You are on page 1of 11

PENCAIRAN KORNEA TERKAIT PEMBERIAN OBAT ANTI-INFLAMASI NON

STEROID SECARA TOPIKAL


Tujuan:
Pemberian obat topikal anti-inflamasi (NSAID) yang sering digunakan untuk
mencegah miosis selama operasi katarak, untuk mengobati alergi mata, untuk mencegah
peradangan berlebihan pasca operasi katarak, dan untuk mengobati edem macula kistoid
setelah operasi katarak. Obat topikal anti-inflamasi (NSAID) juga telah digunakan untuk
mengurangi rasa sakit dan fotofobia pada keratotomi radial dan laser excimer photorefractive
keratectomy. Selama bulan Agustus 1999, komplikasi berat penggunaan NSAID topical yaitu
pencairan kornea, dilaporkan oleh anggota American Society of Cataract and Refractive
Surgery (ASCRS) menanggapi survei didistribusikan di surat-surat dari ASCRS kepada
anggotanya. Tujuan dari laporan ini adalah untuk meninjau 11 kasus pencairan kornea pada
pasien yang diobati dengan NSAID topikal, dengan perhatian khusus terhadap pengamatan
toksisitas dan hubungannya dengan dosis dan durasi pengobatan, penyakit penyerta dan
terapi, dan indikasi pengobatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang berguna dalam meminimalkan kejadian toksikasi pada kornea.
Metode:
Catatan medis dari 11 pasien dengan pencairan kornea terkait penggunaan obat NSAID
topikal dengan melihat faktor-faktor seperti indikasi pengobatan, dosis dan durasi
pengobatan, dan penyakit penyerta dan terapi medis. Selain itu dijelaskan hubungan antara
pengobatan NSAID dan operasi ; pengobatan NSAID dan onset serta toksisitas kornea yang
memanjang .
Hasil :
Setiap 11 pasien menunjukkan terjadi toksisitas kornea yang parah setelah penggunaan
larutan tetes mata diklofenak 0,5 %. Diklofenak generik ( Falcon ) ( Alcon Laboratories ,
Inc , Fort Worth, Texas ) digunakan pada 7 kasus dan Voltaren (Ciba Vision ], Atlanta,
Georgia ) dengan 4 kasus . Lama pengobatan sebelum terjadinya pencairan kornea bervariasi
dari 6 hari sampai 17 bulan. Terkait penyakit mata dan sistemik serta pengobatan masing-
masing penyakit tersebut menyulitkan analisis kasus ini. Selain itu, indikasi pengobatan
dengan NSAID topikal sering tidak jelas.

Kesimpulan :
Dosis toksikasi tidak konsisten dan variabel menunjukkan bahwa keterlibatanfaktor penyakit
lain, bukan hanya penggunaan NSAID topikal yang menjadi penyebab pencairan kornea.
Kasus-kasus menunjukkan pentingnya membuat diagnosis klinis sebelum pengobatan dan
mengikuti perjalanan klinis pasien sehingga benar dalam memberikan terapi.

Pendahuluan
Penggunaan obat anti-inflamasi (NSAID) topikal sering digunakan untuk mencegah
miosis selama operasi katarak , mengobati alergi mata , untuk mencegah inflamasi hebat pasca
operasi , dan untuk mengobati edema macula kistoid setelah operasi katarak. Obat ini juga
digunakan untuk mengontrol rasa sakit dan fotofobia pada keratotomi radial dan laser excimer
photorefractive keratectomy. Selama bulan Agustus 1999 , komplikasi berat penggunaan NSAID
topikal adalah pencairan kornea, dilaporkan oleh anggota American Society of Cataract and
Refractive Surgery ( ASCRS ) menanggapi survei yang didistribusikan melalui surat dari ASCRS
ke anggota. Hal ini menyebabkan penarikan dari Falcon, bentuk generik diklofenak larutan tetes
mata ( Alcon Laboratories , Inc , Fort Worth, Texas ) 0,5. Beberapa fakta telah menyimpulkan
bahwa ketersediaan diklofenak generik adalah satu-satunya alasan yang menyebabkan toksisitas
kornea.
Namun, pentingnya menyelesaikan secara cermat sebelum menyimpulkan bahwa obat
tersebut diisolasi karena menyebabkan toksikasi kornea yang berat. Tujuan penelitian ini bukan
untuk mengganti obat anti-inflamasi (NSAID) untuk analisis kasus pencairan kornea, tetapi
untuk memberikan ulasan dari 11 kasus pencairan kornea pada pasien yang riwayat diobati
dengan NSAID topikal, hubungannya dengan dosis dan lamanya pengobatan , penyakit penyerta
dan terapi , dan indikasi untuk pengobatan . Tujuan dari penelitian untuk membantu
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi berguna dalam meminimalisir terjadinya
toksisitas kornea dengan melihat secara menyeluruh faktor yang terkait dengan toksisitas.

METODE
Rekam medis dari 11 pasien dengan pencairan kornea yang menggunakan NSAID
topikal ditinjau dari indikasi pengobatan , dosis dan durasi pengobatan , dan penyakit penyerta
dan terapi medis. Terdiri dari 11 kasus dimana dari 5 kasus yang diterbitkan, 3 kasus yang
dilaporkan sebagai presentasi poster ,dan 3 kasus dari praktek rujukan penulis . Termasuk 7
kasus yang disebutkan pada Pertemuan Tahunan 104 dari American Academy of Ophthalmology
( AAO ).

HASIL
Masing-masing dari 11 pasien memperlihatkan toksisitas kornea yang berat dengan
pengobatan dengan tetes mata diklofenak 0,5% . Diklofenak generik ( Falcon ) dikaitkan dengan
7 kasus dan Voltaren dikaitkan dengan 4 kasus . Terdapat ringkasan dari 11 kasus disediakan
dalam Tabel I. A singkat deskripsi masing-masing kasus berikut :
KASUS 1
Seorang wanita 76 tahun dengan riwayat mata kering ( hasil tes Schirmer, 2 mm dan 5
mm ) mengeluh mata merah , nyeri pada mata 3 bulan setelah operasi katarak. Diobat dengan
Falcon selama 10 hari, kornea terdapat infiltrate dan kehilangan jaringan 80% yang akhirnya
menjadi perforasi. Hasil kultur bakteri didapatkan Streptokokus grup B .

KASUS 2
Seorang wanita 66 tahun dengan riwayat mata kering diterapi dengan Voltaren dan
Hidroklorida Apraclonidine ( Iopidine ) ( Alcon Laboratories , Inc ) pasca operasi katarak.
Setelah 4 hari pengobatan pasien mengeluh ada sensasi benda asing di mata, merah, fotofobik ,
dan sensasi terbakar setelah pemakaian. Pasien diberitahu untuk mendinginkan Voltaren untuk
mengurangi sensasi terbakar, setelah itu melanjutkan pengobatan. Dilaporkan 29 hari setelah
operasi terjadi kehilangan jaringan sebesar 50 % dan tes Schimer menjadi berkurang.

KASUS 3
Seorang pria 77 tahun dengan riwayat pengobatan Voltaren dan tetes Tobramycin -
Deksametason ( TobraDex ) yang diberikan pasca operasi katarak. Meskipun pada 1 minggu
setelah operasi pemeriksaan mata dalam batas normal, tetapi terjadi perforasi kornea di hari ke-
18 hari pasca operasi. Nilainya Schirmer tes (12 mm dan 8 mm ) dan rangsangan pada kornea
berkurang.

KASUS 4
Seorang pria 71 tahun menderita diabetes mellitus dengan hipertensi diberi pengobatan
Falcon dan Prednisolon 1% , diberikan 6 kali sehari setelah operasi katarak. Pasien merasa tidak
nyaman dan mata merah setelah operasi hari ke-7. Pada hari ke-9 mengalami penurunan
penglihatan. Perforasi kornea terjadi pada hari ke-11 pasca operasi .

KASUS 5
Seorang pria 79 tahun menjalani Laser trabeculoplasty dan diberi pengobatan dengan
prednisolon 1% dengan hasil yang baik . Tetapi Mata menjadi nyeri dan terjadi peningkatan pada
COA 3 minggu setelah operasi . Falcon ditambahkan untuk rejimen larutan tetes mata tartrat
brimonidine( Alphagan ) ( Allergan , Inc , Irvine , California ) , dorzolamide ( Trusopt ) ( Merck
& Co , West Point ,Pennsylvania ) , timolol maleat ( Timoptic ) ( Merck & Co ) , dan latanoprost
( Xalatan ) ( Pharmacia Corp , Kalamazoo ,Michigan ). Pasien mengalami peningkatan nyeri ,
fotofobia , dan hiperemia lebih dari 2 minggu , dan pasien memperlihatkan kehilangan jaringan
99 % dan terjadi descemetokel 17 hari setelah pengobatan dengan Falcon.

KASUS 6
Seorang pria 27 tahun 5 hari pasca operasi laser mengeluh matanya sakit. Tidak ada
penipisan kornea yang diamati pada pemeriksaan. Pasien diberikan rimexolone ( Vexol ) ( Alcon
Laboratories , Inc ), ciprofloxacin ( Ciloxan ) ( Alcon Laboratories , Inc ), dan Falcon obat tetes
mata. Falcon dihentikan, tetapi tetap menggunakan rimexolone dan ciprofloxacin. 6 jam
kemudian terjadi perforasi kornea.

KASUS 7
Seorang wanita 47 tahun dengan riwayat keratotomi radial, 20 tahun yang lalu
menjalani operasi laser. Pasien mendapat pengobatan pasca operasi dengan Falcon,
fluorometholoneasetat (Flarex) (Alcon Laboratories, Inc), dan ciprofloxacin. Pada hari ke-4
pascaoperasi mengeluh mata sakit. Pengobatan dihentikan, dan diberi tetes mata Sefazolin dan
tobramycin. Kornea menjadi perforasi karena ditambahkan kortikosteroid topikal pada rejimen.
Pasien menjalani keratoplasty 5 bulan kemudian.

KASUS 8
Seorang pria 80 tahun mengalami edema makula kistoid 5 bulan setelah operasi
katarak. Pasien diberi pengobatan Voltaren selama 10 bulan tanpa toksikasi. Pengobatan diganti
dengan falcon dan setelah 7 bulan pengobatan pasien merasakan sakit mata. Terjadi penipisan
kornea dan descemetocele setelah 48 jam.

KASUS 9
Seorang wanita 65 tahun dengan trikiasis dan riwayat operasi katarak 3 tahun
sebelumnya menjalani capsulotomy YAG karena mengalami abrasi kornea. Setelah pengobatan
dengan Voltaren tanpa patch, berkembang menjadi erosi kornea berulang. Pasien diberi
intermiten patching, Voltaren, Proparacaine Hidroklorida (Alcaine) (Alcon Laboratories, Inc),
Fluorometholone, dan lensa kontak perban selama 2 minggu. Voltaren dihentikan, setelah terjadi
bulosa keratopati. Meskipun telah dilakukan debridement berselang, pencukuran bulu, dan
pengobatan dengan Voltaren dan Flarex, kornea menunjukkan infiltrat keratitis superfisial.
Akhirnya pasien menjalani keratoplasty.

KASUS 10
Seorang wanita 71 tahun dengan diberi Voltaren , Prednisolon asetat ( Econopred )
( Alcon Laboratories , Inc ), dan Ciprofloxacin pasca operasi katarak. Pasca operasi hari ke-5
pasien merasa nyeri okular, terdapat dellen pada pemeriksaan. Voltaren dihentikan , dan Goniosol
Hidroksipropil Metilselulosa ( Ciba Visi ) ditambahkan ke pengobatan Econopred dengan respon
yang buruk. Kemudian pasien menjalani okulasi konjungtiva dengan hasil yang baik .

KASUS 11
Seorang wanita 77 tahun menderita iritasi mata selama berbulan-bulan setelah operasi
katarak dengan peningkatan rasa sakit dan mata merah ( injeksi tarsus atas) yang tidak diketahui
penyebabnya. Pasien diberi Voltaren setiap 4 jam. 2 minggu kemudian menggunakan Falcon dan
steroid antibiotik tetes mata. Setelah itu penderita mengalami perforasi kornea.
KASUS LAIN
Selain 11 kasus tersebut , perforasi kornea juga dialami oleh 7 pasien dimana mata
asimtomatik setelah operasi katarak dan diobati dengan Falcon dilaporkan pada Pertemuan
Tahunan 104 dari AAO. Meskipun deskripsi klinis rinci tidak ada untuk kasus ini , setidaknya 2
pasien dikatakan memiliki riwayat sumbatan pada sistem lakrimalis yang menunjukkan
gambaran dry eye. Selain itu, tercatat bahwa semua 7 kasus telah terjadi dalam satu praktek ,
dimana belum dilaporkan kasus oksisitas kornea terkait penggunaan NSAID topikal jenis
Voltaren . Disimpulkan bahwa penggunaan Falcon adalah penyebab semua dari kasus pencairan
kornea.

PEMBAHASAN
Jarang ditemukan komplikasi kornea terkait dengan penggunaan NSAID topikal.
Keratitis pungtata superfisialis, infiltrat kornea ,dan defek epitel telah dilaporkan terkait
penggunaan anti - inflamasi. Temuan ini tidak mengherankan , karena sebagian besar topikal
obat-obatan mengandung pengawet terkait dengan toksisistas kornea. Namun, laporan perforasi
kornea terkait dengan pengobatan NSAID topikal mengejutkan dan sangat menarik. Karena
gangguan terkait perforasi kornea karena infeksi maupun non infeksi memiliki berbagai
penyebab , pemeriksaan secara cermat pada pasien adalah penting sebelum toksisitas terhadap
obat diidentifikasi sebagai penyebab dalam semua kasus ini. .
Pengobatan diklofenak generik (Falcon) mungkin menjadi satu-satunya penyebab
perforasi kornea pada tahun 2000. Sayangnya, kesimpulan ini didukung hanya dengan presentasi
yang mencakup data dengan analisis terbatas dan sedikit atau tidak ada diskusi atau
pertimbangan faktor komplikasi dan renana alternatif. 7 kasus perforasi kornea pada pasien yang
diobati Falcon yang dilihat pada pertemuan tahunan AAO sulit untuk dibahas karena faktor
lingkungan yang terkait dan deskripsi klinis tidak tersedia. Selain itu, terlihat bahwa adanya
komorbid penyakit mata sebagian besar diabaikan selama penelaahan kasus ini. Sebagai contoh,
2 pasien yang membutuhkan sumbat pungtus dimasukkan sebagai "Pasien tanpa gejala yang
sehat" disini mengabaikan fakta bahwa pasien dengan sindrom Sjgren dapat berkembang
menjadi ulserasi kornea steril dan perforasi tanpa pengobatan medis atau prosedur bedah.
Selanjutnya, pasien dengan gejala ringan dan tanda klinis tidak signifikan keratitis sicca
memiliki perkembangan penetrasi berat dan ulkus perforasi setelah operasi katarak tanpa terkait
pengobatan medis. Akhirnya, itu sangat mengesankan bahwa tampaknya ada menjadi distribusi
geografis yang tidak seimbang dari kasus-kasus perforasi kornea. Sebuah distribusi asimetris dari
pengamatan toksisitas obat dapat mencerminkan produksi atau manufaktur masalah pada banyak
spesifik obat. Oleh karena itu penting untuk menyelesaikan seksama terhadap semua kasus yang
dilaporkan toksisitas kornea sebelum menyimpulkan bahwa toksisitas obat terisolasi
memperlihatkan toksisitas kornea yang berat.
Ulasan dari 11 kasus toksisitas kornea diamati pada pasien yang menggunakan
diklofenak topikal tidak terbukti kuat untuk mengisolasi toksisitas obat. Potensi penyebab
terjadinya perforasi kornea akut menunjukkan bahwa banyak kasus yang tidak terkait dengan
pengobatan medis, seperti yang dirangkum pada Tabel II. Sedikit bukti bahwa terdapat penyebab
potensial untuk 11 kasus ini . Sebuah diagnosis klinis dan karena itu bukan merupakan indikasi
untuk pengobatan anti - inflamasi dalam 8 dari 11 kasus .Hal ini menunjukkan bagaimana kasus
tersebut bukan karena infeksi meskipun terdapat mata merah yang tidak membuat nyaman yang
tidak pasti penyebabnya ( 9 dari 11 pasien ). Tiga pasien ( kasus 1 , 2 , dan 3 ) terdapat dry eyes.
Keadaan berkurangnya sebuah tear film yang dikaitkan dengan perforasi kornea. Selain itu ,
produksi air mata yang abnormal dapat berkontribusi terjadinya toksisitas kornea ditambah dari
terapi topikal , terutama jika mengandung pengawet. Oleh karena itu , komorbid penyakit lain
mungkin berkontribusi terhadap salah satu atau semua yang diamati pada kasus perforasi kornea
pada 11 kasus ini.
Pemberian pengobatan pada penyakit lokal maupun sistemik menyulitkan analisis
kasus toksisitas kornea. Selama lebih dari 2 dekade, kortikosteroid telah diakui sebagai penyebab
toksisitas kornea. Bahkan , 25 kasus perforasi kornea mengingatkan kasus pencairan kornea yang
telah dilaporkan oleh pengamat. Oleh karena itu , penggunaan kortikosteroid 8 dari 11 pasien ini
penting. Dalam dukungan lebih lanjut dari kemungkinan ini, tercatat dalam 7 kasus,
descemetokel terbentuk meskipun Falcon sudah diberhentikan dan hanya memakai jenis
kortikosteroid. Selain itu terdapat 5 pasien yang terjadi perforasi kornea yang tidak hanya
menggunakan kortikosteroid tetapi juga beberapa obat , beberapa di antaranya berakibat dry eyes
( hidroklorotiazid dan timolol ) dan obat lain yang memiliki potensi untuk mendorong toksisitas
kornea ( dorzolamide , timolol , brimonidine , dan latanoprost ).
Sebuah uji untuk menentukan farmakologis dari penyakit beracun telah diusulkan, lah
dianjurkan penggunaan dalil Koch -type untuk etiologi sebuah kejadian toksik :
a. Tanda klinis toksisitas harus dilakukan pada hewan percobaan
b. Respon terhadap dosis yang toksis mungkin bisa memperlihatkan normal pada distribusi
secara random, tetapi tidak semua pasien mendapatkan efek toksik pada dosis yang berbeda .
c. Penghentian dosis harus disertai dengan penurunan tingkat toksisitas.
Toksisitas kornea yang dilaporkan dalam 11 kasus semuanya tidak memenuhi kriteria.
Pencairan kornea belum diuji pada hewan percobaan dengan menggunakan topikal NSAID.
Sebaliknya , penelitian dari laboratorium menunjukkan bahwa memberikan topikal NSAID dapat
melindungi hewan dari pencairan kornea.
Di samping itu, hati-hati untuk penelitian prospektif, bersamar ganda, studi klinis
pada ratusan pasien yang berindikasi menggunakan NSAID yang aman dimana tidak mengalami
pencairan kornea. Oleh karena itu , mungkin bahwa ada sesuatu molekul dari diklofenak yang
merupakan predisposisi terjadinya toksisitas kornea yang berat . Hal ini masih harus dilihat
bagaimana Falcon ( Generik NSAID) untuk diuji sebagai potensi menjadi pencairan kornea pada
uji coba hewan.
Tidak adanya konsistensi hubungan antara dosis toksisitas dengan kejadian pada 11
kasus pasien tersebut. Contohnya dalam 8 kasus, pasien dirawat dengan pengobatan Voltaren
selama 10 bulan dan Falcon selama 7 bulan untuk edem macula cystoids pasca operasi katarak
tanpa toksisitas yang jelas. Kemudian untuk alasan yang tidak dapat dijelaskan, pasien
berkembang menjadi penipisan kornea dengan pembentukan desmetokel 48 jam setelah
penggunaan Falcon. Riwayat lama penggunaan Falcon tanpa toksisitas kornea diikuti dengan
pencairan kornea secara akut tidak khas untuk kasus toksisitas kornea.
Pasien pada kasus 9 disebutkan penulis mungkin terjadi pencairan kornea. Kasus 9
menunjukkan kornea tahan terhadap toksisitas penggunaan Voltaren. Pasien diberi pengobatan
tersebut untuk beberapa indikasi yaitu abrasi kornea, erosi kornea berulang, dan keratopaty
bullosa. Meskipun pengobatan bersamaan dengan Flarex dan Alcaine , dengan dan tanpa
penambal, perban, kontak lensa dan debridement yang intermiten, tidak terjadi penipisan kornea
selama pemakaian Voltaren 5 bulan. Hal yang luar biasa. Pengobatan pada penyakit mata yang
menyertai bisa menyebabkan kerusakan kornea yang berat, tetapi jarang diamati.
Pada akhirnya, pada kasus 6, pemeriksaan kornea pada pasien normal setelah operasi
excimer dan mengalami perforasi setelah 6 jam penggunaan Falcon. Sulit untuk menemukan
toksisitas obat atau bahan kimia yang disebutkan dalam literatur dengan cepat. Oleh karena itu ,
perbandingankasus 6 , 8 , dan 9 tidak terdapat konsistensi yang tidak biasa ,diamati dari
toksisitas kornea dengan penggunaan topikal diklofenak . Hal tersebut bukan merupakan sebuah
toksisistas akibat penggunaan obat.
Kasus 10 menunjukkan pentingnya pemeriksaan secara cermat pasca operasi. Pasien
merasa tidak nyaman meskipun penglihatan atau visus sudah baik. Diperkirakan pasien
mengalami proses pencairan kornea akibat pemakaian Volterin. 5 hari setelah operasi katarak,
matanya terasa nyeri dan diberi Volterin dan Econopred. Dilakukan pemeriksaan secara cermat
dimana ditemukan dellen yang diobat dengan tepat. Untungnya pasien tidak hanya ditangani
secara agresif untuk resisten terhadap respon inflamasi pasca operasi tanpa dilakukannya
pemeriksaan. Mungkin perlu cermat untuk follow up untuk menghindari kerusakan kornea yang
berat maka dibutuhkan tindakan terapi untuk dellen dengan benar. Sangat ironis, pasien
mengabaikan upaya diagnostic dan terapi dari ahli bedal dan dari hasil visus yang baik, tapi
condong percaya akan isu toksikologi yang saat ini popular di tablot dan diperbincangkan di
internet.
Secara keseluruhan , ulasan dari 11 kasus toksikosis kornea . Yang diamati pada pasien
yang menggunakan topikal diklofenak menunjukan hubungan antara dosis yang tidak konsisten
dan bervariasi dengan toksisistas. Selain itu, teradapat penyakit penyerta lain dan terapi
medisnya yang membuat sulit untuk menetapkan diagnosis definitif saat pengamatan kornea
yang mencair. Kasus-kasus ini menggaris bawahi pentingnya membuat diagnosis klinis sebelum
memberi pengobatan anti-inflamasi NSAID dan lebih berhati-hati pada penggunaan pada pasien
pasca operasi.
Sementara menunggu analisis definitif dari semua kasus pencairan kornea terkait
dengan penggunaan NSAID topikal , tampaknya bijak untuk mengingat teguran dari Sir William
Osler mengenai potensi toksisitas obat , dikutip oleh Dr Fred Wilson II dalam bukunya Amerika
oftalmologi Masyarakat tesis.

You might also like