Professional Documents
Culture Documents
Oleh
1)
Yustinus Adityawan Herlambang *, Anggraini Arumsari 1), Widyastuti Nurcahyati 1)
*
killrockforfun@yahoo.co.id
1)
Undergraduate Student of Environmental Geography Department
Geography Faculty
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2010
ABSTRACT
This research was carried out at Kayangan Catchmen, Kulon Progo Regency, Yogyakarta Special
1) 2)
Region. The aims of this research are to know land capabilities and to know land sustainability for road
allocation in Kayangan Catchmen. In this research, the authors ware used environmental geomorphology
approach, which it will be correlated with determining land capability and suitability methods for road
allocation. In the determining of land capability and suitability, the authors used matching-aritmatic-
subjective methods, where it will be analyze using qualitative-quantitative analysis and spatial distribution
analysis. The data in this research was secondary data which it was collected from many previous researchs.
Land capability in research area can be divided into 5 classes, that are I, II, III, IV,and V. Land
Capability for I, II, III classes are used for farm and agriculture with any kind of utilization and management,
where the utilization and management of these areas are adapting with biogeophysical conditions. Whereas,
land capability for IV and V classes, need more extensive management. It was because destructive
geomorphological processes such as landslide and erosion. Land suitability for road allocation this research
area can be divided into 3 suitability phases, that are S1 (very suitability), S2 (enough suitability), and N (not
suitability). Classification for S2 (enough suitability) and N (not suitability) phases divisible based land
limination factors such as soil depth, slope inclination, mass wasting, and soil elasticity.
Based this result, needed integrated and interrelated planning between local government, private
party, province and regency institute (ex: Public Work Department), civitas academica (geology, geography,
geodecy, civil engineering), and local society to make alternative decisions both in technical and practical
decisions.
Key words : environmental geomorphology, land capability and suitability, road allocation.
1
1. Pendahuluan
Geomorfologi merupakan ilmu yang mendeskripsikan (secara genetis)
bentuklahan dan proses-proses yang mengakibatkan terbentuknya bentuklahan
tersebut serta mencari hubungan antara bentuklahan dan proses-proses dalam
susunan keruangan ( Zuidam dan Cancelado, 1979). Objek kajian dari
geomorfologi ialah bentuklahan yang ada dipermukaan bumi baik yang berada
diatas maupun dibawah permukaan airlaut. Bentuklahan dapat didefinisikan
sebagai bagian dari permukaan bumi yang mempunyai bentuk yang khas sebagai
akibat dari proses dan struktur selama periode tertentu (Dibyosaputro, 1997).
Lahan merupakan suatu integrasi yang terpadu antara aspek biofisik dan
aspek sosial. Aspek biofisik yang terkandung dalam lahan dapat diperinci sebagai
berikut: iklim, bentuklahan, hidrologi, proses geomorfologi, tanah, vegetasi, flora
dan fauna. Sedangkan aspek sosial disini, berarti menekankan pada aktivitas
manusia yang secara tidak langsung akan berpengaruh maupun diperngaruhi oleh
aspek biofisik.
Karakteristik lahan di suatu daerah tentunya akan berbeda dengan
karakteristik lahan di daerah lainnya. Perbedaan karakteristik tersebut diakibatkan
adanya faktor-faktor yang berpengaruh didalamnya. Integrasi antara media
geomorfologi yang terjadi dengan kondisi klimatologi berpengaruh terhadap
proses geomorfologi baik dalam berbagai bentuk dan intensitasnya. Proses
geomorfologi yang terjadi baik yang terjadi saat ini maupun masa lampau turut
berpengaruh terhadap genesa pembentukan daerah kajian serta perkembangannya.
Adanya perbedaan karakteristik lahan yang ada pada daerah kajian
tentunya akan berpengaruh terhadap tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan
untuk berbagai peruntukannya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya proses evaluasi.
FAO (1984) menyatakan bahwa dasar dari proses evaluasi lahan ialah untuk
membandingkan penggunaan lahan dan lahan.
2
Lahan merupakan segala aspek dari sumberdaya alam yang dapat
dipengaruhi dan digunakan oleh manusia baik meliputi iklim, tanah, bentuklahan,
vegetasi, dan sumberdaya air. Dalam proses perencanaan pembangunan daerah,
khususnya yang berbasis pada pengembangan Daerah Aliran Sungai tentunya
diperlukan adanya suatu intergrasi yang menyeluruh baik proses perencanaan,
pengembangan, pemanfaatan, dan pengelolaan.
Tipe Pemanfaatan
Lahan Unit Lahan
INPUT OUTPUT
Persyaratan
Pemanfaatan Lahan Kualitas Lahan
Jalan merupakan salah satu bentuk dari sarana infrastuktur yang memiliki
nilai yang cukup penting dalam pembangunan suatu daerah. Keberadaannya
secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kondisi sosial-ekonomi
masyarakat yang berada di daerah kajian. Adanya berbagai proses geomorfologi
yang bersifat destruktif yang terjadi di daerah penelitian menyebabkan sarana
jalan menjadi bersifat rentan terhadap bencana.
Geomorfologi lingkungan dapat didefinisikan sebagai suatu objek kajian
dari ilmu bumi yang mengaitkan keterkaitan hubungan antara manusia dan
lingkungan yang ditinjau dari segi geomorfologisnya (Panizza, 1996). Coates
(1972) dalam Panizza (1996) menyatakan bahwa dalam kajian geomorfologi
lingkungan terdapat 4 tema yang menjadi pokok bahasan dalam keterkaitannya
dengan hubungan manusia dan lingkungan. Berdasararkan keempat tema tersebut,
3
dapat disimpulkan bahwa dalam kajian geomorfologi lingkungan terdapat 2 aspek
kajian yaitu mengenai geomorfologi sumberdaya dan geomorfologi bencana.
Hubungan antara kondisi lingkungan geomorfologi dan manusia dapat dilihat
pada Gambar 2.
Geomorphological
Environment
Passive Active
Geomorphologic Geomorphological
al Resources Hazards
IMPACT RISK
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, perumusan masalah yang akan dikaji dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakan kondisi kemampuan lahan di area kajian ?
2. Bagaimanakah kondisi kesesuaian lahan untuk peruntukan sarana
jalan yang terdapat di area kajian ?
4
3. Tujuan
Tujuan dari tulisan ini ialah (1) mengetahui kondisi kemampuan lahan, dan
(2)
untuk mengetahui kondisi kesesuaian lahan untuk peruntukan sarana jalan di
daerah penelitian.
4. Metode Penelitian
Evaluasi sumberdaya lahan merupakan dasar dalam perencanaan
penggunaan lahan yang menyajikan alternatif penggunaan lahan dan
perubahannya, amat penting dalam pengembangan wilayah (Woroprojo, 2008).
Dalam evaluasi suatu sumberdaya lahan di suatu wilayah, terdapat 6 kajian yaitu
1) karakteristik lahan, 2) kemampuan lahan, 3) faktor pembatas, 4) kesesuaian
lahan, 5) upaya perbaikan, 6) arahan pemanfaatan.
Evaluasi lahan yang akan dikaji dalam tulisan ini terdiri dari karakteristik
lahan, kemampuan lahan, kesesuaian lahan, dan faktor pembatas. Kemampuan
lahan ialah kondisi daya dukung suatu lahan yang aspek karakteristik biofisik
yang nantinya dapat digunakan untuk berbagai pemanfaatan. Jenis kemampuan
lahan yang digunakan memiliki banyak variasi antara lain kelas kemampuan lahan
berdasarkan sistem Amerika, sistem Kanada, sistem Inggris, sistem Belanda, dan
sistem FAO. Sistem kemampuan lahan yang digunakan di dalam tulisan ini ialah
menggunakan kelas kemampuan lahan integrasi dari USDA dan FAO.
Dalam mengevaluasi suatu lahan untuk tujuan tertentu diperlukan
diperlukan suatu pengelompokan sehingga karakteristik lahan yang bersifat
kompleks dapat di analisa lebih mendalam. Pengelompokan tersebut disebut unit
satuan lahan. Penyusunan unit satuan lahan merupakan intergrasi dari konfigurasi
unit biogeofisik dalam hal ini ialah bentuklahan, proses geomorfologi, material
batuan, tanah, kondisi klimatologi, dan vegetasi. Untuk lebih memahami
penyusunan unit satuan lahan dapat disimak pada Gambar 3.
5
F 2 - Fl Teg Contoh Satuan Lahan
6
Tabel 1. Tingkatan dalam Kesesuaian Lahan
Ordo Kelas
S Lahan yang dapat digunakan secara S1; Sangat sesuai (highly suitable), yaitu lahan yang tidak
berkelangsungan tanpa sedikit resiko mempunyai pembatas yang berat untuk suatau penggunaan
kerusakan terhadap sumberdaya lahan. tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas
yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata
terhadap produksi lahan tersebut.
S2; Cukup sesuai yaitu lahan yang mempunyai pembatas
agak berat untuk suatu pengguanaan lestari. Penggunaan
tersebut akan mengurangi produk lahan dan keuntungan
yang akan diperoleh, serta meningkatkan input untuk
mengusahakan lahan tersebut.
S3; Sesuai Marginal yaitu lahan yang mempunyai
pembatas sangat berat apabila dipergunakan untuk suatu
penggunaan tertentu yang lestari. Pembatas sifatnya akan
mengurangi produktivitas atau keuntungan.
N Lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian N1; Tidak sesuai saat ini yaitu lahan yang mempunyai
rupa sehingga peluang penggunaan lahan pembatas dengan tingkat sangat berat, akan tetapi masih
sangat terbatas. memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki
dengan tingkat pengetahuan saat ini dengan biaya yang
rasional.
N2; tidak sesuai permanen yaitu lahan yang mempunyai
pembatas sangat berat sehingga tidak mungkin untuk
dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang
lestari.
7
Tabel 2. Kemampuan Lahan dan Arahan Pemanfaatannya
Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan Meningkat
Kemampuan Penggembalaan Pertanaman
Kelas Lahan Cagar
Lahan Hutan Sangat
Alam
Terbatas Sedang Intensif Terbatas Sedang Intensif Intensif
I
II
Hambatan/bahaya
meningkat; III
kesesuaian dan IV
pilihan V
penggunaan
berkurang VI
VII
VIII
(Sumber : Tim Asisten ESL, 2007)
8
Peta Rupa Bumi Interpretasi Penggunaan Lahan,
Indonesia Lembar Morfologi, Pola Aliran, Administrasi,
Wates Kemiringan Lereng
Overlay
Matching-Scoring-Subjective Methods
Pendekatan Geomorfologi Lingkungan
5. Daerah Penelitian
Kondisi Geografi
Sub DAS Kayangan merupakan salah satu Sub DAS Kayangan yang
terdapat di DAS Progo. Ditinjau dari sistem gridnya dalam hal ini ialah Unit
Transverse Mercator, Sub DAS terletak pada koordinat 403295 mT – 415051 mT
dan 9137457 mU – 9148942 mU. Luas Sub DAS Kayangan ialah 33 km2, dengan
cakupan daerah administratif yang terdiri dari 10 Kelurahan dan 3 Kecamatan.
Kelurahan yang memiliki cakupan daerah yang luas, dimana cakupan daerahnya
termasuk ke dalam bagian dari Sub DAS Kayangan ialah Purwosari, dengan luas
daerah sekitar 12,88 km2.
9
Sub DAS Kayangan merupakan salah satu sub DAS dari DAS Progo.
Secara administratif, batas administratif Sub DAS Kayangan adalah sebagai
berikut :
Utara : Kabupaten Purworejo-Provinsi Jawa Tengah, Kecamatan
Samigaluh, Desa Banjarsari-Kecamatan Girimulyo.
Selatan : Desa Giripurwo, Desa Tanjungharjo, Desa Jatimulyo.
Timur : Desa Pondoworejo, Desa Banjararum, Desa Jatisarono
Barat : Desa Jatimulyo, Kabupaten Purworejo-Provinsi Jawa Tengah
10
405000 mT 410000 mT 415000 mT
1
Kecamatan Samigaluh
1
Kebonharjo 1
4
Banjarsari
2
2 1
Purwosari Kecamatan Kalibawang
2
9145000 mU
9145000 mU
2
3
2
Jatimulyo 6
Giripurwo
3
6
5
7 Jatisarono
Tanjungharjo
9140000 mU
9140000 mU
S. K
a
8
ya ga
n
9 n
Wijimulyo
Kecamatan Pengasih
Kecamatan Nanggulan
9
Donomulyo
Setapak
Kontur Topografi 6 Pendoworejo
Kontur Interval : 50 m Kolektor
Jatisarono
Sungai 7
Wilayah Administrasi
Tanjungharjo
Kebonharjo
8
Batas Administrasi 1
Wijimulyo
Desa
Purwosari
9
Kabupaten 2
Kecamatan
10 Donomulyo
3 Jatimulyo
Provinsi
4 Banjarsari Sumber : 1. Data PODES 2008
2. Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar Wates
11
Kondisi Topografi
Kondisi topografi suatu wilayah dapat direpresentasikan melalui garis
kontur. Berdasarkan garis kontur topografi yang terdapat pada daerah kajian, garis
kontur dapat di interpretasi menjadi 2 aspek yaitu aspek kuantitatif dan kualitatif.
Untuk aspek kuantitatif dapat dibagi menjadi relief (makro dan mikro),
kemiringan lereng, dan panjang lereng. Sedangkan untuk aspek kualitatif dapat
dibagi berdasarkan unit morfologi, bentuk lereng, arah hadap lereng.
Kondisi topografi yang terdapat pada daerah kajian dapat dibagi menjadi 5
macam berdasarkan kemiringan lereng (makro-relief) yaitu datar-landai, agak
miring, miring, agak curam, dan curam-sangat curam.
A B
Kondisi Tanah
Tanah merupakan hasil evolusi dan mempunyai susunan teratur yang unik
yang terdiri dari lapisan-lapisan atau horison-horison yang berkembang secara
genetik (Foth, 1990). Berdasarkan pada data tanah yang didapat melalui peta
tanah, tanah yang terdapat di Sub DAS Kayangan dapat dibagi menjadi 4 macam
ordo tanah yaitu entisol, inceptisol, vertisol, dan alfisol.
12
Kondisi Geologi dan Geomorfologi
Kondisi Geologi
Geologi adalah suatu ilmu yang mempelajari bumi meliputi asal
pembentukan, komposisi, struktur, dan sejarahnya termasuk studi mengenai agen
alami, tekanan, dan proses yang menyebabkan perubahan di bumi (Sharp, 2007).
Proses pembentukan daerah kajian tidak lepas dari genesa proses yang
terjadi pada masa lampau dan masa kini. Aktivitas vulkanisme dan geotektonik
merupakan salah satu bentuk dari tenaga endogen yang bekerja dalam proses
pembentukan daerah kajian. Artinya, pembentukan daerah kajian tidak akan
pernah terlepas dari aspek geomorfologi dan geologi yang pernah terjadi maupun
yang sedang berlangsung.
Formasi material batuan yang terdapat di daerah kajian dibagi menjadi 6
formasi yaitu Formasi Kebobutak, Sentolo, Nanggulan, Jonggrangan, Endapan
Gunungapi Merapi Muda, dan Koluvial.
1. Formasi Kebobutak (Tmok)
Formasi Kebobutak terbentuk pada saat periode tersier kala miosen
dengan selang waktu pembentukan berkisar antara 5 – 24 juta tahun yang
lalu. Material yang terdapat pada Formasi Kebobutak antara lain ialah
breksi andesit, tuf, tuf lapili, aglomerat, dan sisipan lava andesit.
Breksi merupakan salah satu jenis dari batuan sedimen yang bersifat
klastis. Sifat batuan sedimen klastis disini dimana batuan tersusun atas
material-material yang berbeda, dimana terjadi proses sementasi. Batuan
breksi merupakan batuan sedimen dengan ukuran butir lebih besar dari 2
mm dengan bentuk butitan yang bersudut. Sedangkan tuf merupakan salah
satu jenis batuan beku yang tersusun atas percampuran batuan vulkanis
dan fragmen mineral yang terdapat di debu vulkanik yang berukuran
sangat kecil.
13
Lava dapat didefinisikan sebagai material erupsi gunungapi yang
berupa cairan larutan magma pijar yang mengalir dari dalam bumi melalui
kepundan/kawah maupun melalui sistem percelahan akibat adanya retakan
maupun patahan (silt, batolit,dll) yang kemudian mengalami proses
pembekuan akibat adanya sirkulasi temperatur.
14
5. Endapan Gunungapi Merapi Muda (Qmi)
Material endapan Gunungapi Merapi muda terdiri dari tuf, abu, breksi,
aglomerat, dan leleran lava tak terpisahkan yang berumur kuarter.
Umumnya material yang terdapat didaerah kajian merupakan hasil
pengangkutan dan sedimentasi oleh aliran sungai.
Tuf merupakan salah satu jenis batuan beku yang tersusun atas
percampuran batuan vulkanis dan fragmen mineral yang terdapat di debu
vulkanik yang berukuran sangat kecil. Dimana jika dianalisa berdasarkan
granularitasnya (besar butir/ukuran) maka batuan tuf termasuk kedalam
afanitik, dimana besar kristal tidak dapat dibedakan dengan mata biasa.
Abu vulkanik, sering disebut juga pasir vulkanik atau jatuhan
piroklastik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke
udara saat terjadi suatu letusan, terdiri dari batuan berukuran besar sampai
berukuran halus. Batuan yang berukuran besar (bongkah - kerikil)
biasanya jatuh disekitar kawah sampai radius 5 – 7 km dari kawah, dan
yang berukuran halus dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan km bahkan
ribuan km dari kawah karena dapat terpengaruh oleh adanya hembusan
angin (http://Wikipedia.com, 2010).
6. Koluvial (Qc)
Material Koluvial merupakan formasi batuan rombakan Formasi
Kebobutak yang diendapkan pada kaki lereng. Proses transportasi melalui
aliran permukaan (overland flow) dan kemudian dialirkan pada saluran
yang terdapat pada sungai. Ditinjau dari sortasi yang ada, maka koluvium
tidak memiliki sortasi material yang baik, hal ini disebabkan adanya
berbagai proses geomorfologi yang terjadi. Proses geomorfologi yang
terjadi antara lain ialah tingkat pelapukan batuan yang kurang intensif,
proses transportasi oleh aliran permukaan yang membawa berbagai ukuran
dari material rombakan, dll.
15
405000 mT 410000 mT 415000 mT
2
Kecamatan Samigaluh
1
Kebonharjo
Banjarsari
2
2 ùù
Purwosari
ùùù
ùù
(ùùù(ùù Kecamatan Kalibawang
2 (ùùùù(
ù
(ùùùù ù(ùùùù
ù
(ùùù(ùùù ùùùù(ùù
ù
ùù
(ù
ù(ùùùù(ù
(ùùùù
(
ùùù(ùùù
(ùùùù
ù(ùùùùù
(ùùù(ùùù
9145000 mU
9145000 mU
(ùùùù
ùù
(ùùù(ùù
(ùùùù
ùù(ùù
ùùù(ù
(ùùùù
3
Jatimulyo ùù(ùù
ù
2
Giripurwo ùù
Jatisarono
Tanjungharjo
9140000 mU
9140000 mU
S. K
yaa ga
n
n
Wijimulyo
Kecamatan Pengasih
Kecamatan Nanggulan
Donomulyo
16
Gambar 9. Waktu Geologi dan Perkembangannya
Kondisi Geomorfologi
Geomorfologi merupakan ilmu yang mengkaji bentuklahan yang terdapat
di permukaan bumi. Zuidam dan Cancelado (1979) menyatakan bahwa
geomorfologi merupakan ilmu yang mendeskripsikan (secara genetis) bentuklahan
dan proses-proses yang mengakibatkan terbentuknya bentuklahan tersebut serta
mencari hubungan antara bentuklahan dan proses-proses dalam susunan
keruangan.
Dalam mengkaji kondisi geomorfologi tentunya akan selalu terkait dengan
aspek morfologi, morfogenesa, morfokronologi, dan morfoasosiasi. Variasi aspek
geomorfologi yang terdapat pada daerah kajian, secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap kondisi biotik dan sosial ekonomi masyarakat. Berdasarkan
hal tersebut, diperlukan adanya klasifikasi terhadap kondisi geomorfologi yang
terdapat pada daerah kajian sehingga dapat dianalisa lebih mendalam.
17
Klasifikasi kondisi geomorfologi mendasarkan pada persamaan relief,
material batuan, struktur, dan proses geomorfologi. Berdasarkan proses
pengklasifikasian tersebut, maka didapatkan satuan geomorfologi dalam hal ini
ialah satuan bentuklahan. Satuan geomorfologi yang terdapat pada daerah kajian
dapat di bagi menjadi 5 garis besar berdasarkan asal proses geomorfologi yang
membentuk satuan bentuklahan. Variasi proses geomorfologi yang membentuk
bentuklahan yang terdapat pada daerah kajian antara lain ialah bentuklahan asal
proses fluvial, bentuklahan asal proses struktural, bentuklahan asal proses
vulkanis, bentuklahan asal proses denudasional, dan bentuklahan asal proses
solusional yang memiliki luas yang relatif kecil pada daerah kajian.
Satuan bentuklahan asal proses fluvial dapat dibagi menjadi 2 yaitu
dataran fluvial dan teras sungai. Material yang terdapat pada satuan bentuklahan
ini tersusun atas tuf, abu, breksi, aglomerat, dan leleran lava tak terpisahkan yang
berumur kuarter. Materail yang terdapat pada satuan bentuklahan asal proses
fluvial merupakan hasil transportasi dan sedimentasi oleh aliran Sungai dan
Sungai Progo. Sortasi material batuan yang terdapat pada satuan bentuklahan
fluvial umumnya relatif baik, dimana susunan perlapisan materialnya dapat
dibedakan berdasarkan ukuran butir materialnya.
Satuan bentuklahan yang lain ialah satuan bentuklahan asal proses
denudasional dan vulkanis. Satuan bentuklahan ini mendominasi daerah kajian.
Proses vulkanisme yang terdapat pada daerah kajian merupakan salah satu bentuk
dari proses Gunungapi Gadjah dan Gunungapi Idjo. Proses pembentukan
Gunungapi Gadjah pada masa oligosen awal, dapat dikatakan bahwa proses
pembentukan gunungapi Gadjah terlebih dahulu dibandingkan dengan gunungapi
Idjo.
Material yang dihasilkan oleh gunungapi Idjo antara lain ialah breksi
andesit dengan komposisi mineral yang dominan ialah hornblenda-augtit dan
intrusi andesit dengan susunan mineral yang dominan ialah hornblenda-augtit
(Bammelen, 1970). Sedangkan material yang dihasilkan oleh gunungapi Gadjah
ialah lava tak terpisahkan, adanya proses hidrotermal yang mengubah andesit-
18
piroksen, dan breksi andesit dengan mineral yang dominan ialah augtit-hiperstain-
olivin.
Satuan bentuklahan yang termasuk kedalam asal proses denudasional
dibagi menjadi kompleks perbukitan denudasional, lereng atas, lereng tengah,
lereng bawah, lereng rombakan, dan dataran rombakan. Dimana material yang
yang terdapat pada satuan bentuklahan asal proses denudasional merupakan akibat
proses pelapukan batuan, transportasi, sedimentasi, gerak massa batuan yang
kemudian diendapkan pada daerah dengan mikro relief yang lebih landai.
Proses denudasional merupakan salah satu proses geomorfologi yang
berpengaruh dalam evolusi bentuklahan yang terdapat di daerah kajian. Proses
pelapukan batuan yang memiliki intensitas rendah-sedang pada bagian tengah
hingga hilir dan tinggi-sedang pada bagian hulu daerah kajian menyebabkan
adanya berbagai proses geomorfologi yang bersifat destruktif.
A B C D
U
D
Gambar 10. Longsor dengan Tipe Fall (A); Perlapisan Material Batuan Berupa Batuan Serpih (B);
Kenampakan Mud Crack pada tanah dengan tekstur lempung (C); Kenampakan Patahan (D)
(Sumber : Survei Lapangan, 2010).
Proses geomorfologi yang bersifat destruktif ini antara lain ialah erosi
yang meliputi erosi percik, erosi parit, dan gully. Proses yang lainnya ialah gerak
massa batuan yang berupa longsor yang menyebar pada bagian hulu hingga
tengah daerah kajian. Longsor merupakan salah satu bentuk dari proses
geomorfologi yang bersifat destruktif bagi manusia baik meliputi sarana
aksesbilitas, harta benda, korban jiwa, dll. Hadmoko, et al., (2008) dan Samodra,
(2008) menyatakan bahwa terdapat 4 tipe longsor yang terjadi pada daerah kajian
19
yaitu slide, slump, rockfall, dan flow. Berdasarkan sebaran keruangan kejadian
longsor temporal yang terjadi di daerah kajian, secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadak kemampuan dan kesesuaian lahan untuk peruntukan sarana
jalan.
Bentuklahan yang selanjutnya ialah bentuklahan asal proses struktural dan
solusional. Bentuklahan yang asal proses struktual disini mempunyai keterkaitan
yang cukup erat dengan bentuklahan asal proses solusional. Hal ini dapat
dibuktikan dengan kenampakan Bukit dengan material batugamping yang telah
terdedunasi lebih lanjut pada bagian hulu daerah kajian. Pada bukit tersebut dapat
dijumpai kenampakan fosil kerang yang berasal dari laut dangkal. Berdasarkan
pengamatan lapangan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat proses geotektonik
yang berupa proses pengangkatan.
Struktur geologi yang terdapat pada daerah kajian dapat dibagi menjadi 2
yaitu struktur aktif dan struktur pasif. Struktur aktif disini merupakan struktur
geologi yang dapat diamati melalui mata telanjang maupun dapat diinterpretasi
dengan bantuan teknologi penginderaan jauh. Pola kelurusan (lineament pattern)
yang diinterpretasi dari SRTM menunjukkan adanya pola kelurusan yang sejajar
dengan pola aliran sungai yang terdapat pada daerah kajian. Struktur gologi yang
selanjutnya ialah struktur geologi pasif, dimana dapat diamati pada struktur yang
terdapat pada batuan. Struktur pasif yang terdapat pada daerah kajian antara lain
struktur cross-bedding, columnar andesit, struktur bantal pada breksi andesit.
Untuk lebih mengetahui distribusi keruangan dari satuan bentuklahan yang
terdapat pada daerah kajian, dapat dilihat pada gambar 11. Peta Geomorfologi.
20
405000 mT 410000 mT 415000 mT
Kecamatan Samigaluh
Kebonharjo
Banjarsari
Purwosari
(ùùùù
ùù
(ùù(ùùùù
ù Kecamatan Kalibawang
ù(ùùù
ù
(ùùù(ùùù ù
(ùùù(ùùù
ù(ùùùù(ù ùùùù(ùù
ù
ù
(ùùùù
ùùù(ùùùù
(
(ùùùù(ùùùù
(ùùùù
(ùùùù(ùùù
9145000 mU
9145000 mU
(ùùùù
ù(ùùùù
(ùùùù
(ùùù(ùùùùù
(ùùùù
Jatimulyo (ùùùù
(ùùùù
ù
Giripurwo
Jatisarono
Tanjungharjo
9140000 mU
9140000 mU
S. K
ay
an
ga
n
Wijimulyo
Kecamatan Pengasih
Kecamatan Nanggulan
Donomulyo
Pola Kelurusan
Lereng Rombakan Perbukitan Denudasional
Batas Administrasi
Desa Teras Sungai
Lereng Tengah Perbukitan Denudasional
Kabupaten
Dataran Rombakan
Kecamatan
Provinsi
Kompleks Perbukitan Formasi Jonggrangan
Sumber : 1. Peta Geologi Lembar Yogyakarta
2. Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar Wates
3. Interpretasi Citra SRTM dan Landsat Band 457
21
6. Hasil
Satuan lahan merupakan konfigurasi aspek-aspek biogeofisik yang terdiri
dari bentuklahan, proses geomorfologi, tanah, relief, iklim, material batuan, dan
vegetasi. Satuan lahan disini berfungsi untuk menyederhanakan kompleksitas dari
variasi karakteristik lahan yang terdapat pada lokasi kajian, sehingga nantinya
dapat dianalisa lebih mendalam. Satuan lahan yang terdapat pada lokasi kajian
dapat dibagi menjadi 13 unit satuan lahan, dimana pengklasifikasiannya
menggunakan klasifikasi geomorfologi sebagai dasar acuan pembagian unit
satuan lahan. Distribusi keruangan dari unit satuan lahan dapat dilihat pada
Gambar 12.
22
405000 mT 410000 mT 415000 mT
15 Kecamatan Samigaluh
13
17
14
Kebonharjo
12 Banjarsari
15
10
18
9145000 mU
9145000 mU
13
10
Jatimulyo
16 Giripurwo
15 14
9 6
10
Kecamatan Girimulyo 7
Pendoworejo
Kab. Sleman
5
8
9
9 Jatisarono
3
Tanjungharjo
9140000 mU
9140000 mU
S. K
4 19 ay
an ga
2 n 19
1
Wijimulyo
Kecamatan Pengasih
Kecamatan Nanggulan
2
Donomulyo
23
A. Kondisi Kemampuan Lahan
Kemampuan lahan yang terdapat pada daerah kajian dibagi menjadi 5
kelas yaitu kelas kemampuan I, II, III, IV, dan V. Dalam mengkaji mengenai
kemampuan lahan di suatu wilayah tentunya tidak akan pernah terlepas kaitannya
dengan konsep geomorfologi lingkungan. Kemampuan lahan dapat diartikan
sebagai daya dukung dari suatu lahan untuk tujuan tertentu, dimana di dalamnya
terdapat 2 aspek yaitu potensi dan masalah dari karakteristik lahan tersebut.
Secara tidak langsung, pendekatan geomorfologi lingkungan mempunyai
keterkaitan dengan kajian kemampuan dan kesesuaian lahan.
Untuk kemampuan lahan dengan kelas I, II dan III, kajian yang akan
ditekankan ialah geomorfologi sumberdaya/potensi dengan proses penanganan
terhadap faktor pembatasnya, dalam hal ini ialah faktor pembatas yang dominan.
Sedangkan untuk kemampuan lahan dengan kelas IV dan V, kajian yang lebih
ditekankan ialah potensi mengenai resiko bencana alam yang akan terjadi serta
arahan pemanfaatan lahan.
Kelas kemampuan I dapat digunakan untuk cagar alam, hutan,
penggembalaan, dan pertanian dengan berbagai intensitas dari pemanfaatannya,
khususnya untuk peruntukan sarana jalan. Satuan lahan yang termasuk kedalam
kelas kemampuan I, terdapat kemiringan 0 – 3% dengan intensitas erosi yang
lebih kecil. Satuan bentuklahan yang termasuk kedalam kelas kemampuan ini
ialah dataran aluvial dan teras sungai. Tekstur tanah yang terdapat dalam kelas
kemampuan ini ialah geluh lempung berdebu dengan kedalaman tanah > 80 cm.
Hal ini diakibatkan adanya proses sedimentasi oleh sungai yang membawa
material-material hasil rombakan pada daerah kajian. Faktor pembatas yang
terdapat pada kelas kemampuan I antara lain ialah drainase yang buruk yang
disebabkan oleh adanya proses fluvial serta persentase dari boulder maupun
pebble yang cukup tinggi hal ini disebabkan proses transportasi dan sedimentasi
oleh aliran sungai dan aliran permukaan (overland flow).
Kelas kemampuan lahan II bermakna suatu lahan dapat digunakan untuk
dapat digunakan sebagai cagar alam, hutan, penggembalaan dengan berbagai
tingkat akan pemanfataannya hingga pertanian dengan tingkat intensif. Satuan
24
lahan Sub DAS Kayangan yang memiliki kelas kemampuan lahan II berada pada
satuan lahan dengan morfologi berupa dataran rombakan. Kemiringan lereng yang
terdapat dalam kelas kemampuan II ialah berkisar antara 3 – 8 %. Dimana proses
yang terjadi pada kelas kemampuan ini merupakan gabungan dari proses fluvial
dan denudasional, sehingga material yang ada merupakan material hasil rombakan
dari perbukitan dan pegunungan yang terdeposisi pada bagian kanan kiri sungai
dengan relief yang datar.
Tanah pada kelas kemampuan lahan II memiliki kedalaman efektif yang
dangkal, berkisar antara 25 - 50 cm. Proses erosi yang terjadi pada kelas ini relatif
lebih kecil, dimana faktor yang dominan ialah proses transprtasi dan sedimentasi
material rombakan. Adanya proses transportasi oleh aliran permukaan maupun
aliran sungai menyebabkan kondisi drainase yang dimiliki relatif buruk. Secara
kondisi fisik tersebut satuan lahan dengan kemampuan lahan ini berpotensi untuk
pengembangan pertanian seperti padi dan tanaman rumput ternak. Namun perlu
adanya beberapa teknik konservasi yang dilakukan, karena penggunaan lahan
seperti sawah dan padang rumput akan terganggu dengan kenaikan debit sungai
pada saat hujan yang dapat merusak.
Penggunaan lahan untuk sawah juga dapat meningkatkan erosi aktual,
sebab sistem irigasi yang dilakukan dapat membawa sedimen tanah yang
tersuspensi ke dalam tubuh air sungai. Konservasi yang dapat dilakukan adalah
teknik pengolahan dengan terassiring, atau pembuatan teras-teras dengan sistem
irigasi pararel dengan kemiringan lereng.
Kelas kemampuan lahan III terdapat pada satuan lahan dengan dataran
rombakan. Lereng pada kelas kemampuan lahan ini tergolong agak miring (9-
15%). Tanahnya memiliki Kedalaman tanah efektif berkisar antara 25-40 cm
dengan tingkat erosi potensial yang berat. Memiliki drainase yang cukup baik,
karena tekstur tanah berupa geluh berlempung, berpasir, dan berdebu.
Arsyad (1989) memaparkan bahwa kelas kemampuan lahan ini memiliki
hambatan yang lebih berat dibandingkan pada kelas kemapuan lahan II. Bahan
induk yang membentuk tanah-tanah pada unit satuan lahan ini berasal dari hasil
rombakan atau material koluvial dari pegunungan atau perbukitan diatasnya. Jika
25
kita perhatikan material pada kelas kemampuan lahan III sama dengan kelas
kemampuan lahan II, namun proses geomorfologi yang bekerja lebih intensif
terjadi pada bentuklahan III. Proses erosi yang lanjut akan membentuk
kanampakan gully atau didalam interpretasi dapat berupa lembah-lembah. Proses
erosi yang terjadi juga berat karena lereng yang agak miring dengan material
koluvium yang lepas-lepas.
Kondisi fisik tersebut mempengaruhi penggunaan lahan yang dilakukan
pada satuan-satuan lahan kelas kemampuan lahan III ini. Penggunaan lahan
berupa sawah tadah hujan dan tegalan dapat teramati pada saat observasi
dilapangan. Menurut Arsyad (1989), kelas kemampuan lahan III dapat digunakan
untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah seperti
tanaman rumput, padang rumput, dan hutan produksi. Namun selain itu,
penggunaan untuk sawah tadah hujan juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan
mikrorelief yang relatif datar pada daerah dasar-dasar lembah tentunya dengan
teknik konservasi khusus untuk mengurangi besarnya erosi (gully), longsor tipe
flow, dan banjir yang sering terjadi pada lembah-lembah.
Teknik konservasi dan pengelolaan lingkungan bisa dilakukan melalui
guludan bersaluran, penanaman dalam strip, penggunaan mulsa, pembuatan teras
atau kombinasi dari berbagai metode tersebut. Secara umum kelas kemampuan
lahan II dan III dapat digunakan untuk mengoptimalkan sumberdaya wilayah
DAS Kayangan terutama pada sektor pertanian dan perkebunan.
Kelas kemampuan lahan yang selanjutnya ialah kemampuan lahan dengan
tingkat IV terdapat pada satuan bentuklahan Kompleks Peerbukitan Denudasional
dengan proses denudasi yang cukup intensif. Satuan lahan yang terdapat pada
kelas kemampuan lahan tingkat IV terdapat pada kemiringan lereng berkisar
antara 16 – 30%. Berdasarkan kondisi tersebut, tentunya terdapat variasi proses
geomorfologi yang terjadi pada satuan lahan yang termasuk ke dalam kemampuan
lahan tingkat IV. Proses geomorfologi yang terjadi pada kelas kemampuan lahan
tingkat IV di daerah kajian ialah proses erosi (splash erosion, sheet erosion, gully
erosion), pelapukan batuan, proses transportasi oleh aliran permukaan (overland
flow), dan longsor dengan tipe slide, slump, dan fall.
26
Variasi proses geomorfologi yang terjadi pada satuan lahan pada kelas IV,
tentunya turut berpengaruh terhadap karakteristik lahan yang ada, baik dalam
aspek fisik maupun aspek sosial. Pengaruh proses geomorfologi dalam hal ini
untuk aspek fisik ialah kedalaman tanah, drainase, bentuk lereng, tekstur tanah,
pH (aktual maupun potensial), persentase besar butir material (friction), kuat geser
tanah terhadap beban, dll. Sedangkan pengaruh dari proses geomorfologi untuk
aspek sosial ialah kondisi kultur setempat dalam sektor pertanian, kerentanan
bencana, maupun aktivitas ekonomi masyarakat.
Untuk satuan lahan yang termasuk dalam kelas kemampuan lahan tingkat
IV, dimanfaatkan untuk tanaman semusim dengan teknik dan intensitas
pengelolaan yang perlu diperhatikan dengan seksama. Beberapa teknik
pengelolaan lingkungan yang dapat diterapkan pada satuan lahan dengan kelas
kemampuan lahan tingkat IV antara lain ialah teras bangku, saluran bervegetasi,
dam penghambat, serta pengelolaan kesuburan tanah untuk berbagai penggunaan
tanaman pertanian. Satuan lahan yang termasuk ke dalam kelas kemampuan lahan
tingkat IV dapat digunakan untuk tanaman pertanian semusim, hutan produksi,
hutan lindung, atau suaka marga satwa.
Geomorfologi bencana merupakan salah satu bentuk dari hubungan
keterkaitan geomorfologi lingkungan dengan manusia (Panizza, 1996). Dalam
membahasa geomorfologi bencana, tentunya diperlukan aspek resiko yang akan
terjadi pada satuan lahan dengan tingkat IV. Untuk mengkaji aspek resiko,
diperlukan data pengamatan maupun pengukuran lapangan yang lebih lanjut
sehingga nantinya didapatkan suatu rekomendasi yang terpadu dalam proses
penanggulangan bencana.
Satuan lahan yang termasuk ke dalam kemampuan lahan tingkat IV
memiliki potensi bencana yang cukup tinggi. Samodra (2008) memaparkan bahwa
terdapat distribusi kejadian longsor yang cenderung mempunyai pola menyebar
dan bertipe slide, slump, rockfall, dan flow. Proses penangangan bencana longsor
dapat ditanggulangi dengan menggunakan integrasi berbagai pendekatan keilmuan
antara lain ialah geoteknik, geologi, geografi dan keterkaitan antara instansi
daerah, masyarakat, dan akademisi.
27
Tabel 5. Luas Kemampuan Lahan Pada Sub DAS Kayangan
Luas
Kemampuan Lahan
Ha Km2
I 386,052 3,86052
II 312,071 3,12071
III 48,410 0,4841
IV 60,465 0,60465
V 2538,685 25,38685
(Sumber: Analisa Studio, 2010)
28
405000 mT 410000 mT 415000 mT
#
Kecamatan Samigaluh
# # #
# #
# Kebonharjo
# #
# #
#
# #
# Banjarsari
#
##
# #
ùùù #
#
# Purwosari
ùù(ùùùù(ù
ù #
Kecamatan Kalibawang
# # (ù
# # # # (ùùùù #
#
ù
(ùùùù
#
# ù(ùùùù
ù
(ùù
# # ###
# ù
(ù
# #
ùù
# #
(#ùùùù
(
#
ùùùù(ùù
ù
ù #
(ùùùù
#
ù ù #
(
# ù (
ùù
###
## ùù
##ù
(ùùùù
ùù
# #
(ùùù#ù
(ùùù(ùùùù(ùùùù(ùùù
(ùùù(ùùù
9145000 mU
9145000 mU
##
# ##
ùù
(ù#ùù(ùù
# ùù(ùù
ùùù(ù
Jatimulyo ùùù(ù
ù
Giripurwo ùù
#
#
#
Kecamatan Girimulyo Pendoworejo
Kab. Sleman
###
Jatisarono
Tanjungharjo
9140000 mU
9140000 mU
S. K
ay
an
ga
n
Wijimulyo
Kecamatan Pengasih
Kecamatan Nanggulan
Donomulyo
29
B. Kondisi Kesesuaian Lahan untuk peruntukan sarana jalan
Kesesuaian lahan ialah tingkat kecocokan/kesesuaian suatu lahan yang
akan digunakan untuk pemanfaatan lahan yang meliputi jenis, distribusi, serta
bentuk dari penggunaan lahan. Kelas kesesuaian lahan untuk peruntukan sarana
jalan yang terdapat pada daerah kajian dapat dibagi menjadi 3 kelas kesesuaian
yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), dan N (tidak sesuai). Berdasarkan
pengklasifikasian tersebut, dapat dibagi lagi berdasarkan faktor penghambat yang
dominan dimana tidak dapat diperbaiki atau dapat diperbaiki tetapi dengan
konsekuensi dalam proses perbaikan diperlukan biaya dan aplikasi teknologi yang
cukup tinggi.
Tabel 6. Luas Kesesuaian Lahan Untuk Peruntukan Jalan Pada Sub DAS Kayangan
Kesesuaian Luas
Lahan Ha Km2
S1 514,355 5,14355
S2 - KE 183,768 1,83768
S2 - L,GM,KE 20,817 0,20817
S2 - L,GM,KK 69,893 0,69893
N - L,GM 121,274 1,21274
N - L,GM,KE 1763,705 17,63705
N - L,GM,KK 671,871 6,71871
(Sumber : Analisa, 2010)
Keterangan tabel :
KE : Kedalaman Tanah
L : Kemiringan Lereng
GM : Gerak Massa Batuan
KK : Kembang Kerut Tanah
Kelas kesesuaian lahan yang pertama ialah untuk kelas S1 (sangat sesuai).
Kelas kesesuaian S1 terdapat pada kelas kemampuan lahan I dengan kemiringan
lereng berkisar antara 0 – 3 %, dengan unit geomorfologi ialah bentuklahan asal
proses fluvial. Dalam kelas kesesuaian lahan tingkat S1 tidak terdapat faktor
penghambat, hal ini disebabkan dikarenakan kondisi fisiografi daerah yang relatif
landai dimana proses erosi terjadi dengan intensitas yang relatif rendah. Proses
geomorfologi yang bersifat destruktif dalam hal ini longsor tidak terdapat pada
30
satuan lahan ini, sehingga tingkat kerentanan terhadap aksesbilitas jalan relatif
kecil.
Kelas kesesuaian lahan yang selanjutnya ialah kelas S2 (cukup sesuai)
yang dibagi menjadi 3 kelas kesesuaian berdasarkan faktor pembatas yang
dominan. Faktor pembatas yang terdapat pada daerah kajian antara lain kedalaman
tanah, kemiringan lereng, kembang kerut tanah, dan gerak massa batuan. Satuan
bentuklahan yang termasuk kedalam kelas kesesuaian S2 antara lain ialah dataran
rombakan hingga lereng kaki perbukitan denudasional.
Kelas kesesuaian yang selanjutnya kelas N (tidak sesuai). Faktor pembatas
yang berpengaruh pada satuan lahan yang termasuk ke dalam kelas N antara lain
ialah kedalaman tanah, kemiringan lereng, kembang kerut tanah, dan gerak massa
batuan. Satuan bentuklahan yang termasuk ke dalam kelas ini ialah kompleks
perbukitan denudasional, perbukitan struktural, dan perbukitan denudasional yang
dapat dibagi berdasarkan unit morfologi dan morfometrinya. Tingkat pelapukan
batuan yang berintensitas dari lemah hingga sedang turut menyebabkan adanya
intensitas serta tipe erosi yang cukup beragam baik sheet erosion, gully, dll.
Stabilitas lereng, kondisi hidrometeorologi (intensitas curah hujan) yang
didukung dengan pemotongan kontur topografi turut menyebabkan terbentunya
bidang gelincir yang memicu terjadinya kejadian longsor temporal di daaerah
kajian. Dalam peruntukannya sebagai penunjang sarana aksesbilitas seperti jalan
diperlukan adanya suatu teknologi yang dapat mengintegrasikan keinginan
masyarakat, pemerintah daerah maupun instansi terkait dalam pembangunan yang
berkelanjutan yang berbasis dan berwawasan lingkungan. Salah satu bentuk dari
teknologi sederhana dan berwawasan lingkungan yang diterapkan masyarakat
dalam mengurangi kerentanan aspek bahaya terhadap prasarana jalan ialah
pembuatan tanggul (talud). Teknologi ramah lingkungan yang dapat diterapkan
oleh masyarakat dalam mengurangi bencana longsor antara lain ialah pembuatan
biopori dan saluran drainase.
31
Berdasarkan kondisi tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi
geofisik daerah kajian secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap aktivitas
masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan baik sektor ekonomi, sosial, budaya,
dll menjadi terhambat. Sarana aksesbilitas seperti jalan merupakan salah satu
prasarana yang bersifat krusial dalam aktivitas manusia dewasa ini. Berdasarkan
hal tersebut, diperlukan adanya suatu perencanaan terpadu dan saling terkait
antara pemerintah daerah, instansi, pihak swasta, kalangan akademisi, dan
masyarakat dalam menggerakkan aktivitas perekonomian di daerah kajian yang
meliputi solusi alternatif baik bersifat teknis dan praktis dalam menyikapi dan
merekonstruksi ulang sarana aksesbilitas (jalan) dari kondisi geofisik yang bersifat
destruktif, seperti longsor. Sehingga tingkat kerentanan dari proses geomorfologi
yang bersifat destruktif terhadap sarana aksesbilitas jalan dapat diminimalisir,
dengan demikian diharapkan aktivitas masyarakat dalam pembangunan dapat
berjalan dengan semestinya.
32
405000 mT 410000 mT 415000 mT
#
Kecamatan Samigaluh
# # #
# #
# Kebonharjo
# #
# #
#
# #
# Banjarsari
#
##
# # ùù #
#
# Purwosari
ùù
ùù
(ùùùù(ù
#
Kecamatan Kalibawang
#
#
# ùùù(ù
#
ù
# #
#
#
ù(ùùùù( #
# (ùùù(ùù#ù# #
# #### ù
(ùù
ù
# #
ù(#ùùùù(ù # ùùù
ùùùù(ù
# #
(ùùùù
#
# ù
ù
(
##
### ù
(
ùùù#ù#(ùùùù
(ùùù(ùùùù(ùùùùù
# #
(ùùùù#(ùùù
9145000 mU
9145000 mU
##
# ## ù(ùùùù(ù
ù#ùùù(ù
# ùùù(ù
ùùù(ù
(ùùùù
Jatimulyo ùùù(ù
ù
Giripurwo ùù
#
#
#
Kecamatan Girimulyo Pendoworejo
Kab. Sleman
###
Jatisarono
Tanjungharjo
9140000 mU
9140000 mU
S. K
ay
anga
n
Wijimulyo
Kecamatan Pengasih
Kecamatan Nanggulan
Donomulyo
Gambar 14. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Peruntukan Sarana Jalan Di Sub DAS Kayangan
33
7. Kesimpulan
a. Kemampuan lahan yang terdapat di daerah kajian dapat dibagi menjadi 5
kelas yaitu kelas I, II, III, IV, dan V.
b. Kemampuan lahan untuk kelas I, II, dan III dapat digunakan untuk
penggembalaan dan pertanian dengan tingkat pemanfaatan dan
pengelolaan yang turut menyesuaikan kondisi biogeofisik daerah.
c. Kemampuan lahan untuk kelas IV dan V, diperlukan adanya pengelolaan
yang cukup intensif, hal ini disebabkan adanya proses geomorfologi yang
bersifat destruktif seperti longsor.
d. Kesesuaian lahan untuk peruntukan sarana aksesbilitas jalandi daerah
kajian dapat dibagi menjadi 3 yaitu tingkat kesesuaian sangat sesuai (S1),
cukup sesuai (S2), dan tidak sesuai (N).
e. Pembagian kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai) dan N (tidak sesuai) dapat
dibagi berdasarkan faktor pembatas yang sulit diatasi seperti kedalaman
tanah, kembang kerut tanah, kemiringan lereng, dan gerak massa batuan.
f. Diperlukan adanya sebuah perencanaan terpadu dan saling terkait antara
pemerintah daerah, instansi, pihak swasta, kalangan akademisi, dan
masyarakat dalam menggerakkan aktivitas perekonomian di daerah kajian
yang meliputi solusi alternatif baik bersifat teknis dan praktis dalam
menyikapi dan merekonstruksi ulang sarana aksesbilitas (jalan) dari
kondisi geofisik yang bersifat destruktif, seperti longsor.
8. Daftar Pustaka
Bammelen, R.W.Van., 1970, The Geology of Indonesia Vol IA : General Geology
of Indonesia and Adjacent Archipelagoes, Netherland: The Hague, Martinus
Nijhoff.
Dibyosaputro, S., 1997, Catatan Kuliah Geomorfologi Dasar, Yogyakarta:
Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada.
FAO, 1984, Land Evaluation For Forestry, FAO Forestry Paper, Rome.
34
Foth, H.D., 1990, Fundamentals Of Soil Science 8th Edition, New York: John
Wiley & Sons.
Hadmoko, D.S., Lavigne, F., Sartohadi, J., Samodra, G., Christanto, N., 2008, GIS
Application For Comprehensive Spatial Landslide Analysis In Catchment,
Menoreh Mountain, Java, Indonesia., Environmental Geography,
Geography Faculty, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia.
Herlambang, Y.A., Kurniawan, W., Fatahillah, G., Alfana, M.A.F., Sukma, A.F.,
2010, Kajian Lingkungan Hidup Strategis Daerah Aliran Sungai (DAS)
Kayangan Kabupaten Kulon Progo, D.I.Yogyakarta., Yogyakarta : Fakultas
Geografi, Universitas Gadjah Mada.(www.scribd.com)
Pannekoek, A.J., 1949, Outline of The Geomorphology of Java, TAG.
Panizza, M., 1996, Environmental Geomorphology, Amsterdam: Elsevier.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi
LembarYogyakarta, B
Ritung S, Wahyunto, Agus F, Hidayat H., 2007, Panduan Evaluasi Kesesuaian
Lahan Dengan Contoh Peta Arahan Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh
Barat, Balai Penelitian Tanah Dan World Agroforestry Centre (ICRAF),
Bogor, Indonesia.
Samodra, G., 2008, Studi Geomorfologi Penilaian Kerentanan Longsor Dengan
Metode Heuristik-Statistik Di DAS Kayangan Kulon Progo, Skripsi,
Yogyakarta: Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada.
Tim Asisten ESL, 2007, Petunjuk Praktikum Evaluasi Sumberdaya Lahan,
Yogyakarta: Laboratorium Geografi Tanah, Fakultas Geografi,Universitas
Gadjah Mada.
Van Zuidam, R.A., and Cancelado, F.I., 1979, Terrain Analysis and Classification
Using Aerial Photographs, Netherlands: International Institute for
Aerospace Survey and Earth.
Verstappen, H.Th., 1983, Applied Geomorphology: Geomorphological Surveys
for Environmental Development, Amsterdam: Elsevier.
35
LAMPIRAN
36