You are on page 1of 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS PARU

2.1.1 Definisi

Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil

Mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan

bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru

melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus

primer dari ghon (Hood, 2005)

Tuberkulosis pulmoner adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang

parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis (Smeltzer &

Bare, 2001).

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis, yang dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah (Price &

Wilson, 1994).

Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabakan oleh mycobacterium

tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer, 2005)

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi tuberculosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan kelainan

klinis, radiologis dan mikrobiologis :

a. Tuberkulosis paru
1) BTA mikroskopik langsung (+) atau biakan (+) , tetapi kelinan foto thoraks

menyokong TB, dan gejala klinis sesuai TB

2) BTA mikroskopik langsung atau biakan (-), tetapi kelainan rontgen dan klinis

sesuai TB dan memberikan perbaikan pada pengobatan awal anti TB (initial

therapy). Pasien golongan ini memerlukan pengobatan yang adekuat.

b. Bekas tuberculosis paru

Ada riwayat TB pada pasien di masaa lalu dengan atau tanpa pengobatan atu

gambaran rontgen normal atau abnormal tetapi stabil pada foto serial dan sputum BTA

(-). Kelompok ini tidak perlu diobati.

c. Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam :

1) TB paru tersangka yang diobati (sputum BTA negatif, tapi tanda-tanda lain

positif)

2) TB paru tersangka yang tidak diobati (sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain

meragukan) (Mansjoer, 2005)

2.1.3 Penyebab dan Faktor resiko

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 4 m dan tebal 0,3 0,6 m dan

digolongkan dalam basil tahan asam (BTA) (Suyono 2001). Individu yang beresiko untuk

tertular tuberculosis adalah:


a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai Tubekulosa

aktif

b. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang

dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang menderita HIV)

c. Penggunaan obat-obat IV dan alkoholik

d. Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma, tahanan,

etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak di bawah usia 15 tahun dan dewasa

muda)

e. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (diabetes,

gagal ginjal kronik, silikosis dll)

f. Petugas kesehatan (Smeltzer & Bare, 2001).

2.1.4 Patofisiologi

Penyebaran kuman Mikrobacterium tuberkolusis bisa masuk melalui tiga tempat

yaitu saluran pernafasan , saluran pencernaan dan adanya luka yang terbuka pada kulit.

Infeksi kuman ini sering terjadi melalui udara ( airbone ) yang cara penularannya dengan

inhalasi droplet yang mengandung kuman dari orang yang terinfeksi sebelumnya .

TB adalah penyakit yang dikendalikan oleh sistem imunitas diperantarai oleh sel.

Sel efektor adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsi. Tipe

imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat
infeksi oleh limfosit dan limfokinya. Respon ini disebut sebagai reaksi

hipersentivitasselular.

Basil tuberkolusis yang bisa mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi

sebagai suatu unit yang terdiri dari 1-3 basil. Dengan adanya basil yang mencapai ruang

alveolus, ini terjadi dibawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, maka

hal ini bisa membangkitkan reaksi peradangan. Berkembangnya leukosit pada hari hari

pertama ini di gantikan oleh makrofag.Pada alveoli yang terserang mengalami

konsolidasi dan menimbulkan tanda dan gejala pneumonia akut. Basil ini juga dapat

menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional, sehingga

makrofag yang mengadakan infiltrasi akan menjadi lebih panjang dan yang sebagian

bersatu membentuk sel tuberkel epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit,proses tersebut

membutuhkan waktu 10-20 hari.

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relative padat dan seperti

keju disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan

granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon

berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk jaringan parut kolagenosa

yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.

Bila terjadi lesi primer paru yang biasanya disebut fokus ghon dan bergabungnya

serangan kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon.

Kompleks ghon yang mengalami pencampuran ini juga dapat diketahui pada orang sehat

yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.

Respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan

cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas.Pada proses ini akan dapat terulang
kembali dibagian selain paru-paru ataupun basil dapat terbawa sampai ke laring ,telinga

tengah atau usus.

Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa

adanya pengobatan dan dapat meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan

mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat

dengan perbatasan bronkus rongga.

Bahan perkijauan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran

penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijauan dan lesi mirip dengan lesi

berkapsul yang tidak lepas.Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu

lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan

aktif.

Pada permulaan penyebaran akan terjadi beberapa kemungkinan yang bisa

muncul yaitu penyebaran limfohematogen yang dapat menyebar melewati getah bening

atau pembuluh darah. Kejadian ini dapat meloloskan kuman dari kelenjar getah bening

dan menuju aliran darah dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan lesi pada organ

tubuh yang lain. (Price, 2005)

2.1.5. Gejala Klinis

Gambaran klinis tuberculosis mungkin belum muncul pada infeksi awal dan

mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif.bila timbul infeksi aktif

klien biasanya memperlihatkan gejala :

a. Batuk
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-poduk radang keluar.

Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk

baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yaknbi setelah

berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai

dari batuk kering kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif.

Keadaan yang lebih lanjut adalah berupa batuk darah karena erdapat pembuluh

darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada ulkus dinding bronkus.

b. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang

panas panas badan dapat mencapai 40-14C. Serangan demam pertama dapat

sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya

hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah

terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh dya

tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.

c. Sesak nafas

Pada penyakit ringan belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan

ditemukan pada penyakit yang sudah meliputi setengah bagian paru-paru.


d. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang

sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua

pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya.

e. Kelelahan

Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise

sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu maka, berat badan makin

kurus, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise ini makin lama

makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. (sudoyo, 2006)

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis TBC paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan

ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil

pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS

BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan

pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS

diulang.

a. Kalau hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis

sebagai penderita TBC BTA positif.


b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak

SPS diulangi.

c. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif.

d. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,

untuk mendukung TBC, didiagnosis TBC.

e. Bila hasil rontgen mendukung TBC, didiagnosis sebagai penderita TBC

BTA negatif rontgen positif

f. Bila hasil rontgen tidak mendukung TBC, penderita tersebut bukan

TBC.

1.2.7. Pemantauan Kemajuan hasil pengobatan TBC

Pemantauan kemajuan hasil pengobatan dilakasanakan dengan pemeriksaan ulang

secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan

dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap

Darah (LED) tidak dapat dipakai untuk memantau kemajuan pengobatan. Untuk

memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali

(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut

negatif. Bila salah asatu spesimen positif, maka hasil pemerikasaan ulang dahak tersebut

dinyatakan positif. Pemeriksaan ulang dahak untuk mementau kemajuan pengobatan

dilakukan pada :

a. Akhir tahap intensif


Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 2 pengobatan penderita baru BTA positif

dengan kategori 1, atau semunggu sebelum akhir bulan ke 3 pengobatan ulang

penderita BTA positif dengan kategori 2. Pemeriksaan dahak pada akhir tahap intensif

dilakukan untuk mengetahui apakah telah terjadi konversi dahak, yaitu perubahan

BTA positif menjadi negatif.

1) Pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1:

Akhir bulan ke 2 pengobatan sebagian besar (seharusnya 80 %) dari penderita

sudah BTA negatif (konversi). Penderita ini dapat meneruskan pengobatan dendan

tahap lanjutan. Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 2 hasilnya

masih BTA positif, pengobatan diteruskan dengan OAT sisispan selam 1 bulan.

Setelah peket sisipan satu selesai, dahak diperikasa kembali. Pengobatan tahap

lanjutan tetap diberikan meskipun hasil pemerikasaan ulang dahak BTA masih

tetap positif.

2) Pengobatan ulang penderita BTA positif dengan ketegori 2:

Jika pemeriksaan ulang dahak pada akhir bulan ke 3 masih positif, tahap

intensif harus diteruskan lagi, selama 1 bulan dengan OAT sisipan. Setelah satu

bulan diberi sisipan dahak diperiksa kembali. Pengobatan tahap lanjutan tetap

diberikan meskipun hasil pemeriksaan dahak ulang BTA masih positif. Bila

memungkinkan spesimen dahak penderita dikirim untuk dilakukan biakan dan uji

kepekaan obat (sensitivity test). Sementara pemeriksaan dilakukan, penderita

meneruskan pengobatan tahap lanjutan. Bila hasil uji kepekaan obat menunjukam

bahwa kuman sudah resisten terhadap 2 atau lebih OAT, maka penderita dirujuk
ke unit pelayanan spesialistik yang dapat menangani kasus resisten. Bila tidak

mungkin, maka pengobatan dengan tahap lanjutan diteruskan sampai selesai.

3) Pengobatan penderita BTA negatif hasil Rontgen positif dengan ketegori 3

(ringan) atau 1 (berat):

Penderita TBC paru BTA negatif, rontgen positif, baik dengan pengobatan

ketegori 3 (ringan) atau kategori 1 (berat), tetap dilakukan pemeriksaan ulang

dahak pada tahap akhir bulan ke dua. Bila hasil pemeriksaan ulang dahak BTA

positif, maka ada 2 kemungkinan :

a) Suatu kekeliruan pada pemeriksaan pertama (pada saat diagnosis sebenarnya

adalah BTA positif tapi dilaporkan sebagai BTA negatif.

b) Penderita berobat tidak teratur

b. Sebulan sebelum akhir pengobatan

Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5 pengobatan penderita baru BTA

positif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan ulang

penderita BTA positif kategori 2.

c. Akhir Pengobatan

Dilakukan seminggu akhir bulan ke 6 pengobatan pada penderita baru BTA

posistif dengan kategori 1, atau seminggu sebelum akhir bulan ke 8 pengobatan ulang

BTA positif, dengan kategori 2.Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir

pengobatan dan akhir pengobatan (AP) bertujuan untuk menilai hasil pengobatan

(sembuh, atau gagal).Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah

menyelesaikanpengobatannya secra lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak (follow up)


paling sedikit 2 kali berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP dan/atau sebulan

sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya)

2.1.8 Hasil pengobatan dan tindak lanjut

Hasil pengobatan seorang penderita dapat diketegorikan sebagai: Sembuh,

Pengobatan Lengkap, Meninggal, Pindah (Transfer Out), Defaulter (lalai)/DO dan Gagal.

a. Sembuh1

Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan

pengobatannya secra lengkap, dan pemeriksaan ulang dahak (follow up)

paling sedikit 2 kali berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP dan/atau

sebulan sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow up sebelumnya)..

b. Pengobatan Lengkap

Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap

tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali bertirut-turut negatif. Tindak

lanjut: penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan

diri dengan prosedur tetap.

c. Meninggal

Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal

karena sebab apapun.

d. Pindah

Adalah penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten/kota lain.

Tindak Lanjut: penderita yang ingin pindah, dibuatkan surat pindah dan bersama
sisa obat dikirim ke UPK yang baru. Hasil pengobatn penderita dikirim ke UPK

asal, dengan formulir.

e. Defaulted atau Drop Out

Adalah penderita yang tidak mengamabil obat selam 2 bulan berturut-turut

atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Tindak lanjut: lacak penderita

tersebut dan diberi penyuluhan pentingnya berobat secra teratur. Apabila penderita

akan melanjutkan pengobatan, lakukan pemeriksaan dahak. Bila positif mulai

pengobatan dengan kategori 2, bila negatif sisa pengobatan kategori 1 dilanjutkan.

f. Gagal

Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pda satu bulan sebelum akhir pengobatan atau akhir

pengobatan. Tindak lanjut: Penderita BTA positif baru dengan kategori 1

diberikan kategori 2 mulai dari awal. Penderita BTA positif pengobatan ulang

dengan kategori 2 dirujuk ke UPK spesialistik atau INH seumur hidup

2.2 HUBUNGAN KEPATUHAN MINUM OBAT TERHADAP KEBERHASILAN

PENGOBATAN

2.2.1 Kepatuhan minum obat

1) Pengertian

Kepatuhan minum obat (medication compliance) adalah mengkonsumsi

obat-obatan yang diresepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat. Pengobatan
hanya akan efektif apabila penderita mematuhi aturan dalam penggunaan obat

(Kusbiyantoro, 2002).

Kepatuhan dalam pengobatan TB adalah keteraturan penderita TB dalam

mengikuti tata cara tahapan prosese pengobatan. Tata cara tahapan pengobatan

didasarkan aturan atau regimen pengobatan yang telah ditetapkan dalam buku

petunjuk pengobatan ke dalam kategori patuh dan tidak patuh (PLP, 2000)

2) Faktor-faktor Kepatuhan minum obat

Menurut penelitian Kartini (2001), ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

tingkat kepatuhan seseorang untuk meminum obat, yaitu antara lain:

a) Usia

Dalam beberapa penelitian telah disebutkan bahwa pada beberapa

tingkatan usia menentukan kepatuhan terhadap sesuatu yang harus

dilakukan sesuai dengan peraturan yang telah dibuat. Dalam hal ini

kepatuhan minum obat pun dapat dikaitkan dengan usia, sebagai contoh

untuk usia yang kurang dari 5 tahun kepatuhan minum obat untuk suatu

penyakit akan lebih sulit dibandingkan dengan orang yang lebih dewasa.

Begitu pun pada seseorang yang mempunyai usia lanjut akan mempunyai

kesulitan dalam kepatuhan meminum obat.

b) Pekerjaan dan waktu luang

Suatu aktivitas rutin pada seseorang memungkinkan untuk

menghabiskan waktu dengan pekerjaannya sehingga waktu luangnya pun


terbatas. Bagi seseorang yang termasuk sibuk dalam pekerjaannya akan

sangat sulit untuk meluangkan waktu, walaupun sekedar untuk meminum

obatnya sendiri. Hal ini akan berbeda dengan seseorang dengan pekerjaan

yang mempunyai waktu luang yang cukup akan memungkingkan untuk

lebih teratur dalam meminum obat sesuai waktunya.

c) Pengawasan

Pengawasan adalah tindakan untuk memperhatikan dan melihat

bagaimana suatu peraturan yang berlaku tersebut dijalankan atau tidak.

Pada kepatuhan minum obat, pengawasan dapat dilakukan oleh petugas

kesehatan atau keluarga dari pasien yang menderita sakit. Pengawasan

tersebut dapat berupa peringatan atau anjuran untuk selalu mematuhi

waktu dan dosis yang telah dianjurkan untuk meminum obat tersebut

d) Jenis dan dosis obat

Jenis dan dosis obat pada seseorang menderita suatu penyakit akan

berbeda dalam jenis dan dosisnya, semakin parah suatu penyakit pada

seseorang makan jenis dan dosisnya akan semakin banyak atau besar.

Banyaknya jenis obat untuk diminum dalam suatu waktu akan

mengakibatkan seseorang sulit untuk mematuhi minum obat tersebut

dengan berbagai alasan.

e) Penyuluhan petugas kesehatan

Penyuluhan dari petugas kesehatan dalam mengatur waktu, jenis

dan dosis obat merupakan faktor dari luar diri si penderita. Penyuluhan

bertujuan untuk meyakinkan dan menambah wawasan penderita untuk


mematuhi aturan meminum obat yang telah diberikan. Dengan adanya

penyuluhan diharapkan dapat memberikan dukungan dan motivasi yang

positif bagi penderita untuk segera sembuh dari penyakitnya, dengan patuh

terhadap aturan minum obatnya.

3) Jenis kepatuhan minum obat

Kepatuhan penderita dapat dibedakan menjadi:

a) Kepatuhan penuh
Pada keadaan ini penderita tidak hanya berobat secara teratur

sesuai batas waktu yang ditetapkan melainkan juga patuh memakai

obat secara teratur sesuai petunjuk dan rutin memeriksakan kesehatan

ke pelayanan kesehatan.
b) Penderita yang sama sekali tidak patuh
Yaitu penderita yang putus berobat atau tidak menggunakan obat

sama sekali.

4) Hubungan kepatuhan minum obat dengan kesembuhan pengobatan

Penyebab kegagalan pengobatan tuberculosis adalah ketidak patuhan

minum obat, penggunaan obat hanya 1 macam obat, dosis awal yang kurang tepat

serta terjadi resistensi.

Keteraturan minum obat menurut penelitian Fitri meliiana (2008) di ukur

sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah di tetapkan yaitu: patuh bila

dengan pengobatan lengkap sampai selesai dalam jangka waktu pengobatan

selama 6 bulan. Keteraturan pengobatan apabila lebih dari mean atau median

maka akan mempengaruhi penyembuhan OAT harus diminum secara teratur

sesuai jadwal. Terutama pada fase awal guna menghindari terjadinya kegagalan
pengobatan serta terjadinya kekambuhan. Tidak patuh bila penderita lalai dalam

meminum obat selama fase pengobatan selama 6 bulan

2.3 KERANGKA KONSEP

Kerangka teori merupakan gambaran dari teori dimana suatu problem riset berasal atau

dikaitkan.

Gambar 2.2 Kerangka teori

Faktor - faktor yang Kesembuhan pasien


mempengaruhi
kepatuhan minum
obat TB
usia Sembuh
Pekerjaan atau Pengobatan
waktu luang Lengkap
Pengawasan Meninggal
Jenis & dosis obat Pindah
Penyuluhan Defaulted atau
petugas Drop Out
Gagal
2.4 KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep dalam suatu penelitian adalah kerangkayang berhubungan antara

konsep-konsep yang akan diteliti atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.

Faktor-faktor
yang
mempengaruhi Kesembuhan
kepatuhan
minum obat TB
2.5 HIPOTESA

Ha : Ada hubungan kepatuhan minum obat TB dengan kesembuhan pasien

H0: Tidak ada hubungan kepatuhan minum obat TB dengan kesembuhan pasien

You might also like