You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai


adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran
nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World Health
Organization (WHO) memperkirakan 100 150 juta penduduk dunia menderita
asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai
180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah
mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun
belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan
akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang
serta mengganggu proses tumbuh-kembang anak dan kualitas hidup pasien.
Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan
melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut
disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari pedoman yang
direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA
Asma terdapat pada semua usia dan perjalanan penyakitnya tidak dapat
diramalkan karena tergolong pada berbagai faktor. Gejala asma bervariasi dari ringan
sampai berat. Asma dapat dikontrol dengan berbagai cara, tetapi inflamasi yang ada
di saluran nafas tetap ada meskipun gejala sudah tidak timbul selama bertahun-tahun.
Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma hingga
saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan
penatalaksanaan utama adalah menghindari factor penyebab. Dengan
penatalaksanaan yang baik dapat membuat asma menjadi terkontrol yaitu gejala
penyakit berkurang dan faal paru menjadi optimal.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi kronik
yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan karakteristik respon yang berlebihan
terhadap berbagai rangsangan. gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

B. EPIDEMIOLOGI

Asma merupakan masalah kesehatan dunia diperkirakan sebanyak 300 juta orang
menderita asma, dengan prevalensi sebesar 1- 18 %, bervariasi pada berbagai negara.
Kejadian asma dipengaruhi faktor genetik, lingkungan, umur dan terdapat
kecenderungan peningkatan insidensinya terutama didaerah perkotaan dan industri
akibat adanya polusi udara. Prevalensi di Indonesia adalah sebesar 5 7 %. PBB
memperkirakan disability adjusted life years ( DALYs ) sebanyak 15 juta setiap
tahun karena asma yang merupakan 1% dari beban global akibat penyakit. Mortalitas
sebesar 250.000/tahun yang tidak proporsional dengan prevalensi penyakit. Polusi
menyebabkan peningkatan asma diseluruh dunia. Berdasarkan data Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma di dunia
diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus
meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.

2
C. FAKTOR RISIKO

Secara umum faktor resiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:


1. Faktor genetik
a. Hiperreaktivitas.
b. Atopi/Alergi bronkus.
c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik.
d. Jenis Kelamin
e. Ras/Etnik.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif.
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
j. Perubahan cuaca.

D. KLASIFIKASI

Asma menurut Konsensus Internasional diklasifikasikan berdasarkan etiologi,


beratnya penyakit, dan pola waktu terjadinya obstruksi saluran nafas.
1. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi
A. Asma bronkial tipe non atopi (Intrinsik/cryptogenic). Pada asma golongan ini,
keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen
dan sifat-sifatnya ialah:
Serangan timbul setelah dewasa
Pada keluarga tidak ada yang menderita asma
Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan
Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik
Rangsangan atau stimuli psikis mempunyai peran untuk menimbulkan
serangkaian reaksi asma

3
Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non-spesifik merupakan
keadaan yang peka bagi penderita.
B. Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik). Pada golongan ini keluhan ada
hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap alergen lingkungan yang
spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat:
Timbul sejak kanak-kanak.
Pada family ada yang menderita asma.
Adanya eksim pada waktu bayi.
Sering menderita rinitis
C. Asma bronkial campuran (mixed). Pada golongan ini, keluhan diperberat baik
oleh factor- faktor intrinsic maupun ekstrinsik

2. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit


Beratnya penyakit ditentukan oleh berbagai faktor yaitu:
A. Gambaran klinik sebelum pengobatan, dilihat dari gejala, eksaserbasi, gejala
malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis, dan uji faal paru.
B. Obat-obat yang digunakan untuk mengontrol penyakit. Dari gabungan
tersebut asma diklasifikasikan menjadi intermiten, ringan, sedang, berat.

3. Klasifikasi berdasarkan pola waktu serangan


Klasifikasi asma juga bisa dibuat berdasarkan pola waktu terjadinya serangan yang
dipantau dengan pemeriksaan APE. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah:
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
(Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru
I. Intermiten Bulanan APE 80%
* Gejala < 1x/minggu * 2 kali sebulan * VEP1 80% nilai
* Tanpa gejala di luar prediksi
serangan APE 80% nilai
* Serangan singkat terbaik
* Variabiliti APE < 20%

II. Persisten Mingguan APE > 80%


Ringan
* Gejala > 1x/minggu, * >2 kali sebulan * VEP1 80% nilai

4
tetapi < 1x/ hari prediksi
* Serangan dapat APE 80% nilai
mengganggu aktiviti terbaik
dan tidur * Variabiliti APE 20-
30%
III. Persisten Harian APE 60 80%
Sedang
* Gejala setiap hari * > 1x / seminggu * VEP1 60-80% nilai
* Serangan mengganggu prediksi
aktiviti dan tidur APE 60-80% nilai
*Membutuhkan terbaik
bronkodilator * Variabiliti APE > 30%
setiap hari
IV. Persisten Kontinyu APE 60%
Berat
* Gejala terus menerus * Sering * VEP1 60% nilai
* Sering kambuh prediksi
* Aktiviti fisik terbatas APE 60% nilai
terbaik
* Variabiliti APE > 30%

E. PATOGENESIS
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh
serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif.
Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit
atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering
muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya
muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap
asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama
rinitis alergika dan dermatitis atopik.
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan
molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T
CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen
Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari
prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-

5
selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel
tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF,
yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel
mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak
mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel
dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitive
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan
komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan.
Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal.
Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan
makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi
molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran
respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2,
selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan
transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF
untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi,
sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat.
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur
sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of
Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau
Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling.
Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan,
kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran
respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi,
neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk

6
kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien
yang meninggal akibat asma.Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan
lamanya penyakit.

Gambar 01. Patogensis Asma.


Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan
berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan
perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada
patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien
yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh
sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid. Inhalasi alergen akan mengaktifkan
sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih
permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga
memperbesar reaksi yang terjadi.

7
Gambar 02. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan


serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan
limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya
menimbulkan hiperaktivitas bronkus.

F. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :


1. Anamnesa :
Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang
memburuk pada malam hari atau secara musiman.
Riwayat asma sebelumnya

8
Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada
keluarga
Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan bulu
binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu rumah,
obat obatan ( aspirin, penghambat beta ), olah raga, rangsang emosi yang
kuat
Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma

2. Pemeriksaan Fisik :

Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan perpanjangan


ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat.

a) Vital Sign Fitur umum dicatat selama serangan asma akut


tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit), takikardia,
dan pulsus paradoksus.
b) PemeriksaanThorak
Pemeriksaandapat mengungkapkan bahwapasien yang mengalamiserangan
asma dapat dijumpai:
Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium,
retraksi suprasternal)
Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat
terjadi pulsus paradoksus
Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan
Auskultasi: ekspirasi memanjang,wheezing

3. Pemeriksaan Penunjang :

Spirometri :
- ( Volum Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP 1< 70% dari nilai prediksi
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
- Tes reversibilitas : peningkatan VEP1 12% dan 200 ml
menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma
Arus Puncak Ekspirasi ( APE ) :
- Reversibilitas. Peningkatan 60 L/menit ( atau 20% ) dengan
pemberian bronkodilator ( misalnya 200-400 ugr salbutamol ), atau

9
variasi diurnal dari APE 20% ( dengan bacaan 2x sehari > 10% )
menyokong diagnosis asma
- Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan gejala atau
fungsi paru dalam periode tertentu misal 1 hari ( variabilitas diurnal ),
hari atau bulanan.
Pengukuran Status Alergi
Untuk mengidentifikasi komponen alergi pada asma dapat dilakukan
pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum dan eosinofil.
Uji ini dapat membantu mengidentifikasi faktor pencetus sehingga dapat
dilakukan pencegahan terarah. Umumnya dilakukan skin prick test.
Namun, uji ini dapat menghasilkan positif palsu maupun negatif palsu.
Sehingga konfirmasi pajanan alergen dengan timbulnya gejala harus selalu
dilakukan.
Analisa Gas Darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal
serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat pada PaCO2 justru mendekati
normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma yang sangat berat
terjadi hiperkapnea (PaCO2 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis
respiratorik.
Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain
yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi
saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma
yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan
adanya kelainan.

G. PENATALAKSANAAN

Pengobatan Berdasarkan Derajat


Menurut GINA (2009), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi:
1. Asma Intermiten

10
a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol

b. Bila diperlukan pelega, agonis -2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan.


Alternatif dengan agonis -2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja
singkat dan agonis -2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi

c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan,
maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan

2. Asma Persisten Ringan

a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah


progresivitas asma, dengan pilihan:

Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi


dua kali sehari) dan agonis -2 kerja lama inhalasi

Budenoside : 200400 g/hari

Fluticasone propionate : 100250 g/hari

Teofilin lepas lambat

Kromolin

Leukotriene modifiers

b. Pelega bronkodilator (Agonis -2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila


perlu

3. Asma Persisten Sedang

a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah


progresivitas asma, dengan pilihan:

Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis -2 kerja


lama inhalasi

Budenoside: 400800 g/hari

Fluticasone propionate : 250500 g/hari

Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah teofilin lepas lambat

11
Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah agonis -2 kerja
lama oral

Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 g/hari)

Glukokortikosteroid inhalasi (400800 g/hari) ditambah leukotriene


modifiers

b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu

Agonis -2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 34 kali sehari, atau

Agonis -2 kerja singkat oral, atau

Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis -2 kerja singkat

Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah


menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol

c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah


dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis -2 kerja lama
inhalasi

d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau
kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah

4. Asma Persisten Berat

Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala
seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin

Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol


asma, dengan pilihan:

12
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis
-2 kerja lama inhalasi
Beclomethasone dipropionate: >800 g/hari

Selain itu teofilin lepas lambat, agonis -2 kerja lama oral, dan leukotriene
modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis -2 kerja lama inhalai
ataupun sebagai tambahan terapi

Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat


mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan
batuk karena iritasi saluran napas atas

13
Gambar 1: Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma. Sumber: GINA, 2009.

H. Pencegahan Asma

Upaya pencegahan asma dapat ditujukan pada pencegahan sensitisasi alergi


(terbentuknya atopi, nampaknya paling relevan waktu prenatal dan perinatal) atau
mencegah terbentuknya asma pada individu yang tersensitisasi. Selain mencegah
paparan tembakau / rokok waktu dalam kandungan atau setelah kelahiran, tidak ada
intervensi yang terbukti dan diterima luas dapat mencegah terbentuknya asma.

Hygiene hypothesis asma. Walaupun kontroversi nama telah membawa penegasan


bahwa mencegah sensitisasi alergi harus focus mengarahkan kembali repons imun
dari bayi ke Th1 atau modulasi T regulator cell. Tetapi strategi tersebut saat ini masuh
merupakan alam hipotesis dan perlu penelitian lebih banyak.

BAB III

KESIMPULAN

Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi
kronik yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan karakteristik respon yang
berlebihan terhadap berbagai rangsangan. gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari.
Penatalaksanaan asma yang benar adalah tidak hanya mengatasi serangan akut, akan
tetapi penanganan jangka panjang yang bertujuan mencegah terjadinya serangan dan
mengoptimalkan penderita sehingga dapat hidup produktif dan berkualitas, dengan
mengatasi episode perburukan. Kerjasama dokter dan penderita dibutuhkan dalam
penatalaksanaan jangka panjang, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan
penderita dalam menerima dan melakukannya.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan Zulkarnain, dkk. 2012. Kompendium TATALAKSANA PENYAKIT


RESPIRASI & KRITIS PARU. Jakarta : Perhimpunan Respirologi Indonesia.
2. Rengganis, I. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58.
2008.
3. Perhimpunan Paru Indonesia. 2003. ASMA PEDOMAN & PENATALAKSANA
DI INDONESIA.www.klikpdpi.com
4. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009

15

You might also like