You are on page 1of 28

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karsinoma Nasofaring

2.1.1. Anatomi dan Histologi Nasofaring

Secara fungsional dan struktural faring terbagi atas tiga bagian, nasofaring,

orofaring, dan hipofaring.10,11 Nasofaring adalah lubang berbentuk pipa dengan

ujung menyempit, terletak di belakang rongga hidung. Bagian atap dan dinding

belakang dibentuk oleh basi sfenoid, basi oksiput dan ruas pertama vertebra.

Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orifisium dari

tuba Eustachian terletak pada dinding lateral, di bagian depan dan belakang

terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas

dan samping dari torus tubarius merupakan ceruk dari nasofaring yang disebut

dengan fossa Rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian

palatum mole. Nasofaring merupakan bagian dari Waldeyer ring.1,2,10,12,13

Gambar 2.1. Pemotongan sagital kepala menunjukkan nasofaring, rongga hidung dan
sinus paranasal. 1. Sinus sfenoidalis; 2. Meatus superior; 3. Meatus media; 4.Tubal
elevation; 5. Tonsil faringeal; 6. Pharyngeal orifice of Eustachian tube;
7. Salpingopharyngeal fold; 8. Pharyngeal recess; 9. Palatum mole; 10. Uvula; 11. Sinus
frontalis; 12. Sphenoethmoidal recess; 13. Superior nasal concha; 14. Middle nasal
concha; 15. Inferior nasal concha; 16. Vestibulum; 17. Meatus inferior; 18. Palatum
durum; 24. Atrium1

Universitas Sumatera Utara


6

Mukosa nasofaring dewasa mempunyai luas permukaan sekitar 50 cm2.

Sebagian besar dilapisi oleh epitel skuamous berlapis dan sekitar 40% dilapisi

oleh epitel kolumnar tipe respiratorius. Epitel skuamous terutama melapisi dinding

anterior dan posterior bagian bawah, juga bagian anterior dinding lateral. Epitel

kolumnar bersilia terutama melapisi regio posterior nares (choanae) dan atap dari

dinding posterior. Sambungan antara skuamous dan kolumnar dapat secara

langsung atau berupa zona intermediet atau transisional, yang terdiri atas sel-sel

basaloid dengan sitoplasma minimal dan biasanya berbentuk bulat atau kuboid.

Kadang-kadang pada saat biopsi zona ini diduga sebagai daerah displasia atau

karsinoma in situ. Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta yang

menjorok ke dalam stroma. Stroma kaya akan jaringan limfoid yang sering dengan

folikel limfoid yang reaktif. Permukaan mukosa dan kripta biasanya diinfiltrasi

oleh sel-sel limfoid yang banyak, yang meluas dan mengubah epitel sehingga

menghasilkan pola retikular. Beberapa kelenjar seromusinus dapat dijumpai, tetapi

tidak sebanyak yang terdapat di mukosa hidung.1,2,10,14

Gambar 2.2. Submukosa nasofaring dengan agregat limfoid merupakan keadaan normal
dan tidak boleh diinterpretasi sebagai suatu proses peradangan10

Universitas Sumatera Utara


7

2.1.2. Epidemiologi

Secara global ditemukan sekitar 65.000 kasus baru KNF dengan 38.000

kematian pada tahun 2000. Sementara pada sebagian besar tempat di dunia jarang

dijumpai (dengan angka kejadian sekitar 1 dari 105 atau 0,6% dari seluruh

kanker),1,2 pada populasi tertentu insidensinya lebih tinggi pada ras China, Asia

Tenggara (seperti Thailand, Philippina, dan Vietnam), Afrika Utara (seperti

Algeria dan Maroko), demikian juga wilayah Arctic (seperti Canada dan Alaska).

Insidensi tertinggi dari karsinoma nasofaring telah lama diamati di Hongkong, di

mana 1 dari 40 laki-laki menderita karsinoma nasofaring sebelum usia 75 tahun.1

Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura.

Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per

100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir

adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000).3

Prevalensi penderita KNF 4,7 orang per 100.000 penduduk pertahun yang

diambil dari data resmi Departemen Kesehatan tahun 1980. Penelitian Fachiroh di

Yogyakarta menyatakan insiden penderita KNF 3,9 orang per 100.000 penduduk.

Di Bagian THT FK-UI RSCM selama periode 1988-1992 didapati 511 penderita

baru KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2000 ditemukan

130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher. Dari

beberapa penyelidikan di Indonesia dan di luar negeri, kasus dini hanya ditemukan

antara 3,8%-13,9%, dibandingkan dengan kasus lanjut (stadium III dan IV) sekitar

88,1%-96,2%.7 Di RSUP HAM periode Juli 2005-Juni 2006 dari 79 penderita

KNF seluruhnya berada pada stadium lanjut, tidak dijumpai penderita dengan

stadium dini.3,5,6,10,15

Universitas Sumatera Utara


8

2.1.3. Etiologi

Etiologi KNF dinyatakan berhubungan dengan interaksi yang kompleks

dari faktor lingkungan dan faktor genetik serta infeksi Epstein-Barr virus.16-21

2.1.3.1. Faktor Genetik

KNF merupakan keganasan yang jarang di sebagian besar tempat di dunia,

namun KNF merupakan salah satu kanker tersering di Asia Tenggara dengan

insidensi berkisar 10-53 kasus per 100.000 penduduk. Insidensinya juga tinggi di

Alaska, Greenland dan Tunisia dengan kisaran 15-20 per 100.000 penduduk.

Terdapat risiko familial yang tinggi pada populasi Kanton dan pada orang-orang

dengan riwayat KNF pada keluarga. Banyak penelitian yang membuktikan adanya

kelainan pada kromosom antara lain translokasi, amplifikasi, dan delesi 3p, 5p dan

3q juga pada kromosom lain yang bervariasi pada masing-masing kasus.

Inaktivasi gen supresor tumor pada 9p, 11q, 14q, dan 16q serta perubahan

onkogen pada kromosom 8 dan 12 juga ditemukan pada KNF. Beberapa studi

menunjukkan bahwa delesi kromosom 3p merupakan kelainan genetik yang paling

sering ditemukan pada KNF. Beberapa studi lain juga menunjukkan adanya

polimorfik dalam gen yang memetabolisme karsinogen yang berhubungan dengan

KNF. Cytochrome P450 2E1 (CYP2E1) dan Cytochrome P450 2A6 (CYP2A6)

merupakan grup cytochrome P450 yang respon terhadap aktivasi metabolik

nitrosamin dan karsinogen lain. Gen-gen ini diduga berperan dalam timbulnya

KNF.22

Salah satu studi di Cina pada keluarga penderita KNF dijumpai adanya

lokus yang rentan pada regio HLA (human leukocyte antigen). Studi dari

kerentanan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan

Universitas Sumatera Utara


9

HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang

meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring.12,23 Studi oleh Goldsmith et al

menyatakan adanya hubungan pada risiko KNF dengan HLA-A2, HLA-B14, dan

HLA-B46.2

2.1.3.2. Faktor Lingkungan

Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF

dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada

mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton

(Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan

lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Banyak studi case-control pada

berbagai populasi (Kanton, Cina Selatan lainnya, Cina Utara dan Thailand)

menunjukkan bahwa makanan gaya Kanton mengandung nitrosodimethyamine

(NDMA), N-nitrospyrrolidene (NPYR), dan N-nitrospiperidine (NPIP) dalam

jumlah besar yang dapat menjadi faktor karsinogenik terhadap KNF.3,20 Paparan

ikan asin sejak usia muda merupakan resiko tinggi KNF pada populasi Cina

Selatan. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai

pengganti air susu ibu pada saat menyapih. Peneliti lainnya mencoba

menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam

lainnya seperti udang asin, telur asin. Pada penelitian terhadap hewan percobaan

diketahui bahwa tumor nasal dan nasofaringeal dapat diinduksi pada tikus dengan

memberi ikan asin dalam makanan mereka. Pajanan di tempat kerja seperti asap,

paparan formaldehyde dan debu kayu juga telah diketahui merupakan faktor risiko

bagi timbulnya KNF. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan

alami (Chinese Herbal Medicine = CHM). Hildesheim et al memperoleh

Universitas Sumatera Utara


10

hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan

CHM.3,20

2.1.3.3. EpsteinBarr Virus

Hubungan dekat yang konstan antara EBV dan KNF, terlepas dari latar

belakang etnis, menunjukkan kemungkinan peran onkogenik virus dalam

pembentukan tumor ini. Bukti-bukti mencakup: (1) meningkatnya titer antibodi,

khususnya IgA, terhadap EBV (yang tersering viral capsid antigen dan early

antigen) pada kebanyakan penderita KNF dibandingkan kontrol normal dan

penderita kanker lainnya; (2) tingginya titer IgA antibodi terhadap EBV pada

penderita dengan tumor yang besar; (3) adanya DNA atau RNA EBV dalam

hampir semua sel KNF; (4) adanya EBV dalam bentuk episomal klonal,

menunjukkan bahwa virus telah berada di dalam sel tumor sebelum ekspansi

klonal; (5) adanya EBV dalam lesi prekursor KNF, tetapi tidak pada epitel

nasofaring normal. Bukti dianggap cukup untuk menyatakan bahwa EBV adalah

karsinogenik oleh the International Agency for Research on Cancer (IARC) pada

tahun 1997.1

Hubungan antara EBV dan KNF pertama kali ditemukan oleh Old et al

pada tahun 1966 dengan menggunakan metode in situ hybridization dan the

anticomplement immunofluorescent (ACIF). Studi lainnya menunjukkan ekspresi

gen laten EBV yaitu EpsteinBarr virus nuclear antigen (EBNA), latent

membrane protein-1 (LMP-1), LMP-2, dan EBV encoded small RNAs (EBER)

dalam sel-sel KNF untuk mengkonfirmasi adanya infeksi EBV dalam sel-sel

tumor. Sekitar 90% penderita undifferentiated nasopharyngeal carcinomas

dewasa di seluruh dunia positif mengandung EBV secara serologi. Beberapa studi

Universitas Sumatera Utara


11

menemukan bahwa KNF dengan EBV tumbuh lebih cepat dan lebih cenderung

untuk bermetastasis dibanding yang tidak mengandung EBV.20-30

EBV-Encoded Latent Membrane Proteins LMP1 merupakan protein

membran integral dengan potensi onkogenik, dikode oleh gen BNLF-1 (juga

dikenal sebagai gen LMP1) dari EBV, dapat mentransformasi sel hewan pengerat

dan mengubah fenotipe baik sel limfoid maupun sel sepitel. LMP1 terekspresi

dalam kebanyakan KNF, dan diduga kuat memiliki peranan penting dalam

patogenesis dan perkembangan KNF dan ekspresinya berhubungan dengan

prognosis yang buruk.17,27

Infeksi EBV dalam KNF merupakan tampilan dari pola latensi tipe II dari

virus, yang mengekspresikan EBV nuclear antigen-1 (EBNA-1) dan latent

membrane protein 1 (LMP1), tetapi tidak mengekspresikan EBNA2-6. EBV

encoded early RNAs (EBERs) juga diekspresikan secara kuat pada tumor ini.

LMP1, protein virus dengan perangkat transformasi, dapat menginduksi

hiperplasia epidermal, menghambat diferensiasi skuamous, melakukan upregulasi

adhesion molecule ICAM-1 dan CD40, mengaktivasi nuclear factor-B (NF--

B), dan menginduksi ekspresi epidermal growth factor receptor.1

2.1.4. Patogenesis

KNF terbentuk melalui beberapa tahap karsinogenesis, namun sirkuit yang

sangat terintegrasi dan kompleks molekul sinyal dalam patogenesis KNF masih

sebagian yang dipahami. Adanya disregulasi dan ekspresi protein abnormal

molekul dalam jalur sinyal tertentu yang terlibat dalam fungsi selular termasuk

proliferasi, adhesi, kelangsungan hidup, dan apoptosis telah dibuktikan dalam sel

KNF.21

Universitas Sumatera Utara


12

Gambar 2.3. Tahapan evolusi kanker nasofaring1

2.1.5. Gambaran klinis

Karena lokasi anatomisnya maka rongga nasofaring sulit untuk dilihat dan

tumor yang tumbuh sering tidak diketahui dan sedikit yang memberikan gejala

pada fase awal. Gejala sering hanya sedikit memberikan gejala pada waktu yang

lama dengan pola mirip dengan kelainan umum di hidung dan nasofaring.

Kadang-kadang mukosa nasofaring terlihat normal walaupun telah terjadi

penyebaran tumor ke KGB regional atau bahkan sudah menjalar ke

intrakranial.6,15 Penemuan penderita pada stadium I dan II (kasus dini), dimana

belum terjadi metastasis regional sangat sulit dicapai baik di Indonesia maupun di

luar negeri.5

Gejala KNF dapat dibedakan antara gejala dini dan gejala lanjut. Gejala

dini merupakan gejala yang timbul sewaktu tumor masih tumbuh dalam batas

nasofaring (gejala setempat disebabkan oleh tumor primer), berupa gejala-gejala

hidung dan gejala-gejala telinga). Gejala lanjut merupakan gejala yang timbul

karena tumor telah tumbuh keluar dari nasofaring, baik infiltrasi tumor ke jaringan

sekitarnya maupun metastasis.31

Universitas Sumatera Utara


13

Gejala telinga timbul akibat penyumbatan tuba Eustachius oleh massa

tumor antara lain tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga, rasa tersumbat,

berkurangnya pendengaran dan sering otitis media. Jika seseorang dengan

suku/ras Cina datang dengan kemungkinan otitis media serosa maka ahli THT

harus mempertimbangkan kemungkinan dia menderita KNF.6,24 Gejala hidung

yang biasanya muncul adalah epistaksis ringan dan obstruksi hidung. Perdarahan

hidung dapat terjadi berulang-ulang, sedikit-sedikit dan bercampur dengan ingus.

Gejala obtruksi hidung biasanya menetap dan bertambah berat akibat massa tumor

yang menutupi koana.6,31

Pada keadaan lanjut tumor tumbuh ekspansif ke depan mengisi nasofaring

menutup koana sehingga timbul gejala hidung tersumbat secara unilateral atau

bilateral. Bila tumor tumbuh ke bawah maka palatum mole akan terdesak sehingga

timbul gangguan menelan atau sesak. Bila tumor tumbuh ke atas, menjalar melalui

formen laserum dan foramen ovale masuk ke intrakranial dan mengenai dura

maka akan timbul sakit kepala hebat. Selanjutnya akan mengenai saraf kranial.

Keluhan saraf yang tersering adalah adalah paresis saraf abdusen (N VI) dengan

keluhan diplopia dan strabismus, dan paresis saraf trigeminus (N V) dengan

keluhan baal di pipi dan wajah atau timbul gejala neuralgia Trigeminal (nyeri

hebat pada daerah wajah, sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah dan

lidah), biasanya secara unilateral.6,31 Bila mengenai N III dan IV akan timbul

ptosis dan oftalmoplegia. Lebih lanjut lagi akan mengenai N IX, X, XI dan XII.31

Pembesaran KGB leher yang merupakan gejala lanjut KNF, merupakan

keluhan yang paling sering yang menyebabkan penderita datang berobat.

Pembesaran KGB leher adalah akibat penyebaran KNF secara limfogen. Lokasi

Universitas Sumatera Utara


14

kas KGB leher yang membesar adalah daerah yang terletak di bawah angulus

mandibula di dalam otot strenokleidomastoideus, di mana kelenjar teraba keras,

tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah digerakkan karena biasanya juga telah

mengenai jaringan otot di bawahnya.6,31 Metastasis jauh terjadi secara hematogen

maupun limfogen, biasanya ke tulang, paru, ginjal, limpa dan hati dengan gejala

sesuai dengan organ yang terkena.3,6,12,13,15,31

Sebagai pedoman adanya KNF bila dijumpai kumpulan gejala yang

disebut sebagai TRIAS yaitu :

I. Pembesaran KGB leher, gejala telinga, gejala hidung.

II. Pembesaran KGB leher, gejala intrakranial (saraf dan mata), gejala

hidung dan telinga.

III. Gejala intrakranial, gejala hidung dan telinga.31

2.1.6. Pemeriksaan

Pada kasus yang dicurigai suatu KNF, maka perlu dilakukan pemeriksaan

menyeluruh daerah kepala dan leher terutama nasofaring, termasuk memeriksa

adanya pembesaran KGB di leher.6,11,19 Pemeriksaan dengan menggunakan

nasofaringoskop kaku (rigid nasopharyngoscopy) atau lentur (flexible

nasopharyngoscopy) sehingga tumor kecil dapat tampak lebih jelas. Dengan

nasofaringoskopi biopsi nasofaring dapat langsung dilakukan di bawah anestesi

lokal atau biopsi di bawah anestesi umum.6 Biopsi jaringan nasofaring mutlak

dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan menentukan subtipe histologi.

Pemeriksaan ini merupakan baku emas diagnosis KNF. 6,12

Pemeriksaan radiologik untuk mendeteksi tumor di nasofaring, juga dapat

digunakan sebagai penuntun biopsi serta untuk menentukan luas penyebaran

Universitas Sumatera Utara


15

tumor. CT-scan nasofaring merupakan pemeriksaan yang mempunyai nilai

diagnostik tinggi, di mana tumor dini pada fossa Rosenmuller dapat terlihat. CT-

scan dengan kontras dapat menentukan batas tumor dan dapat menilai kelenjar

limfe dan pembuluh darah. MRI (Magnetic resonance imaging) merupakan

pemeriksaan pilihan untuk melihat perluasan regional karena sensitivitasnya untuk

mendeteksi metastasis ke retrofaring. MRI lebih baik dibanding CT-scan dalam

membedakan jaringan tumor dari jaringan lunak di sekitarnya. KGB leher

profunda dan keterlibatan sumsum tulang secara dini.1,6,32,33

Pemeriksaan patologik KNF dapat dilakukan dengan pemeriksaan

sitologik. Sediaan sitologik dari nasofaring diperoleh dengan beberapa cara antara

lain kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan biopsi

aspirasi jarum halus dengan penuntun. Akan tetapi hasilnya sering meragukan

sehingga kurang dipergunakan dalam diagnosis KNF.6 Sebagian besar KNF

ditemukan dengan pembesaran KGB di leher. Metastasis karsinoma ke KGB leher

bukan hanya berasal dari nasofaring tetapi juga dari beberapa jaringan lain di

sekitar kepala dan leher, bahkan dengan gambaran yang hampir sama, oleh karena

itu perlu dibuktikan bahwa pembesaran KGB leher benar-benar merupakan

metastasis KNF.6,12 Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis ini adalah biopsi

aspirasi jarum halus. Karena teknik ini mudah diagnosis dapat dibuat dalam waktu

singkat dengan akurasi yang cukup tinggi, maka di banyak sentra biopsi aspirasi

sering digunakan sebagai pilihan pertama pada penatalaksanaan metastasis

KNF.12,13

Pemeriksaan serologik dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi EBV

sebagai salah satu faktor penyebab berkembangnya KNF. Titer antibodi terhadap

Universitas Sumatera Utara


16

EBV seperti IgA (Antibodi terhadap VCA-viral capsid antigen, maupun EA-early

antigen), antigen EBV rekombinan seperti EBV nuclear antigens (EBNA)yang

paling sering dipergunakan. Hasil pemeriksaan serologi positif untuk EBV

ditemukan pada hampir 100% nonkeratinizing carcinoma, sedangkan keratinizing

squamous cell carcinoma cenderung kurang membawa EBV dibanding

nonkeratinizing carcinoma.1

2.1.7. Klasifikasi

Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan WHO: (1). Keratinizing

squamous cell carcinoma ICDO 8071/3. Tipe KNF ini menunjukkan diferensiasi

skuamous dengan adanya intercellular bridges, dan keratin dalam gambaran

histologinya; (2). Nonkeratinizing carcinoma (ICDO 8072/3) yang mencakup tipe

berdiferensiasi dan tipe tidak berdiferensiasi (undifferentiated). Tumor ini

umumnya lebih radiosensitif dan mempunyai hubungan yang kuat dengan EBV.

(2.1). Differentiated nonkeratinizing carcinoma. Sel-sel tumor menunjukkan

diferensiasi dengan maturasi sel skuamous. (2.2.). Undifferentiated carcinoma.

Sel-sel tumor dengan bentuk inti oval atau bulat vesikular dengan anak inti

menonjol. Batas antar sel tidak jelas dan dengan hubungan antar sel yang sinsitial;

(3). Basaloid squamous cell carcinoma (ICDO 8083/3). Merupakan tipe histologi

yang jarang, terdiri dari komponen basaloid dan komponen skuamous.1

Universitas Sumatera Utara


17

Tabel 2.1. Perubahan klasifikasi karsinoma nasofaring sejak tahun 1978 sampai
sekarang2

World Health Organization (1978)


1. Squamous cell carcinoma
2. Nonkeratinizing carcinoma
3. Undifferentiated carcinoma

World Health Organization (1991)


1. Squamous cell carcinoma
2. Nonkeratinizing carcinoma
a. Differentiated nonkeratinizing carcinoma
b. Undifferentiated carcinoma

World Health Organization (2005)


1. Squamous cell carcinoma
2. Nonkeratinizing carcinoma
a. Differentiated nonkeratinizing carcinoma
b. Undifferentiated carcinoma
3. Basaloid squamous carcinoma

2.1.8. Gambaran sitologi dan histopatologi karsinoma nasofaring

2.1.8.1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma

memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya. Dijumpai

adanya diferensiasi dari sel skuamous dengan intercellular bridge atau

keratinisasi.12,14,29,34 Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-pulau yang dihubungkan

dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit, sel

plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal

dan berlapis. Sel-sel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma

eosinofilik yang banyak mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin

pearls.1,12,35

Universitas Sumatera Utara


18

A B

Gambar 2.4. Nasopharyngeal keratinizing squamous cell carcinoma. A. Tumor


menunjukkan invasi ke stroma. B. Pulau-pulau sel tumor yang invasif berbentuk ireguler
dengan stroma desmoplastik. Sel-sel tumor menunjukkan diferensiasi skuamous yang
jelas disertai keratinisasi1

Pada sediaan sitologik inti karsinoma sel skuamous berbentuk lebih

"spindel" dengan kromatin yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme

inti lebih jelas terlihat. Nukleoli bervariasi dalam besar dan jumlah, sitoplasma

lebih padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah dikenali. Keratinisasi

merupakan indikasi yang paling dapat dipercaya sebagai tanda adanya diferensiasi

ke arah sel skuamous. Bila keratinisasi tidak terlihat maka dijumpainya halo pada

sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma pada bagian pinggir sel

merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai

karsinoma sel skuamous.12,36-38

Gambar 2.5. Gambaran sitologi karsinoma sel skuamous, inti pleomorfik, kromatin
kasar, batas sel jelas, sitoplasma kebiruan.12

Universitas Sumatera Utara


19

2.1.8.2. Nonkeratinizing Carcinoma

Secara histopatologi tumor terdiri dari lembaran padat, pulau-pulau yang

tidak teratur, lembaran yang diskohesif dan trabekula bercampur dengan limfosit

dan sel plasma yang bervariasi jumlahnya. Subklasifikasi menjadi subtipe

undifferentiated dan differentiated adalah pilihan, perbedaan daerah biopsi dalam

satu tumor atau biopsi yang diambil pada interval waktu yang berbeda dari pasien

yang sama mungkin menunjukkan gambaran subtipe yang berbeda. Ketika kedua

subtipe terlihat dalam spesimen, tumor dapat diklasifikasikan sesuai dengan

subtipe yang menonjol, atau sebagai nonkeratinizing carcinoma dengan gambaran

dari kedua subtipe.1

2.1.8.2.1. Differentiated Subtype

Pada pemeriksaan histopatologi nonkeratinizing carcinoma differentiated

subtype memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau.12,14,35

Gambaran stratifikasi sering dengan pertumbuhan plexiformis, mirip dengan

karsinoma sel transisional kandung kemih.1 Sel-sel menunjukkan batas antar sel

yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar.

Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti

sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkromatik dan anak inti tidak menonjol.1,12

A B
Gambar 2.6. Nasopharyngeal nonkeratinizing carcinoma, differentiated type. A.
Karsinoma invasif menunjukkan degenerasi kistik dengan nekrosis. B. Pada pembesaran
kuat sel-sel tumor menunjukkan pleomorfisitas dan hiperkromatik yang jelas dengan rasio
inti-sitoplasma yang meningkat, mitosis yang juga meningkat dan polaritas yang
menghilang. Tidak dijumpai tanda-tanda keratinisasi.38

Universitas Sumatera Utara


20

2.1.8.2.2. Undifferentiated Subtype

Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada nonkeratinizing carcinoma

undifferentiated subtype (undifferentiated carcinoma) berupa kelompokan sel-sel

berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang membesar dan khromatin

pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma rapuh, dijumpai latar belakang sel-

sel radang limfosit diantara sel-sel epitel.1,12,36,37 Sebaran sel-sel tumor yang besar

di sekitar sel-sel limfoid dapat menyerupai Hodgkin lymphoma.1

A B

Gambar 2.7. Gambaran sitologi undifferentiated carcinoma. Kelompokan sel-sel epitel


undifferentiated, dengan inti vesikuler, nukleoli menonjol dan sitoplasma pucat dan
rapuh, dengan latar belakang limfosit.(A. diwarnai dengan MGG, B. diwarnai dengan
H&E.)37

Pada pemeriksaan histopatologi undifferentiated carcinoma ditandai

dengan sel-sel tumor yang besar tersusun sinsitial dengan batas sel yang tidak

jelas, inti vesikuler bentuk bulat sampai oval, dan nukleoli yang jelas di tengah.

Sel-sel sering terlihat padat atau bahkan tumpang tindih. Kadang-kadang, inti

dapat kaya akan kromatin dibanding vesikular. Sitoplasma sedikit yang amfofilik

atau eosinofilik.1,34 Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat

sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga

sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel

plasma, eosinofil, epiteloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang).12,14,35

Universitas Sumatera Utara


21

Terdapat dua pola pertumbuhan undifferentiated subtype yaitu tipe

Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang

dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Tipe kedua yaitu tipe

Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel

radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma.12,14,35

Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma

nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma

nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan

berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari limfoma

biasanya dengan pinggir lebih iregular, kromatin kasar dan anak inti lebih kecil

dan berwarna basofilik atau amfofilik.12,14,35

A B

C D
Gambar 2.8. Nasopharyngeal nonkeratinizing carcinoma, undifferentiated subtype.
A. Disebut sebagai lymphoepithelial carcinoma, dengan karakteristik sel-sel limfoid
sebagian bercampur dengan sel-sel tumor membentuk agregat kecil sehingga sulit
menentukan asal sel dari epitel. B. Tampak sel-sel berbentuk spindel dengan inti
hiperkromatik dan nukleoli tidak menonjol. C. Sel-sel karsinoma dengan inti vesikular.
D. Kadang-kadang beberapa sel dapat menunjukkan amyloid globules di antara sel-sel
tumor, bahkan ada yang intraselular sehingga mendorong inti ke tepi1

Universitas Sumatera Utara


22

Gambar 2.9. Undifferentiated


carcinoma Regaud type, terdiri dari
sel-sel yang membentuk sarang-
sarang padat35

Gambar 2.10. Undifferentiated


carcinoma Schmincke type, terdiri
sel-sel yang tumbuh membentuk
gambaran sinsisial yang difus35

2.1.8.3. Basaloid Squamous Cell Carcinoma

Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous

cell carcinoma.1,12,35 Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan

sel-sel skuamous. Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkromatik dan

tidak dijumpai anak inti dan sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan

konfigurasi lobular dan pada beberapa kasus dijumpai adanya peripheral

palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara

komponen basaloid dan skuamous jelas.1,12

Gambar 2.11. Basaloid squamous


cell carcinoma pada nasofaring.
Sel-sel basaloid menunjukkan pola
pertumbuhan festooning, sel-sel
basaloid berselang-seling dengan
squamous differentiaton.1

Universitas Sumatera Utara


23

2.1.9. Metastasis Karsinoma Nasofaring Pada Kelenjar Getah Bening Leher

Pembesaran KGB leher bagian atas merupakan gejala tersering dari KNF. 1

Lebih dari 90% dari metastasis KGB yang didiagnosis dengan aspirasi awal. Salah

satu bantuan yang sangat penting dalam penanganan tumor di leher, dan bagi

onkologi kepala dan leher secara umum adalah melihat tingkat KGB leher yang

terlibat.7 Insidensi lokasi metastasis KNF pada KGB leher diteliti oleh Ho et al

dapat dilihat pada gambar 2.12. Hasil meta-analisis dari 13 uji klinis

menggunakan MRI untuk diagnosis dan penentuan stadium untuk KNF

mengungkapkan bahwa KGB leher yang paling sering terlibat meliputi KGB

retrofaringeal lateral dan KGB tingkat II dengan kemungkinan metastasis masing-

masing 69,4% & 70,4%. Selanjutnya kelompok KGB diikuti oleh tingkat III, VA,

dan IV, dengan kemungkinan masing-masing sebesar 44,9%, 26,7%, 11,2%.

Beberapa kelompok KGB leher, termasuk tingkat I, tingkat VI, parotis dan

kelenjar supraklavikula memiliki risiko yang sangat rendah untuk metastasis KNF.

Sebuah temuan penting adalah bahwa penyebaran limfatik di KGB leher

berlangsung berantai secara teratur dari KNF primer. Terdapat risiko yang sangat

rendah sekitar 0,5% untuk skip metastasis.33

Pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi jarum halus pada KGB leher yang

membesar merupakan pemeriksaan yang sangat bernilai untuk mendiagnosis

metastasis KNF, juga sebagai diagnosis awal dan untuk menentukan stadium.

Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan imunositokimia dengan sitokeratin dan in-

situ hybridization untuk EBER baik pada apusan atau pada sel blok.1

Universitas Sumatera Utara


24

Gambar 2.12. Ringkasan insidensi metastasis karsinoma nasofaring pada


kelenjar getah bening leher33

A B

C
Gambar 2.13. Metastatis karsinoma nasofaring pada kelenjar getah bening. A. Gambaran
sitologi biopsi aspirasi KGB menunjukkan kelompokan sel-sel tumor di antara sel-sel
limfosit matur. B. Secara histologi dengan pembesaran sedang menunjukkan area dengan
pertumbuhan sel-sel tumor dengan kohesi antar sel yang kuat. C. Sel-sel tumor dengan
pewarnaan imunohistokimia dengan sitokeratin.1

2.1.10. Pewarnaan Imunohistokimia

Secara praktis semua sel tumor menunjukkan hasil positif kuat terhadap

pan-cytokeratin (AE1/AE3, MNF-116); yang terwarnai secara uniformis, berbeda

dengan undifferentiated carcinoma dari tempat lain (misalnya paru atau tiroid)

Universitas Sumatera Utara


25

yang terwarnai secara fokal. Juga terwarnai positif kuat dengan high molecular

weight cytokeratins (seperti CK 5/6, 34E12). Dengan epithelial membrane

antigen biasanya memberi reaksi secara fokal saja, pada kebanyakan kasus

menunjukkan reaksi positif kuat pada inti sel tumor.1

Beberapa marker lain untuk KNF antara lain p53, epidermal growth factor

receptor (EGFR), vascular endothelial growth factor (VEGF), Ki-67 dan c-erbB2

(HER2/neu) serta protein EBV antara lain EBNA, LMP1 dan

EBER.9,15,21,24,27,28,38,39

A B
Gambar 2.14. Pewarnaan imunohistokimia pada nonkeratinizing carcinoma
undifferentiated subtype. A. In-situ hybridization for EBER menunjukkan reaksi positif
pada semua inti sel tumor (nuclear labeling). B. Imunohistokimia dengan pan sitokeratin
menunjukkan reaksi positif pada epitel permukaan dan pada kelompokan ireguler sel-sel
tumor di dalam stroma.1

2.1.11. Stadium Klinik

Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC

(Union Internationale Centre Cancer ) dan AJCC (Americant Joint Committe on

Cancer). Untuk karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai berikut :

T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya

T1 : Tumor terbatas pada nasofaring

T2 : Tumor meluas ke orofaring dan/atau fossa nasal

T2a : Tanpa perluasan ke parafaring

T2b : Dengan perluasan ke parafaring

T3 : Invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasal

Universitas Sumatera Utara


26

T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai saraf otak, fossa

infratemporal, hipofaring atau orbita

N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regional

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm

N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm

N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikula

M menggambarkan metastasis jauh

M0 : Tidak ada metastasis jauh

M1 : Terdapat metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

Satdium 0 : Tis, N0, M0

Stadium I : T1, N0, M0

Stadium IIA : T2a, N0, M0

Stadium IIB : T1, N1, M0; atau T2a, N1, M0; atau T2B, N0,N1, M0

Stadium III : T1, N2, M0; atau T2a, T2b, N2 M0; atau T3, N0, N1, N2, M0

Stadium IVA : T4, N0, N1, N2, M0

Stadium IVB : Tiap T, N3, M0

StadiumIVC : Tiap T, Tiap N, M1.1,2,6,10,37,39

Universitas Sumatera Utara


27

2.1.12. Penatalaksanaan

Terapi baku dengan menggunakan radioterapi, dengan angka ketahan

hidup sekitar 50-70%, tetapi beberapa penulis menganjurkan untuk

mengkombinasikan dengan kemoterapi.34 Undifferentiated Cacinoma lebih

radiosensitif sedangkan keratinizing squamous cell carcinoma merupakan yang

paling tidak radiosensitif.10

KNF mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap radiasi dibanding

kanker pada kepala dan leher lain. Radioterapi pada KNF stadium dini (I dan II)

merupakan terapi pilihan, sedangkan pada stadium lanjut (III dan IV)

dikombinasikan dengan kemoterapi.6,13

Kemoterapi diberikan pada KNF dengan indikasi metastasis ke KGB leher,

metastasis jauh dan kasus residif. Pemberian kemoterapi dikombinasikan dengan

radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan sebelum radioterapi (neoadjuvant),

selama radioterapi (concurrent/concomitant) atau setelah radioterapi (adjuvant).6

Terapi bedah kurang dipakai dalam penalaksanaan KNF, terbatas pada

diseksi leher untuk mengontrol KGB yang radioresisten dan metastasis leher

setelah radioterapi. Terapi bedah juga dilakukan pada kasus relaps di nasofaring

atau di KGB tanpa metastasis jauh.6

2.1.13. Prognosis

Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia

muda), staging klinik dan lokasi dari metatasis regional (lebih baik pada yang

homolateral dibandingkan pada metastasis kontralateral dan metastasis yang

terbatas pada leher atas dibandingkan pada leher bawah).10 Studi terakhir dengan

menggunakan TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk

Universitas Sumatera Utara


28

stadium I 98%, stadium II A-B 95%, stadium III 86%, dan stadium IV A-B

73%.10,34 Berdasarkan tipe histologik, prognosis lebih buruk pada keratinizing

squamous cell carcinoma dibandingkan dengan yang lainnya.10,35

Diagnosa dini sangat menentukan prognosis penderita. Hal ini sukar

dicapai karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak

di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di

dalam tengkorak maupun leher. Diagnosis dini yaitu menemukan kasus KNF pada

stadium I dan IIA, dimana belum terjadi metastasis regional. Keadaan ini sangat

sulit dicapai baik di Indonesia maupun di luar negeri.13

2.2. LMP1

EBV-Encoded Latent Membrane Proteins 1 (LMP1) merupakan protein

membran integral dengan potensi onkogenik, dikode oleh gen BNLF-1 (juga

dikenal sebagai gen LMP1) dari EBV, dapat mentransformasi sel hewan pengerat

dan mengubah fenotipe baik sel limfoid maupun sel sepitel. LMP1 terekspresi

dalam kebanyakan KNF, dan diduga kuat memiliki peranan penting dalam

patogenesis dan perkembangan KNF dan ekspresinya berhubungan dengan

prognosis yang buruk.9,17,21,28,40

Studi oleh Zheng et al menyatakan LMP1 merupakan protein membran

integral yang mengandung cytoplasmic amino terminus, six transmembrane

domains, dan long cytoplasmic carboxy terminal portion. LMP1 berfungsi sebagai

pengganti tumor necrosis factor receptor (TNFR), mengaktivasi sejumlah jalur

sinyal. Secara fungsional LMP1 mirip dengan CD40 yang merupakan anggota

tumor necrosis factor receptor superfamily, menimbulkan sinyal pertumbuhan dan

Universitas Sumatera Utara


29

diferensiasi sel B. Dua domain fungsional, yaitu C-terminal activation regions 1

(CTAR-1) dan CTAR-2, dalam cytoplasmic carboxy terminus dari LMP1, dapat

mengaktivasi faktor transkripsi NF-kB, yang dapat menyebabkan upregulasi

produk gen antiapoptotik. LMP1 berperan penting dalam imortalitas sel B

manusia melalui aktivasi sejumlah jalur sinyal seluler, termasuk NF-kB, JNK,

JAK/STAT, p38/MAP, dan Ras/MAPK. Dalam sel epitel manusia LMP1

mengubah beberapa materi fungsional yang terlibat dalam progresi dan invasi

tumor. Temuan dalan studi ini menunjukkan bahwa LMP1 meningkatkan

transkripsi dan ekspresi MMP-9 melalui NF-kB dan AP-1 yang menjadi salah satu

mekanisme LMP1 dalam memediasi invasi dan metastasis sel-sel KNF. Selain itu

LMP1 juga meningkatkan transkripsi dan ekspresi VEGF dalam lini sel-sel KNF

melalui jalur JAK3/STAT3. LMP2 tidak terlibat dalam transformasi sel B secara

in vitro, namun ekspresinya menunjukkan peranan penting dalam

mempertahankan virus dalam tubuh. Pada studi ini dinyatakan bahwa LMP1

merupakan molekul utama dalam patogenesis KNF, sehingga mengganggu sinyal

LMP1 menjadi strategi yang menjanjikan untuk terapi target pada KNF.28

Gullo et al dalam studinya menyatakan secara in vitro ekspresi LMP1

dalam sel epitel dapat menyebabkan upregulasi ekspresi intercellular adhesion

molecule 1 (ICAM-1), CD40, dan sitokin-sitokin seperti interleukin 6 (IL-6) dan

IL-8. LMP1 juga dapat menginduksi ekspresi CD70, anggota dari keluarga TNF

pada sel epitel secara in vitro. LMP1 dapat menginduksi matrix metalloproteinase

(MMP-9), melalui CTAR-1 dan CTAR-2. LMP1 mengaktifkan beberapa jalur

sinyal dan faktor transkripsi, termasuk NF-kB.17

Universitas Sumatera Utara


30

Tulalamba dan Janvilisri dalam artikelnya menguraikan peranan LMP1

dalam berbagai tahapan siklus sel dalam patogenesis KNF (gambar 2.15).21 Pada

studi ini dijelaskan peranan LMP1 pada jalur MAPK seperti JNK dan ERK yang

menyebabkan aktivasi faktor-faktor transkripsi NF-kB dan AP-1, menghasilkan

output di hilir berupa proliferasi dan pertumbuhan sel. LMP1 juga berperanan

dalam upregulasi survivin yang merupakan anggota dari inhibitor apoptosis.

Overekspresi survivin berhubungan dengan prognosis yang buruk, sedangkan

inhibisinya akan mengurangi viabilitas sel-sel KNF dan meningkatkan sensitifitas

terhadap radioterapi.21

Gambar 2.15. Sekilas jalur sinyal dalam patogenesis karsinoma nasofaring yang
diperankan oleh LMP1. Inisiasi sinyal protein di hulu (upstream) dimulai dengan LMP1.
Kegiatan selanjutnya menginduksi protein di hilir (downstream) dalam beberapa jalur
seperti -catenin, NF-kB, dan AP-1 menyebabkan gangguan regulasi proliferasi sel
(CDK/cyclin protein), transformasi sel (TERT), peningkatan angiogenesis (IL-8) dan
metastasis (E-cadherin, MMPs), dan penghambatan apoptosis (Bcl-2, p53).21

Universitas Sumatera Utara


31

Hariwiyanto et al dalam studinya menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan pada tampilan LMP1 dan LMP2 dalam kaitannya dengan hasil terapi,

telah membuktikan bahwa LMP1 dan LMP2 memainkan peran utama dalam hasil

terapi, hal ini sesuai dengan teori yang menduga LMP1 sebagai agen antiapoptotik

dan mempengaruhi resistensi tumor terhadap obat antitumor, sedangkan LMP2a

mungkin berperan dalam gangguan transduksi sinyal sel B, memungkinkan infeksi

laten EBV, dan menghambat apoptosis yang mengurangi hasil terapi.41

Studi oleh Shao et al dengan melakukan evaluasi hasil immunostainning

antibodi terhadap LMP1, Bcl-2, Bax, Fas (CD95), Fas-Ligand, CD3, CD4, CD8,

CD25, CD68, MMP-9, Caspase-3, p53, dan Ki-67, menunjukkan tingginya

akumulasi p53 pada kebanyakan biopsi KNF bersama dengan Ki-67 yang

berkorelasi dengan ekspresi LMP1 dan pengurangan apoptosis. Protein Bcl-2 dan

Bax ternyata ditemukan pada sel-sel KNF (masing-masing 69% dan 65%) maupun

pada sel-sel limfosit dan folikel limfoid. memodulasi jalur yang dipicu sitokrom

C. Pemeriksaan biopsi dengan derajat proliferasi lebih tinggi (Ki-67) pada

kenyataannya juga dengan Bcl-2 yang lebih kuat. Upregulasi MMP-9 telah

terbukti berkorelasi dengan peningkatan invasi dan metastasis sel tumor. LMP1

menginduksi ekspresi MMP-9 oleh aktivasi NF-kB dan AP-1 dan LMP1

kemudian dapat mempromosikan invasi.42

A B
Gambar 2.16. Pewarnaan imunohistokimia pada jaringan karsinoma nasofaring.
A. dengan EBER; B. dengan LMP142

Universitas Sumatera Utara


32

Studi oleh Thompson dan Kurzrock menyatakan setidaknya terdapat empat

jalur sinyaling dalam siklus sel, yaitu NF-kB, JNK, p38/MAPK, dan JAK/STAT

yang dipengaruhi oleh LMP1. Kaskade aktivasi yang berhubungan dengan LMP1

meyebabkan peningkatan ekspresi molekul adhesi sel B (LFA-1, CD54, dan

CD58), ekspresi marker aktivitas sel B (CD23, CD39, CD40, CD44, dan HLA

kelas II), dan perubahan morfologi sel seperti penggumpalan seluler. Interaksi

LMP1 juga menyebabkan overekspresi protein BCL-2 dan A20, yang melindungi

sel terinfeksi dari apoptosis yang dimediasi p53.43

Hampir semua studi ini menyatakan bahwa ekspresi LMP1 mempunyai

nilai yang signifikan dalam menentukan perilaku sel-sel tumor yang lebih invasif,

lebih cenderung bermetastasis dini, lebih resisten terhadap obat-obat anti tumor

sehingga menyebabkan prognosis yang lebih buruk dibanding sel-sel tumor yang

tidak mengekspresikan LMP1. 9,17,21,28,40-43

2.3. Kerangka Konsepsional

Lingkungan

NASOFARING KNF LMP1 KGB


Epstein-Barr LMP1 Proliferasi
virus

Genetik

Universitas Sumatera Utara

You might also like