Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
dr. Hery Susanto Sp.A
Disusun oleh :
Ary Titis Rio Pambudi
030.11.045
Penyusun:
Ary Titis Rio Pambudi
030.11.045
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 19 Desember
24 Februari 2017
I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ibu Ayah
Nama An.N Ny.N Tn. A
Umur 5 tahun 28 tahun 28 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki
Alamat Warungpring RT 1 RW 1 Tegal
II. ANAMNESIS
Data anamnesis diperoleh secara auto dan alloanamnesis kepada orang tua pasien
(Ny.N 28 th dan Tn.A 28 th) pada tanggal 25 Januari 2017 di Ruang Wijaya Kusuma RSU
Kardinah pukul 10.00 WIB.
Keluhan Utama
Demam
Keluhan Tambahan
Batuk, BAB Cair ,Mual, Muntah ,sakit kepala, bintik-bintik merah,dan Mata merah
Pasien seorang anak perempuan berusia 5 tahun datang dengan keluarga ke IGD
RSUD Kardinah pada tanggal 24 Januari 2017 dengan keluhan utama Panas sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit(SMRS). Panas dirasakan naik turun, jika diberi obat penurun
panas panas turun kemudian naik kembali. Panas disertai batuk tidak berdahak, mual dan
muntah 2x isi cairan. OS juga mengeluh sakit kepala dan sakit perut disertai bab cair 1x,
lendir ada, ampas tidak ada, darah tidak ada. Menurut orang tua OS, OS juga terdapat bintik-
bintik merah yang berawal dari belakang telinga kemudian ke kepala dan seluruh tubuh.
Riwayat Imunisasi
VAKSIN ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG 0 bulan - - - - - -
DTP/ DT - 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
CAMPAK - - - - - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - 6 bulan - - -
Kesan : Imunisasi dasar pasien tidak lengkap sesuai usia, belum dilakukan imunisasi
campak dan ulangan
Silsilah Keluarga
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di Bangsal Wijaya Kusuma RSU Kardinah Tegal pada tanggal
25 Januari 2017 pukul 15.30 WIB.
A. Kesan Umum : Compos Menti,E4V5M6, TSS
B. Tanda Vital
Nadi : 100 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Laju nafas : 36 x/menit, reguler.
Suhu : 38C
Tekanan darah :-
C. Data Antropometri
Berat badan : 17 kg
Tinggi badan : 105 cm
D. Status Generalis
Kepala : mesosefali, LK : 49 cm
Rambut : berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.
Wajah : simetris
Leher : kaku kuduk (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem
palpebra (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+. Injeksi
Konjungtiva(+)
Hidung : bentuk simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping
hidung (-),
Telinga: bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-)
Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Leher : Simetris, pembesaran KGB (-)
Kulit : berwarna kecoklatan, Ruam (+)
Thorax :
Paru
Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2 <2
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -
Ruam + +
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 10,7 g/dL 10,7 14,7
Leukosit 5,7 103/uL 4,5 13,5
Hematokrit 32,5 () % 33 41
Trombosit 150 103/uL 150 521
Eritrosit 5.1 106/uL 3,7 5,7
RDW 17,5 () % 11,5 14,5
MCV 64,8 () U 80 93
MCH 21 () Pcg 28 33
MCHC 32,6 g/dl 33 36
Hitung Jenis (Diff)
Eosinofil 1 () % 2-4
Basofil 0.0 % 0-1
Netrofil 78,8 () % 50-70
Limfosit 14,0 () % 25-40
Monosit 6.2 % 2-8
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri Pemeriksaan Status Gizi
Anak laki-laki usia 5 tahun Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:
Berat badan 11 kg 1. BB/U= 11/11,4 x 100% = 91,6% (berat badan menurut
Tinggi badan 80 cm umur gizi baik)
Lingkar kepala 49 cm
2. PB/U = 80/84 x 100% = 95,2 % ( normal)
3. BB/PB = 11/11,4 x 100% = 96,49% (gizi baik menurut
berat badan per tinggi badan)
Kesan: Anak laki-laki usia 1,8 tahun, status gizi baik
Kesan : LK 48 cm Normocephali
VI. RESUME
Pasien seorang anak perempuan berusia 5 tahun datang dengan keluarga ke IGD
RSUD Kardinah pada tanggal 24 Januari 2017 dengan keluhan utama Panas sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit(SMRS). Panas dirasakan naik turun, jika diberi obat penurun
panas panas turun kemudian naik kembali. Panas disertai batuk tidak berdahak, mual dan
muntah 2x isi cairan. OS juga mengeluh sakit kepala dan sakit perut disertai bab cair 1x,
lendir ada, ampas tidak ada, darah tidak ada. Menurut orang tua OS, OS juga terdapat bintik-
bintik merah yang berawal dari belakang telinga kemudian ke kepala dan seluruh tubuh..
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien compos mentis,E4V5M6, tampak
ruam makulopapular diseluruh tubuh, tampak sesak, dan tampak sakit sedang, pemeriksaan
tanda vital dengan nadi : 100 x/menit, reguler, kuat, isi cukup, laju nafas: 36 x/menit, regular,
suhu : 38C, berat badan : 17 kg, panjang badan : 105cm dengan status gizi normal, pada
pemeriksaan didapatkan ronkhi basah halus di kedua paru. Pada pemeriksaan penunjang
laboratorium darah didapatkan.
VII. MASALAH
Demam
Batuk
BAB Cair
Sesak
Mata Perih
Injeksi konjungtiva
Ronkhi basah halus
Ruam Makulopapular diseluruh tubuh
X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
IVFD RL 45 cc/jam
Ceftriaxone 2 x 500 mg
Dexametason 3 x 2,5 mg
Mikasin 3 x 75 mg
Paractamol 4x110 mg
O2 2L
Lasal Syrup Ekspektoran 3 x Cth
Non-medikamentosa
Rawat inap untuk monitor gejala
Awasi keadaan umum, dan tanda vital
Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
XI. PROGNOSA
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad Bonam
PERJALANAN PENYAKIT
26 Januari 2017 pkl. 21:00 WIB (IGD)
Hari Perawatan ke-0
Os rujukan dari RS Mardhotillah dengan penurunan kesadaran,demam tinggi 3 hari SMRS, post kejang 1x, badan kaku, mata tidak
mendelik ke atas disertai mulut berbusa. Muntah (-) BAB cair 1x, ampas (+), lendir (-), darah (-). Sesak (+).
KU: penurunan kesadaran, Tampak sakit berat, tampak sesak
TTV: HR 150x/m,RR 40x/m, T 36,3 0C
Status generalis:
Kepala: mesosefali, LK = 49 cm, rambut berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut..
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung
Hidung & THT : dbn
Mulut : dbn
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N, hepar lien ttb
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) spastik +/+,
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)spastik +/+ CRT < 2 detik
Kejang Demam Kompleks
Meningo Ensefalitis
Bronkopneumonia
Rawat inap di PICU, konsultasi Sp.A
O2 2 lpm
IVFD RL 500ml/kolf 45 cc/jam
Pasien anak laki-laki usia 1,8 tahun, dengan diagnosis Kejang Demam Kompleks dd
MeningoEnsefalitis dan Bronkopneumonia. Dasar diagnosis ditegakkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pasien ini didiagnosis Kejang Demam Kompleks berdasarkan gejala awal yang
berupa demam tinggi 3 hari SMRS dan kejang-kejang selama 3 jam. kejang terjadi seluruh
tubuh dan tanpa disertai mata mendelik ke atas dan mulut berbusa. Selain itu dari
pemeriksaan fisik belum didapatkan tanda-tanda lesi intrakranial seperti kaku kuduk dan
refleks fisiologi meningkat serta refleks patologis (+)
Diagnosis Bronkopneumonia diperoleh dari anamnesis berupa os batuk berdahak
disertai sesak dan demam tinggi. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan ronkhi basah halus
dikedua lapang paru.
Penatalaksanaan untuk pasien adalah dengan pemberian antibiotic yang sesuai untuk
mengatasi radang paru yang disebabkan oleh adanya infeksi, pemberian cairan yang cukup ,
antikonvulsi dan oksigen apabila terjadi kejang, Pada tanggal 29 Januari 2017, os pulang
paksa karena menurut ibunya os sudah baikan dan os belum mengurus BPJS.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang disebabkan oleh virus,
dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran
pernapasan, gejala-gejala mata, kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah
Etiologi
Patofisiologi
Penularan virus yang infeksius sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat
menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara,
terjadi antara 1 2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Lesi
utama tampak ditemukan pada kulit penderita, mukosa nasofarink, bronkus, saluran cerna dan
konjungtiva serta masuk ke dalam limfatik lokal. Virus memperbanyak diri dengan sangat
perlahan dan di situ mulai penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limfa. Sel mono
nuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak. Virus masuk
ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitil orofarink, konjungtiva, saluran
nafas, kulit, kandung kemih, dan usus. Pada hari ke 9 10 fokus infeksi yang berada di epitel
saluran nafas dan konjungtiva, satu sampai dua lapisan mengalami nekrosis. Virus yang
masuk ke pembuluh darah menimbulkan manifestasi klinis dari sistem saluran nafas adalah
batuk, pilek, disertai konjungtivitis, demam tinggi, ruam menyebar ke seluruh tubuh, timbul
bercak koplik.
Pada hari ke-14 sesudah awal infeksi akan muncul ruam makulopopular dan saat itu
antibodi humoral dapat dideteksi. Daya tahan 3 tubuh akan menurun sebagai akibat respon
terhadap antigen virus terjadilah ruam pada kulit. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring
dan saluran pernafasan memberikan kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa
Gejala klinis
Biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari dengan gejala demam, malaise, batuk,
fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum
timbul eksantema, timbul bercak Koplik. Bercak Koplik berwarna putih kelabu, sebesar
ujung jarum timbul pertama kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar dan
menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh
mukosa mulut. Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering didiagnosis
sebagai influenza.
Stadium erupsi
Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya terjadi adalah koriza dan
batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di palatum durum dan palatum mole. Kadang
terlihat pula bercak Koplik. Terjadinya ruam atau eritema yang berbentuk makula-papula
disertai naiknya suhu badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di bagian atas
tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan
ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam kemudian akan menyebar ke dada dan
abdomen dan akhirnya mencapai anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan
menghilang dengan urutan seperti terjadinya yang berakhir dalam 2-3 hari.
Stadium konvalesensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang lama-
kelamaan akan menghilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering
ditemukan pula kulit yang bersisik. Selanjutnya suhu menurun sampai menjadi normal
Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin
Isolasi Virus
Serologi virus
Diagnosis
Diagnosis Banding
Scarlet Fiver
Molluscum Contagiosum.
Komplikasi
Tatalaksana
Supportif
Tirah Baring
Hiperpireksia
Dehidrasi
Kejang
Asupan oral sulit
Dengan komplikasi
Tanpa Komplikasi
Dengan Komplikasi
Ensefalopati
Kloramfenikol : dosis 75 mg/KgBB/hari dan Ampisilin 100 mg/KgBB/hari
2.2.1 Definisi
Infeksi akut pada parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan intertisiel.
2.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan umur
Menurut IDAI
1. Usia kurang dari 2 bulan
Pneumonia Berat :
nafas cepat atau retraksi yang berat atau tarikan dinding bagian
dalam ke bawah
Pneumonia Sangat Berat :
tidak mau menetek/minum, kejang, letargis, demam atau
hipotermia, bradipnea atau pernafasan ireguler.
2.3 Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah diberbagai negara terutama di
negara berkembang termasuk di Indonesia. Insidens pneumonia anak <5 tahun di negara maju
adalah 2-4 kasus/100 anak/tahun. Sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100
anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di
negara berkembang.
2.4 Etiologi
Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia antara lain virus, jamur, dan
bakteri. Virus lebih sering ditemukan pada anak kurang daari 5 tahun.
Pneumonia dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, maupun jamur :
Virus :
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus.
Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial
Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran
pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia.
Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan
sembuh dalam waktu singkat.
Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza,
gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian. Virus lain yang
menyebab pneumonia adalah adenovirus, dan parainfluenza virus .
Bakteri :
Pneumonia yang disebabkan bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi
hingga usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum
adalah Streptococcus pneumoniae yang normalnya berada di kerongkongan
manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau
malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan.
Balita yang terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas cepat
dan denyut jantungnya meningkat cepat. Selain streptococcus pneumoniae
bakteri lain yang menyebabkan pneumonia adalah Mycoplasma Pneumoniae dan
Chlamidya Pneumoniae.
Jamur:
Infeksi pneumonia akibat jamur biasanya disebabkan oleh jamur
oportunistik, dimana spora jamur masuk kedalam tubuh saat menghirup udara.
Organisme yang menyerang adalah Candida sp. , Aspergillus sp. , Cryptococcus
neoformans.
2.5 Patogenesis
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh melemahnya mekanisme pertahan paru. Sebagian besar pneumonia
terjadi akibat aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari saluran pernafasan
atas hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari viremia/bakteremia.
2.6 Manifestasi klinis
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman penyebab, usia
pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis biasanya berat
yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus.
Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (nonspesifik),
gejala pulmonal, pleural, atau ekstrapulmonal. Gejala nonspesifik meliputi demam,
menggigil, sefalgia, resah dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan
gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut. Gejala pada paru timbul
setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Setelah gejala awal seperti demam dan
batuk pilek, gejala napas cuping hidung, takipnu, dispnu, dan timbul apnu.
Otot bantu napas interkostal dan abdominal mungkin digunakan. Batuk umumnya
dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk.3 Frekuensi napas merupakan
indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk
mendukung diagnosis dan memantau tata laksana pneumonia. Pengukuran frekuensi napas
dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Tim WHO telah merekomendasikan untuk
menghitung frekuensi napas pada setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi
napas yang lebih dari normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest
indrawing), WHO menetapkan sebagai pneumonia (di lapangan), dan harus memerlukan
perawatan dengan pemberian antibiotik. Perkusi toraks pada anak tidak mempunyai nilai
diagnostik karena umumnya kelainan patologinya menyebar; suara redup pada perkusi
biasanya karena adanya efusi pleura.
Suara napas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah halus
yang khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi dan
balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara napas saling berbaur, dan sulit
untuk diidentifikasi.3 Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bakterial dengan
pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan nyata
pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada
seluruh kasus.
Effusi pleura
Pada pneumonia, infeksi parenkim paru akan menyebabkan aktivasi makrofag alveolar
yangakan mengeluarkan sitokin inflamasi yang merangsang peningkatan permeabilitas
vaskular.Permeabilitas vaskular yang meningkat menyebabkan cairan kaya protein keluar dari
vaskular menuju interstitial sehingga dapat menyebabkan effusi pleura eksudat.
Empiema
Empiema adalah akumulasi pus dan jaringan nekrotik di rongga pleura. Empiema dapat
terjadiapabila infeksi di parenkim paru menyebar hingga ke rongga pleura. Pembentukan
empiemadapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap eksudatif, fibropurulent, dan
organisational. Padatahap eksudatif terjadi akumulasi cairan di rongga pleura yang
disebabkan oleh inflamasi dan peningkatan permeabilitas di pleura viseral. Tahap
fibropurulen dimulai dengan invasi bakteri dirongga pleura dan ditandai dengan deposisi
fibrin pada membrane pleura viseral dan parietalserta pembentukan septa fibrin, lokulasi dan
adhesi. Aktivitas metabolic yang tinggimenyebabkan rendahnya konsentrasi glukosa dan
penurunan kadar pH, dan lisis neutrofilmenyababkan peningkatan kadar LDH. Apabila
infeksi terus berlanjut, empiema menjaditerorganisir dengan pembentukan lapisan
pleura yang tebal dan nonelastis serta septa fibrin yang padat yang dapat menghambat
pergerakan paru.
Abses paru
Abses paru adalah nekrosis jarinyan pulmoner dan pembentukan kavitas yang berisi
debrisnekrotik atau cairan yang disebabkan infeksi bakteri.
Gagal nafas
Gagal nafas adalah ketidakmampuan untuk melaksanakan fungsi fundamental pernafasan
yaituuntuk membawa oksigen ke darah dan untuk mengeliminasi karbondioksida.
Anak :
Saturasi Oksigen <92%, Sianosis
Frekuensi Nafas >50x/menit
Distress Pernafasan
Grunting
Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat dirumah
Tatalaksana Umum
Pasien dengan saturasi oksigen 92% pada saat bernafas dengan udara kamar harus
diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal atau sungkup untuk mempertahankan saturasi
oksigen >92%. Selain itu pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan
intravena dan dilakukan balans cairan ketat. Antipiterik diperlukan jika pasien mengalami
demam. Nebulasi dengan b2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary Clearance. Pasien yang mendapat terapi oksigen harus diobservasi setiap 4 jam
sekali untuk melihat saturasi oksigen.
Tatalaksana Khusus/Etiologi
Bagian yang sangat penting dari tata laksana pneumonia adalah pemberian antibiotik.
Idealnya tata laksana pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena berbagai
kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotik secara
empiris. Pneumonia viral seharusnya tidak diberikan antibiotik, namun pasien dapat diberi
antibiotik apabila terdapat kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri; di samping
kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan. Streptokokus dan
pneumokokus sebagai kuman Gram positif dapat dicakup oleh ampisilin, sedangkan
hemofilus suatu kuman gram negatif dapat dicakup oleh kloramfenikol. Dengan demikian
keduanya dapat dipakai sebagai antibiotik lini pertama untuk pneumonia anak tanpa
komplikasi. Secara umum pengobatan antibiotik untuk pneumonia diberikan dalam 5-10 hari,
namun dapat sampai 14 hari. Pedoman lain pemberian antibiotik sampai 2-3 hari bebas
demam. Pada pasien pneumonia community acquired, umumnya ampisilin dan kloramfenikol
masih sensitif. Pilihan berikutnya adalah obat golongan sefalosporin atau makrolid. Tabel 3
memperlihatkan anjuran pilihan antibiotik. Mengenai penggunaan makrolid pada pneumonia
telah banyak dilaporkan. Penggunaan azitromisin dan klaritromisin pada IRBA sama
efektifnya dengan pemberian co-amoksiklav.
Pemberian azitromisin tolerabilitasnya cukup baik serta efek sampingnya minimal bila
dibandingkan dengan co-amoksiklav. Pemberian azitromisin sekali sehari selama 3 hari
efektifitasnya setara dengan pemberian co-amoksiklav selama 10 hari. Penggunaan
klaritromisin secara multisenter pada pneumonia mendapatkan hasil yang cukup baik dalam
hal efektifitas dan efek sampingnya. Efek samping gangguan gastrointestinal seperti mual,
nyeri abdomen didapatkan pada sebagian kecil pasien yang tidak berbeda bermakna dengan
antibiotik lain. Antibiotik intravena diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima obar
per orala atau termasuk pneumonia berat , dan yang dianjurkan adalah ampisilin dan
kloramfenikol, ceftriaxone, cefuroxime dan cefotaxime. Pemberian antibiotik oral harus
dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah mendapat terapi antibiotik intravena.
2.14 PROGNOSIS
Pneumonia Ringan
Ad Vitam : Dubia Ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia Ad Bonam
Pneumonia Berat
Ad Vitam : Dubia Ad Malam
Ad Fungsionam : Dubia Ad Malam
Ad Sanationam : Dubia Ad Malam
Pneumonia Sangat Berat
Ad Vitam : Ad Malam
Ad Fungsionam : Ad Malam
Ad Sanationam : Dubia Ad Malam
Kejang Demam
Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini: 1. Kejang lama > 15
menit 2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial 3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Epidemiologi
Penelitian Lumbantobing, S.M., (1995) pada 297 bayi dan anak yang
menderita kejang demam menunjukkan bahwa 83,6% kejang demam pertama
terjadi pada usia 1 bulan sampai 2 tahun.5 Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Parmar, R.C., dkk (2001) di Department of Paediatrics of A
Tertiarycare Centre di kota Metropolitan, India menunjukkan bahwa penderita
kejang demam lebih banyak diderita oleh anak laki-laki 55% dan pada anak
perempuan 45%.
Etiologi
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran
kemih
Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang
yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak
menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang
kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak
dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau
lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang
demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah
faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama
berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran
darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler
dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari,
sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi
epilepsy.
Gejala Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis
sementara (Hemeparesis Tood) yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang
unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang
berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang
dalam 24 jam ditemukan pada 16% paisen. Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang
cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39C atau lebih. Kejang
khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode
mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit
menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan
pengamatan menyeluruh.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah (level II-2 dan level III, rekomendasi D).
Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk me negakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada
bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena
manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada: 1. Bayi
kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan 2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan 3.
Bayi > 18 bulan tidak rutin Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal.
Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan
kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari
6 tahun, atau kejang demam fokal.
Rontgen
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas
indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
Diagnosis
Diagnosis kejang demam didapatkan berdasarkan anamnesis yakni kejang terjadi saat
demam atau didahului demam, kemudian pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya
tanda-tanda lesi susunan saraf pusat seperti kaku kuduk, hemiparesis, papil edema, dan
gangguan saraf kranial.
Diangosis Banding
Infeksi Susunan Saraf Pusat seperti :
Meningitis
MeningoEnsefalitis
Ensefalitis
Epilepsi
Tumor
Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara lain :
Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode
demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang demam yaitu :
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam dalam keluarga
c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
d. Riwayat demam yang sering
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks. Berdasarkan penelitian
kohort prospektif yang dilakukan Bahtera, T., dkk (2009) di RSUP dr. Kariadi Semarang,
dimana subjek penelitian adalah penderita kejang demam pertama yang berusia 2 bulan - 6
tahun, kemudian selama 18 bulan diamati. Subjek penelitian berjumlah 148 orang. Lima
puluh enam (37,84%) anak mengalami bangkitan kejang demam berulang.
Retardasi Mental
terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat.
Epilepsi
terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang menyebabkan kejang demam
menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu :
a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Menurut American National Collaborative Perinatal Project, 1,6% dari semua anak
yang menderita kejang demam akan berkembang menjadi epilepsi, 10% dari semua anak
yang menderita kejang demam yang mempunyai dua atau tiga faktor risiko di atas akan
berkembang menjadi epilepsi.
Tatalaksana
Causatif :
Tatalaksana saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah
berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah
0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di
rumah adalah diazepam rectal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan
lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun
atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang
demam).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit
dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila kejang tetap belum
berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan
kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin
kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.
Tatalaksana Rumatan
Indikasi pemberian obat rumat Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
Kejang demam > 4 kali per tahun
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 1-2 bulan.
Supportif
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih
dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/ kg/kali ,3-4 kali sehari.
Edukasi
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya: 1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya
mempunyai prognosis baik. 2. Memberitahukan cara penanganan kejang 3. Memberikan
informasi mengenai kemungkinan kejang kembali 4. Pemberian obat untuk mencegah
rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping.
Prognosis
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang
berulang baik umum atau fokal.
Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah : 1. Riwayat kejang demam dalam keluarga 2. Usia kurang dari 12
bulan 3. Temperatur yang rendah saat kejang 4. Cepatnya kejang setelah demam Bila seluruh
faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila
tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%.
Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1 http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2013/02/Kejang-Demam-Neurology-
2012.pdf
2 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/52848/3/Chapter%20II.pdf
3 Deliana M. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 2,
6 Antonius H. Pudjiadi et al. Kejang dan spasme pada neonatus dalam pedoman
pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi II. Badan Penerbit Ikatan