You are on page 1of 52

LAPORAN KASUS ANAK

SEORANG ANAK DENGAN KEJANG DEMAM KOMPLEKS


DISERTAI BRONKOPNEUMONIA

Pembimbing :
dr. Raden Setiyadi Sp.A

Disusun oleh :
Sutrisuna
030.11.281

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 5 September 2016 12 November 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul


Seorang Bayi Laki-laki dengan Kejang ec Perdarahan Subarachnoid danCholestasis

Penyusun:
Sutrisuna
030.11.281

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 5 September 12 November
2016

Tegal, November 2016

dr. Raden Setiyadi, Sp.A

2
BAB I
STATUS PASIEN
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama : Sutrisuna Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A.
NIM : 030.11.281 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ibu Ibu
Nama By. V Ny I Tn. R
Umur 5 hari 33 tahun 29 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki
Alamat Pagedangan RT 03 / RW 01

Agama Islam Islam Islam


Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - S1 D3
Pekerjaan - Perhotelan Perhotelan
Penghasilan - Rp 5.000.000,- Rp 5.000.000, -
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi Umum
No. RM 845977
Tanggal masuk RS 2 Oktober 2016

II. ANAMNESIS

Data anamnesis diperoleh secara alloanamnesis kepada ibu pasien (Ny. PA, 33th) pada
tanggal 27 Januari 2017 di Ruang PICU RSU Kardinah pukul 15.00 WIB.
Keluhan Utama
Kejang

Keluhan Tambahan
Demam, Batuk, Pilek, Mencret, dan Tidak Nafsu Makan.

Riwayat Penyakit Sekarang

3
Pasien seorang anak berusia 5 hari datang dengan keluarga ke IGD RSUD Kardinah pada
tanggal 26 Januari 2017 dengan keluhan utama kejang sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit(SMRS).. Setelah kejang OS nampak tertidur dan tidak menangis. Sebelum kejang os
mengalami panas, batuk dan pilek 3 hari SMRS dan langsung dibawa ke Puskesmas keesokan
harinya, setelah berobat ke Puskesmas os diberi obat penurun panas dan kemudian turun, tetapi
os panas kembali saat menjelang malam hari. Ibu os kemudian membeli obat penurun panas ke
Apotik dan os diberi obat penurun panas tersebut kemudian panas os tidak turun tetapi seluruh
tubuh os tampak kaku.

Kejang terjadi pada seluruh tubuh, pada saat kejang kedua kaki dan tangan OS tampak
kaku tetapi mata tidak mendelik keatas. Kemudian OS dibawa ke klinik dokter terdekat dan os
hanya diberik kapas dan alkohol diketiak kemudian os cepat-cepat dirujuk ke Puskesmas dan
disana diberi obat yang ditaruh di dubur kemudian os tampak lemas dan tidak kejang lagi di susul
BAB. Menurut ibu os, os kejang selama 3 jam. Setelah kejang berhenti kemudian os dirujuk ke
RS Mardotillah dan disana os didiagnosis radang paru berat dan perlu dimasukkan ICU tetapi
ICU disana tidak ada dan os akhirnya dirujuk ke RSUD Kardinah. Ibu os menyangkal
sebelumnya ada keluar cairan dari telinga dan sakit kepala, ibu os juga menyangkal saat panas os
mencret, terdapat gusi berdarah dan mimisan tetapi os memang sulit makan dan minum.

Riwayat Penyakit Dahulu


Os tidak pernah mengalami hal serupa dan tidak pernah mengalami trauma kepala.

Riwayat Penyakit Keluarga


Menurut ibu os, saudara ibu os yakni adik ibu os mengalami hal serupa dan terjadi saat
usia 2 tahun dengan jumlah kejang 2x dalam hari yang sama.

Riwayat Lingkungan Rumah


Kepemilikan rumah yaitu rumah pribadi. Rumah berukuran 7 x 15 m, beratap genteng,
berlantai ubin, dan berdinding tembok. Dasar atap terpasang plafon. Kamar tidur berjumlah 2,
kamar mandi berjumlah 1, terdapat dapur dan ruang keluarga. Penerangan rumah bersumber

4
listrik dan dan air minum dari PAM. Jarak septic tankdengan rumah sekitar 10 meter. Limbah
rumah tangga tersalur di selokan di dalam rumah dengan aliran lancar. Selokan dibersihkan
sebulan sekali. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak dinyalakan pada
siang hari. Jika jendela dibuka maka udara dalam rumah tidak pengap.
Kesan : keadaan rumah dan ventilasi cukup baik, keadaan lingkungan rumah cukup baik.

Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah os bekerja sebagai buruh bangunan dan berpenghasilan 100.000/hari. Pendidikan
terakhir ayahnya adalah SMA sedangkan pendidian terakhir ibunya adalah SMP.
Kesan: riwayat sosial ekonomi kurang baik.

Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Ibu os berusia 32 tahun saat mengandung pasien. Ibu os rutin memeriksakan
kehamilannya secara teratur ke dokter speialis kandungan. Pada saat usia kandungan 7 bulan,
ibu os pernah di USG 1x dan ditemukan bahwa os terlilit tali pusat sebanyak 1x. namun,
keadaan os masih baik. Selama hamil kondisi ibu dan bayi dikatakan baik, mendapat suntikan
imunisasi TT 2 kali. Ibu tidak pernah mengonsumsi obat-obatan dan jamu selama hamil, tidak
merokok, tidak mengonsumsi alkohol, tidak pernah mengalami demam, sesak, muntah-muntah
atau penyakit lain selama kehamilan. Penyakit tekanan darah tinggi dan kencing manis selama
kehamilan disangkal. Riwayat penyakit jantung, asma, TB, perdarahan dan trauma disangkal.
Kesan: riwayat pemeliharaan prenatal baik.

Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran : Klinik Siti Hajar
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Per vaginam, secara spontan
Masa gestasi : 38 minggu pada G2P1A0
Air ketuban : keruh
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 2800 gram
Panjang badan lahir : 48 cm

5
Lingkar kepala : Ibu tidak tahu
Keadaan lahir : Langsung menangis kuat, tidak pucat, dan tidak biru
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Plasenta : Terdapat lilitan tali pusat pada saat kelahiran
Kelainan bawaan : Tidak ada
Air ketuban : Jernih
Suntik vit K : Ibu tidak tahu
Kesan: neonatus aterm, dengan lahir secara per vaginam, bayi dalam keadaan bugar.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan setelah kelahiran belum dapat dievaluasi.

Corak Reproduksi Ibu


Ibu P2A0, pasien merupakan anak kedua berjenis kelamin laki-laki, jarak antara anak
pertama dan kedua adalah 3 tahun.

Riwayat Keluarga Berencana


Ibu pasien mengaku saat ini tidak menggunakan kontrasepsi.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Pertumbuhan:
Berat badan lahir 2800 gram. Panjang badan lahir 48 cm, lingkar kepala 34cm

Perkembangan:
Riwayat perkembangan belum dapat dievaluasi

Riwayat Makan dan Minum Anak


Ibu memberikan ASI eksklusif.

Riwayat Imunisasi
VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN

6
(umur)
BCG - - - - - - -
DTP/ DT - - - - - - -
POLIO - - - - - - -
CAMPAK - - - - - - -
HEPATITIS B - - - - - - -

Kesan : os belum pernah diimunisasi apapun sejak lahir

Silsilah Keluarga

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan di Neonatal Intensive Care Unit RSU Kardinah Tegal pada
tanggal 4 September 2016 pukul 11.30 WIB.
A. Kesan Umum
a. Kesan Umum

7
Menangis : Kurang kuat
Gerak : Kurang aktif
Retraksi : (-)
Kejang : (-)
Sianosis : (-)
Pucat : (-)
Ikterik : (+)

B. Tanda Vital
Nadi : 124 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Laju nafas : 36 x/menit, reguler.
Suhu : 36,2C
Tekanan darah :-
SpO2 : 99%

C. Data Antropometri
Berat badan : 2545 gr
Tinggi badan : 48 cm
D. Status Generalis
Kepala : mesosefali, LK : 34 cm, UUB teraba datar, tegang (-), molase
(-), Kaput suksedaneum (-), sefal hematom (-)
Rambut : berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.
Wajah : Normal, simetris
Mata : Mata cekung (-/-), edema palpebra (-/-)
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)
: Katarak kongenital (-/-),glaukoma kongenital (-/-)
Hidung : bentuk simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping
hidung (-),
Telinga: bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-), recoil
(segera/segera)
Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-), trismus(-) Labioschizis (-),
palatoschizis (-)
Leher : Simetris, tumor (-), tanda trauma (-)
Kulit : warna kulit merah muda, lanugo (+) menghilang, turgor kulit
baik
Thorax :
Paru
Inspeksi : Bentuk dadasimetris kanan dan kiri

: Kulit merah muda, tidak ada efloresensi bermakna


: Sternum dan iga normal
: Retraksi subcostal (-)
: Gerak napas simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal
Palpasi : Simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal, Areola
mammae penuh, benjolan 5 mm
Perkusi : Pemeriksaan tidak dilakukan
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki basah halus(-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-),
gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : datar, tali pusat terawat
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, datar, distensi (-), turgor kulit baik
Perkusi : tidak dilakukan
Vertebrae : Spina bifida (-), meningocele (-)
Genitalia : jenis kelamin laki-laki, scrotum terisi,kulit scrotum kecoklatan
Anorektal : anus (+), diaper rash (-)
Ekstremitas : keempat ekstrimitas lengkap, simetris
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2 <2
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -

Refleks primitif

a) Refleks Oral
Refleks Hisap : (+)
Refleks Rooting : (+)
b) Refleks Moro : Tidak dilakukan
c) Refleks Palmar Grasp : (+)
d) Refleks Plantar Grasp : (+)
IV. PEMERIKSAAN KHUSUS

1. Maturitas Bayi (Lubchenko)

Berat badan lahir : 2800 gr


Usia kehamilan : 38 minggu
Kesan : Neonatus cukup bulan, sesuai untuk masa kehamilan

2. New Ballard Score


New Ballard score = maturitas fisik + maturitas neuromuskular
= 18 + 19 = 37 > 38-40 minggu

3. Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)


Lingkar kepala 34 cm pada bayi baru lahir, mesosefali

4. Kurva Fenton
Berat badan lahir, panjang badan lahir dan lingkar kepala sesuai kurva Fenton dalam
batas normal.
5. Downe Score (2-10-16 di IGD PONEK)
0 1 2
Frekuensi Napas < 60 x/menit 60-80 x/menit > 80 x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis hilang Sianosis menetap
Sianosis Tidak sianosis
dengan O2 walaupun diberi O2
Penurunan ringan Tidak ada udara
Air Entry Udara masuk
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stethoscope tanpa alat bantu

Downe score 3distress pernafasan ringan

1. Bell Squash Score


o Partus tindakan (SC, vakum, sungsang)
o Ketuban tidak normal
o Kelainan bawaan
o Asfiksia
o Preterm
o BBLR
o Infus tali pusat
o Riwayat penyakit ibu
o Riwayat penyakit kehamilan
Bell Squash score 2 <4 observasi neonatal infeksi

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 02/10/2016 Pukul 00.03 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 14,1 g/dL 12,7 18,7
Leukosit 13,1 103/uL 3,5 20,5
Hematokrit 40,4 () % 47 75
Trombosit 417 103/uL 217 497
Eritrosit 4.8 106/uL 3,7 8,1
RDW 15,9 () % 11,5 14,5
MCV 95,7 U 84 128
MCH 33,4 Pcg 26 38
MCHC 34,9 () g/dl 26 34
KIMIA KLINIK
Bilirubin indirek 3,59 () mg/dL
Bilirubin total 6,75 mg/dL 4,0 8,0
Bilirubin direk 3,10 () mg/dL
Glukosa sewaktu 81 () mg/dL 50,0 80,0
Natrium 144,8 mmol/L 132 145
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Kalium 3,99 mmol/L 3,1 5,1
Klorida 117,2 () mmol/L 96 111
SERO IMUNOLOGI
CRP NEGATIVE NEGATIVE
Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras (03.10.2016)
ANALISA CAIRAN OTAK (03.04.2016)
cairan LCS secara makroskopis berwarna merah.

PERIKSAAN KULTUR LCS (03.04.2016)


Hasil kultur LCS : Steril
VI. RESUME

Seorang bayi laki-laki berusia 5 hari datang ke IGD RSUD Kardinah dengan keluhan
keluhan utama tidak mau minum ASI sejak 1 hari SMRS. Demam naik turun sejak 1 hari
SMRS. Setelah badan panas, os sempat kejang berulang, lebih dari 5x. Saat kejang, badan
kaku, mata melotot, dan setelah kejang os tertidur. Di IGD PONEK, keadaan os menangis
kuat, gerakan aktif, tampak kuning, tidak sesak dan tidak ditemukan retraksi dada. Os kejang
sebanyak 2x, masing-kejang terjadi <5menit dengan interval kejang selama 15 menit. Os di
rawat di Dahlia dengan keadaan sesak (+), demam (+), tampak kuning (+), gerak kurang
aktif. Kemudian diberikan alat napas bantuan CPAP. Os tampak kuning sejak berusia 3 hari,
awalnya kuning tampak di wajah dan dada. Namun hari berikutnya, warna kuning dikulit
tampak lebih jelas terutama di mata. Bayi lahir spontan ditolong oleh bidan pada tanggal 27
September 2016 (5 hari SMRS), dengan lilitan tali pusat 1x dari ibu G2P1A0 hamil 38
minggu, keadaan bayi pada saat lahir yaitu berat lahir 2800 gr, langsung menangis, dengan air
ketuban keruh.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien menangis kurang kuat,
gerak kurang aktif, tidak tampak sesak, pemeriksaan tanda vital dengan nadi : 130 x/menit,
reguler, kuat, isi cukup, laju nafas: 36 x/menit, regular, suhu : 36,2C, berat badan : 2500 gr,
panjang badan: 48 cm dengan status neonates cukup bulan,sesuai masa kehamilan menurut
Lubchenko. New ballard score menunjukkan os berusia 36-38 minggu. Lingkar kepala 34
cm, mesosefali. Berat badan lahir, panjang badan lahir dan lingkar kepala sesuai kurva
Fenton dalam batas normal. Pada pemeriksaan mata ditemukan sclera ikterik +/+. Downe
score 2, tidak ada distress pernapasan. Bell squash score = observasi neonatal infeksi.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah didapatkan peningkatan
bilirubin direk maupun indirek dengan ratio bilirubin per total >20%. Pemeriksaan
CT-Scan menunjukkan adanya perdarahan subarachnoid. Hasil lumbal pungsi
menemukan adanya cairan otak yang berwarna kemerahan. Hasil kultur cairan otak
steril.

VII. MASALAH

Tidak mau minum


Kejang
Demam
Kulit berwarna kuning, sclera ikterik +/+
Peningkatan bilirubin indirek, direk
Lumbal pungsi : cairan otak berwarna merah
Head CT-Scan kesan: SAH

VIII. DIAGNOSA KERJA


- SAH
- Cholestasis
- Obs neonatal infection
- Neonatus Aterm

IX. DIAGNOSIS BANDING

Kejang Perdarahan intrakranial


Infeksi intrakraial
Gangguan metabolik
HIE
Ikterik Prehepatal
Hepatal
Post-hepatal
Neonatus aterm SMK (Sesuai Masa Kehamilan)
BMK (besar masa kehamilan)
KMK (kecil masa kehamilan )

X. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa:
O2 CPAP PEEP 6 FiO2 30%
IVFD KaEn 1B + Ca Glukonas 20 cc + KCl 3,5 cc 12 cc/jam
Cefotaxime 3 x 125mg
Gentamisin 2 x 6mg
Phenobarbital 10 mg
Non-medikamentosa
Rawat inap untuk monitor gejala
Awasi keadaan umum, dan tanda vital
Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
Diet susu cair 8 x 20 cc

XI. PROGNOSA
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
PERJALANAN PENYAKIT
2 Oktober 2016 pkl. 21.00 WIB (R. 3 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R.
IGD PONEK) Dahlia)
Hari Perawatan ke-0 Hari Perawatan ke-1
S Demam (+), kejang (+)2x di IGD, sesak S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB
(+), BAB (-), BAK (-), pucat (-), kuning (-), BAK (-), pucat (-), kuning (+), biru
(+), biru (-), ASI (-), R.Hisap (-) (-), ASI (+), R.Hisap (+)
O KU: Tampak sakit sedang, sesak O KU: Compos mentis, TSS, ikterik (+),
ikterik (+), menangis lemah, gerak Gerak kurang aktif, retraksi (-)
kurang aktif TTV: HR 100x/m,RR 32x/m, S 36,20C
TTV: HR 180x/m,RR 64x/m, S 38,6 0C, Status generalis:
SpO2 : 96% Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase
Status generalis: (-)
Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra
(-) (-/-)
Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-),
(-/-) wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Hidung : Nafas cuping hidung (+) Abdomen: Supel, BU (+)N,
Toraks: Retraksi (+/+), SNV (+/+), rh Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) <2 detik,
Abdomen: Supel, BU (+)N, Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas atas: AH (-/-), OE (-/-) CRT CRT < 2 detik
>2 detik, Kebutuhan Cairan : 336 cc/hari
Ekstremitas bawah: AH (-/-), OE (-/-)
Kebutuhan Na+ : 14,2 cc/24 jam
CRT > 2 detik.
Kebutuhan K+ : 3,5cc/24jam
Kebutuhan Cairan : 300 cc/hari Terpasang CPAP PEEP 6, FiO2 30%
A Obs Neonatal Infeksi A Klinis sepsis Meningitis?
Obs Ikterik usia 5 hari Hiperbilirubinemia
N. aterm Hipoklorida
Neonatal aterm
P IVFD loading KaEN 1B 20 cc P Terpasang CPAP dengan PEEP 6 FiO2

IVFD KaEn 1B 12 tetes/jam 30%

Inj Cefotaxim 2 x 125 mg IVFD KaEN 1B + Ca Gluconas 20 cc +

Inj Gentamycin 2 x 6 mg KCl 3,5 cc 12 cc/jam

Phenobarbital 2 x 10 mg/kgBB Inj Cefotaxim 2 x 125 mg

Inj Gentamycin 2 x 6 mg

Phenobarbital 2 x 10 mg/kgBB

Neo K 1x1mg

Diet peroral 8 x 20 cc
4 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R. 5 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R.
Dahlia) Dahlia)
Hari Perawatan ke-2 Hari Perawatan ke-3
S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB
(+), BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru (+), BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru
(-), ASI (+), R.Hisap (+) (-), ASI (-), R.Hisap (-) OGT
O KU: Compos mentis, menangis kurang O KU: Compos mentis, tampak sakit
kuat, gerak aktif (+), ikterik (+) ringan
TTV: HR 124x/m,RR 36,2x/m, S 36,20C, TTV: HR 130x/m,RR 38x/m, S 36,70C
SpO2 : 99% Status generalis:
Status generalis: Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase
Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase (-)
(-) Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra
Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra (-/-)
(-/-) Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-),
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N,
Abdomen: Supel, BU (+)N, Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik,
<2 detik, Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik
CRT < 2 detik. Kebutuhan Cairan : 393 cc/hari
Kebutuhan Cairan : 350 cc/hari
Kebutuhan Na+ : 13,2 cc/24 jam
Kebutuhan Na+ : 14,4 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3cc/24 jam
+
Kebutuhan K : 3,6 cc/24 jam
Diuresis : 6,2 cc/KgBB/jam
Diuresis : 5,6 cc/KgBB/jam
CT-SCAN : SAH
Terpasang O2 low flow 1 lpm
A Neonatal Aterm A SAH
Klinis sepsis Cholestasis
Cholestasis Neonatal Aterm
P O2 low flow P O2 low flow

IVFD KaEN 1B + Ca Gluconas 20 cc + Terapi lanjut

12 cc/jam Inj Neo K 1x 1 mg (terakhir )

Inj Cefotaxim 2 x 125 mg

Inj Gentamycin 2 x 6 mg

Phenobarbital 2 x 10 mg/kgBB

Diet peroral 8 x 20 cc

Po Seques 3 x 1/5
Po Estazon 3 x

Inj neo K 1 x 1 mg

6 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R. 7 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R.
Dahlia) Dahlia)
Hari Perawatan ke-4 Hari Perawatan ke-5
Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB (+), S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB (+),
BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru (-), BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru (-),
ASI (+), R.Hisap (-) OGT ASI (-), R.Hisap (-) OGT
KU: Compos mentis, menangis kuat, O KU: Compos mentis, menangis kuat,
gerak aktif (+), ikterik (+) KII gerak aktif (+), ikterik KII
TTV: HR 140x/m,RR 36x/m, S 36,60C, TTV: HR 130x/m,RR 38x/m, S 36,70C
SpO2 : 99% Status generalis:
Status generalis: Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase
Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase (-)
(-) Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra
Mata: CA (-/-), SI (+/+), oedem palpebra (-/-)
(-/-) Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-),
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N,
Abdomen: Supel, BU (+)N, Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik,
<2 detik, Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik
CRT < 2 detik. Kebutuhan Cairan : 390 cc/hari
Kebutuhan Cairan : 390 cc/hari
Kebutuhan Na+ : 13,3 cc/24 jam
+
Kebutuhan Na : 13,3 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam
Diuresis : 6,2 cc/KgBB/jam
Diuresis : 5,6 cc/KgBB/jam
Terpasang o2 low flow
Terpasang O2 low flow 1 lpm
SAH A SAH
Cholestasis Cholestasis
Neonatal Aterm Neonatal Aterm
O2 low flow P O2 low flow

Terapi lanjut Terapi lanjut

Diet ASI 8 x 20 cc / sonde

8 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R. 10 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB (R.
Dahlia) Dahlia)
Hari Perawatan ke-6 Hari Perawatan ke-8
Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB (+), S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB (+),
BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru (-), BAK (+), pucat (-), kuning (+), biru (-),
ASI (+), R.Hisap (+) ASI (+), R.Hisap (+)
KU: Compos mentis, menangis kuat, O KU: Compos mentis, menangis kuat,
gerak aktif (+), ikterik (+) KII gerak aktif (+), ikterik KII
TTV: HR 140x/m,RR 26x/m, S 36,60C, TTV: HR 130x/m,RR 38x/m, S 36,70C
SpO2 : 99% Status generalis:
Status generalis: Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase
Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase (-)
(-) Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra (-/-)
(-/-) Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-),
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Abdomen: Supel, BU (+)N,
Abdomen: Supel, BU (+)N, Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2 detik,
<2 detik, Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik
CRT < 2 detik. Kebutuhan Cairan : 405 cc/hari
Kebutuhan Cairan : 405 cc/hari
Kebutuhan Na+ : 13,3 cc/24 jam
Kebutuhan Na+ : 13,3 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam
Diuresis : 7,1 cc/KgBB/jam
Diuresis : 7,3 cc/KgBB/jam
SAH A SAH
Cholestasis Cholestasis
Neonatal Aterm Neonatal Aterm
O2 low flow P O2 low flow

Terapi lanjut Infus habis aff

Diet ASI 20-25 cc / sonde Po Cefadroxil 2 x 75 mg

Observasi TTV

\ 11 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB \ 12 Oktober 2016 pkl. 07.00 WIB
(R.Dahlia) (R.Dahlia)
Hari Perawatan ke-9 Hari Perawatan ke-10
Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB S Demam (-), kejang (-), sesak (-), BAB
S (+), BAK (+), pucat (-), kuning (-), biru (+), BAK (+), pucat (-), kuning (-), biru
(-), ASI (+), R.Hisap (+) (-), ASI (+), R.Hisap (+)
O KU: Compos mentis, tidak tampak sakit, O KU: Compos mentis, tidak tampak sakit,
ikterik (-) gerak aktif, menangis kuat ikterik (-) gerak aktif, menangis kuat
TTV: HR 132x/m,RR 39x/m, S 36,60C TTV: HR 132x/m,RR 39x/m, S 36,60C
Status generalis: Status generalis:
Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase Kepala: Mesosephali, UUB datar, molase
(-) (-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra Mata: CA (-/-), SI (-/-), oedem palpebra
(-/-) (-/-)
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-), Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (-/-),
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)N Abdomen: Supel, BU (+)N
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) CRT
<2 detik. <2 detik.
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik. CRT < 2 detik.
Kebutuhan Cairan : 400 cc/KgBB Kebutuhan Cairan : 400 cc/KgBB
Kebutuhan Na+ : 13,3 cc/24 jam Kebutuhan Na+ : 13,3 cc/24 jam
Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam Kebutuhan K+ : 3,3 cc/24 jam
Diuresis : 2,9 cc/KgBB/jam Diuresis : 2,9 cc/KgBB/jam
A SAH A SAH
Cholestasis Cholestasis
N. aterm N. aterm
P O2 kalau perlu P ACC pulang
Diet ASI 12 x 20 30 ml
Latihan minum
Terapi lanjut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kejang
2.1.1 Definisi
Kejang didefinikan secara klinis sebagai perubahan paroksismal dari fungsi
neurologis seperti fungsi kebiasaan, motorik atau otonom. Neonatal adalah bayi dengan
kelahiran berumur kurang dari 28 hari.1-,3

2.1.2 Epidemiologi
Karena sampai sekarang sangat sulit untuk mempelajari dan mengenal secxara pasti
bangkitan kejang pada neonatus, insidensi dan prevalensi yang pasti sampai sekarang belum
diketahui. Sulitnya mempelajari hal tersebut dikarenakan banyak kejadian kejang pada
neonatus yang tidak disertai manifestasi klinis yang jelas. Meskipun demikian, menurut buku
neonatologi IDAI, perkiraan angka kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2 setiap
1000 neonatus setiap tahun, sedang pada literatur lain menyebutkan 1-5% bayi pada bulan
pertama mengalami kejang. Insidensi meningkat kelahiran bayi kurang bulan sebesar 57.5-
132 dibanding bayi cukup bulan sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada
kepustakaan lain menyebutkan insidensi 20% pada bayi kurang bulan dan 1.4% pada bayi
cukup bulan. Sekitar 70-80% neonatus secara klinis tidak tampak kejang, namun pada
elektrografik tampak gambaran masih kejang.3
Menurut data data dari Queensland Maternity and Neonatal clinical guideline, kejang
sangat sering terjadi dengan perkiraan 70% dari bayi kurang bulan dengan pendarahan
intraventriikular atau leukomalasia periventricular. Kejang biasanya dikenali lebih sering
dengan penggunaan monitor EEG berkelanjutan.4

2.1.3 Etiologi
Ada banyak penyebab kejang pada neonatus, menurut buku IDAI dan Averys
neonatology, ada beberapa penyebab utama kejang neonatus, yaitu :
PENYEBAB KETERANGAN
Ensefalopati Penyebab paling sering pada bayi cukup bulan (40-60%) dan
iskemik hipoksik merupakan penyebab utama dari perkembangan bayi yang buruk
Biasanya timbul dalam 24 jam
Sulit dikontrol dengan medikamentosa
Pendarahan Pendarahan intraventrikular
intrakranial Pendarahan intracerebral
Pendarahan subdural
Pendarahan subarachnoid
Infeksi SSP Meningitis bakteri
Meningitis virus
Encephalitis
Intrauterine (TORCH) infections
Bakteri patogen yang paling sering dari streptokokus grup B,
escherichia coli, listeria, staphyloccocus
Stroke perinatal Oklusi arteri atau thrombosis vena dapat menyebabkan stroke
Insidensi 1 per 4000
Metabolik Hipoglikemia
Hipokalsemia
Hipomagnesaemia
Hipo/hipernatremia
Ketergantungan pyridoxine
Kelainan Merupakan penyebab yang jarang ditemukan, namun tetap
metabolik membutuhkan perhatian khusus untuk menemukan penyebab
bawaan yang dapat di tangani
Putus obat ibu
Kelainan otak Anomali kromosom
kongenital Anomali otak kongenital
Kelainan neuro-degeneratif
Kejang neonatus Biasanya timbul sebagai kejang tonik atau klonik pada hari ke 2
familial jinak atau ke 3
Kejang hari Dengan nama lain kejang neonatus jinak idiopatik
kelima Biasanya hilang pada hari ke 15, penyebab tidak diketahui

A. Ensefalopati iskemik hipoksik


Dapat terjadi pada bayi cukup bulan maupun bayi kurang bulan, terutama yang
terlahir dengan asfiksia. Bentuk kejang subtel atau multifokal klonik serta fokal klonik. Kasus
iskemik hipoksik disertai kejang, 20% akan mengalami infark serebral. Manifestasi klinis
ensefalopati hipoksik-iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium : ringan, sedang, berat yang
dimana kejang dapat timbul pada tingkat sedang dan berat.
B. Perdarahan intrakranial
Penyebab kejang utama dan tersering pada bayi preterm. Perdarahan intra kranial
seringkali sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang. Biasanya berhubungan dengan
penyebab lain, yaitu :
1. Perdarahan sub arakhnoid
Perdarahan yang sering dijumpai pada neonatus, terutama sebagai akibat dari
proses partus yang lama. Awalnya bayi terlihat baik, namun tiba-tiba timbul
kejang pada hari pertama dan kedua. Pungsi lumbal merupakan indikasi absolut
untuk dilakukan untuk mengetahui adanya darah di dalam cairan serebrospinal.
Biasanya bayi ditemukan tampak sakit berat pada 1-2 hari pertama dan timbul
tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial seperti ubun-ubun besar yang
menonjol dan tegang, muntah memancar, menangis keras dan kejang-kejang.
2. Perdarahan sub dural
Perdarahan ini biasanya terjadi akibat robekan tentorium dekat falks serebri.
Biasanya bila ada molase berlebihan di letak verteks, letak wajah dan partus lama.
Manifestasi klinik biasanya sama dengan ensefalopati hipoksik-iskemik ringan
sedang. Dapat timbul pernapasan yang tidak teratur apabila terjadi penekanan
pada batang otak disertai penurunan kesadaran, tangisan yang melengking dan
ubun-ubun besar tegang dan menonjol. Mortalitas tinggi, dan pada bayi yang
hidup hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis.

3. Perdarahan periventrikular/intraventrikular
Manifestasi klinis pperdarahan intraventrikuler tergantung pada seberapa beratnya
penyakit dan saat dimulainya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma atau
asfiksia biasanya timbul pada hari pertama dan kedua. Pada bayi kurang bulan
dapat timbul gejala seperti gangguan napas, kejang tonik umum, pupil terfiksasi
kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam. Pada bayi
cukup bulan biasanya ditemukan riwayat intrapartum misalnya trauma, pasca-
pemberian cairan hpertonik secara cepat terutama natrium bikarbonat dan asfiksia.
Manifetasi klinis yang timbul biasanya bervariasi mulai dari asimtomatik sampai
gejala yang hebat. Gejala neurologis yang paling sering ditemui adalah kjang yang
bersifat fokal, multifokal atau umum.

2.1.4 Patogenesis
Neuron di dalan sistem syaraf pusat mengalami depolarisasi sebagai hasil dari
perpindahan natrium ke arah dalam. Repolarisasi terjadi melalui keluarnya kalium. Kejang
terjadi apabila timbul depolarisasi yang berlebihan, sehingga terbentuk gelombang listrik
yang berlebihan. Volpe (2001) menjelaskan 4 kemungkinan alasan terjadinya depolarisasi
berlebihan1 :
Kegagalan dari pompa natrium kalium dikarenakan terganggunya produksi
energi.
Terjadinya kelebihan relatif dari neurotransmiter eksitatorik melawan
inhibitorik
Adanya kekurangan relatif dari neurotransmiter inhibitorik melawan
eksitatorik
Perubahan dari membran neuron, menyebabkan inhibisi dari pergerakan
natrium.
Perubahan fisiologispada saat kejang berupa penurunan kadar glukosa otak yang
tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat disertai
peningkatan laktat. Hal ini merupakan refleksi dari kebutuhan otak yang tidak dapat dipenuhi
secara adekuat. Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak sangat esensial untuk mencukup
kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Laktat terkumpul dan berakumulasi selama terjadi
kejang, sehingga PH arteri menurun dengan cepat. Hal inimenyebabkan tekanan darah
sistemik meningkat dan aliran darah ke otak naik.
Terjadinya kejang yang multifokal atau adanya perilaku yang tidak biasa berhubungan
pada kejang pada neonatus, merupakan efek dari mielinasi struktur kortikal dan subkortikal
yang masih sangat minim.
Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat dari sejak baru lahir sampai 2 tahun
yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan sinaps dan kepadatan dendrit pada
sunsum tulang belakang terjadi sangat aktif pada sekitar kehamilan sampai bulan pertama
setelah kelahiran. Pada saat baru lahir, merupakan periode tertinggi dari aktifitas eksitasi
sinaps fisiologis dan sinaptogenesis yang terjadi pada saat ini sepenuhnya bergantung pada
aktifitas. Selain itu, menurut penelitian, pada periode ini keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi pada sinaps cenderung mengarah pada eksitasi untuk memberi jalan pada
pembentukan sinaps yang bergantung pada aktifitasnya5.
Beberapa mekanisme penting sehubungan dengan terjadinya kejang pada neonatus
adalah :
1. Peningkatan eksitabillitas pada neonatus
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada otak tikus yang diketahui homolog
dengan otak manusia, didapatkan bahwa jumlah neurotransmiter seperti glutamate, -
amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) dan N-methyl-D-
aspartate (NMDA) meningkat tajam pada 2 minggu awal kelahiran untuk membantu
pembentukan sinaps yang bergantung pada aktifitasnya5. Selain itu, pada periode ini
merupakan saat sesnsitifitas terhadap magnesium di titik terendah. Magnesium
merupakan penghalang reseptor endogen alamiah. Sehingga berdampak pada
meningkatnya eksitabilitas otak bayi.
2. Penurunan efektifitas inhibisi neurotansmiter pada otak imatur
Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang secara
perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan, fungsi pengikatan reseptor
GABA, pembentukan enzym dan ekspresi dari reseptor lebih rendah pada masa-masa
awal kehidupan5. Sehingga dengan hubungannya terhadap aktifitas sel syaraf pada
neonatus yang lebih mengakomodasi aktifitas eksitabilitas, hal ini mendukung
terjadinya kejang.

3. Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal kehidupan
Regulasi kanal ion juga mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor
neurotransmiter, regulasinya terbentuk dan berkembang perlahan-lahan. Seperti yang
terjadi padamutasi kanal ion K+ (KCNQ2 dan KCNQ3) yang berhubungan dengan
terjadinya kejang neonatus familial jinak, menyebabkan proses hiperpolarisasi K +
yang berakibat terjadinya penembakan potensial aksi yang berulang dengan cepat.

4. Peranan neuropeptida dalam terjadinya hipereksitabilitas pada otak imatur


Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal. Contoh
penting ada pada Corticotropin releasing hormone(CRH), yang memicu terjadinya
potensi eksitasi pada neuron. Jika dbandingkan pada fase kehidupan selanjutnya, CRH
dikeluarkan pada tingkat yang lebih tinggi pada 2 minggu awal kehidupan, seperti
yang terlihat pada tikus5. CRH juga meningkat pada keadaan stress, yang menjelaskan
mengapa pada saat terjadi kejang pada otak yang imatur, maka akan memicu
terjadinya kejadian kejang yang berulang.

2.1.5Awitan kejang
Awitan kejang yang terjadi pada kejang demam biasanya dimulai antara 12 hingga 48
jam setelah lahir, bayi jarang mengalami kejang saat berada di ruang bersalim. Penelitian
pada binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik
iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran glutamat
pada saat fase reperfusi sekunder3. Keadaan yang sama terjadi pada bayi. Kejang onset lanjut
memberi kesan adanya meningitis, kejang familial benigna atau hipokalsemia

2.1.6Diagnosis.
Diagnosis kejang pada neonatus harus dimulai dengan pemeriksaan menyeluruh
terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik. Data-data penting seperti riwayat penyalahgunaan
narkotika dan pemakaian obat yang salah pada saat kehamilan, infeksi intrauterus, dan
kondisi metabolik harus dicatat dengan baik dan didapat langsung dari ibu sedetail mungkin.
Adapun yang penting dicari melalui anamnesis adalah3 :
Faktor resiko :
Riwayat kejang dalam keluarga
o Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa neonatus pada anak
sebelumnya atau bayi meninggal pada masa neonatal tanpa diketahui
penyebabnya.
Riwayat kehamilan /prenatal
o Infeksi infeksi yang terjadi pada waktu hamil
o Preeklampsia, gawat janin
o Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
o Imunisasi anti tetanus, rubela
Riwayat persalinan
o Asfiksia, episode hipoksik
o Trauma persalinan
o Ketuban Pecah Dini
o Anestesi lokal/blok
Riwayat pascanatal
o Infeksi neonatus, keadaan bayi tiba-tiba memburuk
o Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
o Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
o Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena prosedur perawatan
o Waktu atau awitan kejang mungkin terjadi berhubungan dengan etiologi
o Bentuk gerakan abnormal yang terjadi
Manifestasi klinik
Kejang neonatus bisa timbul dalam beberapa tipe yang mungkin terlihat
bersamaan selama beberapa jam. Kejang diklasifikasikan menurut manifestasi klinis
yang timbul
Proporsi dari kejang
Tipe kejang Tanda klinis
neonatus
Subtle o 10-35% tergantung o Mata- melotot, mengedip,
maturitas4 deviasi horizontal
o Lebih sering pada o Oral- Mencucu, mengunyah,
bayi cukup bulan menghisap, menjulurkan lidah
o Terjadi pada bayi o Ekstremitas- memukul, gerak
dengan gangguan seperti berenang, mengayuh
SSP berat pedal
o Otonomik- apneu, takikardia,
tekanan darah tidak stabil
4
Klonik o 50% o Biasanya dalam keadaan sadar
o Lebih sering pada o Gerak ritmik (1-3/detik)
bayi cukup umur o Fokus organ lokal atau 1 sisi
wajah atau tubuh. Mungkin
merupakan fokal neuropathy
yang tersembunyi
o Multifokal irregular,
terpotong-potong
Tonik 20%4 Mungkin meliatkan 1 bagian
Lebih sering pada ekstremitas atau seluruh tubuh
bayi preterm Ekstensi generalisata dari
bagian tubuh atas dan bawah
dengan postur opisthotonic
Mioklonik 5%4 Sentakan cepat terisolasi
(membedakan dari mioklonik
neonatus jinak)
Fokal (1 bagian ekstremitas)
atau multifokal (beberapa
bagian tubuh)
Ditemukan pada putus obat
(terutama gol. opiat

Harus dibedakan antara kejang dan gejala lain yang menyerupai kejang seperti
fenomena mioklonik fisiologik yang dikenal dengan nama mioklonik jinak pada neonatus.
Yang biasa terjadi pada keadaan tidur aktif (REM). Selain itu fenomena lain yang penting
adalah jitteriness.Jitteriness adalah gangguan dalam pergerakan yang biasanya dihubungkan
dengan hasil yang baik2. Jitteriness jinak biasanya hilang dengan sendirinya dalam beberapa
minggu. Adapun perbedaan antara kejang dan jitteriness adalah :
Tanda Jitteriness Kejang
Membutuhkan pemicu Ya Tidak
Gerakan predominan Cepat, tremor, berosilasi Tonik, klonik
Gerakan hilang jika tubuh Ya Tidak
disentuh
Kesadaran Bangun atau tertidur Terganggu (penurunan
kesadaran)
Deviasi mata Tidak Ya

Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan fisis lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan neurologis, dilakukan
secara sistematik dan berurutan. Kadang pemeriksaan neurologi saat kejang dalam batas
normal, namun demikian bergantung penyakit yang mendasarinya sehingga neonatus yang
mengalami kejang perlu pemeriksaan fisis legkap secara sistematis dan berurutan :
1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi, bila mungkin melihat sendiri
manifestasi kejang yang terjadi. Dengan mengetahui bentuk kejang, kemungkinan
penyebab dapat ditemukan
2. Neonatus yang mengalami kejang biasanya tampak sakit. Kesadaran yang tiba-tiba
menurun berlanjut dengan hipoventilasi dan berhentinya pernapasan, kejang tonik,
posisi serebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif dan terdapat kuadriparesis
flaksid, dicurigai terjadinya perdarahan intravetrikular.
3. Pantau perubahan tanda vital dengan melihat tanda seperti sianosis dan kelainan
pada jantung atau pernapasan sehingga dapat dicurigai kemungkinian adanya
iskemia otak.
4. Pemeriksaan kepala untuk mencari kemungkinan adanya fraktur, depresi atau
moulding yang berlebihan karena hal-hal seperti trauma. Ubun-ubun besar yang
tegang dan menonjol menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
disebabkan oleh perdarahan subaraknoid atau subdural serta kemungkinan adanya
meningitis
5. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan retina atau
subhialoid yang merupakan manifestasi patognomonik untuk hematoma subdural.
Dapat ditemukan korioretinitis pada toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan
rubela.
6. Pemeriksaan tali pusat untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda infeksi, berbau
busuk, atau aplikasi dengan bahan tidak steril pada kasus yang dicurigai spasme
atau tetanus neonatorum.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium, harus digunakan
informasi yang didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan jasmani dengan baik untuk
mencari penyebab yang lebih spesifik
Kimia darah
Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan magnesium pada darah
serta analisa gas darah harus dilakukan.

Pemeriksaan darah rutin


Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, trombosit ,
leukosit, hitung jenis leukosit
Kelainan metabolic
Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, bau yang khas pada bayi baru
lahir, intoleransi laktosa, asidosis, alkalosis atau kejang yang tidak responsif
terhadap antikonvulsan, harus dicari penyebab-penyebab metabolik yang
mungkin.
o Kadar amonia dalam darah harus diperiksa
o Asam amino di plasma darah dan urin. Pada urin sebaiknya diperiksa
untuk mencari substansi reduksi
2. Pemeriksaan radiologis
a. USG kepala dilakukan sebagai pemeriksaan lini pertama untuk mencari
adanya perdarahan intraventrikular atau periventrikular. Perdarahan
subarakhnoid atau lesi kortikal sulit dinilai dengan pemeriksaan ini.
b. CT-scan cranium
Merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail mengenai adanya penyakit
intrakranial. CT scan sangat membantu dalam menentukan bukti-bukti
adanya infark, perdaraham, kalsifikasi dan malformasi serebral.Melalui
catatan sebelumnya, pemeriksaan ini memberikan hasil yang penting pada
kasus kejang neonatus, terutama bila kejang terjadi asimetris.
c. MRI
Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya malformasi subtle
yang kadang tidak terdeteksi dengan CT-scan kranium..
3. Pemeriksaan lain
a. EEG(electroencephalography)
EEG yang dilakukan selama kejang akan memperlhiatkan tanda abnormal.
EEG interiktal mungkin memperlihatkan tanda normal. Pemeriksaan EEG
akan jauh lebih bernilai pabila dilakukan pada 1-2 hari awal terjadinya
kejang, untuk mencegah kehilangan tanda-tanda diagnostik yang penting
untuk menentukan prognosis di masa depan bayi. EEG sangat signifikan
dalam menentukan prognosis pada bayi cukup bulan dengan gejala kejang
yang jelas. EEG sangat penting untuk memeastikan adanya kejang di saat
manifestasi klinis yang timbul subtle atau apabila obat-obatan penenang
neuromuscular telah diberikan. Untuk menginterpretasikan hasil EEG
dengan benar, sangatlah penting untuk mengetahui status klinis bayi
(termasuk keadaan tidur) dan obat-obatan yabg diberikan.
The International League Against Epilepsy mempertimbangkan kriteria
sebagai berikut :
o Non epileptikus : berdasarkan gejala klinis kejang semata
o Epileptikus : Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG.
Secara klinis mungkin tidak terlihat kejang, namun dari gambaran EEG
masih mengalami kejang.
Kejang elektrografik
Kejang pada neonatus mempunyai tipe dan lokasi onset,
morfologi dan perambatan yang bervariasi. Bayi preterm maupun
aterm, keduanya mempunyai kemampuan menciptakan peristiwa
ictal yang sangat bervariasi, lokasi asal kejang yang paling umum
adalah lobus temporal. Beberapa penelitian telah menghitung
durasi kejang pada neonatus. Umumnya digunakan batasan 5
detik, namun Clancy dan Ledigo menggunakan pembatasan
menurut mereka sendiri yaitu 10 detik sebagai durasi minimal
dan definisi ini juga diadopsi oleh Sher dkk.
Disosiasi elektroklinik
Terdapat ketidaksesuaian antara diagnosis klinis dan gambaran
EEG, hanya sepertiga dari kasus yang dipelajari dengan rekaman
video yang manifestasi klinis dan gelombang listriknya sesuai.
Pada 349 neonatus yang diteliti oleh Mizrahi, ditemukan 415
kejang pada 71 neonatus secara klinis, sedangkan 11 neonatus
lain ditemukan secra elektrografis walaupun secara klinis tidak
kejang. Manifestasi klinis timbul karena adanya gelombang dari
batang otak dan medula spinalis dilepaskan dan kurangnya
inhibisi dari pusat yang lebih tinggi.

2.1.7Tatalaksana
Manajemen
Tatalaksana kejang pada neonatus bertujuan untuk meminimalisir gangguan fisiologis
dan metabolik serta mencegah berulangnya kejang. Ini melibatkan bantuan ventilasi dan
perfusi, jika dibutuhkan, dan koreksi keadaan hipoglikemia, hipocalcemia atau gangguan
metabolik lainnya.
Kebanyakan bayi diterapi dan dimonitor hanya berdasarkan pada diagnosis klinis saja,
tanpa melibatkan penggunaan EEG. Penggunaan EEG yang kontinyu menunjukkan bahwa
masalah pada kejang elektrografik adalah sering menetapnya kejang walaupun setelah
dimulainya terapi anti konvulsi.

Manajemen kejang pada neonatus


Pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, pemberian oksigen
Periksa dan catat aktivitas kejang yang terjadi
Lakukan penilaian secepatnya apakah penyebab kejang dapatg ditangani
dengan cepat, jika tidak bisa tangani kejang dengan fenobarbital 20 mg/kg IV
4
sambil terus memonitor sistem kardiovaskular dan respirasi dan lakukan teapi
suportif yang dibutuhkan.
Hentikan semua asupan secara oral
Usahakan tangani penyebab utama kejang sesuai tata cara yang diindikasikan
Jika kejang masih berlanjut, berikan dosis tambahan fenobarbital 5 mg/kg IV
4
(sampai tercapai dosis maksimal 40 mg/kgbb)
Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 15-20mg/kgbb4
Kejang dapat tertangani, lanjutkan pengawasan. Pertimbangkan untuk
menghentikan obat antikonvulsan jika : kejang terkontrol dan pemeriksaan
neurologis normal atau pemeriksaan neurologis abnormal namun EEG normal

Bagan manajemen terapi kejang pada neonatus4


Penggunaan obat-obatan anti konvulsi
Prinsip penatalaksaan pertama yaitu menangani penyebab yang mendasari sangatlah
penting untuk mencegah kerusakan otak yang lebih berat.Namun, apabila penyebab yang
mendasar kejang sulit untuk ditangani dengan segera, perlu diingat untuk secepatnya
menangani kejang agar tidak terjadi kerusakan neurologis yang berat.Pada akhirnya, kejang
yang terjadi mungkin saja menjadi sulit ditangani dengan obat-obatan anti konvulsi apabila
penyebab utama yang mendasar tidak ditangani dengan baik. (Lihat tabel penyebab utama
kejang pada neonatus).
Jadwal pemberian onat anti konvulsi
-Phenobarbital
Phenobarbital
Dosis dan Loading dose :
administrasi - 20 mg/kg IV selama 10-15 menit
- Dosis tambahan(pilihan) 5 mg/kg/kali sampai
kejang mereda atau dosis total (40 mg/kg)
telah tercapai
Rumatan :
- IV (perlahan-lahan contoh : 1 mg/kg/menit),
IM, Oral
- 2.5-5 mg/kg sekali sehari dimulai 12-24 jam
setelah dosis awal
Keterangan Pengobatan lini pertama
Efektivitas kurang dari 50%4
Mengurangi kejang secara klinis namun efek
kurang pada kejang EEG
Penambahan obat kedua (contoh : fenitoin)
seringkali dibutuhkan
Mungkin menyebabkan apneu/depresi respiratorik
pada dosis tinggi (40 mg/kg) dan peningkatan
konsentrasi serum (diatas 60 mikrogram/mL
Jangkauan terapeutik :
- Ukur level serum setelah 48 jam dari
pemberian intravena dosis awal
- 15-40 microgram/mL (65-170 micromol/L)

-Fenitoin
Fenitoin
Dosis dan administrasi Dosis awal :
- 15-20 mg/kg IV kecepatan infus maksimum
0.5 mg/kg/menit(jika melalui IV)
- IV atau oral
- Setelah dosis awal : 4-8 mg/kg perhari
- Setelah umur 1 minggu : dosis sampai 8
mg/kg/kali 2 sampai 3 kali sehari
Keterangan Tidak cocok dengan pemberian intra muskular
Pastikan keutuhan dari pembuluh darah karena
adanya resiko radang jaringan dan nekrosis apabila
terjadi ekstravasasi
Berikan dengan menggunakan filter dan diikuti
bolus Nacl 0.9%
Berikan perlahan-lahan secara intravena untuk
mencegah terjadinya aritmia jantung
Monitor heart rate dan ritme dan tekanan darah
untuk mengetahui apabila ada hipotensi
Jangkauan level terapeutik
- Ukur konsentrasi dalam darah setelah
pemberian dosis awal intravena
- 6-15 mikrogram/mL pada minggu-minggu awal
kehidupan dilanjutkan 10-20 mikrogram/mL
-Midazolam
Midazolam
Dosis dan 0.15 mg/kg IV minimal selama 5 menit
administrasi Infus :
60-400 mikrogram/kg/jam
Rekonstitusi dan dilusi
Dilusi 1 mg/kg midazolam sampai dosis
total 50 mL dengan Nacl 0.9%, glukosa
5% atau 10%
1 ml/jam = 20 mikrogram/kg.jam
Keterangan Efektif pada bayi yang tetap kejang setelah diberikan
fenobarbital dan/atau fenitoin
Dapat menyebabkan depresi respiratorik dan
hipotensi jika disuntikkan dengan cepat atau
diberikan bersamaan dengan obat golongan
narkotika

Kontroversi Phenobarbital vs Phenitoin


Selama ini ada beberapa perdebatan mengenai mana yang lebih baik digunakan
terlebih dahulu untuk menangani kejang pada neonatus. Ada beberapa pertimbangan
mengenai kelebihan dan kekurangan dari masing-masing obat.Terapi yang dulu dipergunakan
adalah fenitoin sebagai terapi awal. Namun seiring berkembangnya waktu, banyak paradigma
baru yang mempergunakan phenobarbital sebagai terapi awal yang lebih baik.

Obat-obatan lain
Ada beberapa laporan penggunaan obat-obatan lain dalam menangani kejang pada
neonatus. 1 yang paling diterima secara antusias adalah levetiracetam. Levetiracetam telah
digunakan walaupun masih sedikit catatan mengenai percobaan obat ini terhadap neonatus.
Obat ini tidak memiliki interaksi dengan obat lain. Obat ini tersedia sebagai solusi oral,
sehingga memudahkan konversi ke terapi oral. Obat ini dimetabolisme di ginjal, bukan di
hati. Mekanisme yang diketahui saat ini tidk secara langsung melalui inhibisi atau eksitasi
neutransmisi7. Dilaporkan beberapa asus yang mengindikasikan efektifitas dan efek samping
serius. Dosis yang biasa digunakan adalah diantara 10-50 mg/kg7 dan dosis rumatan harian
dengan jumlah yang sama.

Kriteria memulangkan bayi


Sebagian besar dokter anak akan memulangkan bayi dengan memberikan fenobarbital
dosis rumatan jika ada pemeriksaan neurologis yang abnormal.Beberapa melakukan
pemeriksaan EEG lagi dalam 1 bulan, atau sesaat sebelum keluar dari perawatan, dan
menghentikan terapi antikonvulsan jika EEGnya normal. Jika keluar dari perawatan dengan
tetap menggunakan obat antikonvulsan, pertimbangkan penghentiannya jika mereka telah
bebas kejang selama 9 bulan.

2.1.8 Prognosis
Menurut buku neonatus IDAI, Kejang pada neonatus dapat mengakibatkan kematian,
atau jika hidup dapat menderita gejala sisa atau sekuele3

Etiologi Meninggal (%) Cacat (%) Normal (%)


HIE sedang dan berat 50 25 25
Bayi kurang bulan 58 23 18
Meningitis 20 40 40
Malformasi otak 60 40
Hipokalsemia 100
Hipoglikemia 50 50

Prognosis jangka panjang sesudah kejadian kejang pada bayi berat lahir rendah seperti
pada bayi berat lahir normal berhubungan langsung dengan penyebabnya.
Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian yang
tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung semakin tinggi risiko kerusakan
pada otak dan berdampak pada terjadinya kelainan neurologik lanjut (misalnya cerebral palsy
dan retardasi mental).

2.2 Kolestasis

2.2.1 Definisi

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum dalam

jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat

yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan kolesterol di dalam

darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North American Society for Pediatric

Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (NASPGHAN), kolestasis apabila kadar

bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila bilirubin total kurang dari 5 mg/dl, sedangkan bila

kadar dari bilirubin total lebih dari 5 mg/dl, kadar bilirubin direk lebih dari 20% dari bilirubin

total (Benchimol dkk., 2009; Bhatita, 2014).

2.2.2 Epidemiologi

Kasus kolestasis yang dijumpai pada masyarakat jika dibandingkan antara laki-laki dan

perempuan, perbandingannya relatif sama. Beberapa penelitian menunjukan perempuan


memiliki peluang yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, rasio atresia bilier pada bayi

perempuan dan bayi laki-laki adalah 2:1 (Benchimol dkk., 2009; Nazer, 2010).

Kolestasis dapat terjadi pada semua orang tanpa dibatasi usia, tetapi bayi-bayi yang baru

lahir masih merupakan golongan usia yang paling sering mengalami kolestasis. Kejadian

kolestasis meningkat pada bayi-bayi dengan usia kehamilan kurang bulan dan bayi berat lahir

rendah, karena berhubungan dengan gangguan dari fungsi hati. Faktor risiko lain yang

berhubungan dengan kolestasis adalah: bayi-bayi yang mengalami sepsis berulang dan

pemberian nutrisi secara parenteral (Nazer, 2010).

Berdasarkan penelitian yang ada, diperoleh data insiden kolestasis sebagai berikut:

kolestasis + 1:2.500 kelahiran hidup, atresia billier 1:19.065 kelahiran hidup. Rasio atresia

bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Penelitian yang dilaksanakan di

King College Hospital England antara tahun 1970-1990, melaporkan penyebab kolestasis

dapat dirinci sebagai berikut: atresia bilier sebanyak 35%, hepatitis neonatal 30%, defisiensi

-1 antitripsin 17%, sindroma Alagille 6%, kista duktus koledokus 3% (Benchimol dkk.,

2009; Tufano dkk., 2009)

Penelitian di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo (Surabaya) antara tahun 1999-

2004, dari 19270 penderita rawat inap didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis.

Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5 (5,2%), kista

hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%) (Arief, 2012).

2.2.3 Klasifikasi

Berdasarkan lokasi anatominya kolestasis dapat dibagi menjadi 2 yaitu: kolestasis

intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik.

a. Kolestasis intrahepatik

Kolestasis intrahepatik bisa juga disebut dengan kolestasis hepatoseluler. Kolestasis

intrahepatik merupakan 68% dari kasus kolestasis. Kolestasis intrahepatik terjadi karena

kelainan pada hepatosit atau elemen duktus biliaris intrahepatik. Hal ini mengakibatkan
terjadinya akumulasi, retensi serta regurgitasi bahan-bahan yang merupakan komponen

empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma, dan selanjutnya

pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan

sistem biliaris di dalam hati (Bisanto, 2011; Ermaya, 2014).

b. Kolestasis ekstrahepatik

Kolestasis ekstrahepatik merupakan 32% dari kasus kolestasis dan sebagian besar adalah

atresia bilier. Kolestasis ekstrahepatik terdapat penyumbatan atau obstruksi saluran empedu

ekstrahepatik. Penyebab utama kolestasis tipe ini adalah proses imunologis, infeksi virus

terutama Cytomegalo virus, Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan

genetik. Akibat dari penyebab tersebut maka akan terbentuk kelainan berupa nekroinflamasi,

yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan pembuntuan saluran empedu ekstrahepatik

(Arief, 2012; Ermaya, 2014).

Atresia bilier merupakan salah satu contoh kolestasis ekstrahepatik dan merupakan

penyebab yang paling sering ditemukan. Deteksi dini kolestasis ekstrahepatik yang

disebabkan oleh atresia bilier merupakan langkah yang sangat penting, karena metode

pengobatan untuk atresia biler adalah dengan pembedahan hepatik-portoenterostomi yang

biasa dikenal dengan nama operasi Kasai, operasi ini kurang efektif apabila umur pasien

sudah lebih dari 2 bulan (Lee dkk., 2010).

2.2.4 Etiologi

Etiologi kolestasis dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Etiologi kolestasis


Kolestasis Ekstrahepatik
Atresia bilier ekstrahepatik
Kista duktus koledokus
Perforasi spontan duktus biliaris komunis
Inspissated bile syndrome
Caroli syndrome
Hepatoseluler Infeksi
Hepatitis virus Sifilis
Infeksi TORCH Varicela
Leptospirosis Infeksi HIV
Sepsis Tuberkulosis
Infeksi saluran kemih
Cytomegalo virus (CMV)
Kelainan metabolik
Kelainan metabolisme asam amino (tirosinemia)
Kelainan metabolisme lemak (penyakit Gaucher, penyakit Niemann-Pick, Sindrom Wolman) Kelainan
metabolisme karbohidrat (galaktosemia, intoleransi fruktosa herediter, glycogen storage disease)
Kelainan metabolisme asam empedu
Kelainan metabolik bilirubin (Dubin-Johnson syndrome, Rotor syndrome)
Kelainan mitokondria Defisiensi alfa-1
antitripsin Trisomi 18,21
Kelainan endokrin
Hipotiroid Hipopituitarisme
Sumber: Walsh dkk., 2009

2.2.5 Patogenesis

Kolestasis intrahepatik diakibat oleh gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu

akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya di

dalam hati. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai

berikut: (Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011)

+ + +
a. Gangguan transporter (Na K ATP-ase dan Na bile acid co-transporting protein
NCTP)
b. Berkurangnya transport intraseluler yang diakibatkan oleh perubahan keseimbangan

kalsium atau kelainan mikrotubulus akibat toksin atau pengguanaan obat.

c. Sekresi asam empedu primer yang berkurang atau terbentuknya asam empedu atipik

di kanalikulus yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel

hati.

d. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi bahan

empedu akibat lesi pada tight junction.

e. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik.

2.2.6 Manifestasi klinis

Bayi ikterus sampai usia dua minggu pada umumnya disebabkan oleh peningkatan

bilirubin indirek dan mencapai kadar puncak pada usia 5-7 hari. Bayi yang mengalami

peningkatan kadar biliribin direk akan mengalami ikterus setelah usia dua minggu.

Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah ikterus atau kulit dan
mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin berwarna lebih gelap,

tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul (akholik) (Arief, 2012;

Oswari, 2014).

Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat dijumpai hepatomegali, splenomegali, gagal

tumbuh, dan wajah dismorfik. Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan kolestasis

adalah hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit metabolik, hipopituitarisme

atau kelainan hati yang berat, perdarahan oleh karena defisiensi vitamin K,

hiperkolesterolemia, xanthelasma, sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan (Bisanto,

2011; Ermaya, 2014).

2.2.7 Diagnosis

Kolestasis dicurigai apabila terdapat warna ikterus pada kulit atau mukosa yang tidak

menghilang setelah minggu ke-3 kehidupan, pada bayi kurang bulan dan lebih dari dua

minggu pada bayi cukup bulan (Girard dan Lacaille, 2008).

Untuk mendiagnosis kolestasis dapat dilakukan beberapa langkah seperti:

2.2.7.1 Anamnesis

Riwayat ikterus lebih dari 14 hari, keluarga pasien yang menderita kolestasis, lahir

prematur atau berat lahir rendah, riwayat kehamilan dengan infeksi TORCH, hepatitis B,

infeksi intrapartum, pemberian nutrisi parenteral, sepsis dan ISK. Bayi dengan atresia bilier

biasanya lahir dengan berat badan yang normal, sedangkan pada bayi dengan kolestasis

intrahepatik lahir dengan berat badan lahir rendah (Arief, 2012).

2.2.7.2 Pemeriksaan fisik

Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan kolestasis, dan

merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada umumnya gejala ikterik akan

muncul pada pasien apabila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl (Girard dan Lacaille, 2008;

Benchimol dkk., 2009).


Pemeriksaan abdomen bisa ditemukan adanya hepatomegali, apabila didapatkan

kosistensi hepar keras, tepi tajam, dan permukaan noduler, hal tersebut dapat diperkirakan

hepar sudah mengalami fibrosis atau sirosis. Hepar yang teraba pada daerah epigastrium

maka dapat dicerminkan sebagai sirosis. Rasa nyeri tekan pada palpasi merupakan

mekanisme peregangan dari kapsula Glissoni yang disebabkan karena edema. Pasien dengan

kolestasis dapat dijumpai juga adanya splenomegali, perdarahan yang disebabkan oleh

defisiensi vitamin K, urin berwarna gelap seperti teh, tinja warnanya pucat (akholik), sampai

bisa didapatkan pasien dengan gagal tumbuh (Kader dan Balistreri, 2011; Arief, 2012).

2.2.7.3 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk mengetahui tipe kolestasis. Pada

pemeriksaan penunjang terdapat beberapa metode pemeriksaan yang mencakup: pemeriksaan

laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati dan kolangiografi intraoperatif (Benchimol dkk.,

2009; Bisanto, 2011; Ermaya, 2014).

A. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin yang

dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan mengetahui hasil dari

komponen bilirubin kita dapat membedakan antara kolestasis dengan

hiperbilirubinemia fisiologis. Dikatakan kolestasis apabila didapatkan kadar

billirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau

kadar billirubun direk lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5

mg/dl.

b. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT <5 kali,

lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler, sedangkan apabila dari hasil

laboratorium didapatkan peningkatan SGOT/SGPT <5 kali dengan peningkatan

gamma GT >5 kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.

c. Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal ini
menunjukkan adanya proses infeksi.

d. Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang

mengalami kolestasis.

e. Serum lipoprotein-X meningkat pada kolestasis yang disebabkan oleh obstruksi.

f. Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin biasanya normal

tetapi mungkin memanjang, yang dapat dikoreksi dengan vitamin K.

g. Kadar gula darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk mendeteksi kelainan

yang berhubungan dengan metabolik.

h. Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya infeksi

Toksoplasma, Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes.

i. Pemeriksaan FT4 dan TSH.

j. Pemeriksaan biakan bakteri (biakan urin dan darah).

k. Pemeriksaan hepatitis B dan pemeriksaan kadar -1 antitripsin.

Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3 porsi (dilihat

tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu

menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik (Girard dan Lacaille, 2008; Tufano dkk.,

2009; Oswari, 2014).

Cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah :

a. Porsi I diambil pada pukul 06.00 14.00

b. Porsi II diambil pada pukul 14.00 22.00

c. Porsi III diambil pada pukul 22.00 06.00

Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang berwarna gelap kemudian

setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul tiga sampel. Apabila dalam beberapa hari

pemeriksaan didapatkan hasil tinja yang berwarna dempul, maka kemungkinan besar pasien

tersebut mengalami kolestasis ekstrahepatik. Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik


biasanya hasil pemeriksaan tinja yang diperiksa hasilnya normal.

B. Ultrasonografi

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu teknik pemeriksaan untuk

mendeteksi kolestasis pada pasien. Dengan pemeriksaan USG dapat diketahui ukuran,

keadaan hati, dan kandung empedu. Pemeriksaan ini relatif murah harganya dengan teknik

yang sangat sederhana, serta efektifitasnya mencapai 80%. Ultrasonografi dapat mendeteksi

adanya tanda triangular cord dibagian atas percabangan vena porta. Ultrasonografi memiliki

sensitivitas 85%,

spesifisitas 100%, dan akurasi 95% untuk mendiagnosis atresia bilier

ekstrahepatik (Oswari, 2007; Bisanto, 2011).

Sebelum dilakukan pemeriksaan USG pasien harus dipuasakan minimal selama 4 jam.

Kemudian, setelah pemeriksaan USG yang pertama pasien diberikan minum dan diperiksa

USG kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan tampak 1,5 cm, sedangkan pada

60% pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan tampak (Bisanto, 2011).

Pada pasien dengan kolestasis intrahepatik, pada saat pasien dipuasakan akan terlihat

kandung empedu yang normal dan pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga mudah

terlihat dengan pemeriksaan USG. Setelah pasien diberikan minum, kandung empedu akan

mengalami kontraksi sehingga ukurannya akan lebih kecil dan tidak terlihat dengan

pemeriksaan USG. Kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier terjadi karena

adanya proses obstruksi di hati, sehingga pada saat pasien dipuasakan kandung empedu tidak

dapat dilihat dengan pemeriksaan USG. Keadaan lain yang mengarah kemungkinan atresia

bilier, apabila saat puasa kandung empedu terlihat ukurannya kecil dan setelah diberikan

minum ukurannya tidak terjadi perubahan (Benchimol, 2009; Oswari, 2014).

C. Biopsi hati

Biopsi hati merupakan cara yang paling akurat untuk mendiagnosis bayi dengan

kolestasis. Berdasarkan data-data yang didapatkan dari penelitian sebelumnya, pasien


kolestasis yang disebabkan oleh atresia bilier dapat dideteksi sekitar 90%-95% dengan biopsi

hati. Pada atresia bilier dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile plug,

portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada pasien dengan hepatitis neonatal idiopatik

dengan metode ini akan didapatkan gambaran pembengkakan sel difus, transformasi giant

cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal (Oswari, 2007).

D. Kolangiografi intraoperatif

Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak selalu dikerjakan pada kolestasis, karena

merupakan prosedur yang sulit dan berbahaya, tetapi tingkat akurasinya sangat tinggi sekitar

98% untuk mendiagnosis atresia bilier. Pemeriksaan dengan metode kolangiografi

intraoperatif sangat tergantung terhadap hasil histopatologi hati. Apabila dari hasil

histopatologi hati mengarah pada atresia bilier atau hasil yang diperoleh masih belum bisa

untuk menyingkirkan atresia bilier, maka diperlukan tindakan laparatomi eksplorasi. Pada

saat dilakukan laparatomi, pemeriksaan langsung terhadap keadaan kandung empedu dan

sistem bilier sangat diperlukan untuk melihat adanya obstruksi pada sistem bilier (Oswari,

2007; Bisanto, 2011).

Kolestasis yang disebabkan oleh atresis bilier, kandung empedunya terlihat kecil dan

fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Kolangiografi dilakukan untuk

menentukan patensi sistem bilier, sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke kandung empedu,

kemudian disuntikan zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi untuk menentukan

luasnya obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi yang umum dipakai adalah

menurut Japanese Society Of Pediatric Surgeon, yang membagi keadaan ini menjadi 3 tipe.

Tipe 1 atresia meliputi terutama duktus biliaris komunis, tipe 2 atresia bilier naik sampai

keduktus hepatikus komunis dan tipe 3 atresia bilier mengenai seluruh sistem bilier

ekstrahepatik (Oswari, 2007).

2.1.8 Penatalaksanaan
Secara garis besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi menjadi dua bagian,

yaitu:

2.2.8.1 Penatalaksanaan kausal

Terapi spesifik kolestasis sangat tergantung dari penyebabnya. Kolestasis ekstrahepatik

yang disebabkan oleh atresia bilier, tindakan operasi Kasai dan transpalantasi hati merupakan

cara yang efektif untuk tata laksananya. Tindakan operasi Kasai efektif bila dikerjakan pada

umur <6 minggu dengan angka keberhasilan mencapai 80-90%, apabila dilakukan pada umur

10-12 minggu angka keberhasilannya hanya sepertiga saja. Tata laksana kolestasis

intrahepatik dengan medikamentosa sesuai dengan penyebab merupakan tata laksana yang

tepat (Benchimol, 2009; Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011).

2.2.8.2 Penatalaksanaan suportif

Tata laksana suportif kolestasis bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan

perkembangan seoptimal mungkin. Tata laksana suportif meliputi: (Oswari, 2007; Putra dan

Karyana, 2010, Bisanto, 2011).

A. Medikamentosa

Pemberian medikamentosa pada kolestasis bertujuan untuk meningkatkan aliran

empedu. Medikamentosa yang biasanya diberikan antara lain:

a. Asam ursodeoksikolat

Obat ini umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang

disebabkan kolestasis. Disamping itupula obat ini berfungsi sebagai hepatoprotektor.

Dosis yang diberikan adalah: 1020 mg/kgBB/Hari.

b. Kolestramin

Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi sirkulasi

enterohepatik. Dosis: 0,25-0,5 g/kgbb/hari.

B. Nutrisi
Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis. Penurunan

eksresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan

absorbsi trigliserid rantai panjang. Bayi dengan kolestasis membutuhkan asupan kalori yang

lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. Untuk menjaga tumbuh

kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi, digunakan formula khusus dengan

jumlah kalori 120-150% dari kebutuhan normal serta vitamin, mineral dan trace element:

a. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 130-150% kebutuhan bayi

normal sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein 2-3 gr/kgbb/hari.

b. Vitamin yang larut dalam lemak: vitamin A 5000-25000 IU/hari, vitamin D

Calcitriol 0,05-0,2 ug/kgbb/hari, vitamin E 25-50 IU/kgbb/hari, dan vitamin K

2-5 mg (IM) selama 3 hari berturut-turut apabila pasien dengan pemanjangan

faal hemostasis, pasien tanpa pemanjangan faal hemostasis berikan vitamin K

2-5 mg (IM) setiap 2-3 minggu.

C. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama penderita dengan kelainan hati

yang progresif yang memerlukan transplantasi hati (Oswari, 2007; Putra dan Karyana,

2010; Bisanto, 2011).

2.2.9 Prognosis

Prognosis pasien kolestasis sangat tergantung dari jenis kolestasis. Prediktor untuk

prognosis buruk adalah: ikterus hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul,

riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten, dan terdapatnya inflamasi hebat

pada hasil biopsi hati. Pada pasien atresia bilier ada beberapa faktor yang berpengaruh untuk

hasil yang baik, diantaranya: pengalaman operator, sentral rujukan, luasnya kerusakan hati

pada saat operasi dan frekuensi kolangitis. Pada sindrom hepatitis neonatal akibat infeksi

mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan dengan atresia bilier atau sindrom hepatitis
neonatal akibat metabolik maupun genetik. Hal ini dihubungkan dengan tersedianya

antimikroba spesifik. Angka kesembuhan kolestatik intrahepatik akibat infeksi berkisar 60-

80% (Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011).

DAFTAR PUSTAKA
1. Antonius H. Pudjiadi et al. Kejang dan spasme pada neonatus dalam pedoman
pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi II. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indoneisa 2011; p 155-160.
2. Ghomela, Tricia.Lange Neonatology : Management, Procedures, On-Call Problems,
Diseases, Drugs.2004. edisi 5. New York : The Mcgraw-Hills
3. Gordon B. Avery, Mhairi G. MacDonald, Mary M. K. Seshia, Martha D. Mullett,
M.D.Averys neonatology : Pathophysiology And Management Of The
Newborn.2005. edisi 6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
4. Kosim M. Sholeh,Ari Yunanto, Rizalya Dewi, Gatot Irawan Santosa, Ali Usman.Buku
Ajar Neonatologi. 2010. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
5. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline.2001-
2011.Queensland(Australia): Queensland Goverment. 2011
6. Jensen MD, Frances. Neonatal Seizures : An Update on Mechanisms and
management. Clin Perinatol. 2009; 36(4): 881
7. Olson MD, Donald. Neonatal Seizures. Neoreviews 2012; 13; e213
8. Lissauer T, Fanaroff AA. At a Glance: Neonatologi. In: Safitri, Amalia (editors).
Jakarta: Balai Penerbit Erlangga; 2009.p.96-9
9. Duke T, Kelly J, Weber M, English M, Campbell H. Hospital Care for Children in
Developing Country. Available at:
http://www.ichrc.org/sites/www.ichrc.org/files/Indonesia.pdf Accessed on: November
2016
10. Eric Gybson. Neonatal cholestasis. Available at
[http://www.merckmanuals.com/professional/pediatrics/perinatal-problems/neonatal-
cholestasis]. Accessed on November 2016.
11. Amy G, Ronald J. neonatal cholestasis. Available from
[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3827866/]. Accessed on November
2016.
12. Unknown. Air susu ibu dan ikterus. Available from
[http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-ikterus]. Taken on November
2016

You might also like