You are on page 1of 25

TUGAS REFERAT

ASMA AKIBAT KERJA

PEMBIMBING :

dr. Ratna Lusiawati, Sp.P, M.Kes

dr. Nia Marina Premesti, Sp.P, M.Kes

disusun oleh :

NABILA RASYIDA (J510165051)

NANDA DWI MAHARA (J510165055)

PARAMITA DIAN OKTAVIANI (J510165082)

SANDY MURTININGTYAS (J510165090)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2016

i
TUGAS REFERAT

ASMA AKIBAT KERJA

Yang diajukan oleh:

NABILA RASYIDA, S.Ked (J510165051)

NANDA DWI MAHARA, S.Ked (J5101561055)

PARAMITA DIAN OKTAVIANI, S.Ked (J5101561082)

SANDY MURTININGTYAS, S.Ked (J510165090)

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Kesehatan Paru Bagian
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Pembimbing
Nama : dr. Ratna Lusiawati, Sp. P, M.Kes (.................................)

Penguji
Nama : dr. Nia Marina P, Sp. P, M.Kes (.................................)

Disahkan Ketua Program Profesi


Nama : dr. Dona Dewi Nirlawati (.................................)

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. i
LEMBAR PERSETUJUAN.. ii
DAFTAR ISI. iii
BAB I PENDAHULUAN.. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................... 2
A. Anatomi dan Fisiologi.. 3
B. Definisi. 3
C. Etiologi. 3
D. Klasifikasi 4
E. Patofisiologi 5
F. Diagnosis 12
G. Manifestasi Klinis... 12
H. Penatalaksanaan. 15
I. Pencegahan. 16
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. 20
DAFTAR PUSTAKA 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Era globalisasi merupakan era kemajuan dalam bidang industri. Sampai


sekarang sector industri telah menghasilkan berbagai bahan berupa logam, bahan kimia,
pelarut, plastik , karet, pestisida, gas dan sebagainya, yang digunakan secara umum
dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan memberikan kenyamanan dan kemudahan
bagi manusia, namun bahanbahan tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak
seperti cedera dan penyakit.1

Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan
lingkungan kerja. Faktor risiko PAK antara lain. Golongan fisik, kimiawi, biologis, atau
psikososial ditempat kerja. Faktor tersebut di dalam lingkungan kerja merupakan
penyebab yang pokok dan menentukan terjadinya penyakit akibat kerja. Faktor lain
seperti kerentanan individual juga berperan dalam perkembangan penyakit di antara
pekerja yang terpajan.2

Salah satu penyakit akibat kerja adalah asma. Asma masih merupakan masalah
kesehatan dunia, karena akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas pasiennya.
Saat ini pasien asma saat ini didunia mencapai 300vjuta orang, dari kalangan semua usia
yang berasal dari latar belakang suku etnis. Jumlah ini diperkirakan akan bertmbah lagi
100 juta orang pada tahun 2025. Prevalensi akibat kecacatan asma berkisar 15 juta
pertahun dan menduduki urutan ke 25 Disability Adjusted Life Years Lost tahun 2001
jumlah ini menyerupai kecacatan akibat diabetes, sirosis hati dan skizofrenia.

Asma akibat kerja adalah penyakit yang ditandai dengan adanya


obstruksi saluran nafas yang disebabkan oleh paparan ditempat kerja. Dari hasil
observasi American Thoracis society (ATS), 15% para pekerja menderita asma akibat
kerja dan merupakan penyakit tersering akibat kerja.1

Di Indonesia belum ada data pasti tentang penyakit asma akibat kerja namun
diperkirakan 2-10 % penduduk dan 2 % dari seluruh penderita asma tersebut adalah
asma akibat kerja, sedangkan Karnen melaporkan bisinosis pada 30 % karyawan
pemintalan dan 19,25 % karyawan pertenunan.3

1
BAB II

ASMA AKIBAT KERJA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI PARU


Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai alat
respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk terjadinya
pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran ini terjadi pada
alveolus alveolus di paru melalui sistem kapiler.4 Paru terdiri atas 3 lobus pada paru
sebelah kanan, dan 2 lobus pada paru sebelah kiri. Pada paru kanan lobus lobusnya
antara lain yakni lobus superior, lobus medius dan lobus inferior. Sementara pada paru
kiri hanya terdapat lobus superior dan lobus inferior. Namun pada paru kiri terdapat
satu bagian di lobus superior paru kiri yang analog dengan lobus medius paru kanan,
yakni disebut sebagai lingula pulmonis. Di antara lobus lobus paru kanan terdapat dua
fissura, yakni fissura horizontalis dan fissura obliqua, sementara di antara lobus
superior dan lobus inferior paru kiri terdapat fissura obliqua.5 Paru sendiri memiliki
kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk mengembang dan mengempis dengan
sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembang dan mengempis ini di sebabkan karena
adanya surfactan yang dihasilkan oleh sel alveolar tipe 2.4 Namun selain itu
mengembang dan mengempisnya paru juga sangat dibantu oleh otot otot dinding
thoraks dan otot pernafasan lainnya, serta tekanan negatif yang teradapat di dalam
cavum pleura. 4
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal sebagai
cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan penting, maka
cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru, terutama dari
trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang tersusun atas 12 pasang
costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra thoracalis, sternum, dan otot
otot rongga dada. Otot otot yang menempel di luar cavum thoraks berfungsi untuk
membantu respirasi dan alat gerak untuk extremitas superior.5
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru juga
dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embriologi dari coelom

2
3

extra-embryonal yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi 3 yakni pleura parietal,
pleura visceral dan pleura bagian penghubung. Pleura visceral adalah pleura yang
menempel erat dengan substansi paru itu sendiri. Sementara pleura parietal adalah
lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel langsung dengan paru. Pelura
bagian penghubung yakni pleura yang melapisi radiks pulmonis, pleura ini merupakan
pelura yang menghubungkan pleura parietal dan pleura visceral.5
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura diafragmatika,
pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura. Pleura diafragmatika
yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma. Pleura mediastinalis merupakan
pleura yang menghadap ke mediastinum thoraks, pleura 10 sternocostalis adalah pleura
yang berhadapan dengan costa dan sternum. Sementara cupula pleura adalah pleura
yang melewati apertura thoracis superior.5
Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal akan menyerap cairan
pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam aliran limfe pleura. 4 Di antara
pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang disebut cavum pleura.
Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada proses respirasi yakni
mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada cavum pleura memiliki
tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana ketika diafragma dan dinding dada
mengembang maka paru akan ikut tertarik mengembang begitu juga sebaliknya.
Normalnya ruangan ini hanya berisi sedikit cairan serous untuk melumasi dinding
dalam pleura.4.5

B. DEFINISI
Asma akibat kerja adalah penyakit yang ditandai dengan terbatasnya udara yang
masuk dan atau hiperresponsif yang terjadi karena peradangan pada saluran nafas
disebabkan oleh pekerjaan tertentu yang tidak terjadi diluar lingkungan kerja.6

C. ETIOLOGI
Asma akibat kerja disebabkan langsung dari paparan di tempat kerja. Ada 2
bentuk asma kerja:7
4

1. Asma kerja paparan bahan iritan (sebelumnya disebut reactive dysfunction


syndrome or RADS). Asma kerja akibat paparan bahan iritan biasanya
berkembang setelah paparan bahan kimia yang sangat tinggi. Paparan ini
berefek langsung membakar saluran udara dan tidak berhubungan dengan
system kekebalan tubuh.
Contoh agen penyebabnya adalah ammonia, asam dan asap. Paparan diatas
sangat berbahaya apabila terjadi di ruangan tertutup. Pasien hampir selalu
menampakan gejala asma dalam waktu 24 jam setelah paparan. Gejala
akan cenderung meningkat dari waktu ke waktu dan mungkin akan
menghilang dengan sendirinya, tetapi bisa juga gejala menetap sampai 6
bulan.7
2. Asma kerja akibat alergi. Ini adalah penyebab dari sebagian besar kasus
asma kerja. Asma kerja akibat paparan bahan iritan biasanya berkembang
setelah paparan bahan kimia yang sangat tinggi. Paparan ini berefek
langsung membakar saluran udara dan tidak berhubungan dengan system
kekebalan tubuh.
Contoh agen penyebabnya adalah ammonia, asam dan asap. Paparan diatas
sangat berbahaya apabila terjadi di ruangan tertutup. Pasien hampir selalu
menampakan gejala asma dalam waktu 24 jam setelah paparan. Gejala
akan cenderung meningkat dari waktu ke waktu dan mungkin akan
menghilang dengan sendirinya, tetapi bisa juga gejala menetap sampai 6
bulan.

Asma kerja karena alergi disebabkan oleh sensitasi seseorang terhadap


bahan kimia tertentu disuatu tempat pekerjaan selama periode waktu.
Asma kerja karena alergi ini adalah mekanisme bagi sebagian besar >90%
dari kasus asma kerja . proses sensitasi tidak terjadi setelah satu paparan,
melainkan berkembang dari waktu ke waktu.7

D. KLASIFIKASI
Klasifikasi asma ditempat kerja8:
1. Asma akibat kerja
Asma yang disebabkan paparan zat ditempat kerja, dibedakan
5

atas 2 jenis tergantung ada tidaknya masa laten :


a. Asma akibat kerja dengan masa laten yaitu asma yang terjadi melalui
mekanisme imunologis. Pada kelompok ini terdapat masa laten yaitu
masa sejak awal pajanan sampai timbul gejala. Biasanya terdapat pada
orang yang sudah tersensitisasi yang bila terkena lagi dengan bahan
tersebut maka akan menimbulkan asma.8
b. Asma akibat kerja tanpa masa laten yaitu asma yang timbul setelah
pajanan dengan bahan ditempat kerja dengan kadar tinggi dan tidak
terlalu dihubungkan dengan mekanisme imunologis. Gejala seperti ini
dikenal dengan istilah Irritant induced asthma atau Reactive Airways
dysfunction Syndrome (RADS). RADS didefinisikan asma yang timbul
dalam 24 jam setelah satu kali pajanan dengan bahan iritan konsentrasi
tinggi seperti gas, asap yang menetap sedikitnya dalam 3 bulan.8
2. Asma yang diperburuk ditempat kerja
Asma yang sudah ada sebelumnya atau sudah mendapat terapi asma dalam
2 tahun sebelumnya dan memburuk akibat pajanan zat ditempat kerja.
Pada karyawan yang sudah menderita asma sebelum bekerja, 15 % akan
memburuk akibat pajanan bahan / faktor dalam lingkungan kerja.8

E. PATOFISIOLOGI ASMA AKIBAT KERJA


Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma
nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.9
1. INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut
6

yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi
asma tipe lambat.9
a. Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly
generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan
vasodilatasi.9
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan
makrofag.9
2. INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut
ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan
otot polos bronkus.9
a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe
Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran
napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan
GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan
bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-
5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang
ketahanan hidup eosinofil.9
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme
terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi
7

plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa,mast-


cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.9
c. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi
tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita
asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor
dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF,
TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3,
IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang
ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein
ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic
protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) daneosinophil derived
neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.9
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-
linking reseptor IgE dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel
mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkanpreformed
mediator seperti histamin dan protease serta newly generated
mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga
mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.9
8

Gambar 1. Inflamasi dan remodeling pada asma

e. Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik
pada orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan
seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai
mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan
dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway
remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresigrowth-promoting
factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-b.9

AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan
sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan
jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian
jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses
9

penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan


struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum
diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat
heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi,
dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.9
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi
dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks
interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah,
otot polos, kelenjar mukus.9
Perubahan struktur yang terjadi :
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
Penebalan membran reticular basal
Pembuluh darah meningkat
Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
Perubahan struktur parenkim
Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
10

Gambar 2. Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena


sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus
(longstanding inflammation).9
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan
tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan
napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway
remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan
pengobatan dari proses tersebut. Pemikiran baru mengenai patogenesis asma
dikaitkan dengan terjadinya Airway remodeling.9
Disadari lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ataupun
perburukan asma. Peningkatan kekerapan asma adalah akibat perubahan
lingkungan yang beraksi pada genotip asma baik sebagai induksi berkembangnya
asma atau memperburuk asma yang sudah terjadi. Di samping itu dipahami
terjadinya kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel bronkus pada asma seperti
lebih rentan untuk terjadinya apoptosis akibat oksidan, meningkatnya permeabiliti
akibat pajanan polutan, meningkatnya penglepasan sitokin dan mediator inflamasi
dari epitel akibat pajanan polutan, yang berdampak pada proses inflamasi
dan remodeling.9
Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel
menghasilkan penglepasan mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi
dan profibrogenic growth factors terutama TGF-b dan familinya (fibroblast
growth factor, insulin growth factor, endothelin-1, platelet-derived growth factor,
dan sebagainya) yang berdampak pada remodeling. Dari berbagai mediator
tersebut, TGF-b adalah paling paling penting karena mempromosi diferensiasi
fibroblas menjadi miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen
interstisial, sedangkan mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos
dan sel endotel. TGF-b dan efeknya pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada
sel epitel dan diteruskan ke submukosa. Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-
sel mesenkim tersebut dikaitkan dengan perkembangan embriogenik jalan napas
11

mendatangkan pikiran adanya epithelial mesenchymal tropic unit (EMTU) yang


tetap aktif setelah lahir atau menjadi reaktivasi pada asma dan
menimbulkanremodeling jalan napas pada asma. Berdasrkan pemikirantersebut,
inflamasi dan remodeling yang terjadi pada asma adalah konsekuensi dari
peningkatan kecenderungan injuri, kelemahan penyembuhan luka atau keduanya.9

Teori TH-2 dan EMTU


Teori lingkungan, terjadinya remodeling pada asma serta tidak cukupnya
sitokin proinflamasi untuk menjelaskan remodeling tersebut dan percobaan
binatang yang menunjukkan peran EMTU mendatangkan pemikiran baru pada
patogenesis asma.
Dipahami asma adalah inflamasi`kronik jalan napas melalui mekanisme Th-
2. Akan tetapi berbagai sitokin yang merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin Il-13,
Il-4) yang dianggap berperan penting dalamremodeling adalah berinteraksi dengan
sel epitel mediatornya dalam menimbulkan remodeling. Sitokin proinflamasi
tersebut tidak cukup kuat untuk menghasilkan remodeling tetapi .interaksinya
dengan sel epitel dan mediatornya adalah mekanisme yang dapat menjelaskan
terjadinya airway remodeling pad aasma. Sehingga dirumuskan suatu postulat
bahwa kerusak sel epitel dan sitokin-sitokin TH-2 beraksi bersama-sama dalam
menimbulkan gangguan fungsi EMTU yang menghasilkan aktivasi miofibroblas
dan induksi respons inflamasi dan remodeling sebagai karakteristik asma kronik.9
12

F. DIAGNOSIS ASMA AKIBAT KERJA


Diagnosis asma akibat kerja ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang terdiri dari tes faal paru, tes
provokasi bronkus dan test imunologi atau test pajanan dengan alergen spesifik.9
1. ANAMNESA
Semua pekerja yang menderita asma dilakukan anamnesis yang teliti
mengenai apa yang terjadi dilingkungan kerjanya. Hal yang perlu ditanyakan
a. Kapan mulai bekerja ditempat sekarang.
b. Apakah tinggal dilingkungan tempat bekerja.
c. Apa pekerjaan sebelumnya.
d. Apa yang dikerjakan setiap hari.
e. Proses apa yang terjadi ditempat kerja.
f. Bahan bahan apa yang dipergunakan dalam pekerjaan sehari-hari.
g. Apa saja keluhan yang dirasakan dan sejak kapan mulai dirasakan.
h. Apakah keluhan yang dirasakan berkurang setelah pulang kerja.
i. Apakah gejalanya membaik bila berada jauh dari tempat kerja atau pada
saat hari libur.9
13

Pada asma akibat kerja yang berat belum memberikan perbaikan yang
berarti saat libur 1 atau 2 hari pada akhir minggu, tetapi diperlukan waktu yang
lebih lama. Gejala klinis bervariasi umumnya penderita asma akibat kerja
mengeluh batuk berdahak dan nyeri dada, sesak nafas serta mengi, beberapa
pekerja merasakan gejala penyerta seperti rhinitis, iritasi pada mata dan
dermatitis.9,10
2. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada asma akibat kerja sama dengan asma pada
umumnya. Pemeriksaan didapatkan sesak napas (dyspnea), mengi, bicara
terputus-putus, agitasi, lebih suka posisi duduk. Tanda-tanda lain sianosis,
ngantuk, susah bicara, takikardia, dan hiperinflasi thoraks. Tidak ada pemeriksaan
yang spesifik pada pasien asma akibat kerja, namun perlu diperhatikan apakah
terdapat jejas akibat bahan iritan, luka bakar atau dermatitis karena bahan / zat
ditempat kerja.10
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Spirometri
Pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator untuk melihat adanya hambatan jalan napas dan untuk
melihat respon bronkodilator untuk mendiagnosis asma akibat kerja.
Menurut The American Thoracic Society , bila terjadi penurunan Volume
Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP I) >10 % atau peningkatan VEP1 >12
% setelah pemberian bronkodilator berarti terdapatnya asma yang
berhubungan dengan pekerjaan. Hal ini telihat pada penelitian Kiki dkk di
pabrik semen Jawa Barat, dimana pekerja yang menderita asma akibat
kerja setelah dilakukan uji bronkodilator terdapat peningkatan VEP 1 lebih
dari 20 %, disamping anamnesis dan gejala klinis yang mendukung untuk
asma akibat kerja.9,10
Pengukuran Arus Puncak Ekpirasi (APE) minimal 4 kali sehari
selama 2 minggu dan diagnosa asma akibat kerja dapat ditegakkan bila
terdapat 20 % atau lebih variasi APE pada siang hari . Pemeriksaan ini
mudah dan dapat dilakukan pasien sendiri baik pada saat sebelum bekerja,
14

diantara waktu kerja, setelah bekerja dan sebelum tidur.10


b. Tes Provokasi Bronkus
a. Tes Provokasi bronkus non spesifik.
Adanya hiperaktivitas bronkus dapat diuji dengan tes provokasi
bronkus mengunakan bahan histamin atau metakolin. Hasil tes provokasi
bronkus yang normal bukan berarti tidak terdapat asma akibat kerja,
karena derajat hiperaktivitas bronkus dapat berkurang bila penderita
dibebaskan dari pajanan setelah beberapa lama.
Reaksi yang timbul setelah tes provokasi bronkus dengan bahan
inhalasi tertentu dapat berupa reaksi cepat, reaksi lambat dan bifasik atau
reaksi yang berkepanjangan. Pada jenis reaksi yang cepat, reaksi timbul
dalam beberapa menit setelah inhalasi dan mencapai efek maksimal dalam
30 menit dan biasanya berakhir setelah 60-90 menit. Pada jenis reaksi
lambat reaksi baru timbul 4-6 jam setalah tes berlangsung, efek maksimal
tercapai setelah 8-10 jam dan berakhir dalam 24-48 jam. Sedangkan tipe
bifasik ditandai dengan timbulnya reaksi cepat kemudian membaik dan
diteruskan dengan timbulnya reaksi lambat. Pada reaksi yang
berkepanjangan tidak ada masa pemulihan antara timbulnya reaksi cepat
dengan reaksi lambat, sehingga terjadi reaksi terus menerus.10
b. Tes Provokasi bronkus Spesifik
Tes provokasi bronkus dengan alergen spesifik merupakan gold
standar untuk diagnosis asma akibat kerja, tetapi karena
banyakmenimbulkan serangan asma serta harus dilaksanakan dirumah
sakit pusat dengan tenaga yang terlatih, maka tes ini jarang dilakukan.
Sebelum tes dilakukan, harus diketahui bahan yang dicurigai sebagai
alergen ditempat kerja dan kadar pajanan serta dalam bentuk apa bahan
tersebut berada dilingkungan kerja.
Indikasi utama uji provokasi bronkus dengan bahan spesifik adalah
Bila pekerja asma akibat kerja, tidak diketahui zat penyebabnya. Bila
pekerja terpajan lebih dari satu zat penyebab asma kerja. Bila diperlukan
konfirmasi untuk diagnosis penyakit sebelum pekerja berhenti / pindah
15

karena diduga menderita asma kerja.10


c. Tes Kulit dan Tes Serologi.
Pemeriksaan ini dilakukan bila agen penyebabnya bahan dengan
berat molekul besar, karena merangsang terjadinya reaksi imunologi Bila tes
ini positif maka menyokong untuk diagnosis asma akibat kerja.10

G. MANIFESTASI KLINIS
Gejala biasanya timbul sesaat setelah terpapar oleh alergen dan seringkali
berkurang atau menghilang jika penderita meninggalkan tempat kerjanya.
Gejala seringkali semakin memburuk selama hari kerja dan membaik pada
akhir minggu atau hari libur.
Beberapa penderita baru mengalami gejalanya dalam waktu 12 jam setelah
terpapar oleh alergen.
Gejalanya berupa sesak nafas, mengi, batuk, merasakan sesak di dada dan
memburuk dimalam hari.11

H. PENATALAKSANAAN ASMA AKIBAT KERJA


Pengobatan sama seperti jenis asma lainnya, yaitu diberikan
bronkodilator (obat yang membuka saluran pernafasan), baik dalam bentuk
obat hirup (contohnya albuterol) atau dalam bentuk tablet (contohnya
theophylline). Untuk serangan yang hebat, dapat diberikan corticosteroid
(misalnya prednisone) per-oral (melalui mulut) dalam jangka pendek. Untuk
penanganan jangka panjang, lebih baik diberikan corticosteroid dalam bentuk
hirup. Setiap penderita sebaiknya diajarkan bagaimana mengenal gejala dan
tanda perburukan asma, serta bagaimana mengatasinya termasuk
menggunakan medikasi sesuai anjuran dokter. Gejala dan tanda asma dinilai
dan dipantau setiap kunjungan ke dokter melalui berbagai pertanyaan dan
pemeriksaan fisis. Pertanyaan yang rinci untuk waktu yang lama ( 4
minggu) sulit dijawab dan menimbulkan bias karena keterbatasan daya ingat
(memori) penderita. Karena itu, pertanyaan untuk jangka lama umumnya
bersifat global, dan untuk waktu yang pendek misalnya 2 minggu dapat
16

diajukan pertanyaan yang rinci. Segala pertanyaan mengenai gejala asma


penderita sebaiknya meliputi 3 hal, yaitu :
Gejala asma sehari-hari (mengi, batuk, rasa berat di dada dan sesak napas).
Gejala asma pada dini hari yang tidak menunjukkan perbaikan setelah 15
menit pengobatan agonis beta-2 kerja singkat.
Asma malam, terbangun malam karena gejala asma.9

PENATALAKSANAAN MENURUT GINA12 :

I. PENCEGAHAN ASMA AKIBAT KERJA


Asma akibat kerja dapat dicegah dan disembuhkan bila didiagnosis lebih
dini. Karena itu pencegahan merupakan tindakan yang paling penting Pencegahan
asma akibat kerja meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier.13
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan tahap pertama terhadap bahan / zat
paparan yang ada dilingkungan kerja seperti debu atau bahan kimia agar tidak
mengenai pekerja, sehingga pekerja tetap sehat selama dan setelah bekerja.
Kegiatan yang dilakukan adalah Health Promotion (Promosi Kesehatan)
yaitu13:
a. Penyuluhan tentang prilaku kesehatan dilingkungan kerja.
b. Menurunkan pajanan, dapat berupa subsitusi bahan, memperbaiki
ventilasi, automatis proses (robot ), modifikasi proses untuk menurunkan
sensitisasi, mengurangi debu rumah dan tempat kerja.
c. Pemeriksaan kesehatan sebelum mulai bekerja untuk mengetahui riwayat
kesehatan dan menentukan individu dengan resiko tinggi.
d. Kontrol administrasi untuk mengurangi pekerja yang terpajan ditempat
kerja dengan rotasi pekerjaan dan cuti.
e. Menggunakan alat proteksi pernapasan
Dengan menggunakan alat proteksi pernapasan dapat menurunkan
kejadian asma akibat kerja 10-20 %. Suatu penelitian dipabrik yang
menggunakan acid anhydride dengan konsentrasi tinggi, dari 66 pekerja yang
menggunakan alat proteksi pernapasan, hanya 3 pekerja yang menderita asma
17

akibat kerja.13
2. Pencegahan sekunder.
Pencegahan sekunder adalah mencegah terjadinya asma akibat kerja
pada pekerja yang sudah terpajan dengan bahan dilingkungan pekerjaannya.
Usaha yang dilakukan adalah : Pengendalian jalur kesehatan seperti
pemeriksaan berkala.
Pemeriksaan berkala bertujuan mendeteksi dini penyakit asma akibat
kerja. Usaha yang dilakukan adalah pemeriksaan berkala pada pekerja yang
terpajan bahan yang berisiko tinggi menyebabkan asma akibat kerja.
Pemeriksaan berkala ditekankan pada 2 tahun pertama dan bila
memungkinkan sampai 5 tahun. Bila terdeteksi seorang pekerja dengan asma
akibat kerja, kondisi tempat kerja harus harus dievaluasi apakah
memungkinkan bagi pekerja untuk tetap bekerja ditempat tersebut atau pindah
ketempat lain.13
3. Pencegahan tersier
Dilakukan pada pekerja yang sudah terpapar bahan / zat ditempat kerja
dan diagnosis kearah asma akibat kerja sudah ditegakkan. Tindakan penting
yang dilakukan adalah menghindarkan penderita dari pajanan lebih lanjut,
untuk mencegah penyakit menjadi buruk atau menetap.13
Bagi mereka yang belum pindah kerja harus diberitahu bahwa, apabila
terjadi perburukan gejala atau memerlukan tambahan pemakaian obat-obatan
atau penurunan fungsi paru atau peningkatan derajat hiperaktiviti bronkus,
maka penderita seharusnya pindah kerja sesegera mungkin. Pada pekerja yang
telah pindah kerja ketempat yang bebas pajanan harus dilakukan pemeriksaan
ulang setiap 6 bulan selama 2 tahun untuk menilai kemungkinan penyakit.13

J. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Definisi Reaksi Alergi (Reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari
sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami
cedera/terluka. Mekanisme dimana sistem kekebalan melindungi tubuh dan
mekanisme dimana reaksi hipersensitivitas bisa melukai tubuh adalah sama.
18

Karena itu reaksi alergi juga melibatkan antibodi, limfosit dan sel-sel lainnya yang
merupakan komponen dalam system imun yang berfungsi sebagai pelindung yang
normal pada sistem kekebalan.14
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari
mata berair,mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang esktrim bisa
terjadi gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang
sangat rendah, yang menyebabkan syok. Reaksi jenis ini disebut anafilaksis, yang
bisa terjadi pada orang-orang yang sangat sensitif, misalnya segera setelah makan
makanan atau obatobatan tertentu atau setelah disengat lebah, dengan segera
menimbulkan gejala.14
Tipe-tipe Alergi14 :
a. Alergi Tipe 1 atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan
tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara
imunologi terhadap bahanbahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau
dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh
manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh
tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang
yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas
tersebut disebut alergen. Terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada mekanisme
reaksi alergi tipe I, yaitu14 :
Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di
permukaan sel mast atau basofil, dimana sebelumnya penderita telah terpapar
alergen sebelumnya, sehingga Ig E telah terbentuk. Ikatan antara alergen
dengan Ig E akan menyebabkan keluarnya mediator-mediator kimia seperti
histamin dan leukotrin.14
Respon ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar dengan
alergen penyebab sebelumnya. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan
berikatan dengan sel B, sehingga menyebabkan sel B berubah menjadi sel
plasma dan memproduksi Ig E. Ig E kemudian melekat pada permukaan sel
mast dan akan mengikat alergen. Ikatan sel mast, Ig E dan alergen akan
menyebabkan pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator kimia. Efek
19

mediator kimia ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem,


spasme pada otot polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat ditemukan
pada alergi tipe ini antara lain : rinitis (bersin-bersin, pilek) ; sesak nafas
(hipersekresi sekret), oedem dan kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang
(spasme otot polos yang ditemukan pada anafilaktic shock).14
b. Reaksi Alergi tipe II (Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig G)) reaksi alergi
tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel tubuh oleh karena
antibodi melawan/menyerang secara langsung antigen yang berada pada
permukaan sel.14
c. Reaksi Alergi Tipe III (Immune Complex Disorders) merupakan reaksi
alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari kompleks antigen
antibody berada di jaringan. Gejalanya disebut dengan Syndroma Sickness, yaitu:
fever, Hives/urticaria, arthritis, protein pada urin.14
d. Reaksi Alergi Tipe IV (Cell-Mediated Hypersensitivities (tipe lambat))
reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsic/internal (self).
Reaksi ini melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel T.
Ekstrinsik : nikel, bahan kimia intrinsik: Insulin-dependent diabetes mellitus
(IDDM or Type I diabetes), Multiple Sclerosis (MS), Rheumatoid Arthritis,
TBC.14
20

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Penderita asma akibat kerja meningkat seiring dengan
meningkatnya bidang industri.
2. Asma di tempat kerja dibedakan antara asma akibat kerja dan asma
yang diperburuk oleh lingkungan kerja.
3. Asma akibat kerja bisa terjadi melalui mekanisme imunologis
maupun nonimunologis.
4. Tes provokasi dengan alergen spesifik merupakan gold standar
untuk diagnosis asma akibat kerja.
5. Terapi obat obatan asma akibat kerja sama dengan asma lain
6. Asma akibat kerja dapat dicegah dengan pencegahan primer,
sekunder dan tersier.
7. Asma akibat kerja dapat disembuhkan bila diketahui secara dini
dan segera menghindari alergen penyebab.
B. SARAN
1. Perlunya anamnesa yang lengkap sebelum seseorang bekerja disuatu tempat
pekerjaannya.
2. Setelah diagnosa asma akibat kerja ditegakkan sebaiknya orang tersebut
pindah kelingkungan pekerjaan yang lain agar penyakitnya jangan
sampaimemburuk.
21

DAFTAR PUSTAKA

1. Health and Safety Authority. 2008. Guidelines on Occupational Asthma.


The Metropolitan Building,James Joyce Street, Dublin 1.

2. D Fishwik., Barber CM., Bradshaw LM., Harris RJ., Francis M., Naylor S.,
Ayres J., Burge PS., Corne J M., Culinan P., Frank TL., Hendrick D., Hoyle
J., Jaakkola M., Taylor A N., Nicholson P., Niven R., Pickering A.,
Rawbone R., Stenton C., Warburton CJ., Curran A D., 2013. Standards of
care for occupational asthma. BMJ Journal. Vol 63.

3. Tal A., Simon G., Vermeulen JH., Petru V., Cobos N., Everald ML., et al.
Budesonide/Formoterol In A Single Inhaler Versus Inhaled Corticostreroid
Alone In The Treatment Of Asthma. Pediatr Pulmonal 2013;34;342-50.

4. Sherwood, L. Fisiologi Manusia;dari Sel ke Sistem. Edisi 2.


Jakarta;EGC,2007;497-506
5. Guyton AC, John EH. Pernapasan, Ventilasi Paru. Dalam: Luqman YR,
Huriawati H, Andita N, Nanda W, penyunting. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta: EGC. Guyton AC, John EH. 2007.
Pernapasan, Ventilasi Paru. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11.
Jakarta: EGC. hlm. 495-552.hlm. 495-552.
6. Baur X, Sigsgaard T, Aasen T , Burge P.S, Heederik D, Henneberger P.
Guidelines for the management of work-related asthma. ers task force
report Institute for Occupational and Maritime Medicine University
Medical Center. 2012; 39: 529545
7. Health and Safety Authority. 2008. Guidelines on Occupacional Asthma.
The Metropolitan Building, James Joyce Street, Dublin 1.

8. D Fishwik., Barber CM., Bradshaw LM., Haris RJ., Francis M., Naylor S.,
Ayres J., Burge PS., Corne J.M., Culinan P., Frank TL., Hendrick D., Hoyle
J., Jakkola M., Taylor A.N., Nicholson P., Niven R., Pickering A., Rawbone
R., Stenton C., Warbunton., Curran AD., 2013. Standards of Care for
Occupacional Asthma. BMJ Journal. Vol; 63.
22

9. Mangunnegoro, H. Program Penatalaksanaan Asma. Pedoman dan


Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2004;
28-73.

10. Rengganis, I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt


Indon. 2008;58(11);444-51.

11. Manifest babil

12. Tatalaksana (GINA dicantumkan) babil

13. Liansyah, TM. Pendekatan Kedokteran Keluarga Dalam Penatalaksanaan


Terkini Serangan Asma. JKS. 2014;3: 175-180.

14. Hikmah, N., Dewanti, ID. Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi). JKG
Unej. 2010; 7(2);108-12.

15. Asma emergency

You might also like