You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

Pendahuluan

Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek merugikan
berbagai efek samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi terhadap semua sistem
makhluk hidup. Pada bidang biomedis, ahli toksikologi akan menangani efek samping yang
timbul pada manusia akibat pajanan obat dan zat kimiawi lainnya, serta pembuktian
keamanan atau bahaya potensial yang terkait. (Fitriana, 2015)

Toksikologi forensik sendiri berkaitan dengan penerapan ilmu toksikologi pada


berbagai kasus dan permasalahan kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan-bahan kimia
yang dapat menimbulkan konsekuensi medikolegal serta untuk menjadi bukti dalam
pengadilan. Metode-metode yang dapat digunkaan dalam toksikolgi forensik ini terus
berkembang di berbagai belahan dunia. Penemuan-penemuan baru mengenai obat-obatan
klinis dan cara uji laboratoris sangat membantu dalam penggunaan metode tertentu, alat-alat
yang diperlukan, serta interpretasi hasil dari pengujian sampel. (Fitriana, 2015)

Menurut Society of Forensic Toxicologist, Inc. (SOFT), bidang kerja toksikologi


forensik meliputi: 1) analisis dan evaluasi racun penyebab kematian, 2) analisis ada/tidaknya
kandungan alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau nafas yang dapat
mengakibatkan perubahan perilaku (menurunnya kemampuan mengendarai kendaraan
bermotor dijalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan serta penggunaan dopping), 3) analisis
obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan obat
terlarang lainnya. Tujuan lain dari analisis toksikologi forensik adalah dapat membuat suatu
rekaan rekonstruksi suatu peristiwa yang telah terjadi, sampai mana obat tersebut telah dapat
mengakibatkan suatu perubahan perilaku. (Fitriana, 2015)
BAB II

ISI

2.1 Definisi toksikologi forensik dan peranan dalam hukum

Toksikologi forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang racun dan


pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh dan
cairan korban. Mengingat sulitnya pengungkapan kejahatan terutama yang menggunakan
racun, maka saat ini sangat diperlukan aparat penegak hukum khususnya polisi yang
mempunyai pengetahuan yang memadai baik teori maupun teknik melakukan penyidikan
secara cepat dan tepat dalam rangka pengungkapan kejahatan pembunuhan khususnya
kasus pembunuhan yang ada indikasi korbannya meninggal karena diracun.

Toksikologi Forensik sangat penting diberikan kepada penyidik dalam rangka


membantu penyidik polisi dalam pengusutan perkara yaitu : mencari, menghimpun,
menyusun dan menilai barang bukti di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan tujuan
agar dapat membuat terang suatu kasus pembunuhan yang ada indikasi korbannya
meninggal akibat racun.

Aspek-aspek utama yang menjadi perhatian khusus dalam toksikologi forensik


bukanlah keluaran aspek hukum dari investigasi secara toksikologi, melainkan mengenai
teknologi dan teknik dalam meperoleh serta menginterpretasi hasil seperti: pemahaman
perilaku zat, sumber penyebab keracunan atau pencemaran, metode pengambilan sampel
dan metode analisa, interpretasi data terkait dengan gejala atau efek atau dampak yang
timbul serta bukti lain yang tersedia.

Pada umumnya, seorang ahli forensik harus mampu mempertimbangkan keadaan


suatu investigasi, khususnya mengenai catatan adanya gejala fisik, dan bukti apapun yang
didapatkan dan berhasil dikumpulkan dalam lokasi kejahatan yang dapat mengerucutkan
pencarian, misalnya adanya barang bukti seperti obat-obatan, serbuk, residu jejak dan zat
toksik (kimia) apapun yang ditemukan. Dengan informasi tersebut serta sejumlah sampel
yang akan diteliti, seorang ahli toksikologi forensik kemudian harus dapat menentukan
senyawa toksik apa yang terdapat dalam sampel, berapa jumlah konsentrasinya, serta efek
apa yang mungkin terjadi akibat zat toksik terhadap tubuh.
Hasil analisis dan interpretasinya temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam
suatu laporan yang sesuai dengan hukum dan perundang-undangan. Menurut Hukum
Acara Pidana (KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau
surat keterangan. Surat keterangan yang diberikan adalah berupa suatu Visum et
Repertum. Dokter pemeriksa pada bab kesimpulan Visum et Repertum tidak akan
menyebutkan korban mati akibat bunuh diri, pembunuhan, ataupun kecelakaan, tapi jelas
menyebutkan penyebab kematiannya akibat keracunan zat-zat, obat-obatan,dan racun
tertentu atau dengan kata lain ditemukannya gangguan pada organ-organ tubuhnya akibat
sesuatu zat-zat, obat-obatan dan racun tertentu.

Tidak semua kasus yang ditemukan perlu melakukan toksikologi forensik. Kasus-
kasus yang memerlukan pemeriksaan toksikologi forensik dapat dikelompokkan menjadi
3 golongan besar, antara lain:

a. Kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di penjara,


kematian pada kebakaran, dan kematian medis yang disebabkan oleh efek samping
obat atau kesalahan penanganan medis,
b. Kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan nyawa
sendiri ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh obatobatan,
alkohol, atau pun narkoba.
c. Penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat
pemakaian obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya lainnya,
yang tidak memenuhi standar kesehatan (kasus-kasus forensik farmasi) (Fitriani,
2015)

2.2 Racun

2.2.1 Definsi Racun

Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang
dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan
kematian. (Budiyanto, 1997)

2.2.2 Klasifikasi Racun


Pengelompokan jenis racun dibagi berdasarkan:

1. Sumber racun (Budiyanto, 1997)


a. Racun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti opium (dari Papaver
somniferum), kokain, kurare, aflatoksin (dari Aspergilus niger), Amygdala
(sianida dalam tumbuhan).
b. Racun yang berasal dari hewan, seperti bisa/ toksin ular/ laba-laba/ hewan laut.
c. Berasal dari mineral, seperti arsen, timah hitam atau sintetik: heroin.
2. Tempat Dimana Racun Berada (Budiyanto, 1997)
a. Racun yang terdapat di alam bebas, misalnya gas beracun di alam.
b. Racun yang terdapat dalam rumah tangga misalnya, deterjen, desinfektan,
insektisida, pembersih (cleaners).
c. Racun yang digunakan dalam pertanian, misalnya insektisida, herbisida,
pestisida. Racun yang digunakan dalam industry dan laboratorium, misalnya
asam, basa kuat, dan logam berat.
d. Racun yang terdapat dalam makanan, misalnya CN dalam singkong, toksin
botulinus, bahan pengawet, zat aditif serta racun dalam bentuk obat, misalnya
hipnotik, sedative dan lain sebagainya.
e. Racun yang banyak beredar dikalangan medis. Hipnotika dan sedatif.
3. Mekanisme kerja (Idries, 1979)
a. Racun yang bekerja local atau setempat, misalnya:
Zat- zat korosif: lisol, asam urat, basa kuat.
Zat yang bersifat iriatan: arsen, HgCl2.
Zat yang bersifat anestetik: kokain, asam karbol.
b. Racun yang bekerja secara sistemik, misalnya:
Narkotika, barbiturat dan alcohol, terutama berpengaruh terhadap susunan
syaraf pusat.
Digitalis dan asam oksalat terutama berpengaruh terhadap jantung.
Karbon-monoksida dan sianida terutama berpengaruh terhadap darah dan
enzim pernafasan.
Insektisida golongan chlorinated hydrocarbon, dan golongan fosforus
terutama berpengaruh terhadap hati.
Strychnine, terutama berpengaruh pada medulla spinalis.
c. Racun yang bekerja secara local dan sisematik, misalnya: asam okslat. asam
karbol, arsen, garam Pb.
d. Racun yang mengikat gugs sulfhidril (-SH) misalnya Pb, yang berpengaruh
pada ATP-ase.
e. Racun yang membentuk methemoglobin misalyna nitrat dan nitrit (nitrat dalam
usus oleh flora usus diubah menjadi nitrit).

Tabel 2.1 Contoh zat-zat toksik dan gejalanya


Zat Toksik Gejala
Asam (nitrat, hidroklorat, sulfat) Luka bakar pada kulit, mulut, hidung,
membran mukosa
Anilin Kulit muka dan leher menghitam (gelap)
Arsen Diare parah
Atropin Pelebaran pupil mata
Basa (kalium, hidroksida) Luka bakar pada kulit, mulut, hidung,
membrane mukosa
Asam karbolat (atau fenol lainnya) Bau desinfektan
Karbon monoksida Kulit berwarna merah terang
Sianida Kematian cepat, kulit memerah
Keracunan makanan Muntah, nyeri perut
Senyawa logam Diare, muntah, nyeri perut
Nikotin Kejang
Asam oksalat Bau bawang putih
Natrium fluoride Kejang
Striknin Kejang, muka dan leher menghitam
(gelap)
(Budiawan, 2008)

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Cara Kerja Racun

1. Cara masuk
Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi. Cara masuk
lain secara berturut-turut melalui intravena, intramuskular, intraperitoneal, subkutan,
peroral dan paling lambat ialah melalui kulit yang sehat.
2. Umur
Orang tua dan anak-anak lebih sensitif misalnya pada barbiturat. Bayi prematur
lebih rentan terhadap obat oleh karena eksresi melalui ginjal belum sempurna dan
aktifitas mikrosom dalam hati belum cukup
3. Kondisi tubuh
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami keracunan. Pada
penderita demam dan penyakit lambung absorbsi jadi lebih lambat.
4. Kebiasaan
Berpengaruh pada golongan alkohol dan morfin dikarenakan terjadi toleransi pada
orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol.
5. Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran, makin tingi takaran maka akan
makin cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh pada racun yang bersifat
lokal, misalnya asam sulfat.
6. Waktu pemberian
Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum makan, absorpsi terjadi lebih baik
sehingga efek akan timbul lebih cepat. (Budiyanto et al, 1997)

2.3 Pemeriksaan Toksikologi

2.3.1 Proses Pemeriksaan Ditempat Kejadian

Proses Pemeriksaan Di Tempat Kejadian (olah TKP) Pemeriksaan ditempat


kejadian penting untuk membantu penentuan penyebab kematian dan menentukan cara
kematian. Pemeriksaan harus ditujukan untuk menjelaskan apakah orang itu mati karena
keracunan, misalnya dengan memeriksa tempat obat, apakah ada sisa obat atau
pembungkusnya. Apakah terdapat gelas atau alat minum lain, atau ada surat perpisahan/
peninggalan jika merupakan kasus bunuh diri. Mengumpulkan keterangan sebanyak
mungkin tentang saat kematian, kapan terakhir kali ditemukan dalam keadaan sehat,
sebelum kejadian ini apakah sehat-sehat saja. Berapa lama gejala yang timbul setelah
makan/ minum terakhir, dan apa saja gejala-gejalanya. Bila sebelumnya sudah sakit, apa
penyakitnya, obat-obat apa yang diberikan serta siapa yang memberi. Pada kasus
kecelakaan, misalnya pada anak-anak, tanyakan dimana zat beracun disimpan, apakah
dekat makan minuman. Bagaimana keadaan emosi korban tersebut sebelumnya dan
apakah pekerjaan korban. Kemungkinan adanya industrial poisoning, yaitu racun yang
diperoleh dari tempat dia bekerja. Mengumpulkan barang bukti. Kumpulkan obat-
obatan dan pembungkusnya muntahan harus diambil dengan kertas saring dan disimpan
dalam toples, periksa adanya etiket dari apotik dan jangan lupa memeriksa tempat
sampah (Budiyanto et al, 1997).

2.3.2 Pemeriksaan Forensik

A. Pemeriksaan Luar (Budiyanto et al, 1997)

1. Bau
Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa kiranya yang ditelan
oleh korban. Pemeriksa dapat mencium bau amandel yang pada penelan sianida,
bau minyak tanah pada penelanan isektisida, bau kutu busuk pada malation, bau
amoniak, fenol, alcohol, eter dan lain-lain. Maka pada tiap kasus keracunan,
pemeriksa harus selalu memperhatikan bau yang tercium dari pakaian, lubang
hidung, dann mulut serta rongga badan. Segera setelah pemeriksa berada
disamping mayat, ia harus menekan dada mayat dan menetukan apakah ada suatu
bau yang tidak biasa keluar dari lubang-lubang hidung dan mulut.
2. Pakaian
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-bercak yang disebarkan oleh tercecernya
racun yang ditelan atau oleh muntahan misalnya bercak warna coklat karena
asam sulfat atau kuning karena asam nitrat. Penyebaran bercak perlu
diperhatikan, karena dari penyebaran itu dapat diperoleh petunjuk tentang intens
atau kemauan korban yaitu apakah racun itu ditelan atas kemauan sendiri atau
dipaksa. Jika korban dipaksa maka bercak-bercak racun akan tersebar pada
daerah yang luas dan pada pakaian melekat bau racun.
3. Lebam mayat
Warna lebam yang tidak biasa juga mempunyai makna karena warna lebam
mayat pada dasarnya manifestasi darah yang tampak pada kulit, misalnya cherry
pink colour pada keracunan CO, merah terang pada keracunan sianida,
kecoklatan pada keracunan nitrit, nitrat, aniline, fenasetin dan kina.
4. Perhatikan adanya kelainan ditempat masuknya racun
Zat-zat bersifat korosif menyebabkan luka bakar atau korosi pada bibir, mulut
dan kulit sekitar. Pada bunuh diri dengan menelan asam sulfat atau lisol
ditemukan luka bakar kering berwarna coklat bentuk tidak teratur dengan garis-
garis yang berjalan dari bibir atau sudut-sudut mulut kearah leher. Pada orang
dipaksa menelan zat itu akan ditemukan bercak-bercak luka bakar barbagai
bentuk dan ukuran tersebar dimana-mana. Pada asam nitrat, korosi berwarna
kuning atau jingga kuning karena reaksi xantoprotein, pada asam klorida korosif
kulit tidak begitu lebat atau kadang tidak ditemukan. Pada asam format
ditemukan luka bakar warna merah coklat, batas tegas dan kelopak mata
mungkin membengkak karena extravasasi hemorhagik.
5. Perubahan kulit
Hiperpigmentasi atau malanosis dan keratosis telapak tangan dan kaki pada
keracunan arsen kronik. Kulit warna kelabu kebiru-biruan pada keracunan perak
kronik. Kulit warna kuning pada keracunan tembaga dan fosfor akibat hemolisis,
juga pada keracunan insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi gangguan
fungsi hati. Dermatitis pada keracunan kronik salsilat, bromida dan beberapa
logam berat seperti arsen dan talium. Vesikel atau bula pada tumit, bokong dan
punggung pada keracunan karbon monoksida dan barbiturat akut.
6. Kuku
Pada keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal secara tidak
teratur.
7. Rambut
Kebotakan atau alopesia dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen, air raksa
dan boraks.
8. Sklera
Sklera tampak ikterik pada keracunan dengan zat hepatotoksik seperti fosfor,
karbon tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau akibat bisa ular

B. Pemeriksaan Dalam (Budiyanto et al, 1997)

1. Dalam pemeriksaan dalam, segera setelah rongga perut dan dada dibuka,
tentukan apakah terdapat bau yang tidak biasa (racun). Bila pada pemeriksaan
luar tidak tercium bau racun, maka rongga tengkorak sebaiknya dibuka terlebih
dahulu agar bau visera perut tidak menyelubungi bau tersebut, terutama bila yang
dicurigai adalah sianida. Bau sianida, alcohol, kloroform dan eter tercium bau
paling kuat dalam rongga tengkorak.
2. Inspeksi insitu
Perhatikan warna otot-otot dan organ. Pada keracunan karbon monoksida
tampak berwarna keracunan merah muda cerah, dan pada sianida warna merah
cerah. Warna coklat pada racun dengan eksresi melalui mukosa usus. Peradangan
dalam usus karakteristik untuk keracuanan air raksa, biasanya pada kolon
ascenden dan transversum ditemukan colitis. Lambung mungkin tampak
hiperemi atau tampak kehitam-hitaman dan terdapat perforasi akibat zat korosif.
Hati berwarna kuning karena degenerasi lemak atau nekrosis pada keracunan zat
hepatotoksik seperti fosfor, karbon tetraklorida, kloroform, alcohol, dan arsen.
Perhatikan warna darah. Pada intoksikasi dengan racun yang menimbulkan
hemolisis (bias ular, pirogalol, hidriquinon, dinitrofenol dan arsen). Darah dan
organ-organ dalam berwarna coklat kemerahan gelap. Bila terjadi keracunan
yang cepat akan menimbulkan kematian misalnya sianida, alcohol, kloroform,
maka darah dalam jantung dan pembuluh darah besar tetap cair, tidak terdapat
bekuan darah.
3. Lidah
Perhatikan apakah ternoda oleh warna tablet atau kapsul obat atau menunjukan
kelainan yang disebabkan oleh zat korosif.
4. Esophagus
Bagian atas dibuka sampai pada ikatan diatas diafragma, apakah terdapat
regurgitasi dan selaput lendir. Diperthatikan adanya hiperemi dan korosif.
5. Epiglottis dan glottis
Perhatikan apakah ada hipermi atau oedem, disebabkan oleh inhalasi atau
aspirasi gas atau uap yang merangsang atau akibat regurgitasi dan aspirasi zat
yang merangsang.
6. Paru-paru
Ditemukan kelainan yang tidak spesifik berupa bendungan akut. Pada inhalasi
gas yang merangsang seperti klorin dan nitrogen oksida ditemukan perbendungan
dan oedem hebat serta emfisema akut karena terjadi batuk-batuk, dyspneu dan
spasme bronchus.
7. Lambung dan usus 12 jari
Dipisahkan dari alat-alat lainnya dan diletakkan dalam wadah bersih, lambung
dibuka sepanjang curvature mayor dan diperhatikan apakah mengeluarkan bau
yang tidak biasa. Perhatikan isi lambung, warna dan terdiri atas bahan apa.
8. Usus-usus
Pemeriksaan isi usus diperlukan pada kematian yang terjadi beberapa jam setelah
korban menelan zat beracun dan ingin diketahui berapa lama waktu tersebut. Isi
usus dikeluarkan dengan membuka satu ikatan dan mengurut usus kemudian
ditampung dalam gelas dan tentukan beratnya. Selaput lender diperiksa kemudian
dicuci dengan aquadest kemudian air cucian ditimbang serta dimasukan dalam
tabung yang berisi usus. Dalam isi usus kadang-kadang dapat ditemukan enteric
tablets atau tablet lain yang belum tercena.
9. Hati
Apakah terdapat degenerasi lemak atau nekrosis. Degenerasi lemak serinng
ditemukan pada peminum alcohol. Nekrosis dapat ditemukan pada keracunan
phosphor, karbon tetrachlorida.
10. Ginjal
Perubahan degeneratif pada korteks ginjal dapat disebabkan oleh racun yang
merangsang ginjal agak membesar, korteks membesar, gambaran tidak jelas dan
berwarna suram kelabu kuning.
11. Urin
Dengan semprit dan jarum yang bersih urin diambil dari kandung kemin. Urin
merupakan cairan yang baik sekali untuk spot test yang mudah dikerjakan
sehingga dapat diperoleh petunjuk yang pertama dalam suatu analisis
toksikologis secara sistematis.
12. Otak
Pada keracunan akut dengan kematian yang cepat biasanaya tidak ditemukan
adanya edema otak, misalnya pada kematian cepat akibat barbiturate atau eter
dan juga pada keracunan kronik arsen atau timah hitam. Perdarahan kecil-kecil
dalam otak dapat ditemukan pada keracunan karbonmonoksida, barbiturat,
nitrogen oksida dan logam berat seperti air raksa, arsen dan timah hitam.
13. Jantung
Racun-racun yang dapat menyebabkan degenerasi parenkim, lemak atau hidropik
pada epitellium dapat menyebabkan degenerasi sel-sel otot jantung sehingga
jantung menjadi lunak, berwarna merak pucat coklat kekuning-kuningan dan
ventrikel mungkin melebar. Pada keracunan karbonmonoksida bila korban hidup
selama 48 jam atau lebih dapat ditemukan perdarahan berbercak dalam otot
septum interentrikel bagian ventrikel kiri atau perdarahan bergaris pada musculus
papillaris ventrikel kiri dengan garis menyebar radier dari ujung otot tersebut
sehingga tampak gambaran seperti kipas. Pada keracunan arsen hampir selalu
ditemukan perdarahan kecil-kecil seperti nyala api (frame like) di bawah
edokardium septum interventrikel ventrikel kiri.
14. Limpa
Selain adanya pembendungan akut, limpa tidak menunjukan kelainan patologik.
Limpa jarang dipergunakan dalam analisis toksikologik, sehingga umumnya
limpa tidak diambil terkecuali bila tidak dapat diperoleh lagi darah dari jantung
dan pembuluh-pembuluh darah besar.
15. Empedu
Empedu merupakan bahan yang baik untuk penentuan glutetimida (doriden),
quabaina (Strophantin, Strophantus gratus), morfin dan heroin.
16. Lemak
Jaringan lemak diambil sebanyak 200 gram dari jaringan lemak bawah kulit
daerah perut. Beberapa racun cepat di absorpsi dalam jaringan lemak dan
kemudian dengan lambat dilepaskan kedalam darah. Jika terdapat persangkaan
bahwa korban meninggal akibat penyuntikan jaringan di sekitar tempat suntikan
diambil dalam radius 5-10 cm.
17. Rambut
Pada dugaan keracunan arsen, rambut diikat terlebih dahulu sebelum dicabut,
harus berikut akar-akarnya, dan kemudian diberi label agar ahli toksikologi dapat
mengenali mana bagian yang proksimal dan bagian distal. Rambut diambil kira-
kira 10 gram tanpa menggunakan pengawet. Kadar arsen ditentukan dari setiap
bagian rambut yang telah digunting beberapa bagian yang dimulai dari bagian
proksimal dan setiap bagian panjangnya inci atau 1 cm. terhadap setiap bagian
itu ditentukan kadar arsennya.
18. Kuku
Kuku diambil sebanyak 10 gram, didalamnya selalu harus terdapat kuku-kuku
kedua ibu jari tangan dan ibu jari kaki. Kuku dicabut dan dikirim tanpa
diawetkan. Ahli toksikologi membagi kuku menjadi 3 bagian mulai dari
proksimal. Kadar tertinggi ditemukan pada 1/3 bagian proksimal

2.4 Pengambilan dan Pemeriksaan Sampel

Menurut (Idries et al, 1979), cara penyiapan dan pengambilan sampel untuk
pemeriksaan toksikologi adalah sebagai berikut:

A. Pada Korban Yang Masih Hidup

1. Darah, sample darah yang diambil dibagi dua, dan masing-masing bagian
jumlahnya minimal 5 ml. Bagian pertama diberi NaF sebagai bahan pengawet dan
bagian kedua tidak diberi bahan pengawet.
2. Urin, semua urin yang didapat harus diambil.
3. Bilasan lambung, semua cairan bilasan lambung harus diambil.

B. Pada Mayat

1. Lambung dengan isinya. Lambung diikat pada tempat yang berbatasan dengan
kerongkongan dan pada tempat yang berbatasan dengan usus dua belas jari, dengan
cara ini hancurnya butir-butir pil atau tablet yang ditelan korban dapat dihindari.
2. Seluruh usus dengan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada usus
setiap jarak sekitar 60 cm. Maksud dari membuat ikatan-ikatan tersebut adalah
untuk mencegah tercampurnya isi usus bagian oral dengan isi usus bagian anal.
3. Darah yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer (v.jugularis,
a. femoralis dan sebagainya) masing-masing 50ml dan dibagi 2 yang satu diberi
bahan pengawet, yang lain tidak diberi bahan pengawet.
4. Hati sebagai tempat detoksifikasi, tidak boleh dilupakan, hati yang diambil
sebanyak 500 gram atau seluruhnya.
5. Ginjal. Harus diambil keduanya. Merupakan pemeriksaan yang penting terutama
pada kasus-kasus keracunan logam.
6. Otak diambil 500 gram atau seluruhnya. Jaringan lipoid pada otak mempunyai
kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah mengalami pembusukan,
misalnya kloroform masih dapat ditemukan walaupun jaringan otak telah
membusuk.
7. Urin diambil seluruhnya, penting oleh karena pada umumnya racun akan
dieksresikan melalui urin, khususnya untuk tes penyaring pada keracunan
narkotika, alcohol, dan stimulan.
8. Empedu, dalam pengambilan cairan empedu sebaiknya kandung empedu jangan
dibuka, jadi harus diambil bersama-sama kandung empedunya, ini dimaksudkan
agar cairan empedu tidak mengalir ke hati dan akhirnya mengacaukan hasil
pemeriksaan.

Pada kasus khusus dapat diambil:

a. Jaringan sekitar suntikan dalam radius 5-10 sentimeter.


b. Jaringan otot, yaitu, dari tempat yang terhindar dari kontaminasi, misalnya
muskulus psoas sebanyak 200 gram.
c. Lemak di bawah kulit dinding perut sebanyak 200 gram.
d. Rambut yang dicabut sebanyak 10 gram.
e. Kuku yang dipotong sebanyak 10 gram.
f. Cairan otak sebanyak-banyaknya.

C. Bahan Pengawet

Jumlah bahan pengawet untuk sampel padat minimal 2x volume sampel tersebut,
bahan pengawet yang dianjurkan:

a. Alcohol absolute.
b. Larutan garam jenuh
c. Natrium fluoride 1%
d. Natrium fluoride + Natrium sitrat (75mg + 50mg, untuk setiap 10ml sampel)
e. Natrium Benzoat dan phenyl mercury nitrate khusus urin. Cairan tubuh sebaiknya
diperiksa dengan jarum suntik yang bersih/baru.

Spesimen untuk analisis toksikologi forensik dikerjakan oleh dokter, misalnya


pada kasus kematian tidak wajar spesimen dikumpulkan oleh dokter forensik pada saat
melakukan otopsi. Spesimen dapat berupa cairan biologis, jaringan, organ tubuh. Dalam
pengumpulan spesimen dokter forensik memberikan label pada masing-masing
bungkus/wadah dan menyegelnya. Label seharusnya dilengkapi dengan informasi: nomer
indentitas, nama korban, tanggal/waktu otopsi, nama spesimen beserta jumlahnya.
Pengiriman dan penyerahan spesimen harus dilengkapi dengan surat berita acara menyeran
spesimen, yang ditandatangani oleh dokter forensik. Toksikolog forensik yang menerima
spesimen kemudian memberikan dokter forensik surat tanda terima, kemudian menyimpan
sampel/spesimen dalam lemari pendingin freezer dan menssguncinya sampai analisis
dilakukan. Prosedur ini dilakukan bertujuan untuk memberikan rantai
perlindungan/pengamanan spesimen (chain of custody). (Wirasuta, 2008)
Beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam tahapan penyiapan sampel adalah:
jenis dan sifat biologis spesimen, fisikokimia dari spesimen, serta tujuan analisis. Dengan
demikian akan dapat merancang atau memilih metode penanganan sampel, jumlah sampel
yang akan digunakan, serta memilih metode analisis yang tepat. Penanganan sampel perlu
mendapat perhatian khusus, karena sebagian besar sampel adalah materi biologis, sehingga
sedapat mungkin mencegah terjadinya penguraian dari analit. Pemilihan metode ekstraksi
ditentukan juga oleh analisis yang akan dilakukan, misal pada uji penapisan sering dilakukan
ekstraksi satu tahap, dimana pada tahap ini diharapkan semua analit dapat terekstraksi.
Bahkan pada uji penapisan menggunakan teknik immunoassay sampel tidak perlu
diekstraksi dengan pelarut tertentu. (Wirasuta, 2008)

Sampel urin pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan dengan
menggunakan teknik immunoassay. Namun tidak jarang harus mendapatkan perlakuan awal,
seperti pengaturan pH dan sentrifuga, guna menghilangkan kekeruhan. Pemisahan sel darah
dan serum sangat diperlukan pada persiapan sebelum dilakukan uji penapisan pada darah.
Serum pada umumnya dapat langsung dilakukan uji penapisan menggunakan teknik
immunoassay. Tidak jarang sampel darah, yang diterima sudah mengalami hemolisis atau
menggupal, dalam hal ini darah dilarutkan dengan metanol, dan kemudian disentrifuga,
sepernatannya dapat langsung dilakukan uji penapisan menggunakan teknik immunoassay.
(Wirasuta, 2008)

Ekstraksi satu tahap sangat diperlukan apabila uji penapisan tidak menggunakan
teknik immunoassay, misal menggunakan kromatografi lapis tipis dengan reaksi penampak
bercak tertentu. Atau juga ekstraksi bertingkat metode Stas-OttoGang untuk melalukan
pemisahan analit berdasarkan sifat asam-basanya. Metode ekstraksi dapat berupa ekstraksi
cair-cair, menggunakan dua pelarut yang terpisah, atau ekstraksi cair-padat. Prinsip dasar
dari pemisahan ekstraksi cair-cair berdasarkan koefisien partisi dari analit pada kedua
pelarut atau berdasarkan kelarutan analit pada kedua pelarut tersebut. Pada ekstraksi cair-
padat analit dilewatkan pada kolom yang berisi adsorben fase padat (SPE, Si-Gel C-18,
Extrelut, Bund Elut Certify, dll), kemudian dielusi dengan pelarut tertentu, biasanya
diikuti dengan modifikasi pH pelarut. (Wirasuta, 2008)

Penyiapan sampel yang baik sangat diperlukan pada uji pemastian identifikasi
dan kuantifikasi, terutama pada teknik kromatografi. Karena pada umumnya materi
biologik merupakan materik yang komplek, yang terdiri dari berbagai campuran baik
senyawa endogen maupun senyawa eksogen xenobiotika. Penyiapan sampel umumnya
meliputi hidrolisis, ekstraski, dan pemurnian analit. Prosedur ini haruslah mempunyai
efesiensi dan selektifitas yang tinggi. Perolehan kembali yang tinggi pada ekstraksi adalah
sangat penting untuk menyari semua analit, sedangkan selektifitas yang tinggi diperlukan
untuk menjamin pengotor atau senyawa penggangu terpisahkan dari analit. (Wirasuta, 2008)

Pada analisis menggunakan GC/MS, penyiapan sampel termasuk derivatisasi


analit secara kimia, seperi salilisasi, metilisasi, dll. Derivatisasi ini pada umumnya bertujuan
untuk meningkatkan volatilitas analit atau meningkatkan kepekaan analisis. (Wirasuta, 2008)

2.5 Pengiriman Sampel

Apabila pemeriksaan toksikologi dilakukan di institusi lain, maka pengiriman bahan


pemeriksaan harus memenuhi kriteria:

1. Satu tempat hanya berisi satu contoh bahan pemeriksaan.


2. Contoh bahan pengawet harus disertakan untuk control.
3. Tiap tempat yang telah terisi disegel dan diberi label yang memuat keterangan
mengenai tempat pengambilan bahan, nama korban, bahan pengawet dan isinya.
4. Disertakan hasil pemeriksaan otopsi secara singkat jika mungkin disertakan
anamnesis dan gejala klinis.
5. Surat permintaan pemeriksaan dari penyidik harus disertakan dan memuat identitas
korban dengan lengkap dan dugaa racun apa yang menyebabkan intoksikasi.
6. Hasil otopsi dikemas dalam kotak dan harus dijaga agar botol tertutup rapat sehingga
tidak ada kemungkinan tumpah atau pecah pada saat pengiriman. Kotak diikat dengan
tali yang setiap persilangannya diikat mati.
7. Penyegelan dilakukan oleh Polisi yang mana juga harus dabuat berita acara
penyegelan dan berita acara ini harus disertakan dalam pengiriman, demikian pula
berita acara penyegelan barang bukti lain seperti barang bukti atau obat. Dalam berita
acara tersebut harus terdapat contoh kertas pembungkus, segel, atau materi yang
digunakan.
8. Pada pengambilan contoh bahan dari korban hidup, alcohol tidak dapat dipakai untuk
desinfektan lokal saat pengambilan darah, hal ini untuk menghilangkan kesulitan
dalam penarikan kesimpulan bila kasus menyangkut alcohol. Sebagai gantinya dapat
digunakan sublimate 1% atau mercuri klorida 1%. (Budiyanto et al, 1997)
BAB III

KESIMPULAN

Toksikologi forensik merupakan salah satu cabang toksikologi yang memusatkan


perhatian pada analisa yang berperan dalam penegakan hukum dan peradilan. Secara umum
tugas toksikolog forensik adalah membantu penegak hukum khususnya dalam melakukan
analisis racun baik kualitatif maupun kuantitatif dan kemudian menerjemahkan hasil analisis
ke dalam suatu laporan (surat, surat keterangan ahli atau saksi ahli), sebagai bukti dalam
tindak kriminal (forensik) di pengadilan. Pengambilan sampel pada korban hidup dan yang
sudah meninggal akan berbeda. Pada korban yang sudah meninggal, seluruh organ akan
diambil sedikit jaringannya kemudian diperiksa melalui berbagai metode analisa secara
kimiawi, bologi, maupun secara histopatologi.
DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, Arif., et al. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik FK UI.

Budiawan. 2008. Peran Toksikologi Forensik Dalam Mengungkap Kasus Keracunan Dan
Pencemaran Lingkungan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences, 1(1):
35-39

Fitriana, Nur Alvionita. 2015. Forensic Toxicology. J Majority, 4 (4): 2-3.


http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/571/575
(diakses: 27 Agustus 2016).

Idries, Muniem Abdul, et al. 1979. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia.
Wirasuta, Made Agus Gelgel. 2008. Analisis Toksikologi Forensik Dan Interpretasi Temuan
Analisis. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences, 1(1): 47-55
file:///C:/Users/User/Downloads/3212-4469-1-SM%20(4).pdf (diakses: 27 Agustus
2016).

You might also like