Professional Documents
Culture Documents
PEMBIMBING :
disusun oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
2016
i
TUGAS REFERAT
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Kesehatan Paru Bagian
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Pembimbing
Nama : dr. Ratna Lusiawati, Sp. P, M.Kes (.................................)
Penguji
Nama : dr. Nia Marina P, Sp. P, M.Kes (.................................)
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL. i
LEMBAR PERSETUJUAN.. ii
DAFTAR ISI. iii
BAB I PENDAHULUAN.. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................... 2
A. Anatomi dan Fisiologi.. 3
B. Definisi. 3
C. Etiologi. 3
D. Klasifikasi 4
E. Patofisiologi 5
F. Diagnosis 12
G. Manifestasi Klinis... 12
H. Penatalaksanaan. 15
I. Pencegahan. 16
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. 20
DAFTAR PUSTAKA 21
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan
lingkungan kerja. Faktor risiko PAK antara lain. Golongan fisik, kimiawi, biologis, atau
psikososial ditempat kerja. Faktor tersebut di dalam lingkungan kerja merupakan
penyebab yang pokok dan menentukan terjadinya penyakit akibat kerja. Faktor lain
seperti kerentanan individual juga berperan dalam perkembangan penyakit di antara
pekerja yang terpajan.2
Salah satu penyakit akibat kerja adalah asma. Asma masih merupakan masalah
kesehatan dunia, karena akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas pasiennya.
Saat ini pasien asma saat ini didunia mencapai 300vjuta orang, dari kalangan semua usia
yang berasal dari latar belakang suku etnis. Jumlah ini diperkirakan akan bertmbah lagi
100 juta orang pada tahun 2025. Prevalensi akibat kecacatan asma berkisar 15 juta
pertahun dan menduduki urutan ke 25 Disability Adjusted Life Years Lost tahun 2001
jumlah ini menyerupai kecacatan akibat diabetes, sirosis hati dan skizofrenia.
Di Indonesia belum ada data pasti tentang penyakit asma akibat kerja namun
diperkirakan 2-10 % penduduk dan 2 % dari seluruh penderita asma tersebut adalah
asma akibat kerja, sedangkan Karnen melaporkan bisinosis pada 30 % karyawan
pemintalan dan 19,25 % karyawan pertenunan.3
1
BAB II
2
3
extra-embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi 3 yakni pleura parietal,
pleura visceral dan pleura bagian penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang
menempel erat dengan substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal adalah
lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan paru. Pelura
bagian penghubung yakni pleura yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini merupakan
pelura yang menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral.5
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura diafragmatika,
pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura. Pleura diafragmatika
yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma. Pleura mediastinalis merupakan
pleura yang menghadap ke mediastinum thoraks, pleura 10 sternocostalis adalah pleura
yang berhadapan dengan costa dan sternum. Sementara cupula pleura adalah pleura
yang melewati apertura thoracis superior.5
Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan
pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura. 4 Di antara
pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang disebut cavum pleura.
Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada proses respirasi yakni
mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum pleura memiliki
tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada
mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya.
Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk melumasi dinding
dalam pleura.4.5
B. DEFINISI
Asma akibat kerja adalah penyakit yang ditandai dengan terbatasnya udara yang
masuk dan atau hiperresponsif yang terjadi karena peradangan pada saluran nafas
disebabkan oleh pekerjaan tertentu yang tidak terjadi diluar lingkungan kerja.6
C. ETIOLOGI
Asma akibat kerja disebabkan langsung dari paparan di tempat kerja. Ada 2
bentuk asma kerja:7
4
D. KLASIFIKASI
Klasifikasi asma ditempat kerja8:
1. Asma akibat kerja
Asma yang disebabkan paparan zat ditempat kerja, dibedakan
5
yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi
asma tipe lambat.9
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly
generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan
vasodilatasi.9
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan
makrofag.9
2. INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan
otot polos bronkus.9
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe
Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran
napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan
GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan
bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-
5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang
ketahanan hidup eosinofil.9
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme
terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi
7
e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik
pada orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan
seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai
mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan
dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway
remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresigrowth-promoting
factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-b.9
AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan
sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan
jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian
jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses
9
Pada asma akibat kerja yang berat belum memberikan perbaikan yang
berarti saat libur 1 atau 2 hari pada akhir minggu, tetapi diperlukan waktu yang
lebih lama. Gejala klinis bervariasi umumnya penderita asma akibat kerja
mengeluh batuk berdahak dan nyeri dada, sesak nafas serta mengi, beberapa
pekerja merasakan gejala penyerta seperti rhinitis, iritasi pada mata dan
dermatitis.9,10
2. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada asma akibat kerja sama dengan asma pada
umumnya. Pemeriksaan didapatkan sesak napas (dyspnea), mengi, bicara
terputus-putus, agitasi, lebih suka posisi duduk. Tanda-tanda lain sianosis,
ngantuk, susah bicara, takikardia, dan hiperinflasi thoraks. Tidak ada pemeriksaan
yang spesifik pada pasien asma akibat kerja, namun perlu diperhatikan apakah
terdapat jejas akibat bahan iritan, luka bakar atau dermatitis karena bahan / zat
ditempat kerja.10
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Spirometri
Pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator untuk melihat adanya hambatan jalan napas dan untuk
melihat respon bronkodilator untuk mendiagnosis asma akibat kerja.
Menurut The American Thoracic Society , bila terjadi penurunan Volume
Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP I) >10 % atau peningkatan VEP1 >12
% setelah pemberian bronkodilator berarti terdapatnya asma yang
berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini telihat pada penelitian Kiki dkk di
pabrik semen Jawa Barat, dimana pekerja yang menderita asma akibat
kerja setelah dilakukan uji bronkodilator terdapat peningkatan VEP 1 lebih
dari 20 %, disamping anamnesis dan gejala klinis yang mendukung untuk
asma akibat kerja.9,10
Pengukuran Arus Puncak Ekpirasi (APE) minimal 4 kali sehari
selama 2 minggu dan diagnosa asma akibat kerja dapat ditegakkan bila
terdapat 20 % atau lebih variasi APE pada siang hari . Pemeriksaan ini
mudah dan dapat dilakukan pasien sendiri baik pada saat sebelum bekerja,
14
G. MANIFESTASI KLINIS
Gejala biasanya timbul sesaat setelah terpapar oleh alergen dan seringkali
berkurang atau menghilang jika penderita meninggalkan tempat kerjanya.
Gejala seringkali semakin memburuk selama hari kerja dan membaik pada
akhir minggu atau hari libur.
Beberapa penderita baru mengalami gejalanya dalam waktu 12 jam setelah
terpapar oleh alergen.
Gejalanya berupa sesak nafas, mengi, batuk, merasakan sesak di dada dan
memburuk dimalam hari.11
akibat kerja.13
2. Pencegahan sekunder.
Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma akibat kerja
pada pekerja yang sudah terpajan dengan bahan dilingkungan pekerjaannya.
Usaha yang dilakukan adalah : Pengendalian jalur kesehatan seperti
pemeriksaan berkala.
Pemeriksaan berkala bertujuan mendeteksi dini penyakit asma akibat
kerja. Usaha yang dilakukan adalah pemeriksaan berkala pada pekerja yang
terpajan bahan yang berisiko tinggi menyebabkan asma akibat kerja.
Pemeriksaan berkala ditekankan pada 2 tahun pertama dan bila
memungkinkan sampai 5 tahun. Bila terdeteksi seorang pekerja dengan asma
akibat kerja, kondisi tempat kerja harus harus dievaluasi apakah
memungkinkan bagi pekerja untuk tetap bekerja ditempat tersebut atau pindah
ketempat lain.13
3. Pencegahan tersier
Dilakukan pada pekerja yang sudah terpapar bahan / zat ditempat kerja
dan diagnosis kearah asma akibat kerja sudah ditegakkan. Tindakan penting
yang dilakukan adalah menghindarkan penderita dari pajanan lebih lanjut,
untuk mencegah penyakit menjadi buruk atau menetap.13
Bagi mereka yang belum pindah kerja harus diberitahu bahwa, apabila
terjadi perburukan gejala atau memerlukan tambahan pemakaian obat-obatan
atau penurunan fungsi paru atau peningkatan derajat hiperaktiviti bronkus,
maka penderita seharusnya pindah kerja sesegera mungkin. Pada pekerja yang
telah pindah kerja ketempat yang bebas pajanan harus dilakukan pemeriksaan
ulang setiap 6 bulan selama 2 tahun untuk menilai kemungkinan penyakit.13
J. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Definisi Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari
sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami
cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan
mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama.
18
Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang
merupakan komponen dalam system imun yang berfungsi sebagai pelindung yang
normal pada sistem kekebalan.14
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari
mata berair,mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang esktrim bisa
terjadi gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang
sangat rendah, yang menyebabkan syok. Reaksi jenis ini disebut anafilaksis, yang
bisa terjadi pada orang-orang yang sangat sensitif, misalnya segera setelah makan
makanan atau obatobatan tertentu atau setelah disengat lebah, dengan segera
menimbulkan gejala.14
Tipe-tipe Alergi14 :
a. Alergi Tipe 1 atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan
tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara
imunologi terhadap bahanbahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau
dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh
manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh
tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang
yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut alergen. Terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada mekanisme
reaksi alergi tipe I, yaitu14 :
Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di
permukaan sel mast atau basofil, dimana sebelumnya penderita telah terpapar
alergen sebelumnya, sehingga Ig E telah terbentuk. Ikatan antara alergen
dengan Ig E akan menyebabkan keluarnya mediator-mediator kimia seperti
histamin dan leukotrin.14
Respon ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar dengan
alergen penyebab sebelumnya. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan
berikatan dengan sel B, sehingga menyebabkan sel B berubah menjadi sel
plasma dan memproduksi Ig E. Ig E kemudian melekat pada permukaan sel
mast dan akan mengikat alergen. Ikatan sel mast, Ig E dan alergen akan
menyebabkan pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator kimia. Efek
19
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Penderita asma akibat kerja meningkat seiring dengan
meningkatnya bidang industri.
2. Asma di tempat kerja dibedakan antara asma akibat kerja dan asma
yang diperburuk oleh lingkungan kerja.
3. Asma akibat kerja bisa terjadi melalui mekanisme imunologis
maupun nonimunologis.
4. Tes provokasi dengan alergen spesifik merupakan gold standar
untuk diagnosis asma akibat kerja.
5. Terapi obat obatan asma akibat kerja sama dengan asma lain
6. Asma akibat kerja dapat dicegah dengan pencegahan primer,
sekunder dan tersier.
7. Asma akibat kerja dapat disembuhkan bila diketahui secara dini
dan segera menghindari alergen penyebab.
B. SARAN
1. Perlunya anamnesa yang lengkap sebelum seseorang bekerja disuatu tempat
pekerjaannya.
2. Setelah diagnosa asma akibat kerja ditegakkan sebaiknya orang tersebut
pindah kelingkungan pekerjaan yang lain agar penyakitnya jangan
sampaimemburuk.
21
DAFTAR PUSTAKA
2. D Fishwik., Barber CM., Bradshaw LM., Harris RJ., Francis M., Naylor S.,
Ayres J., Burge PS., Corne J M., Culinan P., Frank TL., Hendrick D., Hoyle
J., Jaakkola M., Taylor A N., Nicholson P., Niven R., Pickering A.,
Rawbone R., Stenton C., Warburton CJ., Curran A D., 2013. Standards of
care for occupational asthma. BMJ Journal. Vol 63.
3. Tal A., Simon G., Vermeulen JH., Petru V., Cobos N., Everald ML., et al.
Budesonide/Formoterol In A Single Inhaler Versus Inhaled Corticostreroid
Alone In The Treatment Of Asthma. Pediatr Pulmonal 2013;34;342-50.
8. D Fishwik., Barber CM., Bradshaw LM., Haris RJ., Francis M., Naylor S.,
Ayres J., Burge PS., Corne J.M., Culinan P., Frank TL., Hendrick D., Hoyle
J., Jakkola M., Taylor A.N., Nicholson P., Niven R., Pickering A., Rawbone
R., Stenton C., Warbunton., Curran AD., 2013. Standards of Care for
Occupacional Asthma. BMJ Journal. Vol; 63.
22
14. Hikmah, N., Dewanti, ID. Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi). JKG
Unej. 2010; 7(2);108-12.