You are on page 1of 38

LAPORAN KASUS ANAK

SEORANG ANAK DENGAN MORBILI DISERTAI


BRONKOPNEUMONIA, DIARE AKUT DAN KONGJUNGTIVITIS

Pembimbing :
dr. Hery Susanto Sp.A

Disusun oleh :
Ary Titis Rio Pambudi
030.11.045

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 19 Desember 2016 24 Februari 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul


Seorang Anak Laki-laki dengan Kejang Demam Kompleks dan Bronkopneumonia

Penyusun:
Ary Titis Rio Pambudi
030.11.045

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 19 Desember
24 Februari 2017

Tegal, 2 Februari 2017

dr. Hery Susanto, Sp.A


BAB I
STATUS PASIEN
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama : Ary Titis Rio Pambudi Pembimbing : dr. Hery Susanto, Sp.A.
NIM : 030.11.045 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ibu Ayah
Nama An.N Ny.N Tn. A
Umur 5 tahun 28 tahun 28 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki
Alamat Warungpring RT 1 RW 1 Tegal

Agama Islam Islam Islam


Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMP SD
Pekerjaan - IRT Security
Penghasilan - - Rp.800-900.000/hari
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi BPJS PBI
No. RM 861595
Tanggal masuk RS 27 Januari 2017

II. ANAMNESIS

Data anamnesis diperoleh secara auto dan alloanamnesis kepada orang tua pasien
(Ny.N 28 th dan Tn.A 28 th) pada tanggal 25 Januari 2017 di Ruang Wijaya Kusuma RSU
Kardinah pukul 10.00 WIB.
Keluhan Utama
Demam
Keluhan Tambahan
Batuk, BAB Cair ,Mual, Muntah ,sakit kepala, bintik-bintik merah,dan Mata merah

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang anak perempuan berusia 5 tahun datang dengan keluarga ke IGD
RSUD Kardinah pada tanggal 24 Januari 2017 dengan keluhan utama Panas sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit(SMRS). Panas dirasakan naik turun, jika diberi obat penurun
panas panas turun kemudian naik kembali. Panas disertai batuk tidak berdahak, mual dan
muntah 2x isi cairan. OS juga mengeluh sakit kepala dan sakit perut disertai bab cair 1x,
lendir ada, ampas tidak ada, darah tidak ada. Menurut orang tua OS, OS juga terdapat bintik-
bintik merah yang berawal dari belakang telinga kemudian ke kepala dan seluruh tubuh.

Riwayat Penyakit Dahulu


Os tidak pernah mengalami hal serupa. Tidak riwayat alergi obat maupun
makanan tertentu. Riwayat penyakit lain, seperti asma, penyakit jantung, dan sebagainya
disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa, tidak ada yang memiliki
asma, dan jantung.
Riwayat Lingkungan Rumah
Pasien tinggal bersama dengan keluarga bibinya (paman, bibi dan 1 orang sepupu)
dirumah pribadi. Rumah berada di kawasan yang padat penduduk dengan luas 6 meter x 3
meter. Tempat tinggal pasien memiliki 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan 1 dapur. Rumah
memiliki 2 jendela yang selalu dibuka setiap pagi. Penerangan dengan listrik. Air berasal dari
air sumur. Jarak septic tank kurang lebih 10 meter dari sumber air. Air limbah rumah tangga
disalurkan melalui selokan di depan rumah.
Kesan : keadaan rumah dan ventilasi cukup baik, keadaan lingkungan rumah cukup
baik.
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah os bekerja sebagai security dan berpenghasilan 800.000-900.000/bulan.
Pendidikan terakhir ayahnya adalah SD sedangkan pendidian terakhir ibunya adalah SMP.
Kesan: riwayat sosial ekonomi kurang baik.

Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Ibu os berusia 32 tahun saat mengandung pasien. Ibu os rutin memeriksakan
kehamilannya secara teratur sesuai buku panduan di bidan. Selama hamil, os tidak pernah
memeriksakan kehamilannya di dokter spesialis kandungan. USG (-) Riwayat tekanan darah
tinggi, kencing manis, perdarahan selama hamil, kejang, trauma maupun infeksi saat hamil
disangkal.
Kesan: riwayat pemeliharaan prenatal baik.
Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran : RSUD Kardinah
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Per vaginam, secara spontan
Masa gestasi : 38 minggu pada G2P1A0
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 2800 gram
Panjang badan lahir : 47 cm
Lingkar kepala : Ibu lupa
Keadaan lahir : Langsung menangis kuat, tidak pucat, dan tidak biru
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Air ketuban : jernih
Suntik vit K : Tidak tahu
Kesan: neonatus aterm, dengan lahir secara per vaginam, bayi dalam keadaan bugar.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di Posyandu secara teratur dan anak dalam
keadaan sehat.
Kesan: riwayat pemeliharaan postnatal baik.

Corak Reproduksi Ibu


Ibu P2A0, pasien merupakan anak pertama berjenis kelamin laki-laki.

Riwayat Keluarga Berencana


Ibu pasien mengaku saat ini hanya menggunakan kontrasepsi pil sejak tahun 2011.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan:
Berat badan lahir 2800 gram. Panjang badan lahir 48 cm.
Berat badan sekarang 17 kg. Panjang badan 105 cm.
Perkembangan:
Psikomotor
Senyum : 2 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 9 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 12 bulan
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai usia

Riwayat Makan dan Minum Anak


Ibu memberikan ASI eksklusif sampai 6 bulan. Usia 6 bulan diberikan PASI dan bubur
susu 3x sehari. Usia 6 bulan mulai diberikan makanan lunak dan buah pisang. Usia 1
tahun sudah diberikan nasi, sayur dan lauk pauk. Ibu os mengatakan pasien sulit makan,
makan tidak banyak dan tidak pernah habis.
Kesan: kualitas makanan cukup baik, kuantitas makanan buruk.

Riwayat Imunisasi
VAKSIN ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG 0 bulan - - - - - -
DTP/ DT - 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
CAMPAK - - - - - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - 6 bulan - - -

Kesan : Imunisasi dasar pasien tidak lengkap sesuai usia, belum dilakukan imunisasi
campak dan ulangan

Silsilah Keluarga
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di Bangsal Wijaya Kusuma RSU Kardinah Tegal pada tanggal
25 Januari 2017 pukul 15.30 WIB.
A. Kesan Umum : Compos Menti,E4V5M6, TSS
B. Tanda Vital
Nadi : 100 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Laju nafas : 36 x/menit, reguler.
Suhu : 38C
Tekanan darah :-
C. Data Antropometri
Berat badan : 17 kg
Tinggi badan : 105 cm
D. Status Generalis
Kepala : mesosefali, LK : 49 cm
Rambut : berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.
Wajah : simetris
Leher : kaku kuduk (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem
palpebra (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+. Injeksi
Konjungtiva(+)
Hidung : bentuk simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping

hidung (-),
Telinga: bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-)
Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Leher : Simetris, pembesaran KGB (-)
Kulit : berwarna kecoklatan, Ruam (+)
Thorax :
Paru

Inspeksi : Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi


(-)
Palpasi : Tidak ada hemitoraks yang tertinggal.
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi basah halus (+/+),
wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-),


gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, datar, distensi (-), turgor kulit melambat.
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen.
Genitalia : jenis kelamin Perempuan, tidak ada kelainan.
Anorektal : tidak dilakukan pemeriksaan,

Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2 <2
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -
Ruam + +

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 26/09/2016 Pukul 23.39 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 10,7 g/dL 10,7 14,7
Leukosit 5,7 103/uL 4,5 13,5
Hematokrit 32,5 () % 33 41
Trombosit 150 103/uL 150 521
Eritrosit 5.1 106/uL 3,7 5,7
RDW 17,5 () % 11,5 14,5
MCV 64,8 () U 80 93
MCH 21 () Pcg 28 33
MCHC 32,6 g/dl 33 36
Hitung Jenis (Diff)
Eosinofil 1 () % 2-4
Basofil 0.0 % 0-1
Netrofil 78,8 () % 50-70
Limfosit 14,0 () % 25-40
Monosit 6.2 % 2-8
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri Pemeriksaan Status Gizi
Anak laki-laki usia 5 tahun Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:
Berat badan 11 kg 1. BB/U= 11/11,4 x 100% = 91,6% (berat badan menurut
Tinggi badan 80 cm umur gizi baik)
Lingkar kepala 49 cm
2. PB/U = 80/84 x 100% = 95,2 % ( normal)
3. BB/PB = 11/11,4 x 100% = 96,49% (gizi baik menurut
berat badan per tinggi badan)
Kesan: Anak laki-laki usia 1,8 tahun, status gizi baik

Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Kesan : LK 48 cm Normocephali

Pemeriksaan Status Gizi


Kesan: status gizi baik

VI. RESUME
Pasien seorang anak perempuan berusia 5 tahun datang dengan keluarga ke IGD
RSUD Kardinah pada tanggal 24 Januari 2017 dengan keluhan utama Panas sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit(SMRS). Panas dirasakan naik turun, jika diberi obat penurun
panas panas turun kemudian naik kembali. Panas disertai batuk tidak berdahak, mual dan
muntah 2x isi cairan. OS juga mengeluh sakit kepala dan sakit perut disertai bab cair 1x,
lendir ada, ampas tidak ada, darah tidak ada. Menurut orang tua OS, OS juga terdapat bintik-
bintik merah yang berawal dari belakang telinga kemudian ke kepala dan seluruh tubuh..
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien compos mentis,E4V5M6, tampak
ruam makulopapular diseluruh tubuh, tampak sesak, dan tampak sakit sedang, pemeriksaan
tanda vital dengan nadi : 100 x/menit, reguler, kuat, isi cukup, laju nafas: 36 x/menit, regular,
suhu : 38C, berat badan : 17 kg, panjang badan : 105cm dengan status gizi normal, pada
pemeriksaan didapatkan ronkhi basah halus di kedua paru. Pada pemeriksaan penunjang
laboratorium darah didapatkan.

VII. MASALAH
Demam
Batuk
BAB Cair
Sesak
Mata Perih
Injeksi konjungtiva
Ronkhi basah halus
Ruam Makulopapular diseluruh tubuh

VIII. DIAGNOSA KERJA


Panas Tinggi, Batuk, Mata Merah, Ruam MakuloPapular : Morbili
Panas Tinggi, Batuk, Sesak, Ronkhi basah halus : Bronkopneumonia
Mata merah, Mata Perih, injeksi conjungtiva : Conjungtivitis
IX. DIAGNOSIS BANDING

Panas Tinggi, Ruam Morbili


makulopapular, batuk Rubella
HMFD
Panas Tinggi, Batuk, dan Sesak Bronkopneumonia
TB paru
Ronkhi Basah Halus ISPA

Mata Merah, Mata Perih, Injeksi Konjungtivitis



Conjungtiva

BB 17 kg, Panjang badan 105 cm BB Normal


BB Lebih
BB Kurang

X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
IVFD RL 45 cc/jam
Ceftriaxone 2 x 500 mg
Dexametason 3 x 2,5 mg
Mikasin 3 x 75 mg
Paractamol 4x110 mg
O2 2L
Lasal Syrup Ekspektoran 3 x Cth
Non-medikamentosa
Rawat inap untuk monitor gejala
Awasi keadaan umum, dan tanda vital
Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
XI. PROGNOSA
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad Bonam
PERJALANAN PENYAKIT
26 Januari 2017 pkl. 21:00 WIB (IGD)
Hari Perawatan ke-0
Os rujukan dari RS Mardhotillah dengan penurunan kesadaran,demam tinggi 3 hari SMRS, post kejang 1x, badan kaku, mata tidak
mendelik ke atas disertai mulut berbusa. Muntah (-) BAB cair 1x, ampas (+), lendir (-), darah (-). Sesak (+).
KU: penurunan kesadaran, Tampak sakit berat, tampak sesak
TTV: HR 150x/m,RR 40x/m, T 36,3 0C
Status generalis:
Kepala: mesosefali, LK = 49 cm, rambut berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut..
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung
Hidung & THT : dbn
Mulut : dbn
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, hepar lien ttb
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) spastik +/+,
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)spastik +/+ CRT < 2 detik
Kejang Demam Kompleks
Meningo Ensefalitis
Bronkopneumonia
Rawat inap di PICU, konsultasi Sp.A
O2 2 lpm
IVFD RL 500ml/kolf 45 cc/jam

Tanggal 26-1-17 (PICU) 27-1-17 (PICU) 28-1-17 (Puspanidra) 29-1-17


H1 HI H3 (Puspanidra)
H4
S Penurunan kesadaran (+), Demam (-) OS kesadarannya membaik, Demam (-) OS pulang Paksa
, BAB cair (+) 1x ampas (+), lendir Demam (-) , BAB cair (+) 1x Penurunan kesadaran (-), makan
(-), darah (-) Batuk (+) Pilek (+) ampas (+), lendir (-), darah (-) dan minum baik, kejang (-),
Sesak(+) Makan minum Sulit Batuk (+) Pilek(-) Sesak(-) muntah (-) mual(-) sesak(-) batuk
makan minum baik (+) pilek (-) Mencret (-)
O KU : baik, kesadaran CM KU : baik, TSR, CM -
TTV : KU : baik, kesadaran CM TTV :
T : 36,5 HR :120 RR : 36 SpO2 : TTV : T : 36,3 HR :100 RR : 20
98% T : 36 HR :100 RR : 20 SpO2 :
98%
A Kejang Demam Kompleks Kejang Demam Kompleks Kejang Demam Kompleks
Bronkopneumonia MeningoEnsefalitis MeningoEnsefalitis
Bronkopneumonia Bronkopneumonia

P O2 2 lpm O2 2 lpm Terapi lanjut -


IVFD RL 45 cc/jam IVFD RL 45 cc/jam
Ceftriaxone 2 x 500 mg. Ceftriaxone 2 x 500 mg.
Dexametason 3 x 2,5 mg (1/2 cc) Dexametason 3 x 2,5 mg (1/2
Mikasin 3 x 75 mg cc)
Paracetamol 4 x 110 mg ( 11cc) Mikasin 3 x 75 mg
Paracetamol 4 x 110 mg ( 11cc)
Lasal Ekspektoran 3 x 1/2 cth
Ulang Darah Rutin
Foto Rontgen Ap / Lateral
BAB II
ANALISA KASUS

Pasien anak laki-laki usia 1,8 tahun, dengan diagnosis Kejang Demam Kompleks dd
MeningoEnsefalitis dan Bronkopneumonia. Dasar diagnosis ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pasien ini didiagnosis Kejang Demam Kompleks berdasarkan gejala awal yang
berupa demam tinggi 3 hari SMRS dan kejang-kejang selama 3 jam. kejang terjadi seluruh
tubuh dan tanpa disertai mata mendelik ke atas dan mulut berbusa. Selain itu dari
pemeriksaan fisik belum didapatkan tanda-tanda lesi intrakranial seperti kaku kuduk dan
refleks fisiologi meningkat serta refleks patologis (+)
Diagnosis Bronkopneumonia diperoleh dari anamnesis berupa os batuk berdahak
disertai sesak dan demam tinggi. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan ronkhi basah halus
dikedua lapang paru.
Penatalaksanaan untuk pasien adalah dengan pemberian antibiotic yang sesuai untuk
mengatasi radang paru yang disebabkan oleh adanya infeksi, pemberian cairan yang cukup ,
antikonvulsi dan oksigen apabila terjadi kejang, Pada tanggal 29 Januari 2017, os pulang
paksa karena menurut ibunya os sudah baikan dan os belum mengurus BPJS.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Campak (morbili)


Definisi

Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus,

dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran

pernapasan, gejala-gejala mata, kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah

dan diakhiri dengan deskuamasi dari kulit.

Etiologi

Morbillivirus (fam. Paramixoviridae)

Patofisiologi

Penularan virus yang infeksius sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat

menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara,

terjadi antara 1 2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Lesi

utama tampak ditemukan pada kulit penderita, mukosa nasofarink, bronkus, saluran cerna dan

konjungtiva serta masuk ke dalam limfatik lokal. Virus memperbanyak diri dengan sangat

perlahan dan di situ mulai penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limfa. Sel mono

nuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak. Virus masuk

ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitil orofarink, konjungtiva, saluran

nafas, kulit, kandung kemih, dan usus. Pada hari ke 9 10 fokus infeksi yang berada di epitel

saluran nafas dan konjungtiva, satu sampai dua lapisan mengalami nekrosis. Virus yang

masuk ke pembuluh darah menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran nafas adalah

batuk, pilek, disertai konjungtivitis, demam tinggi, ruam menyebar ke seluruh tubuh, timbul

bercak koplik.
Pada hari ke-14 sesudah awal infeksi akan muncul ruam makulopopular dan saat itu

antibodi humoral dapat dideteksi. Daya tahan 3 tubuh akan menurun sebagai akibat respon

terhadap antigen virus terjadilah ruam pada kulit. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring

dan saluran pernafasan memberikan kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa

bronkopnemoni, otitis dan lain-lain

Gejala klinis

Gejala Klinis Penyakit campak terdiri dari 3 stadium, yaitu:

Stadium kataral (prodormal)

Biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari dengan gejala demam, malaise, batuk,

fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum

timbul eksantema, timbul bercak Koplik. Bercak Koplik berwarna putih kelabu, sebesar

ujung jarum timbul pertama kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar dan

menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh

mukosa mulut. Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering didiagnosis

sebagai influenza.

Stadium erupsi

Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya terjadi adalah koriza dan

batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum durum dan palatum mole. Kadang

terlihat pula bercak Koplik. Terjadinya ruam atau eritema yang berbentuk makula-papula

disertai naiknya suhu badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di bagian atas

tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan

ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam kemudian akan menyebar ke dada dan

abdomen dan akhirnya mencapai anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan

menghilang dengan urutan seperti terjadinya yang berakhir dalam 2-3 hari.

Stadium konvalesensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang lama-

kelamaan akan menghilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering

ditemukan pula kulit yang bersisik. Selanjutnya suhu menurun sampai menjadi normal

kecuali bila ada komplikasi.

Pemeriksaan Penunjang

Darah Rutin
Isolasi Virus
Serologi virus

Diagnosis

Diagnosis Banding

Rubella (campak Jerman)

Scarlet Fiver

Hand-Foot-Mouth Disease (HFMD)

Roseola Infantum (Exanthem Subitum)

Molluscum Contagiosum.

Komplikasi

Tatalaksana

Supportif

Tirah Baring

Disarankan rawar inap jika :

Hiperpireksia
Dehidrasi
Kejang
Asupan oral sulit
Dengan komplikasi

Tanpa Komplikasi

Pemberian Cairan yang cukup


Vitamin A
Tanpa malnutrisi : 100.000 IU
Dengan Malnutrisi : +1500 IU/ hari

Dengan Komplikasi

Ensefalopati
Kloramfenikol : dosis 75 mg/KgBB/hari dan Ampisilin 100 mg/KgBB/hari

selama 7-10 hari


Kortikosteroid : dosis 1mg/kgBB/hari sebagai dosis awal dilanjutkan

0,5g/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik

kemudian jika sudah 5 hari di tapering off.


Bronkopneumonia
Kloramfenikol : dosis 75 mg/KgBB/hari dan Ampisilin 100 mg/KgBB/hari

selama 7-10 hari


Oksigen 2 Liter/menit
2.2 Pneumonia

2.2.1 Definisi
Infeksi akut pada parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan intertisiel.
2.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan umur
Menurut IDAI
1. Usia kurang dari 2 bulan
Pneumonia Berat :
nafas cepat atau retraksi yang berat atau tarikan dinding bagian
dalam ke bawah
Pneumonia Sangat Berat :
tidak mau menetek/minum, kejang, letargis, demam atau
hipotermia, bradipnea atau pernafasan ireguler.

2. Usia 2 bulan 5 tahun


Pneumonia Ringan :
Nafas Cepat
Pneumonia Berat :
Retraksi atau tarikan dinding bagian dalam ke bawah
Pneumonia Sangat Berat :
Tidak dapat minum/makan, kejang, letargis, malnutrisi
Berdasarkan lokasi
Pneumonia Lobaris
Bronkopneumonia
Berdasarkan Etiologi
Pneumonia Bakterial
Pneumonia Virus
Pneumonia Aspirasi

2.3 Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah diberbagai negara terutama di
negara berkembang termasuk di Indonesia. Insidens pneumonia anak <5 tahun di negara maju
adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun. Sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100
anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di
negara berkembang.
2.4 Etiologi

Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia antara lain virus, jamur, dan
bakteri. Virus lebih sering ditemukan pada anak kurang daari 5 tahun.
Pneumonia dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, maupun jamur :
Virus :
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.
Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial
Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran
pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia.
Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan
sembuh dalam waktu singkat.
Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza,
gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian. Virus lain yang
menyebab pneumonia adalah adenovirus, dan parainfluenza virus .

Bakteri :
Pneumonia yang disebabkan bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi
hingga usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum
adalah Streptococcus pneumoniae yang normalnya berada di kerongkongan
manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau
malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan.
Balita yang terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas cepat
dan denyut jantungnya meningkat cepat. Selain streptococcus pneumoniae
bakteri lain yang menyebabkan pneumonia adalah Mycoplasma Pneumoniae dan
Chlamidya Pneumoniae.
Jamur:
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur
oportunistik, dimana spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara.
Organisme yang menyerang adalah Candida sp. , Aspergillus sp. , Cryptococcus
neoformans.

2.5 Patogenesis
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh melemahnya mekanisme pertahan paru. Sebagian besar pneumonia
terjadi akibat aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari saluran pernafasan
atas hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari viremia/bakteremia.
2.6 Manifestasi klinis
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat
yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus.
Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik),
gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi demam,
menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan
gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut. Gejala pada paru timbul
setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan
batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu.
Otot bantu napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya
dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk.3 Frekuensi napas merupakan
indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk
mendukung diagnosis dan memantau tata laksana pneumonia. Pengukuran frekuensi napas
dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Tim WHO telah merekomendasikan untuk
menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi
napas yang lebih dari normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest
indrawing), WHO menetapkan sebagai pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan
perawatan dengan pemberian antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai
diagnostik karena umumnya kelainan patologinya menyebar; suara redup pada perkusi
biasanya karena adanya efusi pleura.
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah halus
yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi dan
balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit
untuk diidentifikasi.3 Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada
seluruh kasus.

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Diagnosis pneumonia terutama didasarkan gejala klinis, untuk menunjang
diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan lab darah untuk membedakan apakah
pneumonia ini disebabkan oleh bakteri ataupun virus. Pada pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri umumnya hasil pemeriksaan berupa leukositosis
sedangkan pada pneumoa yang disebabkan oleh virus didapaktan leukopenia.
Pada pemeriksaan foto rontgen toraks perlu dibuat untuk menunjang diagnosis,
selain untuk melihat luasnya kelainan patologi secara lebih akurat. Foto torak
antero proterior (AP) dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik
dalam paru, luasnya kelainan, dan kemungkinan adanya komplikasi seperti
pneumotoraks, pneumomediastinum, dan efusi pleura. Infiltrat tersebar paling
sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pembesaran kelenjar hilus sering
terjadi pada pneumonia karena H. influenzae dan S. aureus, tapi jarang pada
pneumonia S. pneumoniae. Adanya gambaran pneumatokel pada foto toraks
mengarahkan dugaan ke S. aureus.
Kecurigaan ke arah infeksi S. aureus apabila pada foto rontgen dijumpai
adanya gambaran pneumatokel dan usia pasien di bawah 1 tahun. Foto rontgen
toraks umumnya akan normal kembali dalam 3-4 minggu. Pemeriksaan
radiologis tidak perlu diulang secara rutin kecuali jika ada pneumatokel, abses,
efusi pleura, pneumotoraks atau komplikasi lain.3 Sebagaimana manifestasi
klinis, demikian pula pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan perbedaan
nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Apabila dijumpai adanya gambaran
butterfly di sekitar jantung /parakardial maka kemungkinan infeksi oleh virus.
Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan ekstensif tidak perlu dilakukan, tapi
pemeriksaan laboratorium mungkin membantu dalam memperkirakan kuman
penyebab. Leukositosis hingga >15.000/ul seringkali dijumpai.3 Dominasi
neutrofil pada hitung jenis atau adanya pergeseran ke kiri menununjukkan
bakteri sebagai penyebab. Leukosit >30.000/ul dengan dominasi neutrofil
mengarah ke pneumonia streptokokus.3,7 Laju endap darah dan C-reactive
protein (CRP) indikator inflamasi yang tidak khas sehingga hanya sedikit
membantu. Adanya CRP yang positif dapat mengarah kepada infeksi bakteri.
Biakan darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnosis namun hanya positif
pada 10%-15% kasus terutama pada anak kecil. Adanya efusi pleura
menguatkan dugaan bakteri sebagai penyebabnya. Empiema lebih banyak
dijumpai pada anak.
2.9 DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan
mikrobiologik. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis
maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat
diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.9 Dengan demikian diagnosis pneumonia terutama
berdasarkan manifestasi klinis, dibantu pemeriksaan penunjang lain. Tanpa pemeriksaan
mikrobiologik, kesulitan yang lebih besar adalah membedakan kuman penyebab; bakteri,
virus, atau kuman lain. Pneumonia bakterial lebih sering mengenai bayi dan balita dibanding
anak yang lebih besar. Pneumonia bakterial biasanya timbul mendadak, pasien tampak toksik,
demam tinggi disertai menggigil, dan sesak memburuk dengan cepat. Pneumonia viral
biasanya timbul perlahan, pasien tidak tampak sakit berat, demam tidak tinggi, gejala batuk
dan sesak bertambah secara bertahap. Infeksi virus biasanya melibatkan banyak organ
bermukosa (mata, mulut, tenggorok, usus). Semakin banyak organ tersebut terlibat makin
besar kemungkinan virus sebagai penyebabnya. Pneumonia bakterial bersifat khas yaitu
hanya organ paru yang terkena.Tabel dibawah ini dapat membantu dalam membedakan
kuman penyebab pneumonia :

Pemeriksaan Pneumonia Bakteri Virus Mikoplasma


Anamnesis :
Umur Berapapun, Berapapun Usia
Awitan Perlahan
bayi sekolah
Sakit serumah Mendadak Ada, Tidak
Batuk Tidak bersamaan nyata
Gejala Produktif Non-produktif ya,
penyerta Toksik Mialgia, ruam
berselang
kering
nyeri
kepala,
nyeri otot,
neri
tenggorok
an
Pemeriksaan Fisik :
Demam Umumnya 39o C Umumnya 39o C Umumnya 39o C
Auskultasi Ronkhi kurang Ronkhi bilateral, Ronkhi unilateral,
terengar, suara nafas difus, mengi. mengi.
melemah

2.10 DIAGNOSIS BANDING


TB PARU
ASMA BRONKIALE
Bronkiolitis
Bronkitis akut
2.11 KOMPLIKASI

Effusi pleura
Pada pneumonia, infeksi parenkim paru akan menyebabkan aktivasi makrofag alveolar
yangakan mengeluarkan sitokin inflamasi yang merangsang peningkatan permeabilitas
vaskular.Permeabilitas vaskular yang meningkat menyebabkan cairan kaya protein keluar dari
vaskular menuju interstitial sehingga dapat menyebabkan effusi pleura eksudat.
Empiema
Empiema adalah akumulasi pus dan jaringan nekrotik di rongga pleura. Empiema dapat
terjadiapabila infeksi di parenkim paru menyebar hingga ke rongga pleura. Pembentukan
empiemadapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap eksudatif, fibropurulent, dan
organisational. Padatahap eksudatif terjadi akumulasi cairan di rongga pleura yang
disebabkan oleh inflamasi dan peningkatan permeabilitas di pleura viseral. Tahap
fibropurulen dimulai dengan invasi bakteri dirongga pleura dan ditandai dengan deposisi
fibrin pada membrane pleura viseral dan parietalserta pembentukan septa fibrin, lokulasi dan
adhesi. Aktivitas metabolic yang tinggimenyebabkan rendahnya konsentrasi glukosa dan
penurunan kadar pH, dan lisis neutrofilmenyababkan peningkatan kadar LDH. Apabila
infeksi terus berlanjut, empiema menjaditerorganisir dengan pembentukan lapisan
pleura yang tebal dan nonelastis serta septa fibrin yang padat yang dapat menghambat
pergerakan paru.

Abses paru
Abses paru adalah nekrosis jarinyan pulmoner dan pembentukan kavitas yang berisi
debrisnekrotik atau cairan yang disebabkan infeksi bakteri.
Gagal nafas
Gagal nafas adalah ketidakmampuan untuk melaksanakan fungsi fundamental pernafasan
yaituuntuk membawa oksigen ke darah dan untuk mengeliminasi karbondioksida.

2.12 TATA LAKSANA


Pasien pneumonia mempunyai indikasi untuk perawatan di rumah sakit. Kriteria rawat inap
tersebut adalah
Bayi :
Saturasi oksigen <92%, sianosis
Frekuensi Nafas >60x/menit
Distress Pernafasan, apnea, grunting.
Tidak mau minum/menetek
Keluarga tidak bisa merawat di rumah.

Anak :
Saturasi Oksigen <92%, Sianosis
Frekuensi Nafas >50x/menit
Distress Pernafasan
Grunting
Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat dirumah

Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen 92% pada saat bernafas dengan udara kamar harus
diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal atau sungkup untuk mempertahankan saturasi
oksigen >92%. Selain itu pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan balans cairan ketat. Antipiterik diperlukan jika pasien mengalami
demam. Nebulasi dengan b2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary Clearance. Pasien yang mendapat terapi oksigen harus diobservasi setiap 4 jam
sekali untuk melihat saturasi oksigen.

Tatalaksana Khusus/Etiologi
Bagian yang sangat penting dari tata laksana pneumonia adalah pemberian antibiotik.
Idealnya tata laksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena berbagai
kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotik secara
empiris. Pneumonia viral seharusnya tidak diberikan antibiotik, namun pasien dapat diberi
antibiotik apabila terdapat kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri; di samping
kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan. Streptokokus dan
pneumokokus sebagai kuman Gram positif dapat dicakup oleh ampisilin, sedangkan
hemofilus suatu kuman gram negatif dapat dicakup oleh kloramfenikol. Dengan demikian
keduanya dapat dipakai sebagai antibiotik lini pertama untuk pneumonia anak tanpa
komplikasi. Secara umum pengobatan antibiotik untuk pneumonia diberikan dalam 5-10 hari,
namun dapat sampai 14 hari. Pedoman lain pemberian antibiotik sampai 2-3 hari bebas
demam. Pada pasien pneumonia community acquired, umumnya ampisilin dan kloramfenikol
masih sensitif. Pilihan berikutnya adalah obat golongan sefalosporin atau makrolid. Tabel 3
memperlihatkan anjuran pilihan antibiotik. Mengenai penggunaan makrolid pada pneumonia
telah banyak dilaporkan. Penggunaan azitromisin dan klaritromisin pada IRBA sama
efektifnya dengan pemberian co-amoksiklav.
Pemberian azitromisin tolerabilitasnya cukup baik serta efek sampingnya minimal bila
dibandingkan dengan co-amoksiklav. Pemberian azitromisin sekali sehari selama 3 hari
efektifitasnya setara dengan pemberian co-amoksiklav selama 10 hari. Penggunaan
klaritromisin secara multisenter pada pneumonia mendapatkan hasil yang cukup baik dalam
hal efektifitas dan efek sampingnya. Efek samping gangguan gastrointestinal seperti mual,
nyeri abdomen didapatkan pada sebagian kecil pasien yang tidak berbeda bermakna dengan
antibiotik lain. Antibiotik intravena diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima obar
per orala atau termasuk pneumonia berat , dan yang dianjurkan adalah ampisilin dan
kloramfenikol, ceftriaxone, cefuroxime dan cefotaxime. Pemberian antibiotik oral harus
dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah mendapat terapi antibiotik intravena.

2.14 PROGNOSIS
Pneumonia Ringan
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Pneumonia Berat
Ad Vitam : Dubia Ad Malam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Malam
Ad Sanationam : Dubia Ad Malam
Pneumonia Sangat Berat
Ad Vitam : Ad Malam
Ad Fungsionam : Ad Malam
Ad Sanationam : Dubia Ad Malam
Kejang Demam
Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.

Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini: 1. Kejang lama > 15
menit 2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial 3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Epidemiologi
Penelitian Lumbantobing, S.M., (1995) pada 297 bayi dan anak yang
menderita kejang demam menunjukkan bahwa 83,6% kejang demam pertama
terjadi pada usia 1 bulan sampai 2 tahun.5 Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Parmar, R.C., dkk (2001) di Department of Paediatrics of A
Tertiarycare Centre di kota Metropolitan, India menunjukkan bahwa penderita
kejang demam lebih banyak diderita oleh anak laki-laki 55% dan pada anak
perempuan 45%.
Etiologi
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran
kemih
Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang
yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak
menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak
dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau
lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah
faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran
darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler
dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari,
sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi
epilepsy.
Gejala Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis
sementara (Hemeparesis Tood) yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang
unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang
berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang
dalam 24 jam ditemukan pada 16% paisen. Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang
cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39C atau lebih. Kejang
khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit
menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan
pengamatan menyeluruh.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah (level II-2 dan level III, rekomendasi D).

Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk me negakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada: 1. Bayi
kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan 2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan 3.
Bayi > 18 bulan tidak rutin Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal.

Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan
kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari
6 tahun, atau kejang demam fokal.
Rontgen
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
Diagnosis
Diagnosis kejang demam didapatkan berdasarkan anamnesis yakni kejang terjadi saat
demam atau didahului demam, kemudian pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya
tanda-tanda lesi susunan saraf pusat seperti kaku kuduk, hemiparesis, papil edema, dan
gangguan saraf kranial.
Diangosis Banding
Infeksi Susunan Saraf Pusat seperti :
Meningitis
MeningoEnsefalitis
Ensefalitis
Epilepsi
Tumor

Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara lain :
Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode
demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang demam yaitu :
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam dalam keluarga
c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
d. Riwayat demam yang sering
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks. Berdasarkan penelitian
kohort prospektif yang dilakukan Bahtera, T., dkk (2009) di RSUP dr. Kariadi Semarang,
dimana subjek penelitian adalah penderita kejang demam pertama yang berusia 2 bulan - 6
tahun, kemudian selama 18 bulan diamati. Subjek penelitian berjumlah 148 orang. Lima
puluh enam (37,84%) anak mengalami bangkitan kejang demam berulang.

Kerusakan Neuron Otak.


Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot yang Universitas Sumatera Utara akhirnya
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh yang makin meningkat
sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga meningkatkan metabolisme otak. Proses
di atas merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsung
kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan neuron otak.

Retardasi Mental
terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat.
Epilepsi
terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang menyebabkan kejang demam
menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu :
a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Menurut American National Collaborative Perinatal Project, 1,6% dari semua anak
yang menderita kejang demam akan berkembang menjadi epilepsi, 10% dari semua anak
yang menderita kejang demam yang mempunyai dua atau tiga faktor risiko di atas akan
berkembang menjadi epilepsi.

Tatalaksana
Causatif :
Tatalaksana saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah
berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah
0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di
rumah adalah diazepam rectal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun
atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang
demam).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit
dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum
berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan
kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin
kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.
Tatalaksana Rumatan
Indikasi pemberian obat rumat Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
Kejang demam > 4 kali per tahun

Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 1-2 bulan.
Supportif
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih
dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/ kg/kali ,3-4 kali sehari.
Edukasi
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya: 1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya
mempunyai prognosis baik. 2. Memberitahukan cara penanganan kejang 3. Memberikan
informasi mengenai kemungkinan kejang kembali 4. Pemberian obat untuk mencegah
rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping.

Prognosis
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang
berulang baik umum atau fokal.
Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah : 1. Riwayat kejang demam dalam keluarga 2. Usia kurang dari 12
bulan 3. Temperatur yang rendah saat kejang 4. Cepatnya kejang setelah demam Bila seluruh
faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila
tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%.
Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1 http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/Kejang-Demam-Neurology-

2012.pdf
2 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/52848/3/Chapter%20II.pdf
3 Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2,

September 2002: 59 62.


4 http://www.idai.or.id/downloads/PPM/Buku-PPM.pdf
5 http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-pneumoniakom/pnkomuniti.pdf

6 Antonius H. Pudjiadi et al. Kejang dan spasme pada neonatus dalam pedoman

pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi II. Badan Penerbit Ikatan

Dokter Anak Indoneisa 2011; p 155-160.

7 Olson MD, Donald. Neonatal Seizures. Neoreviews 2012; 13; e213

You might also like