You are on page 1of 34

REFERAT

DERMATOFITOSIS DI PANTURA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Program Pendidikan Profesi


Kedokteraan Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Tegal

PEMBIMBING:
dr. Doddy Suhartono, Sp.KK
DISUSUN OLEH:
Ary Titis Rio Pambudi
NIM: 030.11.045

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 11 April 15 Mei 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, penyusun
dapat menyelesaikan referat yang berjudul Dermatofitosis ini tepat pada waktunya.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kepanitraan klinik
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD
KardinahTegal periode 20 April 2015 23 Mei 2015.
Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Sri Primawati Indraswari, Sp.
KK, MM atas bimbingannya dalam penyusunan referat ini serta teman-teman dan semua
pihak yang ikut membantu dalam menyelesaikan referat ini sehingga dapat selesai pada
waktunya.
Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan atas segala
keterbatasan yang saya miliki, maka semua saran dan kritik yang membangun akan saya
terima. Besar harapan saya semoga referat yang saya susun ini dapat memberikan manfaat
yang besar bagi teman-teman klinik, pembaca dan saya sendiri.

Tegal, 14 Desember 2016

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. i
DAFTAR ISI. ii
I. PENDAHULUAN... 1
II. DEFINISI .................................................................... 2
III. ETIOLOGI .... 2
IV. EPIDEMIOLOGI.. 3
V. PATOFISIOLOGI...... 3
VI. KLASIFIKASI. 4
VII. GAMBARAN KLINIK 4
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG. 11
IX. DIAGNOSIS BANDING.. 13
X. PENATALAKSANAAN.. 14
XI. PROGNOSIS. 28
XII. DERMATOFITOSIS DAN PANTURA . 28
DAFTAR PUSTAKA.. 30

2
PENDAHULUAN

Mikosis ialah penyakit yang disebabkan oleh jamur. Mikosis diklasifikasikan menjadi
dua bagian besar yakni mikosis superficialis dan mikosis profunda. Mikosis profunda terdiri
atas beberapa penyakit yang disebabkan oleh jamur yang menyerang alat dibawah kulit
seperti otot, tulang, traktus intestinal, respiratorius, urogenitalis, susunan saraf dan
kardioascular sedangkan Mikosis Superficialis menyerang kulit bagian atas dibagi atas dua
bagian besar Dermatofitosis dan Non-Dermatofitosis.
Prevalensi Mikosis superficial di dunia cukup tinggi, yakni 20-25% dari populasi
dunia, terutama negara dengan iklim tropis. Indonesia sendiri merupakan negara dengan iklim
tropis dan prevalensi mikosis superficialnya juga cukup tinggi. Meskipun sering dianggap
penyakit sepele, penyakit ini memiliki angka morbiditas yang cukup tinggi sehingga perlu
dilakukan upaya untuk pengendalian penyakit tersebut. Salah satu upaya pengendalian
penyakit adalah dengan melakukan pencegahan, salah satu pencegahan adalah dengan
mengetahui faktor risiko mikosis superficial dan bagaimana mengontrol faktor risiko tersebut.
Jalur Pantura (Jalur Pantai Utara) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jalan
nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga Ketapang, Banyuwangi di sepanjang
pesisir utara Pulau Jawa, khususnya antara Jakarta dan Surabaya, Jalur Pantura melintasi
sejumlah kota-kota besar dan sedang di Jawa, selain Jakarta, antara lain Cilegon, Tangerang,
Bekasi, Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang,
Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan,
Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi. Daerah Pantura
memiliki iklim yang lebih panas dibandingkan dengan daerah lainnya karena memiliki curah
hujan yang lebih rendah.

1
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Dermatofitosis adalah penyakit padaa jaringan yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan
golongan jamur dermatofita.
II. ETIOLOGI
Dermatofita adalah jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur
ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi
imperfecti yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. 41 spesies dermatofita telah ditemukan, masing-masing adalah 2
spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton.
Dematofita dimasukkan dalam famili Gymnoascaceae. Ketiga genus ini mempunyai
sifat keratofilik.

Gambar 1. Microsporum dan Trichophyton

Gambar 2. Epidermophyton

III. EPIDEMIOLOGI
2
Faktor epidemiologi yang penting yaitu usia, jenis kelamin, dan ras. Prevalensi infeksi
Dermatofita pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Tinea kapitis yang disebabkan
T. tonsurans lebih sering pada wanita dewasa dibandingkan laki-laki dewasa, dan lebih sering
terjadi pada anak-anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh kebersihan
perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat serta status sosial ekonomi dalam penyebaran
infeksinya. Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, karena
Indonesia beriklim tropis dan kelembabannya tinggi. Perpindahan manusia dapat dengan
cepat mempengaruhi penyebaran endemik dari jamur. Adanya trauma, dan pemanasan dapat
meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit sehingga meningkatkan kejadian infeksi
tinea. Alas kaki yang tertutup, berjalan, adanya tekanan temperatur, kebiasaan penggunaan
pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian Tinea pedis dan
Onikomikosis.
IV. PATOFISIOLOGI
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu :
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah
sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi peradangan (silent carrier)
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat dipakaian,
atau sebagai kontaminan pada rumah/ tempat tidur hewan, tempat makanan dan
minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan
mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadic menginfeksi manusia dan
menimbulkan reaksi radang.

Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi


pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat
pada kulit dan mukosa host, serta kemampuan untuk menembus jaringan host, dan mampu
bertahan dalam lingkungan host., menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia
host untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang.
Terjadiya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama yaitu perlekatan pada keratinosit,
penetrasi melewati dan di antara sel serta pembentukan respon host.

V. KLASIFIKASI

3
Klasifikasi dermatofita berdasarkan morfologi penyebab yaitu genus
Mikrosporum, Trycophiton, Epidermophiton.
1. Genus Mikrosporom menyerang lapisan tanduk kulit dan rambut.
2. Genus Epidermofiton, menyerang kulit sampai stratum spinosum dan kuku.
3. Genus Trikofiton, menyerang kulit sampai stratum germinativum, kuku dan
rambut.
Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi tubuh yang terserang:
1. Tinea kapitis : menyerang kepala
2. Tinea barbae : menyerang jenggot, cambang dan kumis
3. Tinea korporis : menyerang badan
4. Tinea kruris : menyerang inguinal dan anogenital
5. Tinea pedis dan manum : menyerang kaki dan tangan
6. Tinea unguium : menyerang kuku
Selain 6 bentuk tinea diatas masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus
yang dapat dianggap sebagai sinonim tinea korporis, yaitu:
Tinea imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan
disebabkan Trichophyton concentricum
Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh
Trichophyton schoenleini yang secara klinis berbentuk skutula dan berbau seperti
tikus (mousy odor)
Tinea fasialis, tinea aksilaris yang juga menunjukkan daerah kelainan
Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis.

VI. GAMBARAN KLINIS


Golongan jamur dermatofita dapat menyebabkan kelainan yang khas. Satu
jenis dermatofita dapat menghasilkan bentuk klinis yang berbeda, bergantung pada
lokalisasi anatominya. Bentuk-bentuk klinis tersebut adalah tinea kapitis, tinea favosa,
tinea korporis, tinea imbrikata, tinea kruris, tinea manus et pedis dan tinea unguium.
Selain itu terdapat juga tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot; tinea
aksilaris pada ketiak, tinea fasialis pada wajah dan tinea inkognito yang berarti
dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan
steroid topikal kuat. Gambaran klinis berdasarkan lokasi :
1. Tinea Kapitis

4
Tinea kapitis adalah kelainan kulit pada daerah kepala berambut yang
disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Penyakit ini disebabkan oleh
spesies dermatofita dari genus Trichophyton dan Microsporum, misalnya
T.violaceum, T.gourvili, T.mentagrophytes, T.tonsurans, M.audonii, M.Canis
dan M.ferrugineum. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak, yang dapat
ditularkan dari binatang peliharaan misalnya anjing dan kucing. Keluhan
penderita berupa bercak pada kepala, gatal dan sering disertai rontoknya rambut
di tempat lesi tersebut.Terdapat 3 bentuk klinis dari tinea kapitis, yakni :
1. Grey patch ringworm: merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh
genus Microsporum dan ditemukan pada anak-anak. Penyakit ini biasanya dimulai
dengan timbulnya papula merah kecil di sekitar folikel rambut. Papula ini kemudian
melebar dan membentuk bercak pucat karena adanya sisik. Penderita mengeluh gatal,
warna rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat lagi. Rambut menjadi mudah patah dan
juga mudah terlepas dari akarnya. Pada daerah yang terserang oleh jamur terbentuk
alopesia setempat dan terlihat sebagai grey patch. Bercak abu-abu ini sulit terlihat
batas-batasnya dengan pasti, bila tidak menggunakan lampu Wood. Pemeriksaan
dengan lampu Wood memberikan fluoresensi kehijau-hijauan sehingga batas-batas
yang sakit dapat terlihat jelas.
2. Kerion: merupakan tinea kapitis yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat.
Lesi berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan serbukan sel radang
disekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang menetap. Biasanya
disebabkan jamur zoofilik dan geofilik.
3. Black dot ringworm: adalah tinea kapitis dengan gambaran klinis berupa
terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut yang terinfeksi
tepat di muara folikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora terlihat sebagai titik
hitam. Biasanya disebabkan oleh genus Tricophyton.

Gambar 3 . Grey patch ringworm, kerion, black dot ringworm.

5
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan dengan lampu Wood,
dan pemeriksaan mikroskopis rambut langsung dengan KOH. Pada pemeriksaan
mikroskopis, akan terlihat spora di luar rambut (ectotrics) atau di dalam rambut
(endotrics). Tinea kapitis sering dikelirukan dengan berbagai penyakit, seperti
psoariasis vulgaris, dermatitis seboroik dan alopesia areata.
2. Tinea Barbae
Tinea barabae adalah infeksi jamur dermatofita pada daerah jenggot, jambang dan
kumis, sehingga penderita mengeluh rasa gatal di daerah tersebut, disertai rambut-rambut di
daerah itu menjadi putus atau rontok. Terdapat dua bentuk tinea barbae yaitu superfisialis dan
kerion.
a. Superfisialis
Kelainan-kelainan berupa gejala eritem, papul dan skuama yang mula-mula kecil
selanjutnya meluas ke arah luar dan memberi gambaran polisiklik, dengan bagian tepi
yang aktif. Biasanya gambaran seperti ini menyerupai Tinea korporis.
b. Kerion
Bentuk ini membentuk lesi-lesi yang eritematous dengan ditutupi krusta atau
abses kecil dengan permukaan membasah oleh karena erosi.\

Gambar 4. Tinea barbae


3. Tinea Korporis
Tinea korporis adalah infeksi jamur dermatofita pada kulit tidak berambut
(glaborous skin) di daerah muka, badan, lengan dan tungkai. Penyebab tersering penyakit
ini adalah T.rubrum dan T.mentagrophytes.
Bentuk klinis biasanya berupa lesi yang terdiri atas bermacam-macam eflorosensi
kulit, berbatas tegas dengan konfigurasi anular, arsinar atau polisiklik. Bagian tepi lebih
aktif dengan tanda perdangan yang lebih jelas. Daerah sentral biasanya menipis dan terjadi
penyembuhan, sementara di tepi lesi makin meluas ke perifer. Kadang-kadang bagian
tengahnya tidak menyembuh, tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama sehingga menjadi
bercak yang besar. Tinea korporis yang menahun ditandai dengan sifat kronik. Lesi tidak
menunjukkan tanda-tanda radang yang akut.

6
Kelainan ini biasanya terjadi pada bagian tubuh dan tidak jarang bersama-sama
dengan tinea kruris. Bentuk kronik yang disebabkan oleh T.rubrum kadang-kadang terlihat
bersama dengan tinea unguium.

.
Gambar 5. Tinea korporis pada punggung dan lengan.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya, serta


pemeriksaan kerokan kulit dan larutan KOH 10-20 % dengan mikroskop untuk
melihat hifa atau spora jamur.Tinea korporis mempunyai gambaran klinis yang mirip
dengan pitiriasis rosea, psoariasis, lues stadium II, morbus Hansen tipe tuberkuloid,
dan dermatitis kontak.
4. Tinea imbrikata
Tinea imbrikata adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita
yang memberikan gambaran khas berupa kulit bersisik dengan sisik yang melingkar-
lingkar dan terasa gatal. Penyakit ini disebabkan jamur dermatofita T.concentricum.
Penyakit ini dapat menyerang seluruh permukaan kulit yang tidak berambut,
sehingga sering digolongkan dalam tinea korporis. Lesi bermula sebagai makula
eritematosa yang gatal, kemudian timbul skuama yang agak tebal dan konsentris dengan
susunan seperti genting. Lesi makin lama makin melebar tanpa meninggalkan
penyembuhan di bagian tengah.

Gambar 6. Tinea imbrikata pada lengan


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang sangat khas berupa lesi
konsentris. Diagnosis bandingnya ialah eritroderma dan pemfigus foliaseus.

7
5. Tinea Favosa
Tinea favosa adalah infeksi jamur kronis, terutama oleh T.schoenleini, T.violaceum
dan M.gypseum. Penyakit ini merupakan bentuk lain tinea kapitis, yang ditandai oleh skutula
berwarna kekuningan dan bau seperti tikus (mousy odor) pada kulit kepala. Biasanya, lesinya
menjadi sikatrik alopesia permanen.
Gambaran klinis mulai dari gambaran ringan, berupa kemerahan pada kulit kepala dan
terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan, hingga skutula dan kerontokan rambut, serta lesi
menjadi lebih merah dan lebih luas. Setelah itu, terjadi kerontokan rambut luas, kulit
mengalami atrofi dan sembuh dengan jaringan parut permanen.

Gambar 7. Tinea favosa pada anak-anak


Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis langsung, dengan menemukan
miselium, air bubbles yang bentuknya tidak teratur. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood
tampak fluoresensi hijau pudar (dull green).
6. Tinea Kruris
Tinea kruris adalah penyakit infeksi jamur dermatofita di daerah lipat paha, genitalia,
dan sekitar anus, yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah. Penyebab umumnya
adalah E.floccosum, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh T.rubrum. Keluhan penderita
adalah rasa gatal di daerah lipat paha sekitar anogenital.
Gambaran klinis biasanya berupa lesi simetris di lipat paha kanan dan kiri, namun
dapat juga unilateral. Mula-mula lesi ini berupa bercak eritematosa dan gatal, yang lama
kelamaan meluas hingga skrotum, pubis, glutea, bahkan sampai seluruh paha. Tepi lesi aktif,
polisiklik, ditutupi skuama dan terkadang disertai banyak vesikel-vesikel kecil.

8
Gambar 6. Tinea kruris pada lipat paha dan paha
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan ditemukannya
elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopik langsung memakai larutan
KOH 10-20 %. Tinea kruris dapat menyerupai dermatitis seboroik, kandidosis kutis,
eritrasma, dermatitis kontak dan psoariasis.

7. Tinea Manus et Pedis


Tinea manus et pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur
dermatofita di daerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari
tangan dan kaki, serta daerah interdigital. Penyebab tersering adalah T.rubrum, T.
mentagrophytes dan E.floccosum.
Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai sepatu
tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, bekerja di sawah
dan sebagainya. Keluhan penderita bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai mengeluh
sangat gatal dan nyeri karena terjadinya infeksi sekunder dan peradangan.
Dikenal 3 bentuk klinis yang sering dijumpai, yaitu:
1. Bentuk intertriginosa. Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi dan erosi
pada sela jari. Tampak warna keputihan basah dan dapat terjadi fisura yang terasa
nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder oleh bakteri dapat menyertai fisura tersebut dan
lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela
jari III, IV dan V.
2. Bentuk vesikular akut. Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikel-vesikel dan bula
yang terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang sering adalah
telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikelnya memecah. Infeksi
sekunder dapat memperburuk keadaan ini.

9
3. Bentuk moccasin foot. Pada bentuk ini seluruh kaki dari telapak, tepi, sampai
punggung kaki terlihat kulit menebal dan berskuama. Eritem biasanya ringan,
terutama terlihat pada bagian tepi lesi.

Gambar 7. Bentuk intertriginosa, bentuk vesikular akut, moccasin foot.


Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan gambaran klinis dan pemeriksaan
kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20 % yang menunjukkan elemen jamur. Diagnosis
banding adalah hiperhidrosis, akrodermatitis, kandidosis, serta lues stadium II.
8. Tinea Unguium
Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh infeksi jamur golongan
dermatofita. Penyebab penyakit yang sering adalah T.mentagrophytes dan T.rubrum.
Dikenal 3 bentuk gejala klinis, yaitu:
1. Bentuk subungual distalis. Penyakit ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku.
Penyakit akan menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang
rapuh.
2. Leukonikia trikofita atau leukonikia mikofita. Bentuk ini berupa bercak keputihan
di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk membuktikan adanya elemen jamur.
3. Bentuk subungual proksimal. Pada bentuk ini, kuku bagian distal masih utuh,
sedangkan bagian proksimal rusak. Kuku kaki lebih sering diserang daripada kuku
tangan.

Gambar 8. subungual distalis , subungual proksimal, leukonikia trikofita


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kuku dengan
KOH 10-20 % atau dilakukan biakan untuk menemukan elemen jamur.Diagnosis banding dari
tinea unguium adalah kandidosis kuku, psoariasis kuku dan akrodermatitis.

10
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk dermatofitosis yaitu pemeriksaan
mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan
basah dan biakan. Pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan histopatologik, percobaan
binatang, dan imunologik tidak diperlukan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan
jamur diperlukan bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Bahan
unuk pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut: terlebih dahulu
tempat kelainan dibersihkan dengan spiritus 70%, kemudian untuk:
Kulit tidak berambut (glaborous skin) dari bagian tepi kelainan sampai dengan
bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul
steril.
Kulit berambut, rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan; kulit di
daerah terserbut dikerok untuk mengumpulkan sisik kelit, pemeriksaan dengan
lampu Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas
daerah yang terkena infeksi dengan kemungkinan adanya fluoresensi pada kasus-
kasus tinea kapitis tertentu.
Kuku, bahan diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-
dalamnya sehingga mengenai seluruh tebal kuku, bahan di bawah kuku diambil pula.
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula dengan
pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran
10x100 biasanya tidak diperlukan. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas
gelas alas, kemudian ditambah 1 2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk
sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan
larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil.
Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasansudah cukup. Bila terjadi
penguapan, maka akan terbentuk Kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak
tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan
KOH, misalnya tinta Parker superchroom blue black.
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi
oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama
dan/atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau
besar (makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut (ekrotriks) atau di dalam rambut
(endotriks). Kadang-kadang dapat terlihata juga hifa pada sediaan rambut.
11
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung
sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini
adalah medium agar dekstrosa Saboraoud.
Tabel 1. Karakteristik Dermatofit terbanyak1
Morfologi koloni Gambaran mikroskopik Keterangan
Koloni :
seperti bulu datar dengan
lipatan central dan warna
kuning kehijauan, kuning
kecoklatan

Gambaran mikrosopik :
Epidermophyton floccosum
tidak ada mikrokonidia,
beberapa dinding tipis dan
tebal. Makronidia berbentuk
gada
Koloni :
datar dan berwarna putih
keabuan dengan celah radial
yang lebar. Berwarna pink
salmon pada media PDA.

Gambaran mikroskopik :
Microsporum audounii terminal klamidoko-nidia dan
hifa berbentuk seperti sisir.
Koloni :
datar, warna putih hingga
kuning, kasar dan berambut,
dengan celah radial yang rapat.
Berwarna kuning pada PDA.

Gambaran mikroskopik :
beberapa mikrokonidia,
M. canis
sejumlah dindint tebal dan
makrokonidia bergerigi dengan
knob pada ujungnya.

12
Koloni :
datar dan granuler dengan
pigmen coklat hingga berwarna
seperti kambing.

Gambaran mikroskopik :
beberapa mikrokonidia,
sejumlah makrokonidia
M.gypseum
berdindint tipis tanpa knob.

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding pada dermatofitosis tergantung dari klasifikasi lokasinya. Berikut
ini terdapat tabel yang menyebutkan diagnosis banding dari masing-masing klasifikasi
dermatofitosis berdasarkan lokasi
Tabel 2. Diagnosis banding dermatofitosis berdasarkan lokas.
Tinea Kapitis Tinea Pedis dan Manum
Psoriasis Dermatitis kontak
Dermatitis seboroik Scabies
Alopesia areata Pomfoliks
Pioderma Pioderma
Bentuk-bentuk alopesia yang Lues II psoriasiform
menimbulkan sikatriks, misal Psoriasis pustulosa
Lupus eritematosus, Kandidiasis
Pseudopelade Brocq
Tinea korporis Tinea Unguium
Pitriasis rosea gilbert Psoriasis
Psoriasis Kandidiasis
Lues II makulo-papuler Paronikia
Dermatitis kontak Trauma
Dermatitis seboroik Akrodermatitis perstans
Morbus Hansen tipe
tuberkuloid
Tinea Kruris Tinea Barbae
Kandidiasis inguinalis Sikosis barbae
Psoriasis Mikosis profunda
Dermatitis seboroik Karbunkel
Pitriasis rosea

13
IX. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada kasus dermatofitosis dibagi menjadi penatalaksanaan umum dan
khusus, seperti berikut :
1. Penatalaksanaan umum
Pada pasien dermatofitosis penatalaksanaan umum adalah sebagai edukasi pada pasien
tentang penyakitnya, termasuk penyebab, cara pengobatan dan pencegahan dari penyakitnya.
2. Penatalaksanaan khusus
Penatalaksanaan khusus dengan menggunakan obat-obatan yang diberikan secara oral
(sistemik) maupun topikal. Pengobatan dermatofitosis sering tergantung pada klinis. Sebagai
contoh lesi tunggal pada kulit dapat diterapi secara adekuat dengan anti jamur topikal.
walaupun pengobatan topikal pada kulit kepala dan kuku sering tidak efektif dan biasanya
membutuhkan terapi sistemik untuk sembuh. Infeksi dermatofitosis yang kronik atau luas,
tinea dengan implamasi akut dan tipe "moccasin" atau tipe kering jenis T.rubrum termasuk
tapak kaki dan dorsum kaki biasanya juga membutuhkan terapi sistemik. Idealnya, konfirmasi
diagnosis mikologi hendaknya diperoleh sebelum terapi sistemik anti jamur dimulai. Berikut
adalah pilihan obat untuk dermatofitosis :
a. Sistemik
Jenis jenis obat anti jamur sistemik yaitu alilamin, triazol, imidazol yang akan
dibahas satu persatu.
ALILAMIN
Terbinafin
Terbinafin hidroklorid adalah agen anti jamur topikal dan oral milik golongan
alilamin. Semua derivat alilamin memiliki alilamin tersier, struktur komponen penting untuk
aktivitas antijamur. Terbinafin mencapai stratum korneum pertama kali melalui sebasea,
kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi pasif ke dermis-
epidermis, tetapi terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin.
Terbinafin menghambat enzim skualen epoksidase (enzim katalis untuk merubah
skualen-(2,3)-epokside) di membran sel jamur, sehingga menghalangi biosintesis ergosterol.
Terbinafin menyebabkan akumulasi dari skualen intraseluler abnormal dan kekurangan
ergosterol. Penilaian akumulasi skualen secara in-vitro untuk aktivitas obat fungisida dengan
melemahkan sel membran, sedangkan kekurangan ergosterol dikaitkan dengan aktivitas
fungistatik obat, seperti ergosterol adalah komponen membran jamur yang diperlukan untuk
pertumbuhan normal.

14
Terbinafin diabsorpsi saluran gastrointestinal, terutama dalam kilomikron. Waktu
paruh 1,5 jam, dan waktu paruh eliminasi 22 jam. Terbinafin sangat lipofilik dan keratofilik
secara alami sehingga secara luas didistribusikan pada penyerapan seluruh kulit dan jaringan
adiposa. Lebih dari 80% dari obat ini diekskresikan dalam urin dan sisanya melalui feses.
The food and drug administration (FDA) telah menyetujui tablet terbinafin untuk
pengobatan onikomikosis karena dermatofit. Terbinafin oral telah disetujui untuk pengobatan
tinea kapitis pada pasien berusia lebih dari 4 tahun. Terbinafin juga berkhasiat untuk kasus
tinea korporis, tinea pedis, atau tinea kruris yang tersebar luas, berat, atau resisten terhadap
pengobatan topikal. Dosis dan sediaan terbinafin ialah tablet 250 mg atau serbuk oral.
Terbinafin pada dosis standar menghasilkan tingkat kesembuhan mikologis sekitar 70%
untuk onikomikosis dari kuku kaki dan 80% untuk kuku tangan. Dosis berdasarkan berat
badan, anak dengan berat badan kurang dari 25 kg mendapatkan 125 mg/hari, anak dengan
berat badan antara 25 kg dan 35 kg mendapatkan 187.5 mg/hari, dan anak dengan berat badan
lebih dari 35 kg mendapatkan 250 mg/hari. Pengobatan standar diberikan selama 6 pekan.
Terbinafin dapat digunakan secara aman pada anak-anak untuk onikomikosis. Terbinafin
diindikasikan untuk pengobatan onikomikosis disebabkan oleh dermatofit pada dewasa. Dosis
yang digunakan 250 mg/hari selama 12 pekan. Terbinafin ditoleransi dengan baik oleh usia
tua dan tidak butuh peringatan lebih untuk populasi umum.
Tabel 3. Dosis Terbinafin Oral
Dewasa Anak-anak
Onikomikosis Kuku jari tangan : 250 mg/hari selama 3-6 mg/kgBB/hari selama 6
6 pekan sampai 12 pekan
Kuku jari kaki : 250 mg/hari selama
12 pekan
Tinea Kapitis 250 mg/hari selama 2 sampai 8 pekan < 25 kg : 125 mg/hari selama 6
pekan
25-35 kg : 187.5 mg/hari
selama 6 pekan
> 35 kg : 250mg/hari selama 6
pekan
TineaKorporis, 250 mg/hari selama 1-2 pekan 2-6 mg/kgBB/hari selama 1-2
Tinea Kruris pekan
Tinea Pedis 250 mg/hari selama 2 pekan

15
Hasil pemeriksaan positif (KOH, kultur, histologi) untuk infeksi jamur harus
didapatkan dan pemeriksaan serum transaminase disarankan untuk semua pasien sebelum
mendapatkan terapi terbinafin. Terbinafin ditoleransi dengan insiden efek samping yang
rendah karena selektivitas yang tinggi. Efek samping paling umum setelah pemberian oral
yaitu gangguan gastrointestinal (3,5% -5,0%). Efek samping jarang termasuk nyeri kepala,
exanthematous eruption, acute generalized pustulosis exanthematous, psoriasis pustular,
subakut cutaneous lupus erythematosus, nyeri dada, parameter laboratorium tinggi, hilangnya
rasa, kelelahan, dan malaise. Beberapa kasus cedera hepatoseluler (termasuk gagal hati
fulminan), agranulositosis reversibel, reaksi kulit yang berat, termasuk nekrolisis epidermal
toksik, dan eritema multiform juga dilaporkan.
Terbinafin harus diresepkan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit hati atau
riwayat toksisitas hati dengan obat lain, wanita hamil (Kategori B) dan menyusui, gangguan
hati kronik atau aktif, gangguan ginjal (creatinine clearance <50 mL/menit), dan
immunodefisiensi atau immunosupresi. Kontraindikasi terbinafin lain yaitu hipersensitivitas
pada terbinafin.
TRIAZOL
Obat golongan azol merupakan obat antijamur terbanyak digunakan untuk infeksi
jamur, baik superfisial, subkutan, maupun sistemik. Azol terbagi atas dua golongan
berdasarkan jumlah atom nitrogen didalam cincin azol, yaitu imidazol yang memiliki 2 atom
nitrogen serta triazol dengan 3 atom nitrogen.
Itrakonazol
Itrakonazol adalah agen antijamur triazol lipofilik dan hampir tidak larut dalam air.
Itrakonazol terionisasi hanya pada pH rendah dan absorpsi maksimal bila dikonsumsi bersama
makanan serta bebas dari obat penekan asam lambung.
Mekanisme kerja itrakonazol menghambat 14--demethylase, sebuah sitokrom
mikrosomal enzim P450, dalam membran jamur. Konversi lanosterol menjadi ergosterol
membutuhkan 14--demethylase, menyebabkan penurunan permeabilitas membran dan
aktivitas enzim yang terikat membran dan menghambat pertumbuhan sel jamur.
Itrakonazol 54% diekskresikan dalam feses, dan 34% dalam urin. Setelah administrasi
dosis tunggal, penghapusan terminal waktu paruh adalah 21 jam untuk itrakonazol dan 12 jam
untuk metabolit aktif.6 Itrakonazol mencapai epidermis melalui difusi pasif ke dalam lapisan
basal keratinosit dan meresap ke dalam matriks rambut melalui sel matriks dan berpenetrasi
melalui sebasea.

16
Itrakonazol adalah terapi lini pertama untuk infeksi disebabkan kandida dan spesies
non dermatofit lainnya. Itrakonazol diindikasikan pada penyakit infeksi jamur yaitu
onikomikosis karena dermatofit pada pasien imunokompeten, terapi terus menerus untuk kuku
dan kuku kaki, terapi pulse pada kuku, mikosis sistemik (blastomikosis, histoplasmosis,
aspergillosis), terapi antijamur empiris pada febrile neutropenia, kandidiasis orofaringeal, dan
kandidiasis esofagus. Penggunaan umum lainnya: onikomikosis karena kandida sp., tinea
korporis dan pembagiannya, tinea kruris, tinea pedis, tinea kapitis.
Pada anak-anak, itrakonazol dapat digunakan untuk mengobati tinea kapitis.
Itrakonazol tersedia dalam kapsul 100 mg, 10 mg/mL larutan oral, dan larutan intravena.
Dosis itrakonazol yaitu 5 mg/kgbb/hari selama 4-6 pekan. Itrakonazol dapat terdeteksi pada
keringat dalam waktu 24 jam setelah asupan awal obat. Anak dengan berat badan antara 15 kg
dan 30 kg membutuhkan satu kapsul 100 mg sehari; anak dengan berat badan 30 kg - 40 kg
membutuhkan 100 mg sehari sampai 200 mg/hari, dengan rata-rata 150 mg setiap hari.
Sedangkan berat lebih dari 50 kg menggunakan dosis dewasa. Itrakonazol telah disetujui
untuk pengobatan onikomikosis yang disebabkan oleh dermatofit pada dewasa. Itrakonazol
dosis 200 mg sehari selama 5-7 hari efektif dalam pengobatan pitiriasis versikolor. Terapi
itrakonazol efektif dan aman pada usia tua.Itrakonazol adalah obat kategori C pada
kehamilan. Sehingga tidak dianjurkan selama kehamilan atau saat menyusui karena
diekskresikan dalam air susu ibu.
Pemantauan fungsi hati diindikasikan hanya untuk pasien dengan penyakit hati atau
riwayat toksisitas hati dengan pengobatan lain. Efek samping paling umum adalah gangguan
gastrointestinal, hipertrigliseridemia, edema, urtikaria, anafilaksis, eritema multiform, nyeri
kepala, neuropati, impotensi, hipertensi, leukopenia, sindrom nefrotik, dan sedikit
peningkatan enzim hati. Itrakonazol kontraindikasi pada pasien dengan riwayat gagal jantung
dan tidak dianjurkan untuk pasien dengan riwayat penyakit hati.
Flukonazol
Flukonazol adalah fungistatik secara in vitro dan efektif terhadap berbagai ragi
(kecuali kandida krusei) dan dermatofit. Flukonazol menunjukkan tingkat kelarutan air yang
tinggi dan penetrasi cairan serebrospinal yang baik. Interaksi obat juga sedikit karena
flukonazol sedikit memiliki efek samping dari semua golongan azol terhadap enzim
mikrosomal hepatik, hal ini karena interaksi enzim hati lebih sedikit dan toleransi
gastrointestinal lebih baik. Flukonazol memiliki indeks terapeutik terluas dari semua golongan
azol dan agresif terhadap berbagai infeksi jamur.

17
Flukonazol, seperti itrakonazol, menghambat 14--demethylase, mikrosomal sebuah
enzim sitokrom P450, dalam membran jamur. Flukonazol mempunyai waktu paruh 25-30
jam, dan tingkat puncak tercapai setelah 7 hari tiap kali diberi. Flukonazol hanya terikat
lemah pada protein plasma, dengan sekitar 90% dari obat beredar bebas dalam plasma. Obat
ini menetap pada metabolisme hati, sekitar 80% dari flukonazol diekskresikan tidak berubah
dalam urin, 2% dalam tinja, dan sekitar 11% sebagai metabolit dalam urin. Kemampuan untuk
meredakan substansial ke dalam cairan serebrospinal membedakan senyawa ini dari banyak
agen antimikotik lainnya.
Flukonazol tersedia dalam tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200 mg, tersedia 10
mg/mL dan 40 mg/mL larutan oral, dan intravena. Flukonazol tidak tergantung pada pH
lambung yang rendah untuk penyerapan. Flukonazol merupakan lini pertama terapi untuk
mucocutaneous candidiasis. Flukonazol menunjukkan aktifitas yang baik pada Candida spp.,
namun sedikit terbatas pada C. Glabrata dan tidak berefek pada C. Krusei. Flukonazol adalah
obat kategori C pada kehamilan dan tidak direkomendasikan untuk ibu hamil dan menyusui2.

Tabel 4. Dosis Flukonazol Oral


Dewasa Anak-anak
Tinea Pedis, kruris, atau 150 mg/pekan sampai 3-4
korporis pekan
Tinea Kapitis 6mg/kgBB/hari sampai 2 6
pekan

Pemantauan ketat hanya diperlukan pada pasien dengan penyakit ginjal. Flukonazol
ditetapkan sebagai dosis satu kali atau sekali sepekan. Hanya sedikit butuh pemantauan
laboratorium untuk melihat efek samping. Efek samping seperti erupsi obat, trombositopenia,
amenore sementara, peningkatan pemeriksaan fungsi hati, peningkatan ringan serum kretinin
phosphokinase, pusing, anoreksia, dan alopesia.

Vorikonazol
Vorikonazol adalah agen triazol generasi kedua, tersedia dalam sediaan oral dan
intravena yang digunakan secara luas di luar dermatologi untuk pengobatan penyakit jamur
invasif, terutama invasif aspergillosis.
Vorikonazol merupakan inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja pada
enzim sitokrom p-450, lanosterol 14--demethylase. Hal ini menyebabkan ergosterol
2
18
berkurang dan methilat sterol menumpuk, mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi
membran jamur.
Vorikonazol diberikan secara intravena dalam sediaan 200mg/vial, untuk pemberian
oral tersedia 50 mg dan 200 mg, dan suspensi oral 40 mg/ml. Vorikonazol digunakan untuk
aspergillosis invasif pada 4 mg/kgBB secara intravena setiap 12 jam atau 100 sampai 200 mg
per oral setiap 12 jam. Penyesuaian dosis harus dilakukan pada pasien disfungsi ginjal atau
hati. Efek samping meliputi ruam, enzim hati tinggi, dan gangguan visual sementara.
Gangguan visual yang umum, terjadi pada 30% dari pasien yang menerima vorikonazol,
termasuk mata kabur dan perubahan penglihatan warna atau kecerahan. Perubahan visual
biasanya terjadi segera setelah pemberian vorikonazol dan hilang dalam waktu 30 menit.

IMIDAZOL
Ketokonazol
Ketokonazol adalah turunan imidazol pertama digunakan untuk pengobatan oral
mikosis sistemik. Pasien dengan kandidiasis mukokutan kronis merespon baik untuk dosis
sekali sehari 200 mg, dengan waktu rata-rata 16 pekan. Infeksi rambut dan kuku mungkin
memakan waktu lebih lama untuk terapi kecuali untuk tinea kapitis. Ketokonazol sangat
responsif dengan dosis 200 mg perhari pada pitiriasis versikolor. Ketokonazol digunakan
untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, kandidiasis kutaneus dan dermatitis
seboroik. Dosis ketokonazol diberikan pada dewasa 200 mg/hari atau 400 mg/dosis tunggal
atau diulang setiap bulan sedangkan dosis anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal.
Ketokonazol mempunyai ikatan kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam
waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika
mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 pekan. Konsentrasi ketokonazol masih
tetap dijumpai, minimal 10 hari setelah obat dihentikan.
Efek samping mual atau pruritus dilaporkan pada sekitar 3% dari pasien yang
memakai ketokonazol. Efek samping lebih signifikan termasuk peningkatan enzim hati dan
hepatitis. Ketokonazol tidak dianjurkan untuk pengobatan onikomikosis yang membutuhkan
terapi jangka panjang karena risiko hepatotoksisitas relatif tinggi dibandingkan agen
antijamur lainnya.

Ketokonazol juga menyebabkan ginekomastia pada laki-laki dan ketidakteraturan


menstruasi pada wanita bila digunakan dalam dosis >400 mg sehari, masalah ini berhubungan

19
dengan gangguan metabolisme androgen. Secara umum, imidazol berpengaruh lebih besar
pada sintesis sterol manusia dibanding antijamur triazol.

LAIN-LAIN
Griseofulvin
Griseofulvin berasal dari Penicillium griseovulvum. Griseofulvin digunakan untuk
pengobatan infeksi dermatofit Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton.
Griseofulvin bekerja pada inti sel jamur dan menghambat mitosis sel jamur sehingga tetap
dalam fase metafase. Griseofulvin tidak efektif untuk kandidiasis atau pitiriasis versikolor.
Penyerapan griseofulvin ditingkatkan oleh beberapa faktor, termasuk asupan bersamaan
lemak yang dimakan dan sediaan ukuran partikel lebih kecil. Griseofulvin terutama di
metabolisme oleh hati sebelum di eksresikan.
Griseofulvin tersedia dalam tablet ultramicrosize dan microsize. Sediaan griseofulvin
tablet ultramicrosize adalah dosis 125-mg, 165 mg, 250 mg, dan 330 mg. Griseofulvin
microsize tersedia 250mg, dan tablet 500 mg dan dalam 125 mg/5 mL suspensi. Produsen
merekomendasikan 5-10 mg/kgBB/hari (ultramicrosize) atau 10-20 mg/kgBB/hari
(microsize). Pada anak-anak, griseofulvin adalah pengobatan lini pertama dari tinea kapitis.
Griseofulvin dianjurkan dosis lebih tinggi yaitu 20-25 mg/kgBB/hari (microsize), atau 15-20
mg/kgBB/hari (ultramicrosize). Hasil penelitian pada pasien usia lanjut melaporkan tidak ada
efek samping spesifik. Griseofulvin adalah obat kategori C pada kehamilan karena
mengganggu distribusi kromosom.
Efek samping griseofulvin paling umum berhubungan dengan gangguan saluran
pencernaan dan sistem saraf pusat, seperti nyeri kepala, pusing, insomnia, reaksi
hipersensitivitas berupa urtikaria dan erupsi obat, dan granulositopenia. Pasien harus
diperingatkan tentang potensi fotosensitisasi yang diinduksi oleh griseofulvin dan
kemungkinan lupus eritematosus atau sindrom seperti lupus. Leukopenia dan proteinuria
pernah dilaporkan.

Tabel 5. Pilihan obat untuk dermatofitosis


Infeksi Rekomendasi Alternatif

20
Tinea unguium Terbinafine 250 mg/hr Itraconazole 200 mg/hr /3-5 bulan atau 400
(Onychomycosis) 6 minggu untuk kuku mg/hr seminggu per bulan selama 3-4 bulan
jari tangan, 12 minggu berturut-turut.
untuk kuku jari kaki Fluconazole 150-300 mg/ mgg s.d sembuh (6-
12 bln) Griseofulvin 500-1000 mg/hr s.d
sembuh (12-18 bulan)
Tinea capitis Griseofulvin Terbinafine 250 mg/hr/4 mgg
500mg/day Itraconazole 100 mg/hr/4mgg
( 10mg/kgBB/hari) Fluconazole 100 mg/hr/4 mgg
sampai sembuh (6-8
minggu)
Tinea corporis Griseofulvin 500 Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 minggu
mg/hr sampai sembuh Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau
(4-6 minggu), sering 200mg/hr selama 1 mgg. Fluconazole 150-300
dikombinasikan mg/mggu selama 4 mgg.
dengan imidazol.
Tinea cruris Griseofulvin 500 Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 mgg
mg/hr sampai sembuh Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau 200
(4-6 minggu) mg/hr selama 1 mgg. Fluconazole 150-300
mg/hr selama 4 mgg.
Tinea pedis Griseofulvin 500mg/hr Terbinafine 250 mg/hr selama 2-4 mgg
sampai sembuh (4-6 Itraconazole 100 mg/hr selama 15 hr atau
minggu) 200mg/hr selama 1 mgg. Fluconazole 150-300
mg/mgg selama 4 mgg.
Chronic and/or Terbinafine 250 mg/hr Itraconazole 200 mg/hr selama 4-6 mgg.
widespread selama 4-6 minggu Griseofulvin 500-1000 mg/hr sampai sembuh
non-responsive (3-6 bulan).
tinea.

b. Topikal
Jenis obat anti jamur topikal yang sering digunakan yaitu :
1. azol-imidazol: ketokonazol, klotrimazol, mikonazol, ekonazol, sulkonazol,
oksikonazol, terkonazol, tiokonazol, sertakonazol

21
2. alilamin dan benzilamin: naftifin, terbinafin, butenafin
3. polien: nystatin
Beberapa obat topikal tidak termasuk dalam golongan ini namun dapat digunakan
untuk terapi non spesifik seperti golongan keratolitik (asam salisilat) atau antiseptik (gentian
violet), siklopiroks, haloprogin, serta amorolfin. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh
obat antijamur topikal lebih sedikit dibandingkan obat anti jamur sistemik. Pengobatan topikal
memiliki beberapa keuntungan yaitu sedikit efek samping dan interaksi dengan obat lain,
pengobatan terlokalisir pada tempat yang sakit, dan biaya yang murah3.

Golongan Azol-Imidazol
Mekanisme kerja
Golongan Azol-imidazol memiliki spektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan
cara menghambat pembentukan 14--sterol demethylase, suatu enzim sitokrom P450 (CYP).
Hal ini mengganggu biosintesis ergosterol membran sitoplasma jamur dan menyebabkan
akumulasi 14--metilsterol. Metilsterol merusak rantai fosfolipid sehingga mengganggu
fungsi enzim membran jamur seperti ATPase dan enzim sistem transpor elektron. Mekanisme
ini mengakibatkan efek pertumbuhan jamur terhambat4.
1. Klotrimazol
Klotrimazol digunakan untuk pengobatan dermatifitosis, kandidiasis oral, kulit dan
genital. Pengobatan kandidiasis oral, diberikan oral troches (10 mg) 5 kali sehari selama 2
minggu. Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 500 mg pada hari ke-1, 200 mg hari
ke-2, atau 100 mg hari ke-6 yang dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan infeksi jamur
pada kulit digunakan krim klotrimazol 1%, dosis dan lama pengobatan tergantung kondisi
pasien, diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

2. Ekonazol

4
22
Ekonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis oral, kulit dan
genital. Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 150 mg yang dimasukkan ke dalam
vagina selama 3 hari berurut-turut. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ekonazol
krim 1 %, dosis dan lama pengobatan tergantung dari kondisi pasien, diberikan selama 2-4
minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Ekonazol berpenetrasi dengan cepat di stratum korneum.
Ekonazol kurang dari 1% diabsorpsi ke dalam darah, 3% pasien mengalami eritema lokal,
sensasi terbakar, tersengat, atau gatal5.
3. Mikonazol
Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,
kandidiasis oral, kulit dan genital. Mikonazol cepat berpenetrasi pada stratum korneum dan
bertahan lebih dari 4 hari setelah pengolesan. Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan
dosis 200 mg selama 7 hari atau 100 mg selama 14 hari yang dimasukkan ke dalam vagina.
Pengobatan kandidiasis oral, diberikan oral gel (25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi
jamur pada kulit digunakan mikonazol krim 2%, dosis dan lama pengobatan tergantung dari
kondisi pasien, diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari6.
Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi 7%
kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika, atau skin rash.
Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian kulit. Mikonazol aman
digunakan pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli menghindari pemakaian pada
kehamilan trimester pertama7.
4. Ketokonazol
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam
waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika
mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih
tetap dijumpai, minimal 10 hari setelah obat dihentikan8.

8
23
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,
kandidiasis kulit dan dermatitis seboroik.

Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim ketokonazol 1%, dosis dan
lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, diberikan selama 2-4 minggu dan
dioleskan sekali sehari, sedangkan pengobatan dermatitis seboroik dioleskan 2 kali sehari.
Pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan ketokonazol 2% dalam bentuk shampo
sebanyak 2 kali seminggu selama 8 minggu.

5. Sulkonazol
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kulit.
Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol krim 1%. Dosis dan lama
pengobatan tergantung dari kondisi pasien. Sulkonazol digunakan untuk pengobatan tinea
korporis, tinea kruris ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3
minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu9.
6. Terkonazol
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kulit dan
genital. Pengobatan kandidiasis vaginalis yang disebabkan Candida albicans, digunakan
terkonazol krim vagina 0,4% (20 gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina
menggunakan aplikator sebelum tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan vaginal
supositoria dengan dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari
sebelum tidur selama 3 hari berturut-turut10.
7. Tiokonazol
Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis serta kandidiasis kulit dan genital.
Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis tunggal sebanyak 300 mg dimasukkan ke
dalam vagina. Infeksi pada kulit digunakan tiokonazol krim 1%, dosis dan lamanya
pengobatan tergantung kondisi pasien. Pengobatan tinea korporis dan kandidiasis kulit
diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari, pada tinea pedis dioleskan 2 kali

10

24
sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali sehari selama 2 minggu dan untuk
pitirisis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4 minggu11.
8. Sertakonazol
Sertakonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan candida sp, digunakan
sertakonazol krim 2%, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4 minggu12.
Golongan Alilamin/Benzilamin
Mekanisme kerja
Golongan alilamin/benzilamin menekan biosintesis ergosterol pada tahap awal proses
metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan menghambat aktifitas squalene epoksidase.
Berkurangnya ergosterol akan menyebabkan penumpukan squalene pada sel jamur sehingga
mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan benzilamin bersifat fungistatik terhadap
Candida albicans13.
1. Naftifin
Naftifin digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida sp., untuk
pengobatan digunakan krim naftifin hidroklorida krim 1% dioleskan 1 kali sehari selama 1
minggu14.
2. Terbinafin
Terbinafin digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan
kandidiasis kulit. Terbinafin krim 1% dioleskan 1 atau 2 kali sehari. Pengobatan tinea korporis
dan tinea kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea pedis selama 2-4 minggu, untuk
kandidiasis kulit selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor selama 2 minggu15.
3. Butenafin
Butenafin merupakan golongan benzilamin, aktifitas antijamurnya sama dengan
golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita dan digunakan untuk

11

12

13

14

15
25
pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis, dioleskan 1 kali sehari selama 4
minggu.
Golongan Polien
Nistatin
Pengobatan kandidiasis kutis dapat digunakan nistatin topikal pada kulit atau
membrane mukosa (rongga mulut, vagina). Nistatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi dapat
menyebabkan mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi. Nistatin digunakan
untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppossitoria (100.000
setiap unitnya) yang diberikan selama kurang lebih 14 hari

Golongan Antijamur Topikal Lain


1. Asam Undesilenat
Asam undesilenat bersifat fungistatik, dapat juga bersifat fungisidal apabila terpapar
lama dengan konsentrasi yang tinggi pada agen jamur. Tersedia dalam bentuk salep, krim,
bedak spray powder, sabun, dan cairan. Salap asam undesilenat mengandung 5% asam
undesilenat dan 20% zinc undesilenat. Zinc bersifat astringent yang menekan inflamasi.
Preparat ini digunakan untuk mengatasi dermatomikosis, khususnya tinea pedis. Efektifitas
masih lebih rendah dari imidazol, haloprogin atau tolnaftat. Preparat ini juga dapat digunakan
pada ruam popok, dan tinea kruris.
2. Salep Whitefield
Pada tahun 1970, Arthur Whitefield membuat preparat salep yang mengandung 12%
asam benzoate dan 6% asam salisilat. Kombinasi ini dikenal dengan salep Whitefield. Asam
benzoat bekerja sebagai fungistatik, dan asam salisilat sebagai keratolitik sehingga
menyebabkan deskuamasi keratin yang mengandung jamur. Preparat nini sering menyebabkan
iritasi khususnya jika dipakai pada permukaan kulit yang luas. Selain itu absorpsi secara
sistemik dapat terjadi, dan menyebabkan toksisitas asam salisilat, khususnya pada pasien yang
mengalami gagal ginjal. Salep Whitefield digunakan untuk mengatasi tinea pedis, dan tinea
kruris.
3. Amorolfin
Amorolfin merupakan phenylpropylpiperidine. Bekerja dengan cara menghambat
biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya luas, dapat digunakan untuk pengobatan

26
tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Amorolfin dioleskan satu kali sehari
selama 2-3 minggu, untuk tinea pedis selama 6 bulan. Amorolfin 5% nail lacquaer diberikan
sebagai monoterapi pada onikomikosis ringan tanpa adanya keterlibatan matriks. Diberikan
satu atau dua kali seminggu selama 6-12 bulan. Pemakaian amorolfin 5% pada pengobatan
jamur memiliki angka kesembuhan 60-76% dengan pemakaian satu atau dua kali seminggu.
Kuku tangan dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama 6 bulan sedangkan kuku kaki
harus digunakan selama 9-12 bulan.
4. Siklopiroks olamin
Siklopiroks olamin adalah antijamur sintetik hydroxypyridone, bersifat fungisidal,
sporisida dan memiliki penetrasi yang baik pada kulit dan kuku. Siklopiroks efektif untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis, kandidiasis kulit dan
pitiriasis versikolor.
Pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu
sedangkan pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail lacquer 8%. Setelah
dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam waktu 30-
45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus lapisan lempeng
kuku hingga ke dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai kedalaman 0,4 mm
dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat akan mencapai kadar
fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 0,25 mikrogram tiap milligram material kuku.
Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45 hari setelah pemakaian dan selanjutnya
konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat minimal yang berefek
fungisidal. Konsentrasi obat yang berefek fungisidal ditemukan di setiap lapisan kuku.
Sebelum pemakaian cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku yang terinfeksi
diangkat atau dibuang, kuku yang tersisa dibuat kasar kemudian dioleskan membentuk lapisan
tipis. Dilakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan
kedua dan seminggu sekali pada bulan ketiga hingga bulan keenam pengobatan. Pemakaian
cat kuku dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan.
5. Haloprogin
Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea korporis,
tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali
sehari selama 2-4 minggu.
6. Castellanis paint

27
Castellanis paint (carbol fuchsin paint) memiliki aktifitas antijamur dan antibakterial.
Digunakan sebagai terapi tinea pedis, dermatitis seboroik, tinea imbrikata. Efek sampingnya
adalah iritasi dan reaksi toksik terhadap fenol.
7. Alumunium Chloride
Alumunium Chloride 30% memiliki efikasi mirip dengan Castellanis paint pada terapi
tinea pedis.

X. PROGNOSIS
Prognosis pada dermatofitosis pada umumnya baik, namun pengobatan perlu
diperhatikan apabila terdapat faktor predisposisi sebagai berikut :
1. Bentuk klinik tertentu :
Diabetes mellitus
Hipertiroid, menyebabkan banyak keringat / hyperhidrosis
Keganasan
Pemakaian obat-obatan : antibiotika, kortikosteroid, sitostatika
Infeksi berat : AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
Kehamilan
Iritasi setempat pada tubuh misalnya urine, keringat, air
2. Lingkungan : iklim tropis banyak keringat, jamur akan tumbuh dengan subur
3. Pekerjaan yang berhubungan dengan air : ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga.
Pada tinea pedis air yang berlebihan akan menyebabkan pembengkakan stratum
korneum, hifa jamur tumbuh dengan subur.
4. Pemakaian pakaian dalam /celana ketat dari bahan sintetis
5. Kebiasaan pinjam meminjam alat, misal sepatu, sisir
6. Adanya sumber infeksi lain, misal binatang piaraan : anjing, kucing, kelinci
menyebabkan infeksi ping-pong

28
Faktor factor di atas menjadi penyulit dalam penyembuhan dermatofitosis. Sehingga perlu
diperhatikan untuk menghindari atau mengontrol factor-faktor tersebut.

XI. HUBUNGAN KAWASAN PANTURA DAN DERMATOFITOSIS


Dermatofita dapat berkembang biak dengan cepat pada daerah lembab, manusia dapat
mengalami penyakit dermatofitosis apabila memiliki beberapa faktor risiko seperti kulit yang
lembab oleh karena produksi keringat yang berlebih. Selain itu faktor risiko lain dari
dermatofitosis adalah apabila kulit kontak dengan air terlalu lama serta pemakaian alas kaki
tertutup yang menyebabkan kaki dan kulit menjadi lembab.
Pantai utara(Pantura) merupakan suatu Daerah yang terdiri atas kawasan yang
letaknya berada di pantai bagian utara pulau jawa seperti : Jakarta, Cilegon, Tangerang,
Bekasi, Karawang, Cikampek, Subang, Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang,
Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan,
Gresik, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, dan Banyuwangi.
Berdasarkan iklimnya kawasan tersebut beriklim panas ini dikarenakan curah hujan disana
cukup rendah dibandingkan dengan daerah lain, oleh karena iklim disana panas para
penduduk sering mengalami keringat ketika bekerja sehingga merupakan faktor risiko bagi
penyakit dermatofitosis. Selain itu mayoritas penduduk disana adalah seorang nelayan dan
penambak ikan dan udang sehingga pekerjaanya lebih sering kontak dengan air dan
cenderung memakai alas kaki tertutup sehingga memiliki faktor risiko terkena dermatofitosis.
Pada saat ini belum ada data yang menunjukkan prevalensi dermatofitosis pada daerah
tersebut tetapi berdasarkan data kasus pasien di beberapa RSUD, yakni di RSUD Cirebon dan
RSUD Tegal. Di RSUD Cirebon didapatkan 100 kasus pada bulan november 2016 sedangkan
di RSUD Tegal didapatkan 78 kasus tinea kruris, 76 kasus tinea korporis, 22 kasus tinea
facialis, 34 kasus tinea pedis , dan 16 kasus tinea kapitis pada bulan Oktober dan November
2016 atau jumlah total kasus 226 kasus. Ini merupakan bukti bahwa dermatofitosis
berhubungan dengan daerah pantura yang beriklim panas dan pola pekerjaan sebagai nelayan
dan pekerja tambak.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Tilak R, Prakash P, Nigam C, Gupta R. Tinea Pedis Update. Asian Journal
of Medical Sciences 2 (2011) 134-138.
2. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis di Indoneisa. Dalam: Budimulya U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor, Dermatomikosis
Superfisialis. Edisi ketiga Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2004.h. 1-6
3. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker
KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11 th Ed. New
York: Mc Graw-Hill. 2006

4. Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2211-17

5. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kealmin. Edisi kelima. Jakarta Balai Penerbit FKUI;2007.h.89-
105.

30
6. Cholis M. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Dalam: Budimulya U, Kuswadji,
Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor. Dermatomikosis
Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2004 h.7-18.
7. Freiman A, Sasseville D. Dermatology Rounds: Antifungal Drugs In Dermatology.
Canada: McGill University Health Centre. 2006.
8. Gupta KA,Tu LQ .Dermatophytosis : Diagnosis and Treatment , J Am Acad Dermatol
2006 ;54 :1050-5

31

You might also like