acuan organisasi dalam

rangka pencapaian visi dan misi organisasi. Kebijakan yang dibuat

berisi tentang bagaimana komitmen perusahaan yang berkaitan untuk

melakukan pelaporan (McKinnon, 2012). Isi dari kebijakan juga

menyatakan tujuan organisasi dan mengapa organisasi melakukan hal

tersebut (Tathagati, 2015).


Di dalam kebijakan K3 TWJO menjelaskan bahwa perusahaan

bermaksud untuk memenuhi komitmen tersebut dengan memastikan

praktek dan prosedur kerja yang aman. Semua pegawai TWJO

diwajibkan untuk melakukan perlindungan terhadap K3 diri sendiri

dan pegawai lainnya. TWJO akan mendukung manajer dan supervisor


160

yang bertindak untuk kepentingan K3. Menurut McKinnon (2012)

kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja adalah komitmen bahwa

tim manajemen dan karyawan setuju dalam menciptakan keselamatan.


c. Standar Perusahaan
Komponen material lainnya berdasarkan hasil penelitian berupa

standar perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara dan telaah

dokumen penelitian, standar yang dimiliki TWJO mengacu pada

dokumen site safety plan, standar yang terlampir hanya spesifik pada

standar operasional prosedur penggunaan alat dan jenis-jenis

pekerjaan belum spesifik terhadap standar pelaporan near miss,

unsafe act dan unsafe condition di konstruksi. Menurut McKinnon

(2012) di dalam NEMIR System terdapat dokumen-dokumen yang

mengacu pada standar sistem pelaporan near miss, dimana

mendeskripsikan tentang komitmen perusahaan untuk melaporkan

dan melakukan investigasi serta tanggung jawab apa saja yang ada.
TWJO belum memiliki standar prosedur yang mengatur sistem

pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition. Sedangkan

prosedur merupakan dokumen yang menjabarkan metode atau proses

yang digunakan untuk mengimplementasikan hal-hal yang telah

diterapkan dalam pedoman (Tathagati, 2015). Menurut Tathagati

(2015) dalam organisasi yang besar, prosedur harus dibuat untuk

membakukan proses atau aktivitas yang dilakukan sekaligus

memudahkan koordinasi antar unit kerja. Selain itu di dalam standar

prosedur NEMIR system yang digunakan perusahaan perlu adanya

penjelasan mengenai definisi near miss, unsafe act dan unsafe

condition. Definisi (definitions) diperlukan untuk mendefinisikan atau


161

menjelaskan istilah-istilah yang terdapat di dalam standar agar mudah

dipahami (McKinnon, 2012).

Berdasarkan hasil wawancara penelitian, pemahaman dari

informan yang sejalan menyatakan bahwa near miss adalah suatu

kejadian yang belum, nyaris atau hampir celaka. Namun pernyataan

wawancara dari satu informan menyatakan bahwa near miss berkaitan

dengan orang luka dan ada tahapannya tidak sesuai dengan definisi

near miss. Near miss adalah sebuah peristiwa yang hampir

menyebabkan cidera atau kerusakan (McKinnon, 2012). Dimana near

miss tidak mengakibatkan cidera, sakit atau kerusakan tetapi memiliki

potensi untuk mengakibatkan hal-hal tersebut. Oleh karena itu,

mengenali dan melaporkan near miss dapat meningkatkan

keselamatan pekerja dan meningkatkan budaya keselamatan

organisasi (NSC, 2013).

Berdasarkan hasil wawancara penelitian, pemahaman dari

informan mengenai unsafe act adalah suatu perilaku seseorang atau

tindakan-tindakan yang tidak selamat, memaksakan, diluar batas yang

dapat merugikan dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan misalnya

tidak sesuai prosedur dan tidak menggunakan APD. Menurut Cooper

(2001), definisi perilaku tidak aman adalah tindakan yang dapat

menyebabkan terjadinya kecelakaan atau insiden (near miss). Perilaku

tidak aman tersebut diantaranya yaitu bekerja atau mengoperasikan

peralatan tanpa kewenangan, gagal dalam memperingatkan, gagal


162

dalam mengamankan, menggunakan APD secara tidak benar, dll (Bird

and Germain, 1990).

Sedangkan berdasarkan hasil wawancara penelitian, pemahaman

dari informan mengenai unsafe condition adalah kondisi yang

dipaksakan, tidak aman dan melanggar batasan misalnya kondisi

peralatan yang tidak sesuai, akses kerja terhalang, dsb. Menurut

definisinya unsafe condition (kondisi tidak aman) adalah desain

kondisi tempat kerja yang buruk dimana terdapat bahaya mekanik dan

fisik (Rausand dkk., 2011). Kondisi tidak aman diantaranya yaitu

barrier atau pengaman yang tidak memadai, alat pelindung diri

(APD) yang tidak memadai atau tidak layak, peralatan atau material

yang cacat, proses yang tersendat, housekeeping atau tata ruang yang

buruk, tempat kerja yang berantakan, dll (Bird and Germain, 1990).

Pemahaman unsafe act dan unsafe condition yang sejalan

diperlukan pada sistem pelaporan agar sesuai dalam mengidentifikasi

dan mengkategorikan hal tersebut. Karena manajemen organisasi

harus memahami dengan jelas definisi dari kejadian near miss, unsafe

act dan unsafe condition untuk mengembangkan standar tertulis

dalam melaporkan, memberikan pemahaman dan melatih para

pekerjanya terlibat di dalam sistem pelaporan (McKinnon, 2012).

2. Sumber Daya Manusia (SDM)


Sumber daya manusia menjadi unsur paling menentukan dalam

menjalankan perusahaan, karena memiliki akal, bakat, tenaga, keinginan,

pengetahuan, perasaan, dan kreatifitas untuk mencapai visi dan misi

perusahaan (Ilfani and Nugraheni, 2013). Peran SDM sangat penting


163

dalam upaya mencapai tujuan organisasi (Purnastuti and Mustikawati,

2007)
Menurut McKinnon (2012) NEMIR system tidak seharusnya

menjadi tanggung jawab penuh departemen safety, semua karyawan

semua tingkatan manajemen harus bersedia untuk berpartisipasi agar

sistem dapat berjalan dengan efektif. Berdasarkan hasil penelitian bahwa

berdasarkan hasil penelitian komponen input berupa sumber daya

manusia yang terdapat di perusahaan semuanya terlibat di dalam

melaksanakan sistem pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe

condition hanya saja yang banyak berperan adalah divisi SHE dengan

tugas dan tanggung jawab yang dimiliki masing-masing jabatan. Divisi

SHE khususnya SO saat di lokasi kerja harus mengingatkan, melaporkan

dan menindaklanjuti temuan yang ada baik itu near miss, unsafe act dan

unsafe condition.
Manajemen melibatkan sumber daya mencakup keseluruhan

manusia yang ada di dalam perusahaan yaitu mereka yang secara

keseluruhan terlibat dalam operasional perusahaan (Purnastuti and

Mustikawati, 2007). Oleh karena itu sumber daya manusia membuat

perencanaan dan melakukan proses untuk mencapai tujuan tersebut,

tanpa adanya sumber daya manusia maka tidak ada proses kerja maka

keterlibatannya dibutuhkan. Karena manusia merupakan sumber yang

penting, bervariasi dan terkadang menjadi masalah yang harus

digunakan oleh sebagian organisasi sampai tingkat yang lebih tinggi atau

lebih sedikit (Mathis and Jackson, 2006).


3. Metode
164

Metode yaitu cara untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam

rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan amat menentukan

kelancaran jalannya manajemen (Poerwanto, 2012). Untuk melakukan

kegiatan secara guna dan berhasil guna, manusia dihadapkan kepada

metode atau cara menjalankan pekerjaan tersebut sehingga cara yang

dilakukannya dapat menjadi sarana atau alat manajemen untuk mencapai

tujuan dengan efektif dan efisien (Purnastuti and Mustikawati, 2007).


Metode pelaporan yang dimiliki perusahaan berdasarkan hasil

wawancara penelitian dalam sistem pelaporan near miss, unsafe act, dan

unsafe condition adalah dengan cara melihat atau observasi, memantau,

mengkomunikasikan lalu membuat laporan. Dimana hal ini sesuai

dengan metode yang terdapat pada NEMIR system. Metode di dalam

mengumpulkan data near miss yaitu dengan reporting-based methods

dan observation-based methods. Reporting-based methods merupakan

metode yang melibatkan pegawai untuk melaporkan kejadian near miss

sebagai bagian dari pekerjaannya dalam mencegah terjadinya kecelakaan

di masa mendatang atau untuk melatih dirinya (McKinnon, 2012).


Sedangkan observation-based methods merupakan metode yang

melibatkan pegawai yang tidak hanya melaporkan namun melakukan

pengamatan terlebih dahulu untuk menyadari dan memahami tindakan

dan kondisi apa saja yang ada dalam mengurangi kecelakaan di tempat

kerja. (McKinnon, 2012). Program observasi atau pengamatan memiliki

tujuan untuk mencegah dan mengurangi kecelakaan serta mengenali

near miss, perilaku dan kondisi berisiko ditempat kerja (OSHA, 2013).

Oleh karena itu TWJO sudah menggunakan metode untuk pelaporan dan
165

investigasi terhadap non injury (loss-producing) accident dan near

misses dapat mengidentifikasi penyebab langsung dan penyebab dasar

dari kejadian dan merekomendasikan pencegahan.


Maka dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pelaporan yang

dimiliki TWJO, komponen tahap input berupa material perusahaan

sudah memiliki kebijakan K3 yang sesuai. Untuk standar perusahaan

belum sepenuhnya sesuai karena masih terdapat pemahamanan terkait

definisi near miss yang berbeda. Untuk form pelaporan near miss dan

unsafe condition sudah sesuai karena telah memiliki form dan format

pelaporan yang dibuat perusahaan sedangkan untuk form pelaporan

unsafe act nya belum ada.


Pada komponen input berupa SDM sudah sesuai dimana

manajemen melibatkan semua tingkatan organisasi untuk terlibat di

dalam sistem pelaporan yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang

berbeda-beda. Sedangkan pada komponen input lainnya berupa metode

pelaporan TWJO sudah sesuai dengan reporting-based methods dan

observation-based method NEMIR system bahwa metode yang

digunakan adalah dengan observasi, memantau, mengkomunikasikan

lalu membuat laporan.


D. Gambaran Tahap Proses dalam Sistem Pelaporan Near miss,
Unsafe Act dan Unsafe Condition MRTJ TWJO Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian tahap proses di dalam sistem

pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition TWJO terdiri dari

pelaksanaan pelaporan, pemantauan pelaksanaan pelaporan dan evaluasi

pelaksanaan pelaporan. Dimana proses merupakan elemen dari sistem


166

yang bekerja membentuk suatu aliran kegiatan dan cara kegiatan yang

dikoordinasikan dan saling terkait (Baglieri dkk., 2014).


1. Pelaksanaan Pelaporan
Pelaksanaan adalah suatu tindakan dari perencanaan yang

disusun secara matang dan terperinci yang dapat diartikan secara

sederhana sebagai penerapan. Pelaksanaan merupakan aktivitas atau

usaha-usaha yang dilaksanakan untuk melaksanakan semua rencana

yang telah ditetapkan dengan dilengkapi kebutuhan dan alat-alat yang

diperlukan, siapa yang melaksanakannya, dimana pelaksanaannya dan

bagaimana cara melaksanakannya (Sumerti, 2016).


Menerapkan kebijakan dan standar-standar K3 secara efektif

mengembangkan kemampuan dan mekanisme pendukung yang

diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran K3. Dimana suatu tempat

kerja dalam menerapkannya harus dapat mengintergrasikan sistem

manajemen perusahaan yang sudah ada (Pangkey, 2012). Sebelumnya

terdapat proses perencanaan yang mengacu pada komponen input dalam

sistem perusahaan kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan atau

penerapan melalui pengerahan semua sumber daya yang ada, melakukan

berbagai program K3 dan langkah pendukung untuk mencapai

keberhasilan (Riantiwi, 2012).


Berdasarkan hasil penelitian proses pelaksanaan terdiri dari

sistem pelaporan perusahaan, alur atau sistematika pelaporan, komitmen

perusahaan atau top manajemen terhadap sistem pelaporan, partisipasi

petugas, reward & punishment, sumber dan penyebab kejadian near

miss, unsafe act dan unsafe condition. Semua mutu pelaksanaan

pekerjaan terletak pada mutu para pekerjanya yang meliputi kepandaian,


167

kelihaian dan disiplin serta ketekunan (Wiharto and Bunawas, 2013). Di

dalam pelaksanaan pelaporan TWJO, sistem pelaporan yang dimiliki

perusahaan sudah baik dan sesuai dengan kebijakan dan standar yang

ada namun petugas yang terlibat dalam pelaporan belum maksimal,

banyak yang tidak melaporkan, reaktif, perlu diarahkan, diberi tahu dan

diingatkan. Apabila petugas yang terlibat tidak melaporkan maka tidak

dapat memperoleh laporan.


Alur dari sistem pelaporan yang dimiliki TWJO itu dimulai dari

petugas yang melihat bekerjasama dengan pelaksana konstruksi lalu di

kumpulkan ke admin untuk di input datanya setelah itu ke deputi dari

deputi ke manajer SHE lalu ke manajemen lainnya dan kembali ke divisi

konstruksi untuk ditindaklanjuti temuannya. Hal tersebut berdampak

pada kinerja pelaksanaan pelaporan. Kinerja merupakan tingkat

keberhasilan dalam melaksanakan tugasnya dengan mencapai standar

hasil kerja, target, sasaran atau kriteria yang telah disepakati bersama.

Apabila perusahaan selalu memperhatikan faktor keselamatan dan

kesehatan kerja, maka kinerja karyawan akan meningkat (Ilfani and

Nugraheni, 2013). Penilaian terhadap kinerja yang dilakukan dapat

menjadi sumber informasi dan pengembangan di perusahaan (Mathis

and Jackson, 2006)


Pelaporan merupakan proses atau cara memberitahukan untuk

memperoleh laporan (KBBI, 2015). Selain itu, melaporkan semua kejadian

yang tidak diinginkan seperti near miss merupakan aspek yang paling penting

dari setiap program keselamatan. Semakin banyak near miss yang dilaporkan

maka semakin banyak kesempatan untuk menyelidiki, mengidentifikasi dan

memperbaiki akar penyebab sebelum kerugian serius terjadi (McKinnon,


168

2012). Karena sejauh ini temuan sumber dan kejadian near miss dalam

pelaksanaan pelaporan di TWJO berasal dari kelalaian, kesalahan dan

perilaku manusia atau pekerjanya, serta yang kedua yaitu kondisi tidak

aman di lingkungan kerjanya. Berkaitan dengan temuan tersebut untuk

dapat membuat laporan nantinya, ketekunan dari petugas yang terlibat

amat sangat diperlukan.


Sesuai dengan penjelasan diatas pelaksanaan pelaporan juga

membutuhkan komitmen dari pihak manajemen. Berdasarkan hasil

penelitian komitmen dari manajemen perusahaan mendukung penuh

divisi SHE namun terkadang masih juga terdapat ketakutan manajemen.

Komitmen perusahaan yang yakin dan menerima tujuan organisasi akan

tetap bersama organisasi tersebut untuk mengembangkan dalam

mencapai tujuan organisasinya (Mathis and Jackson, 2006).


Bentuk komitmen dari top manajemen TWJO yaitu salah satunya

dengan menerapkan kebijakan reward and punishment yang

diberlakukan oleh perusahaan baru diterapkan berupa sanksi teguran,

administrasi dan denda berupa pemotongan gaji pada setiap level

pekerjaan namun untuk reward nya belum ada pemberlakuannya dari

manajemen masih berupa inisiatif dari individu atau divisi SHE saja.

Menurut Nurmiyati (2011) sanksi atau punishment adalah hukuman yang

diberikan karena adanya pelanggaran terhadap aturan yang berlaku dapat

berupa teguran, surat peringatan, skorsing dan bahkan pemberhentian

hubungan kerja. Sedangkan reward dapat diartikan sebagai ganjaran,

hadiah, upah atas nilai-nilai usaha keterampilan, kompetensi dan

tanggung jawab terhadap organisasi.


169

Tujuan diberikannya sanksi adalah agar karyawan lebih giat dan

berusaha maksimal dalam melakukan pekerjaannya dan tidak

mengulangi hal yang serupa. Selain itu, pemberian reward atau

penghargaan kepada karyawan akan memberikan motivasi kepada

karyawan untuk lebih meningkatkan produktivitas dalam bekerja

(Nurmiyati, 2011) Menurut McKinnon (2012) jika manajemen

menginginkan sistem pelaporan dapat berjalan dan berkontribusi dengan

baik maka mekanisme pelaporan sebaiknya diberlakukan punishment

apabila tidak melaporkan dan begitu pula sebaliknya akan diberikan

reward bila dilaporkan dengan baik. Maka kedua hal tersebut diharapkan

dapat meningkatkan kinerja karyawan.


2. Pemantauan Pelaksanaan Pelaporan
Sistem tata kerja harus di monitor secara berkala untuk

memastikan dan menjamin bahwa organisasi bergerak ke arah tujuannya

sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan (Tathagati, 2015). Fungsi

pengawasan dalam setiap organisasi sangat penting untuk menjamin

terselenggaranya pekerjaan dan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan

sebelumnya. Pengawasan dapat dianggap sebagai aktivitas untuk

menemukan, mengoreksi penyimpangan-penyimpangan penting dalam

hasil yang dicapai dari aktivitas-aktivitas yang direncanakan (Budiharto,

2008).
Berdasarkan hasil wawancara penelitian dalam tahap proses

bentuk pemantauan pelaksanaan pelaporan yang dilakukan oleh TWJO

yaitu berupa inspeksi. Inspeksi adalah kegiatan yang berupaya untuk

mendeteksi dini dan mengoreksi adanya potensi bahaya ditempat kerja.

Dimana inspeksi merupakan suatu cara terbaik untuk menemukan


170

masalah-masalah dan menilai risikonya sebelum kerugian atau

kecelakaan dan penyakit akibat kerja benar-benar terjadi. Karena, bukan

ditujukan untuk mencari kesalahan orang melainkan untuk menemukan

dan menentukan lokasi bahaya potensial yang dapat mengakibatkan

kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Sahab, 1997).


Pemantauan atau inspeksi di TWJO di lakukan oleh top

manajemen, konsultan dan owner. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

menyatakan bahwa dalam memantau kinerja K3 pihak K3 dan

manajemen perusahaan melakukan inspeksi ke seluruh area perusahaan,

dimana inspeksi ini difokuskan pada penerapan SMK3 di perusahaan,

bahaya kecelakaan kerja baik dari pekerja, peralatan maupun lingkungan

(Pangkey, 2012). Karena semakin besar risiko maka akan semakin

banyak diperlukannya kontrol terhadap pekerjaan yang dilakukan

(Rijanto, 2010).
3. Evaluasi Pelaksanaan Pelaporan
Evaluasi adalah salah satu tahap penting dalam manajemen yang

berguna untuk memberikan feed-back atas pelaksanaan suatu kegiatan

yang telah direncanakan agar pelaksanaan tersebut tetap berada pada

jalur yang telah ditetapkan. Karena itu, manajemen perlu melakukan

evaluasi secara rutin, berkesinambungan dan tegas (Umar, 2002). Untuk

meningkatkan kinerja perusahaan ke arah yang lebih baik, suatu sistem

harus dievaluasi berkala. Cara evaluasi yang efektif dilakukan oleh pihak

internal perusahaan atau pihak eksternal (Tathagati, 2015). Berdasarkan

hasil penelitian evaluasi biasanya dilakukan oleh TWJO yaitu pada rapat

mingguan, rapat bulanan, rapat lain SHE dengan membahas temuan-


171

temuan dan didukung dengan hasil observasi yang dilakukan baik

dengan pihak TWJO maupun eksternal.


Hasil evaluasi tersebut kemudian akan ditindaklanjuti oleh pihak-

pihak yang terlibat pada hasil temuan yang ditemukan. Hal ini sejalan

dengan pemantauan yang telah dilakukan, dimana tidak akan bermanfaat

apabila tidak disertai dengan tindak lanjut maupun perbaikan (Candra,

2009). Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 juga

menyatakan bahwa tindakan perbaikan dari hasil laporan inspeksi

dipantau untuk menentukan efektifitasnya (Republik Indonesia, 2012).

Karena proses evaluasi ini berguna untuk mengetahui keberhasilan

penerapan SMK3, melakukan identifikasi tindakan perbaikan, mengukur,

memantau dan mengevaluasi kinerja SMK3 (Nujhani and Juliantina,

2013).
Hambatan dapat terjadi didalam pelaksanaan suatu sistem. Di

dalam mengevaluasi perlu diperhatikan hambatan-hambatan yang

dirasakan oleh petugas yang terlibat di dalam pelaksanaan pelaporan

karena sistem tidak selalu berjalan dengan mulus. Hambatan yang

mungkin terjadi salah satunya adalah hambatan personal. Hambatan

personal adalah hambatan yang muncul dari anggota organisasi baik

secara personal maupun kelompok. Hambatan personal terjadi

dikarenakan individu tidak memiliki kemampuan untuk mengikuti

perubahan, tidak memiliki motivasi untuk berkembang atau berubah dan

adanya kepentingan atau keuntungan pribadi akibat kelemahan sistem

(Tathagati, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian pada dasarnya hambatan yang

dirasakan diantaranya adalah karena komunikasi yang tidak lancar,


172

kompetensi K3 yang kurang, ketidakdisiplinan dan ketidakterbukaan

petugas yang melaksanakan, rekan kerja yang masih reaktif dan tindak

lanjutnya kurang, serta pertentangan dengan divisi yang melaksanakan

pekerjaan. Jadi, hambatan yang terjadi di TWJO merupakan hambatan

personal.
Maka dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pelaporan yang

dimiliki TWJO, proses pelaksanaan pelaporannya memiliki sistem yang

sudah baik sesuai dengan kebijakan dan standar K3 perusahaan dimana

alur pelaporannya dimulai dari petugas lalu di kumpulkan ke admin

setelah itu ke deputi lalu ke manajer SHE dan ke manajemen lainnya dan

kembali untuk ditindaklanjuti temuannya sesuai dengan lingkup

pekerjaannya.
Sejauh ini, pelaksanaan pelaporan mendapatkan dukungan penuh

dari top manajemen dengan kebijakan punishment yang diberlakukan

perusahaan namun belum diberlakukannya reward. Sedangkan untuk

proses pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pelaporan, perusahaan

telah melaksanakan hal tersebut dengan melakukan inspeksi dan

mengadakan pertemuan dengan pihak internal maupun eksternal untuk

memantau, mengevaluasi, menindaklanjuti berbagai hasil temuan yang

diperoleh dilapangan dan mengetahui hambatan didalam proses

pelaksanaan pelaporan TWJO yang sebagian besar merupakan hambatan

personal.

E. Gambaran Output dalam Sistem Pelaporan Near miss, Unsafe Act


dan Unsafe Condition MRTJ TWJO Tahun 2016
173

Output yaitu hasil dari input yang telah diproses oleh bagian

pengolah dan merupakan tujuan akhir sistem, output merupakan barang

dan jasa yang dihasilkan. Outcome dapat diperoleh berkaitan dengan

output yang dihasilkan untuk perkembangan dari waktu ke waktu secara

berkelanjutan (Baglieri dkk., 2014). Berdasarkan hasil penelitian, output di

dalam sistem pelaporan near miss, unsafe act dan unsafe condition TWJO

yaitu berupa laporan near miss, laporan unsafe act, laporan unsafe

condition dan juga laporan kecelakaan kerja.


Output yang dilaporkan kepada konsultan selama pelaporan yang

berjalan selama 4 bulan di tahun 2016, untuk hasil laporan near miss ini

masih sangatlah minim. dan faktor penyebab dari kejadian near miss yang

dilaporkan pada perusahaan adalah diakibatkan oleh unsafe act. Untuk

laporan unsafe act tidak dapat diketahui berapa jumlah atau persentasenya,

hanya dilaporkan dan ditindaklanjuti secara langsung saat di lapangan

tanpa adanya bukti temuan yang di record. Sedangkan untuk laporan

unsafe condition jumlah atau persentasenya pada laporan bulanan juga

belum ada hanya berupa lampiran.


Melaporkan semua kejadian yang tidak diinginkan seperti near

miss merupakan aspek yang paling penting dari setiap program

keselamatan (McKinnon, 2012). Dimana laporan adalah segala sesuatu

yang dilaporkan; berita. Laporan berkala merupakan laporan rutin yang

diberikan secara berkala (KBBI, 2015). Semakin banyak near miss yang

dilaporkan maka semakin banyak kesempatan untuk menyelidiki,

mengidentifikasi dan memperbaiki akar penyebab sebelum kerugian serius

terjadi. Berdasarkan perspektif safety management, tujuan spesifik di


174

dalam mengumpulkan dan menganalisis data near miss yaitu untuk

mengidentifikasi faktor kemungkinan atau elemen sistem yang dapat

menimbulkan kejadian near miss maupun sebagai prekursor kecelakaan

kerja di masa mendatang (McKinnon, 2012).


Menurut McKinnon (2012) semua kecelakaan dapat dicegah

merupakan prinsip dasar ilmu K3. Karena semua kecelakaan ada

penyebabnya maka penyebab tersebut dapat dihilangkan sehingga

kecelakaan tidak terjadi. Tujuan utama penerapan sistem manajemen K3

adalah untuk mengurangi atau mencegah kecelakaan yang mengakibatkan

cidera atau kerugian materi.


Di dalam accident/near miss incident ratio, high risk unsafe

condition atau unsafe act atau kombinasi dari keduanya yang dapat

menyebabkan terjadinya kerugian. Mengingat bahwa setiap kecelakaan

kerja yang dilaporkan, setiap cidera yang tercatat atau kerugian yang

terjadi terdapat banyak kejadian near miss yang tidak tercatat (McKinnon,

2012). Sejalan dengan hal tersebut identifikasi dan penilaian bahaya

dimana hasil dari identifikasi bahaya-bahaya dengan program yang

ditetapkan oleh perusahaan harus dilaporkan (OSHA, 2013).


Maka dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pelaporan yang

dimiliki TWJO, output yang dihasilkan belum sepenuhnya tercatat dan

terekam (di record) dengan baik dikarenakan masih terdapat kejadian-

kejadian yang tidak dilaporkan baik itu near miss, unsafe act maupun

unsafe condition dalam laporan. Karena kenyataannya semua kecelakaan

kerja yang terjadi faktor penyebabnya berasal dari kejadian near miss,

unsafe act maupun unsafe condition yang dapat diketahui, ditindaklanjuti


175

berdasarkan data-data yang diperoleh pada laporan yang tercatat dan

dilaporkan di perusahaan.

You might also like