You are on page 1of 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di

seluruh dunia. Insiden leptospirosis pada negara beriklim hangat lebih

tinggi daripada negara yang beriklim sedang, Kondisi ini disebabkan

masa hidup bakteri leptospira yang lebih panjang dalam lingkungan yang

hangat dan kondisi lembab. Kebanyakan negara-negara tropis

merupakan negara berkembang, dimana terdapat kesempatan lebih

besar pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi.

Penyakit ini bersifat musiman, di daerah yang beriklim sedang masa

puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena

temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup

leptospira, sedangkan di daerah tropis insiden tertinggi terjadi selama

musim hujan (Depkes, 2008).


Leptospirosis menjadi masalah di dunia karena angka kejadian

yang dilaporkan rendah di sebagian besar negara, yang diseababkan

oleh kesulitan dalam diagnosis klinis dan tidak tersedianya alat diagnosis,

sehingga kejadian tidak dapat diketahui, walaupun demikian di daerah

tropik yang basah diperkirakan terdapat kasus leptospirosis sebesar >10

kasus per 100.000 penduduk tiap tahun. Insiden penyakit leptospirosis

(per 100.000 penduduk tertinggi) di wilayah Afrika (95,5) diikuti oleh

Pasifik Barat (66,4), Amerika (12,5), Asia Tenggara (4,8) dan Eropa (0,5).

1
2

Sebagian besar kasus yang dilaporkan memiliki manifestasi parah, yang

angka kematian lebih besar dari 10% (WHO, 2010).


Menurut International Leptospirosis Society (ILS) Indonesia

merupakan negara dengan insiden leptospirosis peringkat 3 di bawah

Cina dan India untuk mortalitas. Case Fatality Rate (CFR) mencapai

2,5%-16,45 % atau rata-rata 7,1%. Angka ini dapat mencapai 56% pada

penderita berusia 50 tahun ke atas. Penderita leptospirosis yang disertai

selaput mata berwarna kuning (kerusakan jaringan hati), risiko kematian

akan lebih tinggi. Cina dan India merupakan daerah dengan angka

kematian antara 3% - 54% tergantung dari sistem organ yang terinfeksi.

Menurut laporan yang tersedia, insiden penyakit leptospirosis berkisar

0,1-1 per 100.000 penduduk per tahun beriklim sedang dan 10-100 per

100.000 penduduk di daerah tropis lembab. Kejadian Luar Biasa (KLB)

insiden penyakit leptospirosis mencapai lebih dari 100 per 100.000

penduduk pertahun (WHO, 2003).


Daerah persebaran leptospirosis di Indonesia yaitu di daerah

dataran rendah dan perkotaan seperti pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan,

dan Sulawesi. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dalam Profil

Kesehatan Indonesia tahun 2012 menuturkan bahwa provinsi yang masih

melaporkan adanya kasus leptopirosis dari tahun 2005 sampai dengan

tahun 2012 adalah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan DI

Yogyakarta. Sedangkan di Jawa Barat, tahun 2005 hingga 2009

dilaporkan tidak ada kasus leptospirosis. Provinsi Jawa Timur juga

melaporkan tidak adanya kasus leptospirosis pada tahun 2005, 2006, dan

2009 seperti terlihat pada tabel di bawah ini.


Tabel 1. Distribusi kasus leptospirosis di 5 provinsi di Indonesia tahun
2005 sampai dengan tahun 2012
Provinsi Tahun
3

200 200 200 200 200 201


2011 2012
5 6 7 8 9 0
DKI Jakarta 56 51 450 141 8 15 11 10
Jawa Barat 0 0 0 0 0 1 29 0
Jawa Tengah 35 35 67 231 232 133 184 129
DI Yogyakarta 16 9 1 23 95 230 626 72
033
Jawa Timur 0 0 48 31 19 5 28
5
Total 107 95 566 426 335 398 855 239
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2012.

Berdasarkan tabel di atas, terdapat lonjakan kasus Leptospirosis

yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia. Tahun 2007, lonjakan

terjadi di DKI Jakarta akibat terjadinya banjir besar di pada bulan

Februari. Pada tahun 2011 terjadi pula peningkatan yang cukup tinggi

yang terjadi di Provinsi DIY akibat terjadinya KLB leptospirosis di

Kabupaten Bantul. Secara nasional pada tahun 2012 terjadi penurunan

kasus leptospirosis yang cukup tajam dari 855 kasus pada tahun 2011

menjadi 239 kasus. Walaupun jumlah kasus pada tahun 2012 relatif

rendah dibandingkan tujuh tahun sebelumnya, namun angka kematian

akibat leptospirosis meningkat pada tahun 2012 yaitu sebesar 12,13%,

yang merupakan CFR paling besar selama periode 2006 hingga 2012.

Beberapa masalah dalam kegiatan penanggulangan Leptospirosis

di Indonesia diantaranya sebagian besar pasien Leptospirosis datang ke

rumah sakit dalam keadaan terlambat karena kurangnya pengetahuan

masyarakat mengenai penyakit leptospirosis, masih rendahnya

sensitivitas kemampuan petugas kesehatan dasar dalam mendiagnosa

leptospirosis, terbatasnya ketersediaan Rapid Diagnostik Test (RDT)

serta managemen dan pelaporan yang belum baik (Kementrian


4

Kesehatan RI, 2012). Berdasarkan hal tersebut, makalah mengenai

penyakit leptospirosis perlu disusun agar dapat memberi gambaran

kepada masyarakat luas mengenai penyakit leptospirosis.

B. Rumusan Masalah
Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam

pembahasan makalah ini adalah:


1. Bagaimana sejarah leptopirosis itu?
2. Apa definisi leptospirosis?
3. Bagaimana etiologi leptospirosis?
4. Bagaimana cara penularan leptospirosis?
5. Bagaimana manisfestasi klinik leptopirosis?
6. Bagaimana Masa Inkubasi leptospirosis?
7. Apa Komplikasi leptospirosis?
8. Bagaimana Pencegahan leptospirosis?
9. Bagaimana Pengobatan leptopirosis?
10. Bagaimana Penanggulangan KLB leptospirosis?

C. Tujuan
(menjawab rumusan maslah)

D. Manfaat
Dalam penyusunan makalah ini, diharapkan dapat memberikan

manfaat bagi semua pihak. Adapun manfaat penyusunan itu

diantaranya :
1. Berfungsi sebagai literatur bagi pelajar maupun masyarakat

umum yang ingin memperdalam wawasan tentang masalah

kesehatan khususnya tentang penyakit leptospirosis.


2. Para pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang penyakit

leptospirosis.

You might also like