Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi kronik
yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan karakteristik respon yang berlebihan
terhadap berbagai rangsangan. gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
B. EPIDEMIOLOGI
Asma merupakan masalah kesehatan dunia diperkirakan sebanyak 300 juta orang
menderita asma, dengan prevalensi sebesar 1- 18 %, bervariasi pada berbagai negara.
Kejadian asma dipengaruhi faktor genetik, lingkungan, umur dan terdapat
kecenderungan peningkatan insidensinya terutama didaerah perkotaan dan industri
akibat adanya polusi udara. Prevalensi di Indonesia adalah sebesar 5 7 %. PBB
memperkirakan disability adjusted life years ( DALYs ) sebanyak 15 juta setiap
tahun karena asma yang merupakan 1% dari beban global akibat penyakit. Mortalitas
sebesar 250.000/tahun yang tidak proporsional dengan prevalensi penyakit. Polusi
menyebabkan peningkatan asma diseluruh dunia. Berdasarkan data Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma di dunia
diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus
meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.
2
C. FAKTOR RISIKO
D. KLASIFIKASI
3
Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non-spesifik merupakan
keadaan yang peka bagi penderita.
B. Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik). Pada golongan ini keluhan ada
hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen lingkungan yang
spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat:
Timbul sejak kanak-kanak.
Pada family ada yang menderita asma.
Adanya eksim pada waktu bayi.
Sering menderita rinitis
C. Asma bronkial campuran (mixed). Pada golongan ini, keluhan diperberat baik
oleh factor- faktor intrinsic maupun ekstrinsik
4
tetapi < 1x/ hari prediksi
* Serangan dapat APE 80% nilai
mengganggu aktiviti terbaik
dan tidur * Variabiliti APE 20-
30%
III. Persisten Harian APE 60 80%
Sedang
* Gejala setiap hari * > 1x / seminggu * VEP1 60-80% nilai
* Serangan mengganggu prediksi
aktiviti dan tidur APE 60-80% nilai
*Membutuhkan terbaik
bronkodilator * Variabiliti APE > 30%
setiap hari
IV. Persisten Kontinyu APE 60%
Berat
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1 60% nilai
* Sering kambuh prediksi
* Aktiviti fisik terbatas APE 60% nilai
terbaik
* Variabiliti APE > 30%
E. PATOGENESIS
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh
serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif.
Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit
atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering
muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya
muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap
asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama
rinitis alergika dan dermatitis atopik.
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan
molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T
CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen
Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari
prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-
5
selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel
tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF,
yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel
mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak
mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel
dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitive
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan
komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan.
Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal.
Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan
makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi
molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran
respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2,
selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan
transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF
untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi,
sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat.
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur
sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of
Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau
Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling.
Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan,
kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran
respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi,
neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk
6
kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien
yang meninggal akibat asma.Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan
lamanya penyakit.
7
Gambar 02. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik
F. DIAGNOSIS
8
Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada
keluarga
Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan bulu
binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu rumah,
obat obatan ( aspirin, penghambat beta ), olah raga, rangsang emosi yang
kuat
Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma
2. Pemeriksaan Fisik :
3. Pemeriksaan Penunjang :
Spirometri :
- ( Volum Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP 1< 70% dari nilai prediksi
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
- Tes reversibilitas : peningkatan VEP1 12% dan 200 ml
menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma
Arus Puncak Ekspirasi ( APE ) :
- Reversibilitas. Peningkatan 60 L/menit ( atau 20% ) dengan
pemberian bronkodilator ( misalnya 200-400 ugr salbutamol ), atau
9
variasi diurnal dari APE 20% ( dengan bacaan 2x sehari > 10% )
menyokong diagnosis asma
- Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan gejala atau
fungsi paru dalam periode tertentu misal 1 hari ( variabilitas diurnal ),
hari atau bulanan.
Pengukuran Status Alergi
Untuk mengidentifikasi komponen alergi pada asma dapat dilakukan
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum dan eosinofil.
Uji ini dapat membantu mengidentifikasi faktor pencetus sehingga dapat
dilakukan pencegahan terarah. Umumnya dilakukan skin prick test.
Namun, uji ini dapat menghasilkan positif palsu maupun negatif palsu.
Sehingga konfirmasi pajanan alergen dengan timbulnya gejala harus selalu
dilakukan.
Analisa Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat pada PaCO2 justru mendekati
normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma yang sangat berat
terjadi hiperkapnea (PaCO2 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis
respiratorik.
Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain
yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi
saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma
yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan
adanya kelainan.
G. PENATALAKSANAAN
10
a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol
c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan,
maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
Kromolin
Leukotriene modifiers
11
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja
lama oral
Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau
d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau
kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah
Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala
seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin
12
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis
-2 kerja lama inhalasi
Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari
Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene
modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai
ataupun sebagai tambahan terapi
13
Gambar 1: Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma. Sumber: GINA, 2009.
H. Pencegahan Asma
BAB III
KESIMPULAN
Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi
kronik yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan karakteristik respon yang
berlebihan terhadap berbagai rangsangan. gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.
Penatalaksanaan asma yang benar adalah tidak hanya mengatasi serangan akut, akan
tetapi penanganan jangka panjang yang bertujuan mencegah terjadinya serangan dan
mengoptimalkan penderita sehingga dapat hidup produktif dan berkualitas, dengan
mengatasi episode perburukan. Kerjasama dokter dan penderita dibutuhkan dalam
penatalaksanaan jangka panjang, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan
penderita dalam menerima dan melakukannya.
14
DAFTAR PUSTAKA
15