Professional Documents
Culture Documents
Alfred O.M. Dima1*, Dedy D. Solihin2, Wasmen Manalu3, dan Arief Boediono3
1
Jurusan Biologi FST Universitas Nusa Cendana (UNDANA), Kupang; 2Departemen Biologi
FMIPA-IPB, Bogor; 3 Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB, Bogor
*
E-mail: onny_dima@yahoo.co.id
ABSTRACT
Sex determination in turtle species is not only based on genotype, but also rely on the incubation
temperature. In addition, sexual differentiation takes place during the thermo-sensitive period (TSP).
This study was conducted to determine the effects of incubation temperature on sex expression profile
of determination gene, bioreproduction, phenotype, and locomotory performances of olive ridley
turtle hatchlings. Fertile eggs incubated at two temperatures, namely feminine temperature (30-33C),
and masculine temperature (26-27C). Value of cycle threshold (CT) measured during TSP, i.e 23-25
embryonic development stage, and after TSP, i.e 26-27 embryonic development stage using real time
PCR techniques. Comparison of gene expression at both incubation temperatures were analyzed by
ANOVA, and Students t test. Hatchling bioreproduction and phenotype measurement consist of the
incubation period, embryo growth, morphometrics, and locomotori performances hatchlings were
analyzed with regression analysis and Students t test. The results showed expression of both
aromatase and Rspond 1 genes (which plays a role in ovarian differentiation) after the TSP that
incubated at feminine temperature higher and different with masculine temperature. In conjunction
with the bioreproduction and phenotype, the incubation period of feminine temperature shorter than
that of masculine. Likewise, growth of the embryo of feminine temperature was faster than that of
masculine. Incubation at feminine temperature significantly affect to carapace width, length and width
of the plastron, long flippers and rear arms, long neck, and the frequency of the swing flippers.
Keywords: thermo-sensitive period (TSP), gene expression, phenotype, Lepidochelys olivacea
ABSTRAK
Penentuan seks pada penyu tidak hanya berdasarkan genotipe, tetapi juga bergantung suhu inkubasi.
Selain itu, diferensiasi seks berlangsung selama thermosensitive period (TSP). Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui pengaruh suhu inkubasi terhadap profil ekspresi gen determinasi seks,
bioreproduksi, fenotipe, dan performa lokomotori tukik penyu lekang. Telur yang fertil diinkubasi
pada dua suhu, yaitu suhu feminin (30-33C), dan suhu maskulin (26-27C). Pengukuran nilai cycle
threshold (CT) dilakukan selama TSP, yaitu stadia perkembangan embrio 23-25, dan setelah TSP, yaitu
stadia perkembangan embrio 26-27 menggunakan teknik real time PCR. Perbandingan ekspresi gen
pada kedua suhu inkubasi dianalisis dengan ANOVA, dan dilanjutkan dengan uji t student. Hasil
pengukuran bioreproduksi dan fenotipe tukik, yaitu, pertumbuhan embrio, lama inkubasi,
morfometrik, dan performa lokomotori tukik dianalisis dengan analisis regresi dan uji t Students.
Hasil penelitian menunjukkan ekspresi gen aromatase dan Rspond 1 (yang berperan dalam diferensiasi
ovarium) setelah TSP dari embrio yang diinkubasi pada suhu feminin lebih tinggi dan berbeda dengan
suhu maskulin. Berkaitan dengan bioreproduksi, maka periode inkubasi pada suhu feminin lebih
singkat dari suhu maskulin. Demikian juga pertumbuhan embrio yang lebih cepat pada suhu feminin.
Inkubasi pada suhu feminin berpengaruh nyata terhadap fenotipe tukik, yaitu lebar karapas, panjang
dan lebar plastron, panjang flipper dan lengan belakang, panjang leher, dan frekuensi ayunan flipper.
Kata kunci: thermo-sensitive period (TSP), ekspresi gen, fenotipe, Lepidochelys olivacea
144 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Dima et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 145
Profil Ekspresi Gen Determinasi Seks dan Fenotipe Penyu Lekang . . .
dilakukan pada 55C (Aromatase), dan 54C onal pada kedua suhu inkubasi, yaitu suhu
(Rspond-1) selama 30 detik dan kondisi maskulin dan suhu feminin. Untuk mem-
amplifikasi; denaturasi awal 94C: 5 menit bandingkan level mRNA pada suhu inkubasi
(sekali), annealing 94C: 15 detik, ekstensi feminin dan maskulin pada berbagai stadia
72C: 1 menit untuk 45 siklus dan 72C: 1 perkembangan embrional digunakan uji t
menit untuk ekstensi akhir. Setiap sampel Student. Selanjutnya, analisis regresi di-
dijalankan secara duplo (duplikasi) dan nilai gunakan untuk mengukur pengaruh suhu in-
tengah cycle threshold (CT) yang diperoleh kubasi terhadap pertumbuhan embrio (g)
digunakan untuk analisis.Nilai CT yang lebih pada setiap stadia perkembangan embrio. Se-
kecil menunjukkan bahwa gen target ter- dangkan untuk membandingan periode in-
amplifikasi lebih banyak (level ekspresi lebih kubasi, morfometrik tukik, frekuensi ayunan
tinggi). lengan depan (flipper) dan kecepatan mem-
Cycle threshold adalah siklus dimana balikkan tubuh tukik pada dianalisis meng-
nilai fluorosence mulai meningkat dan ter- gunakan uji t Student pada suhu maskulin
deteksi pada base line grafik yang menun- dan suhu feminin. Pada hasil pengukuran ini
jukkan jumlah amplikon yang teramplifikasi dijadikan sebagai karakter pembeda antara
pada siklus tersebut. Kriteria nilai CT yang tukik yang dinkubasi pada kedua suhu in-
diperoleh pada setiap gen, yaitu nilai CT yang kubasi.
diperoleh berbanding terbalik dengan level
ekspresi gen. Artinya pada stadia per- III. HASIL DAN PEMBAHASAN
kembangan embrio yang sama, level ekspresi
gen aromatase dan Rspond-1 yang tinggi jika 3.1. Hasil
memiliki nilai CT yang lebih kecil. Se- 3.1.1. Perbandingan Profil Ekspresi Gen
baliknya, pada stadia perkembangan embrio Determinasi Seks
yang sama, nilai CT yang lebih besar me- Profil ekspresi gen aromatase, dan
miliki level ekspresi gen target yang lebih Rspond-1 pada otak embrio yang diinkubasi
rendah pada kedua suhu inkubasi. pada kedua suhu ditunjukkan secara berturut-
Pengukuran bioreproduksi terdiri dari turut pada Gambar 1 dan 2. Profil ekspresi
periode inkubasi dan pertumbuhan embrio. gen aromatase (110 bp) terekspresi pada
Pengukuran fenotipe bobot badan tukik, semua stadium perkembangan embrio dan
ukuran morfometrik, dan performa loko- pada kedua suhu inkubasi dengan intensitas
motori. Pertumbuhan embrio diukur dengan yang berbeda. Pada stadia perkembangan
cara menghitung bobot embrio penyu (g) embrio selama periode termosensitif (TSP)
sesuai tahap perkembangan embrional. Pe- pada stadia 23 dan 24 terlihat ekspresi gen
ngukuran fenotipe, yaitu bobat badan tukik aromase pada suhu maskulin lebih tinggi
diukur segera setelah tukik menetas (g), dan dibandingkan dengan suhu feminin. Se-
9 karakter morfometrik tukik, yaitu panjang baliknya pada stadia perkembangan embrio
karapas (PKs), lebar karapas (LKs), panjang 25-27, ekspresi gen aromatase suhu maskulin
plastron (PP), lebar plastron (LP), panjang menunjukkan penurunan secara berturut-turut
lengan depan (PLD), panjang lengan bela- dibandingkan dengan ekspresi gen aromatase
kang (PLB), panjang kepala (PK), lebar ke- pada suhu feminin. Hasil analisis ragam
pala (LK), dan panjang leher (PL). Performa menunjukkan bahwa ekspresi gen aromatase
lokomotori diukur meliputi frekuensi ayunan pada kedua suhu inkubasi tidak berbeda
lengan depan dan kecepatan membalikkan nyata (ANOVA, p = 0,331). Perbedaan yang
tubuh. tidak siknifikan juga terlihat ketika mem-
Analisis ragam (ANOVA) digunakan bandingkan level mRNA aromatase pada
untuk membandingkan level ekspresi mRNA periode termosensitif (stadia 23-25) terhadap
pada berbagai stadia perkembangan embri- periode setelah periode termosensitif (stadia
146 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Dima et al.
26-27) untuk suhu feminin. dan suhu 27) pada kedua suhu inkubasi menunjukkan
maskulin (uji t Student p = 0,335). Se- berbeda nyata (uji t student, p = 0,013).
baliknya, perbedaan siknifikan level mRNA
aromatase diamati ketika membandingkan
stadia setelah periode termosensitif (stadia 26
dan 27) pada kedua suhu inkubasi (uji t
Student, p = 0,028).
Analisis RT-PCR gen Rspond-1
dengan panjang fragmen 98 bp, menun-
jukkan intensitas yang hampir sama pada
kedua suhu inkubasi. Berdasarkan Gambar 2
terlihat bahwa level ekpresi Rspond 1 suhu
maskulin pada stadia perkembangan 23 dan
24 lebih rendah dibandingkan dengan suhu
feminin. Sebaliknya, ekspresi Rspond-1 sta-
dia perkembangan 25-27 pada suhu feminin
lebih tinggi dari suhu maskulin.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 147
Profil Ekspresi Gen Determinasi Seks dan Fenotipe Penyu Lekang . . .
3.2. Pembahasan
148 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Dima et al.
Tabel 1. Bioreproduksi, fenotipe, dan performa lokomotori tukik penyu lekang yang
diinduksi pada dua suhu inkubasi.
tian ini dilaporkan pada spesies TSD, seperti aromatase sehingga akan menghasilkan seks
kura-kura T. scripta (Murdock and Wibbels, jantan (Tsai et al., 2003; Rhen et al., 2007).
2003), Alligator mississipiensis (Gabriel et Diferensiasi seks gonad pada penyu
al., 2001), C.picta dan spesies GSD, kura- TSD berlangsung selama TSP. Pieau et al.
kura Apolone mutica (Valenzuela and Shi- (1999) menyatakan bahwa aromatase adalah
kano, 2007) menunjukkan level mRNA aro- kompleks enzim yang merubah androgen
matase yang tidak berbeda antara suhu menjadi estrogen. Pada awal TSP, mRNA
feminin dan suhu maskulin selama periode reseptor estrogen diekspresikan pada gonad.
termosensitif, tetapi lebih tinggi pada betina Ketika tahap diferensiasi ovarium, transkrip
setelah periode termosensitif. Hasil penelitian mRNA reseptor estrogen ditemukan di ba-
ini memberikan data yang menunjukkan bah- gian medula dan konteks korda ovarium,
wa suhu inkubasi dapat menekan atau meng- sebaliknya pada diferensiasi testis hanya
stimulasi ekspresi aromatase pada sejumlah ditemukan pada bagian medula korda tes-
reptil, termasuk penyu lekang yang penen- tikular (Bergeron et al., 1998). Saat diferen-
tuan seks bergantung pada suhu inkubasi. siasi ovarium, epitel germinal menebal ka-
Ekspresi gen aromatase dan aktivitas- rena adanya proliferasi sel epitel dan sel ger-
nya dapat diatur oleh lingkungan, misalnya minal hingga membentuk kantong oogonia
suhu dan hormon sintetik (Orlando et al., dan akhirnya membentuk ovarium definitif.
2002). Sebagai contoh, pada beberapa jenis Sebaliknya, diakhir TSP tahap perkembangan
ikan dan reptil, peningkatan suhu air setelah embrio, diameter korda testikuler semakin
stadia perkembangan awal dapat mening- menurun sebagai akibat menurunnya kan-
katkan ekspresi gen aromatase dan aktivitas dungan protein dalam testis (Pieau et al.,
enzimatis sehingga akan menghasilkan seks 1999). Crews et al. (1991) dan Bergeron et
betina, sebaliknya, pengaruh suhu tersebut al. (1994) menyatakan bahwa estrogen alami
dapat dihambat dengan penggunaan inhibitor dan sintetik dapat menginduksi diferensiasi
aromatase yang akan menekan ekspresi gen ovarium pada suhu feminin secara normal
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 149
Profil Ekspresi Gen Determinasi Seks dan Fenotipe Penyu Lekang . . .
selama TSP. Pada ikan Oreochromis nilo- awal TSP dan terus meningkat pada suhu
ticus, level ekspresi mRNA P450aromA feminin (31C) dibandingkan suhu maskulin
diperlukan untuk diferensiasi ovarium dan (26C). Selanjutnya, ekspresi Rspond 1
menghambat diferensiasi testikuler. Implika- menurun secara siknifikan pada embrio yang
sinya, suhu inkubasi dapat mengatur ekspresi suhu inkubasinya diganti dari suhu feminin
dan aktivitas gen aromatase ( Kitano et al., ke suhu maskulin. Hal ini menunjukkan
2000; Pieau and Dorizzi, 2004). bahwa ekspresi Rspond-1 dipengaruhi oleh
Secara keseluruhan, hasil penelitian suhu, baik pada suhu feminin dan pergantian
ini menunjukkan bahwa peningkatan level suhu inkubasi. Demikian juga pada spesies
ekspresi gen aromatase yang diinduksi suhu ikan Oryzias latipes, Zhou et al. (2012)
selama masa inkubasi meningkatkan pro- menemukan tiga anggota famili Rspond (1-3)
duksi estrogen yang berperan dalam diferen- yang menunjukkan profil ekspresi dimorfik
siasi ovarium selama TSP dan memperta- secara seksual pada gonad betina di semua
hankan struktur ovarium setelah TSP pada stadium perkembangan embrio. Hal ini
suhu feminin, sebaliknya induksi suhu mas- menunjukkan bahwa ekspresi Rspond 1
kulin selama perkembangan embrio berperan dipengaruhi oleh suhu, baik pada suhu
dalam diferensiasi testis. feminin dan pergantian suhu inkubasi, dan
Visualisasi gel elektroforesis gen gen Rspond sangat diperlukan untuk
Rspond-1 konsisten muncul di semua stadia diferensiasi ovarium. Kocer et al. (2008)
perkembangan embrio penyu lekang dengan menyatakan bahwa gen Rspond-2 berperan
intesitas yang berbeda. Demikian pula ana- sebagai gen kandidat untuk diferensiasi
lisis real-time PCR menunjukkan bahwa eks- ovarium.
presi mRNA Rspond 1 yang berasal dari
jaringan otak terekspresi pada semua stadia 3.2.2. Bioreproduksi, Fenotipe, dan Per-
perkembangan (Gambar 2). Hasil analisis forma Lokomotori Tukik Penyu
statistik menunjukkan tidak terdapat per- Lekang yang Diinkubasi pada Suhu
bedaan level ekspresi mRNA Rspond 1 Berbeda
antara yang diinkubasi pada suhu maskulin Berdasarkan hasil penelitian terlihat
dan suhu feminin pada seluruh stadia per- bahwa telur yang diinkubasi pada suhu
kembangan embrional. Demikian juga per- feminin lebih singkat periode inkubasi (49-52
bandingan level ekspresi Rspond 1 antara hari) dibandingkan dengan telur yang
periode TSP (stadia 23-25) pada kedua suhu diinkubasi pada suhu maskulin (71-73 hari).
inkubasi. Meskipun demikian, level mRNA Hasil penelitian ini sejalan dengan Mrosov-
Rspond 1 setelah TSP (stadia 26-27) pada sky et al.(1999) yang menyatakan bahwa
embrio yang diinkubasi pada suhu feminin lama inkubasi menjadi lebih singkat pada
lebih tinggi dan berbeda dengan suhu mas- sarang suhu feminin, sebaliknya, lama in-
kulin. Hasil penelitian ini menunjukkan kubasi menjadi lebih panjang pada sarang
bahwa Rspond-1 berfungsi, yaitu memper- suhu maskulin. Durasi embriogenesis yang
tahankan ekspresi gonad betina dan menekan lebih pendek dan laju pertumbuhan embrio
diferensiasi dan perkembangan testis. penyu lebih cepat disebabkan tingkat me-
Smith et al. (2008) menjelaskan tabolisme lebih tinggi pada suhu feminin
bahwa ekspresi Rspond-1 pada sejumlah dibandingkan dengan telur penyu yang di-
vertebrata, seperti tikus, ayam, dan kura-kura inkubasi pada suhu maskulin (Packard and
(Trachemys Scripta), menunjukkan peranan Packard 1988). Adanya pola pertumbuhan
yang konservatif dalam perkembangan yang lebih tinggi pada embrio yang di-
ovarium. Pada T. Scripta, reptil yang deter- inkubasi pada suhu feminin juga akan
minasi seks tergantung pada suhu, ekspresi memegaruhi ukuran morfometrik tukik yang
Rspond-1 secara siknifikan lebih tinggi di akan dihasilkan.
150 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Dima et al.
Suhu inkubasi telur penyu yang ideal embrio lebih lambat dengan periode inkubasi
agar embrio tumbuh dengan baik berkisar lebih panjang (71-73 hari). Periode inkubasi
antara 24-33C. Masa inkubasi bergantung lebih panjang dan lebih banyak kuning telur
pada suhu pasir di pantai. Marquez (1990) dikonversi menjadi jaringan tukik sehingga
menyatakan bahwa suhu optimal untuk menghasilkan ukuran tubuh lebih besar.
penetasan telur penyu sisik secara semialami Akan tetapi, tukik yang ditetaskan memiliki
adalah 28-32C. Jika suhu selama masa performa berenang yang lebih lambat karena
inkubasi jauh lebih rendah atau lebih tinggi cadangan energi yang berasal dari kuning
dari suhu optimal tersebut maka hasil pe- telur yang mesti disimpan justru telah dikon-
netasan akan kurang dari 50%. Hasil pe- versi untuk proses organogenesis (Booth and
nelitian menunjukkan ada korelasi negatif Astil 2001). Transformasi dari zigot ke tukik
antara suhu inkubasi dengan durasi periode diperpanjang oleh kondisi dingin karena suhu
inkubasi. mengatur tingkat aktivitas kimia, termasuk
Jayasuari et al. (1994) menjelaskan yang berkontribusi terhadap tingkat
bahwa penyu terrapin diamondback (Mala- metabolisme secara keseluruhan (Hoegh-
clemys terrapin) yang diinkubasi pada suhu Guldberg and Pearse, 1995).
31C menghasilkan tukik betina dengan Berdasarkan pengukuran morfometri
lama inkubasi 45 hari. Telur yang diinkubasi panjang lengan depan (PLD) tukik menun-
pada suhu 27C menghasilkan tukik jantan jukkan perbedaan signifikan di antara kedua
dengan lama inkubasi 60 hari. suhu inkubasi. Hal yang sama juga ditun-
Hasil analisis regresi pertumbuhan jukkan pada kecepatan mendayung (power
embrio yang diinkubasi pada kedua suhu stroke) dari flipper tukik yang berbeda pada
inkubasi (Gambar 4) menunjukkan adanya kedua suhu inkubasi. Rendahnya frekuensi
perbedaan nilai koefisien regresi (bi) pada ayunan lengan depan pada tukik yang di-
masing-masing suhu inkubasi. Nilai koefisien inkubasi pada suhu rendah (26-27C) diduga
regresi pada suhu feminin (0,016X2- 0,542X) juga berkaitan dengan meningkatnya efisi-
lebih besar dari koefisien regresi pada suhu ensi konversi cadangan energi (kuning telur)
maskulin (0,009X2-0,450X). Hal ini berarti, pada jaringan akibat lamanya periode in-
bahwa pertumbuhan embrio yang diinkubasi kubasi dan durasi embriogenesis penyu
pada suhu feminin selama tahap perkem- lekang. Kondisi ini berdampak langsung
bangan embrio lebih cepat dibandingkan em- pada berkurangnya ketersediaan energi pada
brio yang diinkubasi pada suhu maskulin. Se- tukik yang ditetaskan dan akan mengurangi
cara biologi, tingginya laju pertumbuhan frekuensi ayunan lengan depan (Packard and
embrio pada suhu feminin menunjukkan Packard, 1988).
kuning telur sebagai cadangan energi lebih Pada penelitian ini juga dilakukan
cepat dikonversi menjadi jaringan selama perbandingan performa lokomotori tukik
perkembangan embrionik. pada kedua suhu inkubasi. Pada suhu fe-
Secara umum, pertumbuhan embrio minin, frekuensi ayunan flipper lebih banyak
yang diinkubasi pada suhu feminin memiliki (63,026,52) dibandingkan dengan tukik
kecenderungan lebih cepat dibandingkan yang ditetaskan pada suhu maskulin
dengan embrio yang diinkubasi pada suhu (47,411,89). Hasil ini sejalan dengan ukur-
maskulin, terutama pada hari pengamatan 38- an morfometri panjang flipper pada suhu fe-
50 periode inkubasi. Jika dikaitkan dengan minin lebih panjang dengan tukik pada suhu
periode inkubasi, terlihat bahwa pada suhu maskulin. Gyuris (2000) dan Pilcher et al.
feminin (30-33C), pertumbuhan embrio le- (2000) menyatakan bahwa performa lokomo-
bih cepat dengan periode inkubasi lebih pen- tori penyu hijau adalah faktor utama dalam
dek (49-52 hari), dan sebaliknya pada suhu menentukan peluang penyu untuk bertahan
inkubasi maskulin (26-27C), pertumbuhan hidup, yaitu pada periode saat menetas dan
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 151
Profil Ekspresi Gen Determinasi Seks dan Fenotipe Penyu Lekang . . .
muncul dari sarang hingga mencapai pantai beda nyata, dan frekuensi ayunan flipper
perairan yang lebih dalam. Tukik penyu hijau yang lebih banyak (63,026,52 kali per me-
yang lebih besar memiliki tingkat kelang- nit) dapat dijadikan sebagai parameter dimor-
sungan hidup yang tinggi karena kurang fisme seks. Demikian juga, dengan pengu-
rentan dimangsa predator (Gyuris, 2000). kuran ekspresi kedua gen determinasi seks,
Kemampuan berenang yang cepat berkaitan yaitu aromatase dan Rspond 1 untuk diferen-
dengan ukuran flipper, karena tukik lebih siasi ovarium pada penyu lekang. Berkaitan
besar memiliki tungkai yang lebih panjang dengan pemanasan global yang akan mening-
dan melangkah lebih cepat (Janzen et al., katkan suhu lingkungan, maka induksi suhu
2000). Booth (2006) menyatakan bahwa maskulin merupakan langkah mitigasi de-
ukuran telur berkorelasi dengan ukuran ngan melakukan restocking tukik sebagai
flipper. Hal ini disebabkan pada suhu mas- pengkayaan populasi pada suhu maskulin
kulin, periode inkubasi lebih panjang dan (26-27C) sehingga kelangsungan populasi
lebih banyak kuning telur dikonversi menjadi penyu di alam terjaga dengan seimbang.
jaringan tukik, sehingga menghasilkan ukur-
an tubuh lebih besar. Akan tetapi, tukik yang IV. KESIMPULAN
ditetaskan memiliki performa berenang yang
lebih lambat karena cadangan energi yang Induksi suhu inkubasi memberikan
berasal dari kuning telur yang mesti dica- pengaruh terhadap ekspresi gen determinasi
dangkan justru telah dikonversi untuk proses seks, aromatase dan Rspond 1 pada stadia
organogenesis (Booth and Astil, 2001). perkembangan embrio setelah periode ter-
Transformasi dari zigot ke tukik diperpan- mosensitif (TSP) dengan level ekspresi yang
jang oleh kondisi dingin karena suhu menga- lebih tinggi pada suhu feminin. Hasil yang
tur tingkat aktivitas kimia, termasuk yang sama juga terlihat pada pengukuran periode
berkontribusi terhadap tingkat metabolisme inkubasi, pertumbuhan embrio, ketujuh ka-
secara keseluruhan (Hoegh-Guldberg and rakter morfometrik, dan frekuensi ayunan
Pearse, 1995). Berkaitan dengan performa flipper tukik penyu lekang yang menun-
berenang, hasil pengujian laboratorium pada jukkan suhu feminin merupakan suhu inku-
tukik penyu hijau dalam air laut pada be- basi yang terbaik penyu lekang sebagai spe-
berapa suhu inkubasi, menunjukkan perbe- sies TSD dan dapat digunakan sebagai untuk
daan yang nyata, yaitu tukik dari telur dimorfisme seks pada sarang alami.
diinkubasi pada 25,5C dan 26C memiliki
frekuensi kecepatan lengan depan menda- UCAPAN TERIMA KASIH
yung (power stroke) dan daya tahan (survi-
val) yang lebih rendah dari tukik yang di- Terima kasih penulis ucapkan kepada
inkubasi pada 28C dan 30C. Perbedaan ini Kepala Balai Besar Konservasi Sumber
disebabkan oleh kelelahan otot-otot tukik Daya Alam Wilayah I NTT beserta staf,
yang lebih cepat pada suhu inkubasi rendah Direktur dan staf PT. Al Nusa Farm.
(Burgess et al., 2006). Kranggang, Cibubur, dan Kepala dan staf
Implikasi dari data bioreproduksi, fe- Pusat Studi Satwa Primata-LPPM IPB
notipe, dan performa lokomotori tukik penyu Bogor yang bersedia membantu selama pe-
lekang, dapat membantu dalam iden-tifikasi nelitian berlangsung.
jenis kelamin penyu lekang, dan mempre-
diksi nisbah kelamin tukik yang dihasilkan di DAFTAR PUSTAKA
sarang alami. Sebagai contoh, hasil penga-
matan rataan lama inkubasi pada pada inku- Bergeron, J.M., M. Gahr, K. Horan, T.
basi buatan pada suhu feminin (50,200,89 Wibbels, and D. Crews. 1998. Clon-
hari), ketujuh ukuran mor-fometrik yang ber- ing and in situ hybridization analysis
152 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Dima et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 153
Profil Ekspresi Gen Determinasi Seks dan Fenotipe Penyu Lekang . . .
ralichthys olivaceus). Mol. Reprod. Orlando, E.F., W.P. Davis, and L.J. Guillette.
Devel, 56:1-5. 2002. Aromatase activity in the ova-
Kocer, A., I. Pinheiro, M. Pannetier, L. ry and brain of the eastern mos-
Renault, P. Parma, O. Radi, K.A. quitofish (Gambusia holbrooki) ex-
Kim, G. Camerino, and E. Pailhoux. posed to paper mill effluent. Envi-
2008. R-spondin-1 and FOXL2 act ronmental Healt Perpectives, 4(3):
into two distinct cellular types du- 429-433.
ring goat ovarian differentiation. Packard, G.C. and M.J. Packard. 1988. The
BMC Dev. Biol, 8:36. doi:10.1186/ physiological ecology of reptilian
1471-213X-8-36. eggs and embryos. In: Ecology B.
Lang, J.W. and H.V. Andrews. 1994. Tempe- Gans, et al. (eds.). Biology of the
rature dependent sex determination reptilian. Alan R. Liss Press, New
in Crocodilians. The J. of Experi- York. 523-605pp.
mental Zoology, 270:28-44. Pilcher, N.J., S. Enderby, T. Stringell, and L.
Marquez, M.R. 1990. Sea turtles of the world Bateman. 2000. Nearshore turtle
an annotated and illustrated catalogue hatchling distribution and predation.
of sea turtle species known to date. In: Pilcher et al. (eds.). Sea turtles of
FAO Species Catalog, FAO Fisheries the Indo-Pacific: research, manage-
Syn. 81p. ment and conservation. Academic
Maulany, R.I., D.T. Booth, and G.S. Baxter. Press, New York.http://www.arbec.
2012. Emergence success and sex com.my/sea-turtles/art.htm.[Retrie-
ratio of natural and relocated nests vet on 10 April 2013]. 113-119pp.
o:f olive ridley turtles from Alas Pieau, C., M. Dorizzi, and N.R. Mercier.
Purwo National Park, East Java, 1999. Temperature dependent sex
Indonesia. Copeia, 4:738-747. determination and gonadal differen-
Moreno-Mendoza N., V. Harley, and H. Mer- tiation in reptiles. Cell. Mol. Life
chant-Larios. 1999. Differential ex- Sci., 55:887-900.
pression of SOX9 in gonads of the Pieau, C., M. Dorizzi, and N.R. Mercier.
sea turtle Lepidochelys olivacea at 2001. Temperature dependent sex
male or female-promoting tempera- determination and gonadal differen-
tures. J. Exp Zool., 284:705-710. tiation in reptiles. EXS., 91:117-141.
Mrosovsky, N. and C.L. Yntema. 1980. Pieau, C. and M. Dorizzi. 2004. Oestrogens
Temperature dependence of sexual and temperature dependent sex de-
differentiation in sea turtles: impli- termination in reptiles: all is in the
cations for conservation practices. gonads. J. Endocrin., 181:367-377.
Biological Conservation, 18:271- Rhen, T., K. Metzger, A. Schroeder, and R.
280. Woodward. 2007. Expression of pu-
Mrosovsky, N., C. Baptistotte, and M.H. tative sex-determining genes during
Godfray. 1999. Validation of incu- the of gonad development in the
bation duration as an index of the Snapping Turtle, Chelydra serpen-
sex ration hatchling sea tyrtle. Can. tina. Sexual Development, 1:255-
Journal Zoology, 77:831-835. 270. doi: 10.1159/000104775.
Murdock, C. and T. Wibbels. 2003. Cloning Rhen, T. and A. Schroeder. 2010. Molecular
and expression of aromatase in a mechanisms of sex determination in
turtle with temperature dependent reptiles. Sexual Development, 4:16-
sex determination. General and 28.
Comparative Endocrinolog, 130: Sarre, S.D., A. Georges, and A. Quinn. 2004.
109-119. The ends of a continuum: genetic
154 http://itk.fpik.ipb.ac.id/ej_itkt71
Dima et al.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Juni 2015 155
156