Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
dr. Raden Setiyadi Sp.A
Disusun oleh :
Sutrisuna
030.11.281
1
LEMBAR PENGESAHAN
Penyusun:
Sutrisuna
030.11.281
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 5 September 12 November
2016
2
BAB I
STATUS PASIEN
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama : Sutrisuna Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A.
NIM : 030.11.281 Tanda tangan :
I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ibu Ibu
Nama By. V Ny I Tn. R
Umur 5 hari 33 tahun 29 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki
Alamat Pagedangan RT 03 / RW 01
II. ANAMNESIS
Data anamnesis diperoleh secara alloanamnesis kepada ibu pasien (Ny. PA, 33th) pada
tanggal 27 Januari 2017 di Ruang PICU RSU Kardinah pukul 15.00 WIB.
Keluhan Utama
Kejang
Keluhan Tambahan
Demam, Batuk, Pilek, Mencret, dan Tidak Nafsu Makan.
3
Pasien seorang anak berusia 5 hari datang dengan keluarga ke IGD RSUD Kardinah pada
tanggal 26 Januari 2017 dengan keluhan utama kejang sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit(SMRS).. Setelah kejang OS nampak tertidur dan tidak menangis. Sebelum kejang os
mengalami panas, batuk dan pilek 3 hari SMRS dan langsung dibawa ke Puskesmas keesokan
harinya, setelah berobat ke Puskesmas os diberi obat penurun panas dan kemudian turun, tetapi
os panas kembali saat menjelang malam hari. Ibu os kemudian membeli obat penurun panas ke
Apotik dan os diberi obat penurun panas tersebut kemudian panas os tidak turun tetapi seluruh
tubuh os tampak kaku.
Kejang terjadi pada seluruh tubuh, pada saat kejang kedua kaki dan tangan OS tampak
kaku tetapi mata tidak mendelik keatas. Kemudian OS dibawa ke klinik dokter terdekat dan os
hanya diberik kapas dan alkohol diketiak kemudian os cepat-cepat dirujuk ke Puskesmas dan
disana diberi obat yang ditaruh di dubur kemudian os tampak lemas dan tidak kejang lagi di susul
BAB. Menurut ibu os, os kejang selama 3 jam. Setelah kejang berhenti kemudian os dirujuk ke
RS Mardotillah dan disana os didiagnosis radang paru berat dan perlu dimasukkan ICU tetapi
ICU disana tidak ada dan os akhirnya dirujuk ke RSUD Kardinah. Ibu os menyangkal
sebelumnya ada keluar cairan dari telinga dan sakit kepala, ibu os juga menyangkal saat panas os
mencret, terdapat gusi berdarah dan mimisan tetapi os memang sulit makan dan minum.
4
listrik dan dan air minum dari PAM. Jarak septic tankdengan rumah sekitar 10 meter. Limbah
rumah tangga tersalur di selokan di dalam rumah dengan aliran lancar. Selokan dibersihkan
sebulan sekali. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak dinyalakan pada
siang hari. Jika jendela dibuka maka udara dalam rumah tidak pengap.
Kesan : keadaan rumah dan ventilasi cukup baik, keadaan lingkungan rumah cukup baik.
Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran : Klinik Siti Hajar
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Per vaginam, secara spontan
Masa gestasi : 38 minggu pada G2P1A0
Air ketuban : keruh
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 2800 gram
Panjang badan lahir : 48 cm
5
Lingkar kepala : Ibu tidak tahu
Keadaan lahir : Langsung menangis kuat, tidak pucat, dan tidak biru
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Plasenta : Terdapat lilitan tali pusat pada saat kelahiran
Kelainan bawaan : Tidak ada
Air ketuban : Jernih
Suntik vit K : Ibu tidak tahu
Kesan: neonatus aterm, dengan lahir secara per vaginam, bayi dalam keadaan bugar.
Perkembangan:
Riwayat perkembangan belum dapat dievaluasi
Riwayat Imunisasi
VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN
6
(umur)
BCG - - - - - - -
DTP/ DT - - - - - - -
POLIO - - - - - - -
CAMPAK - - - - - - -
HEPATITIS B - - - - - - -
Silsilah Keluarga
7
Menangis : Kurang kuat
Gerak : Kurang aktif
Retraksi : (-)
Kejang : (-)
Sianosis : (-)
Pucat : (-)
Ikterik : (+)
B. Tanda Vital
Nadi : 124 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Laju nafas : 36 x/menit, reguler.
Suhu : 36,2C
Tekanan darah :-
SpO2 : 99%
C. Data Antropometri
Berat badan : 2545 gr
Tinggi badan : 48 cm
D. Status Generalis
Kepala : mesosefali, LK : 34 cm, UUB teraba datar, tegang (-), molase
(-), Kaput suksedaneum (-), sefal hematom (-)
Rambut : berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.
Wajah : Normal, simetris
Mata : Mata cekung (-/-), edema palpebra (-/-)
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)
: Katarak kongenital (-/-),glaukoma kongenital (-/-)
Hidung : bentuk simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping
hidung (-),
Telinga: bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-), recoil
(segera/segera)
Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-), trismus(-) Labioschizis (-),
palatoschizis (-)
Leher : Simetris, tumor (-), tanda trauma (-)
Kulit : warna kulit merah muda, lanugo (+) menghilang, turgor kulit
baik
Thorax :
Paru
Inspeksi : Bentuk dadasimetris kanan dan kiri
Refleks primitif
a) Refleks Oral
Refleks Hisap : (+)
Refleks Rooting : (+)
b) Refleks Moro : Tidak dilakukan
c) Refleks Palmar Grasp : (+)
d) Refleks Plantar Grasp : (+)
IV. PEMERIKSAAN KHUSUS
4. Kurva Fenton
Berat badan lahir, panjang badan lahir dan lingkar kepala sesuai kurva Fenton dalam
batas normal.
5. Downe Score (2-10-16 di IGD PONEK)
0 1 2
Frekuensi Napas < 60 x/menit 60-80 x/menit > 80 x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis hilang Sianosis menetap
Sianosis Tidak sianosis
dengan O2 walaupun diberi O2
Penurunan ringan Tidak ada udara
Air Entry Udara masuk
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stethoscope tanpa alat bantu
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 14,1 g/dL 12,7 18,7
Leukosit 13,1 103/uL 3,5 20,5
Hematokrit 40,4 () % 47 75
Trombosit 417 103/uL 217 497
Eritrosit 4.8 106/uL 3,7 8,1
RDW 15,9 () % 11,5 14,5
MCV 95,7 U 84 128
MCH 33,4 Pcg 26 38
MCHC 34,9 () g/dl 26 34
KIMIA KLINIK
Bilirubin indirek 3,59 () mg/dL
Bilirubin total 6,75 mg/dL 4,0 8,0
Bilirubin direk 3,10 () mg/dL
Glukosa sewaktu 81 () mg/dL 50,0 80,0
Natrium 144,8 mmol/L 132 145
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Kalium 3,99 mmol/L 3,1 5,1
Klorida 117,2 () mmol/L 96 111
SERO IMUNOLOGI
CRP NEGATIVE NEGATIVE
Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras (03.10.2016)
ANALISA CAIRAN OTAK (03.04.2016)
cairan LCS secara makroskopis berwarna merah.
Seorang bayi laki-laki berusia 5 hari datang ke IGD RSUD Kardinah dengan keluhan
keluhan utama tidak mau minum ASI sejak 1 hari SMRS. Demam naik turun sejak 1 hari
SMRS. Setelah badan panas, os sempat kejang berulang, lebih dari 5x. Saat kejang, badan
kaku, mata melotot, dan setelah kejang os tertidur. Di IGD PONEK, keadaan os menangis
kuat, gerakan aktif, tampak kuning, tidak sesak dan tidak ditemukan retraksi dada. Os kejang
sebanyak 2x, masing-kejang terjadi <5menit dengan interval kejang selama 15 menit. Os di
rawat di Dahlia dengan keadaan sesak (+), demam (+), tampak kuning (+), gerak kurang
aktif. Kemudian diberikan alat napas bantuan CPAP. Os tampak kuning sejak berusia 3 hari,
awalnya kuning tampak di wajah dan dada. Namun hari berikutnya, warna kuning dikulit
tampak lebih jelas terutama di mata. Bayi lahir spontan ditolong oleh bidan pada tanggal 27
September 2016 (5 hari SMRS), dengan lilitan tali pusat 1x dari ibu G2P1A0 hamil 38
minggu, keadaan bayi pada saat lahir yaitu berat lahir 2800 gr, langsung menangis, dengan air
ketuban keruh.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien menangis kurang kuat,
gerak kurang aktif, tidak tampak sesak, pemeriksaan tanda vital dengan nadi : 130 x/menit,
reguler, kuat, isi cukup, laju nafas: 36 x/menit, regular, suhu : 36,2C, berat badan : 2500 gr,
panjang badan: 48 cm dengan status neonates cukup bulan,sesuai masa kehamilan menurut
Lubchenko. New ballard score menunjukkan os berusia 36-38 minggu. Lingkar kepala 34
cm, mesosefali. Berat badan lahir, panjang badan lahir dan lingkar kepala sesuai kurva
Fenton dalam batas normal. Pada pemeriksaan mata ditemukan sclera ikterik +/+. Downe
score 2, tidak ada distress pernapasan. Bell squash score = observasi neonatal infeksi.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan peningkatan
bilirubin direk maupun indirek dengan ratio bilirubin per total >20%. Pemeriksaan
CT-Scan menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid. Hasil lumbal pungsi
menemukan adanya cairan otak yang berwarna kemerahan. Hasil kultur cairan otak
steril.
VII. MASALAH
X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
O2 CPAP PEEP 6 FiO2 30%
IVFD KaEn 1B + Ca Glukonas 20 cc + KCl 3,5 cc 12 cc/jam
Cefotaxime 3 x 125mg
Gentamisin 2 x 6mg
Phenobarbital 10 mg
Non-medikamentosa
Rawat inap untuk monitor gejala
Awasi keadaan umum, dan tanda vital
Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
Diet susu cair 8 x 20 cc
XI. PROGNOSA
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
PERJALANAN PENYAKIT
2 Oktober 2016 pkl. 21.00 WIB (R. 3 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R.
IGD PONEK) Dahlia)
Hari Perawatan ke-0 Hari Perawatan ke-1
S Demam (+), kejang (+)2x di IGD, sesak S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB
(+), BAB (-), BAK (-), pucat (-), kuning (-), BAK (-), pucat (-), kuning (+), biru
(+), biru (-), ASI (-), R.Hisap (-) (-), ASI (+), R.Hisap (+)
O KU: Tampak sakit sedang, sesak O KU: Compos mentis, TSS, ikterik (+),
ikterik (+), menangis lemah, gerak Gerak kurang aktif, retraksi (-)
kurang aktif TTV: HR 100x/m,RR 32x/m, S 36,20C
TTV: HR 180x/m,RR 64x/m, S 38,6 0C, Status generalis:
SpO2 : 96% Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase
Status generalis: (-)
Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra
(-) (-/-)
Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-),
(-/-) wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Hidung : Nafas cuping hidung (+) Abdomen: Supel, BU (+)N,
Toraks: Retraksi (+/+), SNV (+/+), rh Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) <2 detik,
Abdomen: Supel, BU (+)N, Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas atas: AH (-/-), OE (-/-) CRT CRT < 2 detik
>2 detik, Kebutuhan Cairan : 336 cc/hari
Ekstremitas bawah: AH (-/-), OE (-/-)
Kebutuhan Na+ : 14,2 cc/24 jam
CRT > 2 detik.
Kebutuhan K+ : 3,5cc/24jam
Kebutuhan Cairan : 300 cc/hari Terpasang CPAP PEEP 6, FiO2 30%
A Obs Neonatal Infeksi A Klinis sepsis Meningitis?
Obs Ikterik usia 5 hari Hiperbilirubinemia
N. aterm Hipoklorida
Neonatal aterm
P IVFD loading KaEN 1B 20 cc P Terpasang CPAP dengan PEEP 6 FiO2
Inj Gentamycin 2 x 6 mg
Phenobarbital 2 x 10 mg/kgBB
Neo K 1x1mg
Diet peroral 8 x 20 cc
4 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R. 5 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R.
Dahlia) Dahlia)
Hari Perawatan ke-2 Hari Perawatan ke-3
S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB
(+), BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru (+), BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru
(-), ASI (+), R.Hisap (+) (-), ASI (-), R.Hisap (-) OGT
O KU: Compos mentis, menangis kurang O KU: Compos mentis, tampak sakit
kuat, gerak aktif (+), ikterik (+) ringan
TTV: HR 124x/m,RR 36,2x/m, S 36,20C, TTV: HR 130x/m,RR 38x/m, S 36,70C
SpO2 : 99% Status generalis:
Status generalis: Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase
Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase (-)
(-) Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra
Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra (-/-)
(-/-) Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-),
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N,
Abdomen: Supel, BU (+)N, Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik,
<2 detik, Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik
CRT < 2 detik. Kebutuhan Cairan : 393 cc/hari
Kebutuhan Cairan : 350 cc/hari
Kebutuhan Na+ : 13,2 cc/24 jam
Kebutuhan Na+ : 14,4 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3cc/24 jam
+
Kebutuhan K : 3,6 cc/24 jam
Diuresis : 6,2 cc/KgBB/jam
Diuresis : 5,6 cc/KgBB/jam
CT-SCAN : SAH
Terpasang O2 low flow 1 lpm
A Neonatal Aterm A SAH
Klinis sepsis Cholestasis
Cholestasis Neonatal Aterm
P O2 low flow P O2 low flow
Inj Gentamycin 2 x 6 mg
Phenobarbital 2 x 10 mg/kgBB
Diet peroral 8 x 20 cc
Po Seques 3 x 1/5
Po Estazon 3 x
Inj neo K 1 x 1 mg
6 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R. 7 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R.
Dahlia) Dahlia)
Hari Perawatan ke-4 Hari Perawatan ke-5
Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB (+), S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB (+),
BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru (-), BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru (-),
ASI (+), R.Hisap (-) OGT ASI (-), R.Hisap (-) OGT
KU: Compos mentis, menangis kuat, O KU: Compos mentis, menangis kuat,
gerak aktif (+), ikterik (+) KII gerak aktif (+), ikterik KII
TTV: HR 140x/m,RR 36x/m, S 36,60C, TTV: HR 130x/m,RR 38x/m, S 36,70C
SpO2 : 99% Status generalis:
Status generalis: Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase
Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase (-)
(-) Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra
Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra (-/-)
(-/-) Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-),
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N,
Abdomen: Supel, BU (+)N, Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik,
<2 detik, Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik
CRT < 2 detik. Kebutuhan Cairan : 390 cc/hari
Kebutuhan Cairan : 390 cc/hari
Kebutuhan Na+ : 13,3 cc/24 jam
+
Kebutuhan Na : 13,3 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam
Diuresis : 6,2 cc/KgBB/jam
Diuresis : 5,6 cc/KgBB/jam
Terpasang o2 low flow
Terpasang O2 low flow 1 lpm
SAH A SAH
Cholestasis Cholestasis
Neonatal Aterm Neonatal Aterm
O2 low flow P O2 low flow
8 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R. 10 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R.
Dahlia) Dahlia)
Hari Perawatan ke-6 Hari Perawatan ke-8
Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB (+), S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB (+),
BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru (-), BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru (-),
ASI (+), R.Hisap (+) ASI (+), R.Hisap (+)
KU: Compos mentis, menangis kuat, O KU: Compos mentis, menangis kuat,
gerak aktif (+), ikterik (+) KII gerak aktif (+), ikterik KII
TTV: HR 140x/m,RR 26x/m, S 36,60C, TTV: HR 130x/m,RR 38x/m, S 36,70C
SpO2 : 99% Status generalis:
Status generalis: Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase
Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase (-)
(-) Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra (-/-)
(-/-) Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-),
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N,
Abdomen: Supel, BU (+)N, Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik,
<2 detik, Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik
CRT < 2 detik. Kebutuhan Cairan : 405 cc/hari
Kebutuhan Cairan : 405 cc/hari
Kebutuhan Na+ : 13,3 cc/24 jam
Kebutuhan Na+ : 13,3 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam
Diuresis : 7,1 cc/KgBB/jam
Diuresis : 7,3 cc/KgBB/jam
SAH A SAH
Cholestasis Cholestasis
Neonatal Aterm Neonatal Aterm
O2 low flow P O2 low flow
Observasi TTV
\ 11 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB \ 12 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB
(R.Dahlia) (R.Dahlia)
Hari Perawatan ke-9 Hari Perawatan ke-10
Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB
S (+), BAK (+), pucat (-), kuning (-), biru (+), BAK (+), pucat (-), kuning (-), biru
(-), ASI (+), R.Hisap (+) (-), ASI (+), R.Hisap (+)
O KU: Compos mentis, tidak tampak sakit, O KU: Compos mentis, tidak tampak sakit,
ikterik (-) gerak aktif, menangis kuat ikterik (-) gerak aktif, menangis kuat
TTV: HR 132x/m,RR 39x/m, S 36,60C TTV: HR 132x/m,RR 39x/m, S 36,60C
Status generalis: Status generalis:
Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase
(-) (-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-) (-/-)
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-), Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-),
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N Abdomen: Supel, BU (+)N
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik. <2 detik.
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik. CRT < 2 detik.
Kebutuhan Cairan : 400 cc/KgBB Kebutuhan Cairan : 400 cc/KgBB
Kebutuhan Na+ : 13,3 cc/24 jam Kebutuhan Na+ : 13,3 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam
Diuresis : 2,9 cc/KgBB/jam Diuresis : 2,9 cc/KgBB/jam
A SAH A SAH
Cholestasis Cholestasis
N. aterm N. aterm
P O2 kalau perlu P ACC pulang
Diet ASI 12 x 20 30 ml
Latihan minum
Terapi lanjut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kejang
2.1.1 Definisi
Kejang didefinikan secara klinis sebagai perubahan paroksismal dari fungsi
neurologis seperti fungsi kebiasaan, motorik atau otonom. Neonatal adalah bayi dengan
kelahiran berumur kurang dari 28 hari.1-,3
2.1.2 Epidemiologi
Karena sampai sekarang sangat sulit untuk mempelajari dan mengenal secxara pasti
bangkitan kejang pada neonatus, insidensi dan prevalensi yang pasti sampai sekarang belum
diketahui. Sulitnya mempelajari hal tersebut dikarenakan banyak kejadian kejang pada
neonatus yang tidak disertai manifestasi klinis yang jelas. Meskipun demikian, menurut buku
neonatologi IDAI, perkiraan angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2 setiap
1000 neonatus setiap tahun, sedang pada literatur lain menyebutkan 1-5% bayi pada bulan
pertama mengalami kejang. Insidensi meningkat kelahiran bayi kurang bulan sebesar 57.5-
132 dibanding bayi cukup bulan sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada
kepustakaan lain menyebutkan insidensi 20% pada bayi kurang bulan dan 1.4% pada bayi
cukup bulan. Sekitar 70-80% neonatus secara klinis tidak tampak kejang, namun pada
elektrografik tampak gambaran masih kejang.3
Menurut data data dari Queensland Maternity and Neonatal clinical guideline, kejang
sangat sering terjadi dengan perkiraan 70% dari bayi kurang bulan dengan pendarahan
intraventriikular atau leukomalasia periventricular. Kejang biasanya dikenali lebih sering
dengan penggunaan monitor EEG berkelanjutan.4
2.1.3 Etiologi
Ada banyak penyebab kejang pada neonatus, menurut buku IDAI dan Averys
neonatology, ada beberapa penyebab utama kejang neonatus, yaitu :
PENYEBAB KETERANGAN
Ensefalopati Penyebab paling sering pada bayi cukup bulan (40-60%) dan
iskemik hipoksik merupakan penyebab utama dari perkembangan bayi yang buruk
Biasanya timbul dalam 24 jam
Sulit dikontrol dengan medikamentosa
Pendarahan Pendarahan intraventrikular
intrakranial Pendarahan intracerebral
Pendarahan subdural
Pendarahan subarachnoid
Infeksi SSP Meningitis bakteri
Meningitis virus
Encephalitis
Intrauterine (TORCH) infections
Bakteri patogen yang paling sering dari streptokokus grup B,
escherichia coli, listeria, staphyloccocus
Stroke perinatal Oklusi arteri atau thrombosis vena dapat menyebabkan stroke
Insidensi 1 per 4000
Metabolik Hipoglikemia
Hipokalsemia
Hipomagnesaemia
Hipo/hipernatremia
Ketergantungan pyridoxine
Kelainan Merupakan penyebab yang jarang ditemukan, namun tetap
metabolik membutuhkan perhatian khusus untuk menemukan penyebab
bawaan yang dapat di tangani
Putus obat ibu
Kelainan otak Anomali kromosom
kongenital Anomali otak kongenital
Kelainan neuro-degeneratif
Kejang neonatus Biasanya timbul sebagai kejang tonik atau klonik pada hari ke 2
familial jinak atau ke 3
Kejang hari Dengan nama lain kejang neonatus jinak idiopatik
kelima Biasanya hilang pada hari ke 15, penyebab tidak diketahui
3. Perdarahan periventrikular/intraventrikular
Manifestasi klinis pperdarahan intraventrikuler tergantung pada seberapa beratnya
penyakit dan saat dimulainya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma atau
asfiksia biasanya timbul pada hari pertama dan kedua. Pada bayi kurang bulan
dapat timbul gejala seperti gangguan napas, kejang tonik umum, pupil terfiksasi
kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam. Pada bayi
cukup bulan biasanya ditemukan riwayat intrapartum misalnya trauma, pasca-
pemberian cairan hpertonik secara cepat terutama natrium bikarbonat dan asfiksia.
Manifetasi klinis yang timbul biasanya bervariasi mulai dari asimtomatik sampai
gejala yang hebat. Gejala neurologis yang paling sering ditemui adalah kjang yang
bersifat fokal, multifokal atau umum.
2.1.4 Patogenesis
Neuron di dalan sistem syaraf pusat mengalami depolarisasi sebagai hasil dari
perpindahan natrium ke arah dalam. Repolarisasi terjadi melalui keluarnya kalium. Kejang
terjadi apabila timbul depolarisasi yang berlebihan, sehingga terbentuk gelombang listrik
yang berlebihan. Volpe (2001) menjelaskan 4 kemungkinan alasan terjadinya depolarisasi
berlebihan1 :
Kegagalan dari pompa natrium kalium dikarenakan terganggunya produksi
energi.
Terjadinya kelebihan relatif dari neurotransmiter eksitatorik melawan
inhibitorik
Adanya kekurangan relatif dari neurotransmiter inhibitorik melawan
eksitatorik
Perubahan dari membran neuron, menyebabkan inhibisi dari pergerakan
natrium.
Perubahan fisiologispada saat kejang berupa penurunan kadar glukosa otak yang
tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai
peningkatan laktat. Hal ini merupakan refleksi dari kebutuhan otak yang tidak dapat dipenuhi
secara adekuat. Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak sangat esensial untuk mencukup
kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Laktat terkumpul dan berakumulasi selama terjadi
kejang, sehingga PH arteri menurun dengan cepat. Hal inimenyebabkan tekanan darah
sistemik meningkat dan aliran darah ke otak naik.
Terjadinya kejang yang multifokal atau adanya perilaku yang tidak biasa berhubungan
pada kejang pada neonatus, merupakan efek dari mielinasi struktur kortikal dan subkortikal
yang masih sangat minim.
Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat dari sejak baru lahir sampai 2 tahun
yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan sinaps dan kepadatan dendrit pada
sunsum tulang belakang terjadi sangat aktif pada sekitar kehamilan sampai bulan pertama
setelah kelahiran. Pada saat baru lahir, merupakan periode tertinggi dari aktifitas eksitasi
sinaps fisiologis dan sinaptogenesis yang terjadi pada saat ini sepenuhnya bergantung pada
aktifitas. Selain itu, menurut penelitian, pada periode ini keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi pada sinaps cenderung mengarah pada eksitasi untuk memberi jalan pada
pembentukan sinaps yang bergantung pada aktifitasnya5.
Beberapa mekanisme penting sehubungan dengan terjadinya kejang pada neonatus
adalah :
1. Peningkatan eksitabillitas pada neonatus
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada otak tikus yang diketahui homolog
dengan otak manusia, didapatkan bahwa jumlah neurotransmiter seperti glutamate, -
amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan N-methyl-D-
aspartate (NMDA) meningkat tajam pada 2 minggu awal kelahiran untuk membantu
pembentukan sinaps yang bergantung pada aktifitasnya5. Selain itu, pada periode ini
merupakan saat sesnsitifitas terhadap magnesium di titik terendah. Magnesium
merupakan penghalang reseptor endogen alamiah. Sehingga berdampak pada
meningkatnya eksitabilitas otak bayi.
2. Penurunan efektifitas inhibisi neurotansmiter pada otak imatur
Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang secara
perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan, fungsi pengikatan reseptor
GABA, pembentukan enzym dan ekspresi dari reseptor lebih rendah pada masa-masa
awal kehidupan5. Sehingga dengan hubungannya terhadap aktifitas sel syaraf pada
neonatus yang lebih mengakomodasi aktifitas eksitabilitas, hal ini mendukung
terjadinya kejang.
3. Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal kehidupan
Regulasi kanal ion juga mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor
neurotransmiter, regulasinya terbentuk dan berkembang perlahan-lahan. Seperti yang
terjadi padamutasi kanal ion K+ (KCNQ2 dan KCNQ3) yang berhubungan dengan
terjadinya kejang neonatus familial jinak, menyebabkan proses hiperpolarisasi K +
yang berakibat terjadinya penembakan potensial aksi yang berulang dengan cepat.
2.1.5Awitan kejang
Awitan kejang yang terjadi pada kejang demam biasanya dimulai antara 12 hingga 48
jam setelah lahir, bayi jarang mengalami kejang saat berada di ruang bersalim. Penelitian
pada binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik
iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran glutamat
pada saat fase reperfusi sekunder3. Keadaan yang sama terjadi pada bayi. Kejang onset lanjut
memberi kesan adanya meningitis, kejang familial benigna atau hipokalsemia
2.1.6Diagnosis.
Diagnosis kejang pada neonatus harus dimulai dengan pemeriksaan menyeluruh
terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik. Data-data penting seperti riwayat penyalahgunaan
narkotika dan pemakaian obat yang salah pada saat kehamilan, infeksi intrauterus, dan
kondisi metabolik harus dicatat dengan baik dan didapat langsung dari ibu sedetail mungkin.
Adapun yang penting dicari melalui anamnesis adalah3 :
Faktor resiko :
Riwayat kejang dalam keluarga
o Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa neonatus pada anak
sebelumnya atau bayi meninggal pada masa neonatal tanpa diketahui
penyebabnya.
Riwayat kehamilan /prenatal
o Infeksi infeksi yang terjadi pada waktu hamil
o Preeklampsia, gawat janin
o Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
o Imunisasi anti tetanus, rubela
Riwayat persalinan
o Asfiksia, episode hipoksik
o Trauma persalinan
o Ketuban Pecah Dini
o Anestesi lokal/blok
Riwayat pascanatal
o Infeksi neonatus, keadaan bayi tiba-tiba memburuk
o Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
o Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
o Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena prosedur perawatan
o Waktu atau awitan kejang mungkin terjadi berhubungan dengan etiologi
o Bentuk gerakan abnormal yang terjadi
Manifestasi klinik
Kejang neonatus bisa timbul dalam beberapa tipe yang mungkin terlihat
bersamaan selama beberapa jam. Kejang diklasifikasikan menurut manifestasi klinis
yang timbul
Proporsi dari kejang
Tipe kejang Tanda klinis
neonatus
Subtle o 10-35% tergantung o Mata- melotot, mengedip,
maturitas4 deviasi horizontal
o Lebih sering pada o Oral- Mencucu, mengunyah,
bayi cukup bulan menghisap, menjulurkan lidah
o Terjadi pada bayi o Ekstremitas- memukul, gerak
dengan gangguan seperti berenang, mengayuh
SSP berat pedal
o Otonomik- apneu, takikardia,
tekanan darah tidak stabil
4
Klonik o 50% o Biasanya dalam keadaan sadar
o Lebih sering pada o Gerak ritmik (1-3/detik)
bayi cukup umur o Fokus organ lokal atau 1 sisi
wajah atau tubuh. Mungkin
merupakan fokal neuropathy
yang tersembunyi
o Multifokal irregular,
terpotong-potong
Tonik 20%4 Mungkin meliatkan 1 bagian
Lebih sering pada ekstremitas atau seluruh tubuh
bayi preterm Ekstensi generalisata dari
bagian tubuh atas dan bawah
dengan postur opisthotonic
Mioklonik 5%4 Sentakan cepat terisolasi
(membedakan dari mioklonik
neonatus jinak)
Fokal (1 bagian ekstremitas)
atau multifokal (beberapa
bagian tubuh)
Ditemukan pada putus obat
(terutama gol. opiat
Harus dibedakan antara kejang dan gejala lain yang menyerupai kejang seperti
fenomena mioklonik fisiologik yang dikenal dengan nama mioklonik jinak pada neonatus.
Yang biasa terjadi pada keadaan tidur aktif (REM). Selain itu fenomena lain yang penting
adalah jitteriness.Jitteriness adalah gangguan dalam pergerakan yang biasanya dihubungkan
dengan hasil yang baik2. Jitteriness jinak biasanya hilang dengan sendirinya dalam beberapa
minggu. Adapun perbedaan antara kejang dan jitteriness adalah :
Tanda Jitteriness Kejang
Membutuhkan pemicu Ya Tidak
Gerakan predominan Cepat, tremor, berosilasi Tonik, klonik
Gerakan hilang jika tubuh Ya Tidak
disentuh
Kesadaran Bangun atau tertidur Terganggu (penurunan
kesadaran)
Deviasi mata Tidak Ya
Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan fisis lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologis, dilakukan
secara sistematik dan berurutan. Kadang pemeriksaan neurologi saat kejang dalam batas
normal, namun demikian bergantung penyakit yang mendasarinya sehingga neonatus yang
mengalami kejang perlu pemeriksaan fisis legkap secara sistematis dan berurutan :
1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi, bila mungkin melihat sendiri
manifestasi kejang yang terjadi. Dengan mengetahui bentuk kejang, kemungkinan
penyebab dapat ditemukan
2. Neonatus yang mengalami kejang biasanya tampak sakit. Kesadaran yang tiba-tiba
menurun berlanjut dengan hipoventilasi dan berhentinya pernapasan, kejang tonik,
posisi serebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif dan terdapat kuadriparesis
flaksid, dicurigai terjadinya perdarahan intravetrikular.
3. Pantau perubahan tanda vital dengan melihat tanda seperti sianosis dan kelainan
pada jantung atau pernapasan sehingga dapat dicurigai kemungkinian adanya
iskemia otak.
4. Pemeriksaan kepala untuk mencari kemungkinan adanya fraktur, depresi atau
moulding yang berlebihan karena hal-hal seperti trauma. Ubun-ubun besar yang
tegang dan menonjol menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
disebabkan oleh perdarahan subaraknoid atau subdural serta kemungkinan adanya
meningitis
5. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau
subhialoid yang merupakan manifestasi patognomonik untuk hematoma subdural.
Dapat ditemukan korioretinitis pada toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan
rubela.
6. Pemeriksaan tali pusat untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda infeksi, berbau
busuk, atau aplikasi dengan bahan tidak steril pada kasus yang dicurigai spasme
atau tetanus neonatorum.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium, harus digunakan
informasi yang didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan jasmani dengan baik untuk
mencari penyebab yang lebih spesifik
Kimia darah
Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan magnesium pada darah
serta analisa gas darah harus dilakukan.
2.1.7Tatalaksana
Manajemen
Tatalaksana kejang pada neonatus bertujuan untuk meminimalisir gangguan fisiologis
dan metabolik serta mencegah berulangnya kejang. Ini melibatkan bantuan ventilasi dan
perfusi, jika dibutuhkan, dan koreksi keadaan hipoglikemia, hipocalcemia atau gangguan
metabolik lainnya.
Kebanyakan bayi diterapi dan dimonitor hanya berdasarkan pada diagnosis klinis saja,
tanpa melibatkan penggunaan EEG. Penggunaan EEG yang kontinyu menunjukkan bahwa
masalah pada kejang elektrografik adalah sering menetapnya kejang walaupun setelah
dimulainya terapi anti konvulsi.
-Fenitoin
Fenitoin
Dosis dan administrasi Dosis awal :
- 15-20 mg/kg IV kecepatan infus maksimum
0.5 mg/kg/menit(jika melalui IV)
- IV atau oral
- Setelah dosis awal : 4-8 mg/kg perhari
- Setelah umur 1 minggu : dosis sampai 8
mg/kg/kali 2 sampai 3 kali sehari
Keterangan Tidak cocok dengan pemberian intra muskular
Pastikan keutuhan dari pembuluh darah karena
adanya resiko radang jaringan dan nekrosis apabila
terjadi ekstravasasi
Berikan dengan menggunakan filter dan diikuti
bolus Nacl 0.9%
Berikan perlahan-lahan secara intravena untuk
mencegah terjadinya aritmia jantung
Monitor heart rate dan ritme dan tekanan darah
untuk mengetahui apabila ada hipotensi
Jangkauan level terapeutik
- Ukur konsentrasi dalam darah setelah
pemberian dosis awal intravena
- 6-15 mikrogram/mL pada minggu-minggu awal
kehidupan dilanjutkan 10-20 mikrogram/mL
-Midazolam
Midazolam
Dosis dan 0.15 mg/kg IV minimal selama 5 menit
administrasi Infus :
60-400 mikrogram/kg/jam
Rekonstitusi dan dilusi
Dilusi 1 mg/kg midazolam sampai dosis
total 50 mL dengan Nacl 0.9%, glukosa
5% atau 10%
1 ml/jam = 20 mikrogram/kg.jam
Keterangan Efektif pada bayi yang tetap kejang setelah diberikan
fenobarbital dan/atau fenitoin
Dapat menyebabkan depresi respiratorik dan
hipotensi jika disuntikkan dengan cepat atau
diberikan bersamaan dengan obat golongan
narkotika
Obat-obatan lain
Ada beberapa laporan penggunaan obat-obatan lain dalam menangani kejang pada
neonatus. 1 yang paling diterima secara antusias adalah levetiracetam. Levetiracetam telah
digunakan walaupun masih sedikit catatan mengenai percobaan obat ini terhadap neonatus.
Obat ini tidak memiliki interaksi dengan obat lain. Obat ini tersedia sebagai solusi oral,
sehingga memudahkan konversi ke terapi oral. Obat ini dimetabolisme di ginjal, bukan di
hati. Mekanisme yang diketahui saat ini tidk secara langsung melalui inhibisi atau eksitasi
neutransmisi7. Dilaporkan beberapa asus yang mengindikasikan efektifitas dan efek samping
serius. Dosis yang biasa digunakan adalah diantara 10-50 mg/kg7 dan dosis rumatan harian
dengan jumlah yang sama.
2.1.8 Prognosis
Menurut buku neonatus IDAI, Kejang pada neonatus dapat mengakibatkan kematian,
atau jika hidup dapat menderita gejala sisa atau sekuele3
Prognosis jangka panjang sesudah kejadian kejang pada bayi berat lahir rendah seperti
pada bayi berat lahir normal berhubungan langsung dengan penyebabnya.
Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian yang
tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung semakin tinggi risiko kerusakan
pada otak dan berdampak pada terjadinya kelainan neurologik lanjut (misalnya cerebral palsy
dan retardasi mental).
2.2 Kolestasis
2.2.1 Definisi
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam
jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat
yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan kolesterol di dalam
darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North American Society for Pediatric
bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila
kadar dari bilirubin total lebih dari 5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin
2.2.2 Epidemiologi
Kasus kolestasis yang dijumpai pada masyarakat jika dibandingkan antara laki-laki dan
perempuan dan bayi laki-laki adalah 2:1 (Benchimol dkk., 2009; Nazer, 2010).
Kolestasis dapat terjadi pada semua orang tanpa dibatasi usia, tetapi bayi-bayi yang baru
lahir masih merupakan golongan usia yang paling sering mengalami kolestasis. Kejadian
kolestasis meningkat pada bayi-bayi dengan usia kehamilan kurang bulan dan bayi berat lahir
rendah, karena berhubungan dengan gangguan dari fungsi hati. Faktor risiko lain yang
berhubungan dengan kolestasis adalah: bayi-bayi yang mengalami sepsis berulang dan
Berdasarkan penelitian yang ada, diperoleh data insiden kolestasis sebagai berikut:
kolestasis + 1:2.500 kelahiran hidup, atresia billier 1:19.065 kelahiran hidup. Rasio atresia
bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Penelitian yang dilaksanakan di
King College Hospital England antara tahun 1970-1990, melaporkan penyebab kolestasis
dapat dirinci sebagai berikut: atresia bilier sebanyak 35%, hepatitis neonatal 30%, defisiensi
-1 antitripsin 17%, sindroma Alagille 6%, kista duktus koledokus 3% (Benchimol dkk.,
Penelitian di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo (Surabaya) antara tahun 1999-
2004, dari 19270 penderita rawat inap didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis.
Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5 (5,2%), kista
2.2.3 Klasifikasi
a. Kolestasis intrahepatik
intrahepatik merupakan 68% dari kasus kolestasis. Kolestasis intrahepatik terjadi karena
kelainan pada hepatosit atau elemen duktus biliaris intrahepatik. Hal ini mengakibatkan
terjadinya akumulasi, retensi serta regurgitasi bahan-bahan yang merupakan komponen
empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma, dan selanjutnya
pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan
b. Kolestasis ekstrahepatik
Kolestasis ekstrahepatik merupakan 32% dari kasus kolestasis dan sebagian besar adalah
atresia bilier. Kolestasis ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik. Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah proses imunologis, infeksi virus
terutama Cytomegalo virus, Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan
genetik. Akibat dari penyebab tersebut maka akan terbentuk kelainan berupa nekroinflamasi,
yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik
Atresia bilier merupakan salah satu contoh kolestasis ekstrahepatik dan merupakan
penyebab yang paling sering ditemukan. Deteksi dini kolestasis ekstrahepatik yang
disebabkan oleh atresia bilier merupakan langkah yang sangat penting, karena metode
biasa dikenal dengan nama operasi Kasai, operasi ini kurang efektif apabila umur pasien
2.2.4 Etiologi
2.2.5 Patogenesis
Kolestasis intrahepatik diakibat oleh gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu
akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya di
dalam hati. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai
+ + +
a. Gangguan transporter (Na K ATP-ase dan Na bile acid co-transporting protein
NCTP)
b. Berkurangnya transport intraseluler yang diakibatkan oleh perubahan keseimbangan
c. Sekresi asam empedu primer yang berkurang atau terbentuknya asam empedu atipik
hati.
Bayi ikterus sampai usia dua minggu pada umumnya disebabkan oleh peningkatan
bilirubin indirek dan mencapai kadar puncak pada usia 5-7 hari. Bayi yang mengalami
peningkatan kadar biliribin direk akan mengalami ikterus setelah usia dua minggu.
Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit dan
mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin berwarna lebih gelap,
tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul (akholik) (Arief, 2012;
Oswari, 2014).
tumbuh, dan wajah dismorfik. Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan kolestasis
atau kelainan hati yang berat, perdarahan oleh karena defisiensi vitamin K,
2.2.7 Diagnosis
Kolestasis dicurigai apabila terdapat warna ikterus pada kulit atau mukosa yang tidak
menghilang setelah minggu ke-3 kehidupan, pada bayi kurang bulan dan lebih dari dua
2.2.7.1 Anamnesis
Riwayat ikterus lebih dari 14 hari, keluarga pasien yang menderita kolestasis, lahir
prematur atau berat lahir rendah, riwayat kehamilan dengan infeksi TORCH, hepatitis B,
infeksi intrapartum, pemberian nutrisi parenteral, sepsis dan ISK. Bayi dengan atresia bilier
biasanya lahir dengan berat badan yang normal, sedangkan pada bayi dengan kolestasis
Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan kolestasis, dan
merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada umumnya gejala ikterik akan
muncul pada pasien apabila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl (Girard dan Lacaille, 2008;
kosistensi hepar keras, tepi tajam, dan permukaan noduler, hal tersebut dapat diperkirakan
hepar sudah mengalami fibrosis atau sirosis. Hepar yang teraba pada daerah epigastrium
maka dapat dicerminkan sebagai sirosis. Rasa nyeri tekan pada palpasi merupakan
mekanisme peregangan dari kapsula Glissoni yang disebabkan karena edema. Pasien dengan
kolestasis dapat dijumpai juga adanya splenomegali, perdarahan yang disebabkan oleh
defisiensi vitamin K, urin berwarna gelap seperti teh, tinja warnanya pucat (akholik), sampai
bisa didapatkan pasien dengan gagal tumbuh (Kader dan Balistreri, 2011; Arief, 2012).
Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk mengetahui tipe kolestasis. Pada
A. Pemeriksaan laboratorium
billirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau
kadar billirubun direk lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5
mg/dl.
b. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT <5 kali,
gamma GT >5 kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.
c. Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal ini
menunjukkan adanya proses infeksi.
mengalami kolestasis.
g. Kadar gula darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk mendeteksi kelainan
Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3 porsi (dilihat
tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu
menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik (Girard dan Lacaille, 2008; Tufano dkk.,
Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang berwarna gelap kemudian
setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul tiga sampel. Apabila dalam beberapa hari
pemeriksaan didapatkan hasil tinja yang berwarna dempul, maka kemungkinan besar pasien
B. Ultrasonografi
mendeteksi kolestasis pada pasien. Dengan pemeriksaan USG dapat diketahui ukuran,
keadaan hati, dan kandung empedu. Pemeriksaan ini relatif murah harganya dengan teknik
yang sangat sederhana, serta efektifitasnya mencapai 80%. Ultrasonografi dapat mendeteksi
adanya tanda triangular cord dibagian atas percabangan vena porta. Ultrasonografi memiliki
sensitivitas 85%,
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG pasien harus dipuasakan minimal selama 4 jam.
Kemudian, setelah pemeriksaan USG yang pertama pasien diberikan minum dan diperiksa
USG kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan tampak 1,5 cm, sedangkan pada
60% pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan tampak (Bisanto, 2011).
Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik, pada saat pasien dipuasakan akan terlihat
kandung empedu yang normal dan pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga mudah
terlihat dengan pemeriksaan USG. Setelah pasien diberikan minum, kandung empedu akan
mengalami kontraksi sehingga ukurannya akan lebih kecil dan tidak terlihat dengan
pemeriksaan USG. Kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier terjadi karena
adanya proses obstruksi di hati, sehingga pada saat pasien dipuasakan kandung empedu tidak
dapat dilihat dengan pemeriksaan USG. Keadaan lain yang mengarah kemungkinan atresia
bilier, apabila saat puasa kandung empedu terlihat ukurannya kecil dan setelah diberikan
C. Biopsi hati
Biopsi hati merupakan cara yang paling akurat untuk mendiagnosis bayi dengan
hati. Pada atresia bilier dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile plug,
portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada pasien dengan hepatitis neonatal idiopatik
dengan metode ini akan didapatkan gambaran pembengkakan sel difus, transformasi giant
D. Kolangiografi intraoperatif
Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak selalu dikerjakan pada kolestasis, karena
merupakan prosedur yang sulit dan berbahaya, tetapi tingkat akurasinya sangat tinggi sekitar
intraoperatif sangat tergantung terhadap hasil histopatologi hati. Apabila dari hasil
histopatologi hati mengarah pada atresia bilier atau hasil yang diperoleh masih belum bisa
untuk menyingkirkan atresia bilier, maka diperlukan tindakan laparatomi eksplorasi. Pada
saat dilakukan laparatomi, pemeriksaan langsung terhadap keadaan kandung empedu dan
sistem bilier sangat diperlukan untuk melihat adanya obstruksi pada sistem bilier (Oswari,
Kolestasis yang disebabkan oleh atresis bilier, kandung empedunya terlihat kecil dan
fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Kolangiografi dilakukan untuk
menentukan patensi sistem bilier, sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke kandung empedu,
kemudian disuntikan zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi untuk menentukan
luasnya obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi yang umum dipakai adalah
menurut Japanese Society Of Pediatric Surgeon, yang membagi keadaan ini menjadi 3 tipe.
Tipe 1 atresia meliputi terutama duktus biliaris komunis, tipe 2 atresia bilier naik sampai
keduktus hepatikus komunis dan tipe 3 atresia bilier mengenai seluruh sistem bilier
2.1.8 Penatalaksanaan
Secara garis besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:
yang disebabkan oleh atresia bilier, tindakan operasi Kasai dan transpalantasi hati merupakan
cara yang efektif untuk tata laksananya. Tindakan operasi Kasai efektif bila dikerjakan pada
umur <6 minggu dengan angka keberhasilan mencapai 80-90%, apabila dilakukan pada umur
10-12 minggu angka keberhasilannya hanya sepertiga saja. Tata laksana kolestasis
intrahepatik dengan medikamentosa sesuai dengan penyebab merupakan tata laksana yang
perkembangan seoptimal mungkin. Tata laksana suportif meliputi: (Oswari, 2007; Putra dan
A. Medikamentosa
a. Asam ursodeoksikolat
Obat ini umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang
b. Kolestramin
Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi sirkulasi
B. Nutrisi
Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis. Penurunan
eksresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan
absorbsi trigliserid rantai panjang. Bayi dengan kolestasis membutuhkan asupan kalori yang
lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. Untuk menjaga tumbuh
kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi, digunakan formula khusus dengan
jumlah kalori 120-150% dari kebutuhan normal serta vitamin, mineral dan trace element:
normal sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein 2-3 gr/kgbb/hari.
C. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama penderita dengan kelainan hati
yang progresif yang memerlukan transplantasi hati (Oswari, 2007; Putra dan Karyana,
2.2.9 Prognosis
Prognosis pasien kolestasis sangat tergantung dari jenis kolestasis. Prediktor untuk
prognosis buruk adalah: ikterus hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul,
riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten, dan terdapatnya inflamasi hebat
pada hasil biopsi hati. Pada pasien atresia bilier ada beberapa faktor yang berpengaruh untuk
hasil yang baik, diantaranya: pengalaman operator, sentral rujukan, luasnya kerusakan hati
pada saat operasi dan frekuensi kolangitis. Pada sindrom hepatitis neonatal akibat infeksi
mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan atresia bilier atau sindrom hepatitis
neonatal akibat metabolik maupun genetik. Hal ini dihubungkan dengan tersedianya
antimikroba spesifik. Angka kesembuhan kolestatik intrahepatik akibat infeksi berkisar 60-
DAFTAR PUSTAKA
1. Antonius H. Pudjiadi et al. Kejang dan spasme pada neonatus dalam pedoman
pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi II. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indoneisa 2011; p 155-160.
2. Ghomela, Tricia.Lange Neonatology : Management, Procedures, On-Call Problems,
Diseases, Drugs.2004. edisi 5. New York : The Mcgraw-Hills
3. Gordon B. Avery, Mhairi G. MacDonald, Mary M. K. Seshia, Martha D. Mullett,
M.D.Averys neonatology : Pathophysiology And Management Of The
Newborn.2005. edisi 6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
4. Kosim M. Sholeh,Ari Yunanto, Rizalya Dewi, Gatot Irawan Santosa, Ali Usman.Buku
Ajar Neonatologi. 2010. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
5. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline.2001-
2011.Queensland(Australia): Queensland Goverment. 2011
6. Jensen MD, Frances. Neonatal Seizures : An Update on Mechanisms and
management. Clin Perinatol. 2009; 36(4): 881
7. Olson MD, Donald. Neonatal Seizures. Neoreviews 2012; 13; e213
8. Lissauer T, Fanaroff AA. At a Glance: Neonatologi. In: Safitri, Amalia (editors).
Jakarta: Balai Penerbit Erlangga; 2009.p.96-9
9. Duke T, Kelly J, Weber M, English M, Campbell H. Hospital Care for Children in
Developing Country. Available at:
http://www.ichrc.org/sites/www.ichrc.org/files/Indonesia.pdf Accessed on: November
2016
10. Eric Gybson. Neonatal cholestasis. Available at
[http://www.merckmanuals.com/professional/pediatrics/perinatal-problems/neonatal-
cholestasis]. Accessed on November 2016.
11. Amy G, Ronald J. neonatal cholestasis. Available from
[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3827866/]. Accessed on November
2016.
12. Unknown. Air susu ibu dan ikterus. Available from
[http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-ikterus]. Taken on November
2016